Anda di halaman 1dari 13

Reaksi Hipersensitivitas

Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan atau
dikenal sebelumnya. Reaksi hipersensitivitas terdiri atas berbagai kelainan yang heterogen yang dapat dibagi
menurut berbagai cara (Baratawidjaja, 2009).
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks
imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V
atau stimulatory hypersensitivity (Arwin dkk, 2008).

1 Hipersensitivitas Tipe I (Hipersensitivitas Tipe Cepat Atau Anafilataksis)


Reaksi hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi alergi yang terjadi karena terpapar antigen spesifik yang dikenal
sebagai alergen. Terpapar dengan cara ditelan, dihirup, disuntik, ataupun kontak langsung. Perbedaan antara
respon imun normal dan hipersensitivitas tipe I adalah adanya sekresi IgE yang dihasilkan oleh sel plasma.
Antibodi ini akan berikatan dengan respetor IgE pada permukaan jaringan sel mast dan basofil. Selmast dan
basofil yang dilapisi oleh IgE akan tersensitisasi (fase sensitisasi), karena sel B memerlukan waktu untuk
menghasilkan IgE, maka pada kontak pertama, tidak terjadi apa-apa. Waktu yang diperlukan bervariasi dari 15-
30 menit hingga 10-20 jam. Adanya alergen pada kontak pertama menstimulasi sel B untuk memproduksi
antibodi, yaitu IgE. IgE kemudian masuk ke aliran darah dan berikatan dengan reseptor disel mastosit dan basofil
sehingga sel mastosit atau basofil menjadi tersensitisasi. Pada saat kontak ulang dengan alergen, maka alergen
akan berikatan dengan IgE yang berikatan dengan antibodi di sel mastosit atau basofil dan menyebabkan
terjadinya granulasi (Abbas, 2004).
Degranulasi menyebakan pelepasan mediator inflamasi primer dan sekunder.
1. mediator inflamasi primer yaitu Histamin, yang merupakan mediator primer terpenting, menyebabkan
meningkatnya permeabilitas vaskular, vasodilatasi, bronkokontriksi, dan meningkatnya sekresi mukus. Mediator
lain yang segera dilepaskan meliputi adenosin (menyebabkan bronkokonstriksi dan menghambat agregasi
trombosit) serta faktor kemotaksis untuk neutrofil dan eosinofil. Mediator lain ditemukan dalam matriks granula
dan meliputi heparin serta protease netral (misalnya, triptase). Protease menghasilkan kinin dan memecah
komponen komplemen untuk menghasilkan faktor kemotaksis dan inflamasi tambahan (misalnya, C3a).
2. Mediator Sekunder yaitu Leukotrien C4 dan D4 merupakan agen vasoaktif dan spasmogenik yang dikenal
paling poten; pada dasra molar, agenini beberapa ribu kali lebih aktif daripada histamin dalam meningkatkan
permeabilitas vaskular dan alam menyebabkan kontraksi otot polos bronkus. Leukotrien B4 sangat kemotaktik
untuk neutrofil, eosinofil, dan monosit.
Prostaglandin D2 adalah mediator yang paling banyak dihasilkan oleh jalur siklooksigenasi dalam sel mast.
Mediator ini menyebabkan bronkospasme hebat serta meningkatkan sekresi mukus.
Faktor pengaktivasi trombosit merupakan mediator sekunder lain, mengakibatkan agregasi trombosit, pelepasan
histamin dan bronkospasme. Mediator ini juga bersifat kemotaltik untuk neutrofil dan eosinofil.
Sitokin yang diproduksi oleh sel mast (TNF, IL-1, IL-4, IL-5 dan IL-6) dan kemokin berperan penting pada reaksi
hipersensitivitas tipe I melalui kemampuannya merekrut dan mengaktivasi berbagai macam sel radang. TNF
merupakan mediator yang sangat poten dalam adhesi, emigrasi, dan aktivasi leukosit. IL-4 juga merupakan faktor
pertumbuhan sel mast dan diperlukan untuk mengendalikan sintesis IgE oleh sel B.
Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-
anafilaksis (ECF-A= eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini merupakan salah satu dari preformed
mediators yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor kemotaktik neutrofil
(NCF = neotrophil chemotactic factor). Mediator yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam
arakidonat akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I (Arwin dkk, 2008).
Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu fase cepat dan fase lambat.
Reaksi hipersensitivitas tipe 1 fase cepat, yaitu reaksi hipersensitivitas yang terjadi beberapa menit setelah
pajanan antigen yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun tanpa kontak dengan
alergen lagi.
2. Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat
ini belum jelas benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang menentukan terjadinya reaksi ini
seperti terbukti bahwa reaksi alergi tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel mast
dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi
alergi. Mediator fase aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler yang meningkatkan
sel radang.
2.2 Hipersensitivitas Tipe II reaksi sitotoksik atau sitolitik
Reaksi hipersensitivitas tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuk antibodi jenis
IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi
dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul
asesori dan metabolisme sel dilibatkan. Istilah lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan
bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fc-R dan juga sel NK yang
dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi tipe II dapat menunjukkan
berbagai manifestasi klinik (Baratawidjaja, 2009).
Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi
obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
1. Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
2. Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc
3. Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Reaksi tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik yaitu
Reaksi Transfusi
Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui
bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah
golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan
darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig
M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi
sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi
hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal
dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.
Reaksi Antigen Rhesus
Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya
denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah
Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah
disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian.
Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya
belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi
dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning,
Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.
Anemia Hemolitik autoimun
Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah
sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk
berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
Antibiotik tertentu seperti penicilin, sefalosporin dan streptomisin dapat diabsorbsi nonspesifik pada protein
membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan
anemia progresif (Baratawidjaja, 2009).
Reaksi Obat
Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig
dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan
menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih,
phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
Sindrom Goodpasture
Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru.
Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada
imunoflouresen.
Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Dalam penanggulangannya telah
dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi.
2.3 Hipersensitivitas Tipe III atau kompleks imun
Hipersensitivitas tipe III diperantarai oleh pengendapan kompleks antigencantibodi c (imun), diikuti dengan
aktivitas komplemen dan akumulasi leukosit polimorfonuklear.Kompleks imun dapat melibatkan antigen
eksogen seperti bakteri dan virus, atau antigen endogen seperti DNA. Kompleks imun patogen terbentuk dalam
sirkulasi dan kemudian mengendap dalam jaringan ataupun terbentuk di daerah ekstravaskular tempat antigen
tersebut tertanam (kompleks imun in situ).
Jejas akibat kompleks imun dapat bersifat sistemik jika kompleks tersebut terbentuk dalam sirkulasi mengendap
dalam berbagai organ , atau terlokalisasi pada organ tertentu (misalnya, ginjal, sendi, atau kulit) jika kompleks
tersebut terbentuk dan mengendap pada tempat khusus. Tanpa memperhatikan pola distribusi, mekanisme
terjadinya jejas jarungan adalah sama; namun, urutan kejadian dan kondisi yang menyebabkan terbentuknya
kompleks imun berbeda. Pada keadaan normal kompleks imun dalam sirkulasi diikat dan diangkut eritrosit ke
hati, limpa dan di sana dimusnahkanoleh sel fagosit mononuklear, terutama di hati, limpa dan paru tanpa
bantuan komplemen. Pada umumnya kompleks yang besar dapat dengan mudah dan cepat dimusnahkan oleh
makrofag dalam hati. Kompleks kecil dan larut sulit untuk dimusnahkan, karena itu dapat lebih lama berada
dalam sirkulasi. Diduga bahwa ganggua fungsi fagosit merupakan salah satu penyebab mengapa kompleks
tersebut sulit dimusnahkan. Meskipun kompleks imun berada dalam sirkulasi untuk jangka waktu yang lama,
biasanya tidak berbahaya. Permasalahan akan timbul bila kompleks imun tersebut mengendap di jaringan
(Baratawidjaja, 2009).
Penyakit oleh kompleks imun
Penyakit Spesifitas antibodi Mekanisme Manifestasi klinopatologi
Lupus eritematosus DNA, nukleoprotein Inflamasi diperantarai
Nefritis, vaskulitis, artritis
komlplemen dan reseptor
Fc
Poliarteritis nodosa Antigen permukaan virus
Inflamasi diperantarai
Vaskulitis
hepatitis B komplemen dan reseptor
Fc
Glomreulonefritis post-
Antigen dinding Inflamasi
sel diperantarai
nefritis
streptokokus streptokokus komplemen dan reseptor
Fc
(Dikutip dari Abbas,2004)
2.4 Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type
Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan
antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada
permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang
terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang
mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft),
mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan
bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang
oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh
kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target).
Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi
kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis,
histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis).
Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T, termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T
CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun
yang diketahui terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam beberapa penyakit
autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T
CD8+ (Abbas, 2004)
Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori hipersensitivitas reaksi lambat terhadap
antigen eksogen. Reaksi imunologis yang sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan
sendiri. IL1 dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang dimana inflamasi
merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi yang berhubungan dengan sel TH1 akan
didominasi oleh makrofag sedangkan yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil (Abbas,
2004)
Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2 tahap: Proliferasi dan diferensiasi sel
T CD4+ sel T CD4+ mengenali susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang
berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-responsive sel T. Perbedaan
antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17 adalah terrlihat pada produksi sitokin oleh APC saat
aktivasi sel T. APC (sel dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi diferensiasi
sel T menjadi TH1. IFN- akan diproduksi oleh sel TH1 dalam perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin
seperti IL1, IL6, dan IL23; yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- untuk menstimulasi diferensiasi
sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool
selama waktu yang lama (Abbas, 2004).
Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen yang berulang akan mengaktivasi sel
T akibat dari antigen yang dipresentasikan oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-) yang
bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN- mengaktivasi makrofag yang
akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut
mengekspresikan molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag juga
mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi. Makrofag juga memproduksi IL12 yang
akan memperkuat respon dari TH1. Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk
mengeliminasi antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi kan berlanjut
dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas. TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga
oleh self-antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22, kemokin, dan beberapa
sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17
juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri (Abbas, 2004).
Reaksi sel T CD8+ sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen. Kerusakan jaringan oleh CTLs
merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi oleh sel T, sepert diabetes tipe I. CTLs
langsung melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama dalam penolakan
pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida
virus akan memperlihatkan molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.
Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut dan juga akan berakibat pada
kerusakan sel (Abbas, 2004).
Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh sel T melibatkan perforins dan
granzymes yang merupakan granula seperti lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan
mensekresikan kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin yang dimana
akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma sel target perforin memfasilitasi pengeluaran
granzymes dari kompleks. Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang
akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang
homolog denga TNF, yang dapat berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis. Sel T
CD8+ juga memproduksi sitokin (IFN-) yang terlibat dalam reaksi inflamasi dalam DTH, khususnya terhadap
infeksi virus dan terekspos oleh beberapa agen kontak (Abbas, 2004).
KESIMPULAN
Hipersensitivitas adalah peningkatan reaktivitas atau sensitivitas terhadap antigen yang pernah dipajankan
atau dikenal sebelumnya. , reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif
anafilaktif, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks
imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). selain itu ada satu tipe lagi yaitu tipe V
atau stimulatory hypersensitivity, namun tipe V tidak dibahas dalam makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul K Abbas, MBBS. 2004. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease.. SAUNDERS: China
Arwin dkk, 2008. Buku Ajar Alergi Imunologi Anak Edisi Kedua. Penerbit: Balai Penerbit IDAI. Jakarta
Baratawidjaja, K.G.dan Rengganis, A.2009.Imunologi Dasar Ed.8.Balai Penerbit FKUI:Jakarta

sistem imun

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sistem Imun


Sistem kekebalan tubuh atau sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan
oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan
melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam
tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga
menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh.
Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah
dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker
Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme yang melindungi tubuh terhadap
pengaruh biologis luar dengan mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini
mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme akan melindungi tubuh dari infeksi,
bakteri, virus sampai cacing parasit, serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari sel
organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti biasa. Deteksi sistem ini sulit karena
adaptasi patogen dan memiliki cara baru agar dapat menginfeksi organisme.

2.2. Macam-macam Sistem Pertahanan Tubuh


Sistem kekebalan tubuh manusia dibagi 2, yaitu kekebalan tubuh tidak spesifik dan kekebalan tubuh spesifik.
a. Sistem kekebalan tubuh non spesifik
Proses pertahanan tubuh non spesifik tahap pertama
Proses pertahanan tahap pertama ini bisa juga diebut kekebalan tubuh alami. Tubuh memberikan perlawanan
atau penghalang bagi masuknya patogen/antigen. Kulit menjadi penghalan bagi masuknya patogen karena
lapisan luar kulit mengandung keratin dan sedikit air sehingga pertumbuhan mikroorganisme terhambat. Air
mata memberikan perlawanan terhadap senyawa asing dengan cara mencuci dan melarutkan mikroorganisme
tersebut.
Minyak yang dihasilkan oleh Glandula Sebaceae mempunyai aksi antimikrobial. Mukus atau lendir digunakan
untuk memerangkap patogen yang masuk ke dalam hidung atau bronkus dan akan dikeluarkjan oleh paru-paru.
Rambut hidung juga memiliki pengaruh karenan bertugas menyaring udara dari partikel-partikel berbahaya.
Semua zat cair yang dihasilkan oleh tubuh (air mata, mukus, saliva) mengandung enzimm yang disebut lisozim.
Lisozim adalah enzim yang dapat meng-hidrolisis membran dinding sel bakteri atau patogen lainnya sehingga
sel kemudian pecah dan mati. Bila patogen berhasil melewati pertahan tahap pertama, maka pertahanan
kedua akan aktif.
Proses pertahanan tubuh non spesifik tahap ke dua
Inflamasi merupakan salah satu proses pertahanan non spesifik, dimana jika ada patogen atau antigen yang
masuk ke dalam tubuh dan menyerang suatu sel, maka sel yang rusak itu akan melepaskan signal kimiawi yaitu
histamin. Signal kimiawi berdampak pada dilatasi(pelebaran) pembuluh darah dan akhirnya pecah. Sel darah
putih jenis neutrofil,acidofil dan monosit keluar dari pembuluh darah akibat gerak yang dipicu oleh senyawa
kimia(kemokinesis dan kemotaksis). Karena sifatnya fagosit,sel-sel darah putih ini akan langsung memakan sel-
sel asing tersebut.
Peristiwa ini disebut fagositosis karena memakan benda padat, jika yang dimakan adalah benda cair, maka
disebut pinositosis. Makrofag atau monosit bekerja membunuh patogen dengan cara menyelubungi patogen
tersebut dengan pseudopodianya dan membunuh patogen dengan bantuan lisosom. Pembunuh dengan
bantuan lisosom bisa melalui 2 cara yaitu lisosom menghasilkan senyawa racun bagi si patogen atau lisosom
menghasilkan enzim lisosomal yang mencerna bagian tubuh mikroba.
Pada bagian tubuh tertentu terdapat makrofag yang tidak berpindah-pindah ke bagian tubuh lain, antara lain :
paru-paru(alveolar macrophage), hati(sel-sel Kupffer), ginjal(sel-sel mesangial), otak(selsel microgial), jaringan
penghubung(histiocyte) dan pada nodus dan spleen. Acidofil/Eosinofil berperan dalam menghadapi parasit-
parasit besar. Sel ini akan menempatkan diri pada dinding luar parasit dan melepaskan enzim penghancur dari
granul-granul sitoplasma yang dimiliki. Selain leukosit, protein antimikroba juga berperan dalam
menghancurkan patogen.
Protein antimikroba yang paling penting dalam darah dan jaringan adalah protein dari sistem komplemen yang
berperan penting dalam proses pertahan non spesifik dan spesifik serta interferon. Interferon dihasilkan oleh
sel-sel yang terinfeksi oleh virus yang berfungsi menghambat produksi virus pada sel-sel tetangga. Bila patogen
berhasil melewati seluruh pertahanan non spesifik, maka patogen tersebut akan segera berhadapan dengan
pertahanan spesifik yang diperantarai oleh limfosit.
b. Sistem kekebalan tubuh spesifik
Pertahanan Spesifik: Imunitas diperantai antibodi Untuk respon imun yang diperantarai antibodi, limfosit B
berperan dalam proses ini, dimana limfosit B akan melalui 2 proses yaitu respon imun primer dan respon imun
sekunder.Jika sel limfosit B bertemu dengan antigen dan cocok, maka limfosit B membelah secara mitosis dan
menghasilkan beberapa sel limfosit B.
Semua Limfosit B segera melepaskan antibodi yang mereka punya dan merangsang sel Mast untuk
menghancurkan antigen atau sel yang sudah terserang antigen untuk mengeluarkan histamin. 1 sel limfosit B
dibiarkan tetap hidup untuk menyimpan antibodi yang sama sebelum penyerang terjadi. Limfosit B yang tersisa
ini disebut limfosit B memori. Inilah proses respon imun primer. Jika suatu saat, antigen yang sama menyerang
kembali, Limfosit B dengan cepat menghasilkan lebih banyak sel Limfosit B daripada sebelumnya.
Semuanya melepaskan antibodi dan merangsang sel Mast mengeluarkan histamin untuk membunuh antigen
tersebut. Kemudian, 1 limfosit B dibiarkan hidup untuk menyimpan antibodi yang ada dari sebelumnya. Hal ini
menyebabkan kenapa respon imun sekunder jauh lebih cepat daripada respon imun primer.
Suatu saat, jika suatu individu lama tidak terkena antigen yang sama dengan yang menyerang sebelumnya,
maka bisa saja ia akan sakit yang disebabkan oleh antigen yang sama karena limfosit B yang mengingat antigen
tersebut sudah mati. Limfosit B memori biasanya berumur panjang dan tidak memproduksi antibodi kecuali
dikenai antigen spesifik. Jika tidak ada antigen yang sama yang menyerang dalam waktu yang sangat lama,
maka Limfosit b bisa saja mati, dan individu yang seharusnya bisa resisten terhadap antigen tersebut bisa sakit
lagi jika antogen itu menyerang, maka seluruh proses respon imun harus diulang dari awal.
Pertahanan spesifik: Imunitas diperantai Sel
Untuk respon imun yang diperantarai sel, Limfosit yang berperan penting adalah limfosit T.
Jika suatu saat ada patogen yang berhasil masuk dalam tubuh kemudian dimakan oleh suatu sel yang tidak
bersalah(biasanya neutrofil), maka patogen itu dicerna dan materialnya ditempel pada permukaan sel yang
tidak bersalah tersebut. Materi yang tertempel itu disebut antigen. Respon imun akan dimulai jika kebetulan
sel tidak bersalah ini bertemu dengan limfosit T yang sedang berpatroli, yaitu sel tadi mengeluarkan interleukin
1 sehingga limfosit T terangsang untuk mencocokkan antibodi dengan antigennya.
Permukaan Limfosit T memiliki antibodi yang hanya cocok pada salah satu antigen saja. Jadi, jika antibodi dan
antigennya cocok, Limfosit T ini, yang disebut Limfosit T pembantu mengetahui bahwa sel ini sudah terkena
antigen dan mempunyai 2 pilihan untuk menghancurkan sel tersebut dengan patogennya. Pertama, Limfosit T
pembantu akan lepas dari sel yang diserang dan menghasilkan senyawa baru disebut interleukin 2, yang
berfungsi untuk mengaktifkan dan memanggil Limfosit T Sitotoksik.
Kemudian, Limfosit T Sitotoksik akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel yang terkena penyakit
tersebut. Kedua, Limfosit T pembantu bisa saja mengeluarkan senyawa bernama perforin untuk membocorkan
sel tersebut sehingga isinya keluar dan mati.
2.3 Fungsi Sistem Imun
Sistem imun memiliki beberapa fungsi bagi tubuh, yaitu sebagai berikut.
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan mikroorganisme
atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk ke dalam tubuh
2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak untuk perbaikan jaringan.
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal. Sasaran utama: bakteri patogen & virus Leukosit
merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, & sel mast).
4. Pertahanan Tubuh, yaitu menangkal bahan berbahaya agar tubuh tidak sakit, dan jika sel-sel imun yang
bertugas untuk pertahana ini mendapatkan gangguan atau tidak bekerja dengan baik, maka oranmg akan
mudah terkena sakit
5. Keseimbangan, atau fungsi homeostatik artinya menjaga keseimbangan dari komponen tubuh.
6. Perondaan, sebagian dari sel-sel imun memiliki kemampuna untuk memantau ke seluruh bagian tubuh.
Jika ada sel-sel tubuh yang mengalami mutasi maka sel peronda tersebut akan membinasakannya.
2.4. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Sistem Imun

v Faktor genetik dan fisiologis


Faktor resiko fisiologis melibatkan fungsi fisik dari tubuh. Kondisi fisik tertentu, seperti kehamilan atau
berat badan berlebih akan meningkatkan stres pada sistem fisiologis ( sebagai contoh : sistem sirkulasi darah)
sehingga meningkatkan kerentanan terhadap penyakit pada area ini.
Faktor keturunan, atau presdiposisi genetik terhadap penyakit tertentu merupakan faktor resiko fisik yang
penting. Sebagai contoh, seseorang dengan riwayat keluarga diabetes melitus akan berisiko untuk menderita
penyakit ini pada hidupnya, faktor resiko genetik lainnya adalah riwayat keluarga dengan penyakit kanker,
penyakit jantung, penyakit ginjal, atau penyakit mental.
Getah lambung menyebabkan suatu lingkungan yang kurang menguntungkan untuk sebagian bakteri patogen.
Air kemih akan membilas saluran kemih sehingga menurunkan infeksi oleh bakteri. Pada kulitpun dihasilkan
zat-zat yang bersifat bakterisida. Darah terdapat sejumlah zat protektif yang bereaksi secara nonspesifik yaitu
"natural antibody'' yang tidak bersifat khas untuk bakteri bersangkutan. Faktor humoral lain yaitu properdin
dan interferon yang selalu terdapat dan siap untuk.menanggulangi masuknya zat asing.

v Usia
Usia meningkatkan atau menurunkan kerentanan terhadap penyakit tertentu. Sebagai contoh seseorang
bagi yang lahir secara prematur dan semua bayi baru lahir lebih rentan terhadap infeksi. Resiko penyakit
jantung meningkat seiring usia untuk wanita dan pria. Pada usia 45 tahun atau lebih, terdapat resiko yang lebih
besar untuk timbulnya kanker.
Faktor usia sering dihubungkan dengan faktor resiko lainnya,seperti riwayat keluarga dan kebiasaan pribadi.
Perawat harus menekankan pentingnya pemeriksaan berkala untuk kelompok usia tertentu. Otoritas di
amerika serikat telah memberikan rekombenasi jadwal skrining kesehatan, imunisasi, dan konseling.
Orang-orang yang berada pada kedua ujung rentan usia lebih rentang usia lebih besar kemungkinannya untuk
menghadapi masalah yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi sistem imun ketimbang orang-orang yang
berusia dibawah rentang tersebut. Frekuensi dan intensitas infeksi akan meningkat pada orang yang berusia
lanjut dan peningkatan ini mungkin disebabkan oleh penurunan kemampuan untuk bereaksi secara memadai
terhadap mikroorganisme yang menginvasinya. Produksi maupun fungsi limfosit T dan B dapat terganggu.
Insidensi penyakit autoimun juga meningkat bersamaan dengan pertambahan usia; hal ini mungkin terjadi
akibat penurunan kemampuan antibodi untuk membedakan antara diri sendiri dan bukan diri sendiri.
Kegagalan sistem surveilans untuk mengenali sel-sel yang abnormal atau yang mengalami mutasi mungkin
bertanggung jawab atas tingginya insidensi penyakit kanker yang berkaitan dengan pertambahan usia.
Penurunan fungsi berbagai sistem organ yang berkaitan dengan pertambahan usia juga turut menimbulkan
gangguan imunitas. Penurunan sekresi serta motilitas lambung memungkinkan flora normal intestinal untuk
berproliferasi dan menimbulkan infeksi sehingga terjadi gastroenteritis serta diare.
Penurunan pada sirkulasi renal, fungsi fitrasi, absorpsi dan ekskresi turut menyebabkan infeksi saluran kemih.
Lebih lanjut, pembesaran kelenjar prostat dan neurogenic bladder dapat menghambat pengaliran urin serta
selanjutnya klirens (pembersihan) bakteri lewat sistem urinarius. Stasis urin yang lazim terjadi pada kaum
lanjut usia akan memudahkan pertumbuhan mikroorganisme.
Pajanan terhadap tembakau dan toksin lingkungan akan mengganggu fungsi paru. Pajanan yang lama
terhadap kedua agens ini akan menurunkan elasrisitas jaringan paru, keefektifitas silia dan kemampuan batuk
yang efektif. Semua gangguan ini akan menghalangi pengeluaran mikroorganisme yang infeksius dan toksin
sehingga kerentanan lansia terhadap penyakit infeksi serta kanker paru semakin meningkat.
Akhirnya, bersamaan dengan pertambahan usia, kulit akan menjadi tipis dan tidak begitu elastis lagi.
Neuropati perifer dan penurunan sensibilitas serta sirkulasi yang menyertainya dapat menimbulkan ulkus
statis, dekubitus, ekskoriasi dan gejala luka bakar. Gangguan integritas kulit merupakan faktor predisposisi
yang memudahkan orang tua untuk mengalami infeksi oleh mikroorganisme yang merupakan bagian dari flora
kulit yang normal.

v Lingkungan
Tempat dan kondisi lingkungan kita ( udara, air, dan tanah) akan menentukan cara hidup, makanan, agen
genetik, keadaan kesehatan, dan kemampuan kita untuk beradaptasi ( murray dan zentner, 2001). Lingkungan
fisik tempat seseorang bekerja atau berdiam dapat meningkatkan kecendrungan terjadinya suatu penyakit.
Sebagai contoh, beberapa jenis kanker lebih mungkib timbul jika pekerja industri terpajan pada zat kimia
tertentu atau jika masyarakat berdiam di dekat lokasi limbah beracun. Penilaian keperawatan meluas dari
individu ke keluarga dan kumonitas sekitarnya ( murray dan zentner, 2001)

v Gaya hidup
Banyak kegiatan, kebiasaan, dan praktik yang melibatkan faktor resiko. Praktik gaya hidup dan tingkah laku
dapat memiliki efek positif atau pun efek negatif terhadap kesehatan. Praktik dengan efek yang negatif
merupakan faktor resiko. Beberapa kebiasaan merupakan faktor resiko bagi penyakit tertentu.
Sebagai contoh, berjemur di sinar matahari secara berlebihan akan meningkatkan resiko kanker kulit, dan berat
badan yang berlebihan akan meningkatkan resiko penyakit kardiovaskuler. Mokdad, et al. (2004)
mengidentifikasi faktor resiko tingkah laku yang dimodifikasi sebagai penyebab kematian utama di amerika
serikat.
Analisis mereka menunjukkan bahwa walaupun merokok adalah penyebab utama kematian, diet buruk dan
kurangnya aktivitas fisik dapat menggantikan posisi ini. Data ini menekankan pentingnya layanan pencegahan.
Informasi ini juga memperlihatkan dampak yang besar pada ekonomi dari sistem layanan kesehatan. Oleh
karena itu, sangat penting untuk memahami dampak tingkah laku gaya hidup terhadap status kesehatan.

v Stres
Stres merupakan faktor risiko gaya hidup jika ia cukup berat atau berkepanjangan atau jika individu tersebut
tidak dapat mengatasi suatu kejadian hidupnya secara adekuat. Stres mengancam kesehatan mental (stres
emosional) dan juga kesejahteraan fisik (stres fisiologis). Keduanya dapat berperan terhadap timbulnya
penyakit dan mempengaruhi kemampuan beradaptasi terhadap perubahan yang berkaitan dengan penyakit
dan juga kemampuan untuk bertahan dari penyakit yang mengancam jiwa.
Stres juga mengganggu aktivitas promosi kesehatan dan kemampuan untuk menerapkan modifikasi gaya
hidup yang dibutuhkan. Stres juga mengancam kesejahteraan fisik dan dihubungkan dengan penyakit seperti
penyakit jantung, kanker, dan kelainan gastrointestinal.

v Jender
Kemampuan hormon-hormon seks untuk memodulasi imunitas telah diketahui dengan baik. Ada bukti yang
menunjukkan bahwa estrogen memodulasi aktivitas limfosit T sementara androgen berfungsi untuk
mempertahankan produksi interleukin-2 (IL-2) dan aktivitas sel supresor. Efek hormon seks pada sel-sel B tidak
begitu menonjol.
Estrogen akan mengaktifkan populasi sel B yang berkaitan dengan autoimun yang mengekspresikan marker
CD5 (marker antigenik pada sel B). Estrogen cenderung menggalakkan imunitas sementara androgen bersifat
imunosupresif. Umumnya penyakit autoimun lebih sering dijumpai pada wanita ketimbang pada laki-laki.

v Nutrisi
Nutrisi yang adekuat sangat esensial untuk mencapai fungsi sistem imun yang optimal. Gangguan fungsi imun
yang disebabkan oleh defisiensi protein-kalori dapat terjadi akibat kekurangan vitamin yang diperlukan untuk
sintesis DNA dan protein. Vitamin juga membantu dalam pengaturan proliferasi sel dan maturasi sel-sel imun.
Kelebihan atau kekurangan unsur-unsur renik atau trace element (yaitu, tembaga, besi, mangaan, selenium
atau zink) dalam makanan umumnya akan mensupresi fungsi imun. Asam-asam lemak merupakan unsur
pembangun (building blocks) yang membentuk komponen struktural membran sel. Lipid merupakan prekursor
vitamin A, D, E dan K di samping prekursor kolesterol. Baik kelebihan maupun kekurangan asam lemak ternyata
akan mensupresi fungsi imun.
Deplesi simpanan protein tubuh akan mengakibatkan atrofi jaringan limfosit, depresi respon antibodi,
penurunan jumlah sel T yang beredar dan gangguan fungsi fagositik. Sebagai akibatnya, kerentanan akibat
infeksi sangat meningkat. Selama periode infeksi dan sakit yang serius terjadi peningkatan kebutuhan nutrisi
yang potensial untuk menimbulkan deplesi protein, asam lemak, vitamin, serta unsur-unsur renik dan bahkan
menyebabkan resiko terganggunya repon imun serta terjadinya sepsis yang lebih besar.

v Faktor-faktor psikoneuro-imunologik
Bukti dari hasil observasi klinik dan berbagai penelitian pada manusia serta hewan menunjukkan bahwa
respons imun secara parsial di atur dan dimodulasi oleh pengaruh neuroendrokrin (Terr, 1991). Limfosit dan
makrofag memilki reseptor yang dapat bereaksi terhadap neorotranmiter serta hormon-hormon endokrin.
Limfosit dapat memproduksi dan mensekresikan ACTH serta senyawa-senyawa yang mirip endorfin. Neuron
dalam otak, khususnya dalam hipotalamus dapat mengenali prostagladin, interferon dan interleukin disamping
histamin dan serotomin yang dilepaskan selama proses inflamasi. Sebagaimana semua sistem biologik lainnya
yang berfungsi untuk kepentingan homeostasis, sistem imun di integrasikan dengan berbagai proses
psikofisiologik lainnya dan di atur serta dimodulasi oleh otak.
Di lain pihak, proses imun ternyata dapat mempengaruhi fungsi neura dan endokrin, termasuk perilaku. Jadi,
interaksi sistem saraf dan sistem imun tampaknya bersifat dua arah. Semakin banyak bukti menunjukkan
bahwa parameter sistem imun yang bisa di ukur dapat dipengaruhi oleh strategi biobehavioral yang melibatkan
self-regulation. Contoh strategi ini meliputi teknik-teknik relaksasi serta imajinasi, biofeedback, humor,
hipnosis dan kondisioning.

v Kelainan organ yang lain


Keadaan seperti luka bakar atau bentuk cedera lain, infeksi dan kanker dapat turut mengubah fungsi sistem
imun. Luka bakar yang luas atau faktor-faktor lainnya menyebabkan gangguan integritas kulit dan akan
mengganggu garis pertama pertahanan tubuh. Hilangnya serum dalam jumlah yang besar dalam luka bakar
akan menimbulkan deplesi protein tubuh yang esensial, termasuk imunoglobulin. Stresor fisiologik dan
psikologik yang disertai dengan stres karena pembedahan atau cedera akan mebstimulasi pelepasan kortisor
dari korteks andrenal; peningkatan kortisolserum juga turut menyebabkan supresi respon imun yang normal.
Keadaan sakit yang kronis dapat turut mengganggu sistem imun melalui sejumlah cara. Kegagalan ginjal
berkaitan dengan defisiensi limfosit yang beredar. Disamping itu, fungsi imun untuk pertahanan tubuh dapat
berubah karena asidosis dan toksin urenik. Peningkatan insidensi infeksi pada deabetes juga berkaitan dengan
insufisiensi vaskuler, neuropati dan pengendalian kadar glukosa darah yang buruk. Infeksi saluran nafas yang
rekuren berkaitan dengan penyakit paru obstruktif menahun sebagai akibat dari berubahnya fungsi inspirasi
serta ekspirasi dan tidak efektifnya pembersihan saluran nafas.

v Penyakit kanker
Imunosupresi turut menyebabkan terjadinya penyakit kanker. Namun, penyakit kanker sendiri bersifat
imunosupresif. Tumor yang besar dapat melepaskan antigen ke dalam darah; antigen ini akan mengikat
antibodi yang beredar dan mencegah antibodi tersebut agar tidak menyebar sel-sel tumor. Lebih lanjut, sel-sel
tumor dapat memiliki faktor penghambat yang khusus yang menyalut sel-sel tumor dan mencegah
penghancurannya oleh limfost T killer. Dalam stadium awal pertumbuhan tumor, tubuh tidak mampu
mengenali antigen tumor sebagi unsur yang asing dan selanjutnya tidak mampu memulai destruksi sel-sel yang
malingnan tersebut. Kanker darah seperti Leukimia dan limfoma berkaitan dengan berubahnya produksi serta
fungsi sel darah putih dan limfosit.

v Obat-obatan
Obat-obatan tertentu dapat menyebabkan perubahan yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki pada
fungsi sistem imun. Ada empat klasifi
kasi obat utama yang memiliki potensi untuk menyebabkan imunosupresi: antibiotik, kosteroid, obat-obat anti-
inflasi non steroid (NSAID: nonsteroidal antiinflammatory drugs) dan preparatsitotoksit. Penggunaan preparat
ini bagi keperluan terapeutik memerlukan upaya untuk mencari keseimbangan yang sangat tipis antara
manfaat terapi dan supresi sistem pertahanan tubuh resipien yang berbahaya.

v Radiasi
Terapi radiasi dapat digunakan dalam pengobatan penyakit kanker atau pencegahan rejeksi alograft. Radiasi
akan menghancurkan limfosik dan menurunkan populasi sel yang diturunkan untuk menggantikannya. Ukuran
atau luas daerah yang akan disinari menentukan taraf imunosupresi. Radiasi seluruh tubuh dapat
mengakibatkan imonusupensi total pada orang yang menerimanya.

v Metabolik
Hormon tertentu nyata dapat mempengaruhi respons imun tubuh. Misalnya: hipoadrenalis dan hipotiroidisme
akan mengakibatkan menurunnya daya tahan terhadap inteksi. Orang dengan pengobatan steroid mudah
mendapatkan infeksi bakteri maupun virus. Steroid tersebut mempunyai khasiat menghambat fagositasis,
produksi antibodi dan menghambat proses radang.
Golongan hormon steroid yaitu hormon kelamin seperti androgen, estrogen dan progesteron.
Diduga merupakan faktor pengubah terhadap respons imun yang tercermin adanya perbedaan jumlah
penderita antara laki-laki dan wanita yang mengindap penyakit imun tertentu.

v Anatomis
Garis pertahanan pertama dalam menghadapi invasi mikroba biasanya terdapat pada kulit dan selaput lendir
yang melapisi permukaan dalam tubuh. Struktur jaringan tsb sebagai imunitas alamiah dengan menyediakan
suatu rintangan fisik yang efektif. Kulit lebih efektif daripada selaput lendir. Kerusasakan pada permukaan kulit
atau selaput lendir, seseorang mudah teriangkit penyakit.

v Mikrobial
Mikroba yang tidak patogen pada permukaan tubuh baik di luar ataupun di dalam tubuh, akan mempengaruhi
sistem imun. Misalnya bakteri tersebut dibutuhkan untuk produksi "natural antibody". Flora yang tumbuh pada
tubuh dapat kulit membantu menghambat pertumbuhan kuman patogen. Pengobatan dengan antibiotika
dapat mematikan norma flora yang sehingga sebaliknya dapat menyuburkan pertumbuhan bakteri patogen.
2.5 Mekanisme pertahanan tubuh
Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas mekanisme pertahanan spesifik dan mekanisme pertahanan non
spesifik.

1. Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen adaptif


Imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu
tidak dapat berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh non spesifik adalah
bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia
akan terbentuk. Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak dengan antigen. Bila
pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi mikroorganisme maka imunitas spesifik akan
terangsang.
Mekanisme pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh sel limfosit, dengan atau
tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya
diperoleh maka mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat. Imunitas spesifik hanya
ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen yang merupakan ligannya.
Di samping itu, respons imun spesifik juga menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host
terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas didapat, akan terbentuk antibodi dan
limfosit efektor yang spesifik terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi antigen.
Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang mempresentasikan antigen (APC = antigen
presenting cell = makrofag) sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing
berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan meregulasi respons imun dan melisis
sel target yang dihuni antigen.
Sel limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi antibodi yang akan menetralkan atau
meningkatkan fagositosis antigen dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel yang
mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent cell mediated cytotoxicy (ADCC).

Imunitas selular
Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem
imun lainnya. Limfosit T adalah limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat
pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang. Dalam perkembangannya sel
pluripotensial yang akan menjadi limfosit T memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.

Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul tertentu pada permukaan membrannya
yang akan menjadi ciri limfosit T. Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda
permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi monoklonal yang oleh WHO diberi nama
dengan huruf CD, artinya cluster of differentiation.

Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri
atas limfosit T dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda permukaan molekul
CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4 dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi
monoklonal yang dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).

Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi penataan kembali gen (gene
rearrangement) untuk nantinya dapat memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit
T (TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah memperlihatkan reseptor terhadap
antigen diri (self antigen) biasanya mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar dari
timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan limfosit T efektor. Limfosit T regulator
terdiri atas limfosit T penolong (Th = CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten
lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi sel imunokompeten lainnya bila antigen
mulai tereliminasi. Sedangkan limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis sel
target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td = CD4) yang merekrut sel radang ke
tempat antigen berada.

2. Mekanisme pertahanan non spesifik (disebut juga komponen nonadapti / innate atau imunitas alamiah)
Artinya mekanisme pertahanan yang tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai
macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri atas berbagai macam elemen non
spesifik. Jadi bukan merupakan pertahanan khusus untuk antigen tertentu.
Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga respons imun alamiah. Yang
merupakan mekanisme pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya, lapisan mukosa
dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel
makrofag, monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen mekanisme pertahanan non
spesifik.

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit


Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi mikroorganisme. Bila penetrasi
mikroorganisme terjadi juga, maka mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain
dari sistem imunitas alamiah.

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit
Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula silia pada mukosa. Enzim seperti
lisozim dapat pula merusak dinding sel mikroorganisme.

Komplemen dan makrofag


Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri secara langsung sehingga eliminasi
terjadi melalui proses lisis atau fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan zat
kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen komplemen (C3b) dan reseptor
kemotaktik. Zat kemotaktik akan memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme dan
memfagositnya.

Protein fase akut


Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat adanya kerusakan jaringan. Hati
merupakan tempat utama sintesis protein fase akut. C-reactive protein (CRP) merupakan salah satu protein
fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini dikenal karena sifatnya yang dapat
mengikat protein C dari pneumokok. Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang
akan melisis antigen.

Sel natural killer (NK) dan interferon


Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus atau sel tumor. Interferon adalah zat
yang diproduksi oleh sel leukosit dan sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus
di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.
2.6 Faktor yang Menyebabkan Sistem Pertahanan Tubuh menjadi Lemah
1. Makanan yang Kita Makan: Asupan makanan yang buruk dalam waktu yang lama dapat melemahkan
sistem kekebalan tubuh. Makanan dengan bahan kimia tambahan, pestisida, dan pengawet dapat merusak
sistem kekebalan tubuh dan dapat menyebabkan berbagai penyakit kronis. Kekurangan nutrisi juga dapat
membuat sistem kekebalan tubuh kita lemah.
2. Konsumsi Gula yang Kelebihan: Gula yang dibicarakan disini adalah gula kristal rafinasi yang merupakan
gula hasil pemurnian sehingga tidak lagi mengandung vitamin dan mineral, hanya sukrosa saja. Gula jenis ini
banyak diteliti membahayakan bagi kesehatan, dampaknya adalah mengurangi kemampuan sel darah putih
untuk membunuh kuman. Konsumsi yang tinggi akan memberikan efek buruk pada sistem kekebalan tubuh.
3. Alkohol yang Berlebihan: Minum minuman beralkohol secara berlebihan dapat merusak sistem
kekebalan tubuh. Sama seperti gula, terlalu banyak alkohol dapat mengurangi kemampuan sel darah putih
untuk membunuh kuman. Dosis alkohol yang tinggi membuat tubuh kekurangan gizi secara keseluruhan,
sehingga merusak kekebalan tubuh.
4. Kurang Tidur: Tidur yang baik sangat penting bagi tubuh kita untuk mengembalikan energi. Tidur
membantu untuk membangun kembali sistem kekebalan tubuh. Tanpa tidur yang cukup, sistem kekebalan
tubuh menjadi lemah karena tidak mendapatkan kesempatan untuk membangun kembali.
5. Stres: Stres menekan fungsi sistem kekebalan tubuh. Stres jangka panjang sangat buruk bagi sistem
kekebalan tubuh. Penelitian menunjukkan bahwa stres kronis menurunkan jumlah sel darah putih.
6. Dehidrasi: Dehidrasi berarti tubuh kekurangan cairan. Dehidrasi dapat menyebabkan masalah medis.
Untuk bekerja, sistem kekebalan tubuh kita membutuhkan jumlah air yang cukup.
7. Obat: Terlalu sering menggunakan obat yang diresepkan atau non-resep dapat merusak sistem
kekebalan tubuh. Obat adalah racun utama yang kita masukkan ke dalam tubuh kita. Bahkan, penggunaan
antibiotik dalam jangka panjang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh.
8. Eksposur Radiasi: Paparan zat Kimia, sinar UV, dan paparan radiasi, hal-hal tersebut dapat merusak
sistem kekebalan tubuh.
9. Gaya Hidup yang higienis: Kebersihan yang baik sangat penting untuk mempertahankan sistem
kekebalan yang kuat. Terlalu banyak terpapar kuman mungkin dapat membuat tubuh menjadi stress karena
melewati batas yang bisa dihadapi oleh tubuh. Kehidupan yang higienis adalah cara terbaik untuk menghindari
infeksi dan menjaga sistem kekebalan yang kuat.
10. Tidak Aktif atau Jarang Berolahraga: Olah raga sangat penting untuk menjaga sistem kekebalan tubuh
yang baik. Latihan membantu untuk meningkatkan aliran darah yang membantu membersihkan tubuh dari
racun tertentu dan produk-produk limbah. Kurang olahraga memperlambat proses ini dan itu menghasilkan
sistem kekebalan tubuh yang lemah. Obesitas juga dapat menyebabkan sistem kekebalan tubuh yang lemah

D. Respon Imun
Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang kompleks terhadap antigen, untuk
mengeliminasi antigen tersebut. Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein, terutama
sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dansitokin yang saling berinteraksi secara kompleks.
(http://id.wikipedia.org/wiki/Imunitas).
Dilihat dari beberapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam respon imun yaitu:
1. Respons imun primer
Respons imun primer adalah respon imun yang terjadi pada pajanan yang pertama kalinya dengan antibodi.
Antibodi yang terbentuk pada respons imun ini kebanyakan adalah IgM dengan titer yang lebih rendah
dibanding dengan respons imun sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen masuk
sampai timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila disbanding dengan respons imun sekunder.
2. Respons imun sekunder
Pada respons imun ini, antibodi yang dibentuk terutama adalah IgG, dengan titer dan afinitas lebih tinggi, serta
fase lag lebih pendek dibanding respons imun primer. Hal ini disebabkan oleh karena sel memori yang yang
terbentuk pada respons imun primer akancepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi
menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi. Demikian pula dengan imunitas seluler, sel limfosit T akan
lebih cepat mengalami transformasi blast dan berdeferensiasi menjadi sel T aktif sehingga lebih banyak
terbentuk sel efektor dan sel memori (Ranuh, 2001).

Anda mungkin juga menyukai