Anda di halaman 1dari 8

LAPORAN PENDAHULUAN

KEJANG DEMAM PADA ANAK


DI RUANG ALEXANDRI
RSUD Dr. H. Moch. Anshari Saleh BANJARMASIN

Disusun oleh :
AKHMADI
(PO.62.20.1.15.112)

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia


Politeknik Kesehatan Kemenkes Palangka Raya
Jurusan Keperawatan
Prodi DIV Keperawatan Reguler II
2017
A. Pengertian
Kejang demam dalah bangkitan kejang yang terjadi pad kenaikan suhu
tubuh (suhu rektal diatas 38'C) tanpa adanya infeksi susunan syaraf pusat,
gangguan elektrolit atau metabolik lain. Kejang demam kampleks adalah
kejang yang berlangsung kurang dari 15 menit, bersifat fokal atau parsial
insisi kejang umum didahului kejang fokal dan berulang lebih dari 1 kali
dalam 24 jam (Amid dan Hardhi, NANDA NIC-NOC, 2013).
Kejang demam merupakan gangguan transien pada anak yang
terjadi bersamaan dengan demam. Keadaan ini merupakan salah satu
gangguan neurologik yang paling sering dijumpai pada anak-anak dan
menyerang sekitar 4% anak. Kebanyakan serangan kejang terjadi setelah usia
6 bulan dan biasanya sebelum usia 3 tahun dengan peningkatan frekuensi
serangan pada anak-anak yang berusia kurang dari 18 bulan. Kejang demam
jarang terjadi setelah usia 5 tahun. (Dona L.Wong, 2008).

B. Etiologi
Demam sering disebakan oleh infeksi saluran pernafasan atas, otitis
medis, pneumonia, gastroenteritis,ISK. Kejang tidak selalu timbul pada suhu
yang tinggi. Kadang-kadang demam yang tidak begitu terlalu tinggi dapat
menyebabkan kejang. Penyebab terjadi demam juga bisa dikarenakan oleh
efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap
otak. Respons alergi atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi,
perubahan kesimbangan cairan elektrolit. Ensefaitis viral (radang otak akibat
virus) yang ringan yang tidak diketahui atau ensefalopati toksik sepintas.
C. KLASIFIKASI KEJANG
1. Kejang Parsial (Fokal, Lokal)
a. Kejang Parsial Sederhana
Kesadaran tidak terganggu, dapat meliputi satu atau kombinasi dari
hal-hal berikut :
1) Tanda motorik kedutan pada wajah, tangan, atau suatu bagian
tubuh, biasanya gerakan yang sama terjadi pada setiap kejang,
dan dapat menjadi merata.
2) Tanda dan gejala otomatis muntah, berkeringat, wajah merah,
dilatasi pupil.
3) Gejala-gejala somatosensori atau sensori khusus mendengar
suara musaik, merasa jatuh dalam suatu ruang, parestesia.
4) Gejala-gejala fisik dj vu (sepertiga siaga), ketakutan,
penglihatan panoramik. (Betz, 2009)
b. Kejang Parsial Kompleks
1) Gangguan kesadaran, walaupun kejang dapat dimulai sebagai
suatu kejang parsial sederhana.
2) Dapat melibatkan gerakan otomatisme atau otomatis bibir
mengecap, mengunyah, mengorek berulang, atau gerakan
tangan lainnya.
3) Dapat tanpa otomatisme tatapan terpaku. (Betz, 2009)
2. Kejang Menyeluruh (Konvulsif atau Nonkonvulsif)
a. Kejang Lena
1) Gangguan kesadaran dan keresponsifan.
2) Dicirikan dengan tatapan terpaku yang biasanya berakhir
kurang dari 15 detik.
3) Awitan dan akhir yang mendadak, setelah anak sadar dan
mempunyai perhatian penuh.
4) Biasanya dimulai antara usia 4 dan 14 tahun dan sering hilang
pada usia 18 tahun. (Betz, 2009)
b. Kejang Mioklonik
1) Hentakan otot atau kelompok otot yang mendadak dan
involunter.
2) Sering terlihat pada orang sehat saat mulai tidur, tetapi bila
patologis melibatkan hentakan leher, bahu, lengan atas, dan
tungkai secara sinkron.
3) Biasanya berakhir kurang dari 5 detik dan terjadi berkelompok.
4) Biasanya tidak ada atau hanya terjadi perubahan tingkat
kesadaran singkat. (Betz, 2009)
c. Kejang Tonik-klonik (grand mal)
1) Dimulai dengan kehilangan kesadaran dan bagian tonik, kaku
otot ekstremitas, tubuh, dan wajah secara keseluruhan yang
berakhir kurang dari satu meit, sering didahuluioleh suatu aura.
2) Kemungkinan kehilangan kendali kandung kemih dan usus.
3) Tidak ada respirasi dan sianosis.
4) Bagian tonik yang diikuti dengan gerakan klonik ekstremitas
atas dan bawah.
5) Letargi, konfusi, dan tidur pada fase postictal. (Betz, 2009)
d. Kejang Atonik
1) Kehilangan tonus tiba-tiba yang dapat mengakibatkan turunnya
kelopak mata, kepala terkulai, atau orang tersebut jatuh ke
tanah.
2) Singkat dan terjadi tanpa peringatan. (Betz, 2009)
e. Status Epileptikus
1) Biasanya kejang tonik-klonik, menyeluruh yang berulang.
2) Kesadaran antara kejang tidak didapat.
3) Potensial depresi pernapasan, hipotensi, dan hipoksia.
4) Memerlukan penanganan medis darurat segera. (Betz, 2009)

C. Patofisiologi
Penyebaran toksik keseluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus
dengan menaikan suhu diipotalamus sebagai tanda tubuh mengalami bahaya
secara isemik. Naiknya pengaturan suhu dihipotalamus akan merangsang
kenaikan ssuhu dibagian tuuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi
peningkatan kontraksi otot.
Naiknya suhu dihipotalamus, otot, kulit dan jaringn tubuh yang lain
akan disertai pengeluaran mediator kimia seperti ephineprin dan
prostaglandin. Pengeluaran mediator kimia ini dapat merangsang
peningkatan potensial oksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah yang
merangsang perpindahan ion natrium ion kalsium dengan cepat dari luar sel
menuju kedalam sel. Peristiwa inilah yang menaikan fase depolarisasi neuron
dengan cepat sehingga timbul kejang.

D. Tanda dan gejala


Kejang demam biasanya terjadi pada awal demam. Seiring diperkirakan
bahwa cepatnya peningkatan temperatur merupakan pencetus terjadinya
kejang. Umumnya serangan tonik klonik, awalnya dapat berupa menangis
kemudian tidak sadar dan timbul kekakuan otot. Semua fase tonik klonik
disertai dengan henti nafass dan inkontinesia. Kemudian diikuti fase tonik
klonik berulang, ritmik dan setelah kejang latergi atau tidur.
Bentuk kejang lain adalah mata terbalik keatas dengan kekauan atau
kelemahan otot, gerakan sentakan berulang tanpa didahului kekakuan atau
hanya sentakan atau kekakuan fokal. Sebagian berlangsug <5 menit.

E. Komplikasi
1. Kerusakan sel otak
2. Penurunan IQ pada kejang demam yang berlangsung lama lebih dari 15
menit
3. Kelumpuhan

F. Pathway

Infeksi pada bronkus tonsil, telinga

Toksik mikroorganisme menyebar


secara hematogen dan limfogen

Kenaikan suhu dihipotalamus dan


jaringan lain hipertermi

Pelepasan mediator kimia oleh neuron seperti


Prostglandin, epineprin

Kenaikan potensial memberan

Peningkatan masukan ion natrium ion kalium


Penurunan respon Spasmakealam sel neuron
otot mulut, lidah,
Resiko cidera
rangsangan dari luar Dengn cepat Resikopenyempitan
bronkus
dan
penutupan jalan nafas
H. Pemeriksaan Penunjang
Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien dengan
kejang demam adalah meliputi:
1. Elektro encephalograft (EEG)
Untuk pemeriksaan ini dirasa kurang mempunyai nilai
prognostik. EEG abnormal tidak dapat digunakan untuk menduga
kemungkinan terjadinya epilepsi atau kejang demam yang berulang
dikemudian hari. Saat ini pemeriksaan EEG tidak lagi dianjurkan
untuk pasien kejang demam yang sederhana. Pemeriksaan
laboratorium rutin tidak dianjurkan dan dikerjakan untuk
mengevaluasi sumber infeksi.
2. Pemeriksaan cairan cerebrospinal
Hal ini dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya
meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Pada bayi yang masih kecil seringkali gejala meningitis tidak jelas
sehingga harus dilakukan lumbal pungsi pada bayi yang berumur
kurang dari 6 bulan dan dianjurkan untuk yang berumur kurang
dari 18 bulan.
3. Darah
a. Glukosa Darah : Hipoglikemia merupakan predisposisi kejang
(N < 200 mq/dl)
b. BUN : Peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan
merupakan indikasi nepro toksik akibat dari pemberian obat.
c. Elektrolit : K, Na
Ketidakseimbangan elektrolit merupakan predisposisi kejang
1) Kalium ( N 3,80 5,00 meq/dl )
2) Natrium ( N 135 144 meq/dl )
4. Cairan Cerebo Spinal : Mendeteksi tekanan abnormal dari CCS
tanda infeksi, pendarahan penyebab kejang.

G. Penatalaksanaan
1. Saat timbul kejang maka anak diberikan diazepam intravena secara
perlahan dosis rata-rata 0,3 mg/ kg BB/ kali pemberian 5mg pada anak <5 th
dan maksimal 10mg pada anak yang berumur >5th.
2. Pemberian jalan nafas dengan cara kepala dalam posisi hiperektensi
miring, pakaian dilonggarkan dan penhisap lendir. Bila tidak membaik
dapat dilakukan inkubasi endotrakeal atau trakeostomi
3. Pemberian oksigen untuk membatu kecukupan pertusis jaringan
4. Pemberian cairan intravena untuk mencukupi kebutuhan dan memudahkan
dalam pemberian terapi intravena. Dalam pemberian cairan intravena
pemantauan intake dan output cairan selama 24 jam perlu dilakukan
5. Pemberian kompres air es untuk membantu menurunkan suhu tubuh.
Kompres diletakan pada jaringan penghantar panas yang banyak seperti
ketiak, leher, lipatan paha.
6. Apabila terjadi peningkatan cairan intrakranial maka perlu diberikan obat-
obatan untuk mengurangi edema otak seperti dexsametason 0,5-1 ampul
setiap 6 jam sampai keadaan membaik.
7. Untuk pengobatan rumatan setelah pasien bebas kejang pasca pemberian
diazapam diberikan obat fenobarbital.
8. Pengobatan penyebab karena yang menjadi penyebab timbulnya kejang
adalah kenaikan suhu tubuh infeksi seperti ditelinga, saluran pernafasan
tonsil maka dilakukan pemeriksaan labolatorium, seperti:
a. Laboratorium darah tepi lengkap (Hb, Hf, Leukosit, trombosit)
b. Fungsi lumbal, untuk meneliti kecurigaan menengitis
c. CT Scan untuk mengidentifikasi lesi cerbral
d. EEG untuk membuktikan jenis kejang fokal / gangguan difusi otak
akibat lesi organik.

Anda mungkin juga menyukai