Anda di halaman 1dari 2

Peran Filsafat dalam Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Oleh : Aan Midad Arrizza

Konsepsi-konsepsi tentang kehidupan dan dunia yang kita sebut “filosofis”


dihasilkan oleh dua faktor: pertama, konsepsi-konsepsi religius dan etis warisan; kedua,
semacam penelitian yang biasa disebut “ilmiah” dalam pengertian yang luas. Kedua
faktor ini mempengaruhi sistem-sistem yang dibuat oleh para filosof secara
perseorangan dalam proporsi yang berbeda-beda, tetapi kedua faktor inilah yang,
sampai batas-batas tertentu, mencirikan filsafat.1
Filsafat adalah sesuatu yang berada di tengah-tengah antara teologi dan sains.
Sebagaimana teologi, filsafat berisikan pemikiran-pemikiran mengenai masalah-
masalah yang pengetahuan definitif tentangnya, sampai begitu jauh, tidak bisa
dipastikan; namun, seperti sains, filsafat lebih menarik akal manusia daripada otoritas
tradisi maupun otoritas wahyu. Semua pengetahuan definitif termasuk ke dalam sains;
semua dogma, yang melampaui pengetahuan definitif, termasuk ke dalam teologi.
Tetapi, diantara teologi dan sains terdapat sebuah wilayah yang tidak dimiliki oleh
seorang manusia pun, yang tidak terlindung dari serangan di kedua sisinya; wilayah tak
bertuan ini adalah filsafat.2
Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia
pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan sehingga corak pemikirannya
antroposentris, yaitu pemikiran filsafat mendasarkan pada akal pikir (rasionalisme) dan
pengalaman (Empirisme). Sebelumya telah dikemukakan bahwa munculnya Renaisance
dan Humanisme sebagai awal masa abad modern, dimana para ahli (filsuf) menjadi
pelopor perkembangan filsafat (kalau pada abad pertengahan yang menjadi pelopor
perkembangan filsafat adalah para pemuka agama). Pemikiran filsafat diupayakan lebih
bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya manusia agar dapat
menguasai lingkungan alam menggunakan berbagai penemuan ilmiah.3
Secara epistemologis paling tidak ada dua aliran filsafat pengetahuan yang
berkembang mengkaji tentang bagaimana timbulnya, prosedur dan apa yang disebut
kebenaran itu, yakni aliran rasionalisme dan empirisme. Kedua aliran ini berkontribusi
terhadap perkembangan filsafat pengetahuan.4 Rasionalisme adalah suatu aliran filsafat
yang berupaya untuk memperluas metodologi bahwa otoritas rasio (akal) adalah sumber
dari segala pengetahuan, sementara pada kutub yang lain empirisme berpandangan

1
Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007, hal. 13.
2
Akhyar Yusuf Lubis, Epistemologi Fundasional: Isu-Isu Teori Pengetahuan, Filsafat Ilmu
Pengetahuan, dan Metodologi, Bogor: Akademia, 2009, hal. 160
3
Suaedi, Pengantar Filsafat Ilmu, Bogor: IPB Press, 2016. hal. 4.
4
Tedy Machmud, “Rasionalisme dan Empirisme: Kontribusi dan Dampaknya pada
Perkembangan Filsafat Matematika”, dalam Jurnal INOVASI, Vol. 8, No. 1, Maret 2011, hal. 113
bahwa sumber pengetahuan adalah pengalaman indrawi, bukan penalaran murni. Dua
aliran tersebut di atas berbeda dalam hal status penalaran tentang ide-ide.5

Salah satu kontribusi signifikan filsafat bagi perkembangan dan kemajuan ilmu a
dalah menentukan landasan filosofis bagi ilmu, baik yang berdimensi ontologis, epistem
ologis, maupun aksiologis. Kontribusi ini menjadikan ilmu sebagai salah satu instrumen
intelektual yang bergerak menuju context of discovery, bukan hanya terhenti pada conte
xt of justification yang stagnan dan monolitik. Ilmu telah mampu membuka diri dan kel
uar dari cirinya yang eksklusif menjadi lebih inklusif, merespon keragaman, dan terinte
grasi (terpadu) dengan berbagai aspek kehidupan manusia dalam arti yang luas.6

Seharusnya filsafat diajarkan secara antusias di tingkat sekolah menengah, sebag


aimana di Eropa, kita telah melihat hasilnya yang sangat spektakuler, di mana berpikir k
ritis telah menjadi bagian dari cara pandang generasi muda Inggris, Prancis, dan Jerman.
Dan hasil yang paling mencoloknya adalah dari sana muncul filsuf-filsuf terkemuka yan
g mendunia, dan telah memengaruhi banyak intelektual dunia, tidak terkecuali di Indone
sia. Ironisnya, Indonesia tidak mengajarkan filsafat, jangankan di sekolah menengah ba
hkan di perguruan tinggi, biasanya berdasarkan ketakutan yang tidak beralasan. Ketakut
an yang muncul biasanya berkenaan dengan kekhawatiran, yang tidak beralasan tadi, ata
s norma-norma yang sudah mapan, apakah itu dari ideologi negara maupun agama. Seba
b, pada dasarnya hidup kita dirajut oleh filsafat. Kita bisa saja secara ekstrem menolak fi
lsafat, tetapi hal itu justru menjadikan hidup kita “absurd” karena kita mengurung sepen
uhnya hidup kita yang ada di sini, tanpa mau tahu soal-soal sangkan paraning dumadi,
kata orang Jawa: asal-usul kehidupan kita, arti dan tujuannya. Lagipula menolak filsafat
seharusnya juga dengan filsafat juga. Tanpa itu nonsens, kecuali kita diam seribu bahasa.

Daftar Pustaka
Idris, Saifullah dan Fuad Ramly. Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus
Integrasi Ilmu. Yogyakarta: Darussalam Publishing, 2016.
Lubis, Akhyar Yusuf. Epistemologi Fundasional: Isu-Isu Teori Pengetahuan,
Filsafat Ilmu Pengetahuan, dan Metodologi. Bogor: Akademia, 2009.
Machmud, Tedy. Rasionalisme Dan Empirisme: Kontribusi dan Dampaknya
pada Perkembangan Filsafat Matematik. Jurnal INOVASI, Vol. 8, No. 1, Maret 2011.
Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2007.
Suaedi. Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press, 2016.

5
Tedy Machmud, “Rasionalisme Dan Empirisme : Kontribusi dan dampaknya pada
perkembangan filsafat matematika”, dalam Jurnal INOVASI, hal. 115
6
Saifullah Idris, et.al., Dimensi Filsafat Ilmu dalam Diskursus Integrasi Ilmu, Yogyakarta :
Darussalam Publishing, 2016, Hal. 7.

Anda mungkin juga menyukai