Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau
dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi
menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks
imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V
atau stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).
sistem imun
BAB II
PEMBAHASAN
v Usia
Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Sebagai contoh seseorang
bagi yang lahir secara prematur dan semua bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi. Resiko penyakit
jantung meningkat seiring usia untuk wanita dan pria. Pada usia 45 tahun atau lebih, terdapat resiko yang lebih
besar untuk timbulnya kanker.
Faktor usia sering dihubungkan dengan faktor resiko lainnya,seperti riwayat keluarga dan kebiasaan pribadi.
Perawat harus menekankan pentingnya pemeriksaan berkala untuk kelompok usia tertentu. Otoritas di
amerika serikat telah memberikan rekombenasi jadwal skrining kesehatan, imunisasi, dan konseling.
Orang-orang yang berada pada kedua ujung rentan usia lebih rentang usia lebih besar kemungkinannya untuk
menghadapi masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi sistem imun ketimbang orang-orang yang
berusia dibawah rentang tersebut. Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia
lanjut dan peningkatan ini mungkin disebabkan oleh penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai
terhadap mikroorganisme yang menginvasinya. Produksi maupun fungsi limfosit T dan B dapat terganggu.
Insidensi penyakit autoimun juga meningkat bersamaan dengan pertambahan usia; hal ini mungkin terjadi
akibat penurunan kemampuan antibodi untuk membedakan antara diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Kegagalan sistem surveilans untuk mengenali sel-sel yang abnormal atau yang mengalami mutasi mungkin
bertanggung jawab atas tingginya insidensi penyakit kanker yang berkaitan dengan pertambahan usia.
Penurunan fungsi berbagai sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga turut menimbulkan
gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal untuk
berproliferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis serta diare.
Penurunan pada sirkulasi renal, fungsi fitrasi, absorpsi dan ekskresi turut menyebabkan infeksi saluran kemih.
Lebih lanjut, pembesaran kelenjar prostat dan neurogenic bladder dapat menghambat pengaliran urin serta
selanjutnya klirens (pembersihan) bakteri lewat sistem urinarius. Stasis urin yang lazim terjadi pada kaum
lanjut usia akan memudahkan pertumbuhan mikroorganisme.
Pajanan terhadap tembakau dan toksin lingkungan akan mengganggu fungsi paru. Pajanan yang lama
terhadap kedua agens ini akan menurunkan elasrisitas jaringan paru, keefektifitas silia dan kemampuan batuk
yang efektif. Semua gangguan ini akan menghalangi pengeluaran mikroorganisme yang infeksius dan toksin
sehingga kerentanan lansia terhadap penyakit infeksi serta kanker paru semakin meningkat.
Akhirnya, bersamaan dengan pertambahan usia, kulit akan menjadi tipis dan tidak begitu elastis lagi.
Neuropati perifer dan penurunan sensibilitas serta sirkulasi yang menyertainya dapat menimbulkan ulkus
statis, dekubitus, ekskoriasi dan gejala luka bakar. Gangguan integritas kulit merupakan faktor predisposisi
yang memudahkan orang tua untuk mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang merupakan bagian dari flora
kulit yang normal.
v Lingkungan
Tempat dan kondisi lingkungan kita ( udara, air, dan tanah) akan menentukan cara hidup, makanan, agen
genetik, keadaan kesehatan, dan kemampuan kita untuk beradaptasi ( murray dan zentner, 2001). Lingkungan
fisik tempat seseorang bekerja atau berdiam dapat meningkatkan kecendrungan terjadinya suatu penyakit.
Sebagai contoh, beberapa jenis kanker lebih mungkib timbul jika pekerja industri terpajan pada zat kimia
tertentu atau jika masyarakat berdiam di dekat lokasi limbah beracun. Penilaian keperawatan meluas dari
individu ke keluarga dan kumonitas sekitarnya ( murray dan zentner, 2001)
v Gaya hidup
Banyak kegiatan, kebiasaan, dan praktik yang melibatkan faktor resiko. Praktik gaya hidup dan tingkah laku
dapat memiliki efek positif atau pun efek negatif terhadap kesehatan. Praktik dengan efek yang negatif
merupakan faktor resiko. Beberapa kebiasaan merupakan faktor resiko bagi penyakit tertentu.
Sebagai contoh, berjemur di sinar matahari secara berlebihan akan meningkatkan resiko kanker kulit, dan berat
badan yang berlebihan akan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Mokdad, et al. (2004)
mengidentifikasi faktor resiko tingkah laku yang dimodifikasi sebagai penyebab kematian utama di amerika
serikat.
Analisis mereka menunjukkan bahwa walaupun merokok adalah penyebab utama kematian, diet buruk dan
kurangnya aktivitas fisik dapat menggantikan posisi ini. Data ini menekankan pentingnya layanan pencegahan.
Informasi ini juga memperlihatkan dampak yang besar pada ekonomi dari sistem layanan kesehatan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk memahami dampak tingkah laku gaya hidup terhadap status kesehatan.
v Stres
Stres merupakan faktor risiko gaya hidup jika ia cukup berat atau berkepanjangan atau jika individu tersebut
tidak dapat mengatasi suatu kejadian hidupnya secara adekuat. Stres mengancam kesehatan mental (stres
emosional) dan juga kesejahteraan fisik (stres fisiologis). Keduanya dapat berperan terhadap timbulnya
penyakit dan mempengaruhi kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang berkaitan dengan penyakit
dan juga kemampuan untuk bertahan dari penyakit yang mengancam jiwa.
Stres juga mengganggu aktivitas promosi kesehatan dan kemampuan untuk menerapkan modifikasi gaya
hidup yang dibutuhkan. Stres juga mengancam kesejahteraan fisik dan dihubungkan dengan penyakit seperti
penyakit jantung, kanker, dan kelainan gastrointestinal.
v Jender
Kemampuan hormon-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui dengan baik. Ada bukti yang
menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktivitas limfosit T sementara androgen berfungsi untuk
mempertahankan produksi interleukin-2 (IL-2) dan aktivitas sel supresor. Efek hormon seks pada sel-sel B tidak
begitu menonjol.
Estrogen akan mengaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker
CD5 (marker antigenik pada sel B). Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering dijumpai pada wanita ketimbang pada laki-laki.
v Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi sistem imun yang optimal. Gangguan fungsi imun
yang disebabkan oleh defisiensi protein-kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk
sintesis DNA dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan proliferasi sel dan maturasi sel-sel imun.
Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik atau trace element (yaitu, tembaga, besi, mangaan, selenium
atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun. Asam-asam lemak merupakan unsur
pembangun (building blocks) yang membentuk komponen struktural membran sel. Lipid merupakan prekursor
vitamin A, D, E dan K di samping prekursor kolesterol. Baik kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata
akan mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfosit, depresi respon antibodi,
penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositik. Sebagai akibatnya, kerentanan akibat
infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi
yang potensial untuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan
menyebabkan resiko terganggunya repon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.
v Faktor-faktor psikoneuro-imunologik
Bukti dari hasil observasi klinik dan berbagai penelitian pada manusia serta hewan menunjukkan bahwa
respons imun secara parsial di atur dan dimodulasi oleh pengaruh neuroendrokrin (Terr, 1991). Limfosit dan
makrofag memilki reseptor yang dapat bereaksi terhadap neorotranmiter serta hormon-hormon endokrin.
Limfosit dapat memproduksi dan mensekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endorfin. Neuron
dalam otak, khususnya dalam hipotalamus dapat mengenali prostagladin, interferon dan interleukin disamping
histamin dan serotomin yang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana semua sistem biologik lainnya
yang berfungsi untuk kepentingan homeostasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses
psikofisiologik lainnya dan di atur serta dimodulasi oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neura dan endokrin, termasuk perilaku. Jadi,
interaksi sistem saraf dan sistem imun tampaknya bersifat dua arah. Semakin banyak bukti menunjukkan
bahwa parameter sistem imun yang bisa di ukur dapat dipengaruhi oleh strategi biobehavioral yang melibatkan
self-regulation. Contoh strategi ini meliputi teknik-teknik relaksasi serta imajinasi, biofeedback, humor,
hipnosis dan kondisioning.
v Penyakit kanker
Imunosupresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit kanker sendiri bersifat
imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah; antigen ini akan mengikat
antibodi yang beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak menyebar sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel
tumor dapat memiliki faktor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah
penghancurannya oleh limfost T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu
mengenali antigen tumor sebagi unsur yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai destruksi sel-sel yang
malingnan tersebut. Kanker darah seperti Leukimia dan limfoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta
fungsi sel darah putih dan limfosit.
v Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki pada
fungsi sistem imun. Ada empat klasifi
kasi obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotik, kosteroid, obat-obat anti-
inflasi non steroid (NSAID: nonsteroidal antiinflammatory drugs) dan preparatsitotoksit. Penggunaan preparat
ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari keseimbangan yang sangat tipis antara
manfaat terapi dan supresi sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.
v Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan rejeksi alograft. Radiasi
akan menghancurkan limfosik dan menurunkan populasi sel yang diturunkan untuk menggantikannya. Ukuran
atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dapat
mengakibatkan imonusupensi total pada orang yang menerimanya.
v Metabolik
Hormon tertentu nyata dapat mempengaruhi respons imun tubuh. Misalnya: hipoadrenalis dan hipotiroidisme
akan mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap inteksi. Orang dengan pengobatan steroid mudah
mendapatkan infeksi bakteri maupun virus. Steroid tersebut mempunyai khasiat menghambat fagositasis,
produksi antibodi dan menghambat proses radang.
Golongan hormon steroid yaitu hormon kelamin seperti androgen, estrogen dan progesteron.
Diduga merupakan faktor pengubah terhadap respons imun yang tercermin adanya perbedaan jumlah
penderita antara laki-laki dan wanita yang mengindap penyakit imun tertentu.
v Anatomis
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang melapisi permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tsb sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan
suatu rintangan fisik yang efektif. Kulit lebih efektif daripada selaput lendir. Kerusasakan pada permukaan kulit
atau selaput lendir, seseorang mudah teriangkit penyakit.
v Mikrobial
Mikroba yang tidak patogen pada permukaan tubuh baik di luar ataupun di dalam tubuh, akan mempengaruhi
sistem imun. Misalnya bakteri tersebut dibutuhkan untuk produksi "natural antibody". Flora yang tumbuh pada
tubuh dapat kulit membantu menghambat pertumbuhan kuman patogen. Pengobatan dengan antibiotika
dapat mematikan norma flora yang sehingga sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen.
2.5 Mekanisme pertahanan tubuh
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan spesifik dan mekanisme pertahanan non
spesifik.
Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem
imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat
pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel
pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.
Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya
yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda
permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama
dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation.
Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri
atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul
CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi
monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).
Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene
rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit
T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap
antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari
timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.
Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator
terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen
mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel
target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke
tempat antigen berada.
2. Mekanisme pertahanan non spesifik (disebut juga komponen nonadapti / innate atau imunitas alamiah)
Artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non
spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang
merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa
dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel
makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non
spesifik.
Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti
lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.
D. Respon Imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama
sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang saling berinteraksi secara kompleks.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Imunitas).
Dilihat dari beberapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam respon imun yaitu:
1. Respons imun primer
Respons imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan yang pertama kalinya dengan antibodi.
Antibodi yang terbentuk pada respons imun ini kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah
dibanding dengan respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk
sampai timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila disbanding dengan respons imun sekunder.
2. Respons imun sekunder
Pada respons imun ini, antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitas lebih tinggi, serta
fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena sel memori yang yang
terbentuk pada respons imun primer akancepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas seluler, sel limfosit T akan
lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdeferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak
terbentuk sel efektor dan sel memori (Ranuh, 2001).