Anda di halaman 1dari 299

Filsafat

ILMU
Drs. H.MohammadAdib, MA.
Filsafat
ILMU Ontologi, Epistemologi,
Aksiologi, dan Logika
Ilmu Pengetahuan
Kata Pengantar: Prof. Dr. Suhartono Taat
Putra, dr., MS.

PERPUSTAKAAN UIN
SUNAN KALIJAGA
APBN: _/ DEC 2011

PUSTAKA PELAJAK
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Edisi ke 2, Cetakan I Yogyakarta: Pustaka Pelajar xxv + 280 hal.; 21 cm

FILSAFAT ILMU
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
Edisi ke-2
Cetakan I Februari 2010 Cetakan II Februari 2011
Penulis
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
Desain Cover
Digi Art Yogya
Tata Aksara
Dimaswids
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542;
Fax (0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.ne
ISBN: 978-602-8479-93-6
Pengantar Penulis

Telah lebih dari dua dekade terakhir, bergulat dalam pembelajaran sebagai pengajar
dan penanggung jawab mata kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Sesungguhnya, kajian-
kajian tentang Filsafat Ilmu yang penulis lakukan dalam kurun waktu tersebut, terasa
semakin bermakna apabila disusun dalam uraian tulisan dan penjelasan yang detail.
Uraian buku ini merupakan sejumlah materi yang telah dikembangkan, diluaskan,
dan didalamkan pada mata kuliah tersebut, yang sebelumnya telah diterbitkan (2007 dan
2008) dengan judul Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai
dengan isi yang terdapat di dalamnya, sehingga judul yang dipilih adalah Filsafat Ilmu:
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Judul ini terasa lengkap
sebagai landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui empat pilar

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


utamanya.
Buku di hadapan pembaca ini dipilahkan dalam empat belas bab yang masing-
masingnya terdapat sub-bab yang kesemuanya menjelaskan judul buku yakni Filsafat Ilmu.
Pada masing-masing bab diuraikan tentang deskripsi pokok bahasan, tujuan pembelajaran,
bagian isi dan diakhiri dengan ringkasan. Pencantuman sumber pustaka yang dijadikan
rujukan dalam pembahasan, disajikan dalam bagian akhir buku ini yakni setelah bab yang
ke- 14. Pencantuman daftar pustaka, diharapkan dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut.
Pada bab pertama buku ini, menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, dilanjutkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad ke- 17,
aspek-aspek positif semangat renaissance, pandangan David Hume tentang sains is power.
Bab kedua buku ini menjelaskan tentang objek studi filsafat dan ilmu pengetahuan
yang dijelaskan objek dan sudut pandang filsafat, kegunaan filsafat bagi manusia,
pengertian ilmu pengetahuan, objek dan sudut pandang pengetahuan, pengertian dan asal
filsafat, arti filsafat, sejarah filsafat, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, corak-
corak pemikiran filsafat zaman Yunani kuno, karakteristik pemikiran zaman patristik,
sumbangan pemikiran Filsafat Islam pada abad pertengahan, dan perbedaan pemikiran
zaman modern dan kontemporer.
Pada bab ketiga, dijelaskan tentang filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu yang dijabarkan
dalam pengertian dan kegunaan filsafat baik secara etimologi maupun secara terminologi,

Pengantar Penulis
vi
dilanjutkan dengan kegunaan filsafat, cabang-cabang filsafat, ruang lingkup filsafat,
karakteristik pemikiran kefilsafatan, pengertian ilmu dan filsafat ilmu, definisi ilmu,
cabang-cabang ilmu, macam-macam ilmu pengetahuan, objek material dan objek formal
ilmu, filsafat ilmu, sejarah filsafat ilmu, ruang lingkup filsafat ilmu, serta perbedaan
filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu. Uraian pada bab ini diakhiri dengan menjelaskan tujuan
pendidikan filsafat dan filsafat ilmu.
Bab keempat, dijelaskan tentang landasan penelaahan ilmu yang dibahas: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, yang diakhiri pada signifikansi ilmu pengetahuan kembali ke
filsafat.
Bab kelima, menjelaskan tentang struktur atau bangunan ilmu pengetahuan yang
terdiri atas: metode ilmiah; teori, hipotesis, logika, data-informasi, pembuktian, evaluasi,
dan paradigma.
Bab keenam, menjelaskan tentang teori kebenaran ilmu pengetahuan dengan
membahas teori kebenaran: koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatism, esensial-
isme, konstruktivisme, dan religiusisme.
Bab ketujuh dibahas tentang logika ilmu dan metode berpikir ilmiah yang diuraikan
tentang hakikat berpikir dan medote berpikir ilmiah, pengertian metode berpikir ilmiah
logika, pengertian logika dan penalaran ilmiah, macam-macam logika, kegunaan logika,
bahasa keilmuan, model dan kriteria metode berpikir ilmiah, kelemahan- kelemahan
metode berpikir ilmiah, metode berpikir rasional: asas dalam berpikir, serta hal-hal yang
harus diper-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


hatikan dalam penggunaan metode rasional.
Bab kedelapan dijelaskan tentang logika yang secara spesifik dibahas pola penalaran
langsung dan tidak langsung dengan menguraikan implisit dan eksplisit suatu term dalam
proposisi, jenis pola penalaran tidak langsung terdiri dari: converse, obverse, kontraposisi,
dan inverse.
Bab kesembilan menjelaskan tentang pola penalaran induksi yang dibahas pengertian
penalaran induksi, prinsip-prinsip penalaran induksi, generalisasi induksi dan analogi
induksi, generalisasi induksi, analogi induksi, faktor probabilitas, dalam penalaran induksi,
jumlah fakta sebagai faktor probabilitas, faktor analogi sebagai faktor probabilitas, faktor
dis-analogi sebagai faktor probabilitas, luas dan sempitnya kesimpulan sebagai faktor
probabilitas, dan diakhiri dengan bahasan sejumlah studi kasus.
Bab kesepuluh, dijelaskan tentang kesesatan dalam berpikir ilmiah yang diuraikan
klasifikasi kesesatan berpikir formal dan material, kesesatan bahasa, kesesatan relevansi,
dan relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu pengetahuan.
Bab kesebelas diuraikan tentang etika ilmu, hubungan antara ilmu dan etika,
membangun masyarakat ilmiah, jalan menuju sains yang normal, sifat dan perlunya
revolusi sains, revolusi sebagai perubahan pandangan atas dunia, kemajuan melalui
revolusi, menuju masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan, kebudayaan dan pendidikan,
ilmu pengetahuan dan pengembangan kebudayaan, nilai ilmiah dan pengembangan
kebudayaan nasional, dampak intelektual, dampak sosial praktis, watak intelektual, dan
kecenderungan pragmatis.

Pengantar Penulis
Bab kedua belas, dijelaskan tentang filsafat ilmu dan teknologi, pengertian filsafat
teknologi, teori kuda liar teknologi, hakikat efisiensi, hakikat kualitas produk, dan
hubungan teknologi dan civility.
Bab ketiga belas menjelaskan tentang moralitas ilmu pengetahuan tanggung jawab
ilmuwan, problem etika ilmu pengetahuan, ilmu apakah bebas nilai atau tidak bebas nilai,
sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan, moralitas ilmu pengetahuan, pengingkaran dan
perlawanan etika, dan masalah kejahatan sempurna.
Bab keempat belas menjelaskan tentang filsafat, iptek, dan budaya dengan
menguraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, hubungan
antara kebudayaan dengan teknologi, hubungan antara ilmu dengan teknologi, hubungan
antara ilmu dengan kebudayaan.
Pada Cetakan kedua ini, dilakukan perbaikan-perbaikan antara lain penataan atau
penempatan kembali beberapa sub-bab yang relevan, terutama pada bagian pembahasan
Logika. Perbaikan juga dilakukan berupa koreksi redaksional, juga penambahan sejumlah
daftar pustaka. Yang juga baru adalah Kata Pengantar dari Prof. Dr. Suhartono Taat Putra,
dr., MS. Seorang dosen senior di FK Unair yang juga mengajar Filsafat Ilmu di berbagai
perguruan tinggi termasuk di Universitas Airlangga.
Buku ini bermanfaat bagi para pembelajar, dosen, mahasiswa, dan para pemerhati di
bidang sosial, budaya, dan politik.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tiada gading yang tak retak, materi inilah yang dapat disajikan dalam pembelajaran
ini.
Akhirnya, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang seagung-agungnya
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyediaan buku ini. Terutama
kepada teman dosen di Universitas Airlangga antara lain Drs. I Nyoman Naya Sujana, MA.,
Drs. Budi Setiawan, MA., Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., juga segenap mahasiswa yang
berapresiasi dalam pelaksanaan pembelajaran filsafat ilmu. Terima kasih pula kepada
Penerbit Pustaka Pelajar yang berkenan menerbitkan buku ini. Manfaat yang signifikan
semoga dapat ditumbuhkembangkan melalui buku ini.
Surabaya, April 2009 Mohammad Adib

Pengantar Penulis
x
Kata Pengantar

Mengapa manusia itu berfilsafat? Ini pertanyaan mendasar yang melandasi manusia
memikirkan filsafat. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu rasa
kagum, keraguan, dan kesadaran akan keterbatasan diri. Bila pengetahuan dimulai dari
rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari rasa ragu maka filsafat dimulai dari keduanya.
Jelas kiranya bahwa filsafat merupakan kebutuhan manusia untuk memenuhi rasa ingin
tahu dan mendapatkan manfaat dari hidup dan kehidupannya.
Setelah lama rasa ingin tahu manusia dipenuhi dengan jawaban yang tidak rasional,
berupa tahayul dan mitos maka mulai timbul dalam diri manusia rasa tidak puas dengan
jawaban demikian. Selanjutnya manusia mulai memberdayakan akalnya untuk mencari
tahu dan memperoleh manfaat lebih. Pemberdayaan akal tersebut dilakukan dengan cara
melakukan perenungan reflektif- intuitif yang mengarah ke rasional sebagai upaya mencari

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


kebenaran atas jawaban rasa ingin tahunya. Perkembangan filsafat bergerak dari dongeng
yang penuh dengan tahayul dan mistik menuju ke arah hasil pemikiran rasional.
Selanjutnya perkembangan ini terus bergerak ke penalaran rasional ilmiah yang
memunculkan pemahaman sciense is power. Apakah perkembangan filsafat akan berakhir
pada puncak hasil penalaran ilmiah, yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dan
filsafat sudah tidak diperlukan lagi?
Alam semesta ini selalu berubah dalam keteraturan, keberadaannya tentu ada yang
menciptakan dan mengatur. Siapa yang mengadakan dan mengatur dan kemanakah alam
semesta yang selalu berubah ini akan berakhir? Jawaban atas pertanyaan demikian
dimulai dari dongeng, tahayul atau mitos. Pertama kali Filsuf Yunani yang keluar dari
mitos adalah Thales (624-548 SM) dengan pemikiran falsafahnya bahwa arche is water.
Filsuf ini melihat dan memahami bahwa semua makhluk hidup, baik manusia, hewan
maupun tumbuhan memerlukan air. Anaxi- mandros (610-540) mulai mengembangkan
intuisinya sampai pada tataran ilahi yang kekal tak terubahkan. Hasil perenungan
Anaximandros mendapatkan pemahaman bahwa arche atau azas alam semesta ini adalah to
apeiron, sesuatu yang paling awal dan abadi, yang tidak terbatas, bersifat ilahi, yang abadi
dan tidak terubahkan. Pemahaman demikian semakin dicerahkan oleh filsuf Xenopanes
(580-470 SM) bahwa semua ini berasal dari satu, yang satu itu lebih tinggi dari apeiron,
yaitu Tuhan yang satu, yang memeluk makhluk sekalian alam semesta.

Pengantar Penulis

xii
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah
pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka
terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab
rasionalis, emperis, dan kritisis. Mashab rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap
benar manakala logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales dan mencapai puncak ketenaran
pada zaman Socrates-Plato dan Aristoteles. Hal demikian berbada dengan mashab Emperis,
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala
diperoleh lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Locke dan David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah
yang indrawi. Menurut John Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal
ibarat kertas putih yang ditulisi pengalaman melalui proses kerjasama antara refleksi
(pengenalan intuitif dari jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar) sehingga lahir ide.
Immanuel Kant (1724-1804) sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya
dipadukan dan difungsikan secara benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal
berfungsi mengelola tangkapan objek tersebut secara benar maka akan diperoleh
pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab tersebut telah banyak membantu manusia
dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, apa, bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan ada dalam kehidupan
manusia, pembaca saya persilahkan untuk membaca lanjut dalam buku Filsafat

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Ilmu yang ditulis oleh Saudara H Mohammad Adib, Drs, MA. Penulisan buku tersebut telah
menguraikan ontologi, epistemologi, aksiologi dan logika ilmu pengetahuan secara rinci dan
jelas. Selamat mencerahkan pikiran dan penalaran, terutama bagi pemula yang mulai
menyenangi Filsafat Ilmu.
Surabaya, 20 Oktober 2009
Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS.
Ketua Grha Masyarakat Ilmiah (Gramik)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

xiv
Pengantar Penulis
Daftar Isi

Pengantar Penulis — v Kata Pengantar

Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS. —xi

Daftar Isi—xv

Bab I Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat

Renaisans — 1
1.1. Deskripsi — 1
1.2. Tujuan Pembelajaran — 2
1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan —2
1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17 — 4
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance — 6
1.6. David Hume: "Science is Power" — 11
1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi — 13
1.8. Ringkaksan — 14

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab II
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan — 15
2.1. Deskripsi — 15
2.2. Tujuan Pembelajaran — 16
2.2.1. Objek dan Sudut Pandang Filsafat — 16
2.2.2. Kegunaan Filsafat bagi Manusia — 17
2.2.3. Pengertian Ilmu Pengetahuan — 17
2.2.4. Objek dan Sudut Pandang Pengetahuan — 17
2.3. Pengertian dan Asal Filsafat — 18
2.3.1 Arti Filsafat — 18
2.3.2. Asal Filsafat — 18
2.4. Sejarah Filsafat — 19
2.5. Perkembangan Filsafat — 21
2.6. Perkembangan Ilmu Pegetahuan — 23
2.7- Corak-Corak Pemikiran Filsafat Zaman Yunani
Kuno — 26
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (+ 515 - 450 SM) - 27
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM) - 27
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM) — 27
2.7.4. Aristoteles pada Abad ke-4 (384-322 SM) —
28
2.7.5. Heraklitus (± 515 - 450) — 28
2.7.6. Phytagoras (± 581 - 507) - 29
2.8. Karasteristik Pemikiran Zaman Patristik — 29
2.9. Sumbangan Pemikiran Filsafat Islam Pada Abad
Pertengahan — 30

___________________________________________________________________
Daftar Isi
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern dan Kontemporer — 31

2.11- Hubungan Antropologi dengan Filsafat Ilmu dan Ilmu Pengetahuan


— 33

2.13. Ringkasan — 33

Bab III
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 35
3.1. Deskripsi — 35
3.2. Tujuan Pembelajaran — 36
3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat — 36
3.3.1. Pengertian Secara Etimologi — 36
3.3.2. Pengertian Secara Terminologi — 37
3.3.3. Kegunaan Filsafat — 39
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat — 40
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat — 42
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan — 44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu — 45
3.4.1. Definisi Ilmu — 49
3.4.2. Cabang-Cabang Ilmu — 50
3.4.3. Macam-macam Ilmu Pengetahuan — 52
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal Ilmu — 53
3.5. Filsafat Ilmu — 54
2.5.1. Sejarah Filsafat Ilmu — 55
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu — 55
3.5.3. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 56
3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat Ilmu — 58

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistimologi


3.5.5. Hubungan Filsafat, Ilmu, Filsafat Ilmu dengan Antropologi
— 59
3.5.6. Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Politik
— 60
3.5.7. Hubungan Antara Ilmu Alam, Sosial, dan Humaniora — 62
3.6. Ringkasan — 64

Bab IV Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan


Aksiologi —67
4.1. Deskripsi — 67
4.2. Tujuan Pembelajaran — 68
4.3. Landasan Penelaahan Ilmu — 68
4.3.1. Ontologi Ilmu — 69
4.3.2. Epistemologi Ilmu — 74
4.3.3. Aksiologi Ilmu — 78
4.4. Ilmu Pengetahuan Kembali ke Filsafat — 80
4.5. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu Politik —
81
4.6. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan Ilmu
Antropologi — 85
4.7. Ringkasan — 89

Bab V Struktur Ilmu Pengetahuan — 91


5.1. Deskripsi — 91
5.2. Tujuan Pembelajaran — 92
5.3. Bangunan Ilmu Pengetahuan — 92

5.4. 5.3.1. Metode Ilmiah — 93

Daftar Isi
5.3.2. Metode Ilmiah yang Bersifat Umum — 94
5.3.3. Metode Penyelidikan Ilmiah - 96
5.3.4. Teori — 97
5.3.5. Hipotesis —100
5.3.6. Logika — 101
5.3.7. Data-informasi — 104

5.3.8. Pembuktian —105


5.3.9. Evaluasi — 108
5.3.10. Paradigma — 112

5.4. Ringkasan — 114

Bab VI
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan — 7 77
6.1. Deskripsi — 117
6.2. Tujuan Pembelajaran — 117
6.3. Teori Kebenaran — 118
6.3.1. Koherensi — 121
6.3.2. Korespondensi — 121
6.3.3. Postivisme — 122
6.3.4. Pragmatisme — 123
6.3.5. Esensialisme — 122
6.3.6. Konstruktivisme — 124
6.3.7. Religiusisme — 124
6.4. Relevansinya dengan Antropologi — 126
6.5. Ringkasan — 127
Bab VII Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah — 729
7.1. Deskripsi — 129
7.2. Tujuan Pembelajajran — 130

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


7.3. Hakekat Berpikir dan Medote Berpikir Ilmiah — 130
7.3.1. Hakekat Berpikir — 130
7.3.2. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah — 132
7.4. Bahasa Keilmuan — 135
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah — 137
7.6. Kelemahan-kelemahan Metode Berpikir Ilmiah — 138
7.7. Metode Berpikir Rasional: Asas dalam Berpikir — 140
7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Penggunaan Metode Rasional
— 141
7.9. Ringkasan — 142

Bab VIII
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung — 745
8.1. Deskripsi — 145
8.2. Tujuan Pembelajaran — 145
8.3. Pengertian Logika — 145
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah —146
8.3.2. Macam-macam Logika — 148
8.3.3. Kegunaan Logika — 148
8.4. Penalaran Langsung — 149
8.5. Penalaran Tidak Langsung — 150
8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi — 150
8.7. Jenis Pola Penalaran Tidak Langsung — 151
8.7.1. Conversi — 152
8.7.2. Obversi — 155
8.7.3. Kontraposisi — 157
8.7.4. Inversi — 158

Daftar Isi
8.8. Ringkasan — 162

Bab IX
Pola Penalaran Induksi — 165
9.1. Deskripsi — 165
9.2. Tujuan Pembelajaran — 166
9.3. Pengertian Penalaran Induksi — 166
9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi — 166
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi — 168
9.5.1. Generalisasi Induksi — 168
9.5.2. Analogi Induksi — 169
9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi — 171
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas — 172
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas — 172
9.6. Studi Kasus — 173
9.7. Ringkasan — 175

Bab X Kesesatan Dalam Berpikir Ilmiah — 777


10.1. Deskripsi — 177
10.2. Tujuan Pembelajaran — 177
10.3. Sesat Pikir — 178
10.3.1. Klasifikasi Kesesatan Berpikir — 181
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
10.3.1.1. Kesesatan Formal — 182
10.3.1.2. Kesesatan Material — 182
10.4 Kesesatan Bahasa — 182
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi — 183
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal — 183
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal — 183
10.4.4. Kesesatan Ekuivokasi — 184
10.4.4.1. Kesesatan Ekuivokasi Verbal - 184
10.4.4.2. Kesesatan Ekuivokasi Non-Verbal — 185
10.4.4.3. Kesesatan Amfiboli — 185
10.4.4.4. Kesesatan Metaforis — 186
10.5.
Kesesatan Relevansi — 187
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1 — 188
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2 — 189
10.5.3. Argumentum ad Baculum — 190
10.5.4. Argumentum ad Misericordiam — 192
10.5.5. Argumentum ad Populum — 192
10.5.6. Argumentum Auctoritatis — 193
10.5.7. Argumentum ad Verecundiam — 194
10.5.8. Ignoratio Elenchi — 194
10.5.9. Argumentum ad Ignoratiam — 195
10.5.10. Petitio Principii — 195
10.5.11. Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc/False
Cause) — 196
10.5.12. Kesesatan Aksidensi — 297
10.5.13. Kesesatan karena Komposisidan Divisi — 197

Daftar Isi
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks — 198
10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan Ilmu Pengetahuan — 199
10.6.1. Relevansi dengan Ilmu Politik — 199
10.6.2. Relevansi dengan Antropologi — 200
10.7. Ringkasan — 200

Bab XI
Etika Ilmu —203
11.1. Deskripsi — 203
11.2. Tujuan Pembelajaaran — 205
11.3. Pengertian Etika — 205
11.4. Hubungan antara Ilmu dan Etika — 208
11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah — 209
11.6. Menuju Mayarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan — 211
11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan — 211
11.6.2. Ilmu Pengetahuan dan Pengembang Kebudayaan — 213
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional —
214
11.6.4. Dampak Intelektual — 216
11.6.5. Dampak Sosial Praktis — 218
11.6.6. Watak Intelektual — 218
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis — 219
11.7. Relevansi Etika Ilmu
dengan Ilmu Antropologi — 219
11.8. Ringkasan — 221

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab XII Filsafat Ilmu dan Teknologi—223
12.1. Deskripsi — 223
12.2. Tujuan Pembelajaran — 223
12.3. Pengertian Filsafat Teknologi — 224
12.4. Teori Kuda Liar Teknologi — 224
12.4.1. Hakikat Efisiensi — 225
12.4.2. Hakikat Kualitas Produk — 225
12.5. Hubungan Teknologi dan Civility 1 — 226
12.6. Ringkasan — 227

Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan — 229
13.1. Deskripsi — 229
13.2. Tujuan Pembelajaran — 229
13.3. Tanggung Jawab Ilmuwan — 230
13.4. Problem Etika Ilmu Pengetahuan — 236
13.5. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai — 237
13.6. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan — 240
13.7. Moralitas Ilmu Pengetahuan — 243
13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika — 245
13.9. Masalah Kejahatan Sempurna — 248
13.10. Ringkasan — 249

Bab XIV Filsafat, Ipteks, dan Budaya — 251


14.1. Deskripsi — 251
14.2. Tujuan Pembelajaran — 251
14.3. Pengertian Ilmu Pengetahuan, Teknologi, dan Kebudayaan — 251

Daftar Isi
14.4. Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi — 253
14.5. Hubungan antara Ilmu dengan Teknologi — 1
14.6. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan — 255
14.7. Ringkasan — 255
Daftar Pustaka — 259
Indeks — 265
Lampiran — 269
Biodata Penulis — 279

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab 1

Sejarah Perkembangan Ilmu


Pengetahuan dan Makna Positif
Semangat Renaisans

1.1. Deskripsi
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat
ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan
kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang
menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai
manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam
bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu memper-
timbangkan hal-hal yang penting dan terpenting sebelum
menetapkan keputusan untuk berperilaku. Hal-hal yang
terpenting tersebut tergolong yang esensial. Dalam pengertian
ini hal-hal yang esensial terliput dalam pengertian filsafat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu ..


1.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang
(i) sejarah perkembangan ilmu pengetahuan;
(ii) perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad 17; dan
(iii) aspek-aspek positif semangat renaissance.

1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan


Dari sekilas data yang telah kami temukan pada sejumlah
media, antara lain internet, diperoleh penjelasan bahwa dalam buku
History and Philosophy of Science karangan L.W.H. Hull (1950),
diterangkan bahwa setidak nya sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan
dapat dibagi dalam tiga periode atau masa yakni periode (i) filsafat
Yunani; (ii) Kelahiran Nabi Isa; dan Periode Kebangkitan Islam,
termasuk di dalamnya tokoh-tokoh yang terkenal pada masa itu.
Pertama, masa yang paling dasar atau pertama adalah periode
filsafat Yunani (Abad 6 SM-0 M). Pada masa ini ahli filsafatnya adalah
Thales yang ahli filsafat, astronomi dan geometri. Dalam
pengembaraan intelektualnya menggunakan pola deduktif serta dalam
masa transisi inilah, kemunculan ilmu sangat berkembang di kalangan
para masyarakat.
Kedua, adalah periode kelahiran Nabi Isa (Abad 0-6 M). Pada masa
ini pertentangan antara gereja yang diwakili oleh para pastur dan para
raja yang pro kepada gereja. Sehingga pada masa ini filsafat mengalami
kemunduran. Para raja membatasi kebebasan berpikir sehingga filsafat
seolah-olah telah mati suri. Ilmu menjadi beku, kebenaran

Sejarah PerkembanganIlmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat Renaisans


hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak
mengatakan dan menjadi sumber kebenaran, Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa ini sempat mengalami keterpurukan,
karena, terjadi pembatasan kebebasan seseorang dalam berpikir dan
berkarya.
Ketiga, adalah periode kebangkitan Islam (Abad 6-13 M), pada
masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan
atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuwan-
ilmuwan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku
ilmiah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-
farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli
filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga
menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara
agama, filsafat, mistik dan sufisme.
Ibnu Khaldun ahli sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi,
sosial dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran
planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami
kemunduran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh
berbagai peperangan.
Keempat, adalah periode kebangkitan Eropa (Abadl4- 20). Pada
masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas
kebenaran mengalami kehancuran, abad kemunduran umat Islam
berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka
anut adalah

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 3


Ilmu
empirisme dan rasionalitas. Peradaban Eropa bangkit melampaui
dunia Islam. Masa ini juga muncul intelektual Gerard Van Cromona
yang menyalin buku Ibnu Sina The Canon of Medicine, Fransiscan
Roger Bacon, yang menganut aliran pemikiran empirisme
danrealisme berusaha menentang berbagai kebijakan gereja dan
penguasa pada waktu itu. Pada masa ini banyak muncul para
ilmuwan seperti Newton dengan teori gravitasinya, John Locke yang
menghembuskan perlawanan kepada pihak gereja dengan
mengemukakan bahwa manusia bebas untuk berbicara, bebas
mengeluarkan pendapat, hak untuk hidup, hak untuk merdeka, hak
berpikir. Hal serupa juga dilakukan oleh J.J. Rousseau mengecam
penguasa dalam bukunya yang berjudul Social Contrak.
Hal berbeda terjadi di dunia Islam, pada masa ini umat Islam
terlatih untuk bangkit dari keterpurukan spiritual. Intelektual Islam
yang gigih menyeru umat Islam untuk kembali pada ajaran al-Quran
dan Hadis.

1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17


Sebenarnya pada abad ke 17 seorang filsuf Skotlandia bernama
David Hume pernah mengungkapkan Problem of Induction, problem
yang terkandung dalam metode induksi atau disebut juga metode
generalisasi. Hume me- nyatakan bahwa data representatif,
seberapapun persen- tasenya, tidak dapat secara logis dipakai untuk
mengambil kesimpulan terhadap seluruh populasi.
Misal, ada sepuluh apel. Anda makan satu, terasa

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna


Positif Semangat Renaisans

4
masam. Anda ambil lagi dan mencicipi, terasa masam juga, anda
ambil satu lagi dan setelah dicicipi maka terasa masam juga. Anda
lakukan terus hal tersebut hingga apel kesembilan dan semuanya
terasa masam. Tinggal satu apel, Anda cenderung akan meyakini
bahwa apel terakhir itu juga akan terasa masam. Apakah ini logis?
Jelas tidak. Apel terakhir dapat masam, tetapi dapat juga manis.
Bahwa apel sebelumnya terasa masam tidak berarti bahwa apel
terakhir terasa masam juga.
Meski demikian dalam kondisi tersebut tentu kita akan
cenderung berpendapat bahwa apel terakhir terasa masam, walau
kita belum mencicipinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari induksi.
Pengembangan teori juga tidak pernah lepas dari induksi. Artinya
ilmu pengetahuan dan teori juga mengandung problem.
Sewaktu Hume mengungkapkan Problem of Induction tersebut,
dunia ilmu pengetahuan geger... untuk sementara... kemudian tenang
lagi. Mengapa? Karena meskipun Problem of Induction itu secara nalar
nyata adanya, namun dianggap tidak memengaruhi perkembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi meskipun berproblem, ilmu penge-
tahuan tetap dapat berkembang dan menghasilkan teknologi yang
berguna untuk kehidupan manusia.
Artinya, ilmu pengetahuan memang mempunyai banyak celah
untuk kesalahan. Karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dapat
mencapai kebenaran pada tataran probabilitas (kemungkinan).
Kesimpulannya, mencari kebenaran adalah hal yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 5


Ilmu
tidak mudah dan dapat berbahaya, namun lebih berbahaya lagi jika
kita berasumsi bahwa kebenaran mutlak sudah ada di tangan kita.
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance
Renaisans adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik
puncaknya kurang lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans"
berasal dari bahasa Prancis Renaissance yang artinya adalah "lahir
kembali" atau "kelahiran kembali". Yang dimaksudkan adalah
kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan
budaya Romawi Kuno yang dapat melakukan kegiatan pemikiran
secara bebas tentang segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, termasuk kehidupan bertuhan.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni,
pemikiran maupun kesusastraan yang menge-

luarkan Eropa dari kegelapan intelektual abad pertengahan. Masa


renaissance bukan suatu perpanjangan yang berkembang secara alami
dari abad pertengahan, melainkan sebuah revolusi budaya, suatu
reaksi terhadap kakunya pemikiran serta tradisi Abad pertengahan.
Dilihat dari definisinya, kata " renaissance" menyiratkan sebuah
pembangunan kembali atau kebangkitan. Periode yang dikenal
sebagai renaissance dipandang sebagai penemuan kembali cerahnya
peradaban Yunani dan Romawi (yang dianggap sebagai "klasik")
ketika keduanya mengalami masa keemasan. Faktanya, sekalipun
semasa Renaissance banyak orang membaca kesusastraan klasik dan
mempertimbangkan kembali pemikiran klasik, esensi

6 Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans
yang sebenarnya dari renaissance adalah lahirnya banyak pembaruan
maupun penciptaan. Universitas tumbuh menjamur di seantero
Eropa, dan penyebaran gagasan tiba- tiba muncul serempak.
Abad Renaisans (Bahasa Prancis/Bahasa Inggris: Renaissance;
Bahasa Italia: Rinascimento; arti harfiah: kelahiran kembali) adalah
sebuah gerakan kebudayaan antara abad ke-14 hingga abad ke-17,
bermula di Italia pada akhir Abad Pertengahan dan kemudian
menyebar ke seluruh Eropa. Gerakan ini mencakup kebangkitan
pengetahuan berdasarkan sumber-sumber klasik, tumbuhnya
panutan pada Sri Paus dan segala sesuatu yang anggun, perkem-
bangan gaya perspektif dalam seni lukis, dan kemajuan ilmu
pengetahuan. Gerakan Masa Pencerahan memberikan efek yang luar
biasa pada semua usaha untuk mengembangkan ilmu pengetahuan,
tapi mungkin yang paling terkenal adalah kemajuan dari segi
kesenian dan kontribusi dari para polymath (orang yang memiliki
ilmu yang tinggi dalam berbagai macam hal) seperti Leonardo da Vinci
dan Michelangelo, yang menyebabkan munculnya sebutan Renaissance
Men.
Renaisans pertama kali diperkenalkan di Eropa Barat, di
kawasan Italia. Hal ini dipicu kekalahan tentara salib dalam perang
suci. Kekalahan tersebut membuat para pemikir dan seniman
menyingkir dari Romawi Timur menuju Eropa Barat.
Mereka menyadari telah dimulainya masa mesiu peledak dan
untuk menguasai teknologi tersebut mereka harus melepaskan diri
dari pengaruh mistisisme zaman

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


pertengahan dengan kembali kepada sains zaman klasik yang
sebelumnya dilarang karena dianggap pelanggaran terhadap misi
ketuhanan.
Potret keluarga Medici oleh Ghirlandaio. Perkembangan
pertama renaisans terjadi di kota Firenze. Keluarga Medici yang
memiliki masalah dengan sistem pemerintahan kepausan menjadi
penyokong keuangan dengan usaha perdagangan di wilayah
Mediterania. Hal ini membuat para intelektual dan seniman memiliki
kebebasan besar karena tidak lagi perlu memikirkan masalah ke-
uangan dan mendapatkan perlindungan dari kutukan pihak gereja.
Keleluasaan ini didukung oleh tidak adanya kekuasaan dominan di
Firenze. Kota ini dipengaruhi secara bersama oleh bangsawan dan
pedagang.
Dengan kebebasan besar itu, seniman dapat berkumpul dan
mendirikan gilda-gilda seni yang mengangkat nama banyak seniman
terkenal. Melalui gilda ini seniman mendelegasikan pekerjaan,
bekerja sama, hingga mendidik bakat-bakat baru.
Abad Renaisans memiliki sebuah sejarah yang panjang dan
rumit, dan selalu muncul perdebatan di antara para sejarawan
mengenai kegunaan kata 'Masa Pencerahan' sebagai sebuah kata
rujukan dan sebagai sebuah masa sejarah. Beberapa di antara mereka
mempertanyakan apakah Masa Pencerahan benar-benar sebuah
kemajuan kebudayaan dari Abad Pertengahan, atau hanya
melihatnya sebagai suatu periode pesimisme dan nostalgia atas era
klasik.

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans
Walau sejarawan abad ke-19 lebih suka untuk menekankan
bahwa Abad Renaisans merupakan perubahan yang jelas dari pola
pemikiran dan kelakuan Abad Pertengahan, beberapa sejarawan
modern belakangan lebih memerhatikan nilai kesinambungan antara
kedua era tersebut. Saat ini sudah lumrah untuk menganggap bahwa
penilaian akan satu era lebih baik atau lebih buruk dari era yang lain
merupakan hal yang salah. Hal ini menyebabkan beberapa sejarawan
untuk menyerukan agar mengakhiri penggunaan kata 'Masa
Pencerahan' tersebut yang dianggap sebagai sebuah hasil pemikiran
presentisme.
Zaman renaissance adalah zaman kelahiran kembali. Dalam
zaman renaissance kebudayaan klasik dihidupkan kembali.
Kasusastraan, seni dan filsafat mencari inspirasi mereka dalam
warisan Yunani-Romawi. Pembaruan terpenting yang kelihatan
dalam filsafat renaissance itu adalah "antropo-sentrisme"nya. Pusat
perhatian pemikiran itu tidak lagi kosmos, seperti dalam zaman
kuno, atau tuhan, seperti dalam abad pertengahan, melainkan
manusia. Mulai zaman renaisance, manusialah yang dianggap
sebagai titik fokus dari kenyataan.
Pada zaman renaissance manusia dipandang sebagai pusat
sejarah, pusat pemikiran, pusat kehendak, kebebasan dan dunia.
Zaman renaissance juga memperlihatkan dalam seni dan dalam
berbagai ilmu yang lahir yang mempunyai kenyataan manusiawi,
sebagai objeknya: Ekonomi, sosiologi, psikologi, psikoanalisis, dan
sebagainya.
Pada masa renaisance terdapat metode yang efektif dalam cara
berpikir yaitu dengan melalui pendekatan ilmu

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 9


secara sistematis. Satu-satunya metode yang efektif dalam cara
berpikir secara sistematis dalam zaman Yunani dan Romawi ini
disebut metode pendekatan silogistik.
Bangsa Yunani dianggap sebagai perintis pertama dalam
mendekati perkembangan ilmu secara sistematis. Keberhasilan
tersebut kemudian diikuti oleh bangsa Babylonia dan Hindu yang
memberikan sumbangan yang berharga meskipun tidak seintensif
kegiatan bangsa Mesir. Setelah ini muncul bangsa Yunani yang
menitikberatkan pada pengorganisasian ilmu di mana mereka bukan
saja menyumbangkan perkembangan ilmu dengan astronomi,
kedokteran, dan sistem klasifikasi Aristoteles, namun juga silogisme
yang menjadi dasar bagi penjabaran secara deduktif pengalaman-
pengalaman manusia. Terlepas dari tendensi mereka untuk
menitikberatkan teori —dengan sering melupakan pengalaman
empiris —dan kurang memerhatikan percobaan sebagai sumber bukti
keilmuan, bangsa Yunani dapat dianggap sebagai perintis dalam
mendekati perkembangan ilmu secara sistenetis.
Aspek positif semangat renaisance adalah; (i) bermakna
kebangkitan; (ii) kembali percaya akan kekuatan akal; (iii) tokohnya
Rene Descartes yang menyatakan manusia makhluk berpikir (Cogito
ergo Sum); (iv) Ilmu pengetahuan dengan metode skeptik; (v)
bangkitnya paham rasionalisme; (vi) perlawanan pemikiran bebas
terhadap agama; (vii) Penelitian filsafat alam yang meragukan konsep
geosentris; (viii) mazhab Itali dan temuan heliosentris; (ix)
perkembangan empirisme dan positivism; (x) lahirnya ilmu
pengetahuan; (xi) filsafat vs. ilmu

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna


Positif Semangat Renaisans

10
pengetahuan; (xii) bercerainya filsafat dengan ilmu pengetahuan
(abad ke-17 hingga abad ke-20).

1.6. David Hume dan Saince Is Power


David Hume, seorang skeptis tulen dari Inggris memakai
penemuan angsa hitam ini untuk menjelaskan sikap skeptisnya
terhadap kebenaran absolut, "No amount of observations of white swans
can allow the inference that all swans are white, but the observations of a
single black swan is sufficient to refute that conclusion."
Bagi seorang skeptis tulen seperti Hume, di dunia ini tidak ada
kebenaran mutlak, meski yang diperoleh dari metode deduksi
sekalipun. Menurut Hume, semua deduk- si sebenarnya adalah
induksi yang belum menemukan 'angsa hitam'nya. Bahkan, premis
yang selama ini diterima sebagai kebenaran, seperti "Semua manusia
pasti akan mati" dapat saja terbukti salah. Siapa yang dapat
memastikan tidak ada manusia-manusia baka seperti dalam kisah
Highlander yang hidup di antara kita? Walau peradaban manusia
sudah melahirkan puluhan miliar anak manusia, cukup satu orang
manusia baka saja yang dibutuhkan untuk membalikkan kebenaran
premis bersangkutan.
Hukum-hukum alam yang diperoleh dari sains juga tidak dapat
dianggap memiliki kebenaran kekal. Kita melihat bagaimana Hukum
Newton ternyata tidak dapat dipakai pada skala makrokosmos
(digantikan oleh teori relativitas Einstein) dan pada skala
mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika kuantum). Teori
geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti salah
dan

11
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan
Galileo Galilei. Siapa di antara kita yang dapat menjamin baik teori
relativitas, mekanika kuantum, dan heliocentris sebenarnya hanya
merupakan hipotesis sementara sampai ditemukan lagi teori-teori
baru yang lebih mendekati kebenaran absolut?
Inti pandangan David Hume, dan Berkeley adalah "ia
berkeyakinan bahwa kekuatan ilmu yang akan mengubah dan
mengontrol alam dan kehidupan manusia. Yang mengubah dan
mengontrol alam dan dunia ini bukan agama atau lembaga agama!"
Sejak revolusi industri abad ke 17, kepercayaan manusia akan
science is power semakin kuat, dan membuat umat manusia lebih
meyakini bahwa IPTEKS yang mengubah peradaban umat manusia.
Agama diyakini hanya sebagai kekuatan pendamping "hati
manusia" saja. Agama dianggap tidak mampu melakukan perubahan-
perubahan besar kehidupan manusia, terutama yang bersifat fisik
seperti pembangunan dan perubahan berdasarkan teknologi.
Dalam mencari kebenaran, kita tentu tidak perlu sampai skeptis
Hume. Skeptisme membutuhkan energi yang besar dan bila kita
skeptis terhadap segala sesuatu, kita tidak akan mampu menyisihkan
waktu untuk menikmati keindahan hidup. Induksi, dengan segala
kekurangannya tetap diperlukan. Tetapi berbekal pengetahuan
tentang kelemahan induksi, kita dapat mengurangi risiko yang
ditimbulkannya. Misalnya saja, bila Anda percaya bahwa kemarau
bulan Juli tidak akan menurunkan hujan,

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif


Semangat Renaisans
Anda dapat merencanakan piknik kebun pada bulan tersebut.
Namun, dengan menyadari bahwa kesimpulan tersebut adalah
kesimpulan induksi, Anda dapat bersiap- siap bila hujan ternyata
turun, misalnya dengan mempersiapkan payung besar atau mencari
lokasi yang berdekatan dengan ruang tertutup. Dalam permainan
saham, Anda dapat memakai strategi hedging atau metode stop loss
untuk mengurangi kerugian bila analisis Anda ternyata salah.

1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi


Di dalam Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan yang telah
dipaparkan sebelumnya, konteks seluruh ilmu pengetahuan
sebenarnya tercipta dari tahapan-tahapan yang sangat panjang,
semua ilmu pengetahuan yang tersedia sampai saat ini, adalah suatu
proses pembelajaran bagi manusia agar tetap selalu berpikir rasional,
karena bukan tidak mungkin, pemikiran yang rasional itu, dapat
menciptakan ilmu pengetahuan baru, yang belum ada sebelumnya.
Dalam hal ini khususnya pada ilmu Antropologi, ilmu antropologi
adalah ilmu yang mempelajari tentang manusia beserta
kehidupannya, ilmu antropologi pada dasarnya dapat tercipta, karena
perkembangan penemuan ilmu pengetahuan yang tersebar dalam
berbagai bidang, ilmu filsafat adalah rujukan pertama dari segala
ilmu yang ada di dunia ini, maka tidak salah bila ilmu filsafat dijuluki
"Mother of Science “ atau ibu ilmu pengetahuan, maka tidak dapat
dipungkiri bahwa sedikit banyaknya ilmu antropologi juga bersumber
pada ilmu filsafat, ilmu sosiologi, ilmu biologi, dan ilmu-ilmu yang
mem-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

13
pelajari manusia adalah dasar penerapan ilmu antropologi, sehingga
terjadi hubungan yang sinergis antara ditemukannya ilmu-ilmu
pengetahuan dengan munculnya ilmu antropologi sampai saat ini.

1.8. Ringkasan
Dari berbagai sumber yang telah didapatkan ternyata dapat
diketahui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menarik
sekali untuk dikaji, hal ini dapat di buktikan dengan adanya fakta
yang salah satunya berisi hukum-hukum alam yang diperoleh dari
sains juga tidak bisa dianggap memiliki kebenaran kekal. Kita
melihat bagaimana Hukum Newton ternyata tidak bisa dipakai pada
skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas Einstein) dan
pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika kuantum).
Teori geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti
salah dan digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus
Copernicus dan Galileo Galilei. Siapa di antara kita yang bisa
menjamin baik teori relativitas, mekanika kuantum, dan heliocentric,
hal ini menggambarkan bahwa segala aspek tentang perkembangan
ilmu pengetahuan sangat beragam untuk dicerna.

Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna


Positif Semangat Renaisans

14
Bab II

Objek Studi Filsafat dan Ilmu


Pengetahuan

2.1. Deskripsi
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak dalam suatu
daerah tidak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun
ilmu pengetahuan. Daerah tidak bertuan ini disebut "Filsafat"
(Bertrand Russell). Makin banyak manusia tahu, makin banyak pula
pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang asal-usul dan
tujuan, tentang dia sendiri tentang nasibnya, tentang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, dengan ke- majuan Ilmu
pengetahuan yang luas, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap
terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu.
Seperti diungkapkan dalam sajak kuno:
Aku datang — entah dari mana Aku ini —
entah siapa Aku pergi — entah kemana
Aku akan mati —entah kemana

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


15
Aku heran bahwa aku bergembira
Pertanyaan tentang asal dan tujuan, tentang hidup dan mati,
tentang hakikat manusia tidak terjawab oleh ilmu pengetahuan dan
mungkin juga tidak akan pernah akan terjawab oleh filsafat. Namun,
filsafat adalah tempat di mana pertanyaan-pertanyaan dikumpulkan,
diterangkan dan diteruskan. Filsafat adalah suatu ilmu tanpa batas.
Filsafat tidak menyelidiki salah satu dari kenyataan saja melainkan
apa-apa yang menarik perhatian manusia.
Perbedaan antara filsafat dan ilmu pengetahuan antara lain
dapat digambarkan sebagai berikut, (i) Filsafat adalah pengetahuan
metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan;
sedangkan (ii) Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan metodis,
sistematis dan koheren ("bertalian") tentang suatu bidang tertentu
dari kenyataan.
2.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah menjelaskan
tentang: (i) perbedaan objek studi dan sudut pandang antara filsafat
dan ilmu pengetahuan; (ii) pengertian, sejarah, dan perkembangan
filsafat; (iii) serta dasar-dasar pemahaman ilmu pengetahuan; (iv)
aspek-aspek positif semangat renaisans bagi perkembangan ilmu; (v)
perbedaan pemikiran zaman modem dan kontemporer.
2.2.1. Objek dan Sudut Pandang Filsafat
Filsafat memiliki 2 objek yang disebut, objek formal
(lapangannya) dan objek material (sudut pandang) dan objek material
filsafat adalah segala sesuatu yang dipermasalahkan oleh filsafat.
Menurut DR. Oemar Amien
16Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Hosein, objek material filsafat adalah segala bentuk pemikiran
manusia tentang sesuatu yang ada dan mungkin ada. Sedangkan
menurut DR. Mr. D.C. Mulder, objek material filsafat adalah segala
persoalan pokok yang dihadapi manusia saat dia berpikir tentang
dirinya dan tempatnya di dunia. Menurut Louis Kattsoff (1992) objek
material filsafat adalah segala pengetahuan manusia serta apa yang
ingin diketahui manusia.
2.2.2. Kegunaan Filsafat bagi Manusia

Dengan adanya filsafat, manusia dimungkinkan dapat melihat


kebenaran tentang sesuatu di antara kebenaran yang lain. Hal ini
membuat manusia mencoba mengambil pilihan, di antara alternatif
yang ada saat itu, sehingga manusia mampu menghadapi masalah-
masalah yang ada dan belajar untuk menjadi bijaksana.
Di samping itu filsafat memberikan petunjuk dengan metode
pemikiran reflektif agar kita dapat menyerasikan antara logika, rasa,
rasio, pengalaman dan agama untuk pemenuhan kebutuhan hidup
yang sejahtera.
2.23. Pengertian Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan adalah suatu pengetahuan tentang objek


tertentu yang disusun secara sistematis sebagai hasil penelitian
dengan menggunakan metode tertentu.
2.2.4. Objek dan Sudut Pandang Ilmu Pengetahuan

Seperti halnya dengan filsafat, ilmu pengetahuan juga memiliki


objek penelitian, tetapi objek yang diteliti dalam ilmu pengetahuan
lebih bersifat khusus tentang alam dan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


manusia. Kedua objek tersebut disebut objek formal.
2.3. Pengertian dan Asal Filsafat
2.3.1. Arti Filsafat
Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani dan berarti "cinta akan
hikmat" atau "cinta akan pengetahuan" seorang "filsuf" adalah
seorang "pecinta", "pencari" ("philos") hikmat atau pengetahuan
("sophia”). Kata "philosophos" diciptakan untuk menekankan sesuatu
pemikiran Yunani seperti Pythagoras (582-496 SM) dan Plato (428-
328 SM) yang mengkritik para "sofis" (sophists) yang berpendapat
bahwa mereka tahu jawaban untuk semua pertanyaan. Kata
Pythagoras "hanya Tuhan yang mempunyai hikmah yang sungguh-
sungguh". Manusia harus puas dengan tugasnya di dunia ini yaitu
"mencari hikmat", "mencintai pengetahuan".
2.3.2. Asal Filsafat
Terdapat tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat
antara lain didorong oleh rasa keheranan, kesangsian, dan kesadaran
akan keterbatasan.
Pertama, Keheranan. Sejumlah Filsuf menunjukkan rasa heran
misalnya: (i). Plato yang menyatakan "maka kita melakukan
pengamatan pada bintang-bintang, matahari dan langit"; (ii).
Immanuel Kant (1742-1804) yang pada batu nisan di kuburannya
tertulis "coelum stellatum supra me lex moralis inkra me", kedua gejala
yang paling mengherankan menurut Kant adalah "Langit berbintang-
bintang di atasnya." dan "hukum moral dalam hatinya"

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


18
Kedua, kesangsian. Filsuf-filsuf lain seperti Augustinus (354-430)
dan Descartes (1596-1650) menunjukkan kesangsian sebagai sumber
utama pemikiran. Sikap ini disebut sikap Skeptis (penyelidikan)
berguna untuk suatu titik pangkal yang berfungsi sebagai dasar
untuk semua ilmu pengetahuan lebih lanjut.
Ketiga, kesadaran akan keterbatasan. Filsuf-Filsuf lain lagi
mengatakan bahwa manusia mulai berfilsafat kalau ia menyadari
betapa kecil dan lemah ia, dibandingkan dengan alam semesta
sekelilingnya.
Ketiga jenis abstraksi tersebut sebagaimana dibedakan oleh
Aristoteles masih tetap berguna untuk menerangkan hubungan
antara filsafat dan ilmu pengetahuan.
Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan.
Sebelum, dalam pengertian bahwa semua ilmu khusus telah mulai
sebagai bagian dari filsafat yang kemudian menjadi dewasa, seperti
masih kelihatan pada Aristoteles. Sedangkan filsafat datang
sesudahnya, dalam pengertian bahwa semua ilmu menghadapi
pertanyaan- pertanyaan yang mengatasi batas-batas spesialisasi
mereka.
2.4. Sejarah Filsafat
Dalam sejarah filsafat biasa dibedakan menjadi tiga area besar,
yakni (i) Filsafat India, (ii) Filsafat Cina, dan (iii) Filsafat Barat.
Pertama, Filsafat India. Cara berpikir India diuraikan dengan
baik oleh Filsuf dan sastrawan Rabindranath Tagore (1816-1941).
Menurut Tagore filsafat India berpangkal pada keyakinan bahwa
terdapat kesatuan fundamental

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 19


antara manusia dan alam, harmoni antara individu dan kosmos.
Filsafat India dapat dipilahkan dalam lima periode besar: (a) Zaman
Weda (2000-600 SM), masa terbentuknya Literus suci, Masa rite
korban dan spekulasi mengenai korban, dan masa refleksi filsafat
dalam Upanisad; (b) Zaman Skeptisisme (200 SM-300 M) terdiri dari
reaksi terhadap ritualisme dan spekulasi; Buddhisme dan jainisme;
dan "kontrareformasi" dalam bentuk enam sekolah ortodoks
"Saddaharsana"; (c) Zaman Puranis (300-1200) terdiri dari
perkembangan karya-mitologi, terutama berhubungan dengan Shiwa
dan Wisnu; (d) Zaman Muslim (1200-1757); (e) Zaman Modern terdiri
dari renaisance dari nilai-nilai India sebagai reaksi terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar.
Kedua, Tema pokok dari filsafat dan kebudayaan Cina itu
"perikemanusiaan" pemikiran Cina yang lebih antroposentris
daripada filsafat India dan filsafat Barat. Filsafat Cina juga lebih
pragmatis: selalu diajarkan bagaimana manusia harus bertindak
supaya keseimbangan antara surga dan dunia tercapai. Filsafat Cina
dibagi menjadi atas empat periode, yakni (a) Zaman Klasik (600-200
SM) terdiri dari Zaman seratus sekolah filsafat, dengan-sebagai
sekolah-sekolah terpenting-konfusianisme. Taoisme, Yin- Yang
moisme, dialektik, dan legalisme; (b) Zaman Neo- taoisme dan
budhisme (200-1000 SM); (c) Zaman Neo- Konfusianisme (1000-1900);
dan (d) Zaman Modern (setelah 1900) berisi tentang pengaruh filsafat
Barat, renaisance dari filsafat klasik Cina, Marxisme dan Maoisme.
Ketiga, Filsafat Barat. Dalam sejarah filsafat Barat
20 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
dibedakan menjadi empat (4) periode terdiri dari: (i) Zaman kuno, (ii)
Zaman Patristik dan skolastik, (iii) Zaman modern, dan (iv) Zaman
sekarang.
Filsafat Barat Zaman kuno (600-400 SM), terdiri dari Filsafat pra
Socrates di Yunani; Zaman keemasan Yunani: Socrates, Plato,
Aristoteles; dan Zaman Hellenisme.
Filsafat Barat Zaman Patristik dan Skolastik (400- 1500), terdiri
dari pemikiran Bapa Gereja; dan puncak filsafat abad pertengahan
dalam Skolastik.
Filsafat Barat Zaman Modem (1500-1800) terdiri dari Zaman
modern (renaisance), Zaman Barak, Zaman Fajarbudi, dan Zaman
Romantik.
Filsafat Barat Zaman sekarang (setelah ±1800) yaitu Filsafat
abad kesembilan belas dan dua puluh.
Satu hal yang menonjol ialah baik di India, Cina, maupun dalam
dunia Barat hidup intelektual menjadi dewasa, (dengan melepaskan
diri dari corak berpikir "mistis") dalam periode antara 800 dan 200
SM. Itu antara lain kelihatan dalam seni dan dalam berbagai ilmu
yang lahir sejak zaman renaisance yang mempunyai kenyataan
manusiawi sebagai objeknya: ekonomi, sosiologi, psikologi,
psikoanalisis, dan seterusnya. Semua ini telah menghasilkan ilmu
pengetahuan yang luas tentang manusia.

2.5. Perkembangan Filsafat


Filsafat adalah mencintai kebijaksanaan, konsep Plato memberi
istilah dialektika yang berarti seni berdiskusi, konsep Cicero
menyebutnya sebagai ibu dari semua seni, konsep Al Farabi adalah
menyelidiki hakikat sebenarnya

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 21


Ilmu
dari segala yang ada, konsep Rene Descartes menyatakan
kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam dan manusia
menjadi pokok penyelidikan. Dari keragaman pengertian filsafat
tersebut. Penulis memberikan suatu konsep bahwa filsafat
mempunyai pengertian yang multidimensi.
Filsafat dikatakan sebagai ilmu karena filsafat mengandung
empat pertanyaan ilmiah yaitu: bagaimana, mengapa, kemana dan
apa. Pertanyaan bagaimana mengandung sifat yang dapat ditangkap
atau tampak oleh indra, jawaban yang diperoleh bersifat deskriptif.
Pertanyaan mengapa mengandung sebab (asal mula) suatu objek,
jawaban yang diperoleh bersifat kausalitas. Pertanyaan kemana
menanyakan tentang apa yang terjadi di masa lampau, sekarang dan
yang akan datang, pengetahuan yang diperoleh adalah: pengetahuan
yang timbul dari hal yang selalu berulang dapat dijadikan sebagai
pedoman, pengetahuan yang terkandung dalam adat istiadat atau
kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat dan pengetahuan yang
timbul dari pedoman yang dipakai (hukum) sebagai suatu hal yang
dijadikan pegangan. Pertanyaan apakah menanyakan tentang
hakikat atau inti mutlak dari suatu hal, jawaban yang diperoleh
mengetahui hal-hal yang sifatnya sangat umum, universal dan
abstrak.
Pada dasarnya filsafat merupakan sebuah cara berpikir yang
radikal dan menyeluruh, yaitu suatu cara berpikir yang mengupas
sesuatu sedalam-dalamnya. Tidak ada satu hal pun yang
bagaimanapun kecilnya terlupa dari pengamatan kefilsafatan. Tidak
ada suatu pernyataan yang
22 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
bagaimanapun sederhananya yang kita terima begitu saja tanpa
pengkajian yang saksama. Filsafat menanyakan segala sesuatu dari
kegiatan berpikir kita dari awal sampai akhir seperti dinyatakan oleh
Socrates. Dalam perkembangannya kemajuan manusia dalam
berfilsafat bukan saja diukur dari jawaban yang di berikan, namun
juga dari pertanyaan yang diajukannya. Yaitu membahas tentang apa
yang ingin kita ketahui seberapa jauh kita ingin tahu atau dengan
perkataan lain suatu pengkajian mengenai teori tentang "ada".
Hingga saat ini perkembangan filsafat masih terus berlanjut demi
untuk kesempurnaannya sehingga melahirkan berbagai cabang baru
dalam kajiannya yaitu dengan dasar-dasar pengajian yang meliputi
hal- hal berikut, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi (Sumantri:
2003).
2.6. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang
kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya
adalah ilmu. Ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang
diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya
seperti seni dan agama. Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan
mental yang secara langsung atau tidak langsung turut memperkaya
kehidupan kita. Sukar untuk dibayangkan bagaimana kehidupan
manusia seandainya pengetahuan itu tidak ada, sebab pengetahuan
merupakan sumber jawaban bagi berbagai pertanyaan yang muncul
dalam kehidupan. Apa yang harus kita lakukan sekiranya anak kita
demam panas

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 23


dan menderita kejang? Lagu "nina bobo" apa yang harus kita
nyanyikan agar dia tertidur lelap?
Pada masyarakat yang masih sederhana (primitif), pembedaan
antara berbagai organisasi masyarakat belum tampak, seorang ketua
suku umpamanya, dapat merangkap hakim, penghulu, atau bahkan
seorang guru besar. Pada kurun waktu tersebut tidak terdapat
pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang
kita ketahui adalah pengetahuan. Apakah itu cara mengobati sakit
gigi, menentukan kapan mulai bercocok tanam atau biografi para
dewa di kahyangan. Pokoknya semua adalah satu apakah itu
objeknya, metode atau kegunaannya.
Dalam berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar
berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat
pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan yang
mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan* dan
konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon
pengetahuan mulai dibeda-bedakan tidak berdasarkan pada apa yang
diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan
itu dipergunakan.
Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan
epistemologi ilmu terkait dengn aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi
kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti
24 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
itu maka bagaimana sebaiknya, kita mengembangkan landasan
epistemologi yang cocok? Persoalan utama yang dihadapi oleh tiap
epistemologi pengetahuan pada dasarnya adalah bagaimana
mendapatkan pengetahuan yang benar dengan memperhitungkan
aspek ontologi dan aksiologi masing-masing. Demikian halnya dengan
masalah yang dihadapi epistemologi keilmuan yakni bagaimana
menyusun pengetahuan yang benar untuk menjawab permasalahan
mengenai dunia empiris yang digunakan sebagai alat untuk
meramalkan dan mengontrol gejala alam.
Enam sumber-sumber pengetahuan yakni: (i) pengalaman indra;
(ii) nalar, (iii) otoritas, (iv) intuisi; (v) wahyu, dan (vi) keyakinan.
Pengalaman indra. Pengindraan adalah alat yang paling vital
dalam memperoleh pengetahuan. Karena memang dalam hidup
manusia, pengindraan adalah satu- satunya alat untuk menyerap
segala objek yang ada di luar diri manusia.
Nalar adalah salah satu corak berpikir untuk menggabungkan
dua pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapatkan
pengetahuan baru dengan memperhatikan asas-asas pemikiran, yaitu:
(i) principium identitas, (ii) principium contradictionis, (iii)
principiumtertii exclusi, dan (iv) principium kompromi.
Otoritas adalah kekuasaan sah yang dimiliki oleh seseorang dan
diakui oleh kelompoknya. Otoritas menjadi salah satu sumber
pengetahuan karena kelompoknya memiliki pengetahuan. Karena
seseorang yang mempunyai kewibawaan dalam pengetahuan. Jadi
kesimpulannya

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

MILIK PERPUSTAKAAN UIN


SUNAN KALIJAGA
adalah bahwa pengetahuan karena adanya otoritas terjadi melalui
wibawa seseorang sehingga orang lain mempunyai pengetahuan.
Intuisi berperan sebagai sumber pengetahuan karena adanya
kemampuan dalam diri manusia yang dapat melahirkan pernyataan-
pernyataan berupa pengetahuan.
Wahyu, merupakan salah satu sumber pengetahuan karena kita
mengenal atau tahu sesuatu misalnya akhirat, surga dan neraka,
melalui ajaran wahyu Tuhan.
Keyakinan adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang
diperoleh melalui kepercayaan. Sesungguhnya antara sumber
pengetahuan berupa wahyu dan keyakinan ini sangat sukar untuk
dibedakan. Adapun keyakinan melalui kemampuan kejiwaan
manusia merupakan pematangan dari kepercayaan.

2.7. Corak-Corak Pemikiran Filsafat Zaman Yunani Kuno


Periode Yunani kuno disebut periode filsafat alam, karena pada
periode ini ditandai dengan munculnya ahli pikir alam di mana arah
dan perhatian pemikirannya pada alam sekitarnya. Pernyataan-
pernyataan yang dibuat bersifat filsafati (berdasar akal pikir) dan
tidak berdasar pada mitos. Ahli pikir alam antara lain, adalah Thales,
Anaximandros, dan Pythagoras.
Filsafat Yunani muncul dari pengaruh mitologi, mistisisme,
matematika, dan persepsi yang kental begitu rupa sehingga
segalanya nyaris tidak jelas dan seakan mengacaukan pandangan
dunia. Para Filsuf Yunani awal menemukan dirinya dalam kenyataan
yang patut ditiru.

26
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Kebudayaan mereka kaya dan kreatif, namun dikelilingi oleh orang-
orang yang sportif dan kompetitif. Muncul beberapa pemikiran
filosofis pada masa Yunani kuno antara lain, Parmenides,
Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraklitus, dan Phytagoras.
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (± 515 - 450 SM)
Usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir
baru mengenai hakikat "pengada" (being as such). Klaim-klaim dan
argumen Parmenides ini bersifat abstrak dalam cara yang berbeda
sama sekali. Misalnya "yang kita dapat bicarakan dan pikirkan
pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat. Pikirkanlah
itu".
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM)
"Jika banteng, kuda, dan singa mempunyai tangan dan dapat
melukis seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa kuda,
dan banteng akan melukis wujud para dewa seperti sapi jantan,
masing-masing melukis tubuh para dewa seperti tubuhnya sendiri." Ia
menganjurkan kira-kira sama dengan apa yang tertulis dalam kitab
pertama Alkitab Ibrani (atau Perjanjian Lama), kepercayaan pada
"satu dewa, yang terbesar di antara para dewa dan manusia, yang tak
serupa dengan hal-hal fana terdapat pada tubuh dan pikiran".
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM)
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air.
Ide yang sangat mungkin berasal dari Kosmogoni purba Yunani dan
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Tetapi

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


tidak beranggapan bahwa segala sesuatu terbuat dari air.
2.7.4. Aristoteles pada Abad ke-4 (384-322 SM)
Aristoteles adalah seorang ilmuwan dan filsuf terbesar di dunia
kuno. Adalah seorang animis dan salah satu dari sekian idenya yang
menarik adalah bahwa dunia sebagai suatu keseluruhan, kosmos,
pada dasarnya hidup dan bersifat illahi. Thales dan Aristoteles
bergerak di antara tiga klaim animis secara berbeda. Ketiga hal
tersebut adalah; (i) Segala sesuatu hidup (bahkan batuan, binatang,
dan air); (ii) segala yang hidup terkait hukum sebab akibat
(kausalitas); dan (iii) Kosmos sebagai keseluruhan adalah hidup.

2.7.5. Heraklitus (±515 — 450)


Heraklitus terkenal karena pengamatannya yang jelas pada
pemikiran kedua menjadi teka-teki mendalam dan dapat jadi kabur
yang menyatakan "alam mencintai keter- sembunyiannya
(concealment)". Ia sendiri mencintai teka- teki, paradoks-paradoks dan
permainan kata yang dapat mengundang pemikiran yang mendalam
untuk mengungkapkan maknanya. Pada pemikiran kedua menjadi
teka- teki yang mendalam dan kabur semisal, "jalan naik dan jalan
belakang adalah sama". Untuk kehidupan sesudah mati, "segala yang
kita lihat di saat bangun adalah kemati- an", dan "orang jangan
berharap atau membayangkan apa yang menantikan mereka dalam
kematian". Untuk sebuah peradaban yang putus asa dan
mendambakan perdamaian karena perang yang berkepanjangan, ia
menegaskan "perang adalah bapa dan raja dari segalanya".

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

28
2.7.6. Phythagoras (± 581 - 507)
Di antara banyak hal, rancangan dan pembuktian suatu teorema
Phythagoras, salah satu dari basis geometri, dalam bangun segitiga
yang benar, ia menghasilkan kuadrat sisi miring (sisi miring yang
sering anda lupakan) sama panjangnya dengan jumlah kuadrat kedua
sisinya. Penemuan penting yang lain dalam matematika, termasuk
pengertian "bilangan-bilangan irasional" bilangan-bilangan yang
tidak dapat dibagi rata dengan satu bilangan bulat menjadi bilangan
bulat lainnya. Filsuf yang mempesona, yang mempunyai berbagai
teori tentang hakikat alam semesta dan yang membuat musik, yang
mempunyai keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara terbaik
menjalani kehidupan (banyak di antaranya di datangkan dari Mesir,
bersama banyak konsep geometris). Selanjutnya, Phythagoras
memakai teori mengenai perimbangan (proportion) untuk
menjelaskan, di antara hal-hal lain, hakikat musik dan gerakan
bintang-bintang.

2.8. Karakteristik Pemikiran Zaman Patristik


Patristik (dari kata Latin "patres", Bapa-bapa Gereja) dipilahkan
atas Patristik Yunani (Patristik Timur) dan Patristik Latin (Patristik
Barat). Ajaran filsafi-teologi dari bapa-bapa Gereja menunjukkan
pengaruh Platinos. Mereka berusaha untuk memperlihatkan bahwa
iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia.
Mereka berhasil membela ajaran kristiani terhadap tuduhan dari
pemikir-pemikir kafir. Tulisan Bapa-bapa Gereja merupakan suatu
sumber yang kaya dan luas yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


sekarang masih memberi inspirasi baru.
Masa Patristik, para ahli pikir beragam pemikirannya: ada yang
menolak filsafat Yunani dan ada yang menerimanya. Yang menolak
adalah karena mereka sudah mempunyai sumber kebenaran yaitu
firman Tuhan dan tidak dibenarkan mencari kebenaran lain seperti
filsafat Yunani. Sedang yang menerima beranggapan bahwa walau
telah ada sumber kebenaran, tetapi tidak ada salahnya menggunakan
filsafat Yunani, yang diambil tata cara berpikirnya, ahli pikir
Patristik antara lain: Justinus Martir, Klemens, Tertullianus, dan
Augustinus.

2.9. Sumbangan Pemikiran Filsafat Islam pada Abad


Pertengahan
Filsafat Islam dibagi dalam beberapa periode (a) Periode
Mutazilah yaitu periode yang mendahulukan pemakaian akal pikiran,
kemudian diselaraskan dengan Al-Quran dan Al-Hadits. Menurut
mereka, Al-Quran dan Al-Hadits tidak mungkin bertentangan dengan
akal pikiran; (b). Periode Filsafat Pertama. Upaya pendahuluannya
adalah dilakukan pengumpulan naskah-naskah filsafat Yunani,
kemudian diterjemahkan; (c). Periode Kalam Asy'ari adalah periode
memperkokoh akidah Islam; (d) Periode filsafat kedua merupakan
prestasi besar dan sebagai mata rantai hubungan Islam dari Timur ke
Eropa. Inilah sumbangan Islam terhadap Eropa yang dapat membawa
kebebasan berpikir.
Sumbangan pemikiran umat Islam yaitu pola berpikir secara
empiris yang berasal dari sarjana-sarjana Islam dan

30 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


kemudian terkenal di dunia Barat lewat tulisan Francis Bacon
(1561-1626) dalam bukunya (Nouum Organum) yang terbit tahun
1620. Pola berpikir Barat rasional sebenarnya dikenal oleh ahli-
ahli pikir filsafat Barat lewat pembahasan ahli-ahli filsafat Islam
terhadap filsafat Yunani yang dilakukan antara lain oleh Al-Kindi
(809-873), Al-Farabi (881-961), Ibnu Sina (980-1037) dan Ibnu
Rusyd (1126- 1198) di samping ahli Filsafat mereka ini juga ahli
dalam bidang keilmuan dan filsafat, Ibnu Rusyd mempunyai
pengarah besar dalam dunia pemikiran filsafat di Barat yang
terkenal sebagai Averroisme. Sarjana Islam juga menyumbangkan
kemajuan ilmu dengan pengembangan Aljabar oleh Al-
Khowarizmi, Geometri oleh Al-Battani serta penggunaan angka
desimal yang digunakan sampai sekarang.
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern dan
Kontemporer
Pemikiran zaman modem yaitu dengan cara metode
pendekatan Induktif-Deduktif yaitu menggabungkan metode
Induktif dari Bacon dart deduksi Aristoteles, metode gabungan ini
merupakan kegiatan beranting antara induksi dan deduksi yang
mula-mula seorang penyelidik mempergunakan metode induksi
dalam menghubungkan antara pengamatan dengan hipotesis.
Kemudian secara deduktif hipotesis ini dihubungkan dengan
pengetahuan yang ada untuk melihat kecocokan dan implikasinya.
Setelah lewat berbagai perubahan yang dirasa perlu maka
hipotesis ini kemudian diuji melalui serangkaian data yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


dikumpulkan untuk mengetahui sah atau tidaknya (benar atau
tidaknya) hipotesis tersebut secara empiris.
Pendekatan ini merupakan esensi dari metode keilmuan modern
dan menandai kemajuan terakhir dari manusia dalam menjabarkan
ilmu yang bersifat empiris. Dalam perjalanan ke arah ini manusia
telah mengembangkan cerita-cerita rakyat dan mistik, dogma dan
tradisi, pengamatan yang tidak sistematis dan akhirnya sampai pada
pengamatan yang sistematis. Meskipun pada dasarnya proses metode
keilmuan ini merupakan kegiatan beranting antara induksi dan
deduksi, namun secara sederhana biasanya seseorang secara induktif
langsung mengembangkan hipotesis dari pengalaman dan hipotesis
ini kemudian dikaji lebih lanjut secara terperinci untuk mengetahui
aspek-aspeknya yang dapat diuji.
Ilmuwan modern tidaklah semata-mata menggantungkan diri
kepada metode induksi, namun juga mempergunakan secara deduktif
pengetahuan yang telah ada dalam mengkaji hipotesis. Dia
mempergunakan fakta dan teori sebagai alat untuk memperkuat satu
sama lain untuk mendapatkan gambaran yang lebih jelas dari
masalah yang dihadapinya. Pendekatan yang bersifat ganda ini
adalah perlu sebab meskipun seorang ilmuwan ingin suatu ke-
simpulan yang bersifat umum, namun dalam penyelidikannya dia
tidak mungkin untuk mengamati secara keseluruhan. Hal ini
mengharuskan dia untuk mengamati hanya jumlah yang terbatas dari
sini dia mengambil kesimpulan yang bersifat umum.

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


2.11. Hubungan Antropologi dengan Filsafat Ilmu dan
Ilmu Pengetahuan
Ilmu antropologi merupakan bagian dari ilmu pengetahuan
metafisika khusus yang merupakan bagian dari filsafat tentang
keseluruhan kenyataan yang merupakan cabang-cabang dari
filsafat ilmu yang menjelaskan tentang kisi-kisi manusia secara
umum dan luas.
Setiap filsafat mengandung secara eksplisit dan implisit
suatu pandangan tentang manusia, tentang tempatnya dalam
kosmos, tentang hubungannya dengan dunia. Dengan sesama dan
dengan transendensi. Menurut Immanuel Kant pertanyaan
"manusia siapa dia itu?". Merupakan pertanyaan satu-satunya
dari filsafat.
Manusia hidup dalam banyak dimensi sekaligus. Manusia
adalah sekaligus materi dan hidup, badan dan jiwa. Ia mempunyai
kehendak dan pengertian, manusia merupakan seorang individu,
tetapi ia tidak dapat hidup lepas dari orang lain. Dalam manusia
terdapat pertemuan antara kebebasan dan keharusan, antara
masa lampau yang tetap dan masa depan yang masih terbuka.
Pertanyaan tentang manusia tentu saja mempunyai sejarah
yang panjang. Tetapi baru saja sejak zaman renaissance sekitar
tahun 1500, manusia betul-betul menjadi titik pusat dari filsafat,
pusat sejarah, pusat pemikiran, pusat kehendak, kebebasan dan
dunia.
2.12. Ringkasan
Sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan terdiri
dari berbagai periode, antara lain periode atau masa

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Aristoteles, Phythagoras, Heraklitus, Thales, Xenophanes, dan
Parmenides yang keseluruhannya merupakan periode dari masa lalu.
Selanjutnya, deskripsi tentang ilmu pengetahuan dan filsafat
mengalami perkembangan, terutama dalam segi pandangan dan cara
pemikiran. Aspek positif dari Renaisance dan sumbangan pemikiran
filsafat Islam (pada abad pertengahan). Yang kesemuanya sebagai
satu kesatuan dalam kajian ilmu sehingga terbentuklah suatu badan
dari filsafat itu sendiri sampai masa sekarang ini.
Berbagai perbedaan pemikiran antara zaman modern dan zaman
kontemporer menjadi wujud dari perubahan itu sendiri, di mana pada
zaman modern corak pemikiran yang berlandaskan pada metode
pendekatan induktif- deduktif (menggabungkan metode induktif dari
Bacon dan metode induksi dari Aristoteles). Sehingga terwujud
sinkro- nisasi dalam pohon ilmu pengetahuan yang dihubungkan
dengan pengamatan dan hipotesis. Kemudian secara deduktif
hipotetis ini dihubungkan dengan perkembangan pengetahuan yang
ada untuk melihat signifikansi dan implikasinya.

Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan

34
Bab III

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu

3.1. Deskripsi
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat, ilmu, dan filsafat
ilmu, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi-definisi
filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu.
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak
kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun
sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata " science" artinya "to
know". Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan
objektif. Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari
proses berpikir dengan menggunakan akal, atau hasil berpikir secara
rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


(pengetahuan ilmiah) atau dengan kata lain filsafat ilmu adalah
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi kehidupan manusia.

3.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada bab ini menjelaskan tentang
pengertian filsafat dan cabang-cabangnya, ilmu, filsafat ilmu yang
selalu melakukan pencarian dan penemuan hakikat dari seluruh
kenyataan (reality). Pembahasan dari uraian ini diharapkan dapat
berguna sebagai kerangka dalam mengenal dan memahami filsafat,
ilmu, filsafat ilmu.

3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat


Dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu
ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda dan hampir sama.
Pengertian filsafat dapat dipilahkan ke dalam dua garis besar, yaitu
secara etimologi dan secara terminologi.

3.3.1. Pengertian Secara Etimologi


Kata filsafat, yang dalam bahasa Arab dikenal dengan istilah
falsafah dan dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah Philosophy
adalah berasal dari bahasa Yunani philosophia. Kata philosophia
terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan sophia yang
berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga pengertian etimologis dari
istilah filsafat berarti cinta kebijaksanaan atau love of wisdom dalam
arti yang sedalam-dalamnya.

36 Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


3.3.2. Pengertian Secara Terminologi
Pengertian terminologis merupakan uraian yang menjelaskan
berdasarkan batasan-batasan definisi yang disusun oleh sejumlah
filsuf dan ahli filsafat. Pengertian terminologis tentang filsafat
adalah (i) upaya spekulatif untuk menyajikan suatu pandangan
sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas; (ii) upaya untuk
melukiskan hakikat realitas akhir dan dasar secara nyata; (iii)
upaya untuk menentukan batas-batas dan jangkauan pengeta-
huannya: sumbernya, hakikatnya, keabsahannya, dan nilainya;
(iv) penyelidikan kritis atas pengandaian-peng- andaian dan
pernyataan-pernyataan yang diajukan oleh berbagai bidang ilmu
pengetahuan; (v) disiplin ilmu yang berupaya untuk membantu
kita melihat apa yang kita katakan dan untuk mengatakan apa
yang yang kita lihat.
Adapun pengertian terminologis filsafat yang diuraikan lebih
lanjut adalah definisi filsafat menurut Plato, Aristoteles, Rene
Descartes, Immanuel Kant, Ali Mudhofir, dan Notonagoro, Harold
H Titus, Ibnu sina dan Driyarkara
Para filsuf dan ahli filsafat itu mendefinisikan tentang.
Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang
mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang kebenaran yang
asli. Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang
meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu
metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika
(filsafat keindahan). Menurut Rene Descartes filsafat adalah
kumpulan semua pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan; Immanuel Kant, filsafat

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


adalah ilmu atau pengetahuan yang menjadi pangkal dari semua
pengetahuan yang di dalamnya tercakup masalah epistemologi
(filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita
ketahui; Menurut Notonagoro, Guru Besar UGM, filsafat menelaah
hal-hal yang menjadi objeknya dari sudut intinya yang mutlak dan
yang terdalam, yang tetap, dan yang tidak berubah yang disebut
hakikat; Sedangkan menurut Ali Mudhofir, seorang ahli filsafat
yang juga dosen UGM, filsafat diartikan sebagai: (i) suatu sikap; (ii)
suatu metode; (iii) kelompok persoalan; (iv) kelompok teori atau
sistem pemikiran; (v) analis logis tentang bahasa dan penjelasan
makna istilah; dan (vi) usaha untuk mendapatkan pandangan yang
menyeluruh.
Dalam pengertian lain, filsafat diartikan sebagai interpretasi
atau evaluasi terhadap apa yang penting atau yang berarti bagi
hidup. Di pihak lainnya ada yang beranggapan, bahwa filsafat
merupakan cara berpikir yang kompleks, suatu pandangan atau teori
yang tidak memiliki kegunaan praktis, tetapi mendasar bagi lmu
pengetahuan.
Harold H. Titus, mengemukakan pengertian filsafat dalam arti
sempit dan dalam arti luas. Dalam arti sempit, filsafat diartikan
sebagai ilmu yang berhubungan dengan metode logis atau analisis
logika bahasa dan makna-makna. Filsafat diartikan sebagai "science of
science", dengan tugas utamanya memberikan analisis kritis terhadap
asumsi- asumsi dan konsep-konsep ilmu, dan mensistematisasikan
pengetahuan. Dalam arti luas, filsafat mencoba mengintegrasikan
pengetahuan manusia dari berbagai pengalaman manusia yang
berbeda-beda dan menjadikan suatu

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


pandangan yang komprehensif tentang alam semesta, hidup, dan
makna hidup.
Ibnu Sina, mengemukakan bahwa filsafat adalah pengetahuan
otonom yang perlu ditimba oleh manusia sebab ia dikaruniai akal oleh
Allah.
Prof. Dr. N. Driyarkara S.J., seorang filsuf besar dan ulung
Indonesia yang dalam bukunya Percikan Filsafat yang menyatakan
bahwa, filsafat adalah pikiran manusia yang radikal, artinya dengan
mengesampingkan pendirian dan pendapat "yang diterima saja"
mencoba memperlihatkan pandangan yang merupakan akar dari lain-
lain pandangan dan sikap praktis.
Oleh karena itu, kami cenderung untuk memberikan definisi
filsafat itu sebagai berikut: "Filsafat adalah ilmu pengetahuan yang
mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-sebab terdalam,
tercapai dengan budi murni" (philosophy is the science which by the
natural light of reason studies the first causes or hightest principles of all
things).
3.3.3. Kegunaan Filsafat
Kegunaan belajar filsafat pada peradaban dunia mutakhir ini
adalah karena dunia sedang dilanda krisis peradaban dan ilmu
pengetahuan dengan indikator sebagaimana dinyatakan oleh para
ahli: (i) The End of Ideology (Daniel Bell 1971); (ii) The End of History
and The Last Man (F. Fukuyama, 1997); (iii) The Death of Education
(Neil Postman, 2000); (iv) The Death of Science (John Horgan, 1997).

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 39


Krisis ilmu pengetahuan ditandai oleh: (i) tidak ada temuan baru
setelah temuan C. Darwin dan A. Einstein. Semua temuan dan teori
baru merupakan turunan teori- teori Evolusi Darwin dan teori
Relativitas Einstein; (ii) Ilmu dengan teori-teorinya gagal atau tidak
mampu menjelaskan gejala alam dan non-alam (gagal menjelaskan
krisis-krisis kemanusiaan); (iii) terjadi krisis moralitas dan kejahatan
dalam dunia ilmu yang terus meluas.
Dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang
tidak terletak dalam wewenang metode-metode ilmu khusus. Jadi,
filsafat membantu manusia mendalami pertanyaan asasi manusia
tentang makna realitas dan ruang lingkupnya. Kemampuan itu
dipelajari melalui dua jalur, yaitu secara sistematik dan secara
historis.
Kegunaan filsafat dapat dibagi dua, yakni kegunaan secara
umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan
manfaat yang dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan
mendalam sehingga mampu memecahkan masalah-masalah secara
kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan secara khusus dimaksudkan
untuk memecahkan suatu objek di Indonesia. Jadi, khusus diartikan
terikat oleh ruang dan waktu, umum dimaksudkan tidak terikat oleh
ruang dan waktu.
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat
Cabang filsafat yang diuraikan pada bagian ini adalah: (i)
Epistemologi; (ii) Metafisika; (iii) Logika; (iv) Etika; dan (v). Estetika.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


40
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang bersangkut paut
dengan teori pengetahuan. Istilah epistemologi berasal dari bahasa
Yunani yang terdiri dari kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan
logos (kata, pikiran, pendapat, percakapan, atau ilmu). Jadi,
Epistemologi berarti kata, pikiran, percakapan tentang ilmu
pengetahuan.
Metafisika berasal dari bahasa Yunani meta physhika (sesudah
fisika). Kata metafisika ini juga memiliki berbagai arti. Metafisika
dapat berarti upaya untuk mengkarakteris- tikkan eksistensi atau
realita sebagai suatu keseluruhan. Namun secara umum metafisika
adalah suatu pembahasan filsafat yang komprehensif mengenai
seluruh realitas atau tentang segala sesuatu yang ada.
Logika. Secara etimologi, logika adalah suatu pertimbangan
akal atau pikiran yang dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu,
logika disebut juga logike episteme atau logica scientica yang berarti
ilmu logika, namun sekarang hanya disebut logika saja.
Etika. Etika sering kali disebut sebagai filsafat moral. Istilah
etika berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani — ethos dan
ethikos. Ethos berarti sifat, watak, kebiasaan, tempat yang biasa.
Ethikos berarti susila, keadaban, atau kelakuan dan perbuatan yang
baik.
Estetika adalah cabang filsafat yang membahas tentang seni
dan keindahan. Istilah estetika berasal Yunani- aisthesis, yang
berarti pencerapan indrawi, pemahaman intelektual, atau
pengamatan spiritual. Adapun istilah art (seni) berasal dari bahasa
Latin ars, yang berarti seni, keterampilan, ilmu, dan kecakapan.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
41
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat
Seperti halnya pengetahuan, maka filsafat pun dapat ditentukan
ruang lingkupnya yang dipilahkan dalam dua objek yaitu, objek
material (lapangan) dan objek formalnya (sudut pandangnya). Objek
material filsafat ialah segala sesuatu yang dipermasalahkan oleh
filsafat.
Menurut Prof. DR. M.J. Langeveld: ".... bahwa hakikat filsafat
itu berpangkal pada pemikiran keseluruhan sarwa sekalian secara
radikal dan menurut sistem". Maka keseluruhan sarwa itu ada. Ia
adalah pokok dari yang dipikirkan orang dalam filsafat; Ada juga
pemikiran itu sendiri yang terdapat dalam filsafat sebagai alat untuk
memikirkan pokoknya; Pemikiran itu pun adalah bagian dari kese-
luruhan, terdapat dalam filsafat sebagai alat dan sebagai keseluruhan
sarwa sekalian.
DR. Oemar Amin Hoesin menulis tentang lapangan penyelidikan
filsafat sebagai berikut: "Oleh karena manusia mempunyai pikiran
atau akal yang aktif maka ia mempunyai kecenderungan hendak
berpikir tentang segala sesuatu dalam alam semesta, terhadap segala
yang ada dan yang mungkin ada. Objek seperti ini disebut sebagai
objek material filsafat".
DR.Mr. D.C. Mukler menulis, "Tiap-tiap manusia yang mulai
berpikir tentang diri sendiri dan tentang tempatnya dalam dunia,
akan menghadapi beberapa persoalan yang begitu penting".
Louis Kattsoff menulis bahwa "Lapangan kerja filsafat itu
bukan main luasnya, yaitu meliputi segala sesuatu apa

42 Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


saja yang ingin diketahui manusia".
DR. A.C. Ewing dalam bukunya, the Fundamental Questions of
Philosophy, tentang pertanyaan-pertanyaan pokok filsafat ialah truth
(kebenaran), matter (materi), mind (budi), the relation of matter and
mind (hubungan materi dan budi), space and time (ruang dan waktu),
cause (sebab), freedom (kemerdekaan), monism versus pluralism
(monisme lawan Pluralisme) dan god (Tuhan).
AL-Kindi ahli pikir pertama dalam filsafat Islam yang
memberikan pengertian filsafat di kalangan umat Islam dan
membaginya menjadi tiga,yaitu: (i) Ilmu fisika sebagai tingkatan
rendah; (ii) Ilmu matematika sebagai tingkatan menengah; dan (iii)
Ilmu Ke-Tuhanan sebagai tingkatan tertinggi.
Setelah menguraikan tentang ruang lingkup kajian filsafat dari
para ahli, maka kita dapat menarik kesimpulan bahwa objek material
dari filsafat itu adalah segala sesuatu (realita).
Adapun mengenai objek formal filsafat, adalah bersifat non-
fragmentaris, karena filsafat mencari pengertian realita secara luas
dan mendalam. Sebagai konsekuensi pemikiran ini, maka seluruh
pengalaman manusia antara lain: etika, estetika, teknik, ekonomi,
sosial, budaya, religius dan lain-lain. Dalam hal ini pemikiran filsafat
menuntut bahwa seorang ahli filsafat adalah seorang pribadi yang
berkembang secara harmonis dan memiliki pengalaman secara
authentik yang diperoleh dari dunia realita.
Jadi objek formal filsafat itu bersifat mengasaskan atau

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 43


berprinsip dan oleh karena mengasas, maka filsafat itu
mengkonstatir prinsip-prinsip kebenaran dan ketidakbenaran.
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan
Karakteristik atau ciri-ciri pemikiran kefilsafatan antara lain: (i)
pemikiran yang bebas dan sebebas bebasnya; (ii) pemikiran yang
rasional dan kritis; (iii) pemikiran yang esensial; (iv) pemikiran yang
abstrak; (v) pemikiran yang radikal; (vi) pemikiran yang holistic, (vii)
pemikiran yang kontinu; (viii) pemikiran yang "inquiry"; (ix)
pemikiran yang questioning; (x) pemikiran yang analisis dan diskon-
struksi; (xi) pemikiran spekulatif; (xii) pemikiran yang inventif; dan
(xiii) pemikiran yang sistematik.
Berfilsafat berarti melakukan suatu pemikiran bebas dan
sebebas-bebasnya sebagai lawan dari otoriterisme, ke- percayaan,
agama ideologi, dan pemikiran yang tertutup. Ilmu pengetahuan
membutuhkan kebebasan berpikir yang sangat luas baik dalam kelas
maupun di luar kelas, dalam rangka mencari hakikat pengetahuan
dan kebenaran. Kebebasan akademis harus menjadi kebebasan
berpikir yang luas.
Pendidikan dan proses pembelajaran dalam lembaga pendidikan
di Indonesia belum menjamin dan memberikan kesempatan adanya
kebebasan berpikir kepada peserta didik atau mahasiswa. Dengan
filsafat, kita memiliki peluang (probability) untuk mengembangkan
kebebasan berpikir yang seluas-luasnya.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu
Perkembangan ilmu mencapai puncak kejayaannya pada masa
Newton. Ilmuwan Inggris melalui, antara lain, teori gaya berat dan
kaidah-kaidah mekanika dalam karya tulisnya berjudul Philosophiae
Naturalis Principia Mathe- matica (asas-asas matematik dari filsafat
alam) terbit tahun 1687.
Pengetahuan sebagai produk berpikir merupakan obor dan
semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan
menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai peralatan
dikembangkan manusia untuk meningkatkan kualitas hidupnya
dengan jalan menerapkan pengetahuan yang diperolehnya. Proses
penemuan dan penerapan itulah yang menghasilkan kapak dan batu
zaman dulu sampai komputer hari ini. Berbagai masalah memasuki
benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup
sehari-hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai
bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun kelihatannya betapa
banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu, namun pada
hakikatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan di-
dasarkan pada tiga masalah pokok yakni: Apakah yang ingin kita
ketahui? (Ontologi) Bagaimanakah cara kita memperoleh
pengetahuan? (Epistemologi) Dan apakah nilai pengetahuan tersebut
bagi kita? (Aksiologi)

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Diagram 3.1. Hubungan Pengetahuan dan Berpikir

Bagan 1 Hubungan Pengetahuan dan Berpikir,


Pengetahuan yang diperoleh selalu
bersinggungan dengan cara kita berpikir
atau pikiran kita.

Pertanyaan tersebut kelihatannya sederhana, tetapi


mencakup sebuah permasalahan besar yang menyangkut hak asasi. Berbagai
buah pemikiran besar sebenarnya banyak dihasilkan dari serangkaian tiga
pertanyaan tadi. Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia
dalam menjawab pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari
pengetahuan manusia. Sehingga ilmu pengeta-
huan dapat diartikan sebagai keseluruhan dari pengetahuan
yang terkoordinasi mengenai pokok pemikiran tertentu.
Hubungan pengetahuan dan berpikir tersebut dapat dilihat
pada diagram (Diagram 3.1.)
Pengertian ilmu juga dapat dirujukkan pada kata 'ilm
(Arab), science (Inggris), watenschap (Belanda), dan wissenschaf
(Jerman). R. Harre menulis ilmu adalah a collection of well-tested
theories which explain the patterns regularities and irregularities
among carefully studied phenomena, atau kumpulan teori yang
sudah diuji coba yang menjelaskan tentang pola-pola yang
teratur atau pun tidak teratur di antara fenomena yang
dipelajari secara hati- hati.

46Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


Secara umum (science in general) berarti segenap pengetahuan ilmiah
yang dipandang sebagai suatu kebulatan atau ilmu merupakan bidang
pengetahuan ilmiah yang mempelajari pada bidang-bidang kajian tertentu
seperti cabang ilmu antropologi, biologi, geografi, atau sosiologi. Lebih lanjut,
Harre menjelaskan bahwa ada dua komponen utama yang dapat digunakan
untuk menginvestigasi ilmu. Kita bertanya tentang fenomena sesuatu yang
mana dianjurkan untuk mengetahuinya, dan bertanya tentang subject matter
dan content dari pengetahuan teorinya.
Dalam pengertian yang lain, ilmu merupakan perkataan yang memiliki
makna ganda, artinya mengandung lebih dari satu arti. Sering kali ilmu
diartikan sebagai pengetahuan, tetapi tidak semua pengetahuan dapat
dinamakan sebagai ilmu, melainkan pengetahuan yang diperoleh dengan
cara-cara tertentu berdasarkan kesepakatan para ilmuwan.
Pengetahuan yang dapat disepakati sehingga menjadi suatu "ilmu",
menurut Archie J. Bahm dapat diuji dengan enam komponen utama yang
disebut dengan six kind of science, yang meliputi: (i)problems, (ii) attitude, (iii)
method, (iv) activity, (v)conclusions, dan (vi) effects.
Dari pendapat Bahm tersebut dapat diartikan bahwa ilmu lahir dari
pengembangan suatu permasalahan-per- masalahan (problems) yang dapat
dijadikan sebagai kegelisahan akademik (kasus ilmiah atau objek ilmu). Atas
dasar problem, para kreator akan melakukan suatu sikap ( attitude) untuk
membangun suatu metode-metode dan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


47
kegiatan-kegiatan (method and activity) yang bertujuan untuk melahirkan
suatu penyelesaian-penyelesaian kasus (conclusions) dalam bentuk teori-teori.
Konklusi-konklusi dapat diuji (diterima) dengan mempertimbangkan dari
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh teori (effects). Setiap individu yang
berpotensi ilmiah dapat diketahui dari pengkayaan attitude yang meliputi
curiosity (keingintahuan), speculativeness (berani bereksperimen), serta
willingness to be objective, suatu sikap untuk selalu objektif.
Objek ilmu meliputi objek material dan objek formal. Objek material
adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia
adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formal adalah cara
pandang tertentu tentang objek material tersebut, seperti pendekatan
empiris dan eksperimen dalam ilmu kedokteran.
Jika sudah menjadi ilmu pengetahuan, maka klasifikasi ilmu
berkembang secara umum menjadi beragam cabang: (i) natural sciences,
seperti ilmu fisika, kimia, astronomi, biologi, botani; (ii) social sciences seperti
ilmu sosiologi, ekonomi, politik, antropologi; serta humanity science seperti
ilmu bahasa, agama, kesusastraan, kesenian, dan filsafat.
Dari beberapa penjelasan di atas, ilmu merupakan suatu perangkat
fundamental dalam penciptaan peradaban. Dalam ilmu termuat
pengetahuan manusia yang bersifat alamiah (natural) kemudian
dikonstruksi menjadi teori-teori yang dapat memberikan konklusi bagi setiap
persoalan-persoalan kehidupan.

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


3.4.1. Definisi Ilmu
Istilah ilmu atau science merupakan suatu kata yang sering diartikan
dengan berbagai makna, atau mengandung lebih dari satu arti. Science dalam
arti sebagai natural science, biasanya dimaksud dalam ungkapan "sains dan
teknologi". Dalam kamus istilah ilmiah dirumuskan pengertian sciences and
technology sebagai "the study of the natural sciences and the application of the
knowledge for practical purpose", yang artinya adalah penelaahan dari ilmu
alam dan penerapan dari pengetahuan ini untuk maksud praktis.
Seorang filsuf John G. Kemeny juga menggunakan ilmu dalam arti
semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantara metode ilmiah (all
knowledge collecled by means of the scientific method).
Charles Singer merumuskan bahwa ilmu adalah proses yang
membuat pengetahuan (science is the process which makes knowledge).
Prof. Harold H. Titus, banyak orang telah mempergunakan istilah
ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang
objektif dan dapat diperiksa kebenarannya.
Pada zaman Yunani kuno episteme atau pengetahuan rasional
mencakup filsafat maupun ilmu. Thales sebagai seorang filsuf juga
mempelajari astronomi dan topik-topik pengetahuan yang termasuk fisika.
Fisika adalah pengetahuan teoretis yang mempelajari alam. Pengetahuan ini
juga disebut filsafat alam.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Menurut Jujun S. Suriasumantri, pengertian ilmu adalah salah satu
dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ilmu
merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Untuk dapat menghargai
ilmu sebagaimana mestinya sesungguhnya kita harus mengerti apakah
hakikat ilmu itu sebenarnya. Seperti kata peribahasa Prancis, "Mengerti
berarti memanfaatkan segalanya", maka pengertian yang mendalam
terhadap hakikat ilmu, bukan akan mengikat apresiasi kita terhadap ilmu
namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu adalah kumpulan pengetahuan yang
disusun secara sistematis, konsisten dan kebenarannya telah teruji secara
empiris.
3.4:2 Cabang-Cabang Ilmu
Ilmu berkembang pesat, demikian juga dengan cabang-cabangnya. Pada
dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama
yakni, filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam (the
natural science) dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam
cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Ilmu alam membagi diri menjadi dua kelompok lagi yakni ilmu alam
(the physical sciences) dan ilmu hayat (the biologycal sciences). Ilmu alam
bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta sedangkan alam
kemudian bercabang lagi menjadi Fisika (mempelajari massa dan energi),
Kimia (mempelajari substansi zat), Astronomi (mempelajari benda-benda
langit), dan Ilmu bumi atau

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


50
the earth science (mempelajari bumi kita ini).
Tiap-tiap cabang kemudian membuat ranting-ranting baru seperti
fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas,
kelistrikan, dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik. Sampai tahap ini
maka kelompok ilmu ini termasuk ke dalam ilmu-ilmu murni. Ilmu murni
berkembang menjadi ilmu terapan.
Pada ilmu sosial berkembang agak lambat dibandingkan ilmu alam.
Pada intinya ilmu sosial meliputi Antropologi (mempelajari manusia dalam
perspektif waktu dan tempat), Psikologi (mempelajari proses mental dan
kelakuan manusia), Ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya lewat proses pertukaran), Sosiologi (mempelajari
struktur organisasi sosial manusia), Ilmu politik (mempelajari sistem dan
proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara).
Cabang utama ilmu sosial ini mempunyai cabang- cabang lagi seperti:
antropologi fisik, linguistik, etnologi, dan antropologi sosial atau kultural.
Dari ilmu tersebut di atas yang dapat digolongkan seperti ilmu murni meski-
pun tidak sepenuhnya. Perkembangan ilmu sosial merupakan aplikasi
berbagai konsep dari ilmu-ilmu sosial murni kepada suatu bidang telaahan
sosial tertentu. Demikian manajemen menerapkan konsep psikologi,
ekonomi, antropologi, dan sosiologi.
Di samping ilmu alam dan ilmu sosial pengetahuan mencakup
humaniora dan matematika. Humaniora terdiri dari seni, filsafat, agama,
sejarah, dan bahasa. Matematika mencakup tentang aritmatika, geometri,
teori bilangan,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


aljabar, trigonometri, geometri analitik, persamaan diferensial, kalkulus,
topologi, geometri non euclid, teori fungsi, probabilitas dan statik logika dan
logika matematis.
3.4.3. Macam-macam llmu Pengetahuan

Sehubungan dengan adanya berbagai sumber, sifat- sifat, karakter, dan


susunan ilmu pengetahuan, maka dalam pandangan tentang ilmu
pengetahuan itu orang mengutarakan pembagian ilmu pengetahuan
(classification).
Pembagian ilmu pengetahuan tergantung kepada cara dan tempat para
ahli itu meninjaunya. Pada Zaman Purba dan Abad Pertengahan pembagian
ilmu pengetahuan berdasarkan kesenian yang merdeka, yang terdiri dari dua
bagian yaitu: (i) trivium, dan (ii) oudrivium.
Trivium atau tiga bagian ialah: (a) gramatika, bertujuan agar manusia
dapat menyusun pembicaraan dengan baik; (b) dialektika, bertujuan agar
manusia dapat berpikir dengan baik, formal, dan logis; (c) retorika, bertujuan
agar manusia dapat berbicara dengan baik.
Qudrivium atau empat bagian terdiri dari: (a) aritma- tika, adalah ilmu
hitung; (b) geometrika, adalah ilmu ukur; (iii) musika, adalah ilmu musik;
dan (iv) astronomia, adalah ilmu perbintangan.
Menurut pembagian klasik, maka ilmu pengetahuan dibedakan atas
natural sciences (kelompok-kelompok ilmu alam) dan social sciences (kelompok-
kelompok ilmu sosial).
Sedang C.A. Van Peurson membedakan ilmu pengetahuan atas: (i) ilmu
pengetahuan kemanusiaan; (ii) ilmu pengetahuan alam; (iii) ilmu
pengetahuan hayat; dan (iv)

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


Ilmu pengetahuan logika-deduktif.
Di dalam Undang-Undang Pokok Pendidikan tentang Perguruan Tinggi
Nomor 22 Tahun 1961 di Indonesia mengklasifikasikan ilmu pengetahuan
atas empat kelompok ilmu sebagai berikut: (i) ilmu agama/kerohanian, (ii)
ilmu kebudayaan, (iii) ilmu sosial, dan (iv) ilmu eksakta.
Ilmu agama/kerohanian, meliputi ilmu agama dan ilmu jiwa; Ilmu
kebudayaan, yang meliputi: (a) ilmu sastra; (b) ilmu sejarah; (c) ilmu
pendidikan; dan (d) ilmu filsafat, ilmu sosial, yang meliputi: (a) ilmu hukum;
(b) ilmu ekonomi; (c) ilmu sosial politik; (d) ilmu ketatanegaraan dan
ketataniagaan. Ilmu eksakta dan teknik, meliputi: (a) ilmu hayat; (b) ilmu
kedokteran; (c) ilmu farmasi; (d) ilmu kedokteran hewan; (e) ilmu pertanian;
(f) ilmu pasti alam; (g) ilmu teknik; (h) ilmu geologi; dan (i) ilmu oceanografi.
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal llmu
Metode ilmiah yang digunakan dalam ilmu tertentu tergantung dari
objek formal bagi ilmu yang bersangkutan. Sebaliknya sesuai dengan metode
yang dipergunakan, juga tampaklah objek formal yang selaras dengan
metode itu. Misalnya, adanya Tuhan tidak pernah akan ditemukan dengan
alat indra, atau dengan perpanjangan seperti mikroskop. Tetapi dengan
begitu, apakah manusia sudah dapat dipertanggungjawabkan, bahwa ia
tidak percaya atas kebenaran Tuhan? Kenyataan ini menunjukkan bahwa
pendekatan yang tepat untuk setiap ilmu adalah berbeda tarafnya.
Sesungguhnya cara dan mencari kebenaran itu ber-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


53
beda-beda, bahkan dalam banyak hal tertentu harus berbeda. Justru itulah
merupakan penghampiran menurut objek formal. Sebaliknya tentang objek
materiil, objeknya jelas sehingga metode yang digunakanpun jelas dan tidak
banyak mengalami ketimpangan.
Apa yang merupakan objek dan ruang lingkup ilmu? Ilmu membatasi
lingkup pada batasan pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun kebenaran yang secara empiris. Secara
ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia.
Objek dari ilmu itu sendiri adalah ilmu merupakan suatu berkah
penyelamat bagi umat manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak
mengenal baik buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai
sikap. Atau dengan kata lain, netralitas ilmu terletak pada epistemologinya,
jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih; tanpa berpihak pada siapa
pun selain kebenaran.
3.5. Filsafat llmu
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat berasal dari zaman
Yunani Kuno. Pada zaman itu keduanya termasuk dalam pengertian
episteme. Kata philosophia merupakan suatu kata padanan dari episteme.
Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), meta
science (adi-ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu).
The Liang Gie mendefinisikan bahwa filsafat ilmu

Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu


adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan
segala segi kehidupan manusia.
Filsafat ilmu dapat dibagi menjadi dua, yaitu: (i) Filsafat ilmu dalam
arti luas, yaitu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan luar dari kegiatan ilmiah; dan (ii) Filsafat ilmu dalam arti sempit
yaitu menampung permasalahan yang bersangkutan dengan hubungan ke
dalam yang terdapat dalam ilmu yaitu pengetahuan ilmiah dan cara-cara
mengusahakan serta mencapai pengetahuan ilmiah.
3.5.1. Sejarah Filsafat llmu
Lahir pada abad ke-18 cabang filsafat yang disebut sebagai filsafat
pengetahuan di mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi,
merupakan komponen-kompo- nen pendukungnya. Melalui cabang filsafat ini
diterangkan sumber dan sarana serta tata cara untuk menggunakan
pengetahuan ilmiah. Diselidiki pula syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi
apa yang disebut kebenaran ilmiah dan batas validitasnya.
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat llmu
Filsafat ilmu sampai tahun sembilan puluhan telah berkembang pesat
sehingga menjadi bidang pengetahuan yang amat luas dan sangat
mendalam. Ruang lingkup sebagaimana yang dibahas para filsuf dapat
dikemukakan secara ringkas oleh sejumlah ahli antara lain (i). Peter
Angeles; (ii) A. Cornelius Benjamin; (iii) Israel Scheffler;
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dan (iv) J.J.C.Smart.
Pertama, menurut Peter Angeles, ilmu mempunyai empat bidang
konsentrasi yang utama: (i) Telah mengenai berbagai konsep,
pranggapan dan metode ilmu berikut analisis, perluasan, dan
penyusunannya dalam memperoleh yang lebih baik dan cermat; (ii)
Telaah dan pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu berikut
strukturnya; (iii) Telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu;
dan (iv) Telaah mengenai akibat pengetahuan ilmiah bagi hal-hal yang
berkaitan dengan penerapan dan pemahaman manusia.
Kedua, A. Cornelius Benjamin. Filsuf ini membagi pokok soal filsafat
ilmu dalam 3 bidang: (i) Logika ilmu yang berlawanan dengan
epistemologi ilmu; (ii) Filsafat ilmu kealaman yang berlawanan dengan
filsafat ilmu kemanusiaan; (iii) Filsafat ilmu yang berlawanan dengan
telaah masalah filsafati dari sesuatu ilmu khusus; dan (iv) Filsafat ilmu
yang berlawanan dengan sejarah ilmu.
Ketiga, Israel Scheffler. Lingkupannya dibagi menjadi tiga bidang
yaitu: (i) Peranan ilmu dalam masyarakat; (ii) Dunia sebagaimana
digambarkan oleh ilmu; dan (iii) Landasan-landasan ilmu.
Keempat, J.J.C. Smart. Filsuf ini mengganggap filsafat ilmu
mempunyai dua komponen utama yaitu, (i) Bahasan analitis dan
metodologis tentang ilmu; (ii) Penggunaan ilmu untuk membantu
pemecahan problem.
3.5.3. Perbedaan Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu
Filsafat merupakan cara berpikir yang kompleks,

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat llmu


suatu pandangan atau teori yang sering tidak bertujuan praktis, tetapi
teoretis. Filsafat selalu memandang sebab- sebab terdalam, tercapai dengan
akal budi murni. Filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan asasi
manusia tentang makna realitas dan ruang lingkupnya yang dapat dipelajari
secara sistematik dan historis.
Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Ilmu membuka
mata kita terhadap berbagai kekurangan. Ilmu tidak mengikat apresiasi kita
terhadap ilmu itu sendiri. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Ilmu
harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dari interaksi di
antara aktivitas, metode, dan pengetahuan dapat digambarkan sebagai
bagan segitiga penyusun menjadi ilmu.
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran yang reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat
ilmu merupakan suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh
ilmu tertentu terhadap lambang-lambang dan struktur penalaran tentang
sistem lambang yang digunakan. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari
kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana dan postulat
mengenai ilmu. Filsafat ilmu merupakan studi gabungan yang terdiri atas
beberapa studi yang beraneka macam yang ditunjukkan untuk menetapkan
batas yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

57
tegas mengenai ilmu tertentu.

3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat llmu

Pendidikan filsafat diharapkan dapat mencapai kompetensi sebagai


berikut: (i) menghargai kedudukan akal (pikiran manusia); (ii) filsafat
merupakan sumber perenungan yang dalam dan kontinu; (iii) meyakini
hasil pemikiran sebagai sumber kebenaran; (iv) pemikiran bebas dan
sebebas-bebasnya; (v) pemikiran rasional kritis; (vi) tidak dibelenggu
ideologi; (vii) tidak dibelenggu oleh kepercayaan/agama; (viii)
mewaspadai atau menolak kebenaran hegemonik; (ix) menolak gagasan
kebenaran absolut; (x) konstruktivisme bebas dalam pikiran; (xi)
rekonstruksi konsep dan teori; (xii) merespons adanya krisis ilmu; (xiii)
menumbuhkembangkan moralitas ilmu pengetahuan; (xiv) membangun
kreativitas inventif ilmu; (xv) Tuhan dan wahyu; (xvi) pengetahuan
filsafat bersifat abstrak; (xvii) filsafat memiliki konsep dan teori-teori
filosofis tentang segala sesuatu; dan (xviii) filsafat memiliki paradigma
dan metode-metode tersendiri.
Adapun tujuan dilaksanakan pembelajaran filsafat ilmu adalah: (i)
kembali kepada kesadaran berpikir kefilsafatan; (ii) merespons isu krisis
ilmu pengetahuan; (iii) mengoreksi Paham Positivisme dan Pragmatisme;
(iv). memberi dasar-dasar filosofis bagi ilmu yang baru; (v) melakukan
falsifikasi terhadap ilmu; (vi) membangun paradigma baru; (vii)
mengoreksi konsep dan teori lama; dan (viii) menumbuhkembangkan
moralitas dan integritas manusia mendasarkan pada ilmu pengetahuan
yang

Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu


dikuasainya.
3.5.5. Hubungan Filsafat, llmu, Filsafat llmu dengan
Antropologi

Antropologi membahas segala aspek hubungan manusia. Filsafat


menelaah segala yang mungkin dipikirkan oleh manusia. Manusia
adalah homo oeconomicus bagi manajemen yang tujuannya menelaah
kerja sama antar manusia.
Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat dan peradaban
berkembang. Antropologi membahas manusia dan kebudayaan dari suatu
masyarakat yang pada masa lalu hingga masa kini. Kebudayaan
didefinisikan untuk pertama kali oleh E.B. Taylor pada tahun 1871, di
dalam kebudayaan diartikan sebagai keseluruhan yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat serta kemampuan
dan kebiasaan lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota
masyarakat.
Manusia dalam kehidupannya mempunyai kebutuhan yang banyak.
Adanya kehidupan inilah yang mendorong manusia untuk melakukan
berbagai tindakan dalam rangka pemenuhan kebutuhan. Menurut
Ashley Montagu, kebudayaan mencerminkan tanggapan manusia
terhadap kebutuhan dasar hidupnya.
Menurut Maslow mengidentifikasikan lima kelompok kebutuhan
manusia yakni kebutuhan fisiologi, rasa aman, afiliasi, harga diri, dan
pengembangan potensi. Pada hakikatnya, menurut Mavies dan John
Biesanz, kebudayaan merupakan alat penyelamat kemanusiaan di

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


muka bumi. Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang
di dalamnya terkandung "dorongan- dorongan hidup" yang dasar, insting,
perasaan, dengan pikiran, kemauan, dan fantasi. Budi inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna
dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan
kelebihan.
Nilai-nilai budaya ini adalah dari kebudayaan dan menjadi dasar dari
segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata
hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya
yang terkandung. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pendidikan
sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh
manusia secara sadar lewat proses belajar. Dari kegiatan belajar itu
diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya,
dari waktu ke waktu. Kebudayaan yang lalu bereksistensi pada masa kini
dan disampaikan pada masa yang akan datang.
3.5.6. Hubungan Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu dengan llmu
Politik
Politik dapat dikatakan sebagai filsafat karena dalam mempelajari
politik diperlukan cara berpikir yang kompleks sistematis serta politik
adalah sebuah ilmu yang menyangkut salah satu aspek kehidupan manusia
berkaitan dengan kemenangan yang perlu di analisis secara kritis.
Politik juga dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena politik
memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu. Van Dyke

60 Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu


menyatakan politik sebagai ilmu dengan mengemukakan tiga syarat yakni (i)
variability, (ii) sistematis, dan (iii) generality.
Pertama, variability. Politik dapat diuji oleh banyak spesialis dalam
bidang ilmu yang bersangkutan sehingga menimbulkan keyakinan yang
mantap, baik bobot maupun pengakuan dan dapat menjadi dasar bagi
prediksi.
Kedua, sistematis. Pengetahuan dikatakan sistematis jika diorganisir ke
dalam pola/struktur dengan hubungan yang jelas, kepedulian terhadap
sistem berarti para ahli ingin meneruskan dari fakta-fakta yang khusus ke
yang umum, dari pengetahuan fakta-fakta yang terpisah menuju
pengetahuan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Hal ini sesuai dengan
tujuan ilmu yaitu mencapai suatu hubungan antarfakta yang sistematis.
Ketiga, generality. Alasan untuk menekankan pada generality ini
berkaitan dengan tujuan utama karya ilmiah yaitu memberikan eksplanasi
dan prediksi. Eksplanasi dan prediksi membutuhkan penggunaan
generalisasi yang implisit (misalnya, acuan pada peraturan, hukum, atau
teori). Objek dalam ilmu adalah untuk mengembangkan generalisasi
sehingga eksplanasi dan prediksi dapat terjadi dengan tingkat kemungkinan
yang maksimal.
Politik adalah sebuah ilmu yang memerlukan segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Selain itu politik suatu bidang pengetahuan campuran
yang eksistensi pemekarannya bergantung pada hubungan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi
relevansi antara politik dan filsafat ilmu.
3.5.7. Hubungan Antara llmu Alam, Sosial, dan Humaniora
Selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi
sejumlah kritik, di mana kritik yang dilontarkan bermacam-macam, mulai
dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu sosial karena "tidak mungkin"
sampai pada kebenaran pasti. Pembahasan ini mencoba memberikan
gambaran terhadap pokok permasalahan penting yang disuarakan oleh para
kritikus yang ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Argumentasi mereka yang berpendapat bahwa gejala sosial adalah
terlalu rumit untuk diselidiki secara keilmuan, suatu kritik yang kadang-
kadang dimulai dengan suatu pendapat bahwa hukum ilmu-ilmu sosial, jika
memang ada, paling jauh hanya berupa "semata-mata kemungkinan".
Kadang orang menganggap bahwa kegagalan ilmu dalam menerapkan
hukum yang non-probabilitas adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang
harus dihadapi, suatu hal yang kontras sekali bila dibandingkan dengan
bidang keilmuan dari disiplin-disiplin lain yang lebih beruntung. Adakah
dasar bagi kritik ini?
Sebenarnya kritik ini agak sukar untuk dinilai karena beberapa
kritikus yang melontarkannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, beberapa kritikus tidak saja menyerang rumitnya gejala
sosial sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial adalah
tidak mungkin, namun juga menyerang ilmu yang me-

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


nurut mereka tidak mungkin karena rumitnya suatu gejala. Dalam hal ini
maka bukan hanya perilaku manusia yang terlalu kompleks, namun di
dalamnya juga termasuk ilmu yang bukan sosial, seperti liku-liku dari pola
sehelai daun, permainan cahaya dan bayang-bayang. Ada baiknya untuk
meninggalkan thesis tersebut sebelum mempelajari tuduhan serupa yang
hanya menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam suatu kedudukan yang kurang
menguntungkan ini. Sedangkan untuk ilmu humaniora, Elwood mendefinisi-
kan 'humaniora' sebagai seperangkat perilaku moral manusia terhadap
sesamanya. Ia juga percaya bahwa definisi ini juga mengisyaratkan bahwa
manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan di dalam ekosistem,
namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan dia sendiri
merupakan bagiannya. Oleh karena itu, pengertian humaniora menjadi
hubungan trisula atau bercabang tiga, yakni: (i) Hubungan manusia dengan
sang Khalik; (ii) Hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan alam;
(iii) Hubungan manusia dengan alam baik makhluk yang jasad-jasad hidup,
maupun benda-benda mati.
Argumentasi mengenai ketidakmungkinan semua ilmu maupun ilmu
sosial ditinjau dari segi deskripsi yang kasar, keunikan maupun objek,
abstraksi, pemutarbalikan penelaah keilmuan dan ketidakmampuan untuk
menangkap kenyataan, semua didasarkan untuk menangkap kenyataan,
yang umumnya didasarkan pada anggapan salah tentang hakikat ilmu.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu

63
3.6. Ringkasan
Filsafat, secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom)
dalam pengertian yang sedalam-dalamnya. Secara terminologi, filsafat
adalah ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu dengan memandang
sebab-sebab terdalam tercapai dengan budi murni.
Ruang lingkup filsafat dipilahkan dalam dua objek yaitu: (i) objek
formal, dan (ii) objek material.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji
secara empiris.
Objek dan ruang lingkup ilmu membatasi pada pengkajian. Cabang-
cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu (i) filsafat alam, dan
(ii) filsafat moral.
Filsafat alam yang kemudian menjadi kumpulan ilmu- ilmu alam (the
natural science). Sedangkan filsafat moral yang kemudian berkembang dalam
cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Filsafat ilmu adalah teory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu),
science of science (ilmu tentang ilmu).
Filsafat ilmu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan keluar dan kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (i) ilmu
mempunyai empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (ii) ilmu
mempunyai beberapa bidang yaitu logika ilmu, ilmu kealaman (A. Coenelius
Benjamin); (iii) ada tiga bidang filsafat ilmu (Israel

Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu


64
Scheffler); dan (iv) filsafat ilmu dianggap mempunyai dua komponen utama
(U.C Smart).
Perbedaan filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu antara lain adalah: (i) Filsafat
itu membahas akal budi murni dan memandang sebab tersebut secara
mendalam; (ii) Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara
konsisten, sistematis, dan empiris; (iii) Filsafat ilmu membahas segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
kehidupan manusia.
Hubungan filsafat, ilmu, filsafat ilmu dengan antropologi dan ilmu
politik antara lain: (i) antropologi membahas segala aspek tentang manusia
sedangkan filsafat menelaah tentang segala yang mungkin dipikirkan
manusia. Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan
berperadaban; dan (ii) dalam antropologi dibahas tentang manusia dan
kebudayaannya dalam suatu masyarakat. Filsafat ilmu merupakan metode
penalaran dari suatu lambang atau struktur penalaran dari suatu bidang
studi, misalnya studi antropologi.
Ilmu politik mempelajari salah satu aspek kehidupan manusia antara
manusia tentang kewenagan sehingga diperlukan analisis yang jelas dalam
menelaahnya dan menurut van Dyike politik memenuhi syarat sebagai suatu
ilmu karena memiliki variability, systematic, dan generality.
Selain itu, ilmu politik merupakan suatu bidang pengetahuan campuran
yang pengembangannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling
pengaruh antara filsafat dan ilmu, sehingga terjadi relevansi antara politik
dan filsafat ilmu.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
65
BAB IV

Landasan Penelaahan Ilmu:


Ontologi, Epistemologi, dan
Aksiologi

4.1. Deskripsi
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam
terhadap hakikat ilmu. Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut, antara lain: (i) objek apa
yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii) untuk apa
ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek
yang ditelaah ilmu antara lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut?
Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya
berpikir, merasa, dan mengindra)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu antara lain dengan pertanyaan:
bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apa
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya dengan
pertanyaan-peranyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berda-
sarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana hubungan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-
norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan
ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok
kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir
merupakan landasan aksiologi ilmu pengetahuan.

4.2. Tujuan Pembelajaran

Pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang landasan


penelaahan ilmu terdiri dari ontologi ilmu, epistemologi ilmu, dan aksiologi
ilmu. Ketiga hal tersebut diuraikan dalam upaya untuk menggambarkan
hakikat keberadaan ilmu.

4.3. Landasan Penelaahan llmu


Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut: (i)
Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti
tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena
diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap
disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda; (ii) Landasan
epistemologi adalah cara yang digunakan

68 Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


untuk mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara
umum, metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa
proses kegiatan induksi-deduksi-verifikasi seperti telah diuraikan di atas;
dan (iii) Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan
lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
4.3.1. Ontologi llmu
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni o ntos dan logos. Ontos berarti
sesuatu yang berwujud dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi dapat diartikan
sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Menyoal tentang
wujud hakiki objek ilmu dan keilmuan (setiap bidang ilmu dalam jurusan
dan program studi) itu apa? Objek ilmu atau keilmuan itu adalah dunia
empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindra. Jadi objek ilmu adalah
pengalaman indrawi. Dengan kata lain, ontologi adalah ilmu yang
mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud (yang ada) dengan
berdasarkan pada logika semata.
Ontologi sebagai cabang filsafat yang membicarakan tentang hakikat
benda bertugas untuk memberikan jawaban atas pertanyaan "apa
sebenarnya realitas benda itu? apakah sesuai dengan wujud penampakannya
atau tidak?" "Apakah kedudukan ilmu dalam ruang yang-ada ini?".
"Benarkah ilmu itu ada?" "Apakah konsep ilmu sebagai kajian tentang
kausalitas itu bermakna di tengah ruang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


69
yang-ada yang tidak terbatas itu?" "Kausalitas (ilmiah) yang terlalu
terbatas!" IPTEK baru mampu mengeksplorasi alam semesta ini sekitar 1%
saja, dan 99% alam semesta ini masih misteri (Feyerebend).
Dari teori hakikat (ontologi) ini kemudian muncullah beberapa aliran
dalam filsafat, antara lain: (i) Filsafat Materialisme; (ii) Filsafat Idealisme;
(iii) Filsafat Dualisme; (iv) Filsafat Skeptisisme; dan (v) Filsafat
Agnostisisme.
Jujun S. Suriasumantri menyatakan bahwa pokok permasalahan yang
menjadi objek kajian filsafat mencakup tiga segi, yakni (a) logika (benar-
salah), (b) etika (baik- buruk), dan (c) estetika (indah-jelek). Ketiga cabang
utama filsafat ini lanjut Suriasumantri, kemudian bertambah lagi yakni,
pertama, teori tentang ada: tentang hakikat keberadaan zat, hakikat pikiran
serta kaitan antara zat dan pikiran yang semuanya terangkum dalam
metafisika; kedua, kajian mengenai organisasi sosial/pemerintahan yang
ideal, terangkum dalam politik. Kelima cabang filsafat ini-logika, etika,
estetika, metafisika dan politik-menurut Suriasumantri, kemudian
berkembang lagi menjadi cabang-cabang filsafat yang mempunyai bidang
kajian lebih spesifik lagi yang disebut filsafat ilmu.
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348
SM) dengan teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata
ini mesti ada ideanya. Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau
konsep universal dari tiap sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda,
bahwa kuda mempunyai idea atau konsep universal yang berlaku untuk
tiap-tiap kuda yang ada di

70Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang,
baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang
berada di benua mana pun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato
adalah badan hidup yang kita kenal dan dapat berpikir. Dengan kata lain,
idea manusia adalah "binatang berpikir". Konsep binatang berpikir ini
bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua- muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, Cina, dan sebagainya. Tiap-
tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di
balik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat
atau yang dapat ditangkap dengan pancaindra senantiasa berubah. Karena
itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari
idea-idea- nya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan
panca-indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430 M).
Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa
dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa
bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-
ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran.
Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

71
menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang
benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran
mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno
dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan (apreance)
dengan kenyataan (reality). Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak dapat dianggap ada berdiri
sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi
dengan dua macam sudut pandang: (i) kuantitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? (ii) Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Aspek ontologi
dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan antara lain secara: (a)
Metodis; menggunakan cara ilmiah; (b) Sistematis; saling berkaitan satu

72Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan; (c) Koheren; unsur-
unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan; (d) Rasional;
harus berdasar pada kaidah berpikir yang benar (logis); (e) Komprehensif;
melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara
multidimensional-atau secara keseluruhan (holistik); (f) Radikal; diuraikan
sampai akar persoalannya, atau esensinya; (g) Universal; muatan kebe-
narannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Beberapa aliran dalam ontologi, yakni realisme, naturalisme, dan
empirisme. Istilah-istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah: (i)
yang-ada (being); (ii) kenyataan/ realitas (reality); (iii) eksistensi (existence);
(iv) esensi (essence); (v) substansi (substance); (vi) perubahan (change); (vii)
tunggal (singular, one); dan (viii); jamak (plural/many).
Adapun karakteristik (ontologi) ilmu pengetahuan antara lain adalah:
(i) ilmu berasal dari riset (penelitian); (ii) tidak ada konsep wahyu; (iii)
adanya konsep pengetahuan empiris; (iv) pengetahuan rasional, bukan
keyakinan; (v) pengetahuan objektif; (vi) pengetahuan sistematik; (vii)
pengetahuan metodologis; (viii) pengetahuan observatif (observable); (ix)
menghargai asas verifikasi (pembuktian); (x) menghargai asas eksplanatif
(penjelasan); (xi) menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali;
(xii) menghargai asas skeptikisme yang radikal; (xiii) melakukan pembuktian
bentuk kausalitas (causality); (xiv) mengakui pengetahuan dan konsep yang
relatif (bukan absolut); (xv) mengakui adanya logika-logika ilmiah; (xvi)

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


memiliki berbagai hipotesis dan teori-teori ilmiah; (xvii) memiliki konsep
tentang hukum-hukum alam yang telah dibuktikan; (xviii) pengetahuan
bersifat netral atau tidak memihak; (xix) menghargai berbagai metode
eksperimen, dan (xx) melakukan terapan ilmu menjadi teknologi.
Ontologi ilmu, layak dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara
menyeluruh tentang dunia ini dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris
(misalnya antropologi, sosiologi, ilmu kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu
teknik dan sebagainya).
4.3.2. Epistemologi llmu

Epistemologi berasal dari kata episteme yang berarti pengetahuan dan


logos yang berarti ilmu. Jadi epistemologi adalah ilmu yang membahas
tentang pengetahuan dan cara memperolehnya. Epistemologi disebut juga
teori pengetahuan, yakni cabang filsafat yang membicarakan tentang cara
memperoleh pengetahuan, hakikat pengetahuan dan sumber pengetahuan.
Dengan kata lain, epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang menyoroti
atau membahas tentang tata-cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu
dan keilmuan. Tata cara, teknik, atau prosedur mendapatkan ilmu dan
keilmuan adalah dengan metode non-ilmiah, metode ilmiah dan metode
problem solving. Pengetahuan yang diperoleh melalui pendekatan/metode
non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara penemuan
secara kebetulan; untung-untungan (trial and error); akal sehat (common
sense); prasangka; otoritas (kewibawaan); dan pengalaman biasa.

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

74
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui
pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode problem solving adalah
memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi permasalahan;
merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan
menganalisis data; menyimpulkan dan conlusion; melakukan verifikasi, yakni
pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori,
prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai
sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan,
mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu
kejadian secara lebih tepat.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat yang
menjelaskan masalah-masalah filosofis yang mengitari teori ilmu
pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep- konsep ilmu, ragam
ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek)
dan ma'lum (objek). Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat
yang meneliti asal usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menanyakan apa
yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara
kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti
ada, baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu,
baru yakini atau tidak.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

75
Pertanyaan utama epistemologi jenis ini adalah, apa yang benar-benar
sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi
ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau
bukan. Yang ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita
teliti secara sainstifik, kemudian menentukan sebuah model filsafat. Dengan
pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan "kebenaran" macam yang dianggap patut diterima dan
apa yang patut ditolak. Menurut Keith Lehrer secara historis terdapat tiga
perspektif dalam epistemologi yang berkembang di Barat, yaitu: (i) dogmatic
epistemology; (ii) critical epistemology; dan (iii) scientific epistemology.
Pertama, dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional terhadap
epistemologi, terutama Plato. Dalam perspektif epistemologi dogmatik,
metaphysics (ontologi) diasumsikan dulu ada, baru kemudian ditambahkan
epistemologi. Setelah realitas dasar diasumsikan ada, baru kemudian
ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita mengetahui
realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa yang kita
ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya? Singkatnya,
epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemologi.
Untuk melihat contoh cara kerja epistemologi jenis ini, silakan lihat
karya Plato, Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan
sebagai opini yang benar, forms sebagai the ultimate reality yang bermuara
pada definisi bahwa pengetahuan adalah sebagai kesadaran intuitif
Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
76
terhadap forms.
Kedua, critical epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke
epistemologi kritis diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik
epistemologi dogmatik dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui
sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis, baru diyakini.
Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada, baru dijelaskan.
Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau tidak.
Descartes menganut the immediacy theses, bahwa apa yang kita ketahui
adalah terbatas pada ide-ide yang adalah jiwa kita (our own minds). Metode
Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat
mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita.
Tesis ini dikembangkan oleh David Hume dengan teori primary qualities dan
secondary qualities. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini: Apa yang dapat
kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya, epistemologi kritis
menetapkan ontologi setelah epistemologi.
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai
pengetahuan langsung tentang dunia luar ( the external world). Menurut Reid,
kita tidak melihat penampakan objek, tapi objek itu sendiri.
Contoh karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into the
Human Understanding (terutama "The Sections on Perception and Scepticism”).
Karya Reid, Inquiry and Essays (Selected Sections on Perception).
Ketiga, scientific epistemology. I argue that there is a third

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


approach to epistemology where theories about what we can know and theories
about what is real are given equal status, that is, neither is assumed to be prior to
the other. Consequently, a theory of knowledge should explain how we know those
things which we most clearly do know and at the same time provide a critical
standard of evaluation for knowledge claims. Pertanyaan utama epistemologi
jenis ini adalah, apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan
bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi ini tidak peduli
apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan. Yang
ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara
sainstifik.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk
menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut (AR Lacey): (i)
Menemukan kebenaran dari masalah; (ii) Pengamatan dan teori untuk
menemukan kebenaran; (iii) Pengamatan dan eksperimen untuk mene-
mukan kebenaran; (iv) Falsification atau operasionalism ( experimental
operation, operation research); (v) Konfirmasi kemungkinan untuk
menemukan kebenaran; (vi) Metode hipotetico-deduktif; (vii) Induksi dan
presuposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta.
4.3.3. Aksiologi llmu
Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atau nilai suatu kehidupan. Aksiologi disebut juga teori nilai,
karena ia dapat menjadi sarana orientasi manusia dalam usaha
menjawab suatu pertanyaan

78Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


yang amat fundamental, yakni bagaimana manusia harus hidup dan
bertindak? Teori nilai atau aksiologi ini kemudian melahirkan etika dan
estetika. Dengan kata lain, aksiologi adalah ilmu yang menyoroti masalah
nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan itu. Secara moral dapat dilihat apakah
nilai dan kegunaan ilmu itu berguna untuk peningkatan kualitas
kesejahteraan dan kemaslahatan umat manusia atau tidak. Nilai-nilai
(values) bertalian dengan apa yang memuaskan keinginan atau kebutuhan
seseorang, kualitas dan harga sesuatu, atau appreciative responses.
Landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan ilmu
tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan perkataan
lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan ilmu itu
dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Ilmu pengetahuan itu hanya alat (means) dan bukan tujuan (ends).
Substansi ilmu itu bebas nilai (value-free), tergantung pada pemakaiannya.
Karena itu, sangat dikhawatirkan dan berbahaya jika ilmu dan pengetahuan
yang sarat muatan negatif dikendalikan atau jatuhnya ke orang- orang yang
berakal picik, sempit, dan sektarian; berjiwa kerdil, kumuh dan jahat,
bertangan besi dan kotor. Sekarang coba kita lihat, di berbagai bidang terjadi
krisis: ketidakberdayaan, kemerosotan, kebodohan, keresahan, kemiskinan,
kesakitan, keterbelakangan, ketidakpercayaan, dan lainnya sebagai dampak
missmanagement, missdirec- tion, missmanipulation, dan lain sebagainya.
Tujuan dasarnya adalah menemukan kebenaran atas fakta "yang ada"
atau sedapat mungkin ada kepastian ke-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


benaran ilmiah.
Contoh: pada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah
memengaruhi tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan
pengujian laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata
terbukti bahwa teori tersebut benar. Ilmu ini bermanfaat meningkatkan
kesejahteraan dalam bidang pertanian
4.4. llmu Pengetahuan Kembali ke Filsafat

Mengapa disarankan kembali menyinergikan lagi kepada induk ilmu


pengetahuan yakni filsafat? (i) Ilmu pengetahuan pada zaman modern telah
berkembang begitu pesatnya sampai terperangkap pada krisis ilmu
pengetahuan (John Horgan), sehingga terdapat banyak saran untuk
mendorong ilmu kembali bersatu dengan filsafat; (ii) Setelah adanya
perseteruan yang panjang antara Ilmu dengan Agama, terutama pada zaman
abad pertengahan dan membias sampai sekarang, disarankan ilmu kembali
ke filsafat; (iii) positivisme gagal menjelaskan gejala alam dan non-alam,
diusulkan ilmu kembali menyatu dengan filsafat, ilmu-ilmu humaniora
sangat keberatan dengan konsep dan teori-teori dari paradigma positivisme
(Bertrand Russell, dan Thomas Kuns). (iv) keharusan melakukan revolusi
ilmu dengan melakukan peninjauan terhadap paradigma; keharusan
mengkritisi positifisme; (v) peninjauan verifikasi kausalitas; (vi)
berkembangnya teori clonning dalam biologi; (vii) spesialisasi ilmu dan
integrasi ilmu; (viii) ilmu terapan dan teknologi; (ix) terus berkembang
peradaban baru dan iptek; (x) teknologi dunia maya

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

80
atau komputer atau internet.

4.5. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi dengan llmu


Politik
Ontologi adalah ilmu pengetahuan atau ajaran tentang segala sesuatu
yang berada. Ontologi memiliki banyak pembagian baik itu berdasarkan
jumlah, sifat, maupun berdasarkan proses. Epistemologi adalah merupakan
salah satu cabang filsafat yang mempelajari secara mendalam dan radikal
tentang asal mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas
pengetahuan. Aksiologi adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang
orientasi atau nilai suatu kehidupan. Atau dapat juga diartikan ilmu yang
menyoroti masalah nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan.
Relevansi Ilmu Politik dengan ketiganya (ontologi, epistemologi, dan
aksiologi) adalah sama-sama mempelajari tentang hakikat manusia dalam
masyarakat politik. Ilmu politik berelevansi dengan ontologi karena ontologi
mempelajari sesuatu yang berada, misalnya Ilmu Politik mempelajari
tentang semua teori politik pada masa yang lalu, sekarang, dan yang akan
datang. Dalam ontologi membahas segala sesuatu ada berdasarkan beberapa
aliran, ada yang mengemukakan bahwa segalanya berasal dari satu sumber.
Thales mengungkapkan kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu
air. Anaximander berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyatan terdalam
adalah apeiron yaitu sesuatu yang tidak batas, tidak dapat ditentukan dan
tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia.
Filsuf modern yang meng-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

81
anut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu
substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme,
tokoh-tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang
memilahkan bahwa ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan dunia
mungkin. Aliran yang ketiga adalah Pluralisme yang menyatakan bahwa ada
banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme adalah Empedokles,
Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan religi adalah aliran spiritualisme. Spiritualisme di sini
memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan yang terdalam adalah
roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari Ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan,
informasi, penalaran, maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang mempelajari
sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-
benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari
ilmu politik. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu politik
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara em-
piris. Objek materiil ilmu politik ialah manusia seutuh-

82Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


nya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang
berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan melampaui
manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga masyarakat ia
mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau kewarganegaraan
yang sebaik-baiknya). Agar ilmu politik dalam praktek terbebas dari keragu-
raguan, maka objek formal ilmu tersebut dibatasi pada manusia seutuhnya
di dalam fenomena atau situasi manusia dan politik.
Di dalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh,
hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan atau makhluk sosial
yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima
terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai
tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam
hubungan inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio sine
qua non) bagi terlaksananya kegiatan politik dan manusia, yaitu kegiatan
yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri
secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai
pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun
pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka
menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the
missing link) atas faktor hubungan tersebut. Dengan begitu manusia dan
politik hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu

83
Dasar epistemologis ilmu politik dan antropologi. Dasar epistemologis
diperlukan oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara
produktif dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan
sebagian dapat dilakukan oleh tenaga pemula, namun telaah atas objek
formil ilmu politik memerlukan pendekatan fenomenologis yang menjalin
studi empirik dengan studi kuali- tatif-fenomenologis. Pendekatan
fenomenologis itu bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri
peneliti sebagai instrumen pengumpul data secara pascapositivis- me.
Karena itu, penelaah dan pengumpulan data diarahkan oleh politisi atau
ilmuwan sebagai pakar yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena
penelitian tertuju tidak hanya pemahaman dan pengertian ( verstehen,
Bodgan & Biklen, 1982) melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan
atau wisdom) tentang fenomena pendidikan maka validitas internal harus
dijaga betul dalam berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti
penelitian koasi eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis
dan penelitian expost facto.
Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam
menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak
hanya mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori
dan ilmu politik dan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil
sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell &
Stanley, 1963). Dengan demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diper-

Landasan Penelaahan llmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


lukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan
atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Dasar aksiologis ilmu politik. Kemanfaatan teori politik tidak hanya
perlu sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan
dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan
manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu politik tidak hanya
bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak
dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan me-
ningkatkan pengaruh yang positif dalam politik. Dengan demikian ilmu-ilmu
tersebut tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis.
Dalam hal ini relevan sekali untuk memerhatikan politik sebagai bidang
yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Namun, harus diakui
bahwa ilmu politik belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan
kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu perilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Karl
Pearson, 1990).
4.6. Relevansi Epistemologi, Ontologi, dan Aksiologi
dengan llmu Antropologi
Relevansi Antropologi dengan ketiganya adalah sama- sama
mempelajari tentang manusia. Antropologi berele- vansi dengan ontologi
karena ontologi mempelajari sesuatu

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


yang berada. Misalnya Antropologi mempelajari tentang semua kebudayaan
manusia dulu, sekarang, dan yang akan datang. Dalam Ontologi membahas
segala sesuatu ada berdasarkan beberapa aliran, ada yang mengemukakan
bahwa segalanya berasal dari satu sumber. Thales mengungkapkan
kenyataan yang terdalam adalah substansi, yaitu air. Anaximander
berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Apeiron
yaitu sesuatu yang tidak terbatas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki
persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam dunia. Filsuf modern
yang menganut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada
satu substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran monisme.
Perhatikan ilustrasi ini. Jika seseorang melihat sesuatu kemudian
mengatakan tentang sesuatu tersebut, dikatakan ia telah mempunyai
pengetahuan mengenai sesuatu. Pengetahuan adalah sesuatu yang tergambar
di dalam pikiran kita. Misalnya, ia melihat manusia, kemudian menga-
takan itu adalah manusia. Ini berarti ia telah mempunyai pengetahuan
tentang manusia. Jika ia meneruskan bertanya lebih lanjut mengenai
pengetahuan tentang manusia, misalnya: dari mana asalnya, bagaimana
susunannya, ke mana tujuannya, dan sebagainya, akan diperoleh jawaban
yang lebih terperinci mengenai manusia tersebut. Jika titik beratnya
ditekankan kepada susunan tubuh manusia, jawabannya berupa ilmu tentang
manusia dilihat dari susunan tubuhnya atau antropologi fisik. Jika
ditekankan pada hasil karya manusia atau kebudayaannnya, jawabannya
berupa ilmu manusia dilihat dari kebudayaannya atau
Landasan Penelaahan llmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi

86
antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya berupa ilmu manusia dilihat
dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas tampak bahwa pengetahuan yang telah disusun
atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui
kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa
manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya berupa suatu
"filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya,
kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, tetapi hakikat
manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm.
Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada
macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan antara lain: (i) monisme; (ii)
dualisme; (iii) triadisme, dan (iv) pluralisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas
ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal
ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme,
yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing
tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga
tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia
terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh. Pluralisme, yang
mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 87


misalnya api, udara, air dan tanah.
Di samping itu, ada beberapa pernyataan mengenai manusia yang
dapat digolongkan sebagai bernilai filsafati, antara lain: (i) Aristoteles; dan
(ii) Ernest Cassirer.
Aristoteles. Menurutnya Manusia adalah animal rationale. Karena,
menurutnya, terdapat beberapa tahap perkembangan:
1. Benda mati (—> tumbuhan -> binatang -> manusia).
2. Tumbuhan = benda mati + hidup (—> tumbuhan memiliki jiwa hidup).
3. Binatang = benda mati + hidup + perasaan (—> binatang memiliki jiwa
perasaan).
4. Manusia = benda mati + hidup + akal (—> manusia memiliki jiwa
rasional).
Manusia adalah zoon poolitikon, makhluk sosial. Manusia adalah
"makhluk hylemorfik", terdiri atas materi dan bentuk-bentuk.
Ernest Cassirer. Manusia adalah animal simbolikum Manusia ialah
binatang yang mengenal simbol, misalnya adat-istiadat, kepercayaan,
bahasa. Inilah kelebihan manusia jika dibandingkan dengan makhluk
lainnya. Itulah sebabnya manusia dapat mengembangkan dirinya jauh lebih
hebat daripada binatang yang hanya mengenal tanda dan bukan simbol.
Telah disebutkan beberapa contoh mengenai bentuk jawaban yang
berupa filsafat. Dari contoh tersebut, filsafat adalah pendalaman lebih lanjut
dari ilmu (hasil pengkajian filsafat selanjutnya menjadi dasar bagi eksistensi
ilmu). Di sinilah batas kemampuan akal manusia. Dengan akalnya

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


ia tidak dapat menjawab pertanyaan yang lebih dalam lagi mengenai
manusia. Dengan akalnya, manusia hanya mampu memberi jawaban dalam
batas-batas tertentu. Hal ini sesuai dengan pendapat Immanuel Kant
dalam kritiknya terhadap rasio yang mumi, yaitu manusia hanya dapat
mengenal fenomena belaka, sedang bagaimana nomena-nya ia tidak tahu.
Mempelajari Antropologi diperlukan suatu ilmu pengetahuan,
informasi, penalaran, maka disinilah peran Epistemologi. Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik dan Antropologi
yang mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah
sesuatu yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan
manusia.
4.7. Ringkasan
Landasan ilmu adalah sebagai berikut, pertama, landasan ontologis
adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti tiap ilmu harus
mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena diversivikasi ilmu terjadi
atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap disiplin ilmu mempunyai
landasan ontologi yang berbeda.
Kedua, landasan epistemologi adalah cara yang digunakan untuk
mengkaji atau menelaah sehingga diperolehnya ilmu tersebut. Secara umum,
metode ilmiah pada dasarnya untuk semua disiplin ilmu yaitu berupa proses
kegiatan induksi-deduksi-verifikasi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


89
Ketiga, landasan aksiologi adalah berhubungan dengan penggunaan
ilmu tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan manusia. Dengan
perkataan lain, apa yang dapat disumbangkan ilmu terhadap pengembangan
ilmu itu serta dalam meningkatkan kualitas hidup manusia.
Keempat, landasan logika ilmu. Ilmu pengetahuan diciptakan dan
diperuntukkan bagi dapat diterima oleh penalaran manusia (logis), rasional,
atau masuk akal. Prinsip-prinsip umum logika dipilahkan dalam logika
deduksi (silogisme), dan logika induksi.
Relevansi Ilmu Politik dan Antropologi dengan ketiganya adalah sama-
sama mempelajari tentang hakikat manusia. Ilmu politik dan Antropologi
mempunyai relevansi dengan ontologi karena ontologi mempelajari sesuatu
yang- ada. Mempelajari Ilmu Politik dan Antropologi diperlukan suatu llmu
pengetahuan, informasi, dan penalaran. Di sinilah peran epistemologi.
Pengetahuan didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak
dapat ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Sifat pengamatan
adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik dan Antropologi yang
mempelajari sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu
yang benar-benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.

Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi


Bab V

Struktur Ilmu Pengetahuan

5.1. Deskripsi
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar
dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu
tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha
manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil
dari bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan
selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk
pada segenap pengetahuan sistematik.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika


91.
Ilmu
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut: (i)
empiris; (ii) sistematis; (iii) objektif; (iv) analitis; (v) verifikatif.

5.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i)
bangunan (konstruksi) struktur ilmu pengetahuan; (ii) cara memperoleh ilmu
pengetahuan melalui metode ilmiah.

5.3. Bangunan llmu Pengetahuan


Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah
metode induktif-empiris dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Memang
terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang populer ini,
karena ilmuwan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan
pengamatan, dan mempergunakan data indrawi. Walaupun begitu, analisis
yang mendalam terhadap metode keilmuwan akan menyingkapkan kenyata-
an, bahwa apa yang dilakukan oleh ilmuwan dalam usahanya mencari
pengetahuan lebih tepat digambarkan sebagai suatu kombinasi antara
prosedur empiris dan rasional. Epistemologi keilmuan adalah rumit dan
penuh kontroversi, namun akan diusahakan di sini, untuk memberikan
analisis filosofis yang singkat dari metode keilmuan, sebagai suatu teori
pengetahuan.

Struktur Ilmu Pengetahuan

92
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah
suatu cara dalam memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur
tertentu harus diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pertanyaan
yang tertentu pula. Mungkin epistemologi dari metode keilmuan akan lebih
mudah dibicarakan, jika kita mengarahkan perhatian kita kepada sebuah
rumus yang mengatur langkah- langkah proses berpikir sekaligus menjadi
unsur-unsur dalam ilmu pengetahuan, yang diatur dalam suatu urutan
tertentu.
Kerangka dasar prosedur ini dapat diurutkan dalam delapan langkah
sebagai berikut: (a) metode ilmiah; (b) teori; (c) hipotesis; (d) logika; (e) data-
informasi; (f) pembuktian; (g) evaluasi; dan (h) paradigma.
5.3.1. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab
ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
metode ilmiah. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam
metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

93
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati
termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan; Apakah
sumber-sumber pengetahuan? Apa hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahapan mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia?
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan
diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh ilmu
pengetahuan, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan. tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan
cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh
pengetahuannya.
Secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu yang bersifat
umum dan metode penelitian ilmiah.
5.3.2. Metode ilmiah yang Bersifat Umum
Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi dua, yaitu metode analitiko-
sintesis dan metode nondeduksi. Metode analitiko-sintesis merupakan
gabungan dari metode analisis dan metode sintesis. Metode nondeduksi
merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.

Struktur Ilmu Pengetahuan


94
Apabila kita menggunakan metode analisis, dalam babak terakhir kita
akan mendapatkan pengetahuan analitis. Pengetahuan analitis itu ada dua
macam, yaitu pengetahuan analitik apriori dan pengetahuan analitik apos-
teriori. Metode analisis adalah cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah
tertentu dengan cara memilah-milah- kan pengertian yang satu dengan yang
lainnya. Pengetahuan analitis apriori misalnya, definisi segitiga mengatakan
bahwa segitiga itu merupakan suatu bidang yang dibatasi oleh tiga garis
lurus saling beririsan yang membentuk sudut berjumlah 180 derajat.
Pengetahuan analitis aposteriori berarti bahwa kita dengan menerapkan
metode analisis terhadap sesuatu bahan yang terdapat di alam empiris atau
dalam pengalaman sehari-hari memperoleh sesuatu pengetahuan tertentu.
Misalnya, setelah kita mengamati sejumlah kursi yang ada, kemudian kita
berusaha untuk menentukan apakah yang dinamakan kursi itu? Definisinya
misalnya, kursi adalah perabot kantor atau rumah tangga yang khusus
disediakan untuk tempat duduk.
Pengetahuan yang diperoleh dengan menerapkan metode sintesis dapat
berupa pengetahuan sintesis apriori dan pengetahuan sintesis aposteriori.
Metode sintesis adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek tertentu
dengan cara menggabungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya
sehingga menghasilkan suatu pengetahuan yang baru. Pengetahuan sintesis
apriori misalnya, pengetahuan bahwa satu ditambah satu sama dengan dua.
Aposteriori menunjuk kepada hal-hal yang adanya berdasarkan atau
terdapat melalui pengalaman atau dapat dibuktikan de-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

95
ngan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan aposteriori itu
merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-
gabungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya menyangkut hal-hal
yang terdapat dalam alam tangkapan indrawi atau yang adanya dalam
pengalaman empiris.
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek
tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat
khusus berdasarkan atas ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode
induksi adalah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan jalan
menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum berdasarkan atas
pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang lebih khusus.
5.3.3. Metode Penyelidikan Ilmiah
Metode penyelidikan ilmiah dapat dibagi menjadi dua, yaitu metode
penyelidikan yang berbentuk daur/ metode siklus empiris dan metode
vertikal atau yang berbentuk garis lempang/metode linier.
Yang dinamakan metode siklus-empiris adalah suatu cara penanganan
terhadap suatu objek ilmiah tertentu yang biasanya bersifat empiris-
kealaman dan penerapannya terjadi di tempat yang tertutup, seperti di
dalam laboratorium, dan sebagainya.
Metode vertikal/berbentuk garis tegak lurus atau metode
linier/berbentuk garis lempang digunakan dalam penyelidikan yang pada
umumnya mempunyai objek materialnya hal-hal yang pada dasarnya
bersifat kejiwaan,

96 Struktur llmu Pengetahuan


yaitu yang lazimnya berupa atau terjelma dalam tingkah laku manusia
dalam berbagai bidang kehidupan seperti dalam biang politik, ekonomi,
sosial, dan sebagainya. Penerapan metode seperti ini apabila dikatakan
mengambil bentuk bentuk garis tegak lurus berarti suatu proses yang
bertahap dan apabila dikatakan mengambil bentuk garis lempang berarti
proses yang bersifat setapak demi setapak. Penerapan metode ini diawali
dengan pengumpulan bahan penyelidikan secukupnya, kemudian bahan itu
dikelompokkan menurut suatu pola atau suatu bagan tertentu. Dalam babak
terakhir kita menarik kesimpulan yang umum berdasarkan atas
pengelompokan bahan semacam itu dan apabila dipandang perlu kita dapat
pula mengadakan peramalan/prediksi yang menyangkut objek penyelidikan
yang bersangkutan. Penyelidikan semacam ini biasanya dilakukan di alam
bebas atau di alam terbuka, yaitu kelompok manusia tertentu.
5.3.4. Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata,
apa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam
dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual di mana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.
Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian
dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun
meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

97
dapat dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya
tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah
teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru dicapai
oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti umpamanya fisika. Bila dalam
fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat dibayangkan
bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada disiplin-disiplin
keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada kenyataannya terdiri dari
berbagai teori yang tergabung dalam suatu disiplin keilmuan yang satu
sama lain belum membentuk suatu perspektif teoretis yang bersifat umum.
Teori-teori ini sering mempergunakan postulat dan asumsi yang berbeda
satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada
hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua
variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang
mencakup hubungan sebab akibat ini, atau dengan perkataan lain hubungan
kasualitas, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi
sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah maka dapat kita katakan
bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan
tentang "mengapa" suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan hukum
memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang "apa"
yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah yang berbentuk teori dan hukum
ini harus mempunyai
Struktur Ilmu Pengetahuan

98
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat
universal. Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih
tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai
contoh di mana teori-teori yang mempunya tingkat keumuman yang lebih
rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat
keseluruhan teori tersebut. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,
maka makin "teoretis" konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan
gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin
teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila
dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan empiris
dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara rasional maka
ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan
secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan yang sesuai dengan
fakta dengan yang tidak. Secara sederhana maka hal ini berarti bahwa
semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama yaitu 1) Harus
konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang memungkinkan tidak
terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara keseluruhan: dan 2)
Harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori yang bagaimanapun
konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian empiris tidak dapat
diterima kebenarannya secara ilmiah.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

99
5.3.5. Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam
dunia yang ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak
meloncat-loncat, melambaikan tangan, bersuit- suit, dan
mengatakan, "Hai, lihat saya! Di sini! Saya adalah batu, atau
pohon, atau kuda." Apanya suatu benda tergantung kepada
merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut.
Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada
hubungan konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut.
Kenyataan ini membawa kita kepada salah satu segi yang
paling sulit dari metodologi keilmuan yakni peranan dari
hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan
antar variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk
dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam
menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut. Hipotesis
diajukan secara khas dengan dasar coba- coba (trial-and-error).
Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau
mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang
telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada
data yang baru. Dalam kedua hal di atas, hipotesis berfungsi
untuk mengikat data sedemikian rupa, sehingga hubungan
yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang
mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya diajukan
dalam bentuk pernyataan "jika X, maka Y". Jika kulit manusia
kekurangan pigmen, maka kulit itu mudah terbakar saat
disinari matahari. Hipotesis ini memberikan penjelasan
sementara paling tidak tentang beberapa hubungan antara
pigmentasi

Struktur Ilmu Pengetahuan


100
MILIK PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN KAUJAGA
dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan
kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan
apa yang diperlukan jika kita ingin menguji kebenaran dari
dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya secara
empiris semua penjelasan rasional yang diajukan statusnya
hanyalah bersifat sementara. Sekiranya kita menghadapi suatu
masalah tersebut, kita dapat mengajukan hipotesis yang
merupakan jawaban sementara dari permasalahan tersebut.
Secara teoretis maka sebenarnya kita dapat mengajukan
hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai dengan hakikat
rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya di sini dari sekian
hipotesis yang diajukan itu hanya satu yang diterima
berdasarkan kriteria kebenaran keorespondensi yakni hipotesis
yang didukung oleh fakta- fakta empiris.
5.3.6. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses
berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau proses
penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara tertentu.
Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di mana logika
secara luas dapat didefinisikan sebagai "pengkajian untuk
berpikir secara sahih". Lapangan dalam logika adalah asas-asas
yang menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Agar
dapat berpikir

101
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
lurus, tepat, dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan serta
menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Berpikir
adalah objek material logika. Berpikir di sini adalah kegiatan
pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir, manusia
'mengolah', 'mengerjakan' pengetahuan yang telah
diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya, ini
terjadi dengan mempertimbangkannya, menguraikan,
membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu
dengan pengertian lainnya. Dalam logika berpikir dipandang
dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berpikir lurus
dan tepat, merupakan objek formal logika.
Logika menurut The Liang Gie (1980) dapat digolongkan
menjadi lima macam, yaitu (i) logika dalam pengertian luas dan
sempit; (ii) logika deduktif dan logika induktif; (iii) logika formal
dan logika material; (iv) logika mumi dan logika terapan; dan (v)
logika filsafati dan logika matematik.
Pertama, logika makna luas dan logika makna sempit.
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan logika
deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih
luas, pemakaiannya mencakup kesimpulan- kesimpulan dari
berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan
disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan
mengenai logika itu sendiri.
Kedua, logika deduktif dan logika induktif. Logika deduktif
adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas- asas
penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang
menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian
102 Struktur llmu Pengetahuan
dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika
yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah
hal khusus sampai pada kesimpulan umum yang bersifat boleh
jadi (probabiliti).
Ketiga, logika formal dan logika material. Logika formal
mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang
harus ditaati, agar orang dapat berpikir dengan benar dan
mencapai kebenaran. Logika material mempelajari langsung
pekerjaan akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan
mengujinya dengan kenyataan praktis yang sesungguhnya.
Logika material mempelajari sumber- sumber dan asalnya
pengetahuan, alat-alat pengetahuan, proses terjadinya
pengetahuan, dan akhirnya merumuskan metode ilmu
pengetahuan itu. Logika formal dinamakan juga logika minor,
sedangkan logika material dinamakan logika mayor. Yang
disebut logika formal adalah ilmu yang mengandung kumpulan
kaidah cara berpikir untuk mencapai kebenaran.
Keempat, logika murni dan logika terapan. Logika mumi
merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan
logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari
pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti
khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah yang dipakai
dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah
pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang ilmu,
bidang-bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan yang
mempergunakan bahasa sehari-hari.
Kelima, logika filsafati dan logika matematik.
Logika 103
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian
logika yang masih berhubungan sangat erat dengan
pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban
dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun logika
matematik merupakan suatu ragam logika yang menelaah
penalaran yang benar dengan menggunakan metode matematik
serta bentuk lambang yang khusus dan cermat untuk
menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang terdapat
dalam bahasa biasa.
5.3.7. Data-informasi
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam
metode keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan
keilmuan yang diarahkan kepada pengumpulan data, maka
banyak orang yang menyamakan ilmuwan dengan
pengumpulan fakta. Hasil observasi ini kemudian dituangkan
dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pengamatan yang teliti
yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang dibuat
manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan yang
dramatis terhadap konsep keilmuan sebagai suatu prosedur
yang pada dasarnya adalah empiris dan induktif. Tumpuan
terhadap persepsi indra secara langsung atau tidak langsung,
dan keharusan untuk melakukan pengamatan secara teliti
seakan menyita perhatian kita terhadap segi empiris dari
penyelidikan keilmuan tersebut.
Penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan
ini menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok-
kelompok, jenis-jenis, dan kelas-kelas. Dalam

104 Struktur llmu Pengetahuan


semua cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasi, meng-
analisis, membandingkan, dan membedakan fakta-fakta yang
relevan tergantung kepada adanya sistem klasifikasi disebut
taksonomi, dan ilmuwan modern terus berusaha untuk
menyempurnakan taksonomi khusus bidang keilmuan mereka.
Deskripsi dan klasifikasi memang suatu hal yang pokok
dalam ilmu, tetapi adalah menyesatkan bila kita mengacaukan
deskripsi dan penyusunan ini dengan seluruh urutan kegiatan
yang merupakan metode keilmuan.
5.3.8. Pembuktian
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis adalah
menguji hipotesis tersebut dengan mengonfron- tasikannya
dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam hal ini kita
harus melakukan langkah perantara yakni menentukan faktor-
faktor apa yang dapat kita uji dalam rangka melakukan
verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis tersebut. Proses
pengujian ini seperti yang telah kita singgung sebelumnya
merupakan pengumpulan fakta- fakta yang relevan dengan
hipotesis yang diajukan. Fakta- fakta ini kadang-kadang
bersifat sederhana yang dapat kita tangkap secara langsung
dengan pancaindra kita. Kadang- kadang kita memerlukan
instrumen yang membantu pancaindra kita umpamanya
teleskop atau mikroskop. Tidak jarang pula beberapa
pembuktian ilmiah memerlukan alat yang rumit sekali,
sehingga sering terjadi bahwa hipotesis baru dapat dibuktikan
berapa lama kemudian setelah ditemukan alat yang dapat
membantu mengum-

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 105


llmu
pulkan fakta yang dibutuhkan. Hal ini pulalah yang me-
nyebabkan penelitian ilmiah menjadi berharga mahal, yang
disebabkan bukan oleh penyusunan teorinya, melainkan dalam
pembuktiannya. Pembuktian inilah sebenarnya yang memberi
vonis terhadap teori ilmiah apakah pernyataan-pernyataan
yang dikandungnya dapat diterima kebenarannya atau ditolak
secara ilmiah.
Seorang ilmuwan pada mulanya selalu bersifat skeptis.
Dia selalu meragukan segala sesuatu. Jika kita mengemukakan
kepadanya suatu teori tertentu maka keraguan itu akan
tercermin dalam sebuah pertanyaan: Jelaskan kepada saya lalu
berikan buktinya. Jadi pertama-tama dia memerlukan
penjelasan yang masuk akal dan tidak bersifat kontradiktif
dengan pengetahuan ilmiah yang telah diketahuinya. Setelah
itu dia minta pembuktian sebab konsistensi secara logis saja
baginya tidak cukup, dia menghendaki verifikasi secara
empiris. Baru setelah penjelasan itu ternyata didukung oleh
fakta-fakta dalam dunia fisik yang nyata maka dia akan
percaya. Jadi secara sederhana proses berpikir seorang
ilmuwan dapat disimpulkan sebagai sesuatu yang dimulai
dengan ragu-ragu dan diakhiri dengan percaya atau tidak percaya.
Hal ini berbeda dengan penelaahan pada bidang lain,
umpamanya agama, di mana pengkajian agama tidak dimulai
dengan ragu-ragu melainkan dimulai dengan percaya dan
diakhiri dengan makin percaya atau malah menjadi ragu.
Mengapa agama mesti dimulai dengan rasa percaya sedangkan
ilmu dengan ragu-ragu? Kunci jawabannya terletak pada
daerah penjelajahan agama yang menjangkau

106Struktur llmu Pengetahuan


ke luar daerah pengalaman manusia. Dalam keadaan seperti ini
maka pengetahuan agama yang diwahyukan Tuhan harus
diterima dulu sebagai "hipotesis" yang kebenarannya kemudian
diuji oleh kita. Proses pengujian ini adalah tidak sama dengan
pengujian ilmiah yang berdasarkan kepada tangkapan
pancaindra sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan
oleh seluruh aspek kemanusiaan kita seperti penalaran,
perasaan, intuisi, imajinasi di samping pengalaman. Demikian
juga tidak semua pernyataan keagamaan dapat diverifikasi
seperti adanya malaikat dan hari kemudian sebab hal ini berada
di luar jangkauan pengalaman. Dengan demikian maka
kepercayaan keagamaan sangat bersifat personal dan subjektif,
berbeda dengan ilmiah yang bersifat impersonal dan objektif.
Kedua pengetahuan ini bersifat saling melengkapi dan
memperkaya kehidupan kita sesuai dengan hakikat dan
kegunaannya masing-masing.
Pengujian kebenaran dalam ilmu berarti mengetes
alternatif-alternatif hipotesis dengan pengamatan kenyataan
yang sebenarnya atau lewat percobaan. Dalam hubungan ini
maka keputusan terakhir terletak pada fakta. Jika fakta tidak
mendukung satu hipotesis, maka hipotesis yang lain dipilih dan
diproses ulang kembali. Hakim yang terakhir dalam hal ini
adalah data empiris: kaidah yang bersifat umum, atau hukum,
haruslah memenuhi persyaratan pengujian empiris. Tetapi
kaum rasionalis tidak menyerah dalam tahap pengujian
kebenaran ini. Mereka mengemukakan bahwa suatu hipotesis
hanya baru dapat diterima secara keilmuan bila dia konsisten
dengan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 107


Ilmu
hipotesis-hipotesis yang sebelumnya telah disusun dan teruji
kebenarannya.

5.3.9. Evaluasi
Evaluasi dalam hal ini yaitu penarikan kesimpulan yang
merupakan penilaian apakah sebuah hipotesis yang diajukan
itu ditolak atau diterima. Sekiranya dalam proses pengujian
hipotesis terdapat fakta yang mendukung maka hipotesis itu
diterima. Sebaliknya sekiranya dalam proses pengujian tidak
terdapat fakta yang cukup mendukung maka hipotesis itu
ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi
bagian dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi
persyaratan keilmuan yakni mempunyai kerangka penjelasan
yang konsisten dengan pengetahuan ilmiah sebelumnya serta
telah teruji kebenarannya. Pengertian kebenaran di sini harus
ditafsirkan secara pragmatis artinya bahwa sampai saat ini
belum terdapat fakta yang menyatakan sebaliknya.
Evaluasi juga dapat berupa penjelasan dari seluruh
rangkaian metode ilmiah. Setelah ilmuwan melakukan
pengamatan, membuat deskripsi dan mencatat data yang
menurut dia adalah relevan dengan masalahnya, dia
menghadapi salah satu segi yang terpenting dari usahanya,
yakni memberikan penjelasan. Seperti kita lihat, keragaman
manusia dalam alam menyebabkan timbulnya beragam
masalah. Keragaman masalah ini menyebabkan kebutuhan
untuk mengembangkan berbagai alat untuk bermacam
pengamatan dan deskripsi, juga di samping itu, cara pe-
ngumpulan data yang berbeda akan menghasilkan pen-

108 Struktur Ilmu Pengetahuan


jelasan yang berbeda pula yang dapat diterima dalam sistem
ilmu. Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab
pertanyaan "mengapa". Terdapat empat cara berbeda yang
digunakan dalam ilmu untuk menjawab pertanyaan ini, yakni
penjelasan (i) deduktif, (ii) pro- babilistik, (iii) genetis, dan (iv)
fungsional. Tiap-tipe penjelasan ini menjawab mengenai
mengapa namun untuk pertanyaan yang berbeda-beda.
Pertama, penjelasan deduktif adalah sebuah penjelasan
yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di mana kesimpulan
tertentu disimpulkan setelah menetapkan aksioma atau
postulat. Contoh yang klasik adalah sebagai berikut: Semua
manusia adalah fana. Socrates adalah manusia. Oleh sebab itu,
Socrates adalah fana. Fakta bahwa Socrates adalah fana
merupakan konsekuensi langsung karena dia adalah manusia.
Jadi pertanyaan "Mengapa Socrates fana?" dalam cara
penjelasan ini adalah karena dia manusia. Ilmuwan, jika
menerima fakta semua manusia fana, dan dia menemukan fakta
bahwa Socrates adalah manusia, maka dia dapat melakukan
deduktif bahwa Socrates adalah fana. Walaupun begitu, seorang
ilmuwan tidak akan berhenti sampai di sini, dia akan berusaha
untuk mengembangkan beberapa tes untuk melihat apakah
Socrates secara fakta adalah fana. Penjelasan deduktif,
meskipun merupakan alat yang sangat berguna dalam beberapa
cabang ilmu, dapat menyesatkan kita karena cara itu hanya
memperhatikan beberapa karakteristik dari gejala. Terlebih
lagi, hubungan logika belum tentu berlaku untuk hubungan
antarmanusia. Ahli ilmu sosial tidak

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


109
pernah menerima argumentasi deduktif tanpa pertama- tama
memeriksa benar tidaknya premis yang dipergunakan,
umpamanya, bahwa semua orang, faktanya memang fana-
sebelum menguji bahwa Socrates secara fakta adalah seorang
manusia. Akhirnya, dia akan melakukan pengujian tersendiri
untuk melihat apakah Socrates memang benar- benar fana.
Penjelasan deduktif menjawab pertanyaan "mengapa"
dengan melakukan abstraksi dari karakteristik tertentu dan
secara jelas merumuskan hubungan antara tiap karakteristik
tersebut. Penyusunan model adalah usaha untuk meng-
abstraksikan beberapa sifat semua gejala yang terdapat dan
kebanyakan model dalam ilmu mempergunakan metode
deduksi.
Kedua, penjelasan probabilistik (kemungkinan). Terdapat
semacam pertanyaan dalam ilmu yang tidak dapat dijawab
secara pasti seperti yang dilakukan dalam metode deduktif.
Pertanyaan semacam ini hanya mungkin dijawab dengan kata-
kata seperti "mungkin", "hampir pasti", atau "dalam batas 5%"
dan jawaban ini disebut probabilistik. Hal ini terjadi bila kita
berurusan dengan sejumlah besar manusia, atau individu
dengan bermacam tingkah lakunya, di mana kita tidak tahu
semua faktor yang memengaruhi tindakan mereka.
Ketiga, penjelasan genetis. Penjelasan genetis menjawab
pertanyaan "mengapa" dengan apa yang telah terjadi
sebelumnya. Umpamanya jika kita ingin menerangkan mengapa
seorang anak mempunyai tipe rambut tertentu maka cara
penjelasan genetis dapat dipakai di sini, yakni
110 Struktur Ilmu Pengetahuan
dengan memakai faktor keturunan yang dihubungkan dengan
karakteristik orang tua si anak tersebut. Ahli ilmu jiwa sering
sekali memergunakan penjelasan genetis ini. Mengapa manusia
melakukan tindakan tertentu? Jawaban yang baik terhadap
pertanyaan ini mungkin didasarkan pada apa yang terjadi
padanya semasa kecil. Mengapa manusia melihat warna?
Mengapa manusia melihat? Pertanyaan semacam ini dapat
dijawab dengan penjelasan genetis dengan berusaha
menerangkan hal-hal yang terjadi sebelumnya. Karena hal
inilah maka penjelasan genetis ini sering disebut penjelasan
historis.
Keempat, penjelasan fungsional. Bentuk penjelasan lain
yang sering dijumpai dalam ilmu, adalah penjelasan fungsional,
yang memberikan jawaban terhadap pertanyaan "mengapa"
dengan jalan menyelidiki tempat dari objek yang sedang diteliti
dalam keseluruhan sistem di mana objek tersebut berada. Jadi
jika kita bertanya mengapa anak-anak sekolah menghormati
bendera, penjelasan fungsional antara lain memberikan
jawaban bahwa penghormatan tersebut akan menjadikan anak-
anak itu lebih patriotik, dan sifat lebih patriotik akan menjamin
kelangsungan bangsa dan cita-citanya. Patut ditandaskan di
sini bahwa dari semua cara penjelasan yang telah disebutkan di
atas, tidak satu pun yang dapat menjawab semua pertanyaan
yang diajukan oleh ilmu. Oleh sebab itu, maka para ilmuwan
mempergunakan cara yang berbeda pula untuk menjelaskan
masalah yang berbeda. Kadang-kadang penelaahan keilmuan
telah selesai sebelum kita sempat menjelajahi semua bagian
dari sistem yang telah kita kem-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


111
bangkan. Suatu masalah yang relatif sederhana, dengan suatu
pengamatan yang baik, mungkin dapat dijelaskan secara
sederhana pula, di mana secara langsung hipotesis dapat
ditolak atau diterima kebenarannya.
5.3.10. Paradigma
Secara umum pengertian paradigma adalah seperangkat
kepercayaan atau keyakinan dasar yang menuntun seseorang
dalam bertindak dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan
menurut Guba, paradigma dalam ilmu pengetahuan
mempunyai definisi bahwa seperangkat keyakinan mendasar
yang memandu tindakan-tindakan manusia dalam keseharian
maupun dalam penyelidikan ilmiah. Paradigma dalam hal ini
dibatasi pada paradigma pencarian ilmu pengetahuan (discipline
inquiry paradigm), yaitu suatu keyakinan dasar yang digunakan
berbagai kalangan untuk mencari kebenaran realitas menjadi
suatu ilmu atau disiplin ilmu pengetahuan. Dalam
mengembangkan suatu paradigma ilmu kita harus dapat
melihat cara pandang yang menjadi aspek filosofis dan
metodologis dalam menemukan ilmu pengetahuan, yaitu:
dimensi ontologis, dimensi epistemologis, dimensi aksiologis,
dimensi retorik dan dimensi metodologis.
Ada empat paradigma ilmu pengetahuan yang dikem-
bangkan dalam menemukan hakikat realitas atau ilmu
pengetahuan yaitu: Positivisme, Postpositivisme (Classical
Paradigm, Conventionalism Paradigm), Critical Theory (Realism)
dan Constructivism. Dalam ilmu sosial perubahan terjadi secara
cepat dan dinamis, tergantung pada bukti

112 Struktur llmu Pengetahuan


empiris yang diyakini. Berikut dipaparkan berbagai unsur yang
dilihat sebagai indikator adanya perubahan dalam
pengembangan ilmu. Keragaman paradigmatik dapat terjadi
karena perbedaan pandangan filosofis, konsekuensi logis dari
perbedaan teori yang digunakan dan sifat metodologi yang
digunakan untuk mencapai kebenaran.
Ada empat cara berpikir berdasarkan dikotomi pengaruh
antar individu dan masyarakat: (i) dikotomi muncul akibat
asumsi umum bahwa individu dapat membentuk atau
mengubah masyarakat; (ii) dikotomi muncul akibat asumsi
umum bahwa "individu merupakan produk dari masyarakat"
(individual is created society); (iii) Dikotomi dari kedua pendapat

N KALIJAGA
UIN SUNAN

KALIJAGA
N SUNAN
itu disintesiskan oleh Peter Berger, dalam model yang memiliki

LIJAGA
SUNAN
perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan antara

JAGA
NAN

GA
anggota masyarakat; (iv) model terakhir itu akan mneghasilkan
gambaran yang menyambung. Di satu sisi berlangsung proses
socialization yang terjadi ketika individu mendapat pengaruh
kuat dari lingkungan sosial, individu akan menyesuaikan diri
dengan pola-pola yang berlaku di masyarakatnya.
Pandangan tentang paradigma ilmu pengetahuan
tampaknya berubah antarwaktu. Perkembangan substansi
paradigmatik dalam tulisan ini akan dikupas lengkap, berawal
dari paradigma positivisme, postpositivisme, critical theory dan
konstruktivisme. Perubahan paradigma dalam ilmu
pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dari
beberapa kasus perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang
telah dipaparkan, arah yang dicapai memang diutamakan
berupa perkembangan. Kemapanan dan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


munculnya spesialisasi ilmu menjadi harapan dari perubahan
tersebut. Perubahan tersebut berhubungan timbal balik dengan
perubahan kehidupan manusia yang menjadi pendukungnya,
termasuk terutama perkembangan di kalangan ilmuwan.

5.4. Ringkasan
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah
disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi
mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang
sudah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh
pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik.
Penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai "rumah
atau batu bata yang bercerai-berai".
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan
adalah sebuah teori pengetahuan yang dipergunakan manusia
dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu
pernyataan. Metode ini menitikberatkan kepada suatu urutan
prosedur yang saksama di mana diperoleh sekumpulan
pengetahuan yang diperluas secara terus menerus serta bersifat
mengoreksi diri sendiri. Metode keilmuan mendasarkan diri
pada anggapan bahwa, terdapat keteraturan yang dapat
ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala, dan bahwa
alat pancaindra manusia, (atau alat yang dibuat secara teliti),
pada dasarnya dapat berfungsi secara layak. Lewat
pengorganisasian yang sistematis dan pengujian pengamatan,
manusia telah mampu mengumpulkan pengetahuan secara
kumulatif, walaupun

114 Struktur Ilmu Pengetahuan


yang terus-menerus bertumbuh dan mempunyai peluang
besar untuk benar. Walaupun begitu, metode keilmuan tidak
mengajukan diri sebagai metode yang membawa manusia
kepada suatu kebenaran akhir yang takkan pernah berubah.
Dapat disimpulkan bahwa ilmu merupakan kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebe-
narannya telah teruji secara empiris. Dalam hal ini harus
disadari bahwa proses pembuktian dalam ilmu tidaklah
bersifat absolut. Sekiranya sekarang kita dapat mengum-
pulkan fakta-fakta yang mendukung hipotesis kita maka
bukan berarti bahwa untuk selamanya kita akan men-
dapatkan hal yang sama. Mungkin saja sewaktu-waktu, baik
secara kebetulan maupun karena disebabkan kemajuan
dalam peralatan pengujian, maka kita akan mendapatkan
fakta yang menolak hipotesis yang selama ini kita anggap
benar. Jadi pada hakikatnya suatu hipotesis dapat kita
terima kebenarannya selama tidak didapatkan fakta yang
menolak hipotesis tersebut. Hal ini membawa dimensi baru
kepada hakikat ilmu yakni sifat pragmatis dari ilmu. Ilmu
tidak bertujuan untuk mencari kebenaran melainkan
kebenaran yang bermanfaat bagi manusia dalam tahap
perkembangan tertentu. Hipotesis-hipotesis yang sampai
saat ini tidak ditolak kebenarannya, dan mempunyai
manfaat bagi kehidupan kita, kita anggap sebagai
pengetahuan yang sahih. Dalam proses keilmuan bahwa
hipotesis ini kemudian hari ternyata tidak benar, bagi kita
hal itu tidaklah terlalu penting selama hipotesis ini
mempunyai kegunaan. Seperti ucapan Santayana,
maka 115
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dalam ilmu sekiranya kita menemukan kebenaran baru, kita
tidak lalu "menyalahkan pendahulu itu, kita cuma mengucapkan
selamat jalan".

116Struktur llmu Pengetahuan


Bab VI

Teori Kebenaran Ilmu


Pengetahuan

6.1. Deskripsi
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam
perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir
dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau
mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran.
Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek.
Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh per- sepsi-persepsi
belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam
filsafat.
6.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan terdiri atas:
(i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v) esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 117
Ilmu
(vii) religiusisme.
6.3. Teori Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan berikut tentu membuka wawasan
kita, bisa jadi selama ini hanya merupakan kesan- kesan yang
kita biarkan berlalu. Untuk keperluan pembelajaran filsafat
ilmu, sengaja diangkat lagi agar memperoleh wacana yang
memadai dalam konteks untuk menemukan kebenaran.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah; (i) Apakah kebenaran itu
ada?; (ii) Apakah kebenaran ada atau tidak ada? (iii) Kebenaran
itu apakah kecil atau kebenaran besar; (iv) Bagaimana
kebenaran yang terdapat di dalam filsafat, agama, ilmu, dan
seni; (v) Bagaimana pandangan kaum skeptis, relatif, dan
subjektif, dan kaum nihilis tentang kebenaran; (vi) Bagaimana
paham diterminis dan inditerminis (konseptual, atau konseptual
yang kacau) tentang kebenaran; dan (vii) Bagaimana teori- teori
ontologi kebenaran.
Sejumlah teori yang telah dikemukakan oleh para filsuf
dengan senyatanya membuka mata kita antara lain yang
dikemukakan: (i) teori idealisme Plato yang berpusat pada
"idea"; (ii) teori Rasionalisme R.Decartes, yang berpusat pada
rasio dan kesadaran; (iii) teori Immanuel Kant yang berpusat
pada akal atau rasio mumi (Reinen Vernunft, Praktisen Vernunft).
(iv) teori-teori wahyu/revalasi dari kalangan teolog (dari Tuhan
YME) yang menyatakan bahwa the truth is created by the God
yang dilawan oleh teori evolusi; (v) teori coherence (coherence
theory) yang menyatakan bahwa kebenaran itu suatu nilai inter-

Teori Kebenaran llmu Pengetahuan


118
subjektif, ada nilai disepakati bersama antara subjek dengan
subjek yang lain. Bahkan, Kebenaran yang bermakna
humanistik; (vi) Correspondence theory yang menyatakan bahwa
kebenaran itu adalah sesuatu sesuai hukum alam (natural laws).
Oleh sebab itu ilmu harus mencari atau menemukan hukum
alam; (vii) teori pragmatisme yang menyatakan bahwa
kebenaran adalah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi
manusia di dunia ini. Atau paham teori utilitiarisme, yang
benar itu yang memberikan faedah atau keuntungan bagi
manusia; (viii) Teori Esensialisme yang menyatakan bahwa
kebenaran itu sesuatu yang abstrak dan yang bermakna sebagai
hal yang esensial atau yang terdalam dari pikiran manusia; (ix)
teori eksistensialisme yang menyatakan bahwa kebenaran itu
suatu yang sangat kontektual, sesuai dengan ruang dan waktu.
Oleh sebab itu kebenaran yang absolut tidak pernah ada; (x)
teori metafisisontology yang menyatakan bahwa kebenaran itu
suatu hal yang ontologis, diketahui atau tidak, kebenaran itu
ada dalam ruang yang-ada. Kebenaran ada di dunia metafisis
dan bukan dalam dunia empiris; (xi) teori ilmu
pengetahuan/teori ilmiah yang menyatakan bahwa kebenaran
itu sesuai dengan asas-asas yang ada dalam ilmu pengetahuan
(merupakan kebenaran dari pembuktian terhadap hipotesis).
(xii) teori perenial- isme yang menyatakan bahwa kebenaran
merupakan sesuatu yang muncul dari hati nurani manusia,
yang sifatnya abstrak; (xiii) teori penomenologi (E.Husserl) yang
menyatakan bahwa kebenaran itu adalah sesuatu yang tetap
dan abstrak bernama "neumenon" jauh dibalik

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

119
penomenon (gejala); (xiv) teori konstruktivisme yang
menyatakan bahwa kebenaran itu suatu hasil konstruksi
pikiran manusia yang bebas, dan selalu berubah, dan sangat
subjektif; (xvi) teori post-modernisme menyatakan bahwa
kebenaran itu bukan suatu yang tetap, selalu berubah, dan akal
manusia menciptakan secara bebas dan tidak pernah sama
dengan yang lalu, terdapat kecenderungan bahwa kebenaran
tidak dapat diungkapkan dalam bahasa; (xvii) teori
progresivisme menyatakan bahwa kebenaran yang tidak pernah
statik, melainkan selalu berubah ke depan (ke masa yang akan
datang) sesuai perkembangan manusia dan zaman. Paham ini
menolak paham-paham warisan tradisi dan konservatif; (xviii)
teori kritik (Critical theory of truth) menyatakan kebenaran itu
suatu hasil pemikiran manusia yang terbuka dan kritis
sepanjang zaman, dan kebenaran lahir dari dialog, diskusi, dan
diskursus yang kontinu (Jurgen Hebernas); (xix) teori nihilism
menyatakan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada kebenaran
di dunia ini, yang ada hanya power, who holds the power, he is able
to creat the truth and jaustice (F. Nietzsche).
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam tulisannya yang
berjudul Hakikat Dasar Keilmuan, ilmu merupakan suatu
pengetahuan yang menjelaskan rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu membatasi
ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman manusia.
Artinya, objek penjelajahan keilmuan meliputi segenap gejala
yang dapat ditangkap oleh pengalaman manusia lewat
pancaindranya.
120 Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Secara epistemologi, ilmu memanfaatkan dua kemampuan
manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran dan indra.
Epistemologi keilmuan pada hakikatnya merupakan gabungan
antara pikiran secara rasional dan berpikir secara empiris.
Kedua cara berpikir tersebut digabungkan dalam mempelajari
gejala alam untuk menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam menemukan kebenaran, menyandarkan
dirinya kepada kriteria atau teori kebenaran antara lain: (i)
koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik; (v)
esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan (vii) religiusisme.
6.3.1. Koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan
bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui sahih/ dianggap
benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari
proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan
secara logis sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan logika. Teori
ini juga mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu
argumentasi. Teori ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika
terdapat adanya konsistensi yang ditangkap subjek yang satu
dengan subjek lainnya tentang suatu realita yang sama. Makin
konsisten ide-ide atau kesan yang ditangkap beberapa subjek
tentang sesuatu objek yang sama, makin benarlah ide-ide atau
kesan itu.
6.3.2. Korespondensi
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 121


Ilmu
mengatakan bahwa suatu pengetahuan itu sahih apabila
proporsi bersesuaian dengan realitas menjadi objek
pengetahuan itu. Kesahihan korespondensi itu memiliki
pertalian yang erat dengan kebenaran dan kepastian indrawi.
Dengan demikian, kesahiahan pengetahuan itu dapat
dibuktikan secara langsung. Teori ini juga mendasarkan diri
kepada kriteria tentang kesesuaian antara materi yang
dikandung oleh suatu pernyataan dengan objek yang dikenai
pernyataan tersebut. Sesuatu dianggap benar apabila apa yang
diungkapkan (pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan
fakta (kesan, ide-ide) di lapangan.
6.3.3. Positivisme
Positivisme dirintis oleh August Comte (1798-1857), yang
dianggap sebagai Bapak ilmu Sosiologi Barat. Positivisme
adalah cara pandang dalam memahami dunia dengan
berdasarkan sains. Positivisme sebagai perkembangan
Empirisme yang ekstrem, adalah pandangan yang menganggap
bahwa yang dapat diselidiki atau dipelajari hanyalah "data-data
yang nyata/empirik", atau yang mereka namakan positif. Nilai-
nilai politik dan sosial menurut Positivisme dapat
digeneralisasikan berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dari
penyelidikan terhadap kehidupan masyarakat itu sendiri. Nilai-
nilai politik dan sosial juga dapat dijelaskan secara ilmiah,
dengan mengemukakan perubahan historis atas dasar cara
berpikir induktif. Jadi, nilai-nilai tersebut tumbuh dan
berkembang dalam suatu proses kehidupan dari suatu
masyarakat itu sendiri. Penganut paham positivisme meyakini
bahwa

122 Teori Kebenaran llmu Pengetahuan


hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan
ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan
berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.

6.3.4. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang men-
dasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya
suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Teori Pragmatisme berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan
realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-
ide melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau
pelaksanaannya. Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar
atau salah sebelum diuji.

6.3.5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar
berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana
serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterikatan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan
nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata
yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan
tiada cela pula.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 123


Esensialisme didukung oleh idealisme modern yang mem-
punyai pandangan yang sistematis mengenai alam semesta
tempat manusia berada. Esensialisme juga didukung oleh
idealisme subjektif yang berpendapat hahwa alam semesta
itu pada hakikatnya adalah jiwa/spirit dan segala sesuatu
yang ada ini nyata ada dalam arti spiritual.
6.3.6. Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pem-
belajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan
aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai
sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis
kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan
tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi,
sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang
beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari
interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar
nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpe-
ngaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.
6.3.7. Religiusisme
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia
bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga

124Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan


makhluk rohaniah. Oleh karena itu, muncullah teori religius
ini yang kebenarannya secara ontologis dan aksiologis
bersumber dari sabda Tuhan yang disampaikan melalui
wahyu.
Secara pasti, kita tidak akan mendapatkan kebenaran
mutlak, dan untuk mengukur kebenaran dalam filsafat
sesungguhnya tergantung kepada kita oleh metode-metode
untuk memperoleh pengetahuan itu. Jika apa yang kita
ketahui ialah ide-ide kita, maka pengetahuan hanya dapat
terdiri dari ide-ide yang dihubungkan secara tepat, dan
kebenaran merupakan keadaan saling berhubungan di
antara ide-ide tersebut.
Bertrand Russell dalam bukunya The Problems of
Philosophy, menulis "Kebenaran dan Kesesatan". Dualisme
ini sepanjang sejarah kehidupan tidak akan pernah
terpisahkan, karena anggapan kebenaran berkaitan dengan
adanya kesesatan. Suatu kebenaran muncul saat asumsi
kesesatan itu mengiringinya. Keyakinan-keyakinan yang
keliru sering kali dipegang teguh sebagaimana keyakinan-
keyakinan yang benar, sehingga menjadi suatu pertanyaan
yang sulit bagaimana keyakinan-keyakinan itu dibedakan
dari keyakinan-keyakinan yang benar.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, manusia
sebagai makhluk pencari kebenaran dalam perenungannya
akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu agama, ilmu
pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan pada
kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari ke-
benaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya
adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
ilmu dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tidak lagi menjadi misteri.
6.4. Relevansinya dengan Antropologi
Filsafat dikatakan sebagai mater scientiarum, yakni induk
semua ilmu pengetahuan. Setiap orang yang ingin belajar
pengertian hidup dan kehidupan harus mengetahui ilmu
filsafat. Dalam bukunya, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Dr.
Surajiyo, 2005) menyatakan berfilsafat tidak lain adalah hidup
berpikir dan pemikiran sedalam-dalamnya tentang hidup dan
kehidupan itu (living thought and thoughtfull living).
Filsafat ilmu bukanlah sekadar metodologi ataupun tata
cara penulisan karya ilmiah. Filsafat ilmu merupakan refleksi
secara filsafati akan hakikat ilmu yang tidak akan mengenal
titik henti dalam menuju sasaran yang akan dicapai, yaitu
kebenaran dan kenyataan. Memahami filsafat ilmu berarti
memahami seluk-beluk ilmu pengetahuan sehingga segi-segi
dan sendi-sendinya yang paling mendasar, untuk dipahami pula
perspektif ilmu, kemungkinan pengembangannya, serta
keterjalinan antar cabang ilmu yang satu dengan yang lain.
Jadi, dalam mempelajari antropologi kita juga tidak dapat
lepas dari filsafat, khususnya teori kebenaran dan kesesatan
pengetahuan. Antropologi sebagai ilmu yang mempelajari
tentang manusia secara keseluruhan, baik dari segi fisik
maupun budaya, memiliki teori-teori yang dicetuskan
berdasarkan kriteria kebenaran. Kita tidak dapat mencetuskan
teori-teori baru begitu saja tanpa

126 Teori Kebenaran llmu Pengetahuan


didasari oleh salah satu dari ketujuh kriteria kebenaran
tersebut, sebab dapat jadi teori kita dapat menyesatkan publik.

6.5. Ringkasan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk pencari
kebenaran akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya
adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu
dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi menjadi misteri.
Secara pasti, tidak ada kebenaran yang absolut di dunia
ini. Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan itu sendiri
tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu dengan
menggunakan metode kriteria kebenaran yang terdiri dari:
koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatisme,
esensialisme, konstruktivisme, dan religiusisme.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Bab VII

Logika Ilmu dan Metode Berpikir


Ilmiah

7.1. Deskripsi
Di era postmodern saat ini telah begitu banyak dite-
mukan inovator baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan-
penemuan tersebut dapat kita rasakan hampir dalam segala
bidang dan lingkungan di mana kita berada. Misalnya,
keberadaan teknologi informasi yang semakin hari semakin
canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui se-
jumlah proses yang memakan waktu cukup relatif panjang.
Hal ini (semakin pesatnya penemuan-penemuan baru)
merupakan suatu yang tidak dapat dielakkan lagi, karena ia
merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri,
yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang
semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penemuan sains tersebut kita menge-
nal yang namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk
meraih hasil yang sesuai "standar" keilmuan. Sains yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
terus berkembang dapat dikatakan merupakan dampak dari
revolusi industri yang terjadi di Eropa. Revolusi industri
membawa perubahan besar dalam berbagai aspek. Corak-corak
metodologis yang dikembangkan menyebabkan ilmu pengetahuan
bersifat positivistik, deterministik, dan evolusionistik. Sehingga
segala sesuatu harus dijelaskan dengan metode kuantitatif dan
eksperimental melalui observasi.
Dewasa ini, ada kecenderungan-kalau tidak mau dikatakan
sepenuhnya—yang dilakukan oleh para pemikir atau ilmuwan
yang berpersepsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya
metode yang diterapkan dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Bahkan, ia juga dijadikan landasan atau sebagai
asas dalam berpikir. Lebih dari itu, terjadi pensakralan
terhadapnya.

7.2, Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada bagian ini menjelaskan logika
ilmu terdiri atas; (i) hakikat berpikir; (ii) pengertian dan kriteria
metode berpikir ilmiah; logika ilmiah; bahasa keilmuan; model
metode berpikir ilmiah; hal-hal yang harus diperhatikan dalam
penggunaan Metode Rasional.

7.3. Hakikat Berpikir dan Medote Berpikir Ilmiah

7.3.1. Hakikat Berpikir


Dalam aktivitas keseharian kita, ketika beraktivitas dalam
lingkungan masing-masing, dapat dipastikan bahwa kita tidak
dapat lepas dari yang namanya berpikir. Hanya saja memang,
tingkat daya pikir tersebut masing-masing

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


berbeda pada setiap orang. Berpikir dapat dikatakan me-
rupakan suatu aktivitas yang sangat penting. Karena tanpa-
nya, manusia berada dalam suasana yang gelap dan hampa.
Manusia tidak mampu mengenal lingkungan tempat dia
tinggal, siapa pencipta alam jagat raya ini, bahkan ia pun tidak
mampu mengenal dirinya dan hakikat keberadaannya di dunia
tanpa melalui sebuah aktivitas berpikir.
Berpikir juga dapat dikatakan suatu hal yang alamiah
(fitrah atau natural) bagi setiap manusia-yang sehat atau tidak
gila-dikarenakan adanya "unsur-unsur" ciptaan yang telah
diciptakan oleh Allah SWT. Dalam proses berpikir, sejatinya
melibatkan unsur-unsur tertentu, yakni: (i) otak yang sehat; (ii)
pancaindra; (iii) informasi sebelumnya; dan (iv) adanya fakta.
Dari empat unsur di atas dapat kita rangkai sebuah
definisi sebagai berikut: "pemindahan pengindraan terhadap
fakta melalui pancaindra ke dalam otak yang disertai adanya
informasi-informasi terdahulu yang digunakan untuk
menafsirkan fakta tersebut". Definisi ini sekaligus juga
merupakan definisi bagi akal, pemikiran, proses berpikir.
Apakah sebenarnya berpikir? Secara umum maka tiap
proses dalam idea, konsep dan sebagainya dapat disebut
berpikir. Umpamanya, jika seseorang bertanya kepada saya,
"apakah yang sedang kamu pikirkan?" mungkin saya
menjawab, "Saya sedang memikirkan keluarga saya." Hal ini
berarti bayangan, kenangan dan sebagainya hadir dan ikut-
mengikuti dalam kesadaran saya. Karena itu, maka definisi
yang paling umum dari
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
berpikir adalah proses idea dan konsep.
7.3.2. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah
Pemikiran ilmiah bukanlah pemikiran biasa. Pemikiran
ilmiah adalah pemikiran yang sungguh-sungguh. Artinya,
suatu cara yang berdisiplin, di mana seseorang yang tidak
akan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkannya
berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu diarahkan pada
satu tujuan tertentu. Tujuan tertentu dalam hal ini adalah
pengetahuan. Berpikir keilmuan, atau berpikir sungguh-
sungguh adalah cara berpikir yang disiplinkan dan diarahkan
kepada pengetahuan.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia disebutkan, bahwa
metode adalah cara yang teratur
dan terpikir. baik-baik untuk
mencapai maksud (dalam ilmu
pengetahuan) atau cara kerja
yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan.

Gambar 7.1. Simbol Berpikir

Peter R. Senn mengatakan, metode merupakan suatu


prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai
langkah-langkah sistematis. Metodologi merupakan suatu
pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan dalam

132 Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


metode tersebut. Dari dua macam pendapat di atas dapat kita
padukan menjadi: metode adalah suatu cara yang sistematis
untuk mencapai dan mengetahui maksud atau tujuan yang
telah ditentukan secara efektif, efisien, dan optimal.
Istilah metode berpikir ilmiah ini juga dibahas oleh
Taqiyuddin an-Nabhani (2001) dalam bukunya at-Tafkir. Ia
menyebut metode ilmiah dengan metode berpikir ilmiah.
Penelitian sebagai suatu rangkaian aktivitas mengandung
prosedur tertentu, yakni serangkaian cara dan langkah tertib
yang mewujudkan pola tetap. Rangkaian cara dan langkah ini
dalam dunia keilmuan disebut metode untuk menegaskan
bidang keilmuan itu seringkali dipakai istilah metode ilmiah
(scientific method).
Dictionary of Behavioral Science memberikan definisi metode
ilmiah dengan "teknik-teknik dan prosedur- prosedur
pengamatan dan percobaan yang menyelidiki alam yang
dipergunakan oleh ilmuwan-ilmuwan untuk mengolah fakta-
fakta, data, dan penafsirannya sesuai dengan asas-asas dan
aturan-aturan tertentu.
Arturo Rosenblueth mengatakan "metode ilmiah adalah
suatu prosedur dan ukuran yang dipakai oleh ilmuwan-
ilmuwan dalam penyusunan dan pengembangan cabang
pengetahuan khusus mereka".
Selanjutnya, James B. Conant memberikan rumusan
metode ilmiah menjadi delapan langkah, yakni sebagai berikut:
(i) kenali bahwa suatu situasi yang tidak menentu ada. Ini
merupakan suatu situasi bertentangan atau kabur yang
mengharuskan penyelidikan; (ii) nyatakan
masalah 133
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
itu dalam istilah spesifik; (iii) rumuskan suatu hipotesis kerja; (iv)
rancang suatu metode penyelidikan yang ter- kendalikan dengan
jalan pengamatan atau dengan jalan percobaan ataupun kedua-
duanya; (v) kumpulkan dan catat bahan pembuktian atau data
'kasar'; (vi) olah data kasar ini menjadi suatu pernyataan yang
mempunyai makna; (vii) tibalah pada suatu penegasan yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kalau penegasan itu betul, ramalan-
ramalan dapat dibuat darinya; (viii) satu padukan penegasan yang
dapat dipertanggungjawabkan itu, kalau terbukti merupakan
pengetahuan baru dalam ilmu, dengan kumpulan pengetahuan
yang telah mapan.
Makna penelitian ini secara sederhana ialah bagaimanakah
mengetahui sesuatu yang dilakukan melalui cara tertentu dengan
prosedur yang sistematis (Gama, 2000:1). Proses sistematis ini
tidak lain adalah langkah-langkah metode ilmiah. Jadi pengertian
dari metodologi penelitian itu dapat diartikan sebagai pengkajian
atau pemahaman tentang cara berpikir dan cara melaksanakan
hasil berpikir menurut langkah-langkah ilmiah.
Terhadap cara untuk mengetahui dan memahami sesuatu,
Babbie (1992) berpendapat:" ... science is a method of inquiry-away of
learning-and knowing things about the world around us". Dengan
demikian untuk memahami dan mempelajari sesuatu yang terjadi
di sekeliling kita terdapat banyak cara. Walaupun demikian ilmu
tetap memiliki ciri tertentu, yang sesungguhnya ciri tersebut
berada dalam berbagai aktivitas yang dilakukan sehari-hari.
Menurut Pierce (dalam Kerlinger, 1973) terdapat
134 Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah
empat metode untuk memahami sesuatu (methods of knowing)
yaitu: (i) the method of tenacity (wahyu), (ii) the method of
authority (otoritas), (iii) the a priory method (intuisi) dan (iv) the
method of science (metode ilmiah). Penelitian termasuk ke dalam
metode ilmiah, sebagai metode memahami yang paling baik
guna memperoleh kebenaran ilmiah.
7.4. Bahasa Keilmuan
Bahasa keilmuan adalah suatu sarana yang digunakan
dalam komunikasi keilmuan. Terdapat unsur-unsur yang
terlibat dalam komunikasi keilmuan, seperti juga unsur- unsur
dari kebanyakan bentuk komunikasi antara lain adalah: (i)
lambang (termasuk kata-kata dan tanda-tanda); (ii) definisi;
dan (iii) pernyataan dan logika.
Analisis singkat dari peranan unsur-unsur ini meng-
gambarkan pada kita hakikat masing-masing unsur tersebut.
Terdapat berbagai tujuan dan bentuk bahasa komunikasi
mulai dari bahasa estetik, bahasa sehari-hari, bahasa hukum
sampai bahasa keilmuan. Sebagai contoh "dibandingkan dengan
negara-negara lain, semasa periode 1965- 1973 laju tumbuh
perekonomian Indonesia termasuk yang tinggi (7,6%) rata-rata
pertahun. Tingkat tersebut hanya dilampaui oleh Brazil dengan
(9,1%) rata-rata pertahun. Apakah terdapat keraguan dalam
pikiran orang yang membaca atau mendengar berita ini?
Apakah terdapat konflik penafsiran dalam komunikasi
tersebut? Mungkin sekali tidak. Pernyataan ini adalah tepat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Contoh yang kontras ini bukanlah dikemukakan dengan
tujuan untuk memuji yang satu dan mengutuk yang lain. Maksud
kita hanyalah memperlihatkan dua aspek dari komunikasi: yang
satu estetik dan yang lain bersifat mengemukakan kenyataan.
Bahasa sebagai alat kenikmatan, untuk tujuan-tujuan estetik,
berfungsi sebagai alat kegiatan dengan membawa pembaca untuk
membangun gambaran yang dapat dinikmati oleh dirinya sendiri.
Dalam ilmu, benar dan salah merupakan nilai yang bersifat
relatif. Pernyataan hanyalah kita terima atau kita tolak. Ilmu
yang mempelajari hubungan pernyataan-per- nyataan ini kapan
dianggap benar, atau kapan dianggap salah, dan menetapkan
secara deduktif apakah suatu hubungan adalah benar atau salah.
Komunikasi keilmuan adalah komunikasi logis. Tiap teori
keilmuan adalah suatu sistem kalimat yang dianggap benar dan
biasa disebut hukum atau pernyataan.
Bahasa keilmuan juga merupakan bahasa yang digunakan
dalam penulisan-penulisan ilmiah atau dalam penulisan dalam
ilmu pengetahuan.
Tujuh ciri ragam bahasa keilmuan adalah: (i) cendekia; (ii)
lugas; (iii) jelas (iv) formal; (v) objektif; (vi) konsisten; (vii) bertolak
dari gagasan; serta (viii) ringkas dan padat.
Pertama, cendekia. Bahasa yang cendekia mampu membentuk
pernyataan yang tepat dan saksama, sehingga gagasan yang
disampaikan penulis dapat diterima pembaca.
Kedua, lugas. Paparan bahasa yang lugas dapat menghindari
kesalahpahaman dan kesalahtafsiran isi kalimat
136 Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah
dapat dihindari. Penulisan bernada sastra perlu dihindari.
Ketiga, jelas. Gagasan akan mudah dipahami apabila bahasa
yang dituangkan secara jelas dan hubungan antara gagasan yang
satu dengan yang lainnya juga jelas.
Keempat, formal. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi
ilmiah bersifat formal. Tingkat keformalan dapat dilihat pada kosa
kata, bentukan kata, dan kalimatnya.
Kelima, objektif. Sifat objektif tidak cukup dengan hanya
menempatkan gagasan sebagai pangkal tolak, tetapi juga
diwujudkan dalam penggunaan kata.
Keenam, konsisten. Unsur bahasa, tanda baca, dan istilah,
sekali digunakan sesuai dengan kaidah maka untuk selanjutnya
digunakan secara konsisten.
Ketujuh, bertolak dari gagasan. Bahasa keilmuan digunakan
dengan orientasi gagasan. Pilihan kalimat yang lebih cocok adalah
kalimat pasif, sehingga kalimat aktif perlu dihindari.
Kedelapan, ringkas dan padat. Ciri padat merujuk pada
kandungan gagasan yang diungkapkan dengan unsur- unsur
bahasa. Karena itu, jika gagasan yang terungkap sudah memadai
dengan unsur bahasa yang terbatas tanpa pemborosan, ciri
kepadatan sudah terpenuhi.
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah
Pada dasarnya, ditinjau dari sejarah berpikir manusia,
terdapat dua pola berpikir ilmiah. Yang pertama adalah berpikir
secara rasional, di mana berdasarkan paham rasionalisme ini, idea
tentang kebenaran sebenarnya sudah ada. Pikiran manusia dapat
mengetahui idea tersebut,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


namun tidak menciptakannya, dan tidak pula mempelajarinya
lewat pengalaman. Dengan kata lain, idea tentang kebenaran,
yang menjadi dasar bagi pengetahuan, diperoleh lewat berpikir
rasional, terlepas dari pengalaman
manusia.
Cara berpikir ilmiah yang kedua adalah empirisme. Berbeda
dengan orang-orang yang berpikir secara rasional. Menurut orang-
orang yang berpaham empirisme ini, pengetahuan ini tidak ada
secara apriori di benak kita, melainkan harus diperoleh lewat
pengalaman.
Adapun kriteria metode berpikir ilmiah antara lain: (i)
berdasarkan fakta; (ii) bebas dari prasangka; (iii) menggunakan
prinsip-prinsip analisis; (iv) menggunakan hipotesis; (v)
menggunakan ukuran objektif; dan (vi) menggunakan teknik
kuantifikasi.
7.6. Kelemahan-kelemahan Metode Berpikir Ilmiah
Kelemahan metode ilmiah dapat kita lihat dari segi (i)
cakupan atau jangkauan dari kajiannya, (ii) asumsi yang
melandasinya, dan (iii) kesimpulannya bersifat relatif.
Pertama, metode ilmiah tidak dapat digunakan kecuali pada
pengkajian objek-objek material yang dapat di indra. Metode ini
khusus untuk ilmu-ilmu eksperimental. Ia dilakukan dengan cara
memperlakukan materi (objek) dalam kondisi-kondisi dan faktor-
faktor baru yang bukan kondisi dari faktor yang asli. Melakukan
pengamatan terhadap materi tersebut serta berbagai kondisi dan
faktornya yang ada, baik yang alami maupun yang telah
mengalami perlakuan. Dari proses terhadap materi ini, kemudian

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


ditarik suatu kesimpulan berupa fakta material yang dapat
diindra.
Kedua, metode ilmiah mengasumsikan adanya penghapusan
seluruh informasi sebelumnya tentang objek yang dikaji, dan
mengabaikan keberadaannya. Kemudian memulai pengamatan
dan percobaan atas materi. Ini dikarenakan metode ini
mengharuskan kita untuk menghapuskan diri dari setiap opini dan
keyakinan si peneliti mengenai subjek kajian. Setelah melakukan
pengamatan dan percobaan, maka selanjutnya adalah melakukan
komparasi dan pemeriksaan yang teliti, dan akhirnya me-
rumuskan kesimpulan berdasarkan sejumlah premis ilmiah.
Ketiga, kesimpulan yang didapat ini adalah bersifat spekulatif
atau tidak pasti (dugaan). Kelemahan-kelemahan yang ada pada
metode ilmiah ini juga diungkapkan dalam literatur lain.
Misalnya, "...Pertama-tama ilmu menyadari bahwa masalah yang
dihadapinya adalah masalah yang bersifat konkret yang terdapat
dalam dunia fisik yang nyata. Secara ontologi, ilmu membatasi
dirinya pada pengkajian yang berada pada ruang lingkup
pengalaman manusia. Hal inilah yang membedakan antara ilmu
dan agama...perbedaan antara lingkup permasalahan yang
dihadapinya juga menyebabkan perbedaan metode dalam
memecahkan masalah tersebut".
Dinyatakan pula, "...proses pengujian ini tidak sama dengan
pengujian ilmiah yang berdasarkan kepada tangkapan pancaindra,
sebab pengujian kebenaran agama harus dilakukan oleh seluruh
aspek kemanusiaan kita

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


seperti penalaran, perasaan, intuisi, imajinasi di samping
pengalaman". "Metode ilmiah tidak dapat diterapkan kepada
pengetahuan yang tidak termasuk ke dalam kelompok
ilmu...demikian juga halnya dengan bidang sastra yang termasuk
dalam humaniora yang jelas tidak mempergunakan metode ilmiah
dalam penyusunan tubuh pengetahuannya".
Muhammad Abdurrahman dalam bukunya at-Tafkeer juga
menyatakan hal senada dengan yang telah disebutkan di atas. Ia
menyatakan, bahwa metode ilmiah tidak dapat diterapkan pada
ilmu yang termasuk dalam humaniora, hal ini dikarenakan
bidang-bidang yang termasuk ke dalam humaniora tidak
membahas perkara-perkara fisik yang dapat diukur dan
diujicobakan. Meskipun demikian, beberapa aspek pengetahuan
tersebut dapat menerapkan metode ilmiah dalam pengkajiannya,
misalnya saja aspek pengajaran bahasa sastra dan matematika.
Dalam hal ini masalah tersebut dapat dimasukkan ke dalam
disiplin ilmu pendidikan yang mengkaji secara ilmiah berbagai
aspek proses belajar-mengajar.

7.7. Metode Berpikir Rasional: Asas dalam Berpikir


Metode rasional adalah metode tertentu dalam pengkajian
yang ditempuh untuk mengetahui realitas suatu yang dikaji,
dengan jalan memindahkan pengindran terhadap fakta melalui
pancaindra ke dalam otak, disertai dengan adanya sejumlah
informasi terdahulu yang digunakan untuk menafsirkan fakta
tersebut. Selanjutnya, otak memberikan penilaian terhadap fakta
tersebut. Penilaian

140 Logika llmu dan Metode Berpikir Ilmiah


ini adalah pemikiran atau kesadaran rasional.
Tidak sebagaimana halnya metode ilmiah, metode rasional
dapat diterapkan pada objek-objek material yang dapat diindra,
namun, juga dapat diterapkan pada objek non-material atau yang
dikenal dengan namanya humaniora dan pemikiran-pemikiran.
Metode berpikir rasional adalah suatu proses berpikir tentang
realitas atau masalah yang dihadapi sebagaimana adanya.
Metode rasional identik dengan definisi dari akal itu sendiri.
Dengan menggunakan metode ini, manusia akan mencapai sebuah
kesadaran tentang hal apa pun. Metode ini merupakan satu-
satunya metode berpikir. Adapun metode ilmiah (scientific method)
dan yang disebut dengan metode logika (logical method) adalah
merupakan cabang dari metode rasional atau merupakan salah
satu cara yang dituntut dalam pengkajian sesuatu.

7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan dalam


Penggunaan Metode Rasional
Dalam menggunakan metode berpikir rasional ada beberapa
hal yang patut untuk kita perhatikan, yakni: (i) Dalam
pendefinisian metode rasional: dan (ii) dalam melakukan
penyimpulan.
Pertama, dalam pendefinisian metode rasional harus
membedakan antara opini (pendapat) terdahulu tentang sesuatu
dengan informasi terdahulu tentang sesuatu atau tentang apa
yang berkaitan dengan sesuatu itu. Yang ada pada metode rasional
haruslah informasi terdahulu bukan opini terdahulu atau
pendapat. Opini terdahulu tidak boleh

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, 141


dan Logika llmu
masuk dalam aktivitas berpikir, apabila ini terjadi-yakni adanya
informasi terdahulu dalam berpikir-maka mengakibatkan
kekeliruan dalam memahami sesuatu.
Kedua, dalam penyimpulan (konklusi). Penyimpulan yang
telah dihasilkan dari metode berpikir rasional harus dilihat
terlebih dahulu berkenaan dengan penilaian terhadap objek yang
menjadi penilaian. Jika kesimpulan tersebut adalah hasil dari
penilaian atas keberadaan (eksistensi) sesuatu, maka
kesimpulannya adalah bersifat pasti (definite).
Adapun, jika kesimpulan tersebut adalah hasil dari penilaian
atas realitas (al-Haqiqah) dari sesuatu, atau sifat (karakteristik)
dari sesuatu, maka kesimpulan tersebut bersifat dugaan, yang
mengandung kemungkinan salah. Akan tetapi, kesimpulan yang
ada tetap merupakan pemikiran yang tepat hingga terbukti
kesalahannya.
7.9: Ringkasan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik- baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan) atau cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan secara efektif,
efisien, dan hasil yang optimal.
Metode berpikir ilmiah, layak untuk dijadikan sebagai asas
bagi metode berpikir. Hal ini disebabkan, ia dapat diterapkan pada
objek-objek material yang dapat diindra, dan kesimpulan yang
dihasilkan darinya tidaklah bersifat (probability) pasti. Dengan
kata lain, metode ilmiah hanya dapat diterapkan pada ilmu yang
sifatnya adalah eksperi-

Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah


mental atau non-humaniora. Metode ilmiah tidak dapat digunakan
kecuali pada pengkajian objek material yang dapat diindra,
khususnya untuk ilmu eksperimental.
Kriteria metode berpikir ilmiah adalah cara yang teratur dan
terpikir baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan,
dan sebagainya) atau cara kerja yang bersistem untuk
memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan
yang ditentukan. Kriteria metode berpikir ilmiah antara lain:
berdasarkan fakta, bebas dari prasangka, menggunakan prinsip
analisis, menggunakan hipotesis, menggunakan ukuran objektif
dan menggunakan teknik kuantifikasi.
Pemikiran ilmiah adalah pemikiran yang sungguh- sungguh.
Artinya, suatu cara yang berdisiplin, di mana seseorang yang
takkan membiarkan idea dan konsep yang sedang dipikirkannya
berkelana tanpa arah, namun kesemuanya itu diarahkan pada
satu tujuan tertentu. Model berpikir ilmiah pada dasarnya,
ditinjau dari sejarah berpikir manusia, terdapat dua pola berpikir
ilmiah. Yang pertama adalah berpikir secara rasional, dan yang
kedua secara empirisme.
Bahasa keilmuan adalah bahasa yang digunakan dalam
penulisan-penulisan ilmiah atau dalam penulisan dalam ilmu
pengetahuan. Ciri ragam bahasa keilmuan adalah: cendekia, lugas,
formal, objektif, konsisten, bertolak dari gagasan, ringkas dan
padat.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, 143


dan Logika llmu
Bab VIII

Logika: Pola Penalaran Langsung


dan Tidak Langsung

8.1. Deskripsi
Logika dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membahas
tentang simpul-menyimpulkan penalaran yang diperoleh dari
sejumlah premis atau pangkal pikir secara tepat atau valid. Unsur-
unsur utama dalam simpul-menyimpulkan suatu penalaran itu
adalah term atau konsep, proposisi (kalimat pernyataan), dan
penyimpulan (inter- versi). Dalam simpul menyimpulkan suatu
penalaran dapat dilakukan secara langsung dari proposisi sebagai
pangkal pikirnya, namun dapat juga dilakukan secara tidak lang-
sung yang harus melalui premis-premis dalam proposisi yang
tersedia. Pada bagian ini dijelaskan tentang pola penalaran yang
langsung disimpulkan dari proposisi yang tersedia.

8.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran dalam topik ini menjelaskan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 145


Ilmu
tentang (i) pengertian logika (ii) pengertian penalaran langsung
dan penalaran tidak langsung; (iii) term dan proposisi; (iv) pola
penalaran tidak langsung (a), konversi; (b) obvers; (c), inversi; dan
(d) kontraposisi. Bagian-bagian tersebut merupakan uraian dasar
tentang logika.

8.3. Logika
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan
logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara
lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi
untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis
yang dipergunakan tersebut dapat juga diartikan dengan masuk
akal.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek
materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/ proses
penalaran) dan objek formal logika adalah berpikir/ penalaran
yang ditinjau dari segi ketepatannya. Sebagai cabang filsafat,
logika merupakan cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini
berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di
Yunani. Dalam usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan
pendapat-pendapatnya, para filsuf Yunani kuno tidak

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


jarang mencoba membantah pikiran yang lain dengan
menunjukkan kesesatan penalarannya.
Logika dapat didefinisikan sebagai: pengkajian untuk berpikir
secara sahih. Logika dipakai untuk menarik kesimpulan dari suatu
proses berpikir berdasar cara tertentu, yang mana proses berpikir
di sini merupakan suatu penalaran untuk menghasilkan suatu
pengetahuan.
Logika secara garis besar dapat dipilahkan dalam dua bagian,
yaitu: induksi dan deduksi. Induksi merupakan suatu cara berpikir
di mana ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum dari berbagai
kasus yang bersifat individual. Deduksi adalah suatu cara berpikir
di mana dari pernyataan yang bersifat umum ditarik kesimpulan
yang bersifat khusus.
Contoh suatu pemikiran induksi: fakta memperlihatkan,
kambing mempunyai mata, gajah mempunyai mata, begitu pula
singa, kucing dan binatang-binatang lainnya. Secara induksi dapat
disimpulkan secara umum bahwa: semua binatang mempunyai
mata.
Contoh suatu pemikiran deduksi: contoh berikut memakai
pola berpikir yang dinamakan silogismus, suatu pola berpikir yang
sering dipakai dalam menarik kesimpulan secara deduksi.
Semua makhluk mempunyai mata (Premis mayor)
Si Polan adalah seorang makhluk (Premis minor)
Jadi si Polan mempunyai mata (Kesimpulan)
Penarikan kesimpulan secara deduksi harus memenuhi
syarat: Premis mayor harus benar. Premis minor harus benar.
Kesimpulan harus sahih (mempunyai keabsahan).
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 147
Ilmu
Selain dua macam logika seperti di atas, masih terdapat jenis-
jenis logika lainnya yaitu: (i) logika deontik; (ii) logika dialektis;
(iii) logika formal; (iv) logika informal; (v) logika kategoris
tradisional; (vi) logika kombinatoral; (vii) logika matematis atau
simbolis; (viii) logika modal; (ix) logika probabilitas; dan (x) logika
simbolik.
8.3.2. Macam-macam Logika
Logika dipilahkan dalam logika alamiah dan logika ilmiah.
Logika alamiah adalah kinerja akal budi manusia yang berpikir
secara tepat dan lurus sebelum dipengaruhi oleh keinginan-
keinginan dan kecenderungan-kecende- rungan yang subjektif.
Kemampuan logika alamiah manusia ada sejak lahir. Sedangkan
logika ilmiah memperhalus, mempertajam pikiran serta akal
budi.Logika ilmiah menjadi ilmu khusus yang merumuskan asas-
asas yang harus ditepati dalam setiap pemikiran. Berkat
pertolongan logika ilmiah inilah akal budi dapat bekerja dengan
lebih tepat, lebih teliti, lebih mudah dan lebih aman. Logika ilmiah
dimaksudkan untuk menghindarkan kesesatan atau, paling tidak,
mengurangi kesesatan.
8.3.3. Kegunaan Logika
Logika digunakan untuk melakukan pembuktian. Logika
mengatakan yang bentuk inferensi yang berlaku dan yang tidak.
Secara tradisional, logika dipelajari sebagai cabang filosofi, tetapi
juga dapat dianggap sebagai cabang matematika.
Adapun kegunaan logika secara terperinci antara lain: (i)
Membantu setiap orang yang mempelajari logika untuk
148 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung
berpikir secara rasional, kritis, lurus, tetap, tertib, metodis dan
koheren; (ii) Meningkatkan kemampuan berpikir secara abstrak,
cermat, dan objektif; (iii) Menambah kecerdasan dan
meningkatkan kemampuan berpikir secara tajam dan mandiri; (iv)
Memaksa dan mendorong orang untuk berpikir sendiri dengan
menggunakan asas- asas sistematis; (v) Meningkatkan cinta akan
kebenaran dan menghindari kesalahan-kesalahan berpikir,
kekeliruan serta kesesatan; dan (vi) Mampu melakukan analisis
terhadap suatu kejadian.

8.4. Penalaran Langsung


Penalaran langsung merupakan penalaran yang premisnya
hanya sebuah proposisi dan langsung disusul dengan proposisi lain
sebagai kesimpulannya. Penalaran langsung ditarik hanya dari
satu premis saja. Penarikan konklusi secara langsung dapat
memberikan keterangan yang lengkap tentang proposisi yang
diberikan, yaitu dengan menyatakan secara eksplisit apa-apa yang
telah dinyatakan secara implisit di dalam premis.
Contoh : semua bintang film memakai sabun Lux (S=P)
jadi, sebagian pemakai sabun Lux adalah bintang film.
Istilah "penalaran langsung" berasal dari Aristoteles untuk
menunjukkan penalaran, yang premisnya hanya terdiri dari
sebuah proposisi saja. Konklusinya ditarik langsung dari proposisi
yang satu itu dengan membandingkan subjek dan predikatnya.
Sistem logika yang mengenai penalaran langsung itu
didasarkan atas proposisi kategorik bentuk S=P seperti

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 149


Ilmu
dijelaskan di atas. Dalam bentuk proposisi kategorik yang
demikian itu baik term untuk subjek maupun untuk predikatnya
menunjuk kepada sesuatu substantif, dan dalam bahasa berupa
kata benda. Kaitan antara subjek dan predikat berdiri sendiri dan
disebut kopula.
Contoh : Kerbau itu binatang
Kerbau (subjek)
Itu (kopula)
Binatang (kata benda)

8.5. Penalaran Tidak Langsung


Pada penalaran tidak langsung dapat diuraikan per-
bedaannya dengan penalaran langsung. Di dalam penalaran tidak
langsung, penarikan konklusinya atas lebih dari satu proposisi.
Apabila konklusinya ditarik dari dua proposisi yang diletakkan
sekaligus, maka bentuknya dinamakan silogisme. Oleh karena
silogisme, merupakan penarikan konklusi secara tidak langsung,
konklusi ditarik dari dua premis, tidak dari satu premis seperti di
dalam penalaran langsung.
Contoh : Semua mahasiswa adalah anak pintar.
Dina adalah mahasiswa.
Dina adalah anak pintar.

8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi


Proposisi adalah pernyataan tentang hubungan yang
terdapat di antara dua term. Suatu proposisi mempunyai tiga
bagian, yaitu subjek, predikat dan satu bagian lagi yang
merupakan suatu tanda yang menyatakan hubungan di antara
subjek dan predikat yang disebut kopula.

150 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


Penarikan konklusi adalah proses mendapatkan suatu
proposisi yang ditarik dari satu atau lebih proposisi, sedangkan
proposisi yang diperoleh mestilah dibenarkan oleh proposisi atau
proposisi-proposisi tempat menariknya, proposisi yang diperoleh ini
disebut konklusi. Proposisi- proposisi yang diberikan disebut
premis dan proposisi yang ditarik dari premis itu disebut konklusi.
Penarikan suatu konklusi dapat bersifat induktif dan
deduktif. Pada deduktif, konklusi tidak mungkin lebih umum
sifatnya daripada premis atau premis-premisnya.
Ada ahli logika yang berpendapat bahwa penarikan konklusi
secara langsung adalah suatu penarikan konklusi karena fungsi
penarikan konklusi secara langsung adalah memberikan
keterangan yang lengkap tentang proposisi yang diberikan, yaitu
dengan menyatakan secara eksplisit apa-apa yang dinyatakan
secara implisit di dalam premis. Proposisi asli mungkin diketahui,
tetapi keterangannya mungkin tidak. Inilah hal yang dinyatakan
dalam penarikan konklusi secara langsung. Karena itu, penarikan
konklusi secara langsung baru merupakan penarikan konklusi bila
menyatakan secara eksplisit apa-apa yang dinyatakan secara
implisit dalam premisnya hingga dengan demikian kita dapat
mengetahui apa-apa yang tidak kita ketahui sebelumnya.
8.7. Jenis Pola Penalaran Langsung
Dalam proposisi kategorik standar kopula itu lambangnya
dalam bahasa berupa kata-kata adalah itu, ialah, sama dengan, dan
sebagainya. Ada kalimat-kalimat

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


yang tidak memakai kopula, akan tetapi menggunakan term yang
menunjuk suatu aktivitas.
Misalnya: "Tidak semua burung berkicau"
"Ia sedang makan"
Aktivitas itu mesti ada yang melakukan dan karena yang
melakukannya itu sama dengan subjek proposisi, maka tanpa
menimbulkan kesalahpahaman subjek yang melakukan aktivitas
itu tidak diulangi. Untuk mengembalikan proposisi semacam itu
menjadi berbentuk standar, subjek yang melakukan aktivitas itu
harus dinyatakan secara eksplisit. Proposisinya yang standar
menjadi: "Tidak semua burung adalah burung yang berkicau" dan
"Ia adalah orang yang sedang makan".
Penalaran langsung dilakukan dengan (i) conversi, (ii)
obyersi, (iii) kontraposisi, (iv) inversi.
8.7.1. Conversi

Conversi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung


dalam mana terjadi transposisi antara subjek dan predikat
proposisi itu.
Proposisi yang diberikan disebut CONVERTEND dan
konklusi yang diambil dari proposisi yang diberikan itu disebut
CONVERSE.
Konklusi yang diperoleh dengan conversi harus berdasarkan
atas prinsip-prinsip:
 Subjek convertend menjadi predikat converse
 Predikat convertend menjadi subjek converse
 Kualitas converse sama dengan kualitas convertend, artinya
kalau convertend afirmatif converse juga afirmatif

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


dan kalau convertend negatif, converse juga negatif
 Term yang tidak tersebar dalam convertend, tidak dapat pula
tersebar dalam converse
Penggunaan prinsip ini pada keempat jenis proposisi:
Conversi "A": conversi "A" memberikan “I”
Menurut prinsip conversi dari ' A" harus afirmatif, artinya
salah satu "A" atau “I". Conversi 'A" tidak mungkin “A" pula, sebab
bila demikian, subjek conversi yang merupakan predikat converse
akan tersebar dalam convertend tidak dapat pula tersebar dalam
converse. Dengan demikian conversi "A" haruslah “I".
Convertend: Semua S adalah P
Converse: Sebagian P adalah S
Semua orang adalah rasional.
Sebagian yang rasional adalah orang.
Conversi "E": Conversi "E" adalah "E" pula
Proposisi "E" adalah negatif dan karena itu converse- nya
haruslah negative pula. Kalau kita tarik proposisi "e" dari proposisi
"E" dengan jalan conversi, tidak akan terjadi pelanggaran
penyebaran term sebab baik subjek maupun predikat dalam
convertend tersebar dan karena itu dapat pula tersebar dalam
converse.
Convertend : Tidak satu pun S adalah P
Converse : Tidak satu pun P adalah S
Tidak seorang pun manusia adalah kuda. Tidak
seekor pun kuda adalah manusia. Conversi "I": Conversi “I"
adalah “I" pula
Karena proposisi “I" adalah afirmatif, conversenya harus
afirmartif pula. Conversenya tidak mungkin "A"

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 153


llmu
karena subjek dalam proposisi “A" tersebar. Jadi kalau kita tarik
proposisi "A" dari proposisi "I" dengan conversi akan terjadi
pelanggaran terhadap prinsip keempat. Karena itu conversi dari
“I" menghasilkan "I" pula.
Convertend : Sebagian S adalah P
Converse : Sebagian P adalah S
Conversi "O" : Conversi tidak dapat dilakukan pada
proposisi "O"
Karena proposisi "O" negatif, maka conversenya harus negatif
pula. Subjek proposisi “O" tidak tersebar. Kalau proposisi “O"
diconversikan subjek akan jadi predikat converse dan dengan
demikian akan menjadi tersebar oleh karena conversenya negatif.
Jadi dengan conversi "A" menjadi "I", "E" menjadi “E", "I"
menjadi "I" , dan "O" tidak dapat diconversikan.
Ada dua macam conversi, yaitu conversi biasa dan conversi
dengan pembatasan.
Dalam conversi biasa, kuantitas converse sama dengan
kuantitas convertend, sedangkan dalam conversi dengan
pembatasan kuantitasnya berubah. Jadi proposisinya
diconversikan peraksiden.
Converse proposisi "O” dengan negasi, artinya dengan
mengubah predikat menjadi negatif, dan dengan demikian berarti
pula mengubah "O" menjadi "I", tidak dapat disebut conversi oleh
karena kualitas proposisi yang diperoleh berbeda dari kualitas
proposisi yang diberikan. Lagi pula subjek proposisi itu bukanlah
predikat premis, tetapi kontadiktori.
Socrates adalah suami Eksantippe.
154 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung
Eksantippe adalah istri Socrates.
8.7.2. Obversi
Obversi adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung
dalam mana terjadi perubahan kualitas proposisi, sedangkan
artinya tetap sama. Dengan kata lain, obversi memberikan
persamaan dalam bentuk negatif bagi proposisi afirmatif, atau
persamaan dalam bentuk afirmatif bagi proposisi negatif.
Prinsip-prinsip obversi:
 Subjek obvertend sama dengan subjek obverse
 Predikat obverse adalah kontradiktori dari predikat obvertend
 Kualitas obverse kebalikan dari kualitas obvertend
 Kuantitas obverse sama dengan kuantitas obvertend
Obversi "A": Obversi “A" adalah "E"
Obvertend : Semua S adalah P

Obverse : Tidak satu pun S adalah bukan P Semua manusia


adalah mortal.
Tidak seorang pun manusia adalah tidak mortal.
Obversi "E" Obversi "E" adalah "A"
Obvertend Tidak satu pun S adalah P
Obverse Semua S adalah tidak P
Tidak seorang pun manusia adalah kuda.
Semua manusia adalah tidak kuda.
Obversi "I" : Obversi "I" adalah "O"
Obvertend Sebagian S adalah P
Obverse Sebagian S adalah tidak P

155
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Sebagian manusia adalah bijaksana.
Sebagian manusia tidaklah tidak bijaksana.
Obversi "O": Obversi "O" adalah "I"
Obvertend: Sebagian S tidaklah P
Obverse : Sebagian S adalah P
Jadi dengan obversi A memberikan E, E memberikan A, I
memberikan O dan O memberikan I.
8.7.3. Kontraposisi

Kontraposisi adalah sejenis penarikan konklusi secara


langsung dalam mana kita menarik konklusi dari satu proposisi
dengan subjek yang kontradiktoris dari predikat yang diberikan.
Konklusi dalam kontraposisi disebut kontrapositif, sedangkan
untuk proposisi yang diberikan tidak ada nama yang tertentu.
Prinsip-prinsip yang berlaku dalam menarik konklusi dengan
kontraposisi adalah sebagai berikut:
Subjek konklusi adalah kontradiktori predikat yang diberikan
• Predikat konklusi adalah subjek proposisi yang diberikan
• Kualitasnya berubah
• Tidak ada term yang tersebar dalam konklusi jika tidak
tersebar pula dalam premis. Kalau penyebaran yang salah
tidak terjadi, kuantitas konklusi sama dengan kuantitas
premis, sedangkan bila ada kemungkinan untuk penyebaran
yang salah, konklusi menjadi khusus meskipun premis
universal.
Kontraposisi adalah bentuk majemuk dari penarikan

156 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


konklusi secara langsung yang mencakup obversi dan conversi.
Dengan singkat prinsip kontraposisi adalah sebagai berikut: mula-
mula obversikan, kemudian conversikan.
Kontraposisi "A"
Proposisi "A" jika obversikan menjadi "E". Dan "E" jika
diconversikan menjadi "E" pula. Karena itu kontraposisi "A" adalah
"E".
A-Semua S adalah P
E- Tidak satu pun S adalah tidak P
E- Tidak satu pun tidak P adalah S
Kontraposisi "E"
Proposisi "E" jika diobversikan menjadi "A", dan “A" kalau
diconversikan menjadi "I".
E- Tidak satu pun S adalah P
A- Semua S adalah tidak P
I- Sebagian tidak P adalah S
Dalam hal ini proposisi yang diberikan adalah universal,
sedangkan kontrapositifnya adalah khusus, karena itu kalau kita
berusaha menarik konklusi dalam bentuk proposisi universal maka
subjek tidak P akan tersebar, sedangkan dalam premis yang kedua
tidak tersebar. Proposisi "I" jika diobversikan menjadi "O” dan
proposisi "O" tidak dapat diconversikan. Proposisi "O" jika
diobversikan menjadi “I", dan "I" jika dikonversikan menjadi "I"
lagi, jadi kontraposisi "O" adalah "I".
0- Sebagian S tidaklah P
1- Sebagian S adalah tidak P
I- Sebagian tidak P adalah S

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Ringkasnya: dengan kontraposisi A menjadi E, E menjadi I, O
menjadi I dan I tidak ada kontraposisinya.

8.7.4. Inversi

Inverse adalah sejenis penarikan konklusi secara langsung


di mana subjek pada konklusi kontradiktori dari subjek
proposisi yang diberikan. Proposisi yang diberikan disebut
invertend dan konklusi disebut inverse.
Ada dua jenis yaitu inverse, yaitu inversi penuh dan inversi
sebagian. Inversi penuh adalah inversi yang predikat inversenya
adalah kontradiktori dari predikat proposisi yang diberikan,
dan inverse sebagian adalah inversi yang predikat inversenya
sama dengan predikat inver- tendnya.
Peraturan-peraturan yang berlaku dalam inverse adalah
sebagai berikut :
1. Subjek inverse adalah kontradiktori dari subjek
invertendnya
2. Dalam inversi sebagian predikat inverse sama dengan
predikat invertendnya, sedangkan dalam inversi penuh
predikat inverse adalah kontradiktori dari predikat
invertendnya.
3. Kuantitas invertend universal dan kuantitas inverse
khusus. Jadi hanya proposisi-proposisi universal saja yang
dapat diinversikan.
4. Dalam inverse penuh kualitas inverse sama dengan
kualitas invertend, sedangkan dalam inversi sebagian
kualitas inverse berbeda dari kualitas invertend. Inversi,
sebagaimana kontraposisi adalah bentuk

158 Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


majemuk daripada penarikan konklusi secara langsung yang mencangkup
obverse dan conversi. Tetapi berbeda dengan kontraposisi, dalam inversi
tidak ada urutan tertentu tentang penggunaan obverse dan inversi.
Tujuannya hanyalah untuk mendapatkan konklusi yang merupakan
kontradiktori daripada subjek proposisi yang diberikan. Dengan tujuan ini
terus menerus kita menarik konklusi dengan conversi dan obversi berganti-
ganti, sampai kita menemukan konklusi yang dikehendaki. Akan tetapi kalau
kita mulai dengan obverse ternyata kita tidak dapat terus, maka kita harus
menghentikannya dan mulai lagi dengan conversi. Demikian pula sebaliknya.
Inversi "A":
Inventend A : semua S adalah P
Obverse ( 1 ) E : Tidak satu pun S adalah tidak P
Converse ( 2 ) E : Tidak satu pun tidak P adalah S
Obverse ( 3 ) A : Semua tidak P adalah tidak S
Converse ( 4 ) 1 : Sebagian tidak S adalah tidak P (Inversi lengkap )
Obverse ( 5 ) O : Sebagian tidak S adalah tidak P (Inversi sebagian)
Kalau kita telah mulai dengan konversi maka kita akan terhenti
sebelum sampai kepada hasilnya.
Invertend A : Semua S adalah P
Inverse I : Sebagian P adalah S
Obverse O : Sebagian P tidaklah tidak S
Karena O tidak dapat diconversikan, maka proses inversi itu terhenti
sebelum kita sampai pada hasilnya. Jadi

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


A menjadi I dengan inverse penuh dan menjadi O dengan Inversi sebagian.
Akan tetapi, haruskah diperhatikan bahwa dalam inverse sebagian P
tersebar, sedangkan dalam invertend tidak tersebar, tetapi karena tidak ada
kesalahan dalam proses obversi dan conversi sewaktu kita menarik konklusi,
maka konklusi benar.
Inversi "E" :
Invertend E : Tidak satu pun S adalah P
Converse (1) E : Tidak satu pun P adalah S
Obverse (2) A: Semua P adalah tidak S
Converse (3) I : Sebagian tidak S adalah P (Inversi bagian)
Obverse (4) O : Sebagian tidak S tidaklah tidak P. (inverse penuh).
Karena itu, E memberikan O dengan inverse penuh dan memberikan I
dengan inversi sebagian. Dalam hal ini, bila untuk pertama kali kita mulai
dengan obversi, maka proses inversi ini tidak akan dapat kita lanjutkan.
Invertend E : Tidak satu pun S adalah P
Obverse (1) A : Semua S adalah tidak P
Converse (2) I: Sebagian tidak P adalah S
Obverse (3) O: Sebagian tidak P tidaklah tidak S
Karena O tidak dapat diconversikan maka inverse ini tidak dapat
dilanjutkan.
Inversi “I" :
Invertend I : Sebagian S adalah P
Converse ( 1 ) I : Sebagian P adalah S
Obverse (2) O: Sebagian P tidaklah tidak S
O tidak dapat diconversikan, inverse ini harus kita
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung
160
hentikan dulu dan kita coba lagi mulai dengan obversi.
Invertend I : Sebagian S adalah P
Obverse (1) O: Sebagian S tidaklah tidak P
Disini pun tidak dapat pula kita conversikan, dan akibatnya kita
tidak dapat menginversikan I.
Inversi "O" :
Invertend O : Sebagian S tidaklah P
Obverse (1 ) I : Sebagian S adalah tidak P
Converse (2) I: Sebagian tidak P adalah S
Observe (3) O: Sebagian tidak P adalah -S
Akan tetapi proposisi kita O tidak dapat kita conversikan dan karena
itu sebaiknya kita coba mula-mula dengan converse
Invertend : Sebagian S adalah tidak P
Proposisi O ini pun tidak dapat pula diconversikan, dan karena itu
proses deduksi ini harus kita hentikan saja dan dengan demikian proposisi O
ini t i d a k d a p a t diinversikan.
Dapatlah sekarang kita ringkas, bahwa dengan inverse penuh, A
memberikan I dan E memberikan O, dengan inverse sebagian, A memberikan
O dan E memberikan I, dan O tidak dapat diinversikan.
Tabel 8.1. di bawah ini dapat memberikan gambaran tentang hasil-hasil
penarikan konklusi secara langsung:

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tabel 8.1.
Rangkuman Pola Penyimpulan Langsung Berdasarkan atas
Kuantitas, Kualitas, dan Posisi S (Subjek) dan P (Predikat) dalam
Suatu Proposisi
Proposisi Conver Obversi Kontra Inversi Inversi
si posisi Penuh sebagian
yang
diberikan
A Semua S I E E I O
adalah P
E Tidak E A I O I
satupun S
adalah P
I Sebagian S I O - - -
adalah P
O Sebagian S - I I - -

tidaklah P

8.8. Ringkasan
Penalaran langsung merupakan pola penyimpulan yang langsung dapat
ditentukan dari proposisi atau kalimat yang tersedia. Kalimat terdiri dari
term S (subjek) dan P (predikat). Melalui kalimat yang dinyatakan dalam
bahasa tersebut maka penyimpulan langsung dapat dilakukan dan dapat
dibuktikan kebenarannya.
Para ahli pikir menggolongkan proposisi dalam empat jenis yaitu
proposisi: (i) A (universal afirmatif); (ii) E (universal negatif); (iii) I (particular
afirmatif); dan O (particular negatif). Penyimpulan langsung dilakukan
dengan cara mempertukarkan proposisi berdasarkan kualitas afirmatif dan
negative, letak S (subjek) dan P (prediket), dan menyimpulkan langsung
melalui kuantitas proposisi.
Empat jenis proposisi dapat dilakukan penyimpulan

Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung


langsung dengan teknik atau cara converse, obverse, kontraposisi, dan
inversi. Oleh sebab itu, terdapat 20 jenis penyimpulan langsung atas suatu
proposisi. Dari 20 proposisi itu, sejumlah 15 proposisi yang penyimpulannya
valid. Lima penyimpulan langsung lainnya dinyatakan tidak valid atau tidak
ditemui kesimpulannya, atau tidak dapat disimpulkan dalam pemahaman
dan penalaran logika.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


163
Bab IX

Pola Penalaran Induksi

9.1. Deskripsi
Pada topik ontologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada
dasarnya hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris
terdapat dalam kegiatan keseharian, dapat diamati (dipotret,
dividco) yang karenanya lingkup ilmu pengetahuan adalah hal-
hal yang dapat diukur (measurable), dan dapat diamati
(observable). Objek empiris dari ilmu adalah mengandung gejala
yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain,
karenanya pula dapat diidentifikasi kecenderungan-
kecenderungan dari gejala yang diamati. Melalui metode
penelaahan yang cermat, maka dapatlah disusun teori yang
tingkat kebenaran (logika)nya yang memiliki probabilitas
kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang
membantahnya.
Uraian berikut merupakan penjabaran dari logika induktif
dengan menempatkan asumsi dasar objek empiris dalam ilmu
pengetahuan.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 165


Logika Ilmu
9.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang: (i) pengertian induksi; (ii) prinsip dalam penalaran
induksi; (iii) generalisasi dan analogi induksi; dan (iv) faktor-
faktor probabilitas.

9.3. Pengertian Penalaran Induksi


Filsuf pada zaman keemasan Yunani, Aristoteles me-
nyatakan bahwa proses peningkatan dari hal-hal yang bersifat
individual kepada yang bersifat universal, disebut sebagai pola
penalaran induksi. Di situ premisnya berupa proposisi-proposisi
singular, sedangkan konklusinya sebuah proposisi universal,
yang berlaku secara umum.
Menurut John Stuart Mill (1806-1873), induksi sebagai
kegiatan budi, di mana kita menyimpulkan bahwa apa yang kita
ketahui benar untuk kasus atau kasus-kasus khusus, juga akan
benar untuk semua kasus yang serupa dengan yang tersebut
tadi dalam hal-hal tertentu.
(“... that operation of the mind, by which we infer that we know
to be true in particular case or cases, will be true in all cases
which resemble the former in certain assignable respects")

9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi


Misalnya, terdapat penalaran sebagai berikut:
Apel 1 keras dan hijau adalah masam.
Apel 2 keras dan hijau adalah masam.
Apel 3 adalah keras dan hijau.
Apel 4 adalah masam.

166 Pola Penalaran Induksi


Premis-premis dari induksi ialah proposisi empiris yang
langsung kembali kepada suatu observasi indra atau proposisi
dasar (basic statement). Proposisi dasar menunjuk kepada fakta,
yaitu observasi yang dapat diuji kecocokannya dengan
tangkapan indra. Pikiran tidak dapat mempersoalkan benar-
tidaknya fakta, akan tetapi hanya dapat menerimanya. Bahwa
apel itu keras, hijau, dan masam, hanya indralah yang dapat
menangkapnya. Sekali indra mengatakan demikian, pikiran
tinggal menerimanya.
Konklusi penalaran induktif itu lebih luas daripada apa
yang dinyatakan di dalam premis-premisnya. Premis- premisnya
hanya mengarahkan bahwa apel yang keras, hijau dan masam
itu hanya dua, apel 1 dan 2. Itulah yang diobservasi dan itulah
yang dirumuskan di dalam premis- premis itu. Kalau dikatakan,
bahwa juga apel 3 itu masam, hal itu tidak didukung oleh
premis-premis penalaran. Menurut kaidah-kaidah logika,
penalaran itu tidak sahih. Pikiran tidak terikat untuk menerima
kebenaran konklusinya.
Meskipun konklusi induksi itu tidak mengikat, akan tetapi
manusia yang normal akan menerimanya, kecuali kalau ada
alasan untuk menolaknya. Jadi konklusi penalaran induktif itu
oleh pikiran dapat dipercaya kebenarannya atau dengan
perkataan lain: konklusi induksi itu memiliki kredibilitas
rasional. Kredibilitas rasional disebut probabilitas. Probabilitas
itu didukung oleh pengalaman, artinya konklusi induksi itu
menurut pengalaman biasanya cocok dengan observasi indra,
tidak mesti harus cocok.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Contoh:
Premis umum : Mata kuliah Filsafat Ilmu adalah mata kuliah
wajib mahasiswa UNAIR semester II.
Premis khusus : Diana, Tyas, dan Tania adalah mahasiswa
UNAIR semester II.
Kesimpulan : Diana, Tyas dan Tania harus mengambil mata
kuliah Filsafat Ilmu.
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi

9.5.1. Generalisasi Induksi


Telah dapat diketahui bahwa, penalaran yang menyim-
pulkan suatu konklusi yang bersifat umum dari premis- premis
yang berupa proposisi empirik itu disebut generalisasi.
Prinsip yang menjadi dasar penalaran generalisasi itu
dapat dirumuskan demikian: "apa yang beberapa kali terjadi
dalam kondisi tertentu, dapat diharapkan akan selalu terjadi
apabila kondisi yang sama terpenuhi
Hasil penalaran Generalisasi induktif itu sendiri juga
disebut generalisasi, generalisasi dalam arti ini berupa suatu
proposisi universal, seperti; semua apel yang keras dan hijau,
rasanya masam. Semua logam yang dipanasi memuai.
Generalisasi yang sebenarnya harus memenuhi tiga syarat
antara lain;
1. Generalisasi harus tidak terbatas secara numerik artinya
generalisasi tidak boleh terikat kepada jumlah tertentu.

2. Generalisasi harus tidak boleh terbatas secara spasio –

168 Pola Penalaran Induksi


temporal. Artinya, tidak boleh terbatas dalam ruang dan
waktu, jadi harus berlaku di mana saja dan kapan saja.
3. Generalisasi harus dapat dijadikan dasar pengandaian
Yang dimaksud dengan "pengandaian" di sini ialah dasar
dari yang disebut 'contary to-facts conditionals' atau
'unfulfilled conditional'.
Generalisasi yang dapat dijadikan dasar untuk pengan-
daian itu yang memenuhi syarat.
Contoh:
Diana adalah mahasiswa UNAIR, rajin dan pandai. Maka
setelah kita melihat karakter Diana yang ketiga memenuhi
keadaan pintar dan rajin, dengan demikian kita dapat
menyimpulkan bahwa diharapkan Diana adalah mahasiswa
UNAIR.
Kesimpulan tadi hanya suatu yang diharapkan, suatu
kepercayaan, karena seperti yang dikatakan tentang perumusan
penalaran Generalisasi yang diterangkan di atas, bahwa
konklusi penalaran induktif tidak mengandung nilai kebenaran
yang pasti, akan tetapi hanya berupa suatu probabilitas, suatu
peluang.
9.5.2. Analogi Induksi
Berbicara tentang analogi adalah berbicara tentang dua
hal yang berlainan, yang satu bukan yang lain, dan dua hal
yang berlainan itu dibandingkan yang satu dengan yang lain,
dengan mengidentifikasi mencari persamaan. Analogi dapat
dimanfaatkan sebagai penjelasan atau sebagai dasar penalaran.
Sebagai penjelasan biasanya

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 169


Logika Ilmu
disebut perumpamaan atau persamaan.
Pada dasarnya bentuk penalaran analogi induksi itu baik
faktor-faktor probabilitasnya maupun kaidah-kaidahnya adalah
sama dengan generalisasi induksi. Tetapi dalam metode
keilmuan analogi induktif itu dapat digunakan untuk
menentukan apakah suatu objek atau fakta itu, dan sifat-sifat
apakah yang dapat diharapkan padanya, sedangkan
generalisasi induksi terutama digunakan untuk menemukan
hukum, menyusun teori, atau hipotesis. Contoh:
Calista mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan pandai
• Michelle mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan
pandai
• Tyas mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin dan
pandai
• Diana mahasiswa UNAIR
• Jadi: Diana mahasiswa UNAIR adalah anak yang rajin
dan pandai.
Jadi analogi induksi tidak hanya menunjukkan persamaan
di antara dua hal yang berbeda, akan tetapi menarik
kesimpulan atas dasar persamaan itu. Dapat dilihat dari contoh
diatas bahwa Calista, Michele, Tyas, adalah mahasiswa UNAIR
yang pintar dan rajin, akan tetapi karena Diana dikumpulkan
sebagai mahasiswa UNAIR maka diambil kesimpulan bahwa ia
adalah anak yang pintar dan rajin sesuai dengan kelompoknya
pembanding tersebut.

Pola Penalaran Induksi


9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas
Jumlah fakta dijadikan dasar penalaran induktif,
kaidahnya dapat dirumuskan sebagai berikut: makin besar
jumlah fakta yang dijadikan dasar penalaran induktif makin tinggi
probabilitas konklusinya, dan sebaliknya.
Kaidah inilah yang menjadi dasar maka dalam usaha
untuk menambah pengetahuan ilmiah, yaitu dalam penelitian,
harus digunakan sebanyak mungkin fakta sebagai dasar
penalarannya. Yang ideal ialah kalau semua fakta dapat
dirumuskan sebagai premis. Jumlah dari semua subjek yang
ditunjuk oleh konklusi yang berupa generalisasi dan berbentuk
proposisi universal itu dalam rangka penelitian disebut
populasi. Penelitian yang menggunakan penalaran yang
menggunakan jumlah fakta yang dijadikan dasar premis-
premisnya sama besarnya dengan populasi subjek yang diteliti
ialah penelitian metode sensus. Berlainan dengan metode
sampling, yang menggunakan penalaran yang premis-
premisnya menunjuk kepada sebagian saja dari populasi yang
bersangkutan.
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas
Jika premis-premis kedua penalaran dibandingkan,
maka di antara premis penalaran ada faktor yang sama yang
disebut faktor analogi. Konklusi menunjuk kepada suatu
populasi yang lebih besar daripada yang ditunjuk oleh premis-
premisnya. Dengan adanya tambahan dua faktor analogi itu
probabilitas menurun.
Jadi jumlah faktor analogi itu adalah faktor probabilitas.
Kaidahnya dapat dirumuskan: makin besar jumlah

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 171


faktor analogi di dalam premis, makin rendah probabilitas
konklusinya dan sebaliknya. Jadi setiap generalisasi induktif
hanya berlaku untuk populasi yang dimaksud oleh premis-
premisnya.
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas
Makin besar jumlah faktor disanalogi di dalam suatu premis,
makin tinggi probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Perbedaan
masing-masing faktor dalam premis penalaran disebut faktor
dis analogi. Probabilitas dalam suatu premis penalaran dapat
dikatakan lebih tinggi atau lebih rendah tergantung dari
banyak sedikitnya kesamaan dan perbedaan konklusi
penalaran.
Hubungan antara faktor analogi dan dis-analogi itu secara
umum dapat dikatakan demikian: populasi yang ditunjuk oleh
generalisasi tidak boleh memiliki anggota yang tidak sesuai
dengan adanya faktor analogi dan dis- analogi di dalam premis.
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas
Semakin luas konklusi sebuah premis, semakin rendah
probabilitasnya dan sebaliknya. Apabila faktor analogi di dalam
generalisasi sedikit, semakin besar kemungkinan generalisasi
atau proporsi itu tidak sesuai lagi kalau anggotanya ada yang
memiliki faktor analogi lebih daripada yang disebut di dalam
generalisasi atau proporsi itu.
Untuk membuktikan bahwa sebuah rumusan memiliki
probabilitas yang diharapkan, harus dicari fakta- fakta yang
mengandung faktor-faktor analogi yang sesuai

172 Pola Penalaran Induksi


dengan faktor-faktor yang terdapat di dalam rumusan tujuan.
Usaha pengumpulan fakta ini dapat dilakukan dengan cara
menyebar angket. Di dalam angket yang digunakan, harus
disebutkan faktor-faktor analogi yang dicari itu. Tanpa
memahami fungsi faktor analogi ini, pengumpulan data
mengenai ketentuan dari fakta yang dicari merupakan suatu
usaha yang tidak mengarah. Faktor analogi jumlahnya tidak
terbatas dan yang dicari adalah yang terpenting dan relevan.
Kumpulan fakta tidak selalu dapat digunakan untuk
menyimpulkan suatu generalisasi. Berapa pun fakta yang cocok
yang telah terkumpul, karena penalarannya itu suatu induksi,
kesimpulannya hanya mengandung probabilitas, sebaliknya bila
ada satu fakta saja yang tidak cocok, kesimpulannya pasti salah.
Ini yang disebut asimetri dalam induksi.
9.6. Studi Kasus
Pak Sastro seorang pegawai negeri yang dipindah-
pindahkan dari tempat satu ke tempat yang lain. Ia baru saja
dipindahkan ke Bogor dan ingin menyekolahkan anaknya yang
keempat di SMA Negeri di kota itu. Ditanya mengapa ia
memilih sekolah negeri, jawabannya "anak saya yang pertama
di SMA Negeri Surabaya dan ia dapat meneruskan ke
Universitas tanpa kesulitan. Anak saya yang kedua di SMA
Negeri Jakarta dan yang ketiga di SMA Negeri di Bandung,
kedua-duanya dapat meneruskan ke Universitas tanpa
kesulitan. Jadi yang keempat saya sekolahkan di SMA Negeri
supaya dapat meneruskan ke Universitas dengan lancar."

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Apakah probabilitasnya naik atau turun?, kalau
diadakan perubahan sebagai berikut:
a. Ketiga anak Pak Sastro yang terdahulu itu semua di SMA
Negeri Surabaya.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan
turun. Hal ini dikarenakan jumlah faktor dis-analogi
semakin sedikit. Terdapat pernyataan bahwa makin besar
jumlah faktor dis-analoginya di dalam premis, makin tinggi
probabilitas konklusinya dan sebaliknya. Faktor dis-
analogi yang rendah pada kasus di atas terjadi karena
ketiga anak Pak Sastro semuanya bersekolah di SMA
Negeri di Surabaya.
b. Anak Pak Sastro tidak empat tetapi sepuluh orang, yang
sembilan sudah di universitas, semuanya dari SMA Negeri
di berbagai tempat. Yang kesepuluh
hendak dimasukkan SMA Negeri di Bogor.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan
naik. Hal ini didasari atas faktor probabilitas yang
pertama yaitu makin besar jumlah fakta yang dijadikan
dasar penalaran induktif, makin tinggi probabilitas
konklusinya. Jumlah fakta yang sebelumnya empat
bertambah hingga sembilan mengakibatkan naiknya
probabilitas.
c. SMA Negeri di Surabaya, Jakarta, dan Bandung itu
gedungnya mentereng, peralatannya lengkap, murid-
muridnya dari golongan orang kaya atau dari masyarakat
golongan atas. Sedangkan di Bogor gedungnya sederhana,
peralatannya lengkap, guru-gurunya berpengalaman, akan
tetapi karena Bogor kota kecil maka

Pola Penalaran Induksi


murid yang kaya atau yang dari kelas atas masyarakat
tidak banyak. Kebanyakan muridnya dari kelas menengah.
Pada konklusi penalaran di atas probabilitasnya akan
turun. Karena seperti yang telah kita ketahui, makin besar
jumlah faktor analogi di dalam premis, maka makin rendah
probabilitas konklusinya. Pada contoh ini, faktor analoginya
terletak pada persamaan karakteristik antara SMA Negeri di
Surabaya, Jakarta, dan Bandung yaitu gedungnya yang
mentereng, peralatannya lengkap, murid- muridnya dari
golongan orang kaya atau dari masyarakat golongan atas.

9.7. Ringkasan
Induksi merupakan pola penalaran untuk melakukan
penyimpulan dalam logika dari kasus-kasus individual atau
partikular menuju kepada kasus-kasus umum/ universal. Pola
penalaran induksi seperti ini disebut sebagai generalisasi
induksi, kesimpulannya berupa pernyataan umum. Dalam
penelitian melalui metode tertentu dilengkapi dengan sejumlah
bukti maka pernyataan umum itu disebut tesis, dan teori,
disebut hukum (law) apabila tingkat bukti kebenarannya tidak
dapat dibantah lagi.
Dalam pola penalaran induksi juga terdapat analogi
induksi, yang kesimpulannya bukan berupa pernyataan umum
seperti generalisasi induksi, namun berupa pernya- taan-
pemyataan yang pembuktiannya mendasarkan pada unsur-
unsur yang sama dengan mengabaikan perbedaan. Pola
penalaran seperti ini disebut sebagai analogi induksi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 175


Logika Ilmu
Analogi atau kias, serupa dengan kasus-kasus tersebut maka
hal-hal yang dinyatakan itu umumnya mendekati ketepatan
atau kebenaran.
Prinsip dasar dalam penyimpulan dalam penalaran induksi
adalah objek empiris, tidak perlu mencapai kebenaran yang
mutlak atau permanen, cukup dengan memiliki peluang
(probabilitas) untuk benar atau tepat. Tingkat-tingkat
kebenaran dalam pola penalaran induksi ditentukan oleh
sejumlah faktor probabilitas yang terdiri dari jumlah fakta,
jumlah faktor analogi, jumlah faktor dis analogi, dan luas
sempitnya kesimpulan.

Pola Penalaran Induksi


Bab X

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah

10.1. Deskripsi
Upaya-upaya untuk dapat menemukan kesimpulan yang
tepat atau benar dilakukan dengan menyusun pola
penalaran sesuai dengan prinsip-prinsip panalaran yang
tepat. Di sisi lain terdapat cara juga untuk menemukan
kesimpulan yang tepat itu dengan cara menghidari pola
penalaran yang sesat. Inilah yang disebut dengan kesesatan
(fallacy) dalam penalaran ilmiah sebagai bagian dalam
pembahasan tentang logika.
Dalam konteks tersebut maka pada bagian ini diuraikan
tentang: (i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa;
(iv) kesesatan relevansi; (v) relevansi kesesatan berpikir
dengan ilmu pengetahuan.
10.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah men-
jelaskan kesesatan berpikir ini meliputi: (i) pengertian, (ii)
klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa; (iv) kesesatan relevansi;
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu pengetahuan.

10.3. Sesat Pikir


Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas
berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau
penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika,
dikenal juga sebagai fallacia/falacy, di mana beberapa jenis
kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi
logis. Kesesatan terjadi karena dua hal:
(i) ketidaktepatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah.
(ii) ketidaktepatan relevansi: pemilihan premis yang tidak tepat;
yaitu membuat premis dari proposisi yang salah. Proses
kesimpulan premis yang caranya tidak tepat; premisnya
tidak berhubungan dengan kesimpulan yang dicari.
Mengikuti John Locke, psikolog dan ahli filsafat pendidikan
John Dewey yang mengidentifikasi beberapa kesesatan berpikir
yang pada akhirnya termanifestasi dalam perilaku yang juga
sesat (Dewey, 1933: 131-134).
Pertama, kesesatan yang terjadi karena subjek sesung-
guhnya jarang berpikir sendiri dan berpikir atau bertindak
sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan orang lain. Ini
dilakukan terutama untuk mencari aman bagi diri sendiri.
Subjek didik yang terbiasa dengan kultur pendidikan seperti ini
tumbuh menjadi manusia bermoralitas heteronom layaknya
sebuah robot berjalan.
Kedua, kesesatan di mana subjek bertindak seakan sangat
menghargai rasio, tetapi kenyataannya tidak menggunakan
rasionya sendiri dengan baik. Rasionalitas hanya

178 Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


muncul sebagai retorika tanpa pernah menjadi nyata secara
substansial dalam cara berpikir dan bertindak. Subjek seperti
ini juga tidak mendengarkan sungguh-sungguh alasan orang
lain, kecuali mengikuti rasa humor, kepentingan, atau
kelompoknya sendiri.
Ketiga adalah kesesatan yang terjadi akibat subjek tidak
terbuka untuk melihat persoalan secara komprehensif; terpaku
hanya pada pendapat atau pendekatan tertentu, orang tertentu,
atau sumber tertentu. Kelompok orang seperti ini menggunakan
rasionya dengan baik, tetapi karena perspektifnya sempit maka
cara menjawab persoalan pun tidak tepat. Sikap mengejar
tujuan dengan bertumpu pada sebuah pola tunggal
mengindikasikan betapa subjek terpasung oleh keyakinan-
keyakinan sesat akibat ketidakmampuan membuka diri dan
melihat berbagai perspektif dan kemungkinan-kemungkinan
berbeda dalam mengejar sebuah tujuan.
Dalam bahasa Francis Bacon, kesesatan berpikir yang pada
gilirannya berimbas pada perilaku yang sesat sesungguhnya
adalah buah dari keterperangkapan subjek dalam idols —
pengetahuan dan kebenaran yang sejatinya semu, tetapi
digunakan begitu saja sebagai stand point karena luput dari
sikap kritis subjek. Kecenderungan menegakkan disiplin dengan
cara-cara kekerasan dan bukan lewat persuasi rasional
mengindikasikan betapa mereka yang mem- praktikkannya
terkolonisasi oleh keyakinan-keyakinan semu seperti itu.
Kemalasan berpikir. Kesesatan yang pada akhirnya berbuah
kekerasan, entah fisik atau psikis, pada dasarnya

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 179


bertumpu pada akar yang sama: kemalasan berpikir. Perilaku
dogmatis, kecenderungan memutlakkan sebuah pendekatan,
ketidakmampuan membuka diri pada kemungkinan kebenaran
lain, serta sikap fragmentaris dan meremehkan atau bahkan
mengabaikan keberagaman perspektif dalam mencari dan
menemukan kebenaran adalah anak-anak kandung yang baik
dari kemalasan berpikir. Pemaksaan kehendak dan cara
berpikir yang dapat berbuntut pada kekerasan adalah akibat
dari ketidakmampuan subjek untuk bersikap kritis terhadap
keyakinan-keyakinannya sendiri.
Imbas negatif seperti itu mudah dipahami ketika
keyakinan-keyakinan sesat pada tingkat tertentu berubah
menjadi, meminjam istilah Dewey, kekuatan tidak kelihatan
(invisible power) yang secara konstan mengendalikan (govern)
subjek dan memaksanya tunduk tanpa memberi ruang
berkembangnya sikap rasional. Subjek yang terkolonisasi oleh
keyakinan-keyakinan sesat pada akhirnya kehilangan
kemampuan distansi, kemampuan yang memungkinkan subjek
tidak begitu saja tunduk pada dorongan-dorongan instingtual
irasional.
Karena itu perlu latihan berpikir, dengan sasaran utama
membantu subjek menyadari kemungkinan adanya keyakinan-
keyakinan semu (idols) dalam pikirannya. Dengan kata lain,
proses pendidikan seharusnya membantu subjek didik
melepaskan diri dari inner ideas- gagasan-gagasan yang diterima
begitu saja tanpa dilihat manfaatnya, tanpa diuji secara kritis,
atau yang hanya diramu dalam kemasan menarik, namun tanpa
unsur baru
180 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
yang memperkaya cara berpikir dan karenanya mencerahkan
(Whitehead, 1967:1-14).
Untuk menghilangkan sikap itu proses pendidikan
harus mampu membangkitkan kesadaran dalam diri subjek
didik bahwa penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta berbagai pendekatan ilmiah yang mendasarinya
bukanlah tujuan akhir (final ends) pendidikan. Penguasaan
pengetahuan dan teori atau pendekatan ilmiah hanyalah
tujuan antara (instrumental ends) yang hanya bermakna
sejauh berkontribusi pada kesejahteraan manusia.
Itu sebabnya yang menjadi satu-satunya persoalan pokok
dalam pendidikan, demikian Whitehead, adalah kehidupan
dengan segala manifestasinya. Itu berarti, pendidikan
seharusnya diarahkan dan bermuara pada pengembangan
kemampuan subjek didik untuk menerapkan pengetahuannya
secara bijak dan tepat. "Education is the acquisition of the art of
the utilization of knowledge", kata Whitehead, sebuah seni yang
pasti tidak mudah untuk ditanamkan tetapi kalau diusahakan
secara sadar dan sistemik berbuah dalam bentuk perilaku yang
beradab.
10.3.1. Klasifikasi Kesesatan Berpikir
Dalam sejarah perkembangan logika terdapat berbagai
macam tipe kesesatan dalam penalaran. Walaupun model
klasifikasi kesesatan yang dianggap baku hingga saat ini belum
disepakati para ahli, mengingat cara bagaimana penalaran
manusia mengalami kesesatan, sangat bervariasi, namun secara
sederhana kesesatan dapat dibedakan dalam

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 181


Ilmu
dua kategori, yaitu kesesatan formal dan kesesatan material.
10.3.1.1. Kesesatan Formal
Kesesatan formal adalah kesesatan yang dilakukan karena
bentuk (forma) penalaran yang tidak tepat atau tidak sahih.
Kesesatan ini terjadi karena pelanggaran terhadap prinsip-
prinsip logika mengenai term dan proposisi dalam suatu
argumen (lihat hukum-hukum silogisme).
10.3.1.2. Kesesatan Material
Kesesatan material adalah kesesatan yang terutama
menyangkut isi (materi) penalaran. Kesesatan ini dapat terjadi
karena faktor bahasa (kesesatan bahasa) yang menyebabkan
kekeliruan dalam menarik kesimpulan, dan juga dapat terjadi
karena memang tidak adanya hubungan logis atau relevansi
antara premis dan kesimpulannya (kesesatan relevansi). Setiap
kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan masing-masing
kata itu dalam sebuah kalimat mempunyai arti yang sesuai
dengan arti kalimat yang bersangkutan. Maka, meskipun kata
yang digunakan itu sama, namun dalam kalimat yang berbeda,
kata tersebut dapat bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam
menentukan arti kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan
kesesatan penalaran.

10.4. Kesesatan Bahasa


Setiap kata dalam bahasa memiliki arti tersendiri, dan
masing-masing kata dalam sebuah kalimat mempunyai arti
yang sesuai dengan keseluruhan arti kalimatnya.
Maka, meskipun kata yang digunakan itu sama, namun dalam
kalimat yang berbeda, kata tersebut dapat

182
Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
bervariasi artinya. Ketidakcermatan dalam menentukan arti
kata atau arti kalimat itu dapat menimbulkan kesesatan
penalaran. Berikut ini adalah beberapa bentuk kesesatan
karena penggunaan bahasa.
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi
Pengucapan terhadap kata-kata tertentu perlu diwaspadai
karena ada suku kata yang harus diberi tekanan. Pengubahan
dalam tekanan terhadap suku kata dapat menyebabkan
pengubahan arti. Karena itu, kurangnya perhatian terhadap
tekanan ucapan dapat menimbulkan perbedaan arti sehingga
penalaran mengalami kesesatan.
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal
Contoh:
• Serang (kota) dan serang (tindakan menyerang dalam
pertempuran).
• Apel (buah) dan apel bendera (menghadiri upacara
bendera).
• Mental (kejiwaan) dan mental (terpelanting).
• Tahu (masakan, makanan) dan tahu (mengetahui sesuatu).
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal
Contoh sebuah iklan: "Dengan 2,5 juta dapat mem bawa
motor". Mengapa bahasa dalam iklan ini termasuk kesesatan
aksentuasi non-verbal (contoh kasus):
Karena motor ternyata baru dapat dibawa (pulang) tidak
hanya dengan uang 2,5 juta, tetapi juga dengan menyertakan
syarat-syarat lainnya seperti slip gaji, KTP,

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 183


rekening listrik terakhir dan keterangan surat kepemilikan
rumah.
Contoh ungkapan: "...Apa" dan "Ha..."
Memiliki arti yang berbeda-beda bila:
• diucapkan dalamkeadaan marah
• diucapkan dalamkeadaan bertanya
• diucapkan untukmenjawab panggilan.
10.4.4. Kesesatan Ekuivokasi
Kesesatan ekuivokasi adalah kesesatan yang disebabkan
karena satu kata mempunyai lebih dari satu arti. Bila dalam
suatu penalaran terjadi pergantian arti dari sebuah kata yang
sama, maka terjadilah kesesatan penalaran.
10.4.4.1. Kesesatan Ekuivokasi Verbal
Adalah kesesatan ekuivokasi yang terjadi pada pem-
bicaraan di mana bunyi yang sama, disalahartikan menjadi dua
maksud yang berbeda.
Contoh: bisa (dapat) dan bisa (racun ular).
Seorang pasien berkebangsaan Malaysia berjumpa dengan
seorang dokter Indonesia. Setelah diperiksa, dokter memberi
nasihat, "Ibu perlu menjaga makanannya."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ayam?". Sang
dokter menjawab "Bisa."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan ikan?". Sang
dokter menjawab "Bisa."
Sang pasien bertanya, "Boleh saya makan sayur?". Sang
dokter menjawab "Bisa."
Sang pasien marah lalu membentak "Kalau semua bisa
(beracun), apa yang saya hendak makan ?"

184 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


• teh (tumbuhan, jenis minuman) dan teh (bahasa Sunda,
kata imbuhan).
• buntut (ekor) dan buntut (anak kecil yang mengikuti ke
mana pun seorang dewasa pergi).
• menjilat (es krim) dan menjilat (ungkapan yang dikenakan
pada seseorang yang memuji berlebihan dengan tujuan
tertentu).
10.4.4.2. Kesesatan Ekuivokasi Non-Verbal
Kesesatan ekuivokasi non-verbal melalui contoh
berikut: (i) menggunakan kain atau pakaian putih-putih berarti
orang suci. Di India wanita yang menggunakan kain sari putih-
putih umumnya adalah janda; (ii) bergandengan sesama jenis
pasti homo; (iii) menggelengkan kepala (berarti tidak setuju),
namun di India menggelengkan kepala dari satu sisi ke sisi yang
lain menunjukkan kejujuran.
10.4.4.3. Kesesatan Amfiboli
Kesesatan Amfiboli (gramatikal) adalah kesesatan yang
dikarenakan konstruksi kalimat sedemikian rupa sehingga
artinya menjadi bercabang. Ini dikarenakan letak sebuah kata
atau term tertentu dalam konteks kalimatnya. Akibatnya timbul
lebih dari satu penafsiran mengenai maknanya, padahal hanya
satu saja makna yang benar sementara makna yang lain pasti
salah.
Contoh: "Dijual kursi bayi tanpa lengan".
Arti 1: Dijual sebuah kursi untuk seorang bayi tanpa lengan.
Arti 2: Dijual sebuah kursi tanpa dudukan lengan khusus untuk
bayi.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Penulisan yang benar adalah: Dijual kursi bayi, tanpa
lengan kursi.
Contoh lain: "Kucing makan tikus mati".
Arti 1: Kucing makan, lalu tikus mati
Arti 2: Kucing makan tikus lalu kucing tersebut mati
Arti 3: Kucing sedang memakan seekor tikus yang sudah
mati.
"(en) Panda eat shoots and leaves"
Arti 1: Panda makan, lalu menembak, kemudian pergi.
Arti 2: Seekor panda memakan pucuk bambu dan dedaunan.
"Ali mencintai kekasihnya, dan demikian pula saya!"
Arti 1: Ali mencintai kekasihnya, dan saya juga mencintai
kekasih Ali.
Arti 2: Ali mencintai kekasihnya dan saya juga mencintai
kekasih saya.
10.4.4.4. Kesesatan Metaforis
Disebut juga (fallacy of metaphorization) adalah
kesesatan yang terjadi karena pencampuradukan arti kiasan
dan arti sebenarnya. Artinya, terdapat unsur persamaan dan
sekaligus perbedaan antara kedua arti tersebut. Tetapi bila
dalam suatu penalaran arti kiasan disamakan dengan arti
sebenarnya maka terjadilah kesesatan metaforis, yang
dikenal juga kesesatan karena analogi palsu. Contoh:
"Pemuda adalah tulang punggung negara"
Penjelasan kesesatan: Pemuda di sini adalah arti se-
benarnya dari orang-orang yang berusia muda, sedangkan
tulang punggung adalah arti kiasan karena negara tidak
memiliki tubuh biologis dan tidak memiliki tulang
186 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
punggung layaknya makhluk vertebrata.
Pencampuradukan arti sebenarnya dan arti kiasan dari
suatu kata atau ungkapan ini sering kali disengaja seperti yang
terjadi dalam dunia lawak. Kesesatan metaforis ini dikenal pula
dengan nama kesesatan karena analogi palsu.
Lelucon di bawah ini adalah contoh dari kesesatan
metaforis:
Pembicara 1: Binatang apa yang haram?
Pembicara 2: Babi
P 1 : Binatang apa yang lebih haram dari binatang yang haram?
P2 : ?
P1 : Babi hamil! Karena mengandung babi. Nah,
sekarang binatang apa yang paling haram? Lebih haram
daripada babi hamil?
P2 : ?
P1 : Babi hamil diluar nikah! Karena anak babinya anak
haram..
10.5. Kesesatan Relevansi
Kesesatan relevansi adalah sesat pikir yang terjadi karena
argumentasi yang diberikan tidak tertuju kepada persoalan
yang sesungguhnya, tetapi terarah kepada kondisi pribadi dan
karakteristik personal seseorang (lawan bicara) yang
sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi
argumennya.
Kesesatan ini timbul apabila orang menarik kesimpulan
yang tidak relevan dengan premis nya. Artinya secara

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


187
logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak
merupakan implikasi dari premisnya.
Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi
tidak menampakkan adanya hubungan logis antara premis
dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan
adanya hubungan, namun kesan adanya hubungan secara
psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh.
Kesesatan relevansi ini terdiri dari: (i)Argumentum ad
Hominem, (ii) Argumentum ad Baculum, (iii) Argumentum ad
Populum, (iv) Argumentum Auctoritatis, (v) Argumentum ad
Verecundiam, (vi)Ignoratio Elenchi, (vii) Argumentum ad
Ignoratiam, (viii) Petitio Principii, (ix) Kesesatan non Causa Pro
Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc/False Cause) (x) Kesesatan
Aksidensi (xi) Kesesatan karena Komposisi dan Divisi (xii)
Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks.
10.5.1.Argumentum ad Hominem 1
Argumentum ad hominem adalah argumen diarahkan untuk
menyerang manusianya secara langsung. Penerapan argumen
ini dapat menggambarkan tindak pelecehan terhadap pribadi
individu yang menyatakan sebuah argumen.
Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan
kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang
sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi
argumennya. Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek
penilaian psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat
terjadi karena perbedaan

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


pandangan.
Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum
ad hominem 1 adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal
yang melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.
Contoh 1:
"Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena
seseorang itu pendek".
Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola
lampu dengan menggunakan alat bantu tangga tidak
tergantung dari tinggi/ pendeknya seseorang.
Contoh 2:
"Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang
cantik sebagai pemenang, bukan karena suaranya yang
bagus tapi karena parasnya yang lebih cantik
dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara
kandidat lain ada yang lebih bagus".
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2
Berbeda dari argumentum ad hominem 1, argumentum ad
hominem 2 menitikberatkan pada hubungan yang ada diantara
keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya
argumentum ad hominem 2 ini menunjukkan pola pikir yang
diarahkan pada pengutamaan kepentingan pribadi; yaitu: suka-
tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal
yang berkaitan dengan SARA.
Contoh 3:

Pembicara G: Saya tidak setuju dengan apa yang

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Pembicara S katakan karena ia bukan orang X.
Kesesatan: ketidaksetujuan bukan karena hasil penalaran
dari argumentasi, tetapi karena lawan bicara berbeda agama
atau kelompok.
Bila ada dua orang yang terlibat dalam sebuah konflik
atau perdebatan, ada kemungkinan masing-masing pihak tidak
dapat menemukan titik temu dikarenakan mereka tidak
mengetahui apakah argumen masing-masing itu benar atau
keliru. Hal ini terjadi ketika masing-masing pihak berargumen
atas dasar titik tolak dari ruang lingkup yang berbeda satu
sama lain.
Contoh 4:
"Argumentasi apakah Isa adalah Tuhan Yesus (Kristen)
ataukah seorang nabi (Islam)."
Ini adalah sebuah contoh argumentasi yang tidak me-
nemukan titik temu karena berangkat dari keyakin- an dan
ilmu agama yang berbeda
Contoh 5:
"Dosen yang tidak meluluskan mahasiswanya karena
mahasiswanya berasal dari suku yang ia tidak suka dan
sering protes di kelas, bukan karena prestasi akademiknya
yang buruk."
Argumentum ad hominem 1 dan argumentum ad hominem
2 adalah argumentasi-argumentasi yang mengarah kepada
hal-hal negatif dan biasanya melibatkan emosi.
10.5.3. Argumentum ad Baculum
Argumentum ad baculum (latin: baculus berarti tongkat

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


atau pentungan) adalah argumen ancaman mendesak orang
untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan bahwa
jika ia menolak untuk membawa akibat yang tidak diinginkan.
Argumentum ad baculum banyak digunakan oleh orang tua
agar anaknya menurut pada apa yang diperintahkan, contoh
menakut-nakuti anak kecil:
"Bila tidak mau mandi nanti didatangi oleh wewe gombel
(sejenis hantu yang mengerikan)."
Argumen ini dikenal juga dengan argumen ancaman yang
merupakan pernyataan atau keadaan yang mendesak orang
untuk menerima suatu konklusi tertentu dengan alasan jika
menolak membawa akibat yang tidak diinginkan.
Contoh argumentum ad baculum:
1. Seorang anak yang belajar bukan karena ia ingin lebih
pintar tapi karena kalau ia tidak terlihat sedang belajar,
ibunya akan datang dan mencubitnya.
2. Pengendara motor yang berhenti pada lampu merah bukan
karena ia menaati peraturan tetapi karena ada polisi yang
mengawasi dan ia takut ditilang.
3. Pegawai bagian penawaran yang berbohong kepada
pembeli agar produk yang ia jual laku, karena ia takut
dipecat bila ia tidak melakukan penjualan.
Jenis argumentum ad baculum yang juga dapat terjadi
adalah mengajukan gagasan (yang sering kali bersifat tuntutan)
agar didengar dan dipenuhi oleh pihak penguasa, namun
gagasan itu didasari oleh penalaran yang sama sekali irasional
dan argumen yag dikemukakan tidak memper-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


lihatkan hubungan logis antara premis dan kesimpulannya.
"Penolakan mahasiswa akan skripsi sebagai syarat
kelulusan dengan alasan skripsi mahal dan menjadi akal-
akalan dosen."
10.5.4, Argumentum ad Misericordiam
Misericordiam berasal dari bahasa Latin misericordia
artinya belas kasihan merupakan sesat pikir yang sengaja
diarahkan untuk membangkitkan rasa belas kasihan lawan
bicara dengan tujuan untuk memperoleh pengampunan/
keinginan.
Contoh:
1. Pengemis yang membawa anak bayi tanpa celana dan
digeletakkan tidur di trotoar.
2. Pencuri motor yang beralasan bahwa ia miskin dan tidak
dapat membeli sandang dan pangan.
10.5..5. Argumentum ad Populum
Populum berasal dari bahasa Latin: populus berarti rakyat
atau massa. Argumentum ad populum adalah argumen yang
dibuat untuk menghasut massa, rakyat, kelompok untuk
membakar emosi mereka dengan alasan bahwa pemikiran yang
melatarbelakangi suatu usul atau program adalah demi
kepentingan rakyat atau kelompok itu sendiri. Argumen ini
bertujuan untuk memperoleh dukungan atau membenarkan
tindakan si pembicara.
Di sini pembuktian logis tidak diperlukan atau tidak
digunakan. Yang dipentingkan ialah menggugah perasaan
massa pendengar, membangkitkan semangat dan membakar
emosi orang banyak agar menerima suatu pernyata-

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


an tertentu.
10.5.6. Argumentum Auctoritatis
Auctoritatis dari bahasa Latin: auctoritas berarti ke-
wibawaan adalah sesat pikir di mana nilai penalaran ditentukan
oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya.
Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya
karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah
terkenal karena keahliannya.
Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan
sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan
penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari
siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).
Argumentasi ini sangat mirip dengan argumentum ad hominem,
bedanya dalam argumentum ad hominem yang menjadi acuan
adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan (dilihat dari
disenangi atau tidak disenangi), maka dalam argumentum
auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam
masyarakat/keahliannya/kewibawaannya) yang
mengemukakan.
Contoh:
 Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.
 Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.
 Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.
 Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.
 "Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan
benar karena beliau adalah seorang pemimpin

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


yang brilian, seorang tokoh yang sangat dihormati, dan
seorang dokter yang jenius"
10.5.7. Argumentum ad Verecundiam
Argumentum ad verecundiam adalah argumentasi yang
diberikan dengan sengaja tidak terarah kepada persoalan yang
sesungguhnya, tetapi dibuat sedemikian rupa untuk
membangkitkan perasaan malu si lawan bicara.
Contoh 1:
Pembicara G: "Saya merasa aneh mengapa Pembicara S tidak
setuju dengan pernyataan saya."
Pembicara S: "Memang kamu orang aneh.."
Argumentum ad verecundiam juga digunakan sebagai
pembenaran, dan sering dipakai dalam iklan:
Contoh 2: "Orang pintar pasti minum jamu tolak angin!"
Contoh 3: "Bila anda benar-benar seorang pembela
kebenaran maka anda pasti akan membenarkan apa yang saya
katakan karena yang saya katakan ini adalah benar"
10.5.8. Ignoratio Elenchi
Ignoratio elenchi adalah kesesatan yang terjadi saat
seseorang menarik kesimpulan yang sebenarnya tidak memiliki
relevansi dengan premisnya. Loncatan sembarangan dari premis
ke kesimpulan yang memiliki hubungan semu (tidak benar-
benar berhubungan) biasanya dilatarbelakangi oleh prasangka,
emosi, dan perasaan subjektif. Igno- ration elenchi juga dikenal
sebagai kesesatan penggambaran seseorang (image), "halo
impact", atau stereotyping.
Contoh:
1. Orang yang baru keluar dari penjara pasti jahat.
194 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah
2. Orang Madiun pasti komunis.
3. Si Ucup kalau datang pasti hendak berutang.
4. Orang Sagitarius pasti playboy.
5. Anak bungsu pasti manja.
6. Seorang wanita terlihat di lokalisasi pasti pelacur
(padahal ia pedagang nasi bungkus).
Ignoratio elenchi mirip dengan generalisasi, namun
pernyataan yang dapat digolongkan ke dalam kesesatan ini
lompatan kesimpulannya sangat jauh.
10.5.9. Argumentum ad Ignoratiam
Argumentum ad ignoratiam adalah kesesatan yang terjadi
dalam suatu pernyataan yang dinyatakan benar karena
kesalahannya tidak terbukti salah, atau mengatakan sesuatu
itu salah karena kebenarannya tidak terbukti ada.
Contoh 1: "Tuhan, setan, dan hantu itu tidak ada karena...
belum pernah lihat."
Contoh 2: "Seorang tersangka pencuri didakwa bersalah karena
pada saat kejadian ia sedang tidur sendirian di
rumahnya dan tidak memiliki alibi atau orang
yang bersaksi yang melihat bahwa ia benar sedang
tidur."
Contoh 3: "Dinosaurus itu tidak ada karena...dinosaurus itu apa
sih?"
Pernyataan di atas merupakan sesat pikir karena belum
tentu bila seseorang tidak mengetahui sesuatu itu ada atau
tidak bukan berarti sesuatu itu benar-benar tidak ada.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


195
10.5.10. Petitio Principii
Petitio principii adalah kesesatan yang terjadi dalam
kesimpulan atau pernyataan pembenaran di mana di dalamnya
premis digunakan sebagai kesimpulan dan sebaliknya,
kesimpulan dijadikan premis. Sehingga meskipun rumusan
(teks/kalimat) yang digunakan berbeda, sebetulnya sama
maknanya.
Contoh: "Belajar logika berarti mempelajari cara berpikir tepat,
karena di dalam berpikir tepat ada logika."
"Guru: "Kelas dimulai jam 7:30 kenapa kamu datang jam 8:30?"
Murid: "Ya, karena saya terlambat.."
Kesesatan petitio principii juga dikenal karena pernyataan
berupa pengulangan prinsip dengan prinsip.
10.5.11. Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc
Ergo Propter Hoc/False Cause)
Kesesatan yang dilakukan karena penarikan penyimpulan
sebab-akibat dari apa yang terjadi sebelumnya adalah penyebab
sesungguhnya suatu kejadian berdasarkan dua peristiwa yang
terjadi secara berurutan. Orang lalu cenderung berkesimpulan
bahwa peristiwa pertama merupakan penyebab bagi peristiwa
kedua, atau peristiwa kedua adalah akibat dari peristiwa
pertama —padahal urutan waktu saja tidak dengan sendirinya
menunjukkan hubungan sebab-akibat.
Kesesatan ini dikenal pula dengan nama kesesatan post-
hoc ergo propter hoc (sesudahnya maka karenanya).
Contoh: "Seorangpemuda setelah diketahui baru putus

Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


cinta dengan pacarnya, esoknya sakit. Tetang-
ganya menyimpulkan bahwa sang pemuda sakit
karena baru putus cinta."
Kesesatan: Padahal diagnosis dokter adalah si pemuda terkena
radang paru-paru karena kebiasaannya merokok
tanpa henti sejak sepuluh tahun yang lalu.

10.5.12. Kesesatan Aksidensi


Adalah kesesatan penalaran yang dilakukan oleh seseorang
bila ia memaksakan aturan-aturan atau cara-cara yang bersifat
umum pada suatu keadaan atau situasi yang bersifat
aksidental; yaitu situasi yang bersifat kebetulan, tidak
seharusnya ada atau tidak mutlak.
Contoh:
1. Gula baik karena gula adalah sumber energi, maka gula
juga baik untuk penderita diabetes.
2. Orang yang makan banyak daging akan menjadi kuat dan
sehat, karena itu vegetarian juga seharusnya makan banyak
daging supaya sehat.

10.5.13. Kesesatan karena Komposisi dan Divisi


Kesesatan karena komposisi terjadi bila seseorang berpijak
pada anggapan bahwa apa yang benar (berlaku) bagi individu
atau beberapa individu dari suatu kelompok tertentu pasti juga
benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif.
Contoh:
1. Badu ditilang oleh polisi lalu lintas di sekitar jalan Sudirman
dan Thamrin dan polisi itu meminta uang

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 197


Ilmu
sebesar Rp. 100.000 bila Badu tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu
lintas di sekitar jalan Sudirman dan Thamrin adalah pasti pelaku pemalakan.
2. Maulana W. Kusuma anggota KPU sekaligus dosen kriminologi di UI
melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di UI pasti
koruptor. Kesesatan karena divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa
apa yang benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif pasti juga
benar (berlaku) bagi individu-individu dalam kelompok tersebut.
Contoh 1: "Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota
DPR, maka Yahya Zaini juga korupsi."
Contoh 2: Umumnya pasangan artis-artis yang baru menikah pasti lalu
bercerai.
Dona Agnesia dan Darius adalah pasangan artis
yang baru menikah, pasti sebentar lagi mereka bercerai.
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks
Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks ini bersumber pada pertanyaan
yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai
pertanyaan yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Oleh
karena itu pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar
mengatakan ya atau tidak.
Contoh:
 "Bagaimana, masih senang begituan?"
 "Kamu sedang itu ya?"

198 Kesesatan dalam Berpikir Ilmiah


10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan ilmu
Pengetahuan
10.6.1. Relevansi dengan llmu Politik

Sama halnya dengan ilmu sosial lainnya, metode ilmiah yang digunakan
dalam ilmu politik menggunakan model deduksi, yaitu melihat hal-hal yang
bersifat umum dahulu kemudian baru melihat hal-hal yang bersifat khusus
(deduksi). Ruang lingkup yang dipelajari ilmu politik sangat luas. Tidak hanya
masalah-masalah mengenai negara saja, tetapi juga banyak mempelajari
tentang kekuasaan, cara mengelolanya, kebaikan bersama dan
masalah lainnya yang saling berkaitan. Oleh karena itu para
ahli ilmu politik melihat sebuah permasalahan dari hal- hal yang bersifat
umum atau cakupan yang luas, baru kemudian mengambil beberapa masalah
yang dibahas lebih spesifik.

Pada ilmu politik terdapat sejumlah perdebatan mengenai pendekatan-


pendekatan yang digunakan. Ada yang berpendapat tentang pendekatan
normatif yang membahas baik buruk dan pendekatan perilaku yang
memusatkan pada tingkah laku perilaku manusia pada perilaku politiknya.
Namun kebanyakan ahli menggunakan pendekatan perilaku dalam
metode pengamatannya. Dengan pendekatan tersebut para ahli dapat
memprediksi gejala-gejala politik yang akan terjadi melalui tingkah laku aktor
politik dan masyarakat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


10.6.2. Relevansi dengan Antropologi
Sama halnya dengan ilmu politik, antropologi juga
menggunakan model deduksi dalam melihat permasalahan.
Perbedaannya hanya pada ruang lingkup pembahasannya.
Antropologi lebih banyak mempelajari budaya- budaya di
masyarakat baik itu yang bersifat materiil ataupun yang
bersifat non-materiil.
Perbedaan yang lain adalah adanya metode observasi
dengan melakukan penggalian. Penggalian tersebut
dimaksudkan untuk memperoleh benda-benda yang dapat
dijadikan sumber pengetahuan tentang budaya dan
perkembangannya.
Antropologi juga lebih banyak menggunakan metode
empiris. Alasan digunakannya metode tersebut adalah karena
banyak pengetahuan dalam Antropologi yang diperoleh dari
pengalaman-pengalaman dan pengamatan- pengamatan.

10.7. Ringkasan
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas
berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau
penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika,
dikenal juga sebagai fallacia/falaccy, di mana beberapa jenis
kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi
logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: (i) ketidaktepatan
bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan (ii)
ketidaktepatan relevansi.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh
bahasa adalah (i) kesesatan aksentuasi terdiri dari (a)
Kesesatan aksentuasi verbal dan (b) kesesatan aksentuasi non-verbal; (ii)
kesesatan ekuivokasi yang terdiri dari (a) kesesatan ekuivokasi verbal dan (b)
kesesatan Ekuivokasi non-verbal; (iii) kesesatan amfiboli; dan (iv) kesesatan
metaforis.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh Relevansi
adalah (i) argumentum ad Hominem 1; (ii) argumentum ad Hominem 2; (iii)
argumentum ad baculum; (iv) argumentum ad misericordiam; (v) argumentum ad
populum; (vi) argumentum auctoritatis; (vii) argumentum ad verecundiam; (viii)
ignoratio elenchi; (ix) argumentum ad ignoratiam; (x) petitio principii; (xi)
kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc / false cause); (xii)
kesesatan aksidensi; (xiii) kesesatan karena komposisi dan divisi; dan (xiv)
kesesatan karena pertanyaan yang kompleks.
Kesesatan, menurut John Locke terjadi karena subjek sesungguhnya
jarang berpikir sendiri atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan
dilakukan orang lain.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu



Bab XI

Etika Ilmu

11.1. Deskripsi

Pembahasan tentang hubungan antara ilmu dan etika,


membangun masyarakat ilmiah, dan menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan semuanya berhubungan pada
cabang filsafat ilmu. Ilmu merupakan pengetahuan yang kita
kenal sejak bangku sekolah dasar sampai pendidikan lanjutan
dan perguruan tinggi. Berfilsafat tentang ilmu berarti kita
berterus terang kepada diri kita sendiri. Dari sub-sub pokok
bahasan itulah maka kita perlu membahas secara lebih dalam
tentang unsur-unsur ilmu dan etika seperti kehendak manusia
yang bebas, tujuan dari suatu perilaku cara atau jalan yang
digunakan untuk mencapai tujuan, akibat yang ditimbulkan
oleh masyarakat, tentang adanya pilihan bebas atau tidak,
pemahaman tentang ada batas atau tidak ada batas nilai baik
dan buruk itu, konsep tentang kesadaran moralitas adanya
hakikat manusia, adanya hakikat Tuhan, perlawanan etis
terhadap nilai baik dan buruk, dinamika diri manusia, yang
mana

203
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan LogikaIlmu
mencari keseimbangan moral, sifat keras kepala dan hilangnya
rasa malu dan dosa dari perilaku manusia.
Yang penting adalah bahwa prosesnya, baik dalam
analisis maupun pembuktiannya, kita dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak.
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran
yang dapat diandalkan sebagai titik awal dari penjelajahan
pengetahuan tanpa menetapkan kriteria tentang apa yang
disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain
berkembang di atas kebenaran, tanpa menetapkan apa yang
disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara
tentang moral.
Untuk membangun masyarakat ilmiah menuju
masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan dan hubungan antara
ilmu dan etika yang merupakan bagian dari ilmu humaniora
belum memperoleh perhatian dari masyarakat atau para
peneliti (sarjana). Dari sisilah masyarakat luas sangat
membutuhkan terbentuknya konsep etika dan ilmu yang dapat
mengembangkan sikap dan perilaku yang baik di satu pihak
dan menghilangkan, melenyapkan sikap dan perilaku buruk
seperti perilaku penyimpangan dan kejahatan.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan
yang diharapkan dapat meminimalakan dan menghentikan
perilaku menyimpang di kalangan masyarakat. Untuk itu,
pengkajian kita difokuskan pada usaha meningkatkan peranan
ilmu sebagai sumber moralitas dalam mendukung
pengembangan kebudayaan.

204 Etika Ilmu


11.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang (i) pengertian etika ilmu; (ii) hubungan ilmu dan etika;
(iii) membangun masyarakat ilmiah; (iv) menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan; dan (v) relevansi etika ilmu.
11.3. Pengertian Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang
berarti a sistem of moral principles or rules of behaviour, atau
suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan
tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat
berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the
branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral.
Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral
principles that govern or influence a person's behaviour, prinsip-
prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung
arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak
moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung
pencarian kehidupan yang baik secara moral.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang
apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak,

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu |


watak perasaan, sikap, cara berpikir. Dalam bentuk jamak (ta
etha) artinya adalah adat kebiasaan. Jadi, jika kita membatasi
diri pada asal usul kata ini, maka "etika" berarti ilmu tentang
apa yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Arti inilah yang menjadi latar belakang bagi terbentuknya
istilah "etika" yang oleh Aristoteles (384-322 SM.) sudah
dipakai untuk menunjukkan filsafat moral. Etika secara lebih
detail merupakan ilmu yang membahas tentang moralitas atau
tentang manusia sejauh berkaitan dengan moralitas.
Penyelidikan tingkah laku moral dapat diklasifikasikan dalam
(i) etika deskriptif; (ii) etika normatif; (iii) metaetika.
Pertama, etika deskriptif yang mendeskripsikan tingkah
laku moral dalam arti luas, seperti adat kebiasaan, anggapan
tentang baik dan buruk, tindakan-tindakan yang
diperbolehkan atau tidak diperbolehkan. Objek penyelidi-
kannya adalah individu-individu, kebudayaan- kebudayaan.
Kedua, etika normatif. Dalam hal ini, seseorang dapat
dikatakan sebagai participation approach karena yang
bersangkutan telah melibatkan diri dengan mengemukakan
penilaian tentang perilaku manusia, la tidak netral karena
berhak untuk mengatakan atau menolak suatu etika tertentu.
Ketiga, metaetika. Awalan meta (Yunani) berarti
"melebihi", "melampaui". Metaetika bergerak seolah-olah
bergerak pada taraf lebih tinggi daripada perilaku etis, yaitu
pada taraf "bahasa etis" atau bahasa yang digunakan di bidang
moral.
206Etika Ilmu
Dari beberapa definisi di atas, tampak jelas bahwa kajian
tentang etika sangat dekat dengan kajian moral. Etika
merupakan sistem moral dan prinsip-prinsip dari suatu
perilaku manusia yang kemudian dijadikan sebagai
standardisasi baik-buruk, salah-benar, serta sesuatu yang
bermoral atau tidak bermoral. Merujuk pada hubungan yang
dekat antara etika dengan moral, berikut sedikit dibahas
tentang ragam pengertian moral.
Moral berarti concerned with principles of right and wrong
behaviour, or standard of behaviour, sesuatu yang menyangkut
prinsip benar dan salah dari suatu perilaku dan menjadi
standar perilaku manusia.
Moral berasal dari bahasa Latin moralis (kata dasar mos,
moris) yang berarti adat istiadat, kebiasaan, cara, dan tingkah
laku. Bila dijabarkan lebih lanjut moral mengandung empat
pengertian; (i) baik-buruk, benar-salah, tepat- tidak tepat
dalam aktivitas manusia, (ii) tindakan benar, adil, dan wajar,
(iii) kapasitas untuk diarahkan pada kesadaran benar-salah,
dan kepastian untuk mengarahkan kepada orang lain sesuai
dengan kaidah tingkah laku yang dinilai benar-salah, dan (iv)
sikap seseorang dalam hubungannya dengan orang lain.
Etika juga berarti "timbul dari kebiasaan" adalah cabang
utama dari filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas. Etika
mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar, salah,
baik, buruk dan tanggung jawab.
Etika sering kali disebut filsafat moral. Etika dan moral
sama artinya, tetapi dalam penilaian sehari-hari ada sedikit
perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan
yang sedang dinilai. Adapun etika dapat dipakai untuk
pengkajian sistem nilai yang ada. Istilah moral berasal dari
kata Latin mores, yang merupakan bentuk jamak dari mos yang
berarti adat istiadat atau kebiasaan.

11.4. Hubungan antara llmu dan Etika


Etika adalah sebuah ilmu dan bukan sebuah ajaran. Jadi,
etika dan ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama.
Yang mengatakan bagaimana bila harus hidup, bukanlah etika
melainkan ajaran moral. Ilmu dan etika sebagai suatu
pengetahuan yang diharapkan dapat meminimalkan dan
menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan di
kalangan masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika
diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di
lingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi
cendekiawan yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia.
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang
dimiliki oleh individu ataupun kelompok untuk menilai apakah
tindakan-tindakan yang telah dikerjakannya itu salah atau
benar, buruk atau baik. Dengan begitu dalam proses
penilaiannya ilmu sangat berguna dalam menentukan arah
dan tujuan masing-masing orang.
Etika sebagai ilmu ketertiban di mana pokok masalah
moralitas dipelajari. Singkatnya, ilmu tata susila adalah ilmu
moralitas. Ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan
manusia tanpa merendahkan martabat seseorang. Masalah
moral tidak dapat dilepaskan dengan tekad manusia untuk
menemukan kebenaran, sebab untuk

Etika Ilmu
menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran
diperlukan keberanian moral.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar
yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya. Etika ini kemudian dirupakan ke dalam bentuk
aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat ber-
dasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat
dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan
khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam
meningkatkan martabat kemanusiaan.

11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah

Dalam membangun masyarakat yang ilmiah, kita


memerlukan sifat ilmiah karena sikap ilmiah itu adalah
sikap kritis yang tidak hanya mencari verifikasi atas teori-
nya, melainkan juga tes-tes yang merefleksikan, meski
tidak akan pernah mengukuhkannya.
Di dalam membangun masyarakat ilmiah juga diperlukan suatu tujuan
agar tercipta masyarakat yang memiliki kemampuan berpikir kritis dan
rasional sehingga kehidupan masyarakat semakin maju dengan ilmu
pengetahuan.
Ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia justru karena dengan ilmu
pengetahuan manusia dapat berbuat banyak. Dampak ilmu pengetahuan
terhadap cara berpikir manusia dan masyarakat dewasa ini sungguh dahsyat.
Rasionalitas ilmu pengetahuan itu tidak hanya mengubah
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 209
cara pandang tradisional kita tetapi juga teologi yang sering terlalu teosentris.
Manfaat ilmu pengetahuan bagi kemajuan umat manusia seperti
mengurangi hal-hal buruk. Setiap orang mengembangkan diri sesuai dengan
tuntutan masyarakat ilmiah pada umumnya, yaitu taat pada adanya rasio.
Inilah watak intelektual nomor satu dan satu-satunya. Salah satu ciri yaitu
adanya keinginan untuk mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan
untuk terlibat ilusi-ilusi yang menyenangkan (yang disajikan oleh obat bius).
Setiap orang harus memiliki keingintahuan untuk memahami fakta-fakta
penting bagi kehidupan manusia dan siap membuka diri bagi kebenaran-
kebenaran penting lainnya.
Membangun masyarakat ilmiah dengan berilmu pengetahuan adalah hal
terpenting yang harus dilakukan. Maka dari itu ilmu pengetahuan akhirnya
berguna bagi kehidupan manusia, yakni bahwa ilmu pengetahuan berguna
bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam
hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu
pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup
manusia.
Kebenaran ilmiah itu tidak hanya bersifat logis- rasional dan empiris,
melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu berguna untuk
menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Berkaitan dengan itu, harus
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik luar biasa besar
sekarang ini, tidak hanya karena kecenderungan empiris dalam ilmu
pengetahuan modern
Etika Ilmu
210
sekarang ini. Melainkan juga karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan
itu sendiri, yaitu karena ternyata ilmu pengetahuan berhasil menjawab
berbagai persoalan hidupnya. Oleh karena itu, manusia modern sedemikian
bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan sekarang ini.

11.6. Menuju Masyarakat Berbudaya ilmu Pengetahuan


Salah satu ciri mayarakat berbudaya ilmu pengetahuan adalah adanya
tradisi berpikir atau merenung yang sangat luas dan dalam masyarakat
dianjurkan untuk dapat mengembangkan kemampuan berpikir yang bebas
dan kritis. Masyarakat sendirilah yang harus mengembangkan kemampuan
berlogika, juga harus memiliki kemampuan yang mendalam dan reflektif.
Salah satu cara untuk mengembangkan masyarakat berbudaya ilmu
pengetahuan adalah dengan dibiasakannya masyarakat tersebut dengan
membaca buku, sebab dengan membaca masyarakat dapat memperluas
pengetahuan dan mendorong masyarakat untuk melakukan suatu
perenungan.
Untuk membahas ini berikut diuraikan tentang: (i) kebudayaan dan
pendidikan; (ii) ilmu pengetahuan dan pengembangan kebudayaan; (iii) nilai
ilmiah dan pengembangan kebudayaan nasional; (iv) dampak intelektual;
(v) dampak sosial praktis; (vi) watak intelektual; dan (vii) kecenderungan
pragmatis.

11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan

Suatu masyarakat dapat berbudaya ilmu pengetahu-

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 211


an apabila masyarakat telah menempuh dan menerapkan pendidikan. Nilai
kebudayaan dan pendidikan berpengaruh erat. Setiap kebudayaan mempunyai
skala hierarki mengenai mana yang lebih penting dan mana yang kurang
penting dari nilai-nilai tersebut di atas serta mempunyai penilaian tersendiri
dari tiap-tiap kategori. Permasalahan dari pendidikan adalah menetapkan
nilai-nilai budaya apa saja yang harus dikembangkan. Hal tersebut harus
dilakukan, karena disebabkan oleh dua hal. Pertama, nilai-nilai budaya yang
harus dikembangkan. Kedua, usaha pendidikan yang sadar dan sistematis
mengharuskan kita untuk lebih eksplisit dan definitif tentang hakikat nilai-
nilai budaya tersebut.
Untuk menentukan nilai-nilai mana yang patut men- dapatkan perhatian
kita sekarang ini, maka pertama sekali kita harus memperkirakan skenario
dari masyarakat kita di masa yang akan datang. Skenario masyarakat
Indonesia di masa akan datang tersebut memerhatikan indikator dan
perkembangan yang sekarang ada, yang mempunyai karakteristik sebagai
berikut: (i) memerhatikan tujuan dan strategi pembangunan nasional kita
maka masyarakat akan beralih dari masyarakat tradisional yang rural agraris
menjadi masyarakat urban yang bersifat industri; (ii) pengembangan
kebudayaan kita dituju ke arah perwujudan peradaban yang bersifat khas
berdasarkan filsafat dan pandangan hidup bangsa Indonesia.
Karakteristik pertama, mengharuskan kita untuk memusatkan perhatian
kepada nilai-nilai yang relevan dengan masyarakat modern yang sedang
dikembangkan diban-

Etika Ilmu
dingkan dengan masyarakat tradisional, maka masyarakat modern mempunyai
indikator-indikator, seperti lebih bersifat analitik dan lebih bersifat individual
daripada komunal, terutama ditinjau dari segi pengembangan manusiawi yang
survival.
Suatu masyarakat modern yang berasaskan efisiensi bertumpu kepada
ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai landasan utamanya. Semua aspek
kehidupan bermasyarakat ditata secara rasional berdasarkan analisis kekuat-
an berpikir bersifat dominan dan mendesak kebelakang cara penarikan
kesimpulan. Dalam masyarakat sekarang ini bersifat terbalik secara bertahap.
Masyarakat tradisional yang berorientasi kepada status akan beralih menjadi
masyarakat modern yang berorientasi pada prestasi yang didasarkan pada ilmu
pengetahuan. Persaingan akan lebih tampak, umpamanya saja dalam mencari
tempat dan sistem pendidikan yang berorientasi pada ilmu pengetahuan
Teknologi.
11.6.2. llmu Pengetahuan dan Pengembangan Kebudayaan
Ilmu merupakan pengetahuan dan pengetahuan merupakan suatu unsur
dari kebudayaan. Sehingga ilmu pengetahuan merupakan bagian dari
kebudayaan. Ilmu pengetahuan dan kebudayaan berada dalam posisi yang
saling bergantung dan saling memengaruhi. Pada satu pihak pengembangan
ilmu pengetahuan dalam suatu masyarakat tergantung dari kondisi
kebudayaannya, sedangkan di pihak lain pengembangan ilmu pengetahuan

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


memengaruhi jalannya kebudayaan.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan
mempunyai peranan ganda yakni: (i) ilmu pengetahuan merupakan sumber
nilai yang mendukung terselenggaranya pengembangan kebudayaan nasional;
dan (ii) ilmu pengetahuan merupakan sumber nilai yang mengisi pembentukan
watak suatu bangsa.
Pada kenyataannya kedua fungsi ini terpadu satu dengan yang lainnya
sehingga sukar untuk dibedakan. Pengkajian pengembangan kebudayaan
nasional tidak dapat dilepaskan dari pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam
kurun dewasa ini yang dikenal sebagai kurun ilmu pengetahuan dan teknologi,
kebudayaan kita pun tidak terlepas dari pengaruh ilmu pengetahuan dan
teknologi dan mau tidak mau harus memperhitungkan faktor ini. Untuk itu
maka pengkajian kita difokuskan pada usaha untuk meningkatkan peranan
ilmu pengetahuan sebagai sumber nilai yang mendukung pengembangan
kebudayaan nasional, sehingga menciptakan masyarakat berbudaya ilmu
pengetahuan.
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional
Dalam pembentukan karakter bangsa sekiranya bangsa Indonesia
bertujuan untuk menjadi suatu bangsa yang modern, dalam artian bangsa
yang telah memiliki kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Permasalahan dalam
bidang kemasyarakatan, teknologi dan pendidikan yang membutuhkan cara
pemecahan masalah secara kritis, rasional, logis, objektif dan terbuka.
Sedangkan sifat men-

214 Etika Ilmu


junjung kebenaran dan pengabdian universal merupakan faktor yang
penting dalam pembinaan suatu bangsa terlebih lagi masyarakat.
Pengembangan kebudayaan nasional pada hakikatnya adalah
perubahan dari kebudayaan yang sekarang bersifat konvensional ke arah
situasi kebudayaan yang lebih mencerminkan aspirasi dan tujuan nasional.
Proses pengembangan kebudayaan nasional ini pada dasarnya adalah
penafsiran kembali dari nilai-nilai konvensional agar lebih sesuai dengan
tuntutan zaman serta penumbuhan nilai-nilai baru yang fungsional.
Sekiranya dapat diterima bahwa ilmu pengetahuan bersifat mendukung
pengembangan kebudayaan nasional. Harus disadari bahwa keadaan
masyarakat sekarang ini masih jauh dari tahap masyarakat yang
berorientasi kepada ilmu pengetahuan. Bahkan, dalam masyarakat yang
terdidik sekalipun ilmu pengetahuan masih merupakan koleksi teori-teori
yang bersifat akademik yang sama sekali tidak fungsional terhadap
kehidupan sehari-hari.
Ilmu pengetahuan merupakan bagian dari kebudayaan dan oleh sebab
itu langkah-langkah ke arah peningkatan peranan dan kegiatan keilmuan
harus memerhatikan situs kebudayaan masyarakat kita. Hakikat ilmu
pengetahuan sendiri adalah bersifat universal namun peranannya dalam
kehidupan tidaklah terlepas dari matriks kebudayaan secara keseluruhan.
Pada hakikatnya semua unsur kebudayaan harus diberi otonomi dalam
menciptakan paradigma mereka sendiri. Suatu paradigma agar dapat
berkembang dengan baik membutuhkan dua syarat yakni

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 215


kondisi rasional dan kondisi psikososial kelompok.
11.6.4. Dampak Intelektual
Persoalan mengenai dampak ilmu pengetahuan atas life-world merupakan
suatu persoalan lama. Dunia ilmu pengetahuan merupakan dunia fakta,
sedangkan life-world mencakup pengalaman subjektif yang praktis. Apakah
dengan munculnya ilmu pengetahuan manusia modern dengan sendirinya
menggunakan simbol-simbol ilmu pengetahuan menggantikan simbol-simbol
yang sudah lama berakar kuat dalam tradisi. Ilmu pengetahuan merupakan
produk dari kebudayaan enlightement (pencerahan).
Penelitian antropologi membuat kita sadar banyaknya kepercayaan tidak
berdasar yang memengaruhi kehidupan masyarakat tradisional. Hal tersebut
menandakan bahwa manusia membutuhkan waktu sangat lama untuk
mencapai atau mengubah cara pandang tersebut. Ilmu pengetahuan dilihat
sebagai salah satu faktor yang paling menentukan. Satu persatu gejala alam
diterangkan dalam ilmu pengetahuan. Maka sebagai sistem berpikir rasional,
ilmu pengetahuan menjadi sebab terdalam dari lenyapnya banyak kepercayaan
tradisional. Secara umum dapat dikatakan 4 hal baru dari ilmu pengetahuan
yang menyebabkan lenyapnya kepercayaan tradisional, yakni sebagai berikut:
(i) pengamatan lawan otoritas; (ii) otonomi dunia fisik; (iii) disingkatnya konsep
tujuan; dan (iv) tempat manusia dalam alam.
Pertama, pengamatan lawan otoritas. Ilmu pengetahuan tidak didasarkan
pada otoritas melainkan pada peng-

Etika Ilmu
amatan. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir
berdasarkan pada pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial. Tentu
harus diakui di sini bahwa sikap menghargai pengamatan, sebagai lawan
tradisi dan otoritas, adalah sesuatu yang sulit. Ilmu pengetahuan menuntut
agar orang tidak mudah percaya begitu saja pada tradisi atau otoritas tetapi
percaya pada pengamatan dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua, otonomi dunia fisik. Bahwa ilmu pengetahuan berangkat dari
suatu filosofi alam sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki hukum sendiri.
Dunia fisik mengikuti hukum-hukum fisika, tidak ada pengaruh roh-roh halus.
Peranan dewa-dewi sebagaimana dianut oleh banyak agama tradisional lenyap
dengan sendirinya jika ilmu pengetahuan diterima secara konsekuen.
Ketiga, disingkatnya konsep tujuan. Bahwa ilmu pengetahuan hanya
mengenal sebab efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa
lampau lebih penting dari masa depan. Sebab final tidak diberi tempat dalam
pandangan ilmiah tentang dunia. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan lebih
memerhatikan konsep kausalitas dibandingkan dengan konsep formalitas.
Masyarakat yang dicerahi ilmu pengetahuan lebih percaya pada Darwinisme.
Keempat, tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi tampaknya
ilmu pengetahuan merendahkan manusia. Namun, dari segi praktis ilmu
pengetahuan dapat mengangkat manusia, justru karena dengan i l mu
pengetahuan manusia dapat memeroleh kekuasaan dan dapat berbuat banyak.
Kekuasaan dapat diperoleh manusia
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dengan memahami hukum-hukum alam.
Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap
dewa-dewi tradisional dan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan membangun
suatu rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas kepercayaan-kepercayaan
tradisional dan agama.
11.6.5. Dampak Sosial Praktis
Dalam konteks yang sama kita juga dapat berbicara tentang manfaat
ilmu pengetahuan adalah dalam memperbesar kekuasaan manusia. Maka
teori-teori ilmiah, melalui tehnik, dapat menjadi instrumen yang ampuh
untuk memperbesar kekuasaan manusia atas alam dan atas masyarakat.
Kekuatan-kekuatan teknik ilmiah itu semakin menjadi nyata ketika
dikembangkan dalam interaksi komunitas manusia.
Kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak
sama dengan kekuatan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan
orang-orang yang dididik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkem-
bangan teknologi mengandaikan kepentingan sosial yang berkembang dalam
masyarakat, dan itu berarti hal tersebut membutuhkan komunikasi antara
kepentingan dalam masyarakat.
11.6.6. Watak Intelektual
Ilmu pengetahuan, sampai sekarang selalu didasarkan pada
pengamatan dan tidak pernah pasti benar, melainkan hanya mengklaim
probabilitas berdasarkan bukti yang ada. Efektivitas dari ilmu pengetahuan
untuk memberikan
218 Etika Ilmu
harapan itu tidak diragukan lagi. Ilmu pengetahuan dapat menawarkan
kemungkinan kesejahteraan hidup yang jauh lebih baik bagi umat manusia
sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan
suatu masyarakat yang enlightened, hanya bila masyarakat itu mengikuti
rasionalitas ilmu pengetahuan yang taat pada rasio.
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis beranggapan bahwa ilmu pengetahuan
dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai
persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang bertujuan me-
nemukan kebenaran, tetapi bagi mereka ilmu pengetahuan tidak berhenti
sampai di situ saja, yang terpenting adalah bahwa ilmu pengetahuan pada
akhirnya berguna bagi kehidupan manusia.
11.7. Relevansi Etika ilmu dengan llmu Antropologi
Hubungan antara antropologi dan etika ilmu bersifat timbal balik.
Antropologi pun perlu bantuan ilmu-ilmu lain dan sebaliknya ilmu-ilmu lain
juga memerlukan bantuan antropologi. Perkembangan ilmu antropologi sejak
fase- fase perkembangan yang dahulu juga mengumpulkan beratus-ratus suku
bangsa yang tersebar di muka bumi ini. Etika yang sering kali berupa daftar
kata-kata, catatan tentang tata bahasa, bahkan seringkali juga pelukisan
lengkap tentang mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas, oleh suatu
etika ilmu bagian dari antropologi.
Etika pun seringkali disebut dengan filsafat moral di
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 219
mana di setiap masyarakat pastilah terdapat etika-etika keilmuan yang sudah
tertanam, contoh yang kecil saja, seperti yang terjadi di kalangan masyarakat
misalnya tata cara pergaulan di kalangan anak muda perkotaan menjadi lebih
bebas. Di mana tradisi, adat istiadat, budaya luhur dan nilai-nilai kesopanan
dalam pergaulan mulai ditinggalkan dengan seiring perkembangan teknologi.
Kehidupan modem dan gaya hidup di negara-negara Barat atau negara maju
lebih permisif dan bebas. Timbulnya anak- anak "punk" di daerah perkotaan
lebih cenderung disebabkan oleh tayangan televisi. Tentunya kita mudah
mengerti bagaimana baik buruknya suatu metode-metode dan teori-teori dalam
etika ilmu yang berhubungan langsung dengan antropologi.
Latar belakang etika ilmu dengan peristiwa-peristiwa yang sukar
diketahui hanya dari sumber-sumber, konsep- konsep tentang kehidupan
masyarakat yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu sosial lainnya,
memberi pengertian banyak kepada seorang ahli sejarah. Dalam hal
mengumpulkan keterangan komparatif antropologi sangat berguna, dari ilmu
itu telah menyadari kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam
penelitian.
Metode-metode antropologi untuk menyelami latar belakang kehidupan di
dalam masyarakat yang mana pada zaman krisis dunia sekarang ini.
Pengertian tentang yang sangat diperlukan dalam perilaku dan tindakan
manusia yang diteliti oleh antropologi. Oleh karena itu, ilmu dan etika adalah
sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat menghambat dan
menghentikan perilaku penyim-

Etika llmu
pangan dari kejahatan di kalangan masyarakat, maka antara ilmu antropologi
dan etika ilmu saling berhubungan erat yang mana ilmu antropologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang aspek kehidupan manusia.

11.8. Ringkasan
Ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan alat bagi manusia. Ilmu
diciptakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan ilmu dapat diciptakan suasana yang lebih baik dan dengan demikian
melalui ilmulah manusia dapat lebih mudah mencapai tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
individu ataupun kelompok-kelompok yang menilai apa tindakan-tindakan
yang telah dikerjakan. Di mana etika memberikan semacam batasan maupun
standar yang mengatur manusia di dalam kelompok sosial lainnya. Dalam etika
ilmu ini dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan
konsep yang dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini paradigma merupakan istilah yang sangat erat dengan sains
yang normal. Suatu paradigma bersama telah membebaskan masyarakat sains
dari kebutuhan penelitian ulang secara konstan. Masyarakat sains tahu benar
masalah-masalah mana yang telah dipecahkan beberapa ilmuwan akan mudah
dipersuasi untuk menerima pandangan baru.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan
mempunyai peranan ganda. Pengkajian

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 221


pengembangan kebudayaan nasional ini tidak dapat dilepaskan dari
perkembangan ilmu pengetahuan. Maka etika ilmu yang ada pada masyarakat
jauh lebih luas di mana mencakup segala sesuatu yang diketahui manusia tanpa
perlu dibakukan secara sistematis.
Dalam mempelajari etika ilmu diharapkan dapat bermanfaat bagi
kehidupan masyarakat kita. Pentingnya kita mempelajari etika ilmu ini adalah
supaya kita mampu memahami dan menelaah segala fenomena yang terjadi di
dunia ini yang berlandaskan etika dan ilmu. Selain itu dapat juga ditujukan
untuk kebaikan manusia mengenai segala tingkah laku dan perbuatan agar
dapat diatur sesuai dengan moral dan berilmu pengetahuan.
Setiap individu diharapkan dapat berpikir kritis dan rasional dengan
berbekal ilmu pengetahuan yang luas. Dengan begitu setiap individu memiliki
wawasan yang luas sehingga dapat mengontrol segala yang diperbuat dan
dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu ilmu ini sangat berguna bagi
masyarakat kita, khususnya dalam rangka mempertinggi kualitas SDM
masyarakat.

Etika Ilmu
222
Bab XII
Filsafat Ilmu dan Teknologi

12.1. Deskripsi
Seiring perkembangan filsafat yang begitu pesat, maka munculnya
berbagai pertanyaan berkaitan dengan hakikat filsafat ilmu dan filsafat
teknologi. Hal itu dikarenakan perkembangan sebuah ilmu yang begitu besar
pastilah membuat lahirnya teknologi-teknologi dalam masyarakat menjadi
begitu pesat. Namun, perkembangan itu tidak diiringi dengan dasar
pemahaman dari filsafat ilmu dan filsafat teknologi itu sendiri yang membuat
manusia menjadi tidak paham hakikat yang sebenarnya dari ilmu dan
teknologi yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat mendudukan keduanya
sesuai dengan yang seharusnya.

12.2. Tujuan Pembelajaran


Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang filsafat
dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), perkembangan
teknologi ini sangat berpengaruh bagi perkembangan suatu masyarakat.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


223
12.3. Pengertian Filsafat Teknologi
Teknologi atau sering disebut sebagai pertukangan memiliki lebih dari
satu definisi. Salah satunya adalah pengembangan dan aplikasi dari alat,
mesin, material dan proses yang menolong manusia menyelesaikan masalah-
nya. Sebagai aktivitas manusia, teknologi mulai sebelum sains dan teknik.
Kata teknologi sering menggambarkan penemuan dan alat yang
menggunakan prinsip dan proses penemuan saintifik yang baru ditemukan.
Akan tetapi, penemuan yang sangat lama seperti roda dapat disebut teknologi.
Definisi lainnya (digunakan dalam ekonomi) adalah teknologi dilihat dari
status pengetahuan kita yang sekarang dalam bagaimana menggabungkan
sumber daya Untuk memproduksi produk yang diinginkan (dan penge- tahuan
kita tentang apa yang bisa diproduksi). Oleh karena itu, kita dapat melihat
perubahan teknologi pada saat pengetahuan teknik kita meningkat.
Teknologi juga didefinisikan sebagai penerapan sistematis dari
pengetahuan-pengetahuan ilmiah untuk memudahkan kehidupan manusia.
Definisi filasafat teknologi: adalah analisis kritis tentang suatu hasil
ciptaan manusia melalui proses berpikir untuk menciptakan suatu artefak
yang berguna bagi kehidupan manusia.

12.4. Teori Kuda Liar Teknologi


Substansi dari Teori Kuda Liar I P T E K adalah rasa keingintahuan
manusia yang tidak ada habisnya dengan kata

224 Filsafat Ilmu dan Teknologi


lain, selalu ingin tahu dan selalu mencari kebenaran yang lebih konkret
kebenarannya daripada kebenaran yang ada sebelumnya. Seperti sifat dasar
dari manusia yaitu curiousity yaitu selalu memiliki rasa/kebutuhan untuk
memenuhi rasa ingin tahu. Sifat keingintahuan dalam mencari hakikat ilmu
dan teknologi ini diibaratkan dengan kuda liar.
12.4.1. Hakikat Efisiensi
Efisiensi dalam istilah ekonomi didefinisikan sebagai pengeluaran
terbesar dibanding dengan ongkos yang serendah-rendahnya. Dalam mengukur
efisiensi dapat memasukkan standar-standar kualitatif bagi apa yang telah
dihasilkan dalam proses produksi. Misalnya, kita dapat memasukkan fungsi
manusiawi dalam penilaian biaya-biaya. Artinya apa pengaruh terhadap pria,
wanita, air, udara, dan sistem sosial bila kita memproduksi barang- barang
tersebut.
Efisiensi menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu proses/kegiatan
dalam rangka mendayagunakan semua potensi yang ada. Maksudnya jika
dihubungkan dengan kondisi suatu masyarakat adalah apabila masyarakat
tersebut menyediakan modal, memanajemen adanya pihak-pihak yang
mendesain, merencanakan, berproduksi, mendistribusi, memasarkan suatu
barang atau jasa berupa hasil teknologi dalam rangkaian kegiatan ekonomi.
12.4.2. Hakikat Kualitas Produk
Kualitas produk jika didefinisikan secara harfiah ekonomi adalah suatu
penilaian baik ataupun buruk terhadap hasil produksi baik barang ataupun
jasa yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
dibutuhkan manusia yang mempunyai nilai (value) tertentu.

12.5. Hubungan Teknologi dan Civility


Kehidupan sosial di masyarakat senantiasa tidak terlepas dari
perkembangan teknologi. Masyarakat yang maju senantiasa dinilai dari
banyaknya teknologi yang dihasilkan karena pada dasarnya teknologi
senantiasa mencerminkan kualitas sumber daya manusia di dalamnya.
Teknologi tidaklah senantiasa membawa kebaikan semata dalam masyarakat,
meski tujuan teknologi sendiri lahir untuk memecahkan/mempermudah
masalah masyarakat. Misalkan saja lahirnya teknologi komunikasi (hand
phone) yang bertujuan untuk mempermudah komunikasi jarak jauh dengan
lebih cepat. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat yang tidak siap
dengan perkembangan teknologi yang begitu cepat justru akan semakin
merasakan dampak negatif dari teknologi itu sendiri. Misal: teknologi internet
yang menjadi prioritas bagi masyarakat yang selama ini diharapkan dapat
memecahkan problem informasi justru membawa masyarakat yang kurang siap
menerima dampak negatifnya seperti kemudahan akses pornografi dan
lengkapnya informasi yang dimuat membuat sebagian masyarakat justru
menjadi masyarakat yang hedonis, tingkat kekerasan/pemerkosaan meningkat
serta masyarakat lebih memilih praktis internet daripada membaca buku,
bahkan tidak jarang masyarakat yang tidak menyaring lagi info yang didapat
dari internet sehingga mengakibatkan degradasi nilai pada masyarakat

Filsafat llmu dan Teknologi

226
itu sendiri.
Masyarakat sekarang sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi,
ketergantungan yang terus menerus menjadikan dirinya terlena dari eksistensi
diri manusia sendiri sebagai makhluk bebas dan kreatif. Masyarakat kemudian
menjadi tidak sadar bahwa mereka dipenjarakan oleh teknologi (tidak kreatif
dan reflektif lagi) itu sendiri bila tidak memahami hakikat teknologi yang
sesungguhnya. Pada dasarnya teknologi hadir di masyarakat semata- mata
untuk sarana memudahkan urusan bukan sebagai tujuan.

12.6. Ringkasan
Filsafat ilmu berisi tentang analisis atau metodologi tentang ilmu
sedangkan filsafat teknologi analisis tentang suatu hasil ciptaan manusia
melalui proses berpikir untuk menciptakan suatu barang dan atau jasa yang
berguna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain antara filsafat ilmu dengan
filsafat teknologi amat berkaitan, dilihat dalam proses pencarian suatu
teknologi atau hasil karya tertentu.
Ketika kita memahami filsafat dari ilmu dan teknologi maka kita dapat
mendudukkan hakikat sebenarnya dari ilmu dan teknologi itu sendiri.
Pada dasarnya manfaat lain bagi kehidupan kita bila kita memahami
filasafat ilmu dan teknologi adalah kita dapat memanfaatkan teknologi itu
sendiri secara efisien, serta dalam mengembangkannya kita dapat seimbang
sehingga tidak menjadi bumerang bagi masyarakat.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 227


Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan

13.1. Deskripsi
Penerapan dari ilmu pengetahuan membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini
berarti ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan harus memerhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung
jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat
universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghan-
curkan eksistensi manusia.
13.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang: (i)
tanggung jawab ilmu ilmuwan; (ii) prinsip ilmu pengetahuan itu; (iii)
pengingkaran dan perlawanan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


etika; dan (iv) kejahatan yang sempurna yang dilakukan oleh ilmuwan.

13.3. Tanggung Jawab Ilmuwan


llmu menghasilkan teknologi yang diterapkan pada masyarakat.
Teknologi dan ilmu pengetahuan dalam penerapannya dapat menjadi berkah
dan penyelamat bagi manusia, tetapi juga bisa menjadi bencana bagi manusia.
Di sinilah pemanfaatan pengetahuan dan teknologi perlu diperhatikan sebaik-
baiknya.
Dihadapkan dengan masalah moral dan ekses ilmu dan teknologi yang
bersifat merusak, para ilmuwan dapat dipilahkan ke dalam dua golongan
pendapat, yaitu: (i) golongan yang berpendapat bahwa ilmu harus bersifat
netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologi. Dalam
hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang
lain untuk mempergunakannya, apakah akan digunakan untuk tujuan yang
baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi
kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo, dan (ii) golongan
yang berpendapat bahwa netralisasi ilmu hanyalah terbatas pada metafisika
keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya harus berlandaskan nilai-nilai
moral.
Golongan yang kedua ini mendasarkan pendapatnya pada tiga hal, yakni:
(i) ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destraktif oleh manusia, yang
dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi
keilmuan yaitu terjadi Bom Atom; (ii) ilmu telah

Moralitas llmu Pengetahuan


berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan; dan (iii) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik pembuatan sosial.
Proses transformasi ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan
pada kepentingan- kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Fungsi
ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara individual namun
juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan masyarakat (Suriasumantri, 1984).
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan
dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi syarat
keilmuan maka ia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan
dan digunakan oleh masyarakat. Dengan kata lain, pen- ciptaan ilmu bersifat
individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial.
Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu, yang dapat saja
mengubah wajah peradaban. Jelas bahwa seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya.
Implikasi penting dari tanggung jawab sosial seorang ilmuwan, adalah
bahwa setiap pencarian dan penemuan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 231


kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan landasan etis yang kukuh.
Menurut Suriasumantri (1984), proses pencarian dan penemuan
kebenaran ilmiah yang dilandasi etika, merupakan kategori moral yang
menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan saja berfungsi
sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut, tetapi juga harus menjadi
prototipe moral yang baik. Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang
mendapat perhatian dari para ilmuwan itu sendiri.
Contoh kecil dalam pengembangan ilmu kedokteran. Sekelompok kecil
orang membutuhkan organ tertentu, kelompok orang lainnya menjadi korban,
dan ilmuwan serta praktisinya menjadi perantara aktif dalam transaksi itu.
Hakikatnya, ilmuwan itu telah mengabaikan prinsip moral dan agama yang
dianut masyarakat. Fenomena ini, yang cenderung menjadi faktor paling
fundamental yang mendorong berdirinya berbagai lembaga yang mengkaji
dan berupaya menegakkan etika biomedis.
Tanggung jawab ilmuwan tidaklah ringan. Dapatkah seorang ilmuwan
memikul tanggung jawab sedemikian itu, jika batas moral yang berlaku tidak
bersifat universal? Hal etis, yang diharapkan menjadi landasan utama
tegaknya tanggungjawab moral para ilmuwan, memang tidak pernah
memiliki sifat umum dan universal. Artinya, etika tidak dapat memberikan
aturan universal yang konkret untuk setiap masa, kebudayaan, dan situasi
(Peursen dkk, 1990).
Hal ini yang mendorong, setiap kebudayaan atau suatu negara
mengembangkan etika profesi dan aturan

232 Moralitas llmu Pengetahuan


hukum yang dapat dikatakan sebagai pedoman dari perwujudan tanggung
jawab sosial para ilmuwan dan juga praktisi.
Di Indonesia, dengan diberlakukannya Undang- undang No. 23 tahun
1992, tentang Kesehatan, maka pedoman bagi pengembangan tanggung jawab
sosial ilmuwan kedokteran dan praktisinya sudah semakin jelas.
Undang-undang No. 23 tahun 1992, tentang Kesehatan, merupakan norma
yang menjadi pedoman perilaku, yang mengharuskan bagi setiap orang
mematuhinya dan apabila tidak mematuhi, undang-undang tersebut juga
sudah mengatur akibat hukum atau sanksi (Koeswadji, 1996).
Khusus untuk kalangan profesi medik di Indonesia, telah pula dilengkapi
dengan Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). KODEKI telah menjadi
dasar pengembangan tanggung jawab para ilmuwan dan praktisi kedokteran di
Indonesia, baik secara spesifik untuk tanggung jawab pengembangan ilmu
kedokteran maupun pemanfaatan ilmu kedokteran bagi peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Berdasar mukadimah Kodeki, dapat diketahui bahwa landasan utama
proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah (pengembangan ilmu
kedokteran) oleh para ilmuwan Indonesia adalah etika yang bersumber ajaran
Tuhan Yang Maha Esa. Etika yang bersumber dari ajaran agama, merupakan
kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan dan praktisi
kedokteran di Indonesia.

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu

233
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi
adalah segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang
menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat ke-
benaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi
harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen dengan
pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka
salah satu penyangga masyarakat modem ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan
berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan
tanggung jawab sosial kaum ilmuwan (Suryasumantri, 1984).
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada
masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya
mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan saat menghadapi masyarakat,
ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang
dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir
dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima
sesuatu secara begitu
234 Moralitas llmu Pengetahuan
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan
dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mem-
punyai tanggung jawab sosial.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi hanya
memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan
bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani
mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil
penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang
tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian
atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang
mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan
bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan
mereka melanggar asas- asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai
untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan.
Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah "dipupuk" dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dihipotesis- kan, jika ilmuwan
telah dapat memenuhi tanggung jawab

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 235


sosialnya, maka ilmu pengetahuan itu akan berkembang pesat, ilmu
pengetahuan itu akan dapat memberi manfaat besar bagi kehidupan manusia,
dan ilmu pengetahuan itu tidak akan menimbulkan konflik di masyarakatnya.
Dapatkah hipotesis di atas terbukti? Jawaban atas pertanyaan ini juga
merupakan bagian dari tanggung jawab sosial ilmuwan. Menurut Suriasumatri
(1984) kita tidak bisa lari daripadanya (tanggung jawab sosial) sebab hal ini
merupakan bagian dari hakikat ilmu itu sendiri. Biar bagaimanapun kita tidak
akan pernah bisa melarikan diri dari diri kita sendiri.

13.4. Problem Etika llmu Pengetahuan


Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi
etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada
proses perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanggung jawab etis,
merupakan hal yang menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Dalam hal ini berarti ilmuwan dalam mengemban
ilmu pengetahuan dan teknologi harus memerhatikan kodrat dan martabat
manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab kepada
kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat universal karena
pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan
dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi
manusia.
Tanggung jawab etis tidak hanya menyangkut upaya penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi secara tepat

236
Moralitas Ilmu Pengetahuan
dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya
dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta
martabat manusia, baik dalam hubungan sebagai pribadi, dengan lingkungan-
nya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi, sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan
keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu
pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan
manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan
kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk
mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang baik.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan
bantuan agar manusia dapat sungguh- sungguh mencapai pengertian tentang
martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk
mengembangkan diri manusia. Tetapi juga merupakan hasil perkembangan
dan kreatifitas manusia itu sendiri.
13.5. llmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalitas ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes bersikap
skeptik sebagai metode yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang
sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa aufklarung,
suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 237


pemahaman rasional tentang dirinya dan alam.
Persoalannya adalah ilmu-ilmu berkembang dengan pesat apakah bebas
nilai atau justru tidak bebas nilai. Bebas nilai yang dimaksudkan sebagaimana
Josep Situmorang (1996) menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan
terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu
pengetahuan itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor
eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Minimal terdapat tiga faktor sebagai indikator bahwa ilmu pengetahuan
itu bebas nilai, yaitu: (i) ilmu harus bebas dari pengaruh eksternal seperti
faktor politis, ideologis, agama, budaya, dan unsur kemasyarakatan lainnya; (ii)
perlunya kebebasan ilmiah, yang mendorong terjadinya otonomi ilmu
pengetahuan. Kebebasan itu menyangkut kemungkinan untuk menentukan
diri sendiri; (iii) penelitian, ilmiah tidak luput dari pertimbangan etis (yang
sering dituding menghambat kemajuan ilmu), karena nilai etis itu sendiri
bersifat universal.
Sosiolog, Weber, menyatakan bahwa ilmu sosial harus bebas nilai, tetapi
ia juga mengatakan bahwa ilmu-ilmu sosial harus menjadi nilai yang relevan.
Weber tidak yakin ketika para ilmuwan sosial melakukan aktivitasnya seperti
mengajar atau menulis mengenai bidang ilmu sosial itu, mereka tidak
terpengaruh oleh kepentingan tertentu. Nilai- nilai itu harus diimplikasi ke
dalam bagian-bagian praktis ilmu sosial jika praktik itu mengandung tujuan
atau rasional. Tanpa keinginan melayani kepentingan orang, budaya, maka
ilmu sosial tidak beralasan untuk diajarkan.

Moralitas Ilmu Pengetahuan

238
Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan
objektivitas ilmiah (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri
mutlak ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang
mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan
pilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir
(2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai.
Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta
atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang
sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan dan
primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia
sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt itu
sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan praktis.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam
terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah
netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu
sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kendati
dengan cara yang berbeda. Kepentingan ialah memelihara serta memperluas
bidang aling pengertian antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap ke-
giatan teoretis yang melibatkan pola subjek selalu

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 239


mengandung kepentingan tertentu. Kepentingan itu bekerja pada tiga bidang,
yaitu pekerjaan, bahasa, dan otoritas. Pekerjaan merupakan kepentingan ilmu
pengetahuan alam, bahasa merupakan kepentingan ilmu sejarah dan
hermeneutika, sedangkan otoritas merupakan kepentingan ilmu sosial.

13.6. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan


Ilmu bukanlah pengetahuan yang datang demikian saja sebagai barang
yang sudah jadi dan datang dari dunia khayal. Akan tetapi, ilmu merupakan
suatu cara berpikir tentang suatu objek yang khas dengan pendekatan yang
khas pula sehingga menghasilkan suatu kesimpulan yang berupa pengetahuan
ilmiah. Ilmiah dalam arti bahwa sistem dan struktur ilmu dapat
dipertanggungjawabkan secara terbuka. Oleh karena itu, ia terbuka untuk
diuji oleh siapa pun.
Pengetahuan ilmiah adalah pengetahuan yang di dalam dirinya memiliki
karakteristik kritis rasional, logis, objektif dan terbuka. Hal ini merupakan
suatu keharusan bagi seorang ilmuwan untuk melakukannya. Namun, juga
menjadi masalah mendasar yang dihadapi ilmuwan setelah ia membangun
suatu yang kokoh dan kuat, yakni masalah kegunaan ilmu bagi kehidupan
manusia. Memang tidak dapat disangkal bahwa ilmu telah membawa manusia
ke arah perubahan yang cukup besar. Akan tetapi, dapatkah ilmu yang kokoh,
kuat, mendasar itu menjadi penyelamat manusia bukan sebaliknya. Di sini
letak tanggung jawab seorang ilmuwan, masalah

Moralitas Ilmu Pengetahuan

240
moral dan akhlak amat diperlukan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam berada di
dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadi dan membudayakan
dirinya bila mana manusia hidup dalam hubungan dengan alamnya. Manusia
yang merupakan bagian alam tidak hanya bagian yang terlepas darinya.
Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya,
manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari
alam itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa di antara manusia dengan alam
ada hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia
harus senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang
bersifat mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak juga
sebagai manusia biasa lebih- lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa
menjaga kelestarian dan keseimbangan alam yang bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan
tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam
filsafat ilmu disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, 1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah
adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas
tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu
ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat
dipertanggungjawab-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu241


kan kepada Tuhan. Artinya, selaras antara kehendak manusia dengan
kehendak Tuhan.
Sikap ilmiah yang perlu dimiliki para ilmuwan menurut Abbas Hamami
M., (1996) terdapat enam hal sebagai berikut: (i) tidak ada rasa pamrih
(disinterestedness), artinya suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai penge-
tahuan ilmiah yang objektif dengan menghilangkan pamrih atau kesenangan
pribadi; (ii) Bersikap selektif, yaitu suatu sikap yang bertujuan agar para
ilmuwan mampu mengadakan pemilihan terhadap berbagai hal yang dihadapi.
Misalnya, hipotesis yang beragam, metodologi yang menunjukkan kekuatannya
masing-masing, atau cara penyimpulan yang satu cukup berbeda walaupun
masing-masing menunjukkan akurasinya; (iii) ada rasanya percaya yang layak
baik terhadap kenyataan maupun terhadap alat-alat indra serta budi (mind);
(iv) adanya sikap yang berdasar pada suatu kepercayaan (belief) dan dengan
merasa pasti (conviction) bahwa setiap pendapat atau teori yang terdahulu
telah mencapai kepastian; (v) adanya suatu kegiatan rutin bahwa seorang
ilmuwan harus selalu tidak puas terhadap penelitian yang telah dilakukan
sehingga selalu ada dorongan untuk riset dan riset sebagai aktifitas yang
menonjol dalam kehidupannya; (vi) seorang ilmuwan harus memiliki sikap etis
(akhlak) yang selalu berkehendak untuk mengembangkan ilmu untuk
kebahagiaan manusia, lebih khusus untuk pembangunan bangsa dan negara.
Norma-norma umum bagi etika keilmuan sebagaimana yang dipaparkan
secara normatif tersebut berlaku bagi semua sistem. Hal ini karena pada
dasarnya seorang
242 Moralitas llmu Pengetahuan
ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem
tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu
yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada
kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi
kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika
politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan
dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang
berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta
ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan,
diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada
suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah
tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian
objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
13.7. Moralitas llmu Pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat
dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dan Freud
menyebut sebagai "id", "ego" dan "super-ego". "Id" adalah bagian kepribadian
yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan
hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos
(destruktif

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


243
dan agresif). "Ego" adalah penyelaras antara "id" dan realitas dunia luar.
"Super-ego" adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani
(Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu
sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis,
mereka dapat saja hanya memfungsikan "id"-nya, sehingga dapat dipastikan
bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang
destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, di mana ego kalah
sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu
angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan —amatlah nihil kebaikan yang
diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang
dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan "id" dari
kepribadian manusia yang mengalahkan "ego" maupun " super-ego" -nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai
adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung
jawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan
bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam
penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi "id" (libido)
dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika

Moralitas Ilmu Pengetahuan

244
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well- supporting bagi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat
hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat
ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad), semestinya
(ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol adalah tentang
baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation). Keduanya bertalian
dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral (Herman Soewardi
1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan kewajiban itu,
dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti akan men-
datangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena itu, etika pada
dasarnya adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan (good) yang
pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi jelas ketika sang
subjek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah materi kewajiban
exekutor dalam situasi ini.

13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika


Etika sebagai modal dasar dalam pembentuk pengembangan ilmu
pengetahuan yang lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan, tentunya
tidak terlepas dari beberapa pengingkaran dan perlawanan etika sendiri. Atau
yang biasa disebut dengan pelanggaran etika.
Prinsip etika keilmuan yang berdasarkan kepada prinsip bebas nilai yang
mengharuskan ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal,
sudah tidak

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu245


menjadi prinsip yang dinomorsatukan.
Berikut merupakan empat hal pengingkaran dan perlawanan terhadap
etika yakni (i) kejujuran; (ii) taksonomi ketidakjujuran; (iii) penyalahgunaan
dalam penggunaan data; (iv) permasalahan dalam publikasi.
Pertama, kejujuran dalam etika. Kejujuran merupakan hal yang sangat
mendasar dari manusia yang akan sangat berpengaruh dalam kehidupan
masyarakat. Kejujuran pasti diajarkan oleh seluruh agama melalui kitab-
kitabnya. Kejujuran dan keadilan merupakan kunci pokok dalam berbuat,
bekerja dan berinteraksi dengan lingkungan. Hal ini sangat disadari
mengingat suatu hasil kerja bila tidak dilandasi dengan kejujuran, harus
diwaspadai sebagai suatu awal yang buruk dan malapetaka.
Kedua, taksonomi ketidakjujuran yakni (i) bohong; (ii) kecurangan sengaja;
(iii) mempergunakan data orang lain; (iv) menahan informasi; dan (v) tidak
menyebarkan informasi.
Bohong. Seseorang dikatakan berbohong apabila dia mengetahui
informasi sebagaimana mestinya, tetapi tidak mengatakan demikian. Atau bila
terjadi suatu kesalahan yang dia ketahui, tetapi dia tidak mau melakukan
upaya untuk menyampaikan koreksi.
Kecurangan sengaja. Hal ini terjadi, misalnya bila pada kondisi melamar
pekerjaan, dan dia menyampaikan sesuatu yang tidak mempunyai
pengalaman. Namun masih saja dilakukan agar dapat memperoleh pekerjaan.
Mempergunakan data orang lain/klien. Sering kali seorang ahli dengan
sengaja mempergunakan data/infor-

246 Moralitas Ilmu Pengetahuan


masi yang nyata-nyata bukan hasil karyanya, meskipun mungkin
data/informasi tersebut didapat dari mantan kliennya.
Menahan informasi. Informasi yang sebenarnya harus disampaikan malah
disimpan atau tidak disampaikan. Misalnya seorang atasan tidak memberi
informasi pada bawahan dan sebaliknya.
Tidak menyebarkan Informasi. Tujuan pokok seorang ahli berada di
tengah-tengah masyarakat adalah untuk melindungi dan menjaga keamanan
serta kesejahteraan masyarakat. Untuk itu diperlukan penyebaran informasi
kepada masyarakat yang memang membutuhkan informasi tersebut, bukan
malah tidak menyebarkannya, apalagi bila informasi itu sangat berharga dan
mendesak bagi masyarakat.
Ketiga, penyalahgunaan penggunaan data. Dalam istilah keilmuan
penyalahgunaan ini dibagi menjadi empat macam: (i) trimming; (ii) cooking; (iii)
forging; dan (iv) plagiat.
Trimming, juga dikenal dengan sebutan smoothing, yakni memperhalus
data sehingga tampilannya tampak lebih akurat dan baik.
Cooking, merupakan usaha untuk membuat atau merekayasa data
sedemikian rupa sehingga menjadi "fit- cook" (sesuai) dengan suatu theorem
atau teori yang sudah ada. Sehingga nyaris terlihat keasliannya.
Forging, pengertian sederhana forging adalah merekayasa data seolah-
olah telah melakukan eksperimen. Data yang ada sebagian atau seluruhnya
dibuat seolah-olah didapat dari hasil eksperimen.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
247
Plagiat, kasus inilah yang sering mucul di kalangan masyarakat, di mana
seseorang mengambil, memakai data/ hasil karya orang lain tanpa seizin orang
yang membuatnya.
Keempat, permasalahan dalam publikasi. Dalam publikasi hasil karya
biasanya terjadi pelanggaran-pelanggaran yang tidak mengindahkan etika,
misalnya: (i) plagiat; (ii) referencing; serta (iii) authorship dan kontribusi.
Plagiat. Sudah dijelaskan di atas. Referencing, merupakan bentuk
kecurangan berupa penukilan dalam penulisan karya ilmiah tetapi tidak
mencantumkan nama pengarang atau sumber penukilan itu diambil. Hal
tersebut sangat bertentangan dengan etika. Authorship dan kontribusi,
permasalahan muncul pada saat menetapkan siapa yang akan dicantumkan
dalam penulis hasil penelitian baik dalam report ataupun paper-paper.
Problem ini makin tampak sewaktu penelitian dikerjakan oleh grup dan di
antara mereka ada yang tidak aktif, pertanyaan yang muncul apakah orang
tersebut pantas untuk dicantumkan namanya dalam karya itu.

13.9. Masalah Kejahatan Sempurna


Istilah kejahatan sempurna atau bisa disebut The Perfect Crime, mungkin
memang jarang sekali dipakai atau didengar dalam istilah-istilah fenomen
kejahatan.
Jean Baudrilland, dalam bukunya The Perfect Crime (1992), yang
menjelaskan kejahatan menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai realitas
(hukum, moralitas, akal sehat, dan budaya). Ketika ia telah berkembang
sedemikian

Moralitas llmu Pengetahuan


rupa menuju tingkatannya yang sempurna (hyper criminality). Artinya,
kejahatan telah menjadi satu wacana yang direncanakan diorganisir dan
dikontrol secara sempurna melalui teknologi tinggi, manajemen tinggi dan
politik tinggi, sehingga ia melangkahi otoritas hukum, melewati kemampuan
akal sehat, dan melompati jangkauan nilai-nilai budaya dan moralitas.
Terdapat minimal tiga cara menuju kekerasan atau kejahatan sempurna:
(i) ketika kejahatan (negara) atau pengadilan begitu kolosal dan masif,
sehingga melampuai kemampuan perangkat hukum untuk mengusutnya; (ii)
ketika kejahatan ditutupi oleh simulacra of crime yaitu ketika kejahatan begitu
rapi direncanakan, diorganisir, dan dikontrol, sehingga ia melampuai
jangkauan perangkat hukum, seolah-olah tidak ada barang bukti, tidak ada
pelaku, tidak ada korban; (iii) Ketika kejahatan kekerasan berlangsung dengan
tingkat ketidakterlihatan (invisibility) yang sangat tinggi
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kejahatan sempurna
adalah: kejahatan yang dengan sistematis membunuh realitas, yang menikam
kebenaran, yang menusuk keadilan, kejahatan yang begitu rapi direncanakan,
diorganisir, dan dikontrol.
13.10. Ringkasan
Proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika,
merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan.
Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


249
tersebut, tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Fungsi ilmuwan
tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan
itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang
tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pengingkaran atau perlawanan etika dalam ilmu pengetahuan adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika keilmuan. Seperti sikap-sikap
buruk yang dilakukan oleh peneliti atau adanya campur tangan faktor
eksternal yang mengakibatkan ilmu sendiri diragukan validitasnya.
- Kejahatan sempurna adalah : kejahatan yang dengan sistematis
membunuh realitas, yang menikam kebenaran, yang menusuk keadilan,
kejahatan yang begitu rapi direncanakan, diorganisir, dan dikontrol.

Moralitas Ilmu Pengetahuan


250
Bab XIV

Filsafat, Iptek, dan Budaya

14.1. Deskripsi
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi
dan kebudayaan serta relevansinya terhadap ilmu Politik. Topik-topik tersebut
telah menjadi pembicaraan dan tidak henti-hentinya diperbincangkan. Baik
politik maupun ilmu pengetahuan, Teknologi dan Kebudayaan, keduanya
mempunyai hubungan yang saling mendasari perkembangan satu dan lainnya.
Dapat dikatakan bahwa ilmu, teknologi dan kebudayaan dipengaruhi dari
pemikiran politik saat ini.
14.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah (i) pengertian ilmu
pengetahuan, teknologi dan kebudayaan; dan (ii) hubungan antara ilmu
pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan.

14.3. Pengertian llmu Pengetahuan,Teknologi, dan


Kebudayaan
Ilmu pengetahuan pada dasarnya bersumber pada rasio dan fakta.
Mereka yang berpendapat bahwa rasio
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 251
Ilmu
adalah sumber kebenaran, telah mengembangkan paham yang disebut
rasionalisme. Sedang mereka yang menyatakan bahwa fakta yang tertangkap
lewat pengalaman manusia merupakan sumber kebenaran, telah mengem-
bangkan paham empirisme.
Kaum rasionalisme menyatakan alam nyata dan gaib adalah ilmu
pengetahuan, sedang kaum empirisme menganggap bahwa yang nyata saja
yang termasuk ilmu pengetahuan sedang yang gaib bukan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berdasar objeknya dapat diklasifikasikan sebagai
berikut: (i) objek vertikal (trancendental) menyangkut sang pencipta dan sifat-
sifatnya, "kata-kata" sang pencipta; (ii) objek horisontal menyangkut ciptaan
nya seperti manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, alam benda
materi, dan alam jagat raya; dan (iii) objek "alam rekayasa" merupakan buatan
manusia.
Dari objek-objek di atas dapat dikaji tiga hal sebagai berikut: (i) religious
studies; (ii) (2) science; dan (iii) engineering and technology.
Pengertian teknologi yang tertua, sangat sederhana dan paling umum
dikenal orang ialah barang buatan manusia, konsep kedua pengertian
teknologi adalah kegiatan manusia yang efisien dan bertujuan jelas.
Efisiensi sendiri adalah konsep yang menunjukkan perbandingan lurus
antara suatu kerja dengan hasilnya. Bertujuan berarti kegiatan manusia itu
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah atau mengatasi
kesulitan tertentu. Konsep ketiga tentang teknologi adalah kumpulan
pengetahuan.

Filsafat Ipteks dan Budaya


Sifat dasar teknologi merupakan persoalan filsafati kedua. Harvey Brooks
menegaskan tugas pokok teknologi dalam masyarakat manusia ialah perluasan
dunia kemungkinan manusia yang bersifat praktis. Jadi teknologi mempunyai
peranan memperluas dan memperbesar potensi manusia untuk memenuhi
kebutuhan praktisnya.
Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk
sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan
dan pengalamannya, serta menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan
mendorong terwujudnya kelakuan. Dalam definisi ini, kebudayaan dilihat
sebagai "mekanisme kontrol" bagi kelakuan dan tindakan-tindakan manusia
(Geertz, 1973a), atau sebagai "pola-pola bagi kelakuan manusia" (Keesing &
Keesing, 1971).
Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan, petunjuk-
petunjuk, resep, rencana, dan strategi, yang terdiri atas serangkaian model
kognitif yang digunakan secara kolektif oleh manusia yang memilikinya sesuai
dengan lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972). Kebudayaan
merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh yang
bersangkutan dan yang diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan
emosi- emosi manusia serta menjadi sumber bagi sistem penilaian sesuatu yang
baik dan yang buruk, sesuatu yang berharga atau tidak, sesuatu yang bersih
atau kotor, dan sebagainya.

14.4. Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi


Kebudayan adalah dasar dari teknologi. Kebudayaan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 253


menentukan jenis teknologi yang berkembang di suatu daerah. Semakin maju
kebudayaannya, semakin berkembang teknologinya. Teknologi sendiri
merupakan perkembangan dari kebudayaan yang maju dengan pesat. Hal
inilah yang menjadi kunci hubungan antara teknologi dan kebudayaan.
Dengan sedikit penjelasan dapat diartikan bahwa teknologi dapat
memengaruhi tingkah laku sekelompok orang, apakah mereka lebih suka
berkumpul bersama, atau lebih senang menyendiri tanpa terganggu.

14.5. Hubungan antara llmu dengan Teknologi


Dilihat dari perkembangan ilmu pengetahuan sendiri, diandaikan bahwa
ilmu pengetahuan yang mampu menerjemahkan produk pengetahuannya
menjadi teknologi lebih maju taraf perkembangannya dari ilmu pengetahuan
tanpa teknologi. Teknologi sangat membantu perkembangan dan pertumbuhan
ekonomi, sambil memberi lebih banyak waktu luang kepada manusia, yang
sudah dibebaskan dari kerja fisik. Teknologi dari dirinya dianggap mempunyai
suatu watak yang liberal.
Dari perkembangan rasionalitas, maka diandaikan bahwa masyarakat
yang telah dimasuki oleh teknologi, akan semakin menyesuaikan dirinya
dengan tuntutan dari rasionalitas tersebut. Di sini sering dilupakan
kemungkinan lain bahwa kebudayaan suatu masyarakat yang belum cukup
disiapkan untuk menerima teknologi, justru menyerap teknologi itu tidak
sesuai dengan tuntutan rasionalitas teknologi tetapi sesuai dengan kebiasaan-
kebiasaan

Filsafat Ipteks dan Budaya


254
yang ada dalam kebudayaan itu, yang menyebabkan teknologi itu tidak
berfungsi optimal atau mengalami disfungsi.

14.6. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan

Dilihat dalam sejarah perkembangan umat manusia diandaikan


bahwa kebudayaan dengan perkembangan ilmu, adalah kebudayaan yang
lebih tinggi taraf perkembangannya dari kebudayaan tanpa ilmu, karena
dengan adanya perkembangan ilmu alam raya semakin dapat dikuasai.
Kebudayaan yang memakai pesawat terbang, komputer, dan telepon
dianggap lebih maju dari masyarakat yang hanya memakai kuda, pena
dan tinta atau berbicara dari mulut ke mulut. Hal ini menyebabkan
distingsi yang kadang-kadang dibuat antara kebudayaan tinggi dan ke-
budayaan rendah, atau antara kebudayaan dan peradaban.
Dalam suatu masyarakat, bukan saja kehidupan alam dapat diatur
dengan bantuan teknologi, tetapi juga dengan bantuan perkembangan
ilmu. Engineering dalam dunia fisika dianggap dapat diterjemahkan ke
dalam dunia sosial dalam bentuk sosial engineering. Demikian pula kontrol
terhadap masyarakat dapat dilakukan dengan cara-cara yang meniru
kontrol dalam perkembangan ilmu.

14.7. Ringkasan
Penerapan teknologi tidak cukup hanya mengandalkan technical
know-how, tetapi selayaknya dan semestinya didukung oleh pengetahuan
mengenai keadaan sosial-

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu ,


budaya yang cukup mengenai tempat di mana teknologi itu diterapkan.
Penerapan teknologi tanpa pengetahuan sosial-budaya dapat mempunyai dua
akibat. Kemungkinan satu, penerapan itu tidak berhasil. Kemungkinan
lainnya, sekali pun penerapannya berhasil, akibat sampingan begitu tinggi,
sehingga efek sosial yang muncul mungkin jauh lebih besar daripada manfaat
yang dibawa oleh teknologi itu.
Teknologi menjadi tempat di mana dipertaruhkan dua kepentingan ilmu
pengetahuan yaitu unsur kebenaran pengetahuan dan manfaat pengetahuan.
Hubungan di antara keduanya penuh dengan dilema sehingga menganggap
bahwa pengembangan ilmu selalu harus dihubungkan kegunaannya, mungkin
akan membuat perkembangan ilmu justru tidak produktif.
Untuk teknologi tinggi, keahlian teknis para teknolog hendaknya disertai
suatu etos profesi yang tinggi. Kontrol sosial terhadap para ahli sendiri dan
rekan-rekan mereka sendirilah yang harus mengontrol diri mereka sendiri,
karena kontrol sosial oleh masyarakat tidak mungkin dilakukan karena
mengandaikan suatu tingkat pengetahuan teknis yang tinggi, yang justru tidak
dipunyai oleh anggota masyarakat yang bukan ahli.
Kemampuan menerima suatu teknologi, tidak hanya mengandalkan
tingkat kecerdasan, tetapi juga tingkat disiplin. Kekeliruan dalam menjalankan
teknologi tidak selalu disebabkan karena seorang kurang tahu, tetapi juga
karena dia kurang perhatian dan belum mempunyai kebiasaan (habit) untuk
mengikuti disiplin dan bukan me-

Filsafat Ipteks dan Budaya


256
langgarnya.
Pengandaian bahwa teknologi hanya mengubah dunia materiil, pada taraf
sekarang tidak benar seluruhnya, karena teknologi langsung mengubah alam
pikiran dan tanggapan. Dunia materiil diubah dengan memproduksi benda-
benda, dunia tanggapan diubah dengan memproduksi tanda-tanda.
Semakin besarnya peranan para ahli dalam politik, dapat membawa kita
kepada oligarki para ahli, yang dapat menggeser partisipasi masyarakat luas
dalam suatu sistem politik yang demokratis.
Berfungsinya teknologi tidak saja tergantung kepada sifat teknologi itu
sendiri, tetapi juga sangat tergantung kepada wacana tentang teknologi.
Penyelidikan tentang wacana ini besar manfaatnya untuk melihat peraturan-
per- aturan yang dianut dalam kalangan teknologi untuk menjalankan
fungsinya, dan apa yang terdapat di balik peraturan-peraturan itu, yang sering
kali memperlihatkan dirinya dalam topeng-topeng ilmiah dan filosofis, yang
memerlukan kritik untuk mengungkapkannya dan meninjau atau kalau perlu
mendekonstruksinya sekalian.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Daftar Pustaka

Abdurrahman, M. 2005. At-Tafkeer. Alih bahasa oleh Abu Faiz, Cet. I Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, Hal. 34.
Adib, Mohammad. 2009. Jatidiri Unair Telah Berhasil Disusun dalam
http://madib.blog.unair.ac.id/ethics/ jatidiri-ua-telah-berhasil-disusun/
Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya:
Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas
Airlangga.
Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan
Agama dalam Ilmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi. Surabaya:
Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas
Airlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmadi, AsmoroDrs. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Athiyat, Ahmad. 2004 At-Thariq, Alih Bahasa oleh Dede Koswara, Cet. I.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Rajawali Pers. Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu.
Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
1997. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
1998. Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
Brower, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2001 Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 129.
Budiardjo, Miriam. 2006 Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Chalmers, A.F. 1983 Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?.
Jakarta: Hasta Mitra.
Dato, A. dan S. Morgenbesser. 1960 Philosophy of Science.
New York: Meridian Books.
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Gie. The Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi II (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2004), Hal. 110. Departemen Pendidikaan dan Kebudayaan. 1977.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet IX (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 652.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka. 1985 Materi
Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, 1985.
Hamami M., Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal - Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Yayasan

Daftar Pustaka
Pembinaan Fakultas Filasafat UGM.
Hamersa, Harry, 1992. Pintu Masuk ke Dunia Filsafat.
Yogyakarta: Kanisus.
Horgan, John. 2001. Matinya Ilmu Pengetahuan, Jakarta: Gramedia.
Ismail, Muhammad. 2003. Al-fikru al- Islamy, alih bahasa oleh A. Haidar, Cet.
I (Bangil: Al- Izzah, 2004), Hal, 95. Lihat Juga Muhammad Husain Abdullah.
Mafahim Islamiyah; Menajamkan Peahaman Islam, Cet. I (Bangil: Al-Izzah,
2003), Hal. 29-33 Kattsoff, Louis O.1992 Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara
Wacana.
Keraf, A. Sonny dan Mikhael Dua. 2001. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan
Filisofis. Yogyakarta:Kanisius. Kleden, Ignas. 1987. Sikap Ilmiah dan Kritik
Kebudayaan.
Jakarta: LP3ES.
Koentjaraningrat.1990. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Koentjaraningrat. 1986. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Kuhn, Thomas. 1976. The Structure Of Scientific Revolution.
Chicago: University Of Chicago Press.
Kuhn, Thomas S. 2002. The Structure Of Scientific Revolutions: Peran Paradigma
Dalam Revolusi Sains. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Mangunwijaya,J.B. 1987. Teknologi dan Kebudayaan.
Jakarta : Yayasan Obor Indonesia. 1987

Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir. 1988. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung: Bina Cipta.

Filsafat Ilmu: Ontologi. Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Mustansyir, Rizal dan Misnal Munir. 2001. Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Pustaka Belajar
Naya Sujana, I Nyoman. 2004. Pengetahuan Dasar Bagi Mahasiswa Baru
Memasuki Perguruan Tinggi. Surabaya:PT. Bina Ilmu.
Rapar, Jan Hedrik. 1996. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Salam, Burhanudin. 2005. Pengantar Filsafat. Jakarta: Bumi Aksara.
Santoso, Heri dan Listiyono Santoso. 2003. Filsafat Ilmu Sosial, Ikhtiar Awal
Pribumisasi Ilmu-Ilmu Sosial. Yogyakarta: Gama Media.
Siswomihardjo, Koento Wibisono, dkk,. 1997. Filsafat Ilmu.
Klaten: Intan Pariwara.
Soekanto, Soerjono. 1990. Sosiologi Suatu Pengantar.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Soekadijo, R.G. 1983. Logika Dasar: Tradisional, Simbolik dan Induktif. Jakarta:
Gramedia.
Solomon, Robert C. 2002. Sejarah Filsafat. Jogjakarta: Bentang.
Subechi, Achmad. The Soul and Spirit of Mankind Makna Kebenaran:
http://bechipersda.blogspot.com Suppe, Frederick, (ed.). 1977. The Structure of
Scientific Theories. Chicago: University of Illinois Press. Surajiyo. 2005. Ilmu
Filsafat Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.
Surajiyo. 2007. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia. Jakarta: Bumi
Aksara.
Suriasumantri, Jujun. 1985. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar
262
Daftar Pustaka
Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujuri S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dimensi Etik dan Asketik illmu Pengetahuan Manusia:
Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI)
1985. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Suseno dan Magnis, Franz. 1992. Filsafat sebagai llmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)
Taryadi, Alfons. 1989. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl Popper.
Jakarta: Gramedia.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2003. At-Tafkir, alih bahasa oleh Taqiyuddin as-Siba'I,
Cet. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), Hal. 31
Van Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita.
Terjemahan K. Bertens, Judul Asli Wetenschap en Verantwoordelijkheid. Jakarta:
Gramedia
Verhaak, C. dan R. Haryono, Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah
Atas Kerja Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wallace, Walter L. 1984. Metoda Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wiener. P.P. 1953. Reading in Philosophy of Science. New York: Charles Scribner's
Sons.

http://www.insistnet.com - INSISTS - Institute for The Study of Islamic


Thought and Civilization Powered
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
by Mambo Generated www.wikipedia.com/Aspek-Aspek positif
semangat Renaisance bagi perkembangan ilmu. http://id.google.com/
teknologi sebagai produk budaya. http://amronroy.blogspot.com/2007/09/
humanismekemanusiaan.html

264 Daftar Pustaka


Indek

A antropologi 13, 59
Aksiologi 78 Anzahel 3
A.C. Ewing 43 AR Lacey 78
Abbas Hamami M 242 Argumentum ad baculum
activity 47 190
aksiologi 23, 81 Argumentum ad hominem
Al-Battani 31 188
Al-farabi 3, 21, 31 argumentum ad hominem 2
Al-ghazali 3 189
Al-Khowarizmi 31 Argumentum ad ignoratiam
Al-kindi 3, 31, 41 195
Ali Mudhofir 38 Argumentum ad
aliran monisme 86 verecundiam 194
Amfiboli 185 Aristoteles 19, 27, 31, 34, 37,
Anaxagoras 82 72, 88, 149, 166, 206
Anaximander 81, 86 attitude 47
Anaximandros 26 Augustinus 19, 30
Angeles, Peter 55 Averroisme 31
Anton Bakker 87
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
B E.B. Taylor 59
effects 47
B. Spinoza 82, 86 Einstein 97
Babbie 134 eksistensialisme 119
Elwood 63
Bacon 31 Empedokles 82
empirisme 73
Bacon, Francis 31, 179 epistemologi 23, 41, 74, 75, 81
Baudrilland, Jean 248 Esensialisme 123
Benjamin, A, Cornelius 55
F
Berger, Peter 113
filsafat ilmu 70
Berkeley 12
Fransiscan Roger Bacon 4
Biesanz, John 59
Freud 243
Brooks, Harvey 253 G
C
G. Kemeny, John 49 Galilei,
CA. Van Peurson 52
Galileo 12
Cassirer, Ernest 88
H. Gerard Van Cromona 4
Cicero 21
Gordon 83
Comte, August 122
Guba 112
Conant, James B. 133 H
conclusions 47 H. Titus, Harold 38, 49
Copernicus 12 Habermas 239
D
Darwinisme 217 Hanafi 3

David Hume 4 Hanbali 3

Descartes, Rene 10, 19, 22, 37, Hebernas, Jurgen 120

77, 82118, 237 Heraklitus 27, 28, 34

Dewey, John 178 homo oeconomicus 59


E
266 Daftar Pustaka
L
Horgan, John 80
Lehrer, Keith 76
Hume 5, 11, 12, 77
Leibinz 82
Husserl 239
I Leonardo da Vinci 7

Ibnu Khaldun 3 Locke, John 178, 201


M
Ibnu Rusyd 31
M.J. Langeveld 42
Ibnu Sina 3, 4, 31, 39
Maliki 3
Ignoratio elenchi 194
Martir, Justinus 30
Induksi 145, 147
Maslow 59
J
Mavies 59
J. Bahm, Archie 47
Metafisika 41
J.J. Rousseau 4
metafisisontology 119
J.J.C.Smart 56
method 47
John Locke 4
Michelangelo 7
Josep Situmorang 238
Mill, John Stuart 166
Jujun S. Suriasumantri 50,
monisme 82
70, 120
K Montagu, Ashley 59
Kant, Immanuel 18, 33, 37, Mr. D.C. Mukler 42
82, 89, 118 Muhammad Abdurrahman
Kattsoff, Louis 17, 42 140
N
Kebudayaan 253
N. Driyarkara S.J., 39
Klemens 30
naturalisme 73
Koherensi 121
Newton 4, 45
Konstruktivisme 124
Notonagoro 38
Korespondensi 121
Kuns, Thomas 80

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 267


O Singer, Charles 49
Skeptisme 12
Oemar Amin Hoesin 42
ontologi 23, 69, 72, 81 St. Augustine 71
P Surajiyo 126
Parmenides 27 34 Suriasumantri 232
penomenologi 119 Syafii 3
perenialisme 119 T
Petitio principii 196
Tagore, Rabindranath 19
Phenix 85 Phytagoras 27, 34
Taqiyuddin an-Nabhani 133
Pierce 134
teori Evolusi Darwin 40
Plato 18, 21, 37, 70, 72, 76, 82,
118 teori Relativitas Einstein 40
Positivisme 122 Tertullianus 30
Pragrmatisme 123
Thales 2, 26, 27, 28, 34, 49,
Pyhtagoras 26, 29
72, 81, 86
R
R. Harre 46 The Liang Gie 54, 91, 102
rasionalisme 252 V
realisme 73
van Dyike 60,65
Reid 77
Religiusisme 124 Van Melsen 237

Rizal Mustansyir 239 W


Rosenblueth, Arturo 133 Weber 238
Russell, Bertrand 80, 125
S Whitehead, 181

Scheffler, Israel 55 X
Senn, Peter R. 132 Xenophanes 27, 34
silogistik 10

268 Daftar Pustaka


Lampiran-lampiran

Lampiran 1: Islam, Renaissance, dan llmu Pengetahuan


Oleh: Hamdan Maghribi
http://kotasantri.com/mimbar.php?aksi=Detail&sid=419

KotaSantri.com: Teknologi dan segala kemajuan yang dicapainya


tidak akan terlepas dari ilmu pengetahuan dan kemajuannya. Maka
amatlah penting bila kita melihat peran ajaran Islam bagi perkembangan
ilmu pengetahuan, karena para ilmuwan Barat melihat bahwasanya
segala kemajuan yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan tidak ada
kaitannya dengan Agama -di Barat maupun Timur- dengan argumen
bahwasanya agama yang absolut ajarannya bersifat statis, sedangkan
ilmu pengetahuan bersifat dinamis dan progresif, dengan perbedaan
tersebut - menurut ilmuwan Barat- agama tidak dapat mengikuti
kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.
Seperti yang telah diketahui, Yunani adalah tempat di mana lahir
filsafat dan ilmu pengetahuan, sekitar 600

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


tahun sebelum masehi. Dalam pemikiran alam sekitar mereka, para
filosof Yunani seperti Thales, Anaximenes, Anaximandros, Heraklitus,
Demokritus yang diikuti oleh Phytagoras, Socrates, Plato, dan Aristoteles
banyak memakai akal dalam melahirkan dan mengembangkan ilmu
pengetahuan. Selanjutnya, ditangan para filosof Yunani ilmu
pengetahuan berkembang demikian pesatnya. Perlu ditegaskan di sini,
pada waktu itu ilmu dan filsafat merupakan satu kesatuan dan belum
terpisahkan sebagaimana hari ini. Maka akal dalam ilmu pengetahuan,
sama dengan filsafat, mempunyai kedudukan dan peran yang sangat
penting sekali.
Selama ini ada asumsi bahwa antara agama (yang mempunyai
ajaran absolut dan dogma yang diwahyukan dari Tuhan) dan ilmu
pengetahuan yang banyak bergantung pada akal yang kebenarannya
relatif dan dinamis, terdapat pertentangan keras. Lembaran-lembaran
sejarah menunjukkan bahwa di Barat pada era medieval terjadi
pertentangan yang sangat sengit antara ilmu pengetahuan dan agama; di
Timur juga kita jumpai hal serupa pada masa antara abad 13 dan 20.
Di sini timbul pertanyaan bagaimana sebenarnya sikap agama
(baca: Islam) terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan serta perkembangan
tekhnologi? Jawaban pertanyaan ini terletak pada hakikat kedudukan
akal dalam agama yang bersangkutan. Agama yang menjunjung tinggi
akal tidak akan kesulitan dalam menjawab segala perubahan dan
modernisasi karena ia tidak akan berbenturan dengan ilmu pengetahuan
dan teknologi. Keduanya akan

Lampiran-lampiran
270
mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.
Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia
Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini
seolah smash bola voli dari umpan tarik tidak terduga. Adalah dosen
senior antropologi Amri Marzali yang melontarkannya. Tampil sebagai
keynote speaker dalam 4th International Symposium of Jurnal Antropologi
Indonesia di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri merasa gelisah
dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang menerpa disiplin
antropologi, khususnya di Indonesia.
Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama,
berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih
asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan bahwa saat ini antropologi berkembang dalam masyarakat yang
berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan explanatory,
sampai seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan masalah-masalah
sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga, berhubungan dengan moral
significance yang menyangkut cara dan tujuan penggunaan antropologi.
Tentu saja ini berhubungan dengan etika keilmuan, yang menyangkut
untuk apa dan siapa kegiatan keilmuan dilakukan, untuk kejahatan
kemanusiaan atau kemaslahatan.
Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis
relevansi seperti yang telah diungkapkan. Pertama, kenyataan di
lapangan menunjukkan, belakangan

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu


kajian-kajian yang menggunakan antropologi sebagai alat analisis
semakin banyak. Hal ini ditunjukkan dengan terbitnya buku-buku
kajian keislaman di Indonesia yang ditulis baik oleh sarjana Barat
ataupun Timur, termasuk Indonesia. Beberapa proyek departemen,
seperti Depdiknas, sebagian penelitiannya menggunakan pendekatan
antropologi untuk memperoleh penjelasan terhadap beberapa masalah
pendidikan di Indonesia. Sebagian LSM juga menggunakan jasa ilmu
ini dalam riset- riset yang mereka lakukan.
Sayangnya, pada saat yang sama, secara institusional dan
akademik, antropologi tidak menjadi jurusan atau program studi yang
marketable. Banyak perguruan tinggi negeri yang tersebar di seluruh
Indonesia tapi tidak punya jurusan antropologi. Apalagi untuk swasta,
penulis belum mendengar ada yang berani membuka jurusan
antropologi. Ini memperlihatkan adanya kekhawatiran, membuka
jurusan ini tidak akan memberikan keuntungan apa-apa karena tidak
ada peminatnya. Bandingkan dengan jurusan akuntansi, manajemen,
psikologi, atau yang sedang menjadi tren sekarang ilmu komunikasi.
Alasan yang mudah diduga mengapa hanya sedikit mahasiswa
yang memilih jurusan antropologi adalah karena lulusan jurusan ini
tidak mudah dalam memperoleh pekerjaan. Faktor prospek masa depan
adalah pertimbangan yang sangat wajar dan realistis.
Banyak mahasiswa antropologi yang penulis jumpai mengaku
memilih jurusan antropologi sebagai pilihan kedua atau ketiga ketika
mengikuti ujian masuk perguruan

272Lampiran-lampiran
tinggi. Artinya, selain dianggap tidak terlalu menjanjikan di
satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa mempromosikan
dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.
Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin yang
lebih berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini sebagai
ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya penelitian
lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain berorientasi
keilmuan, antropologi juga mengembangkan diri dengan
berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah seperti
antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang
lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim
berkonotasi pada kepakaran atau keahlian.
Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau
peneliti. Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain
berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana
psikologi, juga mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu,
bukan sesuatu yang mengada-ada bagi antropologi untuk
memperluas orientasi akademisnya.
Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan.
Yang dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya
masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang
menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri
Marzali agar antropologi tidak mengenyam- pingkan applied
anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.
Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga
mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah
ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum
dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini
telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas
perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi
terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai
masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah
kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini,
yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa
memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini.
(Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi
Antropologi pada Pascasarjana UGM).

Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan
April 10, 2008, Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan Posted by
hipmala under Politik I Tag: Politik & Hukum I

Dewan perwakilan rakyat hari-hari ini disibukkan dengan Lagu


yang dirilis oleh Slank.Mereka menganggap lagu tersebut. Senin ini (7/4),
Wakil Ketua Badan Kehormatan (BK) DPR, Gayus Lumbuun, usai rapat
konsultasi tertutup antara BK DPR dengan Ketua DPR, Agung Laksono,
mewakili lembaganya menyatakan bahwa lirik lagu itu menyakiti DPR
dan DPR tengah mengkajinya, apakah lirik tersebut termasuk penistaan
terhadap lembaga dan layak ditindaklanjuti secara hukum.

Gosip Jalanan (Oleh: Slank)


Pernah kah lo denger mafia judi Katanya banyak
uang suap polisi tentara jadi pengawal pribadi Apa
lo tau mafia narkoba keluar masuk jadi bandar di
penjara terhukum mati tapi bisa ditunda

Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 275


Siapa yang tau mafia selangkangan Tempatnya lendir2
berceceran Uang jutaan bisa dapat perawan Kacau balau ...
2x negaraku ini ...
Ada yang tau mafia peradilan
tangan kanan hukum di kiri pidana
dikasih uang habis perkara
Apa bener ada mafia pemilu
entah gaptek apa manipulasi data
ujungnya beli suara rakyat
Mau tau gak mafia di senayan
kerjanya tukang buat peraturan
bikin UUD ujung2nya duit
Pernahkah gak denger triakan Allahu Akbar
pake peci tapi kelakuan bar bar
ngerusakin bar orang ditampat2
Jadi pantaskah anggota DPR menggugat ? Bukankah selama ini DPR
tidak ada yang mengawasi ? Adakah lembaga formal yang mengawasi
DPR ? sekali lagi tidak ada. Yang mengawasi adalah Rakyat ...sudah
pasti, rakyat kecil, wong cilik, mahasiswa, LSM, seniman, dan Slank
adalah seniman bagian dari rakyat. Apa yang disampaikan Kaka dkk
adalah cuma gosip semata...sesuai judulnya bukan? Gosip artinya "masih
katanya", "mungkin", "barangkali" yang masih bisa ditepis dengan bukti-
bukti yang bisa ditunjukkan. Kenapa musti repot ? anggap saja Slank ini
anak-anak yang iseng bin jahil...Kenapa musti ditanggapi dengan
sewot...benar-benar kurang kerja- ankah?

Lampiran-lampiran
Apa bedanya dengan lirik lagu "wakil rakyat" dari Iwan Fals ?
bukankah sama ? Dan kalau anggota DPR yang terhormat tidak merasa
seperti yang DIGOSIPKAN (bukan yang dituduhkan), kan bisa cuek
saja...
Sebenarnya reaksi anggota DPR ini sangat berlebihan, mereka
menganggap bahwa dirinya orang yang paling berkuasa di negeri ini.
Memang, jika kita lihat dari tugas dan wewenangnya mereka mengawasi
pemerintah, membuat undang undang, menentukan gubernur BI,
memang akhir akhir ini porsi mereka cukup banyak di dunia perpolitikan,
tetapi ketika giliran digosipin (bukan dikritik, bukan diawasi), mereka
sudah kebakaran jenggot. Padahal bisa kita lihat di media televisi, tidak
sedikit dari mereka yang tidur ketika rapat. Padahal mereka DIGAJI oleh
rakyat. Apa ga punya malu....
Tapi memang tidak semua..dan bagi anggota DPR yang bekerja
dengan benar pasti gossip dari SLANK akan dianggap sebagai pemicu
untuk menjadi lebih baik lagi. Mestinya gosip dari slank dianggap saja
sebagai semacam kritikan yang membangun saja, itu kalo mereka mau
berpikir positif...Coba deh kalau mereka mau jujur, mau melihat dengan
hati nurani, mau merenung dalam dalam, apakah mereka sudah berbuat
banyak untuk rakyat ? sudah memberi yang terbaik ? kita bisa menilai
sendiri.
jadi wajar jika rakyat mengkritik dan memberi saran, orang mereka
yang milih kita ko', apa mungkin saking banyaknya pekerjaan sehingga
mereka lupa akan dirinya sendiri. MJR ( Mak Jelas Remang-Remang).
dari berbagai sumber
FiIsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Biodata Penulis

Drs. H. Mohammad Adib,


MA. Lahir di Jombang, pada 28 November
1960, adalah Lulusan Filsafat Barat Fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Pendidikan S-2 dan
gelar MA nya diperoleh di
Departemen Antropologi Universitas Indonesia Kampus
Salemba Jakarta. Ia adalah dosen pada Departemen
Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Airlangga sejak tahun 1987. Jabatan fungsionalnya adalah
Lektor Kepala; Ketua Komisi Kependudukan LPPM UNAIR
(2008-2010); Pengurus LLI (Lembaga Lansia Indonesia)
Provinsi Jawa Timur (2003- sekarang); Pengurus Komda
(Komisi Daerah) Lansia Provinsi Jawa Timur (2007-2010);
Pemimpin Redaksi Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan
(Scientific Population Journal ISSN: 979-9471-10-9.
Terakreditasi: Dirjen Dikti No. 49/ Dikti/Kep/2003) di LPPM
Universitas Airlangga (2003-2007 dan 2008-sekarang).

Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu


Tulisan-tulisannya tentang filsafat antara lain. Bahan Ajar Filsafat
Ilmu dan Logika (2007), Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan
Agama dalam llmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi (2007), Etika
Sosial Politik (2009), Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi (Editor, 2009),
dan Kebangsaan Indonesia: Mengurai Jatidiri dan Menemukan Solusi (Editor,
2009)., Etnografi Timor Tengah (2009) dan Etnografi Madura (2009).
Tulisan lainnya adalah Syahwat (Meningkatkan Kesejahteraan) Lansia
(2009), Optimalisasi Fungsi Komisi Lansia (Editor, 2008), dan Isu-isu
Kontemporer dan Kesaksian Lansia Aktif (Editor, 2009). Revitalisasi Program
Keluarga Berencana Nasional (Editor, 2009), Studi Daya Dukung dan Daya
Tampung Penduduk Jawa Timur (1993); Faktor Sosial- Ekonomi Lansia di Panti
Wredha di Jawa Timur (1994), Studi Eksplanatif terhadap Panti Wredha yang
Berbudaya Indonesia (1996). Tahun 2009 ini sedang melakukan Penelitian
Strategis Nasional tentang Meningkatkan Well Being Lansia Melalui
Dukungan Sosial Berbasis Komunitas.
Tulisan-tulisan tersebut umumnya merupakan pe- redaksian
kemabali dari sejumlah tulisan yang pernah dimuat di berbagai media
massa seperti Jawa Pos, Surya, Surabaya Post, Pelita, Berita Buana, Republika,
dan Kompas.
Penulis ini beralamat tempat tinggal di Jl. Gebang Putih
(Puskesmas) 64 Surabaya 60117. Email: hmadib@unair.ac.id. Tulisan
dan diskusi dapat diakses di WebBlog: http://madib.blog.unair.ac.id.
Phone cell yang dapat dihubungi di GSM: 081-551-M-ADIB (6-2342), dan
CDMA: 031-60-7676-70.

Lampiran-lampiran

MILIK PERPUSTAKAAN UIN


SUNAN KALIJAGA

Anda mungkin juga menyukai