Anda di halaman 1dari 7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pembangunan perikanan budidaya di Indonesia secara umum telah mampu


meningkatkan produksi pada berbagai bidang usaha yang dikembangkan.
Produksi perikanan dalam periode 2000-2004 mengalami peningkatan rata-rata
per tahun sebesar 5.23% yakni dari 5.107 juta ton pada tahun 2000 menjadi 6.231
juta ton pada tahun 2004. Produksi perikanan tersebut masih didominasi oleh
usaha penangkapan. Rendahnya produksi perikanan budidaya antara lain
disebabkan oleh masih rendahnya manajemen budidaya pada sebagian besar
pembudidaya ikan (Mintohardjo, 2003).
Berbagai upaya untuk meningkatkan produksi akuakultur terus dilakukan
oleh Departemen Kelautan dan Perikanan dengan melaksanakan berbagai macam
program diantaranya, program Intensifikasi Budidaya Ikan (INBUDKAN),
Budidaya Ikan di Pedesaan, Budidaya Ikan Terintegrasi dan lain-lain. Melalui
program ini, teknologi budidaya ikan diintroduksikan dengan tujuan untuk
memperbaiki pelaksanaan budidaya ikan.
Keberhasilan program pengembangan perikanan budidaya sangat
dipengaruhi oleh kesesuaian teknologi yang dianjurkan dengan kebutuhan
pembudidaya ikan. Hal ini disebabkan oleh sifat akuakultur yaitu spesifik lokasi,
sehingga teknologi yang telah diciptakan dengan baik harus diadaptasikan atau
dimodifikasi untuk diaplikasikan di lokasi berbeda guna mengetahui variabilitas
ekonominya (Widodo, 2001).
Perkembangan inovasi dan teknologi di bidang perikanan saat ini kian
berkembang cukup pesat, oleh karena itu diperlukan sebuah kegiatan untuk
melakukan perubahan-perubahan kepada masyarakat. Salah satu upaya
melaksanakan perubahan tersebut diperlukan kegiatan penyuluhan (Van Den Ban
dan Hawkins, 1999; Wiramiharja et.al. 2007). Penyuluhan sangat diperlukan
dalam pengembangan masyarakat agar mampu mandiri. Penyuluhan berperan
penting untuk meningkatkan kesejahteraan melalui perubahan perilaku dalam
berusaha, berbisnis dan bermasyarakat (Slamet, 2003).
Pengembangan akuakultur pada lokasi yang berbeda dipengaruhi oleh
sejumlah pembatas diantaranya faktor biologi, ekonomi dan sosial (Widodo,
2001). Selain itu, faktor lainnya adalah kesediaan pembudidaya ikan untuk
mengadopsi teknologi budidaya ikan yang dianjurkan. Kesediaan untuk
melakukan adopsi atau tidak akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
keluaran program yang dikembangkan itu sendiri (Kusai, 1996).
Kabupaten Purbalingga merupakan salah satu sentra pembesaran ikan
gurame di kawasan Eks Karesidenan Banyumas. Program pengembangan
budidaya ikan berikut introduksi teknologi pembesaran ikan gurami telah
dilakukan sejak lama. Namun hingga saat ini informasi mengenai tingkat adopsi
teknologi belum banyak diketahui. Oleh karena itu, penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan untuk mendapatkan informasi mengenai tingkat adopsi teknologi
pembesaran ikan gurami yang ada dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Penelitian ini diharapkan dapat dipergunakan sebagai bahan masukan bagi
pengambil kebijakan untuk menyempurnakan program-program yang terkait
dengan penyediaan paket teknologi.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan di dua kecamatan yaitu Kemangkon dan
Purbalingga. Pemilihan kecamatan dilakukan secara sengaja (purposive
sampling) dengan kriteria bahwa kabupaten tersebut merupakan sentra
pembesaran ikan gurami di Kabupaten Purbalingga. Penelitian dilaksanakan pada
bulan Februari hingga April 2006.

B. Metode Penelitian
Data primer yang dikumpulkan mencakup data karakteristik internal dan
eksternal responden (pembudidaya ikan). Karakteristik internal responden
mencakup data umur, pendidikan formal, pendidikan non formal, pendapatan,
jumlah tanggungan, alasan melakukan usaha, frekuensi interaksi dengan
penyuluh perikanan. Data primer diperoleh dengan wawancara terhadap
responden menggunakan pertanyaan terstruktur yang bertujuan untuk mengetahui
tingkat adopsi teknologi budidaya ikan dan keeratan hubungan antara karakteristik
internal responden dengan tingkat adopsi.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran Ikan Gurami


Penentuan tingkat adopsi dijabarkan secara perorangan dan bersama-sama
yang menunjukkan bahwa tingkat adopsi secara perorangan di kedua lokasi
penelitian secara umum masuk dalam kategori sedang. Hasil penilaian tingkat
adopsi secara perorangan ini sangat konsisten dengan penilaian secara bersama-
sama (kolektif), dimana skor total untuk Kecamatan Purbalingga maupun
Kemangkon hampir sama yaitu 2.96. Ini berarti bahwa paket teknologi anjuran
tidak seluruhnya diadopsi oleh pembudidaya ikan di kedua daerah tersebut.

Tabel 1. Sebaran Responden menurut tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran


Ikan Gurami
No Tingkat Jumlah Responden
Adopsi
Purbalingga Kemangkon

Jumlah Persen Jumlah Persen


Responden Responden Responden Responden
(%) (%)
1. Rendah 6 17.14 5 14.28

2. Sedang 28 80 29 68.57

3. Tinggi 1 2.86 1 2.86

Jumlah 35 100 35 100

4.2. Hubungan Antara Karakter Internal dan Eksternal Pembudidaya


Dengan Tingkat Adopsi Teknologi Pembesaran Ikan Gurami
Hubungan antara pendidikan formal responden dengan tingkat adopsi
pembesaran ikan gurami terlihat berpengaruh sangat nyata di daerah kecamatan
Purbalingga. Artinya semakin tinggi tingkat pendidikan formal responden,
semakin tinggi pula tingkat adopsinya. Hal ini diduga pembudidaya ikan yang
berpendidikan lebih tinggi relatif lebih cepat melaksanakan adopsi inovasi dan
sebaliknya pembudidaya yang berpendidikan rendah lebih sulit untuk melakukan
adopsi inovasi dengan cepat.
Sedangkan untuk kecamatan Kemangkon pendidikan formal memiliki
hubungan negatif dengan tingkat adopsi. Kecenderungan ini disebabkan di daerah
tersebut usia responden relatif berusia lanjut dan telah melakukan kegiatan
pembesaran ikan gurami cukup lama sehingga merasa bahwa teknologi anjuran
tidak perlu diikuti.
Hubungan antara pendidikan non formal dikedua lokasi mempunyai
hubungan nyata. Adanya pengaruh mengindikasikan bahwa wawasan,
pengetahuan dan keterampilan responden menyangkut teknologi anjuran cukup
memadai. Pendidikan non formal yang pernah diikuti responden mampu
mendorong mental untuk menerima inovasi yang menguntungkan dapat
diciptakan.
Sedangkan untuk variabel lain yaitu pendapatan di kecamatan Purbalingga
menunjukkan semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin rendah tingkat
adopsinya. Berbeda halnya dengan di kecamatan Kemangkon, semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula tingkat adopsinya. Perbedaan pendapatan
pada kedua daerah tersebut dipengaruhi oleh luasan kolam yang dimiliki.
Hubungan antara alasan melakukan usaha dengan tingkat adopsi untuk di
kecamatan Purbalingga dan Kemangkon sangat erat. Artinya semakin kuat alasan
melakukan usahanya maka semakin tinggi tingkat adopsinya. Alasan utama
responden adalah untuk pemenuhan kebutuhan keluarga, sehingga usaha budidaya
ikan merupakan usaha pokok responden.

Tabel 2. Nilai koefisien korelasi menurut Rank Spearman dari hubungan


karakteristik internal responden dengan tingkat adopsi teknologi
pembesaran ikan gurami
No Karakteristik Internal Responden Nilai rs
Purbalingga Kemangkon
1. Umur 0.188 0.021
2. Pendidikan formal 0.457 -0.167
3. Pendidikan non formal 0.402* -0.422*
4. Pendapatan -0.105 0.273
5. Jumlah tanggungan keluarga -0.045 -0.266
6. Alasan melakukan usaha 0.557* 0.157
7. Frekuensi interaksi dengan penyuluh 0.273 0.118
perikanan
Keterangan : * = signifikan (nilai kritis adalah 0.325 pada taraf signifikan 0.05.
+/- = memiliki hubungan nyata
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa tingkat adopsi


teknologi pembesaran ikan gurami tergolong kategori sedang. Karakteristik
internal yang berpengaruh terhadap tingkat adopsi di kecamatan Purbalingga
adalah pendidikan formal dan pendidikan non formal, pendapatan dan alasan
melakukan usaha. Sedangkan hubungan karakteristik internal yang berpengaruh
di wilayah Kemangkon adalah pendapatan.

Anda mungkin juga menyukai