Anda di halaman 1dari 35

PERJANJIAN KREDIT DAN JAMINANNYA

1. Pengertian Perjanjian

Secara umum perjanjian mempunyai arti luas dan sempit. Dalam arti luas
suatu perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagai
yang dikehendaki oleh para pihak. Sedangkan dalam arti sempit, perjanjian disini
hanya ditujukan kepada hubungan-hubungan hukum dalam lapangan hukum
kekayaan saja seperti yang dimaksudkan dalam buku III KUPerdata. Hukum
perjanjian dibicarakan sebagai bagian daripada hukum perikatan, sedangkan
hukum perikatan adalah bagian dari hukum kekayaan, maka hubungan yang
timbul antara para pihak di dalam perjanjian adalah hubungan hukum dalam
hukum kekayaan. Karena perjanjian menimbulkan hubungan dalam lapangan
kekayaan, maka dapat kita simpulkan bahwa perjanjian menimbulkan perikatan.
Itulah sebabnya dikatakan, bahwa perjanjian adalah salah satu sumber utama
perikatan, sehingga perjanjian tersebut menimbulkan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban. Ini membedakan dari perjanjian-perjanjian yang lain.

a. Pengertian Perjanjian Kredit


Djuaendah Hasan mengartikan perjanjian kredit adalah suatu
perjanjian yang diadakan antara bank dengan calon debitur untuk
mendapatkan kredit dari bank yang bersangkutan. Pengertian kredit dikenal
dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Pasal 1
Ayat (11): Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-
meminjam antara Bank dan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam
untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian
bunga.
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Pasal 1 Ayat (11)
pengertian kredit mengandung kata-kata persetujuan sebagaimana diatur
dalam Buku III KUHPerdata Tentang Perikatan, oleh karenanya kredit
merupakan perikatan yang bersumber dari suatu perjanjian. Dari

1
pengertian kredit tersebut maka jelas mengenai perjanjian kredit antara bank
dengan debitur ditekankan pada kesepakatan para pihak yaitu berdasar asas
kebebasan berkontrak yang diatur dalam Pasal 1338 Ayat (1) KUHPerdata.
Mengenai istilah kredit lebih cenderung untuk menamakan perjanjian kredit
bank, istilah bank dilekatkan untuk membedakannya dengan perjanjian
pinjam uang yang pemberi pinjamannya bukan bank.
Pada dasarnya istilah kredit tidak terdapat dalam KUHPerdata yang
ada hanya perjanjian pinjam-meminjam uang yang ada dalam Pasal 1754
KUHPerdata. Dalam kredit tentu ada unsur kepercayaan yaitu keyakinan
kreditur bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang atau
barang akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu
yang sudah disepakati oleh debitur maupun kreditur.

b. Unsur-unsur Perjanjian
Suatu perjanjian jika diamati dan diuraikan unsur-unsur yang ada di
dalamnya, maka unsur-unsur yang ada disana dapat dikelompokkan ke dalam
beberapa kelompok, yaitu :
1. Unsur Essensialia
Essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam
perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian
tak mungkin ada. Pada perjanjian syarat penyerahan obyek perjanjian riil,
syarat penyerahan obyek perjanjian merupakan essensialia dari perjanjian
formal.
2. Unsur Naturalia
Naturalia adalah unsur perjanjian yang diatur oleh undangundang,
tetapi yang oleh para pihak dapat disingkirkan atau diganti. Disini unsur
tersebut oleh undang-undang diatur dengan hukum yang mengatur
menambah.
3. Unsur Accidentalia
Accidentalia adalah unsur perjanjian yang ditambahkan oleh para
pihak. Undang-undang sendiri tidak mengatur tentang hal tersebut.

2
c. Syarat Sah Perjanjian Kredit

Pembuatan suatu perjanjian kredit harus memenuhi syarat-syarat


supaya perjanjian tersebut diakui dan mengikat para pihak yang membuatnya.

Pasal 1320 KUHPer menentukan 4 (empat) syarat untuk sahnya suatu


perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. Maksudnya bahwa para pihak
yang membuat perjanjian telah sepakat atau setuju mengenai hal-hal
pokok dari perjanjian yang dibuat. Kesepakatan itu dianggap tidak ada
apabila sepakat itu diberikan karena kekeliruan/kekhilafan atau
diperolehnya dengan paksaan atau penipuan.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. Maksudnya cakap adalah
orang yang sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu
peraturan perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.
Orang-orang yang dianggap tidak cakap untuk melakukan perbuatan
hukum yaitu:
a. Orang-orang yang belum dewasa.
Menurut Pasal 1330 KUHPer jo. Pasal 47 UU No. 1/1974 tentang
Perkawinan, orang belum dewasa adalah anak dibawah umur 18 tahun
atau belum pernah melangsungkan pernikahan.
b. Orang-orang yang ditaruh dibawah pengampuan. Menurut Pasl 1330
jo. Pasal 433 KUHPer yaitu orang yang telah dewasa tetapi dalam
keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros.
c. Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu, misalnya orang yang telah dinyatakanpailit
oleh pengadilan.
Jika pihak dalam suatu perjanjian kredit adalah suatu perseroan
terbatas (PT) maka syarat kecakapan ini terpenuhi apabila PT tersebut
telah di sahkan oleh Menteri Kehakiman dan telah didaftarkan dalam
daftar perusahaan serta diumumkan dalam Tambahan Berita Negara
RI.

3
3. Suatu hal tertentu, artinya dalam membuat perjanjian, apa yang
diperjanjikan harus jelas sehingga hak dan kewajiban parapihak bisa
ditetapkan.
4. Suatu sebab yang halal, artinya suatu perjanjian harus berdasarkan sebab
yang halal atau yang diperbolehkan oleh undang-undang. Kriteria atau
ukuran sebab yang halal adalah perjanjian yang dibuat tidak boleh
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.

Syarat 1 dan 2 dinamakan syarat subjektif, karena mengenai obyek


yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ke 3 dan 4 dinamakan syarat
obyektif, karena mengenai obyek yang diperjanjikan dalam perjanjian. Kalau
syarat-syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya dapat dibatalkan
oleh hakim atas permintaan pihak yang tidak cakap, atau memberikan
kesepakatan secara tidak bebas. Selama tidak dibatalkan perjanjian tersebut
tetap mengikat. Sedangkan kalau syarat-syarat obyektif yang tidak dipenuhi
maka perjanjiannya batal demi hukum yang artinya dari semula dianggap
tidak pernah ada sehingga tiada dasar untuk saling menuntut di muka hakim
(pengadilan).

Pihak-pihak dalam perjanjian kredit


Adapun pihak-pihak dalam perjanjian kredit antara lain:
1. Pihak pemberi kredit atau kreditur.
Pihak pemberi kredit atau kreditur adalah bank atau lembaga pembiayaan
lain selain bank misalnya perusahaan leasing.
Macam-macam kreditur:
a. Kreditur Konkuren
Mempunyai hak penuntutan pemenuhan utang terhadap seluruh harta
kekayaan debitur, baik yang berwujud benda bergerak maupun benda
tidak bergerak, dan juga baik benda yang telah ada maupun yang
masih akan ada (Pasal 1131 BW).

4
Jika hasil penjualan benda-benda tersebut ternyata tidak mencukupi
bagi pembayaran piutang para kreditur, maka hasil tersebut dibagi-
bagi antara para kreditur seimbang dengan besarnya piutang masing-
masing/ponds-ponds gelijk (Pasal 1132 BW).
Hak pemenuhan dari para kreditur yang seperti itu adalah sama
sederajat satu dengan yang lainnya, tidak ada yang lebih diutamakan.
Kreditur mempunyai hak bersama-sama terhadap seluruh harta
kekayaan debitur, dan seluruh harta kekayaan tersebut berlaku sebagai
jaminan bagi seluruh perutangan debitur, sehingga menjadi jaminan
bagi semua kreditur.
Konsekwensi Yuridisnya:
Asas persamaan hak dari para kreditur itu tidak mengenal
kedudukan yang diutamakan atau preferensi (voorrang)
Tidak ada yang didahulukan satu dengan yang lainnya, juga tidak
mengenal hak yang lebih tua dan hak yang lebih muda (asas
prioriteit)
Hak yang lebih dulu terjadi sama saja kedudukannya dengan hak
yang terjadi kemudian. Hak dari kreditur atas benda-benda dari
debitur di sini merupakan hak yang bersifat perorangan
(persoonlijk)

Ciri-ciri Kreditur Konkuren, yaitu:


i. Mempunyai kedudukan yang lebih rendah/dikalahkan dengan
para kreditur preferen
ii. Hanya mempunyai hak yang bersifat hak perorangan
(personlijk) yang mempunyai tingkat yang sama satu dengan
yang lainnya
iii. Tidak mempunyai kedudukan untuk didahulukan (voorrang)
pemenuhannya, baik karena adanya lebih dulu ataupun karena
dapat ditagih lebih dulu (opeisbaar)

5
iv. Jaminannya bersifat umum karena tidak ada perjanjian jaminan
sebelumnya, sehingga obyek jaminan berupa semua harta
kekayaan debitur
v. Yang dijadikan jaminan adalah seluruh harta kekayaan debitur
a. Kreditur Preferen
Kreditur preferen pemenuhan piutangnya didahulukan (voorrang) dari
pada piutang-piutang lainnya. Menurut ketentuan undang-undang
ditentukan bahwa para kreditur pemegang hipotik, gadai, privelegi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (diutamakan) dari piutang-
piutang lainnya (Pasal 1133 BW).
Kreditur preferen pemenuhan piutangnya harus diutamakan dari pada
kreditur yang lain, terhadap hasil penjualan dari benda yang dipakai
sebagai jaminan. Kreditur preferen memiliki hak bersifat zakelijk
(kebendaan) yang mengenal asas prioriteit.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kreditur konkuren itu:
Pemenuhan piutangnya didahulukan (voorrang) daripada piutang-
piutang lainnya karena mempunyai hak preferensi (hak
didahulukan)
Dalam ketentuan UU ditentukan bahwa kreditur pemegang
Hipotik, Gadai, Hak Tanggungan,Fidusia, dan Privilegi
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi (diutamakan) dari
piutang-piutang lainnya
Jaminannya bersifat khusus, karena sebelumnya ada perjanjian
jaminan, sehingga obyek jaminan jelas seperti yang tercantum
dalam perjanjian jaminan.
Yang dijadikan jaminan tergantung dari pilihan lembaga
jaminan yang diperjanjikan oleh para pihak sebelumnya,
seperti Gadai, Borgtoch, Fidusia, Hipotik, dan Hak Tanggungan

Hak untuk didahulukan dalam pemenuhan piutang timbul karena 2


hal, yaitu:

6
Pertama: Karena dari awal memang sengaja diperjanjikan lebih
dulu bahwa piutang-piutang kreditur itu akan didahulukan
pemenuhannya dari pada piutang-piutang yang lain
Kedua : Kemungkinan untuk pemenuhan yang didahulukan itu
timbul karena memang telah ditentukan oleh UU
2. Pihak penerima kredit atau debitur
Pihak penerima kredit atau debitur adalah pihak yang dapat bertindak
sebagai subyek hukum. Subyek hukum adalah sesuatu badan yang
mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan suatu perbuatan hukum,
baik perbuatan sepihak maupun perbuatan dua pihak.
Pada dasarnya subyek hukum terdiri dari:
a. Manusia (person)
b. Badan Hukum (rechtpersoon) misalnya perseroan terbatas (PT)

d. Fungsi Perjanjian Kredit


Perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian yang khusus baik oleh
kreditur maupun oleh debitur, karena perjanjian kredit mempunyai fungsi yang
sangat penting dalam pemberian, pengelolaan maupun penatalaksaan kredit itu
sendiri.
Fungsi dari perjanjian kredit, yaitu :
(1) Perjanjian kredit berfungsi sebagai perjanjian pokok : artinya perjanjian
kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya
perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan
jaminan
(2) Perjanjan kredit berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan
hak dan kewajiban diantara kreditur dan debitur
(3) Perjanjian kredit berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring
kredit

7
e. Bentuk perjanjian kredit
Dalam prateknya ada 2 bentuk perjanjian kredit yaitu :
1. Perjanjian kredit yang dibuat dibawah tangan, atau dinamakan akta
dibawah tangan artinya perjanjian pemberian kredit oleh bank kepada
nasabahnya hanya dibuat diantara mereka (kreditur dan debitur) tanpa
notaris. Namun pada prateknya dalam perjanjian kredit bank, akad
dibawah tangan ini disiapkan dan dibuat sendiri oleh bank kemudian
ditawarkan kepada debitur untuk disepakati. Untuk mempermudah dan
mempercepat kerja bank, biasanya bank sudah menyiapkan formulir
perjanjian dalam bentuk standar yang isi, syarat-syarat dan ketentuannya
disiapkan terlebih dahulu secara lengkap yang kemudian disodorkan
kepada setiap calon-calon debitur untuk diketahui dan dipahami dalam
rangka penandatanganan perjanjian kredit tersebut. Jadi calon debitur mau
atau tidak mau, dengan terpaksa atau sukarela, harus menerima semua
persyaratan yang tercantum dalam formulir kredit walaupun ia tidak setuju
terhadap pasal-pasal terhadap pasal-pasal tertentu. Hal tersebut karenakan
calon debitur sangat membutuhkan kredit atau berada pada posisi lemah.
Pasal 1874 KUHPer :
Akta dibawah tangan adalah surat atau tulisan yang dibuat oleh
para pihak tidak melalui perantaraan pejabat yang berwenang (pejabat
umum) untuk dijadikan alat bukti. Beberapa hal yang perlu diketahui
dalam perjanjian yang dibuat dibawah tangan (akta dibawah tangan) dan
dihadapan notaris (akta otentik atau notarul), yaitu : Akta otentik
mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna. Artinya akta otentik
dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidikan
keabsahan tanda tangan pihak-pihak tersebut. Apabila akta otentik
diajukan sebagai alat bukti didepan hakim kemudian pihak lawan
membantah akta tersebut maka pihak pembantah yang harus melakukan
pembuktian kebenaran bantahannya.
Akta dibawah tangan mempunyai kekuatan hukum pembuktian
seperi juga akta otentik, jika tanda tangan yang ada dalam akta tersebut

8
diakui oleh yang menandatangani. Untuk pembuktian didepan hakim, jika
salah satu piha mengajukan bukti akta dibawah tangan, dan akta tersebut
dibantah oleh pihak lawannya, maka pihak yang mengajukan akta dibawah
tangan itu yang harus mencari bukti tambahan (misalnya saksi-saksi). Ini
dimaksudkan untuk membuktikan bahwa akta dibawah tangan yang
diajukan sebagai alat bukti tersebut benar-benar ditandatangani oleh pihak
yang membantah. Supaya akta dibawah tangan tidak mudah dibantah atau
disangkal kebenaran tanda tangan yang ada dalam akta tersebut dan untuk
memperkuat pembuktian didepan hakim, maka akta yang dibuat dibawah
tangan sebaiknya dilakukan legalisasi. Dengan adanya legalisasi oleh
notaris atas akta dibawah tangan maka kekuatan hukum pembuktian akta
tersebut seperti akta otentik.
2. Perjanjian kredit yang dibuat oleh dan dihadapan notaris, yang dinamakan
akta otentik atau akta notaril. Pihak yang menyiapkan dan membuat
perjanjian ini adalah seorang notaris, namun dalam prateknya semua syarat
dan ketentuan perjanjian kredit disiapkan oleh kredit kemudian diberikan
kepada notaris untuk dirumuskan dalam akta notarill. Memang notaris
dalam membuat perjanjian hanyalah merumuskan apa yang diinginkan para
pihak dalam bentuk akta notaril atau akta otentik.
Pasal 1868 KUHPer :
Akta otentik adalah akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh
undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapkan pegawai yang berkuasa
(pegawai umum) untuk itu, ditempat dimana akta dibuatnya yang
dimaksud dengan pegawai yang berkuasa atau pegawai umum antara lain
notaris, hakim, juru sita pada pengadilan, pegawai catatan sipil atau
pegawai kantr urusan agama (KUA), pejabat pembuat akta tanah (PPAT).
Legalisasi artinya menyatakan kebenaran ialah pernyataan benar
dengan jalan memberi pengesahan oleh pejabat yang berwenang (notaris,
ketua pengadilan negeri, bupati kepala daerah dan walikota) atas akta
dibawah tangn meliputi tanda tangan, tanggal dan tempat dibuatnya akta
dan isi akta.

9
f. Batas Maksimum Pemberian Kredit
Menurut UU Perbankan pasal 11 ayat 2, batas maksimum pemberian
kredit tidak boleh melebihi 30% dari modal bank sesuai dengan ketentuan
yag ditetapkan oleh Bank Indonesia. Bank Indonesia menetapkan ketentuan
mengenai batas maksimum pemberian kredit, pemberian jaminan penempatan
investasi surat berharga atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh
Bank kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10% atau lebih dari modal, disetorkan
bank
b. Anggota Dewan Komisaris
c. Anggota Direksi
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a,b dan c ( psl
11 ayat 3)
e. Pejabat Bank lainnya
f. Perusahaan yang didalamnya ada kepentingan dari pihak sebagaimana
dimaksud dalam huruf a-e

2. Jaminan
a. Pengertian Jaminan
Dalam memberikan fasilitas kredit kepada debitur, kreditur harus
mengetahui dengan jelas apakah debitur mempunyai itikad baik untuk
mengembalikan fasilitas kredit tersebut tepat pada waktunya. Faktor
terpenting yang harus diteliti oleh kreditur adalah adanya jaminan yang dapat
digunakan untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur sehingga bila suatu
saat debitur wanprestasi, maka kreditur dapat menjual barang yang diagunkan
tersebut untuk melunasi hutang debitur kepada kreditur. Sehingga untuk
mengurangi risiko kerugian kreditur, maka diadakan suatu jaminan hutang
piutang oleh para pihak yang menyerahkan barang milik debitur kepada
kreditur sebagai jaminan dilaksanakannya kewajiban debitur kepada kreditur.
Menurut Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 23/69/kep/DIR
tanggal 28 Februari 1991, tentang Jaminan Pemberian Kredit pada Pasal 1

10
butir B disebutkan bahwa jaminan pemberian kredit adalah keyakinan bank
atas kesanggupan debitur untuk melunasi kredit sesuai yang diinginkan.
Sedangkan agunan adalah jaminan material, surat berharga, asuransi risiko
yang disediakan oleh debitur jika tidak dapat melunasi kredit sesuai dengan
yang diperjanjikan. Kemudian pada Pasal 2 ayat (1) dari keputusan tersebut
menyatakan bahwa bank tersebut tidak diperkenankan memberikan kredit
kepada siapapun tanpa adanya jaminan pemberian kredit.
Demikian pula dalam penjelasan Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang
Pokok Perbankan Nomor 10 Tahun 1998 mengatur Bank Umum wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad baik
dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya
atau mengembalikan pembiayaan yang dimaksud sesuai yang diperjanjikan.
Ini merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank, sedangkan
dalam KUHPerdata ketentuan umum mengenai jaminan atau agunan terdapat
dalam Pasal 1131 dan 1132.
Dalam Pasal 1131KUHPerdata disebutkan: Segala kebendaan si
berutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah
ada maupun yang akan ada dikemudian hari menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perorangan. Dalam Pasal 1132 KUHPerdata disebutkan:
Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi semua orang yang
menghutangkan kepadanya; pendapatan penjualan dari benda-benda itu
dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang
masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan
yang sah untuk didahulukan.

11
b. Jenis-jenis Jaminan

Dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan,


pada Pasal 8 menyatakan bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib
mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas kesangupan
nasabah debitur risiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti
keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi
utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang
harus diperhatikan bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum
memberi kredit bank harus melakukan penilaian secara teliti terhadap
kemampuan modal, agunan, watak dan prospek usaha calon debiturnya,
karena agunan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit. Agunan
tersebut dapat berupa barang, proyek atau hak tagih. Selain itu tanah adat juga
dapat digunakan sebagai jaminan agunan yaitu tanah yang bukti
kepemilikannya berupa girik atau lainnya. Bank tidak wajib meminta agunan
berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan proyek yang
dibiayainya, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Jadi yang
dimaksud dengan agunan pokok adalah barang-barang yang berkaitan
langsung dengan obyek yang dibiayai sebagai pemberi kredit.

12
Benda-benda yang dapat dijadikan agunan telah diatur secara jelas
dalam undang-undang. Dalam KUHPerdata, benda-benda yang dapat
dijadikan jaminan dibedakan menjadi :
a. Benda bergerak, Yaitu benda yang dapat berpindah/dapat dipindahkan ke
tempat lain, dan benda tersebut mempunyai nilai uang. Lembaga jaminan
terhadap benda bergerak tersebut antara lain gadai, fidusia atau hipotik.
Benda bergerak terdiri atas dua bagian, yaitu ;
a) benda bergerak yang materiil terdiri dari : benda bergerak yang
berwujud seperti kendaraan bermotor, inventaris kantor dan lain-lain.
Benda bergerak tak berwujud seperti Hak Tagih.
b) Benda bergerak yang immaterial, Terdiri dari benda bergerak yang
berupa jaminan perorangan (borgtocht). Benda tak bergerak Yaitu
benda-benda yang tidak dapat dibawa atau dipindahkan, yang
mempunyai nilai uang dan dapat dijaminkan.
b. Benda tak bergerak

Setelah tanggal 9 April 1996 mulai berlaku Undang-Undang Hak


Targgungan yang baru, yaitu Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang
Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-benda Yang Berkaitan dengan
Tanah, dimana jaminan berupa benda tak bergerak dalam hal ini tanah dapat
menggunakan ketentuan undang-undang ini. Dengan demikian ketentuan
mengenai Hipotik atas tanah dan Credietverband tidak berlaku lagi. Hipotik
pada saat ini hanya digunakan untuk mengikat objek jaminan utang yang
ditunjuk oleh ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya, seperti KUH
Dagang, Buku Kedua yang menyebutkan bahwa obyek jaminan utang yang
berupa kapal laut yang berukuran 20 M3 atau lebih dan berbendera Indonesia
dapat diikat dengan Hipotik. Dalam penyerahan benda jaminan, cara
penyerahannya yaitu :
a. Cara penyerahan benda bergerak
Benda bergerak yang pembebanannya dilakukan dengan lembaga
jaminan gadai, dilakukan dengan cara yang nyata dan penguasaan atas

13
benda itu secara terus menerus selama masa diperjanjikan. Misalnya surat-
surat berharga (saham, obligasi dan lain-lain). Benda bergerak yang
pembebanannya dilakukan dengan lembaga jaminan fidusia, cara
penyerahannya tidak dilakukan dengan nyata, tetapi hanya penyerahan
berupa hak kepemilikan saja, karena fidusia itu adalah pemberian jaminan
berdasarkan kepercayaan semata. Misalnya inventaris kantor, barang
dagangan dan lain-lain.
b. Cara nenyerahan benda tak bergerak.
Benda tak bergerak penyerahannya dengan cara penyerahan nyata
yaitu mengalihkan hak dalam bentuk akta otentik, sedangkan
pembebanannya dilakukan dengan lembaga jaminan hak tanggungan,
kecuali kapal yang berukuran 20 meter kubik ke atas yang telah
didaftarkan pada syahbandar serta kapal terbang tetap menggunakan
lembaga hipotik. Selain itu ada juga jaminan yang karena sifat dan
peruntukannya dapat diterima sebagai jaminan utang, yaitu jaminan
perseorangan (personal guarantee/borgtocht). Yang dimaksud dengan
jaminan perseorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan
yang diberikan oleh seseorang kepada kreditur untuk menjamin
pemenuhan kewajiban debitur kepada kreditur bila debitur ingkar janji
(wanprestasi).
Jaminan perseorangan juga disebut dengan penanggungan hutang yang
diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUHPerdata. Hal-hal yang
harus diperhatikan oleh kreditur apabila penanggung utang (guarantor) diterima
sebagai penjamin yaitu :
1. Penanggungan utang merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian kredit
yang sah.
2. Ada kesepakatan antara kreditur dan debitur bahwa jaminannya berupa
penaanggungan utang.
3. Apabila Guarantor adalah badan hukum, maka harus diperhatikan pula
mengenai anggaran dasar atau akta pendirian perseroan tersebut.

14
4. Apabila badan hukum tersebut hendak melunasi hutang kepada kreditur
tanpa disita terlebih dahulu barang-barang debitur, maka dalam perjanjian
penanggung utang harus memuat klausula yang menyebutkan bahwa
penanggung utang melepaskan keistimewaan yang diatur dalam Pasal
1831 KUHPerdata.
5. Seorang debitur tidak dapat menjadi penanggung utang, karena segala
harta bendanya sudah menjadi jaminan utang (Pasal 1131 KUHPerdata).

c. Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai hak jaminan diatur dalam UU No. 4/1996
tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan
Dengan Tanah (UUHT). Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang
dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No.
5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), berikut atau
tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-kesatuan dengan tanah
itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain. Hak Tanggungan
merupakan pengganti bentuk grosse akta atau hipotek atas tanah dan
menggantikan ketentuan mengenai credietverband yang dimaksud dalam
Pasal 224 HIR. Hak Tanggungan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1. Hak Tanggungan memberikan hak preferent (Pasal 1(1) UUHT).
Artinya, bila debitur cidera janji atau lalai membayar hutangnya, maka
seorang kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk
menjual jaminan dan kreditur pemegang jaminan diutamakan untuk
mendapatkan pelunasan hutang dari penjualan jaminan tersebut.
2. Hak Tanggungan tidak dapat dibagi-bagi (Pasal 2 UUHT). Artinya, hak
tanggungan membebani secara utuh obyek Hak Tanggungan dari setiap
bagian daripadanya. Pelunasan sebagian dari utang yang dijamin tidak
berarti terbebasnya sebagian obyek tersebut dari beban Hak Tanggungan,
melainkan Hak Tanggungan itu tetap membebani seluruh obyek Hak
Tanggungan untuk sisa utang yang belum dilunasi. Sebagai contoh yaitu

15
hutang 100 juta dijamin dengan Hak Tanggungan atas tanah Hak Milik
seluas 10.0000 m. Misalnya utang telah dibayar sebagian sebesar 20
juta. Pelunasan utang 20 juta tersebut tidak berarti terbebasnya sebagian
tanah (misalnya 2000 m) dari beban Hak Tanggungan yang seluruhnya
10.000 m. Namun sifat tidak dapat dibagi-bagi dalam Hak Tanggungan
tidak berlaku mutlak atau dapat dikecualikan (misalnya dalam pemberian
kredit untuk keperluan pembangunan komplek perumahan dengan
jaminan sebidang tanah proyek perumahan tersebut) asal diperjanjikan
secara tegas dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan.
3. Hak Tanggungan mempunyai sifat droit de suite (Pasal 7 UUHT).
Artinya, pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak mengikuti obyek
Hak Tanggungan, meskipun obyek Hak Tanggungan telah berpindah dan
menjadi milik pihak lain. Sebagai contoh, yaitu apabila obyek Hak
Tanggungan (tanah dan bangunan) telah dijual oleh debitur dan menjadi
milik pihak lain, maka kreditur sebagai pemegang jaminan tetap
mempunyai hak untuk melakukan eksekusi atas jaminan tersebut jika
debitur cidera janji.
4. Hak Tanggungan mempunyai sifat accesoir (Pasal 10 (1) dan 18 (1)
UUHT). Artinya, Hak Tanggungan bukanlah hak yang berdiri sendiri
tetapi lahirnya, keberadaannya atau eksistensinya, atau hapusnya
tergantung perjanjian pokoknya yaitu perjanjian kredit atau perjanjian
utang lainnya. Hak Tanggungan menjadi hapus kalau perjanjian
pokoknya yang menimbulkan utang-piutang hapus yang disebabkan
karena lunasnya kredit atau lunasnya utang atau sebab lain. Sifat ikutan
(accessoir) ini memberikan konsekuensi, bahwa dalam hal piutang
beralih kepada kreditur lain maka Hak Tanggungan yang menjaminnya
ikut beralih kepada kreditur baru tersebut. Pencatatan peralihan Hak
Tanggungan tidak memerlukan akta PPAT tetapi cukup didasarkan pada
akta beralihnya piutang yang dijamin. Pencatatan peralihan itu dilakukan
pada buku tanah dan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan serta
pada buku tanah dan sertifikat hak atas tanah yang dijadikan jaminan.

16
5. Hak Tanggungan untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Fungsi Hak Tanggungan adalah untuk menjamin utang yang besarnya
diperjanjikan dalam perjanjian kredit atau perjanjian utang. Utang yang
dijamin hak tanggungan harus memenuhi syarat dalam Pasal 3(1) UUHT
yaitu:
a. Utang yang telah ada, artinya besarnya utang yang telah
ditentukan dalam perjanjian kredit.
b. Utang yang akan ada tetapi telah diperjanjikan dengan jumlah
tertentu.
c. Utang yang akan ada tetapi jumlahnya pada saat permohonan
eksekusi Hak Tanggungan diajukan dapat ditentukan
berdasarkan perjanjian kredit atau perjanjian lain yang
menimbulkan hubungan utang-piutang.
6. Hak Tanggungan dapat menjamin lebih dari satu utang. Pasal 3(2)
UUHT menegaskan bahwa Hak Tanggungan dapat diberikan untuk suatu
utang yang berasal dari satu hubungan hukum atau untuk satu atau lebih
yang berasal dari beberapa hubungan hukum. Berdasarkan Pasal tersebut
maka pemberian Hak Tanggungan dapat diberikan untuk:
a. Satu atau lebih kreditur yang memberikan kredit kepada satu debitur
berdasarkan perjanjian masing-masing secara bilateral antara
kreditur-kreditur dengan debitur. Hal ini menimbulkan Hak
Tanggungan peringkat I untuk kreditur sebagai penerima Hak
Tanggungan yang pertama dan Hak Tanggungan peringkat II untuk
kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan yang sesudahnya dan
seterusnya. Sebagai contoh Bank A memberi kredit kepada PT X
dengan jaminan hak atas tanah seluas 1000 m yang diikat Hak
Tanggungan. Kemudian Bank B juga memberikan kredit kepada PT
X dengan jaminan yang sama. Hal ini menimbulkan Hak
Tanggungan peringkat I untuk Bank A dan Hak Tanggungan
peringkat II untuk Bank B.

17
b. Beberapa kreditur secara bersama-sama memberikan kredit kepada
satu debitur berdasarkan satu perjanjian. Sebagai contoh Bank A,
Bank B, dan Bank C secara bersama-sama memberikan kredit
kepada PT X yang dimuat dalam satu perjanjian dengan jaminan
Hak Tanggungan. Hak Tanggungan tersebut menjamin ketiga
kreditur dengan kedudukan dan hak yang sama untuk mendapatkan
pelunasan dari hasil penjualan jaminan Hak Tanggungan jika debitur
cidera janji.
7. Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah saja. Pada
dasarnya hak tanggungan hanya dibebankan pada hak atas tanah saja.
Hak atas tanah yang dapat dijadikan jaminan sesuai UUPA yaitu hak
milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai atas tanah
negara yang menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. (Pasal 4 (1)
UUHT)
8. Hak Tanggungan dapat dibebankan pada hak atas tanah berikut benda
diatasnya dan dibawah tanah. Maksudnya, bahwa pembebanan Hak
Tanggungan dimungkinkan meliputi benda yang ada diatas tanah dan
merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut dan bangunan dibawah
permukaan tanah. Bangunan atau tanaman boleh ada pada saat
pembebanan Hak Tanggungan atau yang akan ada di kemudian hari.
Benda-benda yang ada di atas tanah yang merupakan satu kesatuan
dengan tanah dan benda dibawah permukaan tanah ikut atau turut
dibebani dengan Hak Tanggungan maka harus dinyatakan secara tegas
oleh para pihak dalam akta pembebanan Hak Tanggungan. Sifat ini
dijelaskan dalam Pasal 4 (4) UUHT.
9. Hak Tanggungan berisi hak untuk melunasi utang dari hasil penjualan
benda jaminan dan tidak memberikan hak bagi kreditur untuk memiliki
benda jaminan (Pasal 12 UUHT). Sifat ini sesuai tujuan Hak Tanggungan
yaitu untuk menjamin pelunasan utang jika debitur cidera janji dengan
mengambil hasil penjualan benda jaminan itu, bukan untuk dimiliki
kreditur sebagai pemegang Hak Tanggungan. Bila debitur setuju

18
memberikan atau mencantumkan janji bahwa benda jaminan akan
menjadi milik kreditur jika debitur cidera janji, maka janji ini oleh UU
dinyatakan batal demi hukum.
10. Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial (Pasal 6 UUHT).
Artinya, bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan pertama
mempunyai hak untuk mengeksekusi jaminan jika debitur cidera janji.
Hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri
merupakan salah satu perwujudan dari kedudukan diutamakan yang
dipunyai oleh pemegang Hak Tanggungan atau pemegang Hak
Tanggungan pertama dalam hal terdapat lebih dari satu pemegang Hak
Tanggungan. Hanya pemegang Hak Tanggungan yang mempunyai hak
ini. Pasal 14 (1), (2) dan (3) UUHT menegaskan Sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah dengan kata-kata Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa mempunyai kekuatan
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
11. Hak Tanggungan . Sifat spesialitas adalah uraian yang jelas dan
terinci mengenai obyek Hak Tanggungan yang meliputi rincian mengenai
sertifikat hak atas tanah, misalnya hak atas tanah hak milik atau hak guna
bangunan atau hak guna usaha, tanggal penerbitannya, tentang luasnya
letaknya, batas-batasnya dan lain sebagainya. Jadi dalam Akta Hak
Tanggungan harus diuraikan secara spesifik hak atas tanah yang dibebani
Hak Tanggungan. Sifat publisitas adalah Akta Hak Tanggungan harus
didaftarkan di Kantor Pertanahan dimana tanah yang dibebani Hak
Tanggungan berada. (Pasal 13 (1) UUHT)
Objek Hak Tanggungan terdiri dari hak-hak atas tanah yang dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan, yaitu:
Hak Milik
Hak Guna Bangunan
Hak Guna Usaha
Hak Pakai atas tanah negara dan Hak Pakai atas Hak Milik;

19
Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui beberapa
tahap sebagai berikut:
1. Tahap Pertama. Merupakan tahap pembuatan perjanjian pokok berupa
perjanjian kredit atau perjanjian hutang.
2. Tahap Kedua. Merupakan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak
Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang
ditandatangani oleh kreditur sebagai penerima Hak Tanggungan dan
debitur sebagai pemilik hak atas tanah yang dijaminkan (Pasal 10 (2)
UUHT). Dalam Pasal 11(1) UUHT disebutkan bahwa APHT memuat
antara lain identitas para pihak, penunjukan secara jelas utang-utang yang
dijamin, nilai Hak Tanggungan, uraian mengenai obyek Hak
Tanggungan, dan janji-janji Hak Tanggungan.
Dalam praktek perbankan, pemberian Hak Tanggungan yang
ditandai dengan pembuatan APHT ini dapat dilakukan melalui 2 cara
yaitu:
a. Penandatanganan APHT dilakukan oleh pemilik jaminan bersamaan
dengan penandatanganan perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok;
b. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT).
SKMHT dibuat karena pemilik jaminan tidak segera melakukan
pembebanan Hak Tanggungan pada saat penandatanganan perjanjian
kredit. SKMHT adalah surat kuasa khusus yang dibuat oleh dan
dihadapan PPAT atau Notaris yang ditandatangani pemilik jaminan.
Isi SKMHT adalah pemilik jaminan memberikan kuasa khusus kepada
kreditur (bank) untuk menandatangani APHT.
3. Tahap Ketiga. Merupakan tahap pendaftaran APHT ke Kantor Pertanahan
setempat. Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Tanggungan
yang kemudian diserahkan kepada kreditur sebagai pemegang Hak
Tanggungan.
Hapusnya Hak Tanggungan menurut Pasal 18 UUHT disebabkan
karena peristiwa-peristiwa sebagai berikut:
Hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan.

20
Dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan.
Pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh
Ketua Pengadilan Negeri, yaitu hapusnya Hak Tanggungan yang terjadi
karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak
Tanggungan agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban
Hak Tanggungan.
Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan. Hapusnya hak
atas tanah disebabkan karena jangka waktu berlakunya hak atas tanah telah
berakhir. Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas
tanah merupakan hak atas tanah yang memiliki jangka waktu berlakunya.
Perlu diperhatikan juga bahwa UU Hak Tanggungan menganut
larangan milik beding dalam APHT, dimana setiap janji yang memberikan
kewenangan kepada kreditor (pemegang Hak Tanggungan) untuk memiliki
obyek Hak Tanggungan secara serta merta apabila debitor cidera janji adalah
batal demi hukum.

d. Fidusia

UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia selanjutnya disingkat UU


Fidusia, merupakan dasar hukum pengaturan Jaminan Fidusia. Sedangkan
Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan
Fidusia diatur dalam PP No.86 Tahun 2000. Fidusia ialah pengalihan hak
kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa
benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan
pemilik benda.
Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya
bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan yang tetap berada dalam
penguasaan pemberi fidusia, sebagai acuan bagi pelunasan utang tertentu
yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia
terhadap kreditur lainnya. Pembebanan benda dengan jaminan fidusia harus

21
dibuat dengan akta notaris dalam bahasa indonesia, yang disebut akta
Jaminan Fidusia.
Syarat yang harus dipenuhi fidusia:
1. Dibuat dalam akta notaris
2. Identitas pemberi fidusia dan penerima fidusia
3. Perjanjian pokok yang dijamin fidusia
4. Uraian benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
5. Nilai penjaminan
6. Nilai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
Jaminan fidusia tidak mengenal peringkat jaminan fidusia. UU
Fidusia menegaskan bahwa obyek jaminan fidusia yang telah didaftar di
Kantor Pendaftaran Fidusia tidak dibolehkan untuk dibebani fidusia lagi atau
fidusia ulang kepada kreditur lain. Apabila terjadi suatu benda dibebani lebih
dari satu perjanjian fidusia maka hak yang didahulukan diberikan kepada
kreditur yang lebih dahulu mendaftarkannya pada kantor pendaftaran fidusia.
Jaminan fidusia yang diatur dalam UU Fidusia mempunyai sifat-sifat sebagai
berikut:
1. Jaminan fidusia mempunyai sifat accesoir. Artinya, jaminan fidusia
bukan hak yang berdiri sendiri tetapi lahirnya keberadaannya atau
hapusnya tergantung perjanjian pokoknya.
2. Jaminan fidusia mempunyai sifat droit de suite. Sifat droit de suite
artinya penerima jaminan fidusia/kreditur mempunyai hak mengikuti
benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda
itu berada. Hal ini berarti bahwa dalam keadaan debitur lalai, maka
kreditur sebagai pemegang jaminan fidusia tidak kehilangan haknya
untuk mengeksekusi obyek fidusia walaupun obyek tersebut telah dijual
dan dikuasai oleh pihak lain.
3. Jaminan fidusia memberikan hak preferent. Artinya, kreditur sebagai
penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan (preferent) terhadap
kreditur lainnya untuk menjual atau mengeksekusi benda jaminan fidusia
dan hak didahulukan untuk mendapatkan pelunasan hutang dari hasil

22
eksekusi benda jaminan fidusia tersebut dalam hal debitur cidera janji
atau lalai membayar hutangnya.
4. Jaminan fidusia untuk menjamin utang yang telah ada atau akan ada.
Maksudnya, utang yang dijamin pelunasannya dengan fidusia harus
memenuhi syarat sesuai ketentuan Pasal 7 UU Fidusia yaitu:
a. Utang yang telah ada yaitu besarnya utang yang ditentukan dalam
perjanjian kredit;
b. Utang yang akan timbul di kemudian hari yang telah diperjanjikan
dalam jumlah tertentu;
c. Utang yang pada saat eksekusi dapat ditentukan jumlahnya
berdasarkan perjanjian kredit yang menimbulkan kewajiban
memenuhi suatu prestasi.
5. Jaminan fidusia dapat menjamin lebih dari satu utang. Maksudnya,
bahwa benda jaminan fidusia dapat dijaminkan oleh debitur kepada
beberapa kreditur yang secara bersama-sama memberikan kredit kepada
seorang debitur dalam satu perjanjian kredit. Ketentuan mengenai hal ini
diatur pada Pasal 8 UU Fidusia. Ketentuan tersebut harus dipandang
berbeda dengan ketentuan Pasal 17 UU Fidusia dimana pemberi fidusia
dilarang melakukan fidusia ulang terhadap benda yang menjadi objek
fidusia yang sudah terdaftar.
6. Jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial. Maksudnya, Kreditur
sebagai penerima fidusia mempunyai hak untuk mengeksekusi benda
jaminan bila debitur cidera janji. Eksekusi tersebut dapat dilakukan atas
kekuasaan sendiri atau tanpa putusan pengadilan yang mempunyai
kekuatan hukum tetap. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 15 UU Fidusia
yang pada intinya menyatakan bahwa di dalam Sertifikat Jaminan Fidusia
yang mencantumkan kata-kata Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
7. Jaminan fidusia mempunyai sifat spesialitas dan publisitas. Sifat
spesialitas adalah uraian yang jelas dan rinci mengenai obyek jaminan

23
fidusia dalam akta jaminan fidusia. Sedangkan sifat publisitas adalah
berupa pendaftaran akta jaminan fidusia yang dilakukan di Kantor
Pendaftaran Fidusia.
8. Jaminan fidusia berisi hak untuk melunasi utang. Sifat ini sesuai dengan
fungsi setiap jaminan yang memberikan hak dan kekuasaan kepada
kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan jaminan
tersebut bila debitur cidera janji dan bukan untuk dimiliki kreditur.
Ketentuan ini bertujuan untuk melindungi debitur dari tindakan
sewenang-wenang kreditur. Seandainya debitur setuju mencantumkan
janji bahwa benda yang menjadi obyek fidusia akan menjadi milik
debitur jika debitur cidera janji maka janji semacam itu batal demi
hukum atau dianggap tidak pernah ada.
9. Jaminan fidusia meliputi hasil benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
dan klaim asuransi.
10. Obyek jaminan fidusia berupa benda-benda bergerak berwujud dan tidak
berwujud, benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani dengan hak
tanggungan, serta benda-benda yang diperoleh di kemudian hari.Obyek
atau benda-benda yang dapat dibebani jaminan fidusia antara lain:
a. Benda bergerak berwujud. Contohnya: kendaraan bermotor seperti
mobil, bus, truck, sepeda motor dan lain-lain; mesin-mesin pabrik
yang tidak melekat pada tanah/bangunan pabrik; perhiasan; alat
inventaris kantor; kapal laut berukuran dibawah 20m; perkakas
rumah tangga seperti tv, tape, kulkas, mebel, dan lain-lain; alat-alat
pertanian; dan lain sebagainya.
b. Barang bergerak tidak berwujud. Contohnya: wesel; sertifikat
deposito; saham; obligasi; deposito berjangka; dan lain sebagainya.
c. Hasil dari benda yang menjadi obyek jaminan baik benda bergerak
berwujud atau benda bergerak tidak berwujud atau hasil dari benda
tidak bergerak yang tidak dapat dibebani hak tanggungan.
d. Klaim asuransi dalam hal benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
diasuransikan.

24
e. Benda tidak bergerak khusunya bangunan yang tidak dapat dibebani
hak tanggungan, yaitu hak milik satuan rumah susun di atas tanah
hak pakai atas tanah negara dan bangunan rumah yang dibangun di
atas tanah orang lain.
f. Benda-benda termasuk piutang yang telah ada pada saat jaminan
diberikan maupun piutang yang diperoleh kemudian hari.

Tahap-tahap pembebanan fidusia adalah sebagai berikut:


1. Tahap Pertama merupakan tahap dimana dibuatnya perjanjian pokok
yang berupa perjanjian kredit.
2. Tahap kedua berupa pembebanan benda dengan jaminan fidusia yang
ditandai dengan pembuatan akta jaminan fidusia. Dalam akta penjaminan
fidusia memuat antara lain hari, tanggal dan waktu pembuatan; identitas
para pihak; data perjanjian pokok fidusia, uraian obyek fidusia, nilai
penjaminan, dan nilai obyek jaminan fidusia.
3. Tahap ketiga merupakan tahap pendaftaran akta jaminan fidusia di
Kantor Pendaftaran Fidusia. Kantor Pendaftaran Fidusia kemudian
menerbitkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang diserahkan kepada kreditur
sebagai penerima fidusia.

Hapusnya Jaminan Fidusia disebabkan peristiwa-peristiwa sebagai


berikut yaitu:
1. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia.
2. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia (kreditur).
3. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia. Perlu
diperhatikan juga bahwa UU Fidusia menganut larangan milik beding,
dimana setiap janji yang memberikan kewenangan kepada Penerima
Fidusia untuk memiliki benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia
apabila debitor cidera janji adalah batal demi hukum.

25
Sedangkan ada 4 (empat) prinsip utama dari jaminan fidusia, yaitu:
1. Bahwa secara riil pemegang fidusia hanya berfungsi sebagai pemegang
saja, bukan sebagai pemilik sebenarnya.
2. Hak pemegang fidusia untuk eksekusi barang jaminan baru ada jika
wanprestasi dari pihak debitur.
3. Apabila hutang sudah dilunasi, maka hak obyek jaminan fidusia harus
dikembalikan kepada pihak pemberi fidusia.
4. Jika hasil penjualan (eksekusi) barang fidusia melebihi jumlah hutangnya,
maka sisa hasil penjualan harus dikembalikan kepada pemberi fidusia.
Selain itu, agar sahnya peralihan hak dalam konstruksi hukum tentang
fidusia ini haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Terdapat perjanjian yang bersifat zakelijk
2. Adanya titik untuk satu peralihan hak
3. Adanya kewenangan untuk menguasai benda dari orang yang
menyerahkan benda
4. Cara tertentu untuk penyerahan, yakni dengan cara constitutum
prossessorium bagi benda bergerak yang berwujud, ini berarti pengalihan
hak kepemilikan atas suatu benda dengan melanjutkanMunir Fuady, Op.
Cit, hal. 4 penguasaan atas benda tersebut dimaksudkan untuk kepentingan
penerima fidusia atau dengan cara cessie untuk piutang.

Pengalihan dan Hapusnya Jaminan Hak Fidusia


1. Pengalihan Jaminan Fidusia
Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia
mengakibatkan beralihnya demi hukum segala hak dan kewajiban
penerima fidusia kepada kreditur baru (accesoir). Beralihnya
jaminanfidusia tersebut harus didaftarkan oleh kreditur baru pada Kantor
Pendaftaran Fidusia. Dalam ilmu hukum pengalihan hak atas piutang,
dikenal dengan istilah cessie yaitu pengalihan piutang dilakukan dengan
akta otentik atau akta di bawah tangan.

26
Dengan cessie ini, maka segala hak dan kewajiban menerima
fidusia lama beralih kepada penerima fidusia baru dan pengalihan hak atas
piutang tersebut diberitahukan kepada pemberi fidusia. Pemberi fidusia
dapat mengalihkan benda persediaan yang menjadi obyek jaminan fidusia
dengan cara dan prosedur yang lazim dilakukan dalam usaha perdagangan
kecuali bila debitur telah cidera janji, obyek fidusia yang telah dialihkan
wajib diganti dengan obyek yang setara (penjelasan Pasal 21 UUJF).
Pembeli obyek jaminan fidusia yang berupa benda persediaan bebas dari
tuntutan meskipun pembeli tersebut mengetahuinya, dengan ketentuan
bahwa pembeli telah membayar lunas harga.
2. Hapusnya Jaminan Fidusia
Pasal 25 UU No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
menyebutkan hapusnya jaminan fidusia sebagai berikut :
a. Hapusnya utang yang dijamin dengan fidusia
b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia
c. Musnahnya benda yang menjadi obyek jaminan fidusia
Hapusnya utang atau karena pelepasan, maka dengan sendirinya
jaminan fidusia yang bersangkutan ikut menjadi hapus. Sedangkan
pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia sebagai yang
memiliki hak fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau
melepaskan haknya. Hapusnya fidusia akibat musnahnya benda jaminan
karena obyek jaminan fidusia sudah tidak ada. Apabila benda yang
menjadi obyek jaminan fidusia tersebut musnah dan benda tersebut
diasuransikan, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti obyek
jaminan fidusia tersebut.
Apabila jaminan fidusia tersebut hapus penerima fidusia
memberitahukan pada Kantor Pendaftaran Fidusia, dengan hapusnya
jaminan fidusia tersebut, maka Kantor Pendaftaran Fidusia mencoret
pencatatan jamina fidusia dari Buku Daftar Fidusia. Selanjutnya Kantor
Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat keterangan yang menyatakan
sertipikat fidusia tidak berlaku lagi. Dalam praktek, penerima fidusia

27
biasanya tidak memberitahukan bahwa piutang dalam perjanjian pokok
telah hapus, sehingga debitur atau pemberi fidusia lah yang
berkepentingan dengan pencoretan pencatatan jaminan fidusia dari Buku
Daftar Fidusia.

e. Eksekusi Jaminan Kredit


Salah satu yang diatur dalam perjanjian kredit adalah adanya jaminan
yang diperlukan oleh Bank sebagai kreditur sebagai dasar penilaian atas
keyakinan akan kemampuan debitur dalam membayar hutangnya. Pemenuhan
kewajiban debitur untuk membayar hutangnya dapat dipaksa dengan jalan
eksekusi barang jaminan melalui penjualan lelang oleh kreditur atau melalui
pengadilan, apabila debitur ingkar janji atau wanprestasi atas perjanjian.
Berdasarkan Pasal 1243 jo. Pasal 1763 KUHPer, faktor cidera janji atau
wanprestasi oleh debitur adalah sebagai berikut:
1. lalai memenuhi perjanjian; atau
2. tidak menyerahkan atau membayar dalam jangka waktu yang ditentukan;
atau
3. tidak berbuat sesuai yang dijanjikan dalam tenggang waktu yang
ditentukan; atau
4. tidak mengembalikan pinjaman sesuai dengan jumlah pinjaman dalam
waktu yang ditentukan.
Dalam hal hasil eksekusi barang jaminan melebihi nilai penjaminan,
maka kreditor wajib mengembalikan kelebihan tersebut kepada debitor.
Namun apabila hasil eksekusi tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran
utang, maka debitor tetap bertanggung-jawab atas utang yang belum terbayar.
Pemenuhan kewajiban debitur atas utang yang belum terbayar tersebut
dilakukan melalui gugatan perdata sesuai ketentuan Pasal 1131 KUHPer.
Bertitik tolak dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku
pada saat ini, perjanjian kredit dilindungi dengan jaminan yang memilki hak
preferensi dan separatis, yaitu :
1. Hak Tanggungan (HT) berdasarkan Undang-Undang nomor 4 tahun 1996.

28
2. Jaminan Fidusia (JF) berdasarkan Undang-Undang nomor 42 tahun 1999.
3. Hak Gadai (Pandrecht) berdasarkan pasal 1150 1161 KUHPer.
4. Hipotek Kapal berdasarkan Pasal 314 KUHD jo. Pasal 1162-1232
KUHPer.
5. Hipotek Pesawat Terbang berdasarkan Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang
nomor 15 tahun 1995 jo Pasal 1162-1232 KUHPer.

Eksekusi Hak Tanggungan


Berdasarkan Pasal 20 UUHT, eksekusi hak tanggungan dapat dilakukan
dengan 2 (dua) cara, yaitu:
1. Eksekusi Hak Tanggungan melalui pelelangan umum menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku; Dasar hukum eksekusi ini adalah Pasal
20 ayat (1) UUHT, yang menyatakan :apabila debitor cidera janji, maka
berdasarkan :
a. Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual obyek Hak
Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6, atau
b. Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertipikat Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 ayat (2), obyek Hak
Tanggungan dijual melalui pelelangan umum menurut tata cara yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan untuk pelunasan
piutang pemegang Hak Tanggungan dengan hak mendahulu dari pada
kreditor-kreditor lainnya.
Berdasarkan Pasal 6 UUHT, maka Pemegang Hak Tanggungan
pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan
piutangnya dari hasil penjualan tersebut apabila debitor cidera janji.
Menurut ketentuan pasal 14 ayat (2) UUHT dinyatakan bahwa Sertipikat
Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. Maksud dari
pemberian irah-irah DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA adalah untuk memberikan kekuatan

29
eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai
kekuatan hukum tetap. Ketentuan eksekusi Hak Tanggungan secara umum
diatur dalam Hukum Acara Perdata, dan secara khusus diatur dalam
UUHT. UUHT mengaktualkan dan mengatur tentang sistem parate
executie dan eigenmachtige verkoop yang digariskan Pasal 1178 KUHPer.
Pasal 1178 KUHPer mengatur pemberian parate eksekusi (parate executie)
kepada pemegang hipotek melalui pemberian pelaksanaan langsung bagi
pemegang hipotek untuk menjual barang obyek hipotek, tanpa melalui
pengadilan. Agar hak tersebut melekat pada diri pemegang hipotek dan
pelaksanaannya sah menurut hukum, maka di dalam akta hipotek harus
dicantumkan secara tegas mengenai klausul eigenmachtige verkoop (the
right to sale).
Eigenmachtige verkoop adalah pemberian hak dari debitur kepada
kreditur untuk menjual sendiri obyek hipotek tanpa melalui pengadilan
apabila debitur wanprestasi, yang didasarkan atas kesepakatan. Parate
eksekusi berdasarkan pasal 1178 KUHPer telah menyingkirkan ketentuan
pasal 224 HIR tentang campur tangan Pengadilan Negeri. Parate Eksekusi
dengan eigenmachtige verkoop dianut oleh UUHT dimana hak menjual atas
kekuasaan sendiri tersebut baru melekat apabila dinyatakan secara tegas
dalam Akta Pemberian hak Tanggungan (APHT). Prosedur eksekusi dalam
pelelangan dilakukan berdasarkan Peraturan Lelang (LN 1908-215) jo.
Pasal 200 HIR sebagai berikut :
1. Pelaksanaan dilakukan dengan cara:
Penjualan di muka umum;
dilakukan dengan perantara atau bantuan kantor lelang;
cara penjualan dengan penawaran meningkat atau menurun;
2. penawaran secara tertulis.
3. Pemberitahuan kepada debitur paling lambat 30 (tiga puluh) hari dari
tanggal pelelangan.
Penjualan melalui pelelangan dapat dihindarkan dengan pelunasan
utang (yang dijamin dengan Hak Tanggungan) dan biaya-biaya eksekusi

30
yang telah dikeluarkan sampai sebelum saat pengumuman untuk lelang
dikeluarkan. (pasal 20 ayat (5) UUHT).
2. Eksekusi Hak Tanggungan melalui penjualan di bawah tangan
(berdasarkan kesepakatan bersama antara pihak pemberi dan pemegang
Hak tanggungan)
Dasar Hukum eksekusi ini adalah Pasal 20 ayat (2) UUHT, yang
menyatakan: Atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
penjualan obyek Hak Tanggungan dapat dilaksanakan di bawah tangan
jika dengan demikian itu akan diperoleh harga tertinggi yang
menguntungkan semua pihak. Syarat dalam melakukan eksekusi hak
tanggungan dengan penjualan di bawah tangan, yaitu :
1. Penjualan tersebut dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah
pihak (pemberi dan pemegang Hak Tanggungan);
2. Bentuk kesepakatan harus tertulis;
3. Diperkirakan dapat memperoleh harga yang lebih baik (the best price
reasonably obtainable);
4. Pelaksanaan penjualan harus dilakukan dengan cara:
a. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1
(satu) bulan dari tanggal pemberitahuan secara tertulis oleh
pemberi dan/atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak
yang berkepentingan;
b. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar
setempat;
c. Tidak ada pihak yang menyatakan keberatan.

Eksekusi Jaminan Fidusia


Eksekusi jaminan fidusia dapat dilakukan dalam hal pemberi fidusia
(debitor) berada dalam keadaan cidera janji (wanprestasi). Pemberi Fidusia
wajib menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia dalam
rangka pelaksanaan eksekusi Jaminan Fidusia. Apabila pemberi fidusia tidak
menyerahkan benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia pada waktu

31
eksekusi dilaksanakan, penerima fidusia berhak mengambil benda yang
menjadi obyek Jaminan Fidusia dan apabila perlu dapat meminta bantuan
pihak yang berwenang.
Pada saat eksekusi telah sah untuk dilakukan, maka undang-undang
memberi hak kepada Penerima Fidusia dalam kedudukan dan kapasitasnya
sebagai legal owner untuk mengambil penguasaan obyek Jaminan Fidusia.
Tata cara eksekusi jaminan fidusia dilakukan melalui :
1. Pelelangan Umum. UU Fidusia melindungi hak penerima fidusia untuk
menjual benda obyek fidusia atas kekuasaannya sendiri sehingga tidak
diperlukan adanya klausul eigenmachtige verkoop sebagaimana terdapat
dalam eksekusi hak tanggungan. Eksekusi obyek jaminan fidusia
dilaksanakan oleh penerima fidusia tanpa intervensi dari Pengadilan
Negeri. Penerima Fidusia dapat langsung melakukan penjualan obyek
jaminan fidusia. Penjualan tersebut harus dilakukan melalui pelelangan
umum oleh kantor lelang/ pejabat lelang. Penerima Fidiusia berhak
mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan tersebut dengan
mengesampingkan kreditor konkuren berdasarkan hak preferen yang
dimilikinya.
2. Penjualan di Bawah Tangan. Syarat dalam melakukan eksekusi obyek
jaminan fidusia melalui penjualan di bawah tangan, yaitu :
a. Penjualan tersebut harus berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak
(pemberi dan penerima fidusia);
b. Dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;
c. Pelaksanaan penjualan hanya dapat dilakukan setelah lewat 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada pihak-pihak yang
berkepentingan;
d. Diumumkan sedikit-dikitnya melalui 2 (dua) surat kabar setempat

32
KASUS
Pelaksanaan Perjanjian Kredit dengan Jaminan Fidusia atas
Kendaraan Bermotor Pada BPR MAA Semarang

a. Deskripsi Kasus
Dalam pengajuan permohonan kredit pada BPR MAA Semarang pada
prinsipnya mengandung asas umum hukum perdata, yaitu adanya asas
kesepakatan diantara para pihak, yaitu pihak debitor dan pihak Bank.
Ada beberapa tahapan dimana di setiap tahapan terdapat syarat-syarat
yang telah ditentukan oleh pihak BPR MAA dalam permohonan kredit.
Tahapan-tahapan tersebut yaitu sebagai berikut:
1. Pengajuan kredit
2. Penilaian kredit; 5C (Character, Capacity, Capital, Codition of economy,
dan Collateral)
3. Pengambilan keputusan
4. Realisasi
5. Proses terjadinya jaminan fidusia
6. Pengawasan
7. Pembinaan
Dalam perjanjian kredit, jaminan yang digunakan adalah jaminan
fidusia. BPR MAA Semarang mempunyai aturan internal sendiri, yaitu nilai
kredit di bawah 100 juta pembebanan jaminan fidusia hanya melalui akta
notaris dan tidak didaftarkan ke KPF, sedangkan nilai kredit di atas 100 juta
pembebanan melalui akta notaris dan didaftarkan ke KPF.
Faktor-faktor yang mempengaruhi tidak didaftarkannya jaminan
fidusia yang nilainya di bawah 100 juta adalah sebagai berikut:
a. Pendaftaran fidusia memerlukan biaya yang mahal;
b. Diperlukannya proses yang cepat oleh BPR MAA Semarang dalam
pengurusan yang terkait dengan pemberian kredit;

33
c. Pihak BPR MAA Semarang menganggap tidak perlu sesegera mungkin
untuk mendaftarkan barang jaminan fidusia.
Padahal berdasarkan Pasal 11 UUF, benda yang dibebani dengan
jaminan fidusia wajib didaftarkan. Dalam pasal tersebut tidak dicantumkan
nilai nominal benda yang dijaminkan dengan jaminan fidusia harus
didaftarkan. Atau dengan kata lain, setiap benda yang dijaminkan dengan
jaminan fidusia berapapun nilainya wajib didaftarkan.
Hal demikian akan mengakibatkan hilangnya hak dari BPR MAA
Semarang, yaitu bila debitor wanprestasi maka kreditur tidak dapat menuntut
secara hukum.

b. Analisis Kasus
Untuk kredit yang nilainya lebih dari 100 juta, dalam prakteknya BPR
MAA Semarang telah memenuhi ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal
11 ayat (1) UUF. Dalam Pasal 11 ayat (1) UUF dinyatakan bahwa benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Oleh karena telah
memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 11 ayat (1) UUF, maka
kedudukan BPR MAA Semarang sebagai kreditor preferen yang mempunyai
hak untuk didahulukan daripada kreditor yang lain.
Namun untuk nilai kredit yang kurang dari 100 juta dan dibuat dengan
akta notaris oleh BPR MAA Semarang hanya memenuhi ketentuan dalam
Pasal 5 ayat (1), yaitu bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia
dibuat dengan akta notaris dalam Bahasa Indonesia dan merupakan akta
jaminan fidusia.
Akan tetapi, oleh karena hanya dibuat dengan akta notaris dan tidak
didaftarkan, maka perjanjian tersebut bukan merupakan perjanjian fidusia
tetapi hanya merupakan perjanjian hutang piutang biasa. Akibatnya
kedudukan BPR MAA Semarang hanya sebagai kreditor konkuren saja.
Apabila di kemudian hari debitor wanprestasi, maka pihak BPR MAA
Semarang selaku kreditur akan mengalami kesulitan dalam pelaksanaan
eksekusi bila tidak segera mungkin mendaftarkannya ke KPF.

34
Perjanjian jaminan fidusia itu sendiri dapat sempurna, bila dibuat
dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia. Selanjutnya para pihak dan
notaris serta pejabat yang berkompeten harus mempunyai pengertian yang
sama dan bekerja sama dengan baik dalam menjalankan ketentuan undang-
undang secara tegas dan konsekuen dengan tidak menunda dalam
mendaftarkan jaminan fidusia tersebut.
Dengan tidak didaftarkannya benda yang dijaminkan dengan jaminan
fidusia, maka kreditur tidak menikmati hak mendahului yang biasanya
didapat dari perjanjian penjaminan sesuai UUF.
Dalam hal terjadi kredit macet, penyelesaiannya pun berbeda antara
yang didaftarkan atau tidak didaftarkan ke KPF. Bagi jaminan fidusia yang
tidak didaftarkan, kreditur tidak bisa menggunakan titel eksekusi yang
lazimnya dinikmati kreditur pemegang fidusia. Kreditur hanya dapat
mengajukan gugatan perdata terhadap debitor.

c. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik
kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam praktek, untuk pinjaman kurang dari 100 juta, BPR MAA
Semarang hanya menggunakan akta notaris dalam pembebanan jaminan
fidusia. Namun, apabila jumlah pinjaman lebih dari 100 juta, maka BPR
MAA Semarang melakukan pembebanan jaminan fidusia dengan akta
notaris yang kemudian didaftarkan ke KPF.
2. Langkah-langkah yang ditempuh oleh BPR MAA Semarang pada akhirnya
akan berakibat pada penyelesaian di luar jalur hukum yang bersifat non-
yuridis. Hal tersebut dapat menimbulkan permasalahan hukum baru bagi
pihak BPR MAA Semarang, diantaranya dapat dituduh melakukan
perbuatan melawan hukum apabila dalam melakukan eksekusi memakai
cara-cara kekerasan dan pemaksaan yang tidak sesuai dengan hukum yang
berlaku. Akan tetapi apabila dalam pembebanan fidusia mengacu pada
UUF, permasalahan tersebut tidak akan terjadi.

35

Anda mungkin juga menyukai