Anda di halaman 1dari 49

IDENTITAS

Jenis : Buku Ajar

Judul Buku : Filsafat Ilmu

Penulis : Muhammad Nur

Editor : Misbah

Layout : Nia, Ihza, Azka

Cover : Ezra, Uzma

Penerbit : Fakultas Syariah dan Hukum Press

Percetakan : ................................

ISSN : ................................

SEKAPUR SIRIH

Keberhasilan proses pembelajaran ditentukan oleh banyak variabel, di


antaranya; sarana, prasarana, input pembelajaran (sumber daya mahasiswa) dan
sumber pembelajaran. Terkait dengan variabel yang disebut terakhir, dapat
berupa dosen pengajar, internet, alam sekitar (lingkungan) dan sumber
kepustakaan. Sumber pembelajaran dalam bentuk kepustakaan mengambil
bentuk dalam buku manual (manual book) dan buku elektronik (electronic
book/e-book). Kendati buku maupun e-book memiliki plus minus (sisi positif
dan negatif) namun bertujuan sama, yaitu menjadi media bagi sebuah
transformasi informasi di antara manusia.
E-book yang kini menjadi tren menyisakan hambatan dalam hal
infrastruktur berupa jaringan atau koneksi internet. Artinya jika tidak ada
koneksi internet maka tidak akan mungkin mengakses buku. Tidak semua
tempat tersedia layanan gratis (spot area). Tidak semua peserta didik memiliki
infrastruktur laptop karena latar belakang kemampuan daya keekonomisan.
Untuk itulah maka buku manual menjadi tetap relevan di tengah era teknologi
informasi (IT) dewasa ini. Artinya keberadaan non IT (dalam hal ini buku
manual) menyahuti bagian yang tidak terelakkan dari era IT ini. Oleh karena itu
pembuatan dan penerbitan buku menjadi signifikan.
Berangkat dari latar di atas, maka sebagai komunitas akademik yang
konsern dengan informasi, keberadaan sebuah buku sebagai sumber
pembelajaran tidak terhindarkan. Sehingga pembuatan dan penerbitan buku
tidak boleh berhenti dan harus tetap dilanjutkan. Inilah yang mendorong
perlunya penerbitan buku ini dilakukan, yaitu penerbitan buku ajar.
Tema buku ajar ini adalah filsafat ilmu. Beberapa argumen signifikansi
pengajuan buku ajar ini adalah; (1) belum ada usulan tentang buku ajar filsafat
ilmu di lingkungan Fakultas Syari’ah dan Hukum; (2) kendati buku bertemakan
filsafat ilmu cukup jamak di pasaran, tetapi filsafat ilmu yang bercirikan institusi
seperti UIN umumnya belum ada; (3) buku ajar ini mengacu pada kurikulum dan
silabi yang ada di UIN sehingga memudahkan bagi peserta didik untuk
memperoleh informasi secara cepat dan padat.
Semoga kehadiran buku ajar ini dapat menjadi pegangan awal bagi
transformasi pengetahuan umumnya dan filsafat ilmu khususnya.

Salam penulis

Dr.H.Muhammad Nur S.Ag., M.Ag

DAFTAR ISI

BAB I ILMU FILSAFAT


A. Pengertian
B. Kedudukan
C. Objek
D. Metode
E. Karakter
F. Manfaat
G. Sistematika
H. Aliran
BAB II FILSAFAT ILMU

A. Pengertian
B. Objek
C. Kedudukan
D. Fungsi
E. Relasi

BAB III KILAS HISTORIS

A. Zaman Yunani
B. Abad Pertengahan
C. Era Modern
D. Kurun Kontemporer

BAB IV ILMU, TEKNOLOGI, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN

A. Ilmu dan Teknologi


B. Titik Pisah dan Temu antara Ilmu dan Teknologi
C. Kebudayaan
D. Relasi Ilmu, Teknologi dan Kebudayaan
E. Peradaban

BAB V KEBENARAN

A. Fakta, Kepercayaan dan Kebenaran


B. Kebenaran Ilmiah
C. Teori Kebenaran

BAB VI KARAKTERISTIK ILMU

A. Beberapa Konsep
B. Landasan Penelaahan Ilmu
C. Ilmu Sebagai Proses
D. Metode Ilmiah

BAB VII EPISTEMOLGI

A. Pengertian
B. Ragam
C. Perbedaan

BAB VIII PILAR PENYANGGA ILMU

A. Bahasa
B. Logika, Matematika dan Statistika

BAB IX ILMU DALAM PERSPEKTIF

A. Kealaman, Sosial dan Humaniora


B. Barat dan Timur

BAB X ETIKA KEILMUAN

A. Etika Sosial
B. Etika Religius
C. Etika Hukum

PENGANTAR

Aguste Rodin (1840-1917) Menyebut manusia sebagai “Homo Sapiens”, artinya


makhluk yang berfikir. Artinya Manusia itu identik dengan aktifitas selalu berfikir.
Tidak akan dianggap ada eksistensi seorang manusia kalau dia telah “istirahat “ berfikir.
Pernyataan yang bermuatan sama juga diucap oleh Rene Descartes (1596-1650),
“Cogito Ergo sum”. Saya berfikir, saya ada (makna sebaliknya adalah, jika saya tidak
berfikir maka saya tidak dianggap ada).

Albert Einstein, yang memperkenalkan teori fisika juga menandaskan betapa


akal sebagai alat utama dalam berfikir demikian penting. Sehingga dia mensejajarkan
dengan agama. “Agama tanpa akal adalah lumpuh. Akal tanpa agama adalah buta”
Aktifitas berfikir melahirkan pengetahuan, yang dibingkai dengan kata-kata atau
bahasa. Ketika pengetahuan disusun secara sitematis melahirkan ilmu pengetahuan
yang pada gilirannya menentukan pembentukan peradaban manusia.
Berfikir pada dasarnya ingin melakukan tiga aktifitas sekaligus (1) Apa objek
yang ingin diketahui; (2) Bagaimana objek itu bisa diketahui; (3) Apa nilai dari objek
yang diketahui itu. Dari sinilah bermula filsafat ilmu.

O. Tuhan!

Berilah hamba kearifan

Laksana sebuah teropong Bintang

Tinggi mengatas galaksi

Rendah hati di atas Bumi

Bukankah manfaat pengetahuan

Penggali hakekat kehidupan?

Bimbinglah sigoblok ini

Dalam menemukan ujud maknawi

Dalam kenisbian sekarang ini

BAB I

ILMU FILSAFAT

A. Pengertian

Ilmu filsafat dan filsafat ilmu kerap menjumbuhkan jika tidak dimengerti secara
baik. Serupa tapi tak sama, itulah yang dapat dikatakan untuk kedua kata majemuk
tersebut. Ilmu filsafat (sering ditulis filsafat saja) merupakan bahasa Indonesia yang
sepadan dengan falsafah (Arab); philosophy (Inggris); Philosophia (Latin); Philosphie
(Jerman, Belanda dan Perancis).

Secara etimologi (makna kata) kata filsafat, berasal dari bahasa Yunani,
philosophia, Philo; Philen, bermakna cinta, teman. Sedangkan sophia, sophos bermakna
(1) pengertian yang mendalam atau bijaksana. (2) rajin (3) kebenaran (4) pengetahuan
yang luas (5) kecerdikan (6) pertimbangan yang sehat.

Orang yang pertama kali memperkenalkan kata philosophia adalah Pythagoras


yang ia gunakan untuk menyebut para pecinta kebijaksanaan (lover of wisdom). Artinya
kaum yang melakukan perbuatan bijak dan tidak semena-mena disebut sebagai filosof.

Secara terminologi (makna istilah), filsafat memiliki pengertian yang bermacam-


macam. Keragaman pengertian tersebut dipengaruhi oleh titik tekannya. Beberapa
pengertian yang ada di antaranya; (1) Pengetahuan yang berupaya mencari tahu sebab
yang sedalam-dalamnya tentang sesuatu berdasarkan pikiran (Poedjawiatna); (2)
Pengetahuan yang berupaya mendalami sesuatu dengan mendalam (Hasbulah Bakry);
(3) Pengetahuan yang berupaya mencapai kebenaran yang asli (Plato); (4) Pengetahuan
yang berupaya mencari kebenaran dalam bidang metafisika, logika, retorika, ekonomi,
politik dan estetik. (Aristoteles); (5) Pengetahuan tentang hakikat alam wujud (Al
Farabi & Immanuel Kant); (6) The love to wisdom (Pythagoras); (7) The attempt to
answer the ultimate question crtically (Bertrand Russel); (8) A collective name for
question which have not been answer to the satisfaction of all that have asked them
(William James); (9) Usaha mencari kejelasan sesuatu, secara gigih dan cermat dan
terus menerus (Mohd Nur).

Tentu saja pengertian tersebut bukan harga mati. Pengertian baru bisa saja
dibuat oleh siapapun. Hal ini pernah ditegaskan oleh Muhammad Hatta dalam “Alam
Pikiran Yunani” bahwa definisi filsafat itu uncountable bisa tidak terhitung. Definisinya
sebanyak orang yang yang mau mendefenisikannya. Oleh karenanya jangan pernah
takut untuk membuat pengertian baru.

B. Kedudukan

Filsafat tidak hanya sebagai sebuah disiplin keilmuan (ilmu filsafat) melainkan
memiliki kedudukan yang beragam. Filsafat bisa menjadi metode. Artinya, filsafat itu
sebagai cara dalam berfikir secara reflektif (mendalam). Atau merupakan cara
penyelidikan yang menggunakan alasan, berfikir secara hati-hati dan teliti. Dalam hal ini
argumentasi filsafat bersifat inclusive (mencakup secara luas dan lengkap) dan synoptic
(secara garis besar bukan detail). Selain itu, filsafat juga berkedudukan sebagai
kelompok persoalan, artinya filsafat adalah menjawab persoalan-persoalan abadi
(perennial problems), seperti apa kebenaran itu? Mengapa manusia ada di dunia?
Apakah alam ini terjadi secara kebetulan ?

Kecuali hal di atas, filsafat berkedudukan juga sebagai sistem pemikiran, artinya
filsafat itu merupakan kumpulan teori yang telah diperkenalkan oleh banyak filosof.
Dalam dunia ilmu pengetahuan sering dijadikan sebagai kerangka teori atau
pendekatan. Kemudian filsafat juga berkedudukan analisa logis tentang bahasa, artinya
filsafat sangat memperhatikan tentang makna kata. Misalnya, kata "ada" untuk
manusia, Tuhan, benda atau binatang. Dan yang terakhir filsafat berkedudukan sebagai
worldview. Artinya filsafat berupaya menggabungkan kesimpulan dari berbagai ilmu
dan pengalaman manusia menjadi satu pandangan yang konsisten secara universal
yang berlaku seantero jagad.

C. Objek

Objek adalah sasaran. Dalam filsafat, objek dibedakan kepada yang bersifat
material (objek material) dan yang bersifat formal (objek formal). Objek material adalah
hal-hal (persoalan apa) yang dikaji. Dalam hal ini meliputi apa yang ada dan yang
mungkin ada, baik tergolong ke dalam alam (kosmologi), manusia (antropologi)
maupun Tuhan (teologi). Adapun objek formal, merupakan cara kerja yang khas dari
studi filsafat, yaitu sampai ke akar-akarnya (radikal). Artinya filsafat bukan sekedar
tahu, melainkan apa yang ada di balik tahu itu.

D. Metode

Untuk membuktikan bahwa filsafat berupaya untuk menjawab secara tuntas


persoalan apa saja, maka filsafat memiliki metode (cara) yang akan mengantarkan
kepada keradikalannya.

Ada dua metode pokok dan penting dalam filsafat, yaitu: (1) analisa, yaitu
metode yang mengarah kepada penganalisaan atau merinci secara serius terhadap
statement atau term atau konsep. Hal ini penting karena sebuah pernyataan tidak serta
merta mencerminkan makna yang ada di dalamnya. Analisa meliputi; (a) ekstensi, yaitu
merinci pernyataan dengan melihat konteks pemakaiannya; Contoh, kata bisa. Jika bisa
dipakai dalam kalimat saya bisa menjadi ilmuan tentu berbeda dengan kalimat bisa ular
kobra itu mematikan. Pencermatan konteks ini menjadi penting dalam filsafat; (b)
intensi, yaitu merinci pernyataan dengan melihat sifatnya; Contoh, kalimat perintah
seorang ayah kepada anaknya yang ingin keluar rumah. Ketika jawaban sang ayah
silahkan pergi, bisa bermakna boleh tapi juga bisa bermakna tidak boleh; (c) ostensi,
yaitu merinci pernyataan dengan melihat makna apa adanya (makna dasar sesuai
dengan makna leksikal/kamus).

Metode (2) sintesa, yaitu metode yang mengarah kepada penghimpunan semua
pengetahuan yang dihasilkan dari metode analisa untuk merumuskan sebuah world
view. Piranti (sarana kelengkapan) sintesa adalah logika yang akan mengantar kepada
“how to make true conclusion from premises”. Dalam hal ini komponen logika yang
dominan adalah: (a) induksi, yaitu bagaimana membuat kesimpulan berdasar data-data
spesifik di lapangan; Misalnya, informasi dari mahasiswa setelah ditanya tentang mata
kuliah filsafat, 24 dari 30 mahasiswa menjawab membingungkan. Maka kesimpulannya
adalah bahwa mata kuliah ini membingungkan; (b) deduksi, yaitu bagaimana
membuktikan kesimpulan umum dalam kasus-perkasus (dilapangan); Contoh, salah
satu teroi dalam kiegiatan ekonomi mengatakan, bahwa dengan modal sekecil-kecilnya
berupaya mendapat untung sebesar-besarnya. Dari teori ini dapat diprediksi apa yang
dilakukan oleh pedagang yang tentunya akan menekan modal (walaupun mungkin
melakukan kecurangan) dengan harapan untung besar; (c) kausalitas, yaitu perumusan
dengan melihat hubungan sebab akibat; Contoh, dalam kontrak belajar disepakati
bahwa jika mahasiswa memenuhi empat komponen penilaian (presensi, tugas, UTS dan
UAS) maka sudah punya modal untuk lulus. Artinya siapapun yang memenuhi bisa agak
tenang dan tidak perlu gelisah kalau tidak lulus; (d) statsitika, yaitu perumusan
kesimpulan dengan melakukan perhitungan angka-angka. Contoh dalam sebuah
pemilukada, yang mempertarungkan tiga calon. Mana calon yang memperoleh suara
tertinggi itulah yang menang; (e) analogi, yaitu perumusan kesimpulan berdasarkan
perumpamaan atau kemiripan. Contoh, seorang mahasiswa menyimpulakan prilaku
mahasiswa B yang akan cenderung temperamental karena si B berasal dari daerah yang
sama dengan A yang juga temperamental; (f) komparasi, yaitu kesimpulan dibuat
berdasarkan hasil perbandingan. Dalam hal ini dicari titik persamaan dan perbedaan.

E. Karakteristik
Dengan melihat pengertian, objek dan metode filsafat di atas, maka filsafat
memiliki karakteristik yang membedakannya dengan disiplin keilmuan lain, yaitu; (1)
Konsepsional, filsafat tidak akan menawarkan barang jadi, tetapi apa yang ada di balik
realitas (pernyataan); (2) Koheren atau konsisten, yaitu penelusuran konsep dilakukan
secara runtut, tidak simpang siur (kontradiktif) dengan tesa sebelumnya; (3) Rasional,
artinya berdasarkan kepada plattform akal (spekulatif); (4) Komprehensif, yaitu satu
persoalan dibahas dari berbagai sudut pandang; (5) World view (weltanschauung), yaitu
pembahasan filsafat selalu berkembang dan menyentuh aspek-aspek totalitas dari alam,
manusia dan Tuhan, tidak menyisakan residu misteri.1

F. Manfaat

Filsafat memiliki ambisi dan kegunaan yang sangat banyak, di antaranya adalah
(1) Membentuk cakrawala yang luas; (2) Mencerahkan diri (aufklarung); (3) Memiliki
bekal “kaya alternatif”; (4) Membentuk sosok kritis; (5) Menjadikan seseorang “arif-
bijaksana”; (6) Tidak taassub (mementingkan) golongan atau kelompok (primordial);
(7) Membentuk agent perubahan. Perubahan tidak mungkin terjadi jika substansi
persoalan tidak ditemukan; (8) Turut mengantarkan kepada masyarakat madani.
Masyarakat madani adalah masyarakat yang beradab. Beradab tidaknya sebuah
masyarakat ditentukan oleh sejauh mana masyarakat itu memiliki keluasan informasi.
Informasi yang serba mencakup sejatinya ditradisikan dalam dunia filsafat.

G. Sistematika

Untuk membuktikan klaim totalitas pengkajian dalam filsafat, dapat dilihat pada
tiga sistematika atau bagian pokok filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi
berikut aliran dalam masing-masing sistem.

Ontologi yaitu cabang filsafat yang khusus mengkaji hakikat terdalam dari segala
sesuatu atau esensi yang dominan dari segala sesuatu (pembahasan tentang being).
Ontologi ini dibagi lagi kepada dua bagian, yaitu (1) Ontologi-metafisika, mencari
hakikat terdalam dari sesuatu yang bukan fisik, seperti konsep tentang Tuhan, hakikat
keadilan, kebebasan dan persamaan. Kedua, (2) Ontologi-fisika, yaitu hakikat dari
segala sesuatu yang bersifat fisik, seperti hakikat alam semesta dan hakikat manusia.

1
Epistemologi yaitu cabang filsafat yang khusus berbicara tentang hakikat ilmu
pengetahuan (lika-liku perolehan pengetahuan). Meliputi; (1) dari mana pengetahuan
berasal; (2) bagaimana upaya untuk menemukan pengetahuan; dan (3) bagaimana nilai
dari pengetahuan yang telah ditemukan itu. Ini merupakan tiga konsentrasi dalam
epistemologi. Epistemologi intinya membahas tentang sebuah proses menjadi(to be)

Aksiologi yaitu cabang filsafat yang khusus berbicara tentang nilai (value).
Sejauh mana sesuatu bernilai indah dan jelek (estetika) dan sejauh mana pula sesuatu
bernilai baik dan buruk (etika).

H. Aliran

Masing-masing sistematika atau cabang filsafat di atas, memiliki aliran atau isme
yang bermacam-macam. Satu sama lain tidak dilihat dari ordinasi atau sub-ordinasi.
Semua aliran memiliki plus-minus stressing, sehingga harus dilihat secara bijak.

Dalam ontologi, aliran terpilah dalam kelompok (1) kualitatif (bobot atau
esensi), (2) kuantitatif (jumlah atau nominal) dan (3) prosesif (kejadian atau gerak).
Ontologi-kualitatif melihat bahwa hakikat terdalam dari sesuatu adalah bobot atau
esensi sesuatu. Ontologi-kuantitatif melihat hakikat sesuatu pada jumlah sesuatu. Dan
ontologi prosesif melihat hakikat sesuatu pada gerakan atau perubahan pada sesuatu.

Ontologi-kualitatif memiliki dua aliran; yaitu (1) spiritualisme, artinya hakikat


sesuatu adalah spirit, ruh, jiwa atau sesuatu yang tidak tampak; (2) materialisme,
artinya hakikat sesuatu adalah materi, benda atau sesuatu yang tampak.

Ontologi-kuantitatif memiliki tiga aliran, yaitu; (1) monisme, artinya hakikat


terdalam dari sesuatu adalah satu unsur atau variabel dominan; (2) dualisme, artinya
hakikat terdalam dari sesuatu adalah dua unsur atau variabel dominan; (3) pluralisme,
artinya hakikat terdalam dari sesuatu terdiri dari banyak unsur dominan, bukan hanya
satu atau dua.

Ontologi-prosesif, memiliki empat aliran, yaitu; (1) mekanisme, artinya hakikat


sesuatu ada pada proses, di mana proses itu merupakan sesuatu yang bergerak dengan
sendirinya secara mekanik tanpa ada yang menggerakkan dan tanpa tujuan; (2)
teleologis, artinya pergerakan yang terjadi bukan tanpa penggerak melainkan ada yang
menggerakkan dari jauh; (3) vitalisme, artinya hakikat gerak berasal dari adanya tujuan
akhir yang akan dicapai; (4) organisme, artinya proses yang terjadi bersumber pada
struktur dinamis yang dimiliki oleh sesuatu (potensi gerak).

Dalam epistemologi, aliran dibedakan kepada dua kelompok. Pertama aliran


epistemologi yang menekankan kepada sumber pengetahuan (epistemologi sumber)
dan kedua aliran epistemologi yang menekankan kepada hakikat pengetahuan
(epistemologi hakikat).

Aliran dalam epistemologi-sumber ada empat, yaitu: (1)R rsionalisme, artinya


sumber pengetahuan dari akal; (2) empirisme, artinya sumber pengetahuan dari fakta
empiris; (3) realisme, artinya sumber pengetahuan ada pada interaksi antara rasio dan
fakta; (4) kritisisme, artinya sumber pengetahuan ada pada kolaborasi kritik
pengamatan dan akal.

Aliran dalam epistemologi-hakikat ada empat, yaitu; (1) idealisme, artinya


hakikat pengetahuan itu ada pada proses psikologis-subjektif manusia; (2) empirisme,
yaitu hakikat pengetahuan ada pada sensasi inderawi; (3) positivisme, yaitu hakikat
pengetahuan ada pada fakta yang bisa dimaknai; (4) pragmatisme, yaitu hakikat
pengetahuan ada pada nilai guna yang bisa diambil.

Dalam cabang aksiologi, terdapat dua kategori, yaitu kategori etika yang
berkaitan dengan nilai baik atau buruk, dan kategori estetika, yang berkaitan dengan
nilai indah atau jelek.

Terdapat lima aliran dalam etika, yaitu; (1) idealisme, yaitu skala nilai
ditentukan oleh spritual atau kerohanian (agama); (2) deontologis, yaitu skala nilai
tidak disangkutkan kepada baik buruk sesuatu namun berdasarkan kewajiban moral
tanpa melihat sebab akibat (intuisi atau suara hati); (3) hedonisme, skala nilai baik dan
buruk ditentukan oleh kadar kenikmatan yang ditawarkan; (4) teleologis, nilai baik dan
buruk ditentukan oleh tujuan atau hasil dari sesuatu; (5) utilitarisme, yaitu standar nilai
bergantung kepada kegunaan yang sebesar-besarnya bagi manusia yang sebanyak-
banyaknya.

Sedangkan dalam estetka, terdapat dua aliran, yaitu; (1) metafisik, yaitu standar
keindahan terletak pada sesuatu itu sendiri (objektif); (2) psikologis, yaitu standar
keindahan dibuat oleh persepsi internal manusia (subjektif).
BAB II

FILSAFAT ILMU

A. Pengertian

Filsafat ilmu terdiri dari kata filsafat dan ilmu. Filsafat, sebagai mana telah
diuraikan pada bab sebelumnya, merupakan upaya gigih dan serius untuk menemukan
hakikat terdalam dari sesuatu. Sedangkan ilmu, adalah upaya pemahaman manusia
yang disusun dalam satu sistema mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-
bagian dan hukum-hukum tentang yang diselidiki baik berkaitan dengan alam, manusia
maupun tuhan, sejauh yang dapat dijangkau oleh pikiran dibantu penginderaan yang
kebenarannya dapat diuji secara empiris, riset dan eksperimental.

Tegasnya ilmu adalah pengetahuan yang memiliki ciri, tanda dan syarat tertentu,
yaitu sistematik, rasional, empiris, umum dan kumulatif. Dengan demikian filsafat ilmu
adalah upaya gigih dan serius untuk menemukan apa yang ada dibalik pemahaman
manusia tentang kegiatan keilmuan. Filsafat ilmu tidak mencari "tahu", tetapi mencari
apa yang ada dibalik "tahu" itu.

B. Objek

Objek kajian filsafat ilmu adalah hal-hal lain yang lebih substansi dari sebuah
ilmu ("tahu"). Konkritnya apa yang disebut ilmu, apa bedanya dengan pengetahuan,
hubungan ilmu dengan berfikir, pengaruh berfikir bagi peradaban, karakterisitk ilmu,
kegunaan ilmu, asumsi-asumsi ilmu, ilmu alam vs ilmu sosial, logika dalam ilmu,
matematika dalam ilmu, statisitika dalam ilmu, bahasa dalam ilmu dan hubungan etika
dengan ilmu. Kesemua objek materi tersebut dikaji secara radikal atau filosofis.

C. Kedudukan

Berdasarkan short expalanation di atas, filsafat ilmu dapat dibedakan dengan


kajian ilmu filsafat, dan epistemologi. Jika ilmu filsafat mencakup objek yang amat luas
(semesta), maka filsafat ilmu sebatas aktifitas keilmuan. Objek materi berbeda tetapi
objek formal sama. Adapun epistemologi membatasi kajian lika-liku sumber, proses
dan validitas dari sebuah ilmu an sich.

D. Fungsi

Dengan mengetahui filsafat ilmu akan diketahui tahapan dan platform dalam
sebuah ilmu yang memungkinkan bagi yang sudah tahu untuk melakukan penelaahan
lebih lanjut atau pengembangan keilmuan itu sendiri. Tegasnya, filsafat ilmu merupakan
paradigma dalam tradisi ilmiah, ibarat bahasa sebagai alat untuk komunikasi. Tanpa
pengetahuan yang cukup tentang filsafat ilmu tidak akan mungkin terbangun kultur
ilmiah dan kultur explorasi. Justru jantung pengembangan ilmu berada pada
pemahaman tentang filsafat ilmu. Setelah itu baru filsafat ilmu berkolaborasi dengan
ilmu-ilmu alat lain seperti bahasa, logika dan seterusnya. Dapat dikatakan bahwa filsafat
ilmu adalah sebagai pintu gerbang ilmu apapun.

E. Relasi

Di dunia ini setidaknya terdapat tiga insitusi yang sering berhadap-hadapan,


yaitu ilmu, agama dan filsafat. Kesulitan mulai muncul manakala berupaya untuk
membuat hubungan antara ketiganya.

Ilmu pengetahuan (science) sebagaimana dijelaskan di atas adalah informasi


yang sistematis, terstruktur tentang sesuatu yang dapat ditangkap melalui daya
pemikiran yang ditopang oleh cerapan inderawi yang kebenarannya dapat diuji secara
empiris, riset dan eksperimental. Artinya, science memiliki metod; observation, measure,
explanation dan verifying. Ilmu pengetahuan tidak sama dengan pengetahuan
(knowledge) yang merupakan informasi yang diperoleh secara sederhana, mudah dan
sekilas.

Agama, adalah sistem credo (tata keyakinan) tentang adanya sesuatu yang
mutlak diluar manusia yang dilengkapi dengan sistem ritus (tata ibadah) kepada
sesuatu yang dianggapnya mutlak itu dan sistem norm (undang-undang) yang mengatur
hubungan manusia itu sendiri dengan alam dan sesamanya.

Berbagai pola relasi dimunculkan dalam melihat ketiga institusi tersebut, yang
terbagi dalam dua pola relasi yaitu; relasi struktur, yang menekankan status atau
kedudukan masing-masing institusi, yang dapat berupa relasi (a) partial (secular) di
mana ketiga institusi tersebut menempati wilayah sendiri-sendiri, tidak menyapa dan
masing-masing memiliki truth claim; (b) integral, di mana ketiganya merupakan satu
kesatuan yang tidak terpisahkan; dan (c) hirarkis, di mana antara ketiganya
ditempatkan secara berjenjang atau ada prioritas antara satu sama lain. Relasi hirarkis
yang galib selama ini adalah menempatkan ilmu pengetahuan pada posisi paling bawah,
kemudian di atasnya filsafat dan paling tinggi adalah agama.

Pola relasi kedua adalah relasi fungsional, yaitu relasi yang menekankan pada
tugas masing-masing. Dalam hal ini ada empat bentuk relasi, yaitu; (a) dialogis, di mana
anatara ketiganya terlibat dalam hubungan yang saling berkaitan dan menyapa; (b)
polemik, di mana antara ketiganya berada pada posisi kontroversi dan saling
mengklaim dan menyalahkan, (c) komplementer, di mana ketiganya saling melengkapi;
dan (d) kontrol, di mana ketiganya saling saling mengawasi.

BAB III

KILAS HISTORIS

Terdapat tiga unsur penting dalam sejarah, yaitu peristiwa yang telah berlalu
dan meninggalkan bukti. Peristiwa memiliki aktor, timing dan tempat. Telah berlalu
berarti sudah lewat bukan rencana. Bukti adalah segala sesuatu yang dapat menjadi
saksi, baik berupa buku, prasasti, relief, patung, dokumen, maupun manuskrip.

Dengan demikian, jika ketiga unsur tersebut tidak terpenuhi maka tidak dapat
dikatakan sejarah. Bisa jadi hanya legenda, cerita dongeng atau fiksi.

Terkait dengan ilmu pengetahuan, maka suka atau tidak, bermula dari zaman
Yunani. Kendati dunia ini telah berusia sangat tua, tetapi tidak ada bukti yang
representatif untuk memulai sejarah ilmu sebelum zaman Yunani tersebut. Jika para
agamawan (baca Islam) memiliki sejarah lebih awal, tetapi tidak cukup bukti untuk
menjadi sejarah.

A. Pra Yunani Kuno (15-7 SM)


Pada masa ini ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia sangat sederhana
yaitu membuat peralatan dengan bahan baku batu, sehingga disebut dengan zaman
batu. Selanjutnya dengan metode trial and error, zaman batu ini kemudian bergeser
kezaman besi, tembaga dan perak. Untuk menghitung ditempuh dengan cara one to one
correspondency atau mapping process yaitu dengan memindahkan sesuatu (kerikil)
berbarengan dengan sesuatu yang dihitung.

Pada masa ini telah ditemukan pula gejala-gejala alam seperti gugusan bintang
yang kemudian dinamakan zodiak. Kedudukan matahari dan bulan pada waktu terbit
dan terbenam. Planet-planet seperti Mercuri, Venus, Mars dan seterusnya. Jumlah hari
perjalanan bulan yaitu 28-29. Waktu edar matahari kembali ke posisi semula yaitu 365
hari. Terjadi perubahan pada bulan sebanyak 12 kali ketika matahari beredar, juga
sudah ditemukan gejala gerhana.

Jenis kemampuan manusia pada zaman ini adalah; (1) kemampuan mengetahui
sesuatu dengan jalan pengalaman (know how); (2) mengetahui sesuatu dengan jalan
menjadikan pengalaman sebagai sesuatu yang diyakini ada atau faktual (receptive
mind)’; (3) melakukan abstraksi dari apa yang sudah diketahui; (4) menuliskan hasil
abstraksi; (5) meramal peristiwa lain berdasarkan suatu peristiwa yang sebelumnya.

B. Zaman Yunani Kuno (7-2 SM)

Ciri khas yang paling menonjol pada zaman ini adalah pergeseran cara menerima
ilmu pengetahuan yaitu dari receptie attitude (sikap menerima begitu saja tentang
sesuatu informasi atau ilmu atau pengetahuan) ke an inquiring attitude (tradisi meneliti
sesuatu dengan kritis). Tokohnya adalah:

1. Thales (624-548 SM)

Ia mempersoalkan alam (arkhe). Menurut dia, alam ini berasal dari air. Bagi
Thales, sesuatu hal tidak begitu saja ada, melainkan terjadi dari sesuatu. Dari sinilah
berkembang konsep evolusi dan genesis.

2. Pythagoras (580-500 SM)

Menurutnya bumi tidak datar melainkan bundar. Ia menemukan dalil


pythagoras a² + b² = c². yang berlaku bagi setiap segi tiga siku-siku dengan sisi a dan
sisi b serta hypotenusa c, sedangkan jumlah sudut dari segitiga siku-siku sama dengan
180°. Ia juga menemukan pembagian bilangan genap dan ganjil, prime numbers
(bilangan yang hanya dapat dibagi dengan angka satu dan bilangan itu sendiri).

3. Socrates (470-399SM)

Ia memperkenalkan teori Maieutike tekhne, yaitu teknik dialektika untuk


mencapai kebenaran.

4. Demokritos (460-370 SM)

Ia memperkenalkan konsep atom. Alam terdiri dari atom-atom. Atom adalah


materi terkecil yang tidak dapat dibagi-bagi lagi. Atom ini terus bergerak dengan arah
tidak menentu. Gerakan ini menimbulkan benturan dan pusaran ibarat air. Dari pusaran
itu lahir benda-benda lain.

Temuan Demokritos lain adalah; (1) materi (atom) merupakan ssatu-satunya


yang ada dan membentuk segalanya; (2) Segala sesuatu sealalu dalam keadaan
bergerak (developmental dynamics) yang darinya muncul konsep dinamika yang
dengan dinamika itu tersusunlah segala sesuatu di dunia; (3) Atom bergerak tanpa ada
yang mempengaruhi tetapi intrinsik, primer dan tanpa sebab (pure natural); (4)
Pergerakan atorm itu tidak bertujuan. Ini memunculkan konsep kebetulan (by chance).

5. Plato427-347 SM)

Plato berangkat dari polemik antara dua tokoh, yaitu Parmanides yang
mengatakan bahwa realitas itu berasal dari satu hal (the one) dan Heraklitos yang
mengatakan bahwa realitas berasal dari hal yang banyak (the many) yang berubah-
ubah. Bagi Plato, ada hal yang tetap dan ada hal yang berubah. Yang berubah adalah
pengamatan dan yang tetap adalah akal. Yang satu itu adalah being dan yang banyak itu
adalah becoming. Yang satu itu adalah ide dan yang banyak itu adalah bayangan ide
(abstraksi dari ide).

6. Aristoteles (384-322 SM)

Aristoteles mengkritik pendapat gurunya Plato yang mengatakan bahwa yang


lebih menentukan dalam mencari kebenaran adalah akal. Baginya, pengamatan jauh
lebih pasti dalam menemukan kebenaran.
Di bidang logika, Aristoteles memperkenalkan apa yang disebut dengan
silogisme yaitu membuat kesimpulan baru berdasarkan premis mayor dan minor.
Premis mayor, merupakan pernyataan yang menyatakan hal yang umum yang diyakini
kebenarannya. Sedangkan premis minor, pernyataan khusus yang lebih kecil
lingkupnya dari pada mayor. Dari kedua premis itulah kemudian dilahirkan kesimpulan
baru. Contoh; Semua makhluk hidup pasti akan mati (premis mayor); Manusia adalah
makhluk hidup (premis minor); kesimpulannya, Manusia pasti akan mati (silogisme).

C. Zaman Pertengahan (abad 2-14 M)

Abad pertengahan (middle age) ditandai dengan lahirnya dua agama langit, yaitu
Kristen dan Islam. Hal ini berakibat kepada tampilnya para teolog di panggung ilmu
pengetahuan. Ada perbedaan nasib ilmu di era ini. Pada satu sisi ilmu digunakan untuk
mendukung kebenaran agama. Ilmu pada waltu itu dianggap sebagai ancilla theologia
(abdi agama). Inilah yang umum terjadi di Barat (Eropa-Kristen). Perkembangan ilmu
relatif vacuum dan stagnan.

Sementara itu di Timur (dunia Islam) perkembangan ilmu terjadi justru lebih
meriah. Terutama pada masa Abbasiyyah. Pada masa ini ditemukan cara pengamatan
astronomi (abad 7). Pada abad 8 berdiri sekolah kedokteran dan astronomi di
Jundisaphur-Persia. Didirikannya House of Wisdom (baitul hikmah) yaitu lembaga
penerjemahan pertama di dunia pada abad 9. Al Khawarizmi menyusun buku Al Jabar,
tahun 825 M. Ia juga menemukan arithmetics yang membuka jalan bagi ditemukannya
penghitungan desimal, menggantikan angka romawi.

Sekitar tahun 700 M, kemajuan ilmu berpusat di wilayah kerajaan Islam. Di


bidang kedokteran muncul nama seperti Ar-razi dengan bukunya Continens, dan Ibn
Sina dengan bukunya Al Qanun yang hingga hari ini menjadi buku standart kedokteran
di Eropa dan dunia. Abul Qasim menemukan ilmu bedah. Al Idrisi menemukan peta
daerah. Istilah astronomi seperti nadhir, azimut dan zenit, merupakan bukti bahwa
Islam sangat mewarnai dunia pertengahan dengan temuan temuan keilmuannya.

Secara geneologi, ilmu yang lahir di Yunani diteruskan dan dikembangkan oleh
Islam, selanjutnya ditransfer ke Barat. Kontribusi Islam terhadap perkembangan ilmu
pengetahuan abad pertengahan adalah; (1) Menerjemahkan peninggalan Yunani dan
mengedarkannya kedunia eropa; (2) Mengembangkan temuan yang sudah dilakukan
oleh Yunani sehingga menjadi lebih meluas; (3) Menetapkan dasar-dasar aljabar dan
desimal; (4) Pada abad 14, tepatnya pada zaman Dinasti Yuan (1260-1368) umat Islam
mendirikan observatorium yang dilakukan oleh Jamaluddin; (5) Memiliki arsitek
kenamaan Ikhtiyaruddin yang membangun istana raja, utara laut Beijing.

D. Zaman Renaissance (14-16 M)

Zaman ini merupakan zaman kerinduan manusia akan tradisi Yunani yang
memberikan kebebasan bagi akal untuk menemukan banyak hal. Tokohnya:

1. Roger Bacon (1214-1294) dengan pernyataan pokoknya bahwa pengamatan


empirik merupakan landasan utama dalam ilmu pengetahuan.
2. Copernicus (1473-1543) Bumi dan planet mengitari matahari. Matahari
merupakan pusat edar (heliosentris). Pendapat ini berbeda sekali dengan apa
yang dikatakan oleh Ptolomeus yang mengatakan bahwa bumi sebagai pusat
edar (geosentris).
3. Johanes Keppler (1571-1630) Gerak benda angkasa tidak mengikuti lintasan
circle, tetapi elips. Namun demikian garis penghubung lintas itu luasnya tetap
sama.
4. Galileo Galilei (1546-1642) Ia menemukan teropong bintang terbesar pada
masanya. Ia menemukan bahwa planet tidak bercahaya sendiri akan tetapi
memantulkan cahaya matahari. Permukaan bulan tidak datar tapi bergunung-
gunung. Ia yang pertama menemukan lintasan batu jika dilempar yang
membentuk garis parabola. Ini penting dalam menghitung lintasan peluru dalam
peperangan.

E. Zaman Modern (16-19 M)

Zaman ini merupakan kelanjutan dari zaman renaissance. Benua Eropa


merupakan basis perkembangan ilmu pengetahuan era ini. Sumber perkembangan
ilmu di zaman ini adalah Semenanjung Iberia (Islam Spanyol). Banyak orang Eropa dan
para pendeta yang datang ke sini untuk mentransformasi ilmu dari Islam.

Perang Salib antara Islam dan Kristen yang berlangsung sampai 6 kali episode
(1100-1300 M) dalam kenyataannya tidak hanya kontak senjata yang terjadi tetapi juga
kontak ilmu. Orang Barat yang berperang dengan Islam membawa pulang ilmu yang
berkembang di dunia Islam.

Kejatuhan Istanbul ke tangan bangsa Turki tahun 1453 yang mengakibatkan


banyak sarjana dan pendeta yang mengungsi ke Itali dan Eropa sambil mengembangkan
ilmu di sana.

Tokoh yang muncul pada era ini;

1. Rene Descartes (1596-1650 M). Bagi Descartes tidak dapat menerima apa pun
sebagai hal yang benar, kecuali jika diyakini bahwa itu memang benar. Untuk
memudahkan penyelesaian masalah, maka perlu dipilah-pilah menjadi bagian
kecil. Berfikir runtut dari hal yang sederhana menuju hal yang rumit.
Pemeriksaan menyeluruh setelah mengerjakan sesuatu supaya tidak ada yang
terlupakan.
2. Isaac Newton (1643-1727 M). Penemuannya; Gravitasi, Calculus dan Optika.
Munculnya teori gravitasi kelanjutan dari terori gerak yang dimunculkan oleh
Galileo dan Keppler, Jika Galileo, gerakan itu lurus, Keppler berbentuk elips
tanpa menjelaskan sebabnya, maka Newton, membuat terori gravitasi, bahwa
keelipsan lintasan itu karena ada daya tarik antara dua benda yang berdekatan.
Teori Calculus menjelaskan hubungan antara X dan Y. Jika X bertambah, maka Y
akan bertambah pula, tentunya dengan ketentuan tetap dan teratur. Optika
Newton, mengatakan bahwa cahaya matahari jika dilewatkan pada prisma,
maka cahaya asli dari matahari yang homogen menjadi terbias antara merah
sampai ungu atau warna pelangi (spectrum). Kemudian jika pelangi itu
dilewatkan lagi pada sebuah prisma lain yang terbalik, maka pelangi tadi akan
terkumpul menjadi cahaya yang homogen. Ini penting untuk pembuatan teleskop
tanpa lensa dengan menggunakan cermin cekung sehingga tidak terjadi
pembiasan.
3. Charles Darwin. Teori yang paling popular dari Darwin adalah Struggle for life
yang kemudian melahirkan teori evolusi, bahwa manusia berasal dari monyet.
4. J.J. Thompson (1897 M) Ia menemukan electron, yang meruntuhkan teori yang
mengatakan bahwa materi yang paling kecil adalah atom. Penemuan ini penting
bagi pengembangan fisika-nuklir yang mampu mengubah atom menjadi energi
lain.

F. Zaman Kontemporer (abad 20-?)

Pada zaman ini Fisika menjadi main focus (bagian utama). Di antara elaboran
masa ini adalah;

1. Albert Einstein. Master pemikir fisika abad ini, mengatakan bahwa alam tidak
berhingga dan tidak terbatas tapi statis dari waktu ke waktu. Materi kekal dan
tidak ada penciptaan alam.
2. Hubble. Mengatakan bahwa alam tidak statis, dibuktikan dengan adanya gerakan
menjauh antar galaksi dengan kecepatan yang sebanding dengan jaraknya dari
bumi.
3. Alpher. Semula, semua galaksi di jagad raya menyatu. Lalu berpisah dengan
peristiwa big bang pada 15 milyar tahun lalu.

Selain fisika, perkembangan terdahsyat adalah teknologi komunikasi dan


informasi, seperti computer, internet, satelit, komunikasi dan seterusnya. Selain itu
muncul spesialisasi dari berbagai ilmu. Misalnya psikologi perusahaan, psikologi
linguistic, bio-teknologi dan seterusnya. Dari catatan sejarah perkembangan ilmu di atas
diperoleh penjelasan bahwa ilmu telah mengalami metamorfosis yang amat lama
namun belum selesai.

BAB IV

ILMU, TEKNOLOGI, KEBUDAYAAN DAN PERADABAN


Selain berinteraksi dengan filsafat dan agama, ilmu juga berinteraksi dengan
teknologi, budaya dan peradaban. Bagaimana antara keempatnya berinteraksi, dapat
dilihat pada uraian di bawah ini.

A. Ilmu dan Teknologi

Ilmu, secara etimologis (denotative), scientia, berarti (1) pengetahuan tentang


(2) pengetahuan yang mendalam (3) ilmu, pengertian, keahlian, tahu, paham secara
benar (4) pengetahuan yang terorganisir (5) studi sistematis (6) pengetahuan teoritis.
Jadi ilmu sangat luas lingkupnya. Secara terminologis (konotatif), berarti (1)
serangkaian akitifitas manusia yang manusiawi (human), bertujuan (purposefull) dan
berhubungan dengan cognitive. Definisi ini melahirkan pluralitas tujuan dan kebenaran.
Perbedaan ditentukan oleh objek formal disamping objek material.

Struktur ilmu, terdiri dari materi (isi, produk) dan proses (metode, prosedur)
yang tidak terpisah. Dari sinilah lahir ilmu (materi) ilmiah dan metode (proses) ilmiah.
Ilmu dapat diklasifikasi kepada ilmu akademik (pure science) dan ilmu aplikasi (applied
science). Ilmu aplikasi ini melahirkan apa yang dikenal dengan teknologi.

Teknologi secara etimologis, techne, berarti metode rasional yang berkaitan


dengan kecakapan tertentu. Techne berkaitan dengan epistem. Jika techne menyangkut
tujuan untuk mengerjakan, epistem menyangkut pemahaman an sich.

Teknologi hanya penerapan ilmu yang tidak peduli dengan kadar ilmiah. Dari
sinilah bermula persoalan tentang teknologi yang dipandang memiliki kekaburan
ilmiah. Karena teknologi adalah penerapan ilmu (ilmu industri) yang berwujud
teknologi fisik (mesin), teknologi biologis (farmakologi), teknologi social (riset), dan
teknologi pikir (computer). Tegasnya teknologi itu bukan lagi ilmu melainkan
penerapan ilmu. Teknologi merupakan kecakapan untuk kehidupan.

B. Titik Pisah dan Temu antara Ilmu dan Teknologi

Kendati teknologi tidak dapat dipisahkan dari ilmu, tetapi antara ilmu dan
teknologi tetap memiliki titik pisah. Setidaknya terdapat delapan titik pisah, yaitu;
1. Teknologi merupakan sistem adaptasi yang efisien untuk tujuan tertentu. Sedang
ilmu bertujuan menjelaskan fenomena fisik, biologis, psikologis manusia
2. Ilmu berkaitan dengan pemahaman yang bertujuan meningkatkan pikir manusia.
Sedangkan teknologi memusatkan pada manfaat dan tujuan untuk menambah
kapasitas kerja manusia
3. Tujuan ilmu memajukan pengetahuan, sedangkan teknologi memajukan
kapasitas teknis.
4. Ilmu untuk mencari pengetahuan murni sedangkan teknologi untuk tujuan
tertentu.
5. Ilmu mencari tahu teknologi mengerjakan sesuatu
6. Ilmu bersifat supranatural (mengatasi batas-batas negara) sedangkan teknologi
harus menyesuaikan dengan sikon
7. Input teknologi bermacama-macam sedangkan input ilmu pengetahuan yang
telah ada.
8. Output teknologi bermacam-macam sedangkan output ilmu pengetahuan baru

Adapun titik temu antara ilmu dan teknologi setidaknya terlihat dalam tiga hal
berikut; (1) Ilmu dan teknologi merupakan komponen kebudayaan; (2) ilmu dan
teknologi memiliki aspek ideasional dan faktual, dimensi abstrak dan konkrit, dimensi
teoritis dan praktis; (3) antara ilmu dan teknologi memiliki hubungan dialektis.

C. Kebudayaan

Kebudayaan diartikan dengan keseluruhan kompleks yang mencakup


pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat kebiasaan dan kemampuan lain
yang dibutuhkan manusia sebagai anggota masyarakat. Tegasnya, kebudayaan adalah
seluruh aktifitas manusia baik yang bersifat material maupun spiritual.

Dimensi material, melahirkan produk-produk seperti alat, sarana dan lain-lain.


Dimensi spiritual melahirkan sistem, nilai, pengetahuan dan lain-lain.

Definisi di atas menunjukkan tiga tujuan dalam budaya, yaitu; (1) upaya manusia
untuk mempertahankan kelangsungan hidup/cipta; (2) upaya manusia untuk
mendapatkan status dan hasil dalam kebudayaan masyarakat/karya; (3) upaya untuk
menginternalisasi nilai, prilaku, gagasan/karsa.

Ketiga tujuan di atas tidak dipahami secara kausalitas linear. Artinya tujuan
pertama tidak mengakibatkan komponen dua dan seterusnya. Karena dalam
kebudayaan berlaku tiga proses, yaitu; (1) eksternalisasi (penempatan diri manusia
baik pisik maupun non pisik) di dalam masyarakat; (2) objektifikasi (transformasi hasil
aktifitas eksternal manusia dalam bentuk netral/objektif); (3) internalisasi penghayatan
nilai objektifitas dan mentranser ke dalam kesadaran subjektif manusia. Proses
internalisasi ditempuh dengan sosialisasi (proses pengimbasan ke dalam masyarakat),
baik dengan sosialisasi primer (pengalihan pengetahuan masyarakat ke dalam
kesadaran subjektif individu) atau sekunder ( internalisasi berdasar tujuan tertentu
sesuai dengan peran di masyarakat). Dari proses itulah disadari bahwa kebudayaan
bukan kausalitas linear.

Untuk mengontrol stabilitas objektif budaya, diperlukan ilmu. Dengan demikian


ilmu dan kebudayaan tidak terpisah. Bahkan ilmu, utamanya ilmu ilmiah amat dominan
dalam menemukan objektifikasi dan melahirkan kebudayaan.

D. Relasi Ilmu Teknologi dan Kebudayaan

Oleh karena ilmu berperan dalam menemukan objektifitas budaya dan budaya
dapat melahirkan teknologi, maka sejatinya antara ilmu, teknologi dan budaya tidak
dapat dipisah. Jika teknologi adalah sisi aplikasi dari ilmu. Sementara ilmu adalah
komponen dalam kebudayaan, maka dapat secara bersama-sama teknologi dan
kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisah. Teknologi merupakan salah
satu komponen kebudayaan. Dengan kata lain teknologi hanyalah realitas objektif
sebagai hasil ekternalisasi. Tentu saja realitas objektif, termasuk teknologi tidak tetap.
Ia berubah sesuai sikon.

Oleh karena teknologi aplikasi dari ilmu, seringkali teknologi kehilangan filosofi
(pure science). Sehingga teknologi sering justru dibenturkan dengan kebudayaan. Tentu
saja ini tidak sepenuhnya benar. Untuk menjaga antinomi (perbenturan) inilah peran
ilmu sangat dibutuhkan. Hanya saja era peralihan teori ke praksis telah menunjukkan
dominasi teknologi atas ilmu.
Setidaknya terdapat dua paradigma terhadap teknologi yang berkembang
dewasa ini, yaitu; (1) paradigma scientism dan positivism dengan ciri (a) keharusan
teknologi, bahwa ilmu wajib diterapkan dalam bentuk teknologi. (b) setiap masalah
yang lahir dari teknologi dapat dipecahkan lewat teknologi. (c) elitisme dalam
teknologi, yaitu teknologi hanya dikuasai oleh kubu tertentu (closed system). (2)
paradigma appropriate, yang mendekonstruksi paradigma pertama dengan ciri (a)
swadaya (b) desentralisasi (c) kerja sama (kemitraaan) (d) tanggung jawab, baik
jangka pendek, menengah maupun panjang, baik sosial maupun ekologi.

Ada hal yang perlu diwaspadai sehubungan dengan teknologi. Bahwa teknologi
memiliki watak mengikut kepada siapa yang membidani teknologi tersebut. Jika
teknologi lahir di Barat, maka wataknya, adalah; (1) ekonomis, meliputi capital
intensive, research intensive, organization intensive, labor intensive dan worker intensive.
(2) memapankan ketergantungan, di mana produsen mendikte konsumen. (3) struktur
kebudayaan Barat melihat secara (a) geografis, Barat pusat, lainnya pinggiran (b)
waktu, bahwa waktu harus bergerak lurus dan berorientasi kepada kemajuan. (c)
realitas, dipandang secara terpisah dan mekanis. (d) manusia sebagai penguasa alam.

Dengan demikian, teknologi tidak begitu saja dialih ke tempat lain, karena
memiliki watak yang berbeda. Oleh karna itulah perlu setiap geografis memproduk
teknologi sendiri.

Pendek kata, teknologi memiliki dua paradigma, yaitu positivis atau apropriasi.
Kebudayaan dan teknologi adalah anak kandung geografi tertentu. Sehingga untuk
menerima atau menolak harus berdasarkan kecocokan sistem kebudayaan. Artinya
teknologi bisa saja bermanfaat tapi bisa juga menjadi anomali kebudayaan atau invasi
kebudayaan.

E. Peradaban

Peradaban atau civilization diartikan dengan keseluruhan perwujudan ilmu,


teknologi dan kebudayaan yang ada disuatu wilayah dan di suatu zaman. Misal
peradaban Mesir kuno, peradaban Persia, Cina, peradaban Islam, peradaban nusantara,
peradaban Melayu dan seterusnya.
Peradaban tentunya tidak lepas dari kebudayaan yang berkembang pada suatu
komunitas. Di mana kebudayaan pada suatu komunitaspun tidak akan terlepas dari
bagaimana perkembangan ilmu di dalamnya. Itu semua bermakna teknologi,
kebudayaan dan peradaban tidak akan muncul menghentak zaman, jika ilmu tidak
berkembang.

Jika dibawa ke konteks Indonesia, maka boleh dikata bahwa Indonesia dari sisi
teknologi tidak memiliki apa-apa. Karena semua produk teknologi adalah import dari
luar. Tidak ada teknologi made by dan made in Indonesia. Yang ada adalah
mendatangkan teknologi. Jika ini yang terjadi maka Indonesia boleh dikata tidak
memiliki kebudayaan (dalam teknologi). Implikasinya tidak ada peradaban teknologi di
Indonesia. Mungkin yang genuine di Indonesia adalah budaya batik, korupsi, anarkis,
sektarian, radikal yang berujung pada sebutan peradaban anomali (menyimpang).

BAB V

KEBENARAN

Kegiatan ilmu, bermuara kepada apa yang disebut benar. Artinya apakah sesuatu
dapat dibenarkan atau tidak. Ketika berbicara benar maka terdapat proses untuk bisa
mencapai benar itu. Prosesnya cukup panjang yang dimulai dari fakta, kepercayaan
baru kebenaran.

A. Fakta, Kepercayaan dan Kebenaran

Fakta adalah apa saja yang ada (realitas) apakah adanya dapat dibuktikan secara
konkrit (data) atau ada dalam pikiran. Kampus UIN ada secara empirik (fakta). Harapan
bahwa dengan persiapan sarana dan prasarana yang kini dilakukan akan menjadikan
UIN sebagai kampus integrated dan interkonesitas di masa depan juga sebuah fakta.

Fakta bebas nilai. Artinya sebuah fakta bisa saja menjadi berguna atau tidak atau
bisa saja benar atau salah. Tergantung siapa yang memberi nilai. Fakta kampus UIN
kampus unggulan atau tidak di masa depan, bergantung kepada pemberi nilai (manuisa
atau orang yang memberi nilai). Alat yang dipakai untuk memberi nilai adalah informasi
yang diperoleh, baik secara empiri maupun rasio.
Kepercayaan (anggapan/dugaan) adalah persepsi atau kesan atau cerapan yang
diberikan oleh manusia terhadap fakta. Anggapan yang diberikan oleh manusia
terhadap fakta, awalnya adalah bebas nilai. Anggapan terhadap fakta bernilai tatkala
manusia memiliki informasi tentang sesuatu. Sepanjang tidak ada informasi maka
anggapan manusia terhadap fakta apa adanya (objektif). Kekayaan informasi akan
mengantarkan kebenaran anggapan manusia terhadap fakta. Mestinya anggapan
manusia lebih mendekati kebenaran karena memiliki piranti empiri dan otak. Beda
dengan binatang yang hanya mengandalkan insting.

Dengan demikian jika ada anggapan yang paling mendekati fakta itulah yang
disebut kebenaran. Semakin dekat anggapan dengan fakta, semakin kuat kebenaran
yang dibangun oleh manusia, demikian pula sebaliknya.

B. Kebenaran Ilmiah

Kebenaran adalah proposisi yang benar. Proposisi adalah pernyataan atau


statement. Proposisi yang benar terkait dengan (1) kualitas, (2) sifat (karakteristik), (3)
hubungan dan (4) nilai suatu fakta.

Kualitas pernyataan bisa berbentuk; (1) biasa (knowledge of the man in the street
atau ordinary knowledge atau common sense knowledge) di mana ukurannnya selalu
subjektif; (2) ilmiah (agreement knowledge) di mana ukurannya adalah metodologis; (3)
filsafati di mana ukurannya adalah analitis, kritis dan spekulatif. Kebenaran
pengetahuan jenis ini absolute-intersubjektif; (4) agama di mana ukurannya adalah
dogma yang tertuang dalam kitab suci yang bersifat absolute.

Sifat atau karakteristik pernyataan terkait bagaimana sebuah pernyataan


dibangun. Dalam hal ini ada tiga cara (1) sense experience yang menghasilkan
pengetahuan inderawi (2) rasional yang menghasilkan pengertahuan akal-budi (3)
intuisi yang menghasilkan pengetahuan kepercayaan atau pengetahuan otoritatif atau
irrasional.

Hubungan pernyataan terkait dengan determinasi. Jika subjek dominan maka


pengetahuan cenderung benar menurut subjek tertentu. Jika dominasi ada pada objek
yang diketahui maka kebenaran pengetahuan itu berdasarkan nilai yang dimiliki.
C. Teori Kebenaran

Untuk membenarkan sebuah pernyataan terdapat tujuh teori, yaitu; Teori


Kebenaran Korespondensi, Teori Kebenaran Koherensi, Teori Kebenaran Pragmatis,
Teori Kebenaran Sintaksis, Teori Kebenaran Semantik, Teori Kebenaran Non-Deskripsi,
dan Teori Kebenaran Supra-Logis.

1. Teori Kebenaran Korespondensi merupakan teori kebenaran yang paling tua. Di


mana kebenaran diukur dari kesesuaian (correspondence) antara makna yang
dimaksud dengan oleh suatu pernyataan dengan apa yang sesungguhnya ada
dalam faktanya “a belief is called “true” if it “agrees” with the fact”.
2. Teori Kebenaran Koherensi merupakan kebenaran yang diukur dari adanya
keadaan saling berhubungan antara satu proposisi dengan proposisi lain yang
benar atau jika makna yang dikandung dalam keadaan saling berhubungan
dengan pengalaman yang ada. Dengan kata lain kebenaran diukur sejauh mana ia
berhubungan dengan kebenaran yang telah ada.
3. Teori Kebenaran Pragmatis, meletakkan ukuran kebenaran pada konsekuensi.
Artinya kebenaran diukur sejauh mana proposisi itu membantu untuk
menciptakan kepuasan terhadap pengalaman. Tegasnya proposisi dipandang
benar jika proposisi itu mempunyai konsekuensi praksis. Oleh karena
konsekuensi praksis berbeda antara seseorang dengan orang lain, maka tidak
ada kebenaran pragmatis yang absolute.
4. Teori Kebenaran Sintaksis, berpangkal tolak dari keteraturan sintaksis atau
gramatika yang dipakai oleh suatu tata bahasa. Artinya sebuah kebenaran
ditentukan oleh sejauh mana ekspresi momen tata bahasa mampu berinteraksi
dengan momen kejiwaan untuk menjelaskan sesuatu.
5. Teori Kebenaran Semantik, yang menjadikan arti atau makna sebagai parameter
kebenaran. Dengan kata lain, suatu proposisi dipandang benar jika proposisi itu
memiliki arti. Arti di sini betul-betul menunjukkan makna yang sesungguhnya
dengan menunjuk referensi atau kamus atau leksikal (kebenaran definitive).
6. Teori Kebenaran Non-Deskripsi, dikembangkan oleh filosof fungsionalisme.
Teori ini mirip dengan pragmatis. Teori ini menjadikan kebenaran diukur dari
peran dan fungsi dari sebuah pernyataan. Jadi kebenaran teori ini memberikan
informasi tentang bergunanya sebuah kebenaran dan kesalahan tanpa perlu
menganilisis makna kebenaran dan kesalahan.
7. Teori Kebenaran Supra-Logis (Logical Superfluity of Truth), dikembangkan oleh
kaum positifistik sebagai respon terhadap kebenaran sintaksis dan semantik
yang diusung oleh filosof bahasa. Proposisi sesungguhnya memiliki derajat logis.
Oleh karena itu, proposisi sebenarnya memiliki fakta atau data yang memiliki
evidensi, artinya proposisi menunjukkan kejelasan dalam dirinya sendiri. Misal,
lingkaran adalah bulat. Ini tidak perlu dijelaskan lagi karena sudah bisa
dipahami.

Pada dasarnya setiap proses mengetahui, memunculkan suatu bentuk


kebenaran. Tapi setiap kebenaran pada saat pembuktiannya harus kembali kepada
status ontologis objek, sikap epistemologis, dan sikap aksiologis. Itu semua
mengakibatkan lahirnya aneka tawaran kebenaran. Namun untuk memilihnya
dikembalikan kepada sifat dasar metodologis yang digunakan dan kembali kepada
konvensi.

BAB VI

KARAKTERISTIK ILMU

A. Beberapa Konsep

Konsep adalah apa yang ada dalam pikiran (belum diaplikasikan). Dalam
aktifitas konsep terlibat di dalamnya tiga hal yaitu, klasifikasi, perbandingan dan
kuantitatif.

Klasifikasi adalah meletakkan objek pada kelas tertentu. Semakin kecil skup
maka semakin jelas dan efektif sebuah pengklasifikasian. Semakin luas skup (cakupan)
maka semakin mengambang dan tidak pasti pengelompokan yang dilakukan. Misal,
hewan, lebih luas dari pada binatang piaraan. Tumbuhan lebih luas dari pohon berakar
tunggang. Mahasiswa UIN lebih umum dari mahasiswa UIN Jurusan Jinayah Siyasah.
Untuk klasifikasi ini dapat digunakan berbagai ragam kategorisasi yang dikenal dalam
logika.
Perbandingan adalah, menakar antar klasifikasi. Klasifikasi yang beraneka
memancing kita untuk menilai dan memilih. Untuk itu diperlukan komparasi. Misal,
hewan jinak dengan hewan lebih jinak. Mahasiswa pintar dan pahasiswa lebih pintar.
Ketika komparasi dilakukan maka mau tidak mau diperlukan item yang bisa diukur. Hal
ini meniscayakan untuk melakukan kuantitatif (perhitungan angka-angka). ]

Kuantitatif, adalah mengangkakan klasifikasi. Mahasiswa bisa dikatakan lebih


pintar jika dilihat dari besaran nilai pada aspek, ujian, diskusi, interaktif.

B. Landasan Penelaahan Ilmu

Setidaknya, dalam setiap penelaahan ilmu, harus mempertimbangkan dua hal,


yaitu (1) objektifitas dan (2) nilai-nilai hidup kemanusiaan. Kedua pertimbangan
tersebut haruslah ditempuh secara akseleratif (sekaligus) tidak terpisahkan. Jadi ilmu
tidak untuk ilmu (bebas nilai), melainkan ilmu untuk kehidupan manusia

Sampai hari ini, terdapat 2 aliran besar yang menempatkan objektifitas dan
pertimbangan nilai sebagai dua hal yang terpisah. Kelompok pertama berpendirian
bahwa ilmu hanya mengacu kepada nilai kebenaran tanpa peduli dengan hal-hal
metafisik seperti nilai susila, kegunaan (ilmu bebas nilai). Bagi kecenderungan ini,
kebenaran merupakan satu-satunya ukuran. Beberapa elaboran (pendukung) aliran ini
adalah Jacob Bronomski. Ia mengatakan bahwa ilmu adalah untuk mencari yang benar
tentang dunia. Aktifitas ilmu diarahkan untuk melihat kebenaran yang dinilai dengan
ukuran pembenaran fakta-fakta. Pendukung lain, Victor Reisskop, mengatakan tujuan
ilmu tidak pada penerapan, tetapi untuk mencapai pemahaman-pemahaman terhadap
sebab dan kaidah dalam proses ilmiah.

Sementara itu, Carl G. Hempel menyebutkan bahwa ilmu merupakan penjelasan


tentang fenomena dalam dunia pengalaman (menjawab pertanyaan mengapa?) tidak
menjawab apa? Ilmu adalah suatu pelukisan mengenai pokok-pokok persoalan dengan
menyajikan penjelasan sekitar fenomena yang diselidiki. Sedangkan Maurice Richter
menandaskan bahwa ilmu adalah perolehan pengetahuan yang digeneralisasi,
disistematisasi yang menuntun manusia dalam memahami alam.

Adapun kelompok kedua, berpendirian bahwa sangat perlu memasukkan


pertimbangan nilai-nilai etik, kesusilaan dan pertimbangan lain dalam membangun
kebenaran, sehingga ilmu itu bertaut nilai bukan bebas nilai. Eksponen kelompok ini di
antaranya; Francis Bacon yang mengatakan ilmu sesungguhnya memberikan
kontributor atau sumbangan terhadap hidup manusia dengan ciptaan dan kekayaan
baru. Kecuali itu menurut Daoed Yoesoef, kendatipun ilmu itu merupakan upaya
mencari kebenaran, namun tidak bermakna jika ilmu itu bebas nilai.

Sementara itu, Soeroso H. Prawirohardjo mengatakan, ilmu itu mestilah bertaut


nilai. Ilmu ekonomi terlalu matematis, steril dan tidak realistik. Apa yang dikalim
sebagai objektif an sich hanya tinggal mitos belaka, karena di balik teori-teori itu
terdapat nilai-nilai etik. Ilmu harus memiliki komitmen pada usaha-usaha untuk
menyelesaikan persoalan masyarakat yang mendesak.

Kedua kelompok di atas saling mengklaim sebagai lebih dominan. Ini yang
kemudian merangsang lahir trend baru yang lebih sintesis dan akomodatif. Tokohnya
adalah C.A. van Peursen. menurutnya, bahwa dalam sebuah ilmu terdapat tiga unsur,
yaitu; (1) pengetahuan itu sendiri; (2) teknik; dan (3) etik. Antara ketiganya tidak bisa
dipisah. Pengetahuan akan melahirkan teknik dan teknik akan bersinggungan dengan
etik. Tokoh sintesis lain, Soejono Soemargono mengatakan bahwa ilmu haruslah
memiliki dua ciri, yaitu; (1) statistik, dalam hal ini tercermin dari sistem metode ilmiah;
dan (2) dinamik, semacam pedoman dan azaz-azaz. Metode ilmiah merupakan landasan
pokok, sedangkan pertimbangan nilai menjadi pertimbangan segi metafisik. Sementara
itu, Jujun S. Suriasumantri, menegaskan bahwa ilmu itu harus memiliki tiga landasan
secara serempak, yaitu; (1) landasan ontologis, yaitu analisis tentang objek materi dari
ilmu (hal-hal empiris); (2) landasan epistemologis, yaitu analisis tentang proses
tersusunnya sebuah ilmu (metode ilmiah); (3) landasan aksiologis, yaitu analisis
tentang penerapan atau kegunaan hasil-hasil temuan sebuah ilmu.

B. Ilmu sebagai Proses

Ilmu menunjuk pada pengetahuan sistematik baik bahasa, sastra, estetika,


sejarah maupun agama dan filsafat (science, wissenschaft). Artinya ilmu adalah
rangkaian aktifitas yang dilakukan secara sadar oleh intelektual manusia untuk
mencapai tujuan tertentu. Aktifitas intelektual membutuhkan kemampuan berpikir
logis atas hal-hal yang diamati. Inilah yang disebut sebagai ciri cognitif dari ilmu, yaitu
ujud aktifitas kognisi.
Olah kognisi manusia diarahkan untuk mencapai pengetahuan yang benar
tentang alam semesta yang mampu melahirkan perubahan ke arah yang lebih baik.
Inilah yang menjadi ciri kedua ilmu yaitu, produk, yaitu hasil aktifitas kognisi. Untuk
memenuhi dua ciri tersebut diperlukan ciri ketiga yaitu metode.

Metode merupakan prosedur yang mencakup tindakan pikiran, pola kerja, tata
langkah untuk memperoleh pengetahuan atau mengembangkan pengetahuan. Inilah
yang disebut dengan metode ilmiah. Metode ilmiah standar yang umum berlaku
meliputi penentuan masalah, perumusan masalah, pengumpulan data, perumusan
kesimpulan sementara (hipotesis) dan verifikasi.

Corak metode ilmiah yang demikian menyebabkan ilmu bersifat positivistik,


deterministik, evolutif, yang meniscayakan analisisnya dibantu dengan pendekatan
kuantitatif dan eksperimentasi-observasi. Inilah yang menjadi ciri metode ilmiah, yaitu
observable, measurable, dan verifiable.

Kendati secara substansi sama namun terdapat perbedaan antara metode ilmiah
dalam ilmu alam (pasti) dan ilmu sosial-humaniora. Jika ilmu alam menggunakan siklus-
empirik dan eksperimen empirik maka ilmu sosial menggunakan linear.

C. Metode Ilmiah

Metode Ilmiah ditandai dengan, sistematis, komprehensif, logis, measurable,


observable dan verifiable. Sistematis itu terdiri dari berbagai elemen yang saling terkait
untuk satu tujuan. Komprehensif itu memiliki cakupan yang lengkap. Logis itu dapat
diterima akal dan logika. Measurable dapat diukur atau terukur. Observable itu dapat
dipantau atau diamati. Verifiable itu dapat dikoreksi atau disanggah untuk
disempurnakan.

Untuk mendapatkan informasi yang ilmiah, lazim digunakan dua jalan, yaitu
empirk (cerapan indera) dan rasio (penerawangan otak). Kendati ada jalan lain, yaitu
irrasional, namun jalan ketiga ini belum jamak digunakan dan dikenal. Keduanya
(empirik dan rasio) saling terkait. Jika tidak, maka info yang didapat tidak utuh. Indera
dan otak sama-sama memiliki kelemahan.
Kelemahan empirik atau indera, terbatas, tidak pasti dan tidak memenuhi syarat
empirisme yaitu harus terus menerus teramati. Sekali lepas dari pengamatan berarti
rukun empirik batal. Kelemahan rasio, abstrak, tidak seragam (pluralisme opini) tidak
istiqamah atau konsisten (terjadi pergerakan dalam satu opini). Oleh karena itulah
sebabnya empiri dan rasio harus bekerjasama.

Jika informasi telah diperoleh, maka disusun dan diolah menurut tahapan ilmiah,
yang dimulai dari (1) perumusan masalah; (2) pengumpulan data; (3) pengklasifikasian
data; (4) pengajuan hipotesa; (5) pengembangan hipotesa (dari deduksi ke induksi);
dan (6) pengujian hipotesa.

Setelah tahapan ilmiah tersebut baru kemudian dibuat laporan yang disusun
berdasarkan prosedur ilmiah. Prosedur ilmiah dimulai dari pemaparan latar belakang
masalah yang memuat tentang; (1) deskripsi isu, fakta, fenomena; (2) Mempersoalkan
isu tersebut (makna internal, urgensi, studi yang telah ada); (3) Evaluasi apa yang sudah
atau belum direspon dalam studi yang telah ada itu; (4) Simpulkan kenapa studi yang
dilakukan penting.

Prosedur ilmiah kedua adalah perumusan masalah yang memuat tentang; (1)
deskripsi permasalahan (selisih nilai); (2) merumuskan masalah; (3) Uraian lebih rinci
tentang masalah dalam bentuk pertanyaan penelitian; (4) menyimpulkan apa arti atau
implikasi menjawab pertanyaan penelitian tersebut.

Prosedur ilmiah ketiga adalah penelusuran pustaka, yang terdiri dari; (1)
pemaparan secara umum seberapa intensif/ekstensif studi yang telah dilakukan; (2)
menyebutkan apa dan siapa yang telah dibahas; (3) membandingkan satu kajian dengan
kajian lain (ini penting untuk menemukan pola); (4) menemukan aspek-aspek yang
belum diperhatikan (yang masih perlu diteliti/diperbaharui); (5) menegaskan aspek
apa yang mau dilengkapi melalui penelitian yang dilakukan.

Adapun prosedur ilmiah keempat adalah pemilihan kerangka teori, yang terdiri
dari; (1) pendefenisian konsep; (2) Operasionalisasi konsep ke dalam variabel-
variabel/unsur-unsur (dengan bantuan teori); (3) menegaskan unsur-unsur yang kaji;
(4) merumuskan satu kerangka penelitian (berdasarkan teori/konsep di atas).
Selanjutnya adalah prosedur penjelasan metode penelitian, yang terdiri dari; (1)
menyebutkan alasan pemilihan metode; (2) menegaskan siapa (berapa) yang diteliti
dan untuk kepentingan data apa; (3) menguraikan data apa saja yang diperlukan untuk
menjawab pertanyaan penelitian; (4) menyebutkan teknik pengumpulan data yang
dipakai dan untuk data yang mana; (5) menyebutkan bagaimana data itu dianalisis.

Itulah prosedur ilmiah yang sudah baku dalam dunia keilmuan. Untuk lebih jelas
dapat dilihat bagan berikut;

TEORI

konsep/
proposisi Interelasi Deduksi logika
logika

GENERALISASI STATUS
HIPOTESA
HIPOTESA

Pengukuran
Penyederhanaan Pengujian hipotesa Instrumen
informasi Indikator
sample
OBSERVASI

BAB VII

EPISTEMOLGI

A. Pengertian

Epistemologi adalah bagian dari filsafat ilmu yang secara khusus membahas
tentang teori ilmu pengetahuan. Terdapat tiga sentral pembahasan dalam epistemologi.
Pertama, membahas tentang sejauh mana kekuatan akal pikiran (mind) dalam usahanya
untuk memperoleh pengetahuan tentang dunia luar. Di sini dikaji tentang hakekat dan
batas-batas kekuatan akal pikiran (the nature and limits of the powers of the faculties of
mind). Kedua, mengkaji tentang seberapa jauh kemampuan dan kekuatan akal pikiran
dapat menembus struktur fundamental dari realitas (external world). Dan ketiga,
seberapa tepat (valid) ide-ide atau konsep-konsep yang telah berhasil dirumuskan oleh
akal pikiran dalam menggambarkan dan menjelaskan hakekat dan struktur
fundamental dari suatu realitas (the extent to which the minds ideas adequately
represent the nature of external world).

B. Ragam

Adanya tiga sentral pembahasan dalam epistemologi sebagaimana disebut di


atas, merupakan tema-tema yang telah mendapat perhatian sejak lama oleh sejumlah
ilmuwan. Hingga perkembangan paling akhir, paling tidak terdapat dua pilahan ekstrim
dalam diskursus epistemologi. Pertama adalah rasionalisme, yaitu aliran yang
menekankan pentingnya peran akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Sementara
cerapan inderawi dinomorduakan.

Sejarah mencatat tokoh-tokoh semacam Descartes (1596-1650), Leibnitz (1646-


1716) dan Wolff (1679-1757) sebagai eksponennya. Kedua, adalah empirisisme yaitu
aliran yang berseberangan dengan rasionalisme, di mana indera lebih dikedepankan
dari pada akal dalam memperoleh ilmu pengetahuan. Di antara tokoh yang dianggap
mewakili kubu ini adalah Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753) dan Hume (1711-
1776).

Kedua kubu di atas, baik kubu rasionalisme dengan klaim bahwa akal dengan
prosedur tertentu dapat menemukan pengetahuan dalam arti yang paling ketat, yang
dalam keadaan apapun tidak mungkin salah maupun kubu empirisisme yang
menandaskan bahwa pengalaman inderawi sebagai basis pengetahuan, saling
bersikukuh untuk mempertahankan keyakinan masing-masing.

Bila dicermati lebih seksama hingga ke perjalanan filsafat paling awal, maka
sesungguhnya pergumulan rasionalisme versus empirisisme yang marak pada abad ke
17 itu, embrionya telah terkonsepsi sejak era filsafat Yunani kuno. Plato dengan alam
idea nya dipandang sebagai pencetus rasionalisme. Ia menilai bahwa apa yang dapat
dicapai oleh pengamatan inderawi tidak akan mengantarkan pada sebuah pengetahuan
yang tetap, tetapi selalu berubah-ubah. Sesuatu yang berubah-ubah tidak bisa dipegangi
sebagai sebuah pengetahuan. Karenanya Plato dengan tegas menolak pengamatan
sebagai sumber pengetahuan. Baginya, ada yang lebih dapat dipegangi dan memberikan
keyakinan karena tidak berubah-ubah, yaitu idea yang bersifat tetap. Idea inilah realita
yang sesunguhnya kata Plato. Idea ini sudah dimiliki oleh setiap insan yang terlahir ke
dunia yang oleh Descartes disebut dengan ide innata. Dengan menurunkan ide
(mengingat kembali) inilah manusia memperoleh pengetahuan.

Konstruk epistemologi Plato di atas, tidak begitu saja diterima oleh Aristoteles,
yang menurutnya memiliki titik kelemahan. Bagi Aristoteles, alam idea Plato tidak akan
bisa dicapai tanpa proses pengamatan empirik manusia, yang pada tahap selanjutnya
mengkristal menjadi konsep atau ide. Aristoteles memperkenalkan apa yang ia sebut
dengan abstraksi. Aristo memang mengakui adanya perubahan pada setiap pengamatan
inderawi, akan tetapi pengamatan yang dilakukan secara terus-menerus pada
gilirannya akan mengantarkan pada suatu hukum yang bersifat general atau universal.
Inilah yang nantinya mengantarkan manusia pada suatu ilmu pengetahuan.

Ketegangan kedua grand teori yang terus dilestarikan oleh para elaborannya itu,
dicoba ditengahi oleh epistemolog yang datang belakang. Pada seputar abad 18 - 19,
Immanuel Kant (1724-1804) misalnya, hadir menawarkan kritisisme. Ia mencoba
menjembatani kesenjangan antara rasionalisme dan empirisisme yang pada akhirnya
melahirkan idealisme. Hegel (1770-1831) juga mencoba menjembatani dengan apa
yang ia sebut dengan teori dialektika dan seterusnya.

Agaknya sudah menjadi wataknya sehingga perkembangan ilmu pengetahuan


tidak pernah mengenal kata final. Ia akan selalu berproses melahirkan tesa, anti tesa
dan sintesa.

Terlepas polemik yang keras antar kedua kubu, sejatinya terdapat ragam
epistemologi yang ketiga, kendati belum cukup berkembang di Barat tetapi sangat
subur di dunia Islam. Epistemologi tersebut adalah irrasional atau intuisionisme.

C. Perbedaan

Jika disarikan secara lebih detail, maka terdapat sembilan perbedaan dalam
masing-masing epistemologi. Perbedaan antara ketiga ragam epsitemologi di atas dapat
dilihat pada tabel berikut ini.
No Aspek Epistemologi Epistemologi Epistemologi
Empirik Rasional Irrasional
1 Sumber Teks Realitas dan Teks Instink (Gharizah)
2 Metode Istinbath, Qiyas, Bahtsiyyah Riyadhah
Analogi Tahliliyyah
3 Pendekatan Bahasa Logika Besitan Hati
4 Analisa Asal>Cabang, Ma’quulat al-Alfaaz Realitas>Feeling
Lafaz>Makna Jauhar al-‘Aradh
5 Hubungan S-O Terpisah Terpisah Menyatu
6 Fungsi Akal Justifikasi Heuristik Partisipatif
7 Argumentasi Jadali, Truth Claim Rasional, Logis Agree in
disagreement
8 Pendukung Fuqaha, Ushuliyyun Filosof, Sohibul ‘aql Tasawuf, Asketis
dan Mutakallimun
9 Validitas Korespondensi, Konsistensi, Non-Deskriptif
Sintaksis, Semantik, Pragmatis Supra logis

BAB VIII

PILAR PENYANGGA ILMU

A. Bahasa Ilmiah

Secara fundamental, yang membedakan manusia dengan makhluk lain adalah


potensi pikirnya. Artinya, manusia harus senantiasa dan dapat berfikir, jika tidak maka
ia akan tercabut dari spesies kemanusiaannya. Namun demikian tidak asal berfikir
(berpikir alamiah) tetapi berfikir yang ilmiah. Untuk bisa berfikir ilmiah diperlukan
sarana yang disebut dengan sarana berpikir ilmiah, yaitu; (1) bahasa ilmiah; dan (2)
logika, matematika dan statistika. Bahasa ilmiah berfungsi untuk mengekspresikan atau
alat komunikasi dalam menyampaikan jalan pikiran seluruh proses berpikir ilmiah.
Logika, matematika dan statistika berfungsi memandu dalam berfikir deduktif
(kualitatif) dan berpikir induktif (kuantitatif).
Kendati manusia telah berpikir tapi apa yang dipikirkannya tidak akan diketahui
oleh orang jika ia tidak menuangkannya dalam bentuk bahasa.

Bahasa pada dasarnya terdiri dari diksi (pilihan kata) dan sintaksis. Diksi itu
merupakan penyimbolan terhadap sesuatu, apakah sesuatu itu kejadian, benda, proses,
atau hubungan. Sedangkan sintaksis adalah susunan diksi di dalam sebuah kalimat
sehingga memiliki arti atau makna. Tanpa sintaksis, diksi menjadi tidak bermakna.

Diksi bahkan kalimat tidak selamanya bermakna. Ada kalimat bermakna dan ada
kalimat tidak bermakna. Kalimat bermakna ada yang berbentuk berita dan ada pula
yang berbentuk tidak berita. Kalimat berita adalah kalimat yang dapat dinilai benar
atau salahnya. Sedangkan kalimat bukan berita ada empat, yaitu kalimat tanya,
perintah, seru dan harapan. Dengan demikian kalimat dalam berpikir ilmiah adalah
kalimat berita.

Bahasa dibedakan dalam bahasa alami dan bahasa buatan. Bahasa alami adalah
bahasa harian yang dipengaruhi oleh miliu. Bahasa alami ini dibedakan dalam bahasa
bahasa isyarat dan bahasa biasa. Bahasa isyarat inipun ada yang berlaku umum seperti,
menggelengkan kepala untuk menunjukkan tidak setuju atau mengangguk tanda setuju.
Sedangkan bahasa isyarat khusus hanya berlaku untuk kalangan tertentu, misal kode
siul tanda ada yang akan datang dikalangan mafia atau triad tertentu.

Bahasa Biasa adalah bahasa yang biasa dipergunakan dalam pergaulan sehari-
hari. Bahasa biasa ini juga dibedakan dalam bahasa denotatif (puncak gunung) dan
bahasa konotatif (puncak kekuasaan). Bahasa buatan adalah bahasa yang dibuat
sedemikian rupa dengan menggunakan kaidah-kaidah tertentu. Bahasa buatan ini
dibedakan dalam bahasa istilahi dan bahasa artifisial. Bahasa istilahi adalah bahasa
yang harus diberi penjelasan dengan definisi supaya tidak mengalami kekaburan
makna, seperti kata demokrasi. Bahasa artifisial adalah bahasa yang teramat khusus
dan sering disebut bahasa simbolik, seperti a + b + c .

Dengan demikian dapat ditegaskan tentang perbedaan bahasa alami dengan


bahasa buatan. (1) Bahasa alami bersifat spontan sementara bahasa buatan
berdasarkan pemikiran (2) bahasa alami bersifat kebiasaan sedangkan bahasa buatan
bersifat sekehendak hati (3) bahasa alami cenderung intuitif sedangkan bahasa buatan
diskursif (4) Bahasa alami merupakan pernyataan langsung sedangkan bahasa buatan
berisi pernyataan tidak langsung.

Jadi bahasa ilmiah itu ada pada bahasa buatan. Bahasa ilmiah merupakan
kalimat-kalimat deklaratif yang memiliki nilai benar dan salah baik menggunakan
bahasa biasa atau bahasa symbol (artificial). Bahasa Istilah (Bahasa yang harus diberi
penejlasan (definisi).

Terdapat tiga fungsi bahasa, yaitu; (1) ekspretif atau emotif, seperti pencurahan
rasa takut, takjub dan ekspresi kesenian; (2) afektif atau praktis, seperti mempengaruhi
orang; dan (3) simbolik atau logik, seperti simbol simbol untuk menyampaikan fakta.

Dalam bahasa ilmiah, yang dipakai adalah bahasa simbolik bukan emotif atau
praksis. Bahasa ilmiah harus jelas dan objektif. Untuk menuju ke arah itu perlu
pendefinisian istilah guna mencegah salah persepsi. Bahasa yang digunakan untuk
mendefinisikan harus jelas singkat dan padat, tidak berbelit-belit.

Definisi berasal dari kata latin definire yang berarti menandai batas-batas pada
sesuatu. Sebuah definisi harus memuat dua bagian, yaitu (1) definiendum (sesuatu yang
akan didefinisikan) dan (2) definiens (uraian tentang sesuatu yang didefinisikan).
Contoh: Manusia adalah makhluk yang berakal budi. Manusia adalah definiendum dan
makhluk berakal budi adalah definiens. Jadi definisi adalah pengertian yang lengkap
tentang suatu istilah yang mencakup semua unsur yang menjadi ciri utama istilah itu.
Kegunaan definisi untuk menghindari salah pengertian dan memiliki pengertian yang
jelas tentang sesuatu.

Syarat definisi ada tujuh, yaitu; (1) inklusif (mencakup semua ciri dari sesuatu
yang didefinisikan); (2) eksklusif (menolak pengertian lain yang tidak termasuk dlm
sesuatu yg didefinisikan); (3) Tidak mengakibatkan kemustahilan; (4) Dapat dibalik
(segi tiga adalah bidang yang dibatasi oleh garis tiga); (5) Tidak Mengulang Kata (logika
adalah ilmu yang membahas ttg logika); (6) Tidak memberi kata yang searti ( bahan
adalah materi); (7) Tidak menggunakan bentuk ingkar (Taqwa adalah tidak melanggar
perintah Tuhan).

Untuk membuat sebuah defenisi memiliki berbagai cara. Defenisi dapat dibuat
dengan cara; (1) menerangkan arti nama atau istilah terntentu. Defenisi ini disebut
dengan definisi nominal. Untuk membuat defenisi nominal ini dapat dilakukan dengan
cara; (a) menggunakan kata sinonim (konggres adalah musyawarah); (b) mengupas
dari aspek etimologi dan terminologi); (2) menerangkan apa sebenarnya dari sesuatu.
Defenisi ini disebut dengan defenisi real. Cara membuat defenisi real ini ada tiga, yaitu;
(a) deskriptif (mengumpulkan sifat-sifat atau ciri-ciri sesuatu; Cinta kasih itu sabar,
cinta kasih itu murah hati, cinta kasih itu tidak akan sirna); (b) Logis-esensial (berisi
keterangan definitif tentang hakikat sesuatu; Segi empat adalah bidang yang dibatasi
oleh gari empat; (c) Kausal (menerangkan sebab akibat: Gerhana bulan adalah
hilangnya sinar bulan karena ditutupi oleh bumi).

B. Logika, Matematika dan Statistika

Secara etimologi, logika berasal dari kata logos (Yunani) yang berarti kata atau
pikiran. Secara terminologi, logika adalah ilmu yang membicarakan tentang aturan-
aturan berpikir, agar dapat sampai kepada kesimpulan yang benar. (Undang-undang
berpikir).

Fungsi logika di antaranya; (1) tercapainya kesimpulan secara tepat; (2)


terpecahkannya problema yang dihadapi manusia (3) terhindarnya manusia dari
kekeliruan (4) terkomunikasikannya ide seseorang kepada orang lain.

Adapun kegunaan logika di antaranya; (1) mengembangkan kemampuan


berpikir logis dan kritis; (2) mengembangkan penalaran; (3) melatih ketelitian; (4)
melatih tradisi logis (tidak asal jadi).

Kendati seseorang telah dapat berpikir logis, namun tidak memiliki bahasa
ilmiah maka pikiran cemerlangnya tanpa makna. Oleh karenanya logika dan bahasa
memiliki relasi yang amat kuat. Bahasa adalah pembentuk pikiran, perasaan, keinginan
dan perbuatan manusia. Bahasa sebagai sarana komunikasi ide.

Materi pokok logika adalah; (1) pengertian, yaitu hasil aktifitas akal pikiran; (2)
kata, pengungkapan hasil aktifitas akal pikiran; (3) term, pengungkapan hasil aktifitas
akal pikiran dalam kalimat-kalimat (subjek dan predikat); (4) kategori, penggolongan
pengertian.

Untuk membuat kategori banyak cara yang dapat dilakukan. Kategori dapat
dibuat berdasarkan atau menekan dari segi kuantitas. Dalam hal ini kategori terbagi
tiga, yaitu; (1) Universal, diterapkan kepada sekian banyak diri, seperti manusia; (2)
Kolektif, diterapkan kepada sekelompok diri, seperti, pendengar; (3) Singular atau
Individu, diterapkan hanya pada satu diri, seperti Eko Prasetio.

Kategori juga dapat dibuat dengan menekankan segi keadaan. Dalam hal ini
kategori terbagi dua, yaitu; (1) Abstrak, melukiskan sesuatu yang sulit dipahami,
misalnya kemerdekaan dan keadilan; (2) Konkrit, melukiskan sesuatu yang dapat
diamati, seperti gagah perkasa, maco.

Kategori dapat juga dibuat dengan menekankan segi sifat. Di sini kategori terbagi
tiga, yaitu; (1) Positif, menyatakan kualitas, seperti bagus, elok, sopan; (2) Negatif,
menyatakan tidak ada kualitas, seperti sembrono, awut-awutan; (3)Positif-Negatif,
menyatakan kualitas tapi tidak tampak, sepertiRoro Kidul.

Kategori juga dapat dibuat berdasar tujuan. Di sini kategori terbagi dua, yaitu;
(1) Ekstensi, mengidentifikasi sesuatu, seperti Jepang, Belanda, Timur Lorosae; (2)
Intensi, menyatakan ciri sesuatu, seperti manusia sebagai homo sapien, homo volens.

Jika dibuat dengan menekankan segi hubungan, maka kategori memiliki empat
bentuk, yaitu; (1) Simetrik, memiliki arus balik, seperti suami saling mencintai dengan
istri; (2) Asimetris, tidak memiliki arus balik, seperi E ayah Q; (3) Transitif, hubungan
yang mengikat sesuatu pada hubungan yang sama, seperti A di depan B, B di depan C, A
di depan C; (4) Intransitif, hubungan yang memiliki satu pusat titik temu, seperti A ayah
B, B ayah C, A bukan ayah C.

Selain itu kategori juga dapat dibuat berdasarkan segi hal. Kategori ini digagas
oleh Aristotele, yang terdiri dari sepuluh hal, yaitu; (1) Kuantitas, contohnya seseorang;
(2) Substansi, contohnya pemuda; (3) Kualitas, contohnya yang gagah; (4) Relasi,
contohnya anak walikota Solo; (5) Status, seperti sebagai mahasiswa UIN Sunan
Kalijaga; (6) Waktu, seperti sekarang ini; (7) Tempat, seperti di ruang ini; (8)
Situasi/Keadaan, seperti dalam keadaan duduk; (9) Aktifitas, seperti mendengarkan;
(10) Pasifitas, seperti kuliah.

Materi pokok logika yang kelima adalah putusan, yaitu pernyataan yang berisi
pengakuan atau pengingkaran hubungan antara suatu subyek dengan predikat yang
mungkin benar atau mungkin salah. Keharusan adanya putusan ini disebabkan banyak
faktor yang mempengaruhi objektifitas manusia, di antaranya; emosi jiwa, kepentingan
pribadi (ego) dan desakan atau tekanan dari luar (pressure atau intimidasi).

Francis Bacon, menyebut beberapa hal yang mempengaruhi objektifitas


manusia; (1) arca-arca suku (tribe). (2) arca-arca gua (cave) (3) arca-arca pasar
(market) (4) arca-arca panggung (theatre).

Untuk sampai kepada putusan yang benar, terdapat tiga syarat; (1) Pemikiran
harus berpangkal dari kenyataan (realita) yang telah diterima kebenarannya; (2) Alasan
yang diajukan harus kuat dan tepat; (3) Jalan pikiran lurus dan logis.

Dalam membuat terma yang berputusan, terdapat tiga unsur yaitu; (1) Subjek;
sesuatu yang dijadikan pokok pernyataan (diakui atau diingkari); (2) Predikat;
pernyataan yang berisi keterangan tentang subjek; (3) Hubungan; dasar yang
menghubungkan antara subjek dan predikat (affirmatif atau negasi)

Putusan memiliki berbagai macam bentuk. Jika dilihat dari segi sifatnya, terdapat
dua putusan, yaitu; (1) Putusan kategoris, putusan yang berisi hubungan tanpa syarat
antara S dan P. Contoh; pengetahuan selalu mengandaikan adanya interaksi antara
subjek dan objeknya; (2) Putusan hipotesis, putusan yang berisi hubungan tertentu
antara S dan P. Contoh: seseorang bisa menjawab ujian jika belajar sebelumnya.

Jika dil;ihat dari segi kualitasnya, putusan memiliki dua bentuk, yaitu; (1)
Putusan affirmasi (mengiyakan), putusan yang menyatakan adanya hubungan antara S
dan P. Contoh, semua teori keilmuan bersifat relatif; (2) Putusan negasi (menidakkan),
putusan yang menyatakan tidak adanya hubungan antara S dan P. Contoh, semua
makhluk tidak abadi.

Dari segi kuantitas, putusan memiliki tiga bentuk, yaitu; (1) Putusan universal,
putusan umum, abstrak, tidak terikat ruang dan waktu. Contoh, seluruh proses evolusi
bergantung kepada Allah sang pencipta; (2) Putusan Partikular, putusan umum yang
terikat ruang dan waktu. Contoh, Ahli ilmu sosial akan menerima argumentasi
deduktifsetelah memeriksa benar tidaknya premis yang digunakan; (3) Putusan
singular, putusan khusus yang menunjuk hanya hal tertentu. Contoh,kebenaran tentang
pengelompokan manusia menjadi tipe A dan B dipertanyakan validitasnya.
Materi pokok logika yang keenam adalah penyimpulan, yaitu, aktifitas akal
pikiran dalam mencari pengetahuan atau kebenaran baru dengan menggunakan
pengetahuan atau kebenaran yang telah diketahui (seperti fakta, teori, hipotesa,
asumsi). Dengan penyimpulan akan dicapai (1) pengertian yang lebih jelas (2)
pengertian yang lebih mendalam.

Penyimpulan memiliki banyak bentuk. Ada yang berbentuk penyimpulan


langsung yang dilakukan dengan metode; (1) ekuivalensi, di mana subjek dan prediket
yang sama digunakan untuk membuat penyimpulan yang baru. Contoh, Ada orang
pintar yang kurus. Penyimpulan baru adl. ada orang kurus yang pintar; (2) Pembalikan,
di mana penyimpulan dengan menggantikan kedudukan subjek dan prediket. Contoh,
Pluralisme adalah ciri khas abad postmo. Penyimpulan barunya adalah ciri khas abad
postmo adalah pluralisme. Selain penyimpulan langsung, ada pula penyimpulan yang
tidak langsung, yang dilakukan dengan metode; (1) induktif, penyimpulan diambil dari
kasus-kasus tertentu; (2) deduktif, penyimpulan diambil dari sebuah pernyataan yang
umum; (3) Sylogisme, yaitu bentuk pengambilan kesimpulan yang dilakukan mirip-
mirip deduktif, yang bertumpu pada perbandingan antara dua konsep tentang S dan P
tertentu. Salah satu dari kedua konsep tersebut adalah premis mayor, lainnya, premis
minor. Yang dijadikan pijakan untuk membuat kesimpulan baru adalah premis mayor
(P). Premis minor merupakan kenyataan yang diperoleh melalui pengalaman yang
bersifat khusus (S). Tentang ada atau tidaknya hubungan dilakukan dengan term
menengah (M). Jadi dalam sylogisme harus ada tiga term tersebut. Contoh: (P) Semua
logam mengantarkan panas. (S) Besi adalah logam. Kesimpulan Sylogismenya adalah
besi mengantarkan panas. Term menengahnya adalah logam dan besi.

Sylogisme memiliki dia bentuk, yaitu; (1) sylogisme kategoris, yaitu sylogis yang
premis-premisnya terdiri dari pernyataan kategoris (tanpa syarat). Artinya suatu
predikat (P) diakui atau dimungkiri tentang suatu subjek (S) secara mutlak tanpa
dikaitkan dengan persyaratan tertentu. Contoh; (P) Semua makhluk itu fana. (S)
Manusia itu makhluk. Kesimpulan Sylogismenya, manusia itu fana. Term menengah
adalah makhluk; (2) sylogisme hipotetis, yaitu kebalikan dari kategoris. Dalam model
ini terdapat anteseden (bagian pernyataan yang mengandung syarat) dan konsekuen
(bagian yang mengandung sesuatu yang dipersyaratkan). Dalam merumuskan
kesimpulan model ini, benar tidaknya bergantung kepada ada tidaknya hubungan logis
antara anteseden dan konsekuen. Contoh: Jika ilmu pengetahuan itu produk pemikiran,
penelitian dan pengalaman yang kebenrannya relatif. Maka sosiologi sebagai sebuah
ilmu pun kebenarannya relatif. Dalam sylogisme ini, jika antesedennya benar maka
kesimpulannya benar, atau sebaliknya.

Selain logika, matematika juga memainkan peran vital dalam rihlah keilmuan.
Matematika merupakan satu kekuatan utama pembentuk konsepsi tentang alam,
hakikat dan tujuan manusia dalam berkehidupan. Matematika sangat membantu
penalaran (tidak bisa tidak) baik dalam bentuk penalaran induktif, deduktif maupun
analog. Kecuali itu matematika sangat berperan dalam pembentukan bahasa, terutama
bahasa artificial. Bahasa artificial merupakan bahasa yang ringkas, simple dan mudah
dimengerti.

Bertrand Russel memberi statemen tentang matematika, kita tidak pernah tahu
apa sesungguhnya yang kita bicarakan dan kita juga tidak tahu apakah yang kita
bicarakan itu benar, namun dengan matematika segenap kegiatan intelektual dan esensi
pengetahuan manusia tentang alam telah membawa manusia lewat ilmu kepada manusia
itu sendiri.

Kecuali matematika, statistika juga tidak kalah penting. Statistika merupakan


kumpulan metode untuk membuat keputusan bijaksana dalam keadaan yang tidak
menentu.

BAB IX

ILMU DALAM PERSPEKTIF

A. Ilmu Kealaman dan Sosial-Humaniora

Fakta menunjukkan bahwa Ilmu-ilmu alam mengalami perkembangan yang sangat


pesat jika dibanding dengan ilmu-ilmu sosial-humaniora. Hal ini dapat dilihat pada jamaknya
hasil riset di bidang fisika, biologi, kimia, matematika, teknik dan kesehatan. Kecuali itu, ilmu-
ilmu kealaman lebih dekat dengan kehidupan manusia dan digunakan secara nyata. Sementara
ilmu-ilmu sosial tidak demikian.

Beberapa faktor penghambat keterlambatan perkembangan ilmu sosial jika dibanding


dengan ilmu kealaman adalah; (1) Objek penelaahan yang kompleks. Dalam ilmu sosial, gejala
yang diamati tidak satu sementara gejala alam hanya satu. Gejala alam hanya bersifat pisik yang
umum sementara gejala sosial bersifat pisik dan non pisik yang kerap tidak umum. Gejala alam
dapat diamati dan terukur jelas sedangkan gejala sosial banyak variabel pengukur;

(2) Kesukaran dalam pengamatan. Gejala sosial tidak bisa diamati langsung oleh
peneliti (tidak melihat, mendengar, meraba, mencium, mengecap gejala masa lalu) sedangkan
gejala alam dapat diamati langsung; (3) Obyek penelaahan tidak bisa berulang. Berbeda dengan
objek penelaahan dalam ilmu kealaman, di mana gejala alam bersifat seragam dan dapat
diamati langsung dan berulang. Sedangkan gejala sosial unik dan sukar diulang;

(4) Intervensi (Relasi) peneliti dan obyek penelitian. Berbeda dengan penelitian ilmu
alam, di mana peneliti steril dari intervensi karena hanya mengamati kejadian alam tanpa perlu
tahu apa maunya alam, sedangkan ilmu sosial, setiap gejala pasti memiliki tujuan yang bisa saja
peneliti terlibat di dalamnya.

Keterlambatan perkembangan ini dijawab oleh kubu ilmu sosial dengan beberapa
argumen berikut; (1) bahwa ilmu tidak untuk memproduksi kenyataan. Dengan demikian
ketidakmapuan ilmu sosial dalam memproduksi kenyataan tidaklah aib ilmu sosial. Bukankah
ilmu bertugas mendeskripsikan segala sesuatu dengan apa adanya? (2) Pernyataan keilmuan
tidak harus membawa kesan inderawi, respon atau reaksi yang harus sama satu dengan yang
lain sebagaimana pada ilmu kealaman, karena jika demikian maka akan terjadi ketidakcocokan
dengan eksistensi ilmu sebagai peramal dan penjelas kenyataan;

(3) tiap bentuk berbeda dengan bentuk lainnya. Tidak ada dua bentuk yang betul-betul
identik. Jika dua bentuk betul-betul identik maka tidak disebut dua, melainkan satu saja; (4)
gejala dalam ilmu sosial adalah unik berbeda dengan gejala dalam ilmu kealaman; (5) Ilmu sisial
bergantung kepada pemunculan (emergentisme) yang pada gilirannya mempengaruhi hipotesis
dan tesis; (6) Tujuan ilmu sosial adalah verstehen (mengerti dan paham) bukan wissen (sekedar
tahu).

B. Ilmu di Barat dan Timur

Bagian ini menjelaskan adanya distingsi antara Barat (untuk menyebut pewaris
keilmuan Yunani di Eropa) dan Timur (untuk menyebut pewaris keilmuan Islam)
tentang ilmu. Baik Barat maupun Timur di pengaruhi oleh dua agama besar yang dalam
banyak hal memberikan doktrin ke dalam aktifitas keilmuan. Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa terdapat perbedaan cara pandang terhadap ilmu antara Barat dan
Timur.
Menurut Plato, antara ketidaktahuan (ignorance) dengan ketahuan (knowledge)
diantarai (intermediate) oleh keyakinan (true belief). Pernyataan ini sejalan dengan
konsep Islam bahwa setiap perbuatan harus berbasis percaya (iman) terdahulu. Bahkan
menurut Mutakallim (teolog Islam) dan Usuli (pakar metodologi hukum Islam),
manusia bisa mencapai pengetahuan jika memulainya dari keyakinan terhadap
agamanya. Keyakinan terhadap agama bermula dari syahadat (hati/iman) baru
kemudian dipertajam oleh akal/filsafat tentang Tuhan.

Dalam Islam, manusia dibekali dengan modal dasar yang sama ketika terlahir ke
dunia. Ini biasa dikenal dengan fitrah (ciptaan bawaan), meliputi; (1) daya akal (potensi
intelektual atau quwwatul ‘aql); (2) daya menghindar dan bertahan (potensi defensif
atau quwwatul ghadhab/daafi’ah); dan (3) daya meraih dan memiliki (potensi ofensif
atau quwwatul syahwat).

Potensi akal berfungsi sebagai alat untuk mengenal dan mengetahui Allah serta
mengimaninya dan hukum-hukumnya. Potensi ghadhab berperan sebagai kemampuan
menghindari hal-hal yang membahayakan diri. Sedangkan potensi syahwat berperan
dalam menginduksi hal-hal yang bermanfaat dan menyenangkan. Fitrah inilah yang
menjadi anugerah bagi manusia, sebagai penggerak dalam mengarungi hidup.

Fitrah di atas saja belumlah cukup. Sehingga sebagai kelengkapan bekal dalam
mengarungi hidup, Tuhan juga menurunkan fitrah munazzalah, yaitu berupa wahyu.
Kolaborasi fitrah dan wahyu melegitimasi manusia untuk berbuat sekehendaknya.
Karena kolaborasi fitrah dan wahyu meniscayakan manusia berpihak pada kebenaran
(ma’ruf) dam beroposisi permanen terhadap ketidakbenaran (munkar)

Namun faktanya, tidak semua manusia mampu mengolaborasi keduanya.


Setidaknya terdapat tiga varian determinan antara satu sama lain. Pertama, syahwat
lebih dominan dari yang lain. Kedua, akal yang menguasai semuanya. Ketiga, terombang
ambing dalam tarikan syahwat dan akal. Jika determinannya seperti di atas, maka
efeknya adalah kepada akurasi kebenaran dalam aktifitas keilmuan. Boleh jadi tidak
adalagi kebenaran yang kolaboratif melainkan subjektif dan fanatis.

Untuk itulah maka, Islam memiliki epistemologi yang tidak sepenuhnya sama
dengan dunia Barat. Dalam epistemologi Islam, sumber ilmu ada tiga, yaitu; (1)
ilahi/naqliyyah (Tuhan); (2) Insani/aqliyyah (manusia); (3) ilahi cum insani/kasyfiyyah
(Tuhan dan Manusia). Sumber ilahi-naqliyyah ada yang orisinal-otentik (ashliyy) berupa
Alquran, Alhadis dan ada pula yang tambahan (thabaiyy) berupa Ijma’. Sedangkan
sumber aqliyyah-insani ada yang kuat seperti qiyas (analogi) ada yang tidak begitu kuat
seperti istihsan dan istishab.

Adapun dalam proses ilmu terdapat empat cara, yaitu; (1) al-hissiyyah (setara
dengan empirisme); (2) aqliyyah (setara dengan rasionalisme); (3) kasyfiyyah
(irrasional) di mana di dunia Barat baru embrio sementara di Islam sudah sangat jamak;
(4) sami’iyyat (otoritatif) yang di dunia Barat model ini tidak dikenal sama sekali.

Kecuali berbeda dalam epistemologi di atas, secara metodispun terdapat


perbedaan. Islam memiliki dua model yang tidak dikenal di Barat. Pertama, metode
pemberitaan yang diyakini kebenarannya (khabariyyah i’tiqadiyyah atau al-’aqd al-
akhbar) dan kedua, pengetahuan via research (thalabiyyah i’tiqadiyyah). Metode
pertama meliputi; (1) metode naqliyyah-aqliyyah, menemukan pengetahuan dari
Alquran dan Alhadis dengan tajribah al-hissiyyat, mutawatirat dan istiqra’; (2) Metode
sunnah yaitu menemukan pengetahuan melalui hadis rasul dengan menggunakan
literal dan spirit hadis. Adapun metode kedua, menggunakn metode qiyas yaitu
menemukan pengetahuan dengan analogi dan kausa (illat).

Selain itu, Islam nyata-nyata menyebut tiga alat yang bisa meraih ilmu (tidak
kurang dari 36 tempat dalam Alquran disebutkan), yaitu sama’ (panca indera), bashar
(rasio) dan fuaad (hati).

Jika di Barat, kalbu sebagai epistemologi baru embrio dan tidak ada kemajuan
perkembangan sampai hari ini, di Islam justru sangat progresif. Kalbu atau fuad,
merupakan instrumen untuk melakukan intelektualisasi atas apa yang diperoleh oleh
indera dan akal. Kecuali itu, kalbu merupakan sentral berpikir dan keinginan manusia
yang puncaknya intelektual kalbu ada di otak (mabdaul fikri alqalbu, wa muntahaahu ad
dimaagh).

Adapun alat ukur kebenaran (validasi) ada tujuh, yaitu; (1) tauhid, setiap
pengetahuan perolehan manusia tidak boleh bertentangan dengan kehendak Allah. Jika
bertentangan maka pengetahuan itu dianggap menyimpang, aniaya, dan rusak; (2)
keadilan, di mana pengetahuan tidaklah keluar kebaikan yang akan dinikmati oleh
kemanusiaan; (3) amr ma’ruf nahy munkar, pengetahuan mampu melakukan
perubahan masyarakat menjadi lebih baik (sosial engineering) dan menyelamatkan dari
kebinasaan sosial control; (4) kebebasan (hurriyyah), di mana pengetahuan mampu
membuat manusia keluar dari penindasan; (5) persamaan (musaawah), di mana
pengetahuan berlaku bagi segenap manusia tanpa diskriminasi; (6) tolong-menolong
(ta’aawun), di mana pengetahuan mampu membantu manusia lain bukan
mengeksploitasi; (7) toleransi (tasaamuh), di mana pengetahuan menjamin
terlaksananya hak individu dan kolektif secara fair.

Siapa saja yang telah melakukan kolabroasi antara fitrah dan wahyu, maka orang
tersebut disebut sebagai ahlul hikmah (hakim/hukama). Hakim yang mengamalkan
(‘amil) menjadi khalifah (asisten) Allah di muka bumi.

BAB X

ETIKA KEILMUAN

Berbicara tentang etika keilmuan, sejatinya berbicara tentang filsafat praksis.


Artinya bagaimana seharusnya sikap yang dilakukan manusia dalam menekuni dunia
ilmu. Hal ini merupakan kelanjutan logis dari filsafat teoritis, yang telah membeberkan
apa hakikat sesuatu.

Terdapat kata yang semakna dengan etika, yaitu moral dan akhlak. Namun
demikian terdapat perbedaan yang tajam antara ketiganya. Jika etika landasan
perumusannya adalah akal, landasan perumusan moral adalah consensus, maka akhlak
landasannya adalah norma agama. Kendati demikian tidak selamanya antara ketiganya
mengalami garis divergensi, melainkan pada bagian-bagian tertentu justru mengalami
konvergensi. Salah satunya terdapat dalam persoalan etika keilmuan.

Etika keilmuan, terdiri dari dua suku kata, yaitu etika yang mewakili sisi praksis
dan ilmiah yang mewakili sisi teoritis. Dalam diskursus filsafat praksis (filsafat
nilai/aksiologi) nilai dibedakan dalam dua macam, yaitu indah-jelek (estetika) dan baik-
buruk (etika). Etika dan estetika memiliki beberapa aliran. Aliran dalam etika meliputi
Idealisme, yaitu skala nilai ditentukan oleh spritual atau kerohanian (agama).
Deontologis, yaitu skala nilai tidak disangkutkan kepada baik buruk sesuatu namun
hanya berdasarkan kewajiban moral tanpa melihat sebab akibat (intuisi atau suara
hati). Hedonisme, skala nilai baik dan buruk ditentukan oleh kadar kenikmatan yang
ditawarkan. Teleologis, nilai baik dan buruk ditentukan oleh tujuan atau hasil dari
sesuatu. Utilitarisme, yaitu standar nilai bergantung kepada kegunaan yang sebesar-
besarnya bagi manusia yang sebanyak-banyaknya. Sedangkan aliran dalam estetika
meliputi Metafisik, yaitu keindahan terletak pada sesuatu itu sendiri (objektif). Dan
Psikologis, yaitu standar keindahan dibuat oleh tipologi internal manusia (subjektif).
Etika keilmuan yang harus dimiliki oleh insan akademik baik secara pribadi
maupun kolektif adalah;

(1) Universalisme atau komunalisme, yaitu suatu sikap yang berorientasi untuk
kepentingan sebanyak mungkin manusia. Bukannya elitis, fanatisme, in group dan
kelompok atau golongan.

(2) Disinterestedness, yaitu sikap tampa pamrih. Hal ini penting dalam rangka
menghasilkan ilmu yang objektif dan tidak tendensius.

(3) Selectif, yaitu sikap memilah sebelum memilih. Pemilihan setelah pemilahan
ini haruslah akurat dan tepat. Hal ini untuk menghindari jargon knowledge is the
power.

(4) Fairness, yaitu sikap sportif dan fair. Hal ini mutlak mengingat ilmu bisa saja
menjadi ajang eksploitasi atau gymnastic politik.

(5) Conviction, yaitu sikap yang tidak apriori terhadap kepastian teori yang telah
ditemukan sebelumnya. Artinya pengembangan ilmu didasarkan pada kepastian ilmiah
bukan pada keraguan ilmiah.

(6) Curiosity, yaitu sikap yang tidak mudah puas dengan apa yang telah
ditemukan. Penelitian never ending.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas Hamami, Disekitar Masalah Ilmu, Suatu Problema Filsafat, Surabaya: Bina Ilmu
1980.
Ali Mudhofir, Kamus Teori dan Aliran dalam Filsafat, Yogyakarta: Liberty, 1988.

Bakker, A, Ontologi, Metafisika Umum, Yogyakarta: Kanisius, 1992.

Bakker, A, Metodologi Kualitatif, Yogyakarta: Pascasarjana UGM, 1988.

Bakry Noor, Logika Praktis, Yogyakarta: Liberty, 1985.

Bertens K, Panorama Filsafat Modern, , Jakarta: Gramedia, 1984.

Bertens, Sejarah Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1975.

Endang Saefuddin Ansori, Ilmu, Filsafat dan Agama, Surabaya: Bina Ilmu, 1987.

Harun Hadiwijono, Sari Filsafat Barat, Yogyakarta: Kanisius, 1989.

Jacob T. Manusia Ilmu & Teknologi, Pergumulan Abadi dlm Perang dan Damai,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1987.

Kleden, Ignas, Sikap ilmiah dan Kritik Kebudayaan, Jakarta: LP3ES, 1987.

Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, Jakarta: Gramedia, 1988.

Mangunwijaya, Teknologi dan Dampak Kebudayaannya, Jakarta: Yayasan Obor


Indonesia, 1985.

Muhammad Baqir Shadr, Falsafatuna, Bandung: Mizan, 1995.

Nasution, Andi Hakim, Pengantar ke Filsafat Sains, Bogor: Litera Antar Nusa, 1988.

Peursen, C.A. Strategi Kebudayaan, Yogyakarta: Kanisius, 1984.

Poespoprojo, Logika Scientifika, Bandung: Remaja Karya, 1985.

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Yogyakarta: Liberty, 1996,

Titus, Harold, Persoalan-Persoalan Filsafat, alih bahasa HM Rasjidi, Jakarta: Bulan


Bintang, 1984.

Yuyun Suryasumantri, Ilmu dalam Perspektif, Jakarta : Gramedia, 1991.

Anda mungkin juga menyukai