Anda di halaman 1dari 53

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi, bakteri gram
negative. Selama infeksi akut, Salmonella typhi membelah diri dalam sel
fagositik mononuklear sebelum masuk ke dalam pembuluh darah. Setelah
bakteri menelan makanan dan air, organism tifoid melewati antara pylorus
dan mencapa usus kecil. Secara cepat penetrasi epitel mukosa melalui sel
mikrofold atau enterositis dan tiba di lamina propria, secara cepat
memperoleh aliran makrofag yang menelan basili tetapi tidak secara
umum membunuh. (WHO, 2003)
Beberapa bacilli tetap di dalam makrofag pada jaringan limfoid
usus kecil. Basili tifoid lainnya dikeluarkan menuju node limfi mesenteric
disinilah pembelahan diri lebih lanjut dan ditelan oleh makrofag.
Dipercaya basili tifoid mencapai pembuluh darah terutama oleh
pengeluaran limfi dari node mesenterik setelah memasuki saluran toraks
dan sirkulasi darah. Sebagai hasil utama dari pathogen bakteraemia
mencapai intraselular antara 24 jam setelah proses makrofag sepanjang
sistem organ retikuloendotelial (limfa, hati, sumsum tulang dan lainnya),
kejadian tersebut akan tinggal selama periode inkubasi, biasanya 8 hingga
14 hari. Periode inkubasi pada individu tertentu tergantung kuantitas
inokulum, menurunnya kuantitas dari kenaikan inokulum dan faktor host.
(WHO,2003)
Periode inkubasi mulai dari 3 hari hingga lebih dari 60 hari pernah
dilaporkan. Penyakit klinis didampingi oleh cukupnya berkelanjutan
infeksi tetapi level rendah dari bakteraemia sekunder (~1-10 bakteri/mL
darah) (WHO,2003)
Sejak awal abad ke 20, insidens demam tifoid menurun di Eropa
dan USA dengan ketersediaan air bersih dan sistem pembuangan yang
baik. (Bhatnagar et al,2005)
Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan
merupakan reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat
bertahan hidup selama berhari-hari di air tanah, air kolam atau air laut dan
selama berbulan-bulan dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram
yang dibekukan. Pada daerah endemik, infeksi paling banyak terjadi pada
musim kemarau atau permulaan musim hujan. Dosis yang infeksius adalah
103-106 organisme yang tertelan secara oral. Penyakit ini dapat
menginfeksi melalui makanan atau air yang terkontaminasi oleh feses. Di
Indonesia, insidens demam tifoid banyak terjadi pada populasi mulai usia
3-19 tahun. Penyakit ini berhubungan dengan adanya anggota keluarga
dengan riwayat demam tifoid, tidak tersedia sabun untuk cuci tangan,
menggunakan peralatan makan bersama dan tidak tersedianya tempat
buang air besar dalam rumah.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Demam Tifoid


II.1.1 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh


Salmonella enteric serovar typhi (S typhi). Salmonella enteric serovar
paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut
demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam
enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah
demam tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering
diperbincangkan.

II.1.2 Etiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan


oleh bakteri Salmonella typhi. Bakteri Salmonella typhi berbentuk batang,
gram negatif, tidak berspora, motil, berflagel, berkapsul, tumbuh dengan
baik pada suhu optimal 37C, bersifat fakultatif anaerob dan hidup subur
pada media yang mengandung empedu. Isolat kuman Salmonella typhi
memiliki sifat-sifat gerak positif, reaksi fermentasi terhadap manitol dan
sorbitol positif sedangkan hasil negatif pada reaksi indol, fenilalanin
deaminase, urease dan DNase.

Bakteri Salmonella typhi memiliki beberapa komponen antigen


antara lain antigen dinding sel (O) yang merupakan lipopolisakarida dan
bersifat spesifik grup. Antigen flagella (H) yang merupakan komponen
protein berada dalam flagella dan bersifat spesifik spesies. Antigen virulen
(Vi) merupakan polisakarida dan berada di kapsul yang melindungi
seluruh permukaan sel.Antigen ini menghambat proses aglutinasi antigen
O oleh anti O serum dan melindungi antigen O dari proses fagositosis.
Antigen Vi berhubungan dengan daya invasif bakteri dan efektivitas
vaksin. Salmonella typhi menghasilkan endotoksin yang merupakan
bagian terluar dari dinding sel, terdiri dari antigen O yang sudah
dilepaskan, lipopolisakarida dan lipid A. Antibodi O, H dan Vi akan
membentuk antibodi agglutinin di dalam tubuh.

Outer Membran Protein (OMP) pada Salmonella typhi merupakan


bagian terluar yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan
peptidoglikan yang membatasi sel dengan lingkungan sekitarnya. OMP
sebagain besar terdiri dari protein purin, berperan pada patogenesis demam
tifoid dan antigen yang penting dalam mekanisme respon imun host. OMP
berfungsi sebagai barier mengendalikan masukanya zat dan cairan ke
membran sitoplasma selain itu berfungsi sebagai reseptor untuk
bakteriofag dan bakteriosin.

II.1.3 Patofisiologi

Salmonella typhi (termasuk serotipe Typhi maupun Paratyphi)


memasuki tubuh inang melalui rute fekal oral menuju lokasi
infeksi pada usus halus (ileum). Pada usus halus pars ileum ini
didapatkan kumpulan limfonoduli submukosa yang memperantarai
sistem imunologi mukosa dikenal sebagai plak peyeri. Port dentree
bakteri ke dalam tubuh adalah melalui sel Mkifrofold (sel M)
yang merupakan struktur khusus pada permukaan plak peyeri. Plak
peyeri berfungsi menyaring antigen yang akan masuk ke plak payeri.

Salmonella typhi yang ditangkap oleh sel M akan


mentranslokasikannya ke basal sel, lokasi dimana makrofag yang
merupakan Sel Penyaji Antigen berada. Makrofag akan memfagosit
Salmonella untuk dihancurkan dan dikelola antigennya, disajikan pada
Sel T helper maupun Sel B spesifik. Salmonella typhi memiliki
mekanisme evasi fagositik yang baik, yaitu dengan menggagalkan
fusi fagosom dengan lisosom. Bakteri yang survive tersebut akan
menggandakan diri dan menginfeksi makrofag makrofag, dan ikut
terbawa ke nodus limfatik mesenterium, dan keluar ke aliran darah
menyebabkan bakteremia primer. Setelah itu, Salmonella memasuki
organ retikuloendotelial seperti sumsum tulang, hepar dan lien dan
bereplikasi kembali di dalam makrofag organ organ tersebut
sehingga terjadi aktivasi jaringan limfoid maupun makrofag
menyebabkan hepatomegali dan splenomegali.

Salmonella yang berada di dalam hepar akan diekskresikan


melalui sistem bilier, dan mengikuti siklus enterohepatik, sehingga
terjadi reinfeksi kembali. Pada Plak Peyer terjadi focus fokus infeksi
Salmonella di sepanjang ileum, menyebabkan nekrosis. Apabila
nekrosis ini menembus tunika serosa maka akan terjadi perforasi
ileum yang dapat berakibat peritonit

Manifestasi klinisnya adalah gejala nyeri perut akibat pendesakan


organomegali, mual dan muntah sebagai manifestasi hepatomegali yang
mendesak saluran pencernaan. Pasca organomegali, bakteri kembali
memasuki aliran darah menyebabkan bakteremia sekunder yang
mengawali munculnya gejala demam akibat dilepaskannya endotoksin ke
peredaran darah, menginduksi pirogen endogen yang mempengaruhi
temperature set di hypothalamus sehingga terjadi peningkatan suhu
tubuh.

II.1.4 Manifestasi Klinik

Masa tunas demam tifoid berlangsung antara 10-14 hari. Gejala-


gejala klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai berat, dari
asimtomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi
hingga kematian (Widodo, 2006).

Pada minggu pertama, gejala klinis penyakit ini ditemukan keluhan


dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut pada umumnya yaitu
demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia, mual, muntah,
obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk, dan epistaksis
(Widodo, 2006).

Pada orang dewasa, umumnya konstipasi dijumpai pada awal


penyakit (Nelwan, 2012). Pada pemeriksaan fisik hanya didapatkan suhu
badan meningkat. Sifat demam pada demam tifoid adalah meningkat
perlahan-lahan dan terutama pada sore hingga malam hari (Widodo, 2006).

Dalam minggu kedua, gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa


demam, bradikardi relatif (bradikardi relatif adalah peningkatan suhu 1C
tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang
berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),
hepatomegali, splenomegali, meteorismus dan gangguan kesadaran
(somnolen, stupor, koma, delirium, atau psikosis) (Widodo, 2006).

Demam pada demam tifoid umumnya berangsur-angsur naik


selama minggu pertama (suhu berkisar 39 - 40C), terutama pada sore dan
malam hari (febris remiten). Pada minggu kedua dan ketiga, demam terus -
menerus tinggi dan (febris kontinyu) kemudian turun secara lisis. Demam
tidak hilang dengan antipiretik, tidak menggigil, tidak berkeringat, dan
kadang disertai epistaksis (Astuti, 2013).

II.1.6 Penatalaksanaan

II.1.6.1 Terapi Farmakologi

Terapi pada demam tifoid adalah untuk mencapai keadaan bebas


demam dan gejala, mencegah komplikasi dan menghindari kematian.
Yang juga tidak kalah penting adalah eradikasi total bakeri untuk
mencegah kekambuhan dan keadaan carrier. Pemilihan antibiotik
tergantung pada pola sensitivitas isolat Salmonella typhi setempat.
Munculnya galur Salmonella typhi yang resisten terhadap banyak
antibiotik (kelompok MDR) dapat mengurangi pilihan antibiotik yang
akan diberikan. (Bhan MK,2005).
Terdapat 2 kategori resistensi antibiotic yaitu resisten terhadap
antibiotik kelompok chloramphenicol, ampicillin, dan trimethoprim
sulfamethoxazole (kelompok MDR) dan resisten terhadap antibiotik
fluoroquinolone. Nalidixic acid resistant Salmonella typhi (NARST)
merupakan petanda berkurangnya sensitivitas terhadap fluoroquinolone.
Antibiotik golongan fluoroquinolone (ciprofloxacin, ofloxacin, dan
pefloxacin) merupakan terapi yang efektif untuk demam tifoid yang
disebabkan isolat tidak resisten terhadap fluoroquinolone dengan angka
kesembuhan klinis sebesar 98%, waktu penurunan demam 4 hari, dan
angka kekambuhan dan fecal carrier kurang dari 2%.
Fluoroquinolone memiliki penetrasi ke jaringan yang sangat baik,
dapat membunuh S. typhi intraseluler di dalam monosit/makrofag, serta
mencapai kadar yang tinggi dalam kandung empedu dibandingkan
antibiotik lain. Berbagai studi telah dilakukan untuk menilai efektivitas
fluoroquinolone dan salah satu fluoroquinolone yang saat ini telah diteliti
dan memiliki efektivitas yang baik adalah levofloxacin. Studi komparatif,
acak, dan tersamar tunggal telah dilakukan untuk levofloxacin terhadap
obat standar ciprofloxacin untuk terapi demam tifoid tanpa komplikasi.
Levofloxacindiberikan dengan dosis 500 mg, 1 kali sehari dan
ciprofloxacin diberikan dengan dosis 500 mg, 2 kali sehari masing-masing
selama 7 hari.
Pada saat ini levofloxacin lebih bermanfaat dibandingkan
ciprofloxacin dalam hal waktu penurunan demam, hasil mikrobiologi dan
secara bermakna memiliki efek samping yang lebih sedikit dibandingkan
ciprofloxacin. Selain itu, pernah juga dilakukan studi terbuka di
lingkungan FKUI mengenai efikasi dan keamanan levofloxacin pada terapi
demam tifoid tanpa komplikasi. Levofloxacin diberikan dengan dosis 500
mg, 1 kali sehari selama 7 hari. Efikasi klinis yang dijumpai pada studi ini
adalah 100% dengan efek samping yang minimal.
Pasien dengan muntah yang menetap, diare berat, distensi
abdomen, atau kesadaran menurun memerlukan rawat inap dan pasien
dengan gejala klinis tersebut diterapi sebagai pasien demam tifoid yang
berat. Selain pemberian antibiotik, penderita perlu istirahat total serta
terapi suportif. Yang diberikan antara lain cairan untuk mengkoreksi
ketidakseimbangan cairan dan elektrolit dan antipiretik. Nutrisi yang
adekuat melalui TPN dilanjutkan dengan diet makanan yang lembut dan
mudah dicerna secepat keadaan mengizinkan.
II.1.6.2 Terapi Nonfarmakologi
Menyediakan makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi,
higiene perorangan terutama menyangkut kebersihan tangan dan
lingkungan, sanitasi yang baik dan tersedianya air bersih sehari-hari.
II.2 Abses Hati
II.1.2 Definisi Abses Hati
Abses hepatik (HA) dapat didefinisikan sebagai kumpulan bahan
supuratif yang dienkapsulasi dalam parenkim hati, yang dapat terinfeksi
oleh organisme mikro bakteri, jamur, dan atau parasit.

II.1.3 Etiologi

Abses hepatik (HA) tetap menjadi masalah serius dan seringkali


sulit didiagnosis. HAs dapat dibagi menjadi tiga kategori utama
berdasarkan kondisi yang mendasarinya: menular, ganas, dan iatrogenik.
Abses infeksius termasuk yang sekunder akibat perpanjangan langsung
dari infeksi lokal, bakteremia sistemik, dan infeksi intra-abdomen yang
menghasilkan sistem portal. Namun, selama bertahun-tahun, faktor
etiologi dan risiko untuk HA terus berkembang. Pengenalan cepat penting
untuk menerapkan manajemen yang efektif dan mendapatkan hasil yang
baik.
Pasien diabetes juga lebih cenderung hadir dengan abses multipel.
Ada beberapa ciri patofisiologis DM yang berkontribusi terhadap risiko
infeksi yang lebih tinggi. Misalnya, hiperglikemia diketahui mengubah
metabolisme neutrofil. Penderita diabetes juga telah terbukti memiliki
kemotaksan polimorfonuklear leukosit (PMN) dan fagositosis yang
melemahkan pertahanan kekebalan tubuh mereka terhadap infeksi dan
membuat mereka lebih rentan terhadap pembentukan abses.
Seperti penderita diabetes, pasien dengan sirosis hati memiliki
peningkatan risiko HA karena keadaan kekebalan tubuh mereka. Kondisi
dan perawatan lainnya dapat membahayakan sistem kekebalan tubuh dan
membuatnya tidak memadai untuk menangkal patogen. Ini termasuk
berbagai imunodefisiensi, kemoterapi, keganasan padat, terapi
imunosupresi setelah transplantasi organ, serta splenektomi di antaranya
telah dikaitkan dengan peningkatan risiko HA.

II.1.4 Patofisiologi

Hati menerima darah dari sirkulasi portal dan sistemik. Penurunan


ketahanan terhadap infeksi akan diperkirakan memberikan penurunan
keterpaparan terhadap bakteri. Lapisan sel kupffer dari sinusoid hati
membunuh bakteri secara efisien infeksi jarang terjadi. Sumber abses liver
antara lain : saluran biliari, portal vena / sistemik, kriptogenik,
hematogenus, trauma, infeksi sekunder kista / tumor, post operasi

II.1.5 Manifestasi Klinik

Beberapa manifestasi klinik yang terjadi pada pasien abses hati


seperti demam, penurunan berattraditional badan, muntah / mual ,
anoreksia, nyeri bahu kanan, malaise, nyeri perut, keringat di malam hari

II.1.6 Penatalaksanaan

Pemilihan antibiotic yang berspektrum luas dapat membunuh


microorganism yang di kultur dari abses pada hati. Sefalosporin generasi
pertama dapat digunakan untuk pengobatan. Antibiotik pada abses hati
sekunder biliari terdiri dari ampisilin atau ureidopenisilin dikombinasi
dengan aminoglikosida.
Regimen empiris berdasarkan hasil kultur :

a. tradisional : ampisilin iv 2 gram / 6 jam + gentamicin iv 1.7 mg/kg +


metronidazole 0.5 gram/8 jam

b. first line : cefotaxime 2 gram iv / 8 jam atau ceftriaxone 2 gram iv /


24 jam + metronidazole 0.5 gram iv / 8 jam atau piperacillin / tazobactam
3.375 gram iv / 6 jam tambahkan metronidazole jika kemungkinan abses
hati amuba.

Drainase abses adalah terapi optimal untuk abses hati piogenik.


Dilakukan sebagai pengobatan primer pada kondisi seperti kompleks atau
pecahnya abses, abses ganda, abses tidak dapat dijangkau secara perkutan,
abses luas ( > 5 cm ), munculnya masalah bedah yang berhubungan
(contoh peritonitis), drainase mungkin dapat terselesaikan secara
laparoskopi
BAB III

STUDI KASUS

III.1 Profil Penderita

Nama : Tn Takdir

Umur : 28 tahun

Jenis Kelamin : Laki-Laki

Alamat : Kassi Lompoa

Masuk RS : 4/10/2017

Ruang Inap : Baji Pamai

Cara Bayar : Mandiri

No. RM : 356038

KRS : 12/10/2017

III.2 Profil Penyakit

Keluhan Utama : demam lebih dari seminggu, menggigil, mual, muntah

Riwayat Penyakit :-

Diagnosa awal :Thyphoid

Diagnosa Utama : Abses hati


III.3 Data Klinik
Berdasarkan hasil pemeriksaan pasien oleh dokter, maka diperoleh data fisik pasien selama menerima perawatan di rumah sakit

Nilai Hasil Pengamatan (Tanggal Ke-)


No Data Klinik Keterangan :
Rujukan 4 5 6 7 8 9 10 11 12
120/80 Pasien mengalami =
1 Tekanan Darah mmHg 100/90 90/60 100/60 100/70 100/60 100/60 100/70 110/70 100/70
Pasien tidak
Pernapasan 16-24 mengalami = -
2 kali/menit 20 20 18 20 22 20 20 27 20

60-100
3 Denyut Nadi 90 80 80 80 80 78 78
kali/menit 72 78
Suhu Badan 36-37,5C
4 39C 38C 36.5C 38.3C 37C 39C 36C 36C 36C

5 Nyeri perut - - - -
6 lemas - - - - -

Nafsu makan -
7 - - - -
- -
- -
berkurang
8 Susah tidur - - - - - - - - -

9 Mual - - - - - - - - -

10 Muntah - - - - - - - - -
III.4 Data Laboratorium

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium sampel darah pasien maka


diperoleh data seperti pada Tabel III.4

Tabel III.4 Data Hasil Pemeriksaan Laboratorium Pasien

No Pemeriksaan Nilai Normal Hasil Pemeriksaan


1. WBC 4,3-10,8 (103/mm3) 21.2x103/mm3
2. RBC 4,20-6,40 (106/mm3) 3.47x106/mm3
3. HGB 12,0-18,0 (g/dL) 9.4 g/dL
4. HCT 37,0-52,0 (%) 30.6%
3 3
5. PLT 130-450 (10 /mm ) 788x103/mm3
6 MCV 80-99 (m3) 88.2 m3
7 MCH 27,0-31,0 (pg) 27.1 pg
8 MCHC 33,0-37,0 (g/dL) 30.7 g/dL
9 RDW 10,0-15,0 (%) 45.6 %
10 MPV 6,5-11,0 (m3) 7.6 m3
11 PDW 10,0-18,0 (%) 8.2 %
12 LYM 1,2-3,2 103/mm3 3.8 x103/mm3

Keterangan : Cetak merah : Hasil diatas nilai normal

Cetak biru : Hasil dibawah nilai normal

Cetak hitam : Hasil normal


III. 5 Profil Pengobatan

Selama menjalani perawatan, pasien mendapatkan beberapa pengobatan, rangkumannya seperti pada tabel
Tabel III.5 Data Profil Pengobatan Pasien

Dosis dan Rute Tanggal Pemberian Obat 4-12 Oktober 2017


No Nama Obat Aturan Pakai
Pemberian 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1 Ringer laktat 500 mL secara i.v 28tpm
2 Paracetamol infus 10mg/mL secara i.v 20 tpm - - - -
3 Cefotaxime injeksi 1gram/vial 1 gram/12jam - -
4 Ceftriaxone injeksi 0.5g/10 mL secara i.v 1gr/12 jam - - - - - - - -
5 Ranitidine tablet 75mg secara oral 75mg/12 jam - - - - - - -
- - -
6 Santagesic injeksi 500mg/mL secara i.v 0.5 g/8jam - - - - -

Paracetamol 500mg - - -
7 500 mg secara oral 500 mg/8 jam -
tablet
8 Ranitidine injeksi 50mg/2 mL secara i.v 50mg/8jam -
9 Cefadroxyl capsul 500mg secara oral 1 gr/12 jam - - - - - - - -
Metoclopramide - -
10 10mg secara oral 10mg/6jam - - - - - -
tablet
11 Ketorolac injeksi 30 mg/mL 30mg/6 jam - - - - - - -
15 mg/kgBB selama
12 Metronidazole infus 500 mg/100mL - - - - - - - -
30-60menit

Keterangan : Obat diberikan =

Obat tidak diberikan =-


III. 6Analisa Rasionalitas Obat
Berdasarkan data pengobatan yang diterima pasien selama di rumah sakit, maka data hasil analisis rasionalitas pengobatan pasien
seperti pada tabel
Aturan Cara Lama
Indikasi Obat Dosis Penderita
No. Nama Obat Pakai Pemberian pemberian
R/ IR R/ IR R/ IR R/ IR R/ IR R/ IR R/ IR
1 Ringer laktat IR IR R R IR R IR
2 Paracetamol infus R R R R R R R
3 Cefotaxime injeksi IR IR R R IR R R
4 Ceftriaxone injeksi IR R R R IR R R
5 Ranitidine tablet R IR R IR IR R R
6 Santagesic injeksi IR IR R R IR R R
7 Paracetamol 500mg tablet R R R R R R R
8 Ranitidine injeksi IR IR R R IR R R
9 Cefadroxyl capsul IR IR R R IR R R
10 Metoclopramide tablet IR IR R R IR R R
11 Ketorolac injeksi IR IR R R IR R R
12 Metronidazole infus R R R R R R R
Keterangan: R = Rasional IR = Irasional
III.7 Assesment and Plan

Berdasarkan analisis rasional pengobatan pasien selama dirawat di rumah sakit,


maka dilakukan assessment dan plan seperti pada tabel

Tabel III.7. Data Assesment dan Plan terhadap profil pengobatan pasien

Problem
Terapi DRP Rekomendasi Monitoring
Medik
Anti vomiting,anti Tidak diberikan Perlu segera Perforasi
nausea.
Metoclopramide
terapi berdasarkan diberi cairan
Mual,muntah usus,
injeksi daapt tanda yang muncul elekttolit
diberikan obstruksi GI

Pemberian Tidak dilakukan Harus dilakukan Pengukuran


antiamoeba, abses drainase tindakan drainase kadar obat
abses drainase karena agar abses tidak dalam darah
permintaan menyerang organ
keluarga untuk lainnya
Abses hati mengurus BPJS
Pemberian Diberikan RL Ganti cairan yang Serum
cairan eletrolit tidak ionogram,
dimetabolisme kesetimbangan
dihati yaitu asam basa
asering
III.8 Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

INSTALASI FARMASI RS LABUANG BAJI MAKASSAR

PELAYANAN FARMASI KLINIK, PIO DAN MUTU

FORM PEMBERIAN KONSELING OBAT

Nama : Tn T Ruang Perawatan : Baji Pamai

No. RM : 356xxx Alamat : Kassi lompoa, Kec.Galesong

Jenis kelamin : Laki-laki MRS : 4 oktober 2017

Diagnosa : Thyphoid

Data Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)

Tanggal
Masalah/ Keluhan Edukasi Konseling yang Diberikan
Konseling
No
1. 4/10/2017 demam lebih dari Pemberian antipiretik oral, anti emetic - Menganjurkan pasien minum air putih
seminggu, menggigil, dan anti nausea secara oral/injeksi, anti yang banyak
mual, muntah, nyeri perut spasmodic oral . - Meminum obat secara tepat
- Beristirahat cukup
2 5/10/17 Demam, nyeri perut, Pemberian antipiretik oral, - Hindari konsumsi makanan yang bersifat
antispasmodik oral keras seperti mie instan,bakso
- Menganjurkan pasien minum air putih
yang banyak
- Beristirahat cukup
3 6/10/17 Demam,nyeri perut,lemas Pemberian antipiretik dan analgesic - Menganjurkan pasien minum air putih
oral seperti parasetamol, vitamin yang banyak
becomplex - Minum obat secara tepat waktu
- Beristirahat cukup
4 7/10/17 Demam, lemas Pemberian antipiretik oral, vitamin - Melakukan gerakan kecil selama bed rest
becomplex - Menganjurkan pasien minum air putih
yang banyak
- Beristirahat cukup
5 8/10/17 Demam,nyeri perut Pemberian antipiretik oral, - Hindari konsumsi makanan bersifat keras,
antispasmodik oral minuman soda
- Menganjurkan pasien minum air putih
yang banyak
- Beristirahat cukup
6 9/10/17 Demam,lemas Pemberian antipiretik oral, vitamin - Minum obat secara tepat waktu
becomplex - Menganjurkan pasien minum air putih
yang banyak
- Beristirahat cukup
7 10/10/17 Demam Pemberian antipiretik oral - Minum obat secara tepat waktu
- Menganjurkan pasien minum air putih
yang banyak
- Beristirahat cukup
8 11/10/17 Demam,nyeri perut Pemberian antipiretik dan analgesic - Menganjurkan pasien minum air putih
oral seperti parasetamol yang banyak
- Beristirahat cukup
- Hindari konsumsi makanan bersifat keras,
minuman soda
9 12/10/17 Demam,nyeri perut Pemberian antipiretik dan analgesic - Menganjurkan pasien minum air putih
oral seperti parasetamol yang banyak
- Beristirahat cukup
- Hindari konsumsi makanan bersifat keras,
minuman soda
Uraian Bahan

1. Ringer laktat

Komposisi : Per 1000 mL Natrium laktat 3,1 gram, NaCl 6 gram, KCl 0,3
gram, CaCl2 0,2 gram, air untuk injeksi ad 1,000 mL

Indikasi : Sebagai sumber elektrolit dan air untuk hidrasi pada pasien
dewasa dan anak

Kontraindikasi : Larutan ini kontraindikasi bila pemberian natrium, kalium,


kalsium, laktat atau klorida secara klinis dapat berbahaya.
Pemberian laktat kontra indikasi pada pasien dengan
metabolik asidosis atau metabolik alkalosis yang parah, dan
pada pasien dengan penyakit hati yang parah atau kondisi
anorexia yang mempengaruhi metabolisme laktat

Dosis : Dosis ditentukan oleh dokter, tergantung umur, berat badan,


dan kondisi klinis pasien serta hasil lab. Pemberian cairan
harus berdasarkan kebutuhan cairan pemeliharaan yang
dihitung atau kebutuhan cairan pengganti untuk setiap
pasien.

Efek samping : . Reaksi alergi atau gejala anafilaktik seperti urtikaria lokal
atau umum dan pruritus, bengkak periorbital, muka, dan/atau
laring; batuk, bersin, dan/atau susah bernafas telah dilapor
kan dengan pemberian Ringer Laktat. Kejadian ini lebih
tinggi pada wanita hamil.
Reaksi yang mungkin terjadi karena larutannya atau teknik
pemberian berupa demam, infeksi pada tempat suntikan,
trombosis vena atau plebitis, ektravasasi dan hipervolemi.

Peringatan & : Larutan mengandung laktat tidak digunakan untuk


Perhatian pengobatan asidosis laktat.
Gunakan hati-hati pada pasien dengan alkalosis metabolik
atau alkalosis pernafasan, dan pada kondisi dimana ada
peningkatan kadar atau pada kondisi penggunaan laktat
terganggu, seperti insufisiensi hati yang parah.
Pemberian larutan IV dapat menyebabkan kelebihan cairan
yang menyebabkan terencerkannya konsentrasi serum
elektrolit, overhidrasi, keadaan sesak atau edema paru.
Gunakan secara hati-hati pada pasien dengan gagal jantung,
insufisiensi ginjal yang parah, dan pada kondisi klinis
dimana terjadi retensi natrium disertai edema.
Gunakan dengan sangat hati-hati pada pasien dengan
hiperkalemia, gagal ginjal parah, dan pada kondisi dimana
terjadi retensi kalium.

Mekanisme : Natrium, sebagai kation utama dalam cairan ekstra selular,


kerja berfungsi terutama untuk mengontrol distribusi air,
keseimbangan cairan, dan tekanan osmotik cairan tubuh.
Natrium bersama dengan klorida dan bikarbonat mengatur
keseimbangan asam-basa.
Kalium, kation utama cairan intraselular, terlibat dalam
penggunaan karbohidrat dan sintesa protein, dan sangat
penting dalam pengaturan konduksi saraf dan kontraksi otot,
terutama pada jantung.
Klorida, anion utama ekstra seluler, metabolismenya
mengikuti natrium, dan perubahan keseimbangan asam-basa
tubuh mencerminkan perubahan konsentrasi klorida.
Kalsium, suatu kation yang penting, memelihara kerangka
tulang dan gigi dalam bentuk senyawa kalsium fosfat dan
kalsium karbonat. Dalam bentuk ion, kalsium penting untuk
mekanisme fungsional penggumpalan darah, fungsi jantung
yang normal, dan regulasi "neuromuscular irritability".
Natrium laktat adalah suatu garam rasemik yang dalam
bentuk levo, oleh liver dioksidasi menjadi bikarbonat , dan
bentuk dextro dirubah menjadi glikogen. Laktat secara
perlahan dimetabolisme menjadi CO2 dan H2O, dengan 1 ion
hidrogen membentuk bikarbonat. Reaksi ini tergantung
aktivitas oksidatif selular.

2. Paracetamol infus

Komposisi : Parasetamol 1000mg/100mL

Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan demam

Kontraindikasi : Hipersensitiv terhadap parasetamol atau komponennya

Dosis : Anak 1-3 bulan 30-60 mg setiap 8 jam sebagai ; 3 bulan - 1


tahun 60-120 mg , 1-6 tahun 120-250 mg , 6 - 12 tahun 250-
500 mg , dosis ini dapat diulang setiap 4-6 jam bila
diperlukan ( maks. 4 dosis dalam 24 jam ) Infus intravena
lebih dari 15 menit , DEWASA dan ANAK lebih dari 50 kg ,
1 g setiap 4-6 jam , maks . 4g sehari ;DEWASA dan ANAK
10-50 kg , 15 mg / kg setiap 4-6 jam ,maks . 60 mg / kg
sehari , neonatus dan ANAK kurang dari 10 kg , 7,5 mg / kg
setiap 4-6 jam , maks . 30 mg / kgsehari

Efek samping : Efek samping dalam dosis terapi jarang; kecuali ruam kulit,
kelainan darah, pankreatitis akut pernah dilaporkan setelah
penggunaan jangka panjang

Peringatan & : Hati-hati pada pasien yang sudah berkurang fungsi hati &
Perhatian ginjal, dan ketergantungan pada alcohol. Toksisitas
parasetamol dapat disebabkan dari penggunaan dosis tunggal
yang toksik, dari penggunaan berulang dosis yang besar,
atau penggunan obat yang kronis. Pengaruh Terhadap
Kehamilan Faktor risiko : B. Pengaruh Terhadap Ibu
Menyusui Diekskresikan dalam air susu ibu dalam
konsentrasi rendah. Pengaruh Terhadap Anak-anak
Konsultasikan dengan dokter pada penggunaan obat > 5 hari

Mekanisme : Onset : <1 jam Duration: 4-6 jam. Absorbsi : tidak


kerja sempurna. Metabolisme : Terapi dosis lazim, dimetabolisme
di hati menjadi sulfate dan glucuronide.Waktu paruh :
berkepanjangan diikuti toksik neonatus: 2-5jam; anak: 1-
3jam. Waktu puncak, serum: Oral: 10-60 menit; tertunda bila
dosis tinggi. Ekskresi : Urine (2%- 5% tidak berubah; 55%
metabolit glucuronide ; 30% metabolit sulphate)

3. Cefotaxime injeksi

Komposisi : Infus sebagai sodium. Dilarutkan dalam D5W : 1g/50mL; 2


g/50 mL
Injeksi sebagai sodium dalam bentuk serbuk untuk
dilarutkan : 500 mg, 1 g, 2 g, 10, 20g.
Indikasi : Infeksi saluran napas, kulit dan struktur kulit, tulang dan
sendi, saluran urin, ginekologi seperti, septisemiam dugaan
meningitis, aktif terhadap basil Gram negative (kecuali
Pseudomonas), Gram positif cocci (kecuali
enterococcus).Aktif terhadap beberapa penicillin yang
resisten pneumococcus.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sefotaksim, komponen lain dalam


sediaan dan sefalosporin lainnya.

Dosis : Anak > 12 tahun dan dewasa :Infeksi tanpa komplikasi :


I.M., I.V. :1g setiap 12 jam. Infeksi sedang-parah : I.M., I.V.
: 1-2 g setiap 8 jam. Sepsis : I.V. : 2 g setiap6- 8 jam.
Infeksi yang dapat mengancam hidup : I.V. : 2 g setiap 4
jam. Preop : I.M., I.V. : 1 g , 30-90 menit sebelum
pembedahan. Pengaturan dosis pada penurunan fungsi hati:
Mengurangi dosis moderat Continuous arteriovenous
hemodiafiltration effect : diberikan 1 g setiap 12 jam

Efek samping : 1% - 10% :Kulit : rash, pruritusSaluran cerna : Saluran cerna


: kolitis, diare, mual dan muntahLokal : sakit pada tempat
suntikan. <1% : Anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian
injeksi I.V kateter pusat), peningkatan BUN,
kanidiasis,kreatinin meningkat, eusinophilila, erythema
multiforme, demam, sakit kepala, interstitial nephritis,
neutropenia, phlebitis, pseudomembranous colitis, sindrom
Stevens-Johnson, trombositopenia, transaminases
meningkat, toxic epidermal necrolysis, urtikaria, vaginitis.
Dilaporkan juga adanya reaksi ESO dari sefalosporin lainnya
: Agranulositosis, anemia hemolitik, pendarahan,
pancytopenia, disfungsi ginjal, pusing, superinfeksi, toxic
nephropathy.

Peringatan & : Penyesuaian dosis untuk pasien dengan penurunan fungsi


Perhatian ginjal. Penggunaan dalam waktu lama dapat mengakibatkan
superinfeksi. Arithmia dilaporkan terjadi pada pasien yang
diberikan injeksi dengan injeksi bolus via central line. Pasien
dengan riwayat alergi terhadap penisilin khususnya reaksi
IgE (anafilaktik, urtikaria). Dapat terjadi antibiotic
associated colitis atau colitis secondary menjadi C.
difficilefaktor risiko B pada kehamilanSefotaksim
didistribusikan ke dalam air susu sehingga penggunaannya
pada ibu menyusui harus disertai perhatian.
Mekanisme : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan
kerja dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin
binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat
tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel
bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel.
Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik
(autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.Farmakokinetik :
a.Absorbsi:
b. Distribusi : luas pada jaringan tubuh dan cairan termasuk
aqueous humor, cairan asites dan cairan prostat, tulang;
penetrasi CFS baik jika ada inflamasi meningitis; menembus
plasenta;masuk kedalam ASI.
c. Metabolisme : sebagian dimetabolisme di hati menjadi
metabolit aktif deasetilsefotaksim.
d. Waktu paruh eliminasi :
Cefotaxim : Neonatus premature < 1 minggu : 5-6 jam;
neonatus < 1 minggu : 2-3,4 jam ; Dewasa : 1-1,5 jam;
diperpanjang untuk pasien dengan kerusakan hepar dan/atau
ginjal
e.Desacetylcefotaxime : 1,5-1,9 jam; diperpanjang untuk
pasien dengan kerusakan hepar dan/atau ginjale. Waktu
untuk mencapai konsentrasi puncak plasma : pada
pemberian melalui I.M. 30 menit.
f. Ekskresi : melalui urin sebagai zat aktif dan metabolit

4. Ceftriaxone injeksi

Komposisi : Infus sebagai sodium. Dilarutkan dalam D5W : 1g/50mL; 2


g/50 mL .Injeksi sebagai sodium dalam bentuk serbuk untuk
dilarutkan : 500 mg, 1 g, 2 g, 10, 20g.
Cara pemakaian :
Diberikan dengan IVP diatas 3-5 menit.
I.V. infus intermitten diatas 3-5 menit.

Indikasi : Infeksi saluran napas, kulit dan struktur kulit, tulang dan
sendi, saluran urin, ginekologi seperti, septisemiam dugaan
meningitis, aktif terhadap basil Gram negative (kecuali
Pseudomonas), Gram positif cocci (kecuali enterococcus).
Aktif terhadap beberapa penicillin yang resisten
pneumococcus.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sefotaksim, komponen lain dalam


sediaan dan sefalosporin lainnya.

Dosis : Anak > 12 tahun dan dewasa :Infeksi tanpa komplikasi :


I.M., I.V. : 1g setiap 12 jam.
Infeksi sedang-parah : I.M., I.V. : 1-2 g setiap 8 jam.
Sepsis : I.V. : 2 g setiap 6- 8 jam.
Infeksi yang dapat mengancam hidup : I.V. : 2 g setiap 4jam.
Preop : I.M., I.V. : 1 g , 30-90 menit sebelum pembedahan.
C-section : 1 g setelah pemotongan tali pusat, kemudian 1 g
I.M. dengan interval 6 dan 12 jam
Pengaturan dosis pada penurunan fungsi ginjal:
CLCr 10-50 mL/menit : Diberikan setiap 8-12 jam.
CLCr 10-50 mL/menit : Diberikan setiap 24 jam.
Hemodialysis : Moderately dialyzable
Pengaturan dosis pada penurunan fungsi hati:
Mengurangi dosis moderat Continuous arteriovenous
hemodiafiltration effect : diberikan 1 g setiap 12 jam

Efek samping : 1% - 10% :Kulit : rash, pruritus. Saluran cerna : Saluran


cerna : kolitis, diare, mual dan muntahLokal : sakit pada
tempat suntikan
<1% : Anafilaksis dan aritmia (setelah pemberian injeksi
I.V kateter pusat), peningkatan BUN, kanidiasis,kreatinin
meningkat, eusinophilila, erythema multiforme, demam,
sakit kepala, interstitial nephritis, neutropenia, phlebitis,
pseudomembranous colitis, sindrom Stevens-Johnson,
trombositopenia, transaminases meningkat, toxic epidermal
necrolysis, urtikaria, vaginitis.
Dilaporkan juga adanya reaksi ESO dari sefalosporin lainnya
:Agranulositosis, anemia hemolitik, pendarahan,
pancytopenia, disfungsi ginjal, pusing, superinfeksi, toxic
nephropathy.

Peringatan & : Penyesuaian dosis untuk pasien dengan penurunan fungsi


Perhatian ginjal. Penggunaan dalam waktu lama dapat mengakibatkan
superinfeksi. Arithmia dilaporkan terjadi pada pasien yang
diberikan injeksi dengan injeksi bolus via central line. Pasien
dengan riwayat alergi terhadap penisilin khususnya reaksi
IgE (anafilaktik, urtikaria). Dapat terjadi antibiotic-
associated colitis atau colitis secondary menjadi C.
difficilefaktor risiko B pada kehamilan Sefotaksim
didistribusikan ke dalam air susu sehingga penggunaannya
pada ibu menyusui harus disertai perhatian.
Mekanisme : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan
kerja dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-
binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat
tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel
bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel.
Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik
(autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.Farmakokinetik:
a.Absorbsi:
b. Distribusi : luas pada jaringan tubuh dan cairan termasuk
aqueous humor, cairan asites dan cairan prostat, tulang;
penetrasi CFS baik jika ada inflamasi meningitis; menembus
plasenta; masuk kedalam ASI.
c. Metabolisme : sebagian dimetabolisme di hati menjadi
metabolit aktif deasetilsefotaksim.
d. Waktu paruh eliminasi :
Cefotaxim : Neonatus premature < 1 minggu : 5-6 jam;
neonatus < 1 minggu : 2-3,4 jam ; Dewasa : 1-1,5 jam;
diperpanjang untuk pasien dengan kerusakan hepar dan/atau
ginjal
e.Desacetylcefotaxime : 1,5-1,9 jam; diperpanjang untuk
pasien dengan kerusakan hepar dan/atau ginjal. Waktu untuk
mencapai konsentrasi puncak plasma : pada pemberian
melalui I.M. 30 menit.
f. Ekskresi : melalui urin sebagai zat aktif dan metabolit.

5. Ranitidine tablet

Komposisi : Tablet 75 mg, 150 mg, Kaplet 300 mg, Sirup 75 mg/5ml (60
ml, 100 ml, 150 ml), Ampul 25 mg/ml (2 ml)

Indikasi : Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak


lambung, tukak duodenum, active benign ulcer, refluks
gastroesofagus (GERD), esofagitis erosif, kondisi
hipersekresi patologis. Sebagai bagian regimen multiterapi
eradikasi H. pylori untuk mengurangi risiko kekambuhan
tukak duodenal.

Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap ranitidin atau bahan-bahan lain


dalam formulasi
Dosis : (a) Tukak lambung dan duodenum:anak (1 bulan-16 tahun)
oral:2-4 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis terapi
maksimum:300 mg/hari. Dosis pemeliharaan:2-4 mg/kg
sekali sehari; dosis pemeliharaan maksimum: 150 mg/hari.
IV: 2-4 mg/kg/hari dibagi setiap 6-8 jam, maksimum 150
mg/hari.
Tukak duodenum: dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari atau 300
mg sekali sehari setelah makan malam atau sebelum tidur
malam. Dosis pemeliharaan:150 mg sekali sehari sebelum
tidur malam.

Tukak lambung ringan:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari;


dosis pemeliharaan 150 mg sekali sehari sebelum tidur
malam
(b) Refluks gastroesofagus dan esofagitis erosif:anak 1
bulan-16 tahun: oral:5-10 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali
sehari; dosis maksimum:refluks gastroesofagus:300 mg/hari,
esofagitis erosif:600 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi tiap
6-8 jam, maksimum:150 mg/hari atau sebagai suatu
alternatif infus kontinu: dosis awal:1 mg/kg/dosis untuk satu
dosis diikuti oleh infus 0,08-0,17 mg/kg /jam atau 2-4
mg/kg/hari.
Esofagitis erosif:dewasa:oral:150 mg 4 kali/hari; dosis
pemeliharaan 150 mg 2 kali sehari.

(c) Dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari, dosis atau frekuensi


disesuaikan dengan petunjuk dokter; dapat digunakan dosis
sampai dengan 6g/hari.

(d) Eradikasi Helicobacter pilory:150 mg 2 kali sehari;


membutuhkan terapi kombinasi.

(e) Untuk mencegah heartburn:anak 12 tahun dan dewasa:75


mg 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau
minuman yang dapat memicu heartburn; maksimum:150
mg/24 jam;jangan digunakan lebih dari 14 hari.
(f) Untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat secara
oral:IM:50 mg tiap 6-8 jam;IV:intermittent bolus atau
infus:50 mg tiap 6-8

(g) Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM


diberikan tanpa pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan,
dapat diberikan melalui IVP (intravenous pyelogram) atau
IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV kontinu.
Untuk IVP:ranitidin(biasanya 50 mg)harus diencerkan
sampai total 20 ml dengan normal saline atau larutan
dekstrosa 5% dalam air dan diberikan selama minimal 5
menit.jam; Infus IV kontinu:6,25 mg/jam.IVPB:diberikan
selama 15-20 menit. Infus IV kontinu:diberikan dengan
kecepatan 6,25 mg/jam dan titrasi dosis berdasarkan pH
lambung selama 24 jam.

Efek samping : AV block, bradikardi, premature ventricular beats,


takikardia, vasculitis, agitasi, pusing, depresi, halusinasi,
sakit kepala, insomnia, malaise, bingung mental,,
somnolence, vertigo,aAlopecia, erythema multiforme, ruam,
meningkat kadar prolaktin, nyeri abdominal, konstipasi,
diarrhea, nausea, pancreatitis, muntah, hemolytic anemia,
agranulocytosis, aplastic anemia, granulocytopenia,
leukopenia, pancytopenia, thrombocytopenia,
hepatitis,arthralgia, myalgia,kabur penglihatan, meningkat
serum kreatinin, , pneumonia, anaphylaxis, angioneurotic
edema, reaksi hipersensitivitas.
Peringatan & : Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan
Perhatian fungsi hati; dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal; hindari penggunaan pada
pasien dengan sejarah porfiria akut (dapat memicu
serangan); terapi jangka panjang mungkin berhubungan
dengan defisiensi vitamin B12; keamanan dan
efikasi belum ditetapkan untuk pasien anak-anak usia <1
bulan.

Mekanisme : Secara kompetitif menghambat histamin pada H2 reseptor


kerja dari sel parietal lambung sehingga sekresi asam lambung,
volume lambung berkurang, dan kosentrasi ion hidrogen
berkurang.

6. Santagesic injeksi

Komposisi : Tablet : 500mg. Injeksi : ampul 500 mg/ml, 1 g/2 ml. Syrup :
250mg/5ml. Drops : 250 mg/ml (20 ml), 500 mg/ml (10 ml

Indikasi : Analgesik antipiretik

Kontraindikasi : Hipersensitiv metampiron

Dosis : Metampirone diberikan secara oral dengan dosis 0,5-4 g


sehari dalam dosis terbagi. Juga diberikan dengan injeksi
intramuscular atau intravena dan rektal sebagai supositoria.

Efek samping : Agranulositosis, insidennya kurang dari 0,01%, risiko


meningkat pada dosis tinggi dan penggunaan jangka waktu
lama, sehingga tes darah harus dilakukan secara berkala.
Intoksikasi akut yang dapat mengakibatkan kejang

Peringatan & : Karena metampiron berisiko merugikan, di banyak negara


penggunaannya hanya untuk rasa sakit atau demam berat di
Perhatian mana tidak ada alternatif tersedia atau tidak cocok.
Hati-hati pada pasien yang memiliki riwayat gangguan
pembentukan sel darah, gangguan fungsi hati, fungsi ginjal.
Tidak diindikasikan untuk nyeri otot pada flu, rheumatism,
lumbago, bursitis, nyeri lengan-bahu.

Mekanisme : Setelah pemberian oral, metampiron dengan cepat


kerja dihidrolisis di saluran gastroin-testinal diubah metabolit aktif
4-metil-amino-antipyrine, dan diabsorpsi secara sempurna.
T1/2: 4-7 jam. Metampirone juga cepattidak terdeteksi
dalam plasma setelah dosis intravena. Tak satu pun
darimetabolitnya secara luas terikat dengan protein plasma .
Sebagian besar dosis diekskresikan dalam urin sebagai
metabolit.Metabolit dipyrone juga didistribusikan ke dalam
ASI.

7. Paracetamol 500mg tablet

Komposisi : Parasetamol 500mg

Indikasi : Nyeri ringan sampai sedang dan demam

Kontraindikasi : Hipersensitiv terhadap parasetamol atau komponennya

Dosis : Anak 1-3 bulan 30-60 mg setiap 8 jam sebagai ; 3 bulan - 1


tahun 60-120 mg , 1-6 tahun 120-250 mg , 6 - 12 tahun 250-
500 mg , dosis ini dapat diulang setiap 4-6 jam bila
diperlukan ( maks. 4 dosis dalam 24 jam ) Infus intravena
lebih dari 15 menit , DEWASA dan ANAK lebih dari 50 kg ,
1 g setiap 4-6 jam , maks . 4g sehari ;DEWASA dan ANAK
10-50 kg , 15 mg / kg setiap 4-6 jam ,maks . 60 mg / kg
sehari , neonatus dan ANAK kurang dari 10 kg , 7,5 mg / kg
setiap 4-6 jam , maks . 30 mg / kgsehari

Efek samping : Efek samping dalam dosis terapi jarang; kecuali ruam kulit,
kelainan darah, pankreatitis akut pernah dilaporkan setelah
penggunaan jangka panjang

Peringatan & : Hati-hati pada pasien yang sudah berkurang fungsi hati &
Perhatian ginjal, dan ketergantungan pada alcohol. Toksisitas
parasetamol dapat disebabkan dari penggunaan dosis tunggal
yang toksik, dari penggunaan berulang dosis yang besar,
atau penggunan obat yang kronis. Pengaruh Terhadap
Kehamilan Faktor risiko : B. Pengaruh Terhadap Ibu
Menyusui Diekskresikan dalam air susu ibu dalam
konsentrasi rendah. Pengaruh Terhadap Anak-anak
Konsultasikan dengan dokter pada penggunaan obat > 5 hari

Mekanisme : Onset : <1 jam Duration: 4-6 jam. Absorbsi : tidak


kerja sempurna. Metabolisme : Terapi dosis lazim, dimetabolisme
di hati menjadi sulfate dan glucuronide.Waktu paruh :
berkepanjangan diikuti toksik neonatus: 2-5jam; anak: 1-
3jam. Waktu puncak, serum: Oral: 10-60 menit; tertunda bila
dosis tinggi. Ekskresi : Urine (2%- 5% tidak berubah; 55%
metabolit glucuronide ; 30% metabolit sulphate)

8. Ranitidine injeksi

Komposisi : Ampul 25 mg/ml (2 ml)

Indikasi : Terapi jangka pendek dan pemeliharaan untuk tukak


lambung, tukak duodenum, active benign ulcer, refluks
gastroesofagus (GERD), esofagitis erosif, kondisi
hipersekresi patologis. Sebagai bagian regimen multiterapi
eradikasi H. pylori untuk mengurangi risiko kekambuhan
tukak duodenal.

Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap ranitidin atau bahan-bahan lain


dalam formulasi

Dosis : (a) Tukak lambung dan duodenum:anak (1 bulan-16 tahun)


oral:2-4 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali sehari; dosis terapi
maksimum:300 mg/hari. Dosis pemeliharaan:2-4 mg/kg
sekali sehari; dosis pemeliharaan maksimum: 150 mg/hari.
IV: 2-4 mg/kg/hari dibagi setiap 6-8 jam, maksimum 150
mg/hari.
Tukak duodenum: dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari atau 300
mg sekali sehari setelah makan malam atau sebelum tidur
malam. Dosis pemeliharaan:150 mg sekali sehari sebelum
tidur malam.

Tukak lambung ringan:dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari;


dosis pemeliharaan 150 mg sekali sehari sebelum tidur
malam
(b) Refluks gastroesofagus dan esofagitis erosif:anak 1
bulan-16 tahun: oral:5-10 mg/kg/hari dibagi menjadi 2 kali
sehari; dosis maksimum:refluks gastroesofagus:300 mg/hari,
esofagitis erosif:600 mg/hari. IV:2-4 mg/kg/hari dibagi tiap
6-8 jam, maksimum:150 mg/hari atau sebagai suatu
alternatif infus kontinu: dosis awal:1 mg/kg/dosis untuk satu
dosis diikuti oleh infus 0,08-0,17 mg/kg /jam atau 2-4
mg/kg/hari.
Esofagitis erosif:dewasa:oral:150 mg 4 kali/hari; dosis
pemeliharaan 150 mg 2 kali sehari.

(c) Dewasa:oral:150 mg 2 kali sehari, dosis atau frekuensi


disesuaikan dengan petunjuk dokter; dapat digunakan dosis
sampai dengan 6g/hari.

(d) Eradikasi Helicobacter pilory:150 mg 2 kali sehari;


membutuhkan terapi kombinasi.

(e) Untuk mencegah heartburn:anak 12 tahun dan dewasa:75


mg 30-60 menit sebelum mengkonsumsi makanan atau
minuman yang dapat memicu heartburn; maksimum:150
mg/24 jam;jangan digunakan lebih dari 14 hari.
(f) Untuk pasien yang tidak dapat menggunakan obat secara
oral:IM:50 mg tiap 6-8 jam;IV:intermittent bolus atau
infus:50 mg tiap 6-8

(g) Injeksi ranitidin dapat diberikan IM atau IV. Injeksi IM


diberikan tanpa pengenceran. Injeksi IV harus diencerkan,
dapat diberikan melalui IVP (intravenous pyelogram) atau
IVPB (intravenous piggy back) atau infus IV kontinu.
Untuk IVP:ranitidin(biasanya 50 mg)harus diencerkan
sampai total 20 ml dengan normal saline atau larutan
dekstrosa 5% dalam air dan diberikan selama minimal 5
menit.jam; Infus IV kontinu:6,25 mg/jam.IVPB:diberikan
selama 15-20 menit. Infus IV kontinu:diberikan dengan
kecepatan 6,25 mg/jam dan titrasi dosis berdasarkan pH
lambung selama 24 jam.

Efek samping : AV block, bradikardi, premature ventricular beats,


takikardia, vasculitis, agitasi, pusing, depresi, halusinasi,
sakit kepala, insomnia, malaise, bingung mental,,
somnolence, vertigo,aAlopecia, erythema multiforme, ruam,
meningkat kadar prolaktin, nyeri abdominal, konstipasi,
diarrhea, nausea, pancreatitis, muntah, hemolytic anemia,
agranulocytosis, aplastic anemia, granulocytopenia,
leukopenia, pancytopenia, thrombocytopenia,
hepatitis,arthralgia, myalgia,kabur penglihatan, meningkat
serum kreatinin, , pneumonia, anaphylaxis, angioneurotic
edema, reaksi hipersensitivitas.

Peringatan & : Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan gangguan


Perhatian fungsi hati; dibutuhkan penyesuaian dosis pada pasien
dengan gangguan fungsi ginjal; hindari penggunaan pada
pasien dengan sejarah porfiria akut (dapat memicu
serangan); terapi jangka panjang mungkin berhubungan
dengan defisiensi vitamin B12; keamanan dan
efikasi belum ditetapkan untuk pasien anak-anak usia <1
bulan.

Mekanisme : Secara kompetitif menghambat histamin pada H2 reseptor


kerja dari sel parietal lambung sehingga sekresi asam lambung,
volume lambung berkurang, dan kosentrasi ion hidrogen
berkurang.

9. Cefadroxyl capsul

Komposisi : Kapsul Sebagai Monohidrat 500 mg. Tablet Sebagai


Monohidrat 1 g. Sirup Kering Sebagai Monohidrat. Untuk
Dilarutkan 250 mg/5 ml (50 ml, 100 ml), 500 mg/5 ml

Indikasi : Pengobatan suspek infeksi bakteri, termasuk yang


disebabkan oleh Group A beta-hemolitic Streptococcus.
Profilaksis bakteri endokarditis pada pasien yang alergi
terhadap penisilin dan pasien yang operasi dan tindakan pada
gigi.

Kontraindikasi : Hipersensitif terhadap sefadroksil, komponen lain dalam


sediaan dan sefadroksil lain
Dosis : Oral :Anak : 30 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis
maksimal 2g/hari. Dewasa : 1-2 g/hari dibagi dalam 2
dosis.Profilaksis endokarditis :Anak : 50 mg/kg BB 1 jam
sebelum tindakan. Dewasa : 2 gram 1 jam sebelum tindakan
Interval pada pasien gangguan ginjal. ClCr 10-25 mL/menit :
diberikan setiap 24 jam. ClCr <10 mL/menit : diberikan
setiap 36 jam.

Efek samping : 1%-10% : Saluran cerna : Diare < 1% : Abdominal pain,


agranulositosis, anafilaksis, angioderma, athralgia,
kolestasis, dispepsia, erythema multiforme, demam, mual,
neutropenia, pruritus, kolitis pseudomembran, rash, serum
sickness, sindrom Steven-Johnson, trombositopenia, eticaria,
vaginitis, muntah. Dilaporkan reaksi dengan Cefalosporin
lain termasuk abdominal pain, anemia aplastik dan
hemolitik, peningkatan BUN, peningkatan kreatinin,
eosinofilia, hemorrhage, pansitopenia, disfungsi ginjal
, superinfeksi, nefrotoksik.

Peringatan & : Penyesuaian dosis pada pasien gangguan ginjal.Tablet


Perhatian ekstended release tidak di diindikasikan untuk anak <16
tahun. Penggunaan lama mengakibatkan superinfeksi.
Penggunaan pada pasien dengan riwayat alergi penisilin
terutama reaksi IgE mediated (anafilaksis, urtikaria) Faktor
risiko B pada kehamilan Sefadroksil didistribusikan ke
dalam air susu, sehingga penggunaannya pada ibu menyusui
harus disertai perhatian.

Mekanisme : Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan


kerja dengan satu atau lebih ikatan protein - penisilin (penicillin-
binding proteins-PBPs) yang selanjutnya akan menghambat
tahap transpeptidasi sintesis peptidoglikan dinding sel
bakteri sehingga menghambat biosintesis dinding sel.
Bakteri akan mengalami lisis karena aktivitas enzim autolitik
(autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.
Farmakokinetik : Absorbsi : diabsorbsi dengan cepat dan
baik
distribusi : Didistribusikan secara luas di dalam tubuh dan
mencapai konsentrasi terapetik pada jaringan dan cairan
tubuh, termasuk cairan sinovial, perikardial, pleural,dan
cairan peritonial, empedu, sputum, urin,
jantung, saluran empedu, kulit dan jaringan lunak, melalui
plasenta dan ASI. Ikatan protein : 20%
Waktu paruh eliminasi : 1-2 jam; gagal ginjal : 20-24 jam.
Kadar puncak : 70-90 menit. Ekskresi : Urin (>90% sebagai
obat yang tidak berubah)

10. Metoclopramide tablet

Komposisi : Kaplet 5 mg, 10 mg. Tablet 5 mg, 10 mg

Indikasi : 1. Gangguan motilitas lambung, khususnya stasis lambung.


2. Refluks gastroesofagus

Kontraindikasi : Hipersensitivitas terhadap metoklopramid atau bahan-bahan


dalam formulasi; obstruksi gastrointestinal, perforasi atau
perdarahan, pheocromocytoma, sejarah kejang.

Dosis : (a) Hipomotilitas gastrointestinal:anak:oral, IM,IV:0,1


mg/kg/dosis sampai dengan 4 kali/hari, tidak lebih dari 0,5
mg/kg/hari. Dewasa:oral:10 mg 30 menit sebelum makan
dan sebelum tidur malam selama 2-8 minggu. IV:10 mg
selama 1-2 menit (untuk gejala yang parah);pemberian terapi
IV selama 10 hari dapat diperlukan untuk memperoleh
respon terbaik. Dosis lansia:oral:dosis awal 5 mg 30 menit
sebelum makan dan sebelum tidur malam selama 2-8
minggu; dinaikkan bila perlu sampai dengan dosis 10 mg.
IV:dosis awal 5 mg selama 1-2 menit, dinaikkan sampai
dengan 10 mg bila perlu.

(b) Refluks gastroesofagus : Anak : oral:0,1-0,2 mg/kg/dosis


sampai dengan 4 kali per hari; efikasi melanjutkan
metoklopramid >12 minggu belum diketahui; dosis harian
total tidak boleh lebih dari 0,5 mg/kg/hari.
Dewasa:oral : 10-15 mg/dosis sampai dengan 4 kali/hari 30
menit sebelum makan dan sebelum tidur malam; dosis
tunggal 20 mg kadang-kadang diperlukan untuk situasi
mendesak. br>Lansia : oral : dosis awal:5 mg 4 kali sehari
(30 menit sebelum makan dan sebelum tidur malam), dosis
dinaikkan menjadi 10 mg 4 kali per hari bila tidak ada
respon pada dosis yang lebih rendah.
(c) Larutan injeksi dapat diberikan melalui rute IM, direct IV
push, infus singkat (15-30 menit), atau infus kontinu. Dosis
yang lebih rendah (10 mg) dapat diberikan dengan IV push
tanpa pengenceran selama 1-2 menit, dosis yang lebih tinggi
dapat diberikan dengan IVPB selama minimal 15 menit,
infus sub Q kontinu dan pemberian rektal juga dilaporkan.
Pemberian IV yang cepat dapat menyebabkan rasa
kecemasan dan kelelahan sementara (tapi kuat), diikuti oleh
rasa mengantuk.

Efek samping : Efek samping yang lebih umum/parah : terjadi pada dosis
yang digunakan untuk profilaksis emetik kemoterapi. >10% :
efek pada sistem saraf pusat:kelelahan, mengantuk, gejala
ekstrapiramidal (sampai dengan 34% pada dosis tinggi,0,2%
pada dosis 30-40 mg/hari); efek gastrointestinal:diare
(mungkin bersifat dose-limiting); neuromuskular dan
skeletal:kelemahan. 1-10%:efek pada sistem saraf pusat :
insomnia, depresi, kebingungan, sakit kepala;
dermatologis:kemerahan; endokrin dan metabolik : rasa sakit
dan panas pada payudara (breast tenderness), stimulasi
prolaktin; gastrointestinal:mual, xerostemia. <1%(dari
terbatas sampai penting/berbahaya):agranulositosis, reaksi
alergi, amenorrhea, angioedema, AV block, bronkospasme,
CHF, galactorrhea, ginekomastia, hepatotoksik,
hiper/hipotensi, jaundice, edema larinz, methemoglobinemia,
neuroleptic malignant syndrome (NMS), porfiria, kejang, ide
bunuh diri, sulfhemoglobinemia, takikardia, tardive
dyskinesia, urtikaria.

Peringatan & : Gunakan dengan hati-hati pada pasien Parkinson's dan pada
Perhatian pasien dengan sejarah gangguan mental; berhubungan
dengan gejala ekstrapiramidal dan depresi. Frekuensi
ekstrapiramidal lebih tinggi pada pasien anak-anak dan
dewasa < 30 tahun, risiko meningkat pada dosis yang lebih
tinggi. Reaksi ekstrapiramidal biasanya terjadi dalam 24-48
jam pertama setelah terapi. Hati-hati bila digunakan
bersama-sama dengan obat-obat lain yang berhubungan
dengan gejala ekstrapiramidal. Jarang dilaporkan terjadi
Neuroleptic Malignant Syndrome (NMS) akibat penggunaan
metoklopramid. Gunakan dosis terendah yang
direkomendasikan, dapat menyebabkan kenaikan sementara
serum aldosteron; gunakan dengan hati-hati pada pasien
yang mempunyai risiko kelebihan cairan/fluid overload
(gagal jantung, sirosis). Gunakan dengan hati-hati pada
pasien dengan hipertensi atau setelah surgical
anastomosis/closure. Pasien dengan defisiensi NADH-
cytochrome b5 reductase mempunyai risiko lebih besar
terkena methemoglobinemia dan/atau sulfhemoglobinemia.
Gunakan dengan hati-hati pada pasien dengan sejarah
kejang, risiko kejang yang berhubungan dengan
metoklopramid meningkat. Penghentian mendadak dapat
(tapi jarang) menyebabkan gejala penghentian
obat/withdrawal symptoms (pusing, sakit kepala, gugup).
Gunakan dengan hati-hati dan sesuaikan dosis pada pasien
dengan gangguan ginjal

Mekanisme : Ranitidine adalah antagonis kompetitif reversibel reseptor


kerja histamin pada sel parietal mukosa lambung, oleh karena itu
ranitidine efektif menghambat sekresi asam lambung.
Bioavailabilitas ranitidine peroral sekitar 50%. Kadar
puncak rata-rata dalam darah setelah 2-3 jam. Waktu paruh
eliminasinya 2,5 - 3 jam. Ranitidine dieliminasi terutama
melalui eksresi ginjal.

11. Ketorolac injeksi

Komposisi : Injeksi : ampul 10 mg/ml, 30 mg/ml,

Indikasi : Nyeri : Nyeri akut, sedang sampai berat yang membutuhkan


analgesia pada tingkat opioid.Indikasi untuk sediaan mata :
gatal okular karena konjungtivitis alergi musiman,
peradangan pasca operasi setelah ekstraksi katarak,
pengurangan rasa sakit mata dan fotofobia setelah operasi
refraktif insisional, pengurangan sakit mata, terbakar, dan
menyengat berikut bedah refraktif kornea 2

Kontraindikasi : Oral, injeksi: Hipersensitif terhadap ketorolac, aspirin,


NSAID lainnya, atau komponen formulasi, aktif atau riwayat
penyakit ulkus peptikum, pasien dengan penyakit ginjal
lanjut atau risiko gagal ginjal (karena, baru atau riwayat
perdarahan GI atau perforasi deplesi volume); profilaksis
sebelum operasi besar, dicurigai atau dikonfirmasi
perdarahan serebrovaskular, diatesis hemoragik, hemostasis
tidak lengkap, atau risiko tinggi perdarahan, bersamaan ASA
atau NSAID lainnya, probenesid bersamaan atau
pentoxifylline, administrasi epidural atau intratekal, nyeri
perioperatif dalam pengaturan koroner bypass arteri graft
(CABG), persalinan, menyusuiOphthalmic: Hipersensitif
terhadap ketorolac atau komponen formulasi

Dosis : Manajemen nyeri (akut, cukup-berat): Durasi gabungan


maksimum pengobatan (untuk parenteral dan oral) adalah 5
hari, tidak meningkatkan dosis atau frekuensi, suplemen
dengan opioid dosis rendah jika diperlukan untuk nyeri
terobosan. IM: 60 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg
setiap 6 jam (dosis harian maksimum: 120 mg)
IV: 30 mg sebagai dosis tunggal atau 30 mg setiap 6 jam
(dosis harian maksimum: 120 mg)
Oral: 20 mg, diikuti oleh 10 mg setiap 4-6 jam, tidak
melebihi 40 mg/hari, dosis oral dimaksudkan untuk menjadi
kelanjutan dari IM atau IV
Dosis: pada lansia), insufisiensi ginjal, atau berat badan
rendah (<50 kg): IM: 30 mg sebagai dosis tunggal atau 15
mg setiap 6 jam (dosis harian maksimum: 60 mg)
IV: 15 mg sebagai dosis tunggal atau 15 mg setiap 6 jam
(dosis harian maksimum: 60 mg)
Oral: 10 mg, diikuti dengan 10 mg setiap 4-6 jam, tidak
melebihi 40 mg/hari, dosis oral dimaksudkan untuk menjadi
kelanjutan dari IM atau IV terapi
Untuk Mata :Konjungtivitis alergi musiman (relief mata
gatal) :1 tetes (0,25 mg) 4 kali/hari
Peradangan setelah ekstraksi katarak :1 tetes (0,25 mg)
untuk mata yang terkena (s) 4 kali/hari dimulai 24 jam
setelah operasi, terus selama 2 minggu
Nyeri dan fotofobia setelah operasi refraktif insisional : 1
tetes (0,25 mg) 4 kali/hari untuk mata yang terkena sampai 3
hari
Nyeri setelah bedah refraktif kornea : 1 tetes 4 kali/hari yang
diperlukan untuk mata yang terkena hingga 4 hari2

Efek samping : Sistem Syaraf (23% dari pemberian IV) : Sakit kepala,
pusing, cemas, depresi, sulit berkonsentrasi, nervous, kejang
, tremor bermimpi, halusinasi, insomnia vertigo, psikosis
Gastro Intestin : (12-13% ) Mual, diare, konstipasi, sakit
lambung, perasaan kenyang, muntah, kembung, luka
lambung, tidak ada nafsu makan, sampai pendarahan
lambung & saluran pembuangan
Kulit : (2-4% dari pemberian IV) Sakit di daerah tmp.
Penyuntikan (IM), kemerahan, hematoma gatal, berkeringat,
Reaksi sensitifitas : Syok anafilaksis
Ginjal, elektrolit & efek genitourinari : Kerusakan fungsi
ginjal pada pemberian jangka panjang (2-3%)Efek pada hati
: Kenaikan konsentrasi SGOT & SGPT dalam serum Efek ke
Jantung & saluran darah : (4% dari pemberian IV)
hipertensi, hipotensi, pembengkakan.
Efek pada darah : meningkatkan risiko pendarahan,
trombositopenia,
Efek pada mata & telinga : Gangguan penglihatan &
pendengaran Sindrom Stevens-Johnson5

Peringatan & : Pasien lansia : Pasien dengan riwayat pendarahan lambung


Perhatian sebelumnya. Pasien yg menerima dosis obat > 90mg/hari
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal (serum kreatinin
tinggi), gangguan fungsi hati & jantung. Pasien yg sedang
menggunakan obat diuretik, kortikosteroid, anti-koagulan
Pasien hemofili Pasien dewasa dengan BB<50Kg dosis
harus diturunkan 50%Pasien dengan kondisi terjadinya
retensi cairan. Pasien sedang menggunakan obat-obat yang
berinteraksi dengan Ketorolac dosis harus diturunkan 50%
Pasien dengan kondisi terjadinya retensi cairan
Pasien sedang menggunakan obat-obat yang berinteraksi
dengan Ketorolac. Pengaruh Terhadap Kehamilan Tidak
direkomendasikan untuk digunakan oleh wanita hamil.
Terutama pada akhir masa kehamilan atau saat melahirkan
karena efeknya pada sistem kardiovaskular fetus (penutupan
prematur duktus arteriosus) & kontraksi uterus.
Pengaruh Terhadap Ibu Menyusui Didistribusikan melalui
air susu ibu, sehingga tidak direkomendasikan untuk
digunakan oleh ibu yg sedang menyusui.
Pengaruh Terhadap Anak-anak Belum ada studi ttg
keamanan & efikasi penggunaan ketorolak pada pasien anak
dibawah 2 thn. Oleh karena itu tidak direkomendasikan
penggunaannya untuk anak di bawah usia 2 thn.

Mekanisme : Onset : Analgesik: I.M.: 10 menit Puncak efek: Analgesik:


kerja 2-3 jam. Durasi: Analgesik: 6-8 jam. Absorbsi : Oral:
Diserap sempurna (100%). Distribusi: 13 L; sulit menembus
CSF; plasenta Binding protein: 99%. Metabolisme: Hati
Waktu Paruh eliminasi: 2-6 jam; berkepanjangan 30% - 50%
pada usia lanjut, sampai dengan 19 jam pada gangguan
ginjal. Waktu untuk puncak, serum: I.M.: 30-60 menit
Ekskresi: Urin (92%, 60% sebagai obat tidak berubah),
feses:6%

12. Metronidazole infus

Komposisi : Tiap 100 mL mengandung 500mg metronidazol

Indikasi : Uretritis dan vaginitis karena Trichomonas vaginalis,


amoebiasis intestinal dan hepar, pencegahan infeksi anaerob
pasca operasi, giardiasis karena Giardia lambliasis.

Kontraindikasi : Hipersensitivitas, kehamilan trimester pertama.

Dosis : Infeksi anaerob: (biasanya selama 7 hari). Oral: dosis awal


800 mg, kemudian 400 mg tiap 8 jam atau 500 mg tiap 8
jam. Rektal: 1 gram tiap 8 jam selama 3 hari, kemudian 1
gram tiap 12 jam. Infus intravena: 500 mg tiap 8 jam dengan
kecepatan 5 ml/menit. Anak, untuk semua cara pemberian,
7,5 mg/kg bb tiap 8 jam.

Profilaksis infeksi anaerob terutama setelah operasi:


Oral: 400 mg tiap 8 jam dimulai 24 jam sebelum operasi,
dilanjutkan sesudah operasi secara intravena
atau rektal sampai pemberian oral dapat dilakukan lagi.
Anak, 7,5 mg/kg bb tiap 8 jam. Rektal: 1 gram tiap 8 jam.
Anak, 125-250 mg tiap 8 jam. Intravena: 500 mg beberapa
saat sebelum operasi, kemudian tiap 8 jam sampai
pemberian oral bisa dilakukan.
Efek samping : Jarang: anafilaksis. Sangat jarang: agranulositosis,
neutropenia, trombositopenia, pansitopenia, gangguan
psikotik termasuk kebingungan dan halusinasi, ensefalopati
(contoh: kebingungan, demam, sakit kepala, halusinasi,
paralisis, sensitif terhadap cahaya, gangguan penglihatan dan
gerakan, leher kaku), subacute cerebellar syndrome (contoh:
ataksia, disatria, gangguan fungsi berjalan, nystagmus, dan
tremor) yang memerlukan penghentian obat, mengantuk,
pusing, konvulsi, sakit kepala, gangguan penglihatan seperti
diplopi dan miopi yang pada kebanyakan kasus bersifat
sementara, ruam kulit, erupsi pustular, pruritis, muka
memerah, mialgia, dan artralgia.

Tidak diketahui frekuensinya: leukopenia, angioudema,


urtikaria, demam, anoreksia, penurunan mood, neuropati
sensor perifer, meningitis aseptik, neuropati optik atau
neuritis, gangguan pengecapan, mukositis oral, lidah
berselaput, mual, muntah, gangguan saluran cerna seperti
nyeri epigastrum, diare, abnormalitas uji fungsi hati,
hepatitis kolestatik, ikterus dan pankreatitis yang reversibel
pada penghentian obat, eritema multiforme, urin berwarna
gelap (akibat metabolit metronidazol).

Peringatan & : Reaksi seperti disulfiram, kram perut, mual, muntah, sakit
Perhatian kepala dan muka memerah bila diberikan bersama konsumsi
alkohol; gangguan fungsi hati dan hepatic encephalopathy;
kehamilan, menyusui (hindari penggunaan dosis besar).
Pengobatan > 10 hari dianjurkan melakukan pemeriksaan
klinis dan laboratorium. Hentikan pengobatan bila muncul
ataksia, vertigo, halusinasi, atau konfusi mental. Keamanan
pada anak belum diketahui pasti, kecuali untuk amoebiasis;
pasien penyakit susunan saraf pusat dan perifer, karena
risiko agravasi neurologis. Disarankan tidak mengendarai
dan mengoperasikan mesin karena menimbulkan kantuk,
pusing, kebingungan, halusinasi, konvulsi atau gangguan
penglihatan sementara.

Mekanisme : sebagai bakterisid, amubisid dan trikomonasid. Mekanisme


kerja kerjanya belum diketahui secara pasti. Metronidazol tidak
terionisasi pada pH fisiologik dan siap diambil oleh
organisme atau sel anaerob. Pada organisme atau sel yang
sensitif, metronidazol mengalami proses reduksi oleh protein
transpor elektron potensial-redoks-rendah (contohnya
nitroreduktase seperti ferredoxin) sehingga produk polar
yang telah kehilangan gugus nitro menjadi tidak dikenal.
Produk reduksi inilah yang tampaknya bertanggung jawab
atas efek sitotoksik dan antimikroba metronidazol, yang
meliputi gangguan pada DNA dan inhibisi sintesis asam
nukleat. Metronidazol sama efektifnya terhadap sel yang
sedang membelah maupun yang tidak. Metronidazol secara
in vitro melawan berbagai spesies bakteri anaerob, terutama
Bacteroides fragilis dan spesies Bacteroides lainnya, juga
spesies lain seperti Fusobacteria, Eubacteria, Clostridia dan
Streptococci anaerob. Metronidazol mempunyai spektrum
yang luas dan aktif melawan mikroorganisme patogen,
seperti Trichomonas vaginalis, Entamoeba histolytica,
Giardia lamblia, Balantidium coli dan organisme penyebab
gingivitis ulceratif akut. Metronidazol tidak aktif melawan
bakteri aerob dan anaerob fakultatif.
BAB IV

PEMBAHASAN

Pasien pertama kali masuk ke IRD tgl 4 Oktober 2017 dengan keluhan
utama demam, nyeri perut . Pada hari pertama selain diberikan analgesic oral dan
injeksi, pasien diberikan antibiotic cefotaxime injeksi. Dalam pemberian
antibiotic baiknya dilakukan bertahap dengan melihat hasil pemeriksaan darah,
apakah terdapat bakteri dalam darah sehingga menyebabkan pasien demam.

Pada hari kedua pemberian obat masih sama dengan mengatasi demam
yaitu pemberian paracetamol tablet dan injeksi serta injeksi antibiotic yang diganti
menjadi ceftriaxone menjadi pertimbangan bahwa cefotaxime mempunyai efek
samping mual dan muntah sehingga sebagai pertimbangan penggantian jenis obat
injeksi ini.

Setelah pemeriksaan USG abdomen dilakukan pada hari ketiga didapatkan


hasil bahwa terdapat abses hati pasien. Namun pemberian RL tetap dilakukan,
salah satu kandungan RL adalah laktat 28 meq/L dikontraindikasikan apda pasien
gangguan hati berat karena laktat dapat mempengaruhi metabolisme di hati.

Berdasarkan penelitian pada pasien dengan penyakit hati kronik.


Terkadang waktu paruh parasetamol bisa lebih lama, aktivitas sitokrom P-450
tidak meningkat dan penyimpanan glutation tidak berkurang hingga ke jumlah
kritis apabila meminum obat sesuai dosis rekomendasi. Parasetamol dapat
digunakan secara aman pada pasien dengan penyakit hati dan merupakan
analgesik/ antipiretik yang direkomendasikan karena tidak adanya kerusakan
platelet, toksisitas gastrointestinal dan nefrotoksisitas terkait obat NSAID (Benson
GD, Koff RS, Tolman KG)

Penelitian double blind komparatif pada pasien dengan demam thyphoid,


pemberian metamizole mengurangi temperature secara signifikan setelah 30 menit
pemberian obat dan parasetamol mengurangi temperature setelah 1 jam pemberian
obat. (Izhar Tahira, Journal of Pakistan Medical Association)
Penelitian meta-analysis of randomized controlled penggunaan
metamizole kurang dari 2 minggu menjadi pilihan yang aman saat digunakan
sebagai analgesic pada penggunaan di rumah sakit dan tidak ada kasus
agranulositosis (Thomas Ktter)

Penggunaan ranitidine tidak terbatas sebagai terapi ulser. Efek ranitidine iv


pada fungsi kognitif yaitu mengantuk. Efek samping inilah yang diduga
digunakan agar pasien dapat beristirahat karena nyeri yang diderita.

Antibiotik dengan spectrum luas yang digunakan dalam pengobatan pasien


tersebut adalah sefadroksil. Regimen pengobatan thyphoid berdasarkan WHO
menggunakan antibiotik golongan fluoroquinolon seperti ciprofloxacin. Oleh
karenanya pemberian sefadroksil dalam kasus ini termasuk irasional

Metoklopramid di indikasi pada pasien yang mengalami motilitas


lambung. Pengurangan dosis metoklopramid 50% ditujukan pada pasien sirosis
hati parah (Magueur A). Pasien pada kasus ini mengalami abses hati sehingga
perlu diberikan pengurangan dosis metoklopramid.

Penggunaan ketorolac injeksi pada nyeri tingkat sedang terbukti efektif


mengurangi nyeri. Penggunaan tidak boleh lebih dari 5 hari. Penggunaan
ketorolac dalam kasus ini bertujuan mengurangi rasa nyeri yang dialami pasien
karena mengalami nyeri perut akibat abses hati

Penggunaan metronidazole sebagai antiamoeba pada pengobatan abses


hati dan terbukti efektif 80% mengobati abses hati. Beberapa pertimbangan
diberikan sediaan secara intravena adalah pasien yang tidak dapat menerima obat
melalui rute oral. Urine kehitaman dapat terjadi sebagai hasil metabolit dari obat.

Pasien dirawat inap selama 8 hari dengan pemberian infuse cairan RL,
injeksi ceftriaxone hingga pasien pulang. Menurut john hopkins guidelines
bakteri pathogen penyebab abses dalam pengobatan harus diketahui secara
spesifik bakteri penyebab abses hati karena metronidazole yang diberikan ke
pasien pada tgl 11 Oktober apabila benar Entamoeba histolytica sebagai bakteri
patogennya.

Diagnosa awal yaitu thyphoid pasien diberikan injeksi antibiotic golongan


sefalosporin. Menurut guidelines WHO pemberian antibiotic golongan quinolon
oral pada pasien thyphoid lebih efektif seperti ofloxacin atau ciprofloxacin tablet
dengan dosis harian 15mg/kgBB selama 5-7 hari
BAB V

PENUTUP

V.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan selama Praktik Kerja Profesi


Apoteker maka dapat disimpulkan :

1. Penggunaan obat yang diberikan terhadap pasien dengan diagnosa Thyphoid


sudah dilakukan semaksimal mungkin, tetapi dalam pengobatan masih terjadi
terapi yang tidak rasional seperti terapi dalam pemberian cairan RL,
penggunaan antibiotic injeksi golongan sefalosporin
2. Kegiatan farmasi klinik yang dilakukan dapat membantu meningkatkan
pengetahuan dan wawasan calon apoteker untuk mencegah terjadinya DRPs
(Drug Related Problems), sehingga permasalahan mengenai obat-obatan dan
klinik dapat teratasi.
V.2. Saran
Sebaiknya pemilihan obat lebih memperhatikan kondisi pasien, data klinik dan
data laboratorium untuk memperoleh hasil terapi penggunaan obat yang lebih efektif.
DAFTAR PUSTAKA

World Health Organization.(2003). Background document: The diagnosis,


treatment and prevention of thyphoid fever. Department of Vacccines and
Biological. Switzerland

Siregar, C. J. P. (2004). Farmasi Rumah Sakit. Jakarta : EGC. Hal. 6-7


Nelwan, RHH (2013). Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Kalbemed. Jakarta.

Thompson, C.N (2017). Treatment Response in Enteric Fever in an Era of


Increasing Antimicrobial Resistance : An Individual Patient Data Analysis of
2092 Participant Enrolled into 4 Randomized, Controlled Trials in Nepal. Journal
Infect Disease.

Anda mungkin juga menyukai