Ontoiogi, Epistemologi,
Aksiologi, dan
Logika llmu
Pengetahuan
PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN
KALIJAGA
APBN: _/ DEC 2011
PUSTAKA PELAJAK
Katalog dalam Terbitan (KDT)
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
FILSAFAT ILMU Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan,
Edisi ke 2, Cetakan I Yogyakarta: Pustaka Pelajar xxv + 280 hal.; 21 cm
FILSAFAT ILMU
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
Edisi ke-2
Cetakan I Februari 2010 Cetakan II Februari 2011
Penulis
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
Desain Cover
Digi Art Yogya
Tata Aksara
Dimaswids
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274)
381542; Fax (0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.ne
ISBN: 978-602-8479-93-6
Pengantar Penulis
Telah lebih dari dua dekade terakhir, bergulat dalam pembelajaran sebagai pengajar
dan penanggung jawab mata kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Sesungguhnya, kajian-
kajian tentang Filsafat Ilmu yang penulis lakukan dalam kurun waktu tersebut, terasa
semakin bermakna apabila disusun dalam uraian tulisan dan penjelasan yang detail.
Uraian buku ini merupakan sejumlah materi yang telah dikembangkan, diluaskan, dan
didalamkan pada mata kuliah tersebut, yang sebelumnya telah diterbitkan (2007 dan 2008)
dengan judul Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai dengan isi
yang terdapat di dalamnya, sehingga judul yang dipilih adalah Filsafat Ilmu: Ontologi,
Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Judul ini terasa lengkap sebagai
landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui empat pilar
Pengantar Penulis
vi
dilanjutkan dengan kegunaan filsafat, cabang-cabang filsafat, ruang lingkup filsafat,
karakteristik pemikiran kefilsafatan, pengertian ilmu dan filsafat ilmu, definisi ilmu, cabang-
cabang ilmu, macam-macam ilmu pengetahuan, objek material dan objek formal ilmu,
filsafat ilmu, sejarah filsafat ilmu, ruang lingkup filsafat ilmu, serta perbedaan filsafat, ilmu,
dan filsafat ilmu. Uraian pada bab ini diakhiri dengan menjelaskan tujuan pendidikan filsafat
dan filsafat ilmu.
Bab keempat, dijelaskan tentang landasan penelaahan ilmu yang dibahas: ontologi,
epistemologi, dan aksiologi, yang diakhiri pada signifikansi ilmu pengetahuan kembali ke
filsafat.
Bab kelima, menjelaskan tentang struktur atau bangunan ilmu pengetahuan yang
terdiri atas: metode ilmiah; teori, hipotesis, logika, data-informasi, pembuktian, evaluasi,
dan paradigma.
Bab keenam, menjelaskan tentang teori kebenaran ilmu pengetahuan dengan
membahas teori kebenaran: koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatism, esensial-
isme, konstruktivisme, dan religiusisme.
Bab ketujuh dibahas tentang logika ilmu dan metode berpikir ilmiah yang diuraikan
tentang hakikat berpikir dan medote berpikir ilmiah, pengertian metode berpikir ilmiah
logika, pengertian logika dan penalaran ilmiah, macam-macam logika, kegunaan logika,
bahasa keilmuan, model dan kriteria metode berpikir ilmiah, kelemahan- kelemahan metode
berpikir ilmiah, metode berpikir rasional: asas dalam berpikir, serta hal-hal yang harus diper-
Pengantar Penulis
Bab kedua belas, dijelaskan tentang filsafat ilmu dan teknologi, pengertian filsafat
teknologi, teori kuda liar teknologi, hakikat efisiensi, hakikat kualitas produk, dan hubungan
teknologi dan civility.
Bab ketiga belas menjelaskan tentang moralitas ilmu pengetahuan tanggung jawab
ilmuwan, problem etika ilmu pengetahuan, ilmu apakah bebas nilai atau tidak bebas
nilai, sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan, moralitas ilmu pengetahuan,
pengingkaran dan perlawanan etika, dan masalah kejahatan sempurna.
Bab keempat belas menjelaskan tentang filsafat, iptek, dan budaya dengan
menguraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan,
hubungan antara kebudayaan dengan teknologi, hubungan antara ilmu dengan teknologi,
hubungan antara ilmu dengan kebudayaan.
Pada Cetakan kedua ini, dilakukan perbaikan-perbaikan antara lain penataan atau
penempatan kembali beberapa sub-bab yang relevan, terutama pada bagian pembahasan
Logika. Perbaikan juga dilakukan berupa koreksi redaksional, juga penambahan
sejumlah daftar pustaka. Yang juga baru adalah Kata Pengantar dari Prof. Dr. Suhartono
Taat Putra, dr., MS. Seorang dosen senior di FK Unair yang juga mengajar Filsafat Ilmu
di berbagai perguruan tinggi termasuk di Universitas Airlangga.
Buku ini bermanfaat bagi para pembelajar, dosen, mahasiswa, dan para pemerhati di
bidang sosial, budaya, dan politik.
Mengapa manusia itu berfilsafat? Ini pertanyaan mendasar yang melandasi manusia
memikirkan filsafat. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu rasa
kagum, keraguan, dan kesadaran akan keterbatasan diri. Bila pengetahuan dimulai dari
rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari rasa ragu maka filsafat dimulai dari keduanya.
Jelas kiranya bahwa filsafat merupakan kebutuhan manusia untuk memenuhi rasa ingin
tahu dan mendapatkan manfaat dari hidup dan kehidupannya.
Setelah lama rasa ingin tahu manusia dipenuhi dengan jawaban yang tidak rasional,
berupa tahayul dan mitos maka mulai timbul dalam diri manusia rasa tidak puas dengan
jawaban demikian. Selanjutnya manusia mulai memberdayakan akalnya untuk mencari
tahu dan memperoleh manfaat lebih. Pemberdayaan akal tersebut dilakukan dengan cara
melakukan perenungan reflektif- intuitif yang mengarah ke rasional sebagai upaya
mencari
Pengantar Penulis
xii
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah
pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka terjadi
kesepakatan untuk tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab rasionalis,
emperis, dan kritisis. Mashab rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap benar manakala
logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales dan mencapai puncak ketenaran pada zaman
Socrates-Plato dan Aristoteles. Hal demikian berbada dengan mashab Emperis, yang
menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala diperoleh
lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John Locke dan
David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah yang indrawi.
Menurut John Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal ibarat kertas putih
yang ditulisi pengalaman melalui proses kerjasama antara refleksi (pengenalan intuitif dari
jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar) sehingga lahir ide. Immanuel Kant (1724-1804)
sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya dipadukan dan difungsikan secara
benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal berfungsi mengelola tangkapan objek
tersebut secara benar maka akan diperoleh pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab
tersebut telah banyak membantu manusia dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu
pengetahuan.
Selanjutnya, apa, bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan ada dalam kehidupan
manusia, pembaca saya persilahkan untuk membaca lanjut dalam buku Filsafat
xiv
Pengantar Penulis
Daftar Isi
Daftar Isi—xv
Bab I Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Makna Positif Semangat
Renaisans — 1
1.1. Deskripsi — 1
1.2. Tujuan Pembelajaran — 2
1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan —2
1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17 — 4
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance — 6
1.6. David Hume: "Science is Power" — 11
1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi — 13
1.8. Ringkaksan — 14
Daftar Isi
2.10. Perbedaan Pemikiran Zaman Modern dan Kontemporer — 31
2.13. Ringkasan — 33
Bab III
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 35
3.1. Deskripsi — 35
3.2. Tujuan Pembelajaran — 36
3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat — 36
3.3.1. Pengertian Secara Etimologi — 36
3.3.2. Pengertian Secara Terminologi — 37
3.3.3. Kegunaan Filsafat — 39
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat — 40
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat — 42
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan — 44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu — 45
3.4.1. Definisi Ilmu — 49
3.4.2. Cabang-Cabang Ilmu — 50
3.4.3. Macam-macam Ilmu Pengetahuan — 52
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal Ilmu — 53
3.5. Filsafat Ilmu — 54
2.5.1. Sejarah Filsafat Ilmu — 55
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu — 55
3.5.3. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 56
3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat Ilmu — 58
Daftar Isi
5.3.2. Metode Ilmiah yang Bersifat Umum — 94
5.3.3. Metode Penyelidikan Ilmiah - 96
5.3.4. Teori — 97
5.3.5. Hipotesis —100
5.3.6. Logika — 101
5.3.7. Data-informasi — 104
Bab VI
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan — 7 77
6.1. Deskripsi — 117
6.2. Tujuan Pembelajaran — 117
6.3. Teori Kebenaran — 118
6.3.1. Koherensi — 121
6.3.2. Korespondensi — 121
6.3.3. Postivisme — 122
6.3.4. Pragmatisme — 123
6.3.5. Esensialisme — 122
6.3.6. Konstruktivisme — 124
6.3.7. Religiusisme — 124
6.4. Relevansinya dengan Antropologi — 126
6.5. Ringkasan — 127
Bab VII Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah — 729
7.1. Deskripsi — 129
7.2. Tujuan Pembelajajran — 130
Bab VIII
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung — 745
8.1. Deskripsi — 145
8.2. Tujuan Pembelajaran — 145
8.3. Pengertian Logika — 145
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah —146
8.3.2. Macam-macam Logika — 148
8.3.3. Kegunaan Logika — 148
8.4. Penalaran Langsung — 149
8.5. Penalaran Tidak Langsung — 150
8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi — 150
8.7. Jenis Pola Penalaran Tidak Langsung — 151
8.7.1. Conversi — 152
8.7.2. Obversi — 155
8.7.3. Kontraposisi — 157
8.7.4. Inversi — 158
Daftar Isi
8.8. Ringkasan — 162
Bab IX
Pola Penalaran Induksi — 165
9.1. Deskripsi — 165
9.2. Tujuan Pembelajaran — 166
9.3. Pengertian Penalaran Induksi — 166
9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi — 166
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi — 168
9.5.1. Generalisasi Induksi — 168
9.5.2. Analogi Induksi — 169
9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi — 171
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas — 172
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas — 172
9.6. Studi Kasus — 173
9.7. Ringkasan — 175
Daftar Isi
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks — 198
10.6. Relevansi Kesesatan Berpikir dengan Ilmu Pengetahuan — 199
10.6.1. Relevansi dengan Ilmu Politik — 199
10.6.2. Relevansi dengan Antropologi — 200
10.7. Ringkasan — 200
Bab XI
Etika Ilmu —203
11.1. Deskripsi — 203
11.2. Tujuan Pembelajaaran — 205
11.3. Pengertian Etika — 205
11.4. Hubungan antara Ilmu dan Etika — 208
11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah — 209
11.6. Menuju Mayarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan — 211
11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan — 211
11.6.2. Ilmu Pengetahuan dan Pengembang Kebudayaan — 213
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional —
214
11.6.4. Dampak Intelektual — 216
11.6.5. Dampak Sosial Praktis — 218
11.6.6. Watak Intelektual — 218
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis — 219
11.7. Relevansi Etika Ilmu
dengan Ilmu Antropologi — 219
11.8. Ringkasan — 221
Daftar Isi
14.4. Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi — 253
14.5. Hubungan antara Ilmu dengan Teknologi — 1
14.6. Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan — 255
14.7. Ringkasan — 255
Daftar Pustaka — 259
Indeks — 265
Lampiran — 269
Biodata Penulis — 279
1.1. Deskripsi
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang
bersifat ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan
kehidupan kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan
filsafatlah yang menjadi motor penggerak kehidupan kita
sehari-hari sebagai manusia pribadi maupun sebagai manusia
kolektif dalam bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu memper-
timbangkan hal-hal yang penting dan terpenting sebelum
menetapkan keputusan untuk berperilaku. Hal-hal yang
terpenting tersebut tergolong yang esensial. Dalam
pengertian ini hal-hal yang esensial terliput dalam pengertian
filsafat.
4
masam. Anda ambil lagi dan mencicipi, terasa masam juga, anda
ambil satu lagi dan setelah dicicipi maka terasa masam juga. Anda
lakukan terus hal tersebut hingga apel kesembilan dan semuanya
terasa masam. Tinggal satu apel, Anda cenderung akan meyakini
bahwa apel terakhir itu juga akan terasa masam. Apakah ini logis?
Jelas tidak. Apel terakhir dapat masam, tetapi dapat juga manis.
Bahwa apel sebelumnya terasa masam tidak berarti bahwa apel
terakhir terasa masam juga.
Meski demikian dalam kondisi tersebut tentu kita akan
cenderung berpendapat bahwa apel terakhir terasa masam, walau
kita belum mencicipinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari
induksi. Pengembangan teori juga tidak pernah lepas dari induksi.
Artinya ilmu pengetahuan dan teori juga mengandung problem.
Sewaktu Hume mengungkapkan Problem of Induction tersebut,
dunia ilmu pengetahuan geger... untuk sementara... kemudian tenang
lagi. Mengapa? Karena meskipun Problem of Induction itu secara
nalar nyata adanya, namun dianggap tidak memengaruhi
perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi meskipun
berproblem, ilmu penge- tahuan tetap dapat berkembang dan
menghasilkan teknologi yang berguna untuk kehidupan manusia.
Artinya, ilmu pengetahuan memang mempunyai banyak celah
untuk kesalahan. Karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dapat
mencapai kebenaran pada tataran probabilitas (kemungkinan).
Kesimpulannya, mencari kebenaran adalah hal yang
5
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
tidak mudah dan dapat berbahaya, namun lebih berbahaya lagi jika
kita berasumsi bahwa kebenaran mutlak sudah ada di tangan kita.
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance
Renaisans adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik
puncaknya kurang lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans"
berasal dari bahasa Prancis Renaissance yang artinya adalah "lahir
kembali" atau "kelahiran kembali". Yang dimaksudkan adalah
kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan
budaya Romawi Kuno yang dapat melakukan kegiatan pemikiran
secara bebas tentang segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, termasuk kehidupan bertuhan.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni,
pemikiran maupun kesusastraan yang menge-
10
pengetahuan; (xii) bercerainya filsafat dengan ilmu pengetahuan
(abad ke-17 hingga abad ke-20).
11
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus Copernicus dan
Galileo Galilei. Siapa di antara kita yang dapat menjamin baik teori
relativitas, mekanika kuantum, dan heliocentris sebenarnya hanya
merupakan hipotesis sementara sampai ditemukan lagi teori-teori baru
yang lebih mendekati kebenaran absolut?
Inti pandangan David Hume, dan Berkeley adalah "ia
berkeyakinan bahwa kekuatan ilmu yang akan mengubah dan
mengontrol alam dan kehidupan manusia. Yang mengubah dan
mengontrol alam dan dunia ini bukan agama atau lembaga agama!"
Sejak revolusi industri abad ke 17, kepercayaan manusia akan
science is power semakin kuat, dan membuat umat manusia lebih
meyakini bahwa IPTEKS yang mengubah peradaban umat manusia.
Agama diyakini hanya sebagai kekuatan pendamping "hati
manusia" saja. Agama dianggap tidak mampu melakukan
perubahan- perubahan besar kehidupan manusia, terutama yang
bersifat fisik seperti pembangunan dan perubahan berdasarkan
teknologi.
Dalam mencari kebenaran, kita tentu tidak perlu sampai
skeptis Hume. Skeptisme membutuhkan energi yang besar dan bila
kita skeptis terhadap segala sesuatu, kita tidak akan mampu
menyisihkan waktu untuk menikmati keindahan hidup. Induksi,
dengan segala kekurangannya tetap diperlukan. Tetapi berbekal
pengetahuan tentang kelemahan induksi, kita dapat mengurangi
risiko yang ditimbulkannya. Misalnya saja, bila Anda percaya
bahwa kemarau bulan Juli tidak akan menurunkan hujan,
13
pelajari manusia adalah dasar penerapan ilmu antropologi, sehingga
terjadi hubungan yang sinergis antara ditemukannya ilmu-ilmu
pengetahuan dengan munculnya ilmu antropologi sampai saat ini.
1.8. Ringkasan
Dari berbagai sumber yang telah didapatkan ternyata dapat
diketahui bahwa sejarah perkembangan ilmu pengetahuan menarik
sekali untuk dikaji, hal ini dapat di buktikan dengan adanya fakta
yang salah satunya berisi hukum-hukum alam yang diperoleh dari
sains juga tidak bisa dianggap memiliki kebenaran kekal. Kita
melihat bagaimana Hukum Newton ternyata tidak bisa dipakai pada
skala makrokosmos (digantikan oleh teori relativitas Einstein) dan
pada skala mikrokosmos (digantikan oleh teori mekanika kuantum).
Teori geosentris yang sempat dianut ribuan tahun akhirnya terbukti
salah dan digantikan oleh teori heliocentris berkat jasa Nicolaus
Copernicus dan Galileo Galilei. Siapa di antara kita yang bisa
menjamin baik teori relativitas, mekanika kuantum, dan
heliocentric, hal ini menggambarkan bahwa segala aspek tentang
perkembangan ilmu pengetahuan sangat beragam untuk dicerna.
14
Bab II
2.1. Deskripsi
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak dalam suatu
daerah tidak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun
ilmu pengetahuan. Daerah tidak bertuan ini disebut "Filsafat"
(Bertrand Russell). Makin banyak manusia tahu, makin banyak pula
pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang asal-usul dan
tujuan, tentang dia sendiri tentang nasibnya, tentang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, dengan ke- majuan Ilmu
pengetahuan yang luas, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap
terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu.
Seperti diungkapkan dalam sajak kuno:
Aku datang — entah dari mana Aku ini —
entah siapa Aku pergi — entah kemana
Aku akan mati —entah kemana
26
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan
Kebudayaan mereka kaya dan kreatif, namun dikelilingi oleh orang-
orang yang sportif dan kompetitif. Muncul beberapa pemikiran
filosofis pada masa Yunani kuno antara lain, Parmenides,
Xenophanes, Thales, Aristoteles, Heraklitus, dan Phytagoras.
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (± 515 - 450 SM)
Usaha-usaha yang dilakukannya sebagai suatu cara berpikir
baru mengenai hakikat "pengada" (being as such). Klaim-klaim
dan argumen Parmenides ini bersifat abstrak dalam cara yang
berbeda sama sekali. Misalnya "yang kita dapat bicarakan dan
pikirkan pastilah yang ada, sementara yang tiada tidak dapat.
Pikirkanlah
itu".
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM)
"Jika banteng, kuda, dan singa mempunyai tangan dan dapat
melukis seperti manusia, kuda akan melukis para dewa berupa
kuda, dan banteng akan melukis wujud para dewa seperti sapi
jantan, masing-masing melukis tubuh para dewa seperti tubuhnya
sendiri." Ia menganjurkan kira-kira sama dengan apa yang tertulis
dalam kitab pertama Alkitab Ibrani (atau Perjanjian Lama),
kepercayaan pada "satu dewa, yang terbesar di antara para dewa dan
manusia, yang tak
serupa dengan hal-hal fana terdapat pada tubuh dan pikiran".
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM)
Bahwa dunia dikelilingi oleh air pada akhirnya, berasal dari air.
Ide yang sangat mungkin berasal dari Kosmogoni purba Yunani dan
kebudayaan-kebudayaan lainnya. Tetapi
28
2.7.6. Phythagoras (± 581 - 507)
Di antara banyak hal, rancangan dan pembuktian suatu teorema
Phythagoras, salah satu dari basis geometri, dalam bangun segitiga
yang benar, ia menghasilkan kuadrat sisi miring (sisi miring yang
sering anda lupakan) sama panjangnya dengan jumlah kuadrat kedua
sisinya. Penemuan penting yang lain dalam matematika, termasuk
pengertian "bilangan-bilangan irasional" bilangan-bilangan yang tidak
dapat dibagi rata dengan satu bilangan bulat menjadi bilangan bulat
lainnya. Filsuf yang mempesona, yang mempunyai berbagai teori
tentang hakikat alam semesta dan yang membuat musik, yang
mempunyai keyakinan eksotis tentang hakikat roh dan cara terbaik
menjalani kehidupan (banyak di antaranya di datangkan dari Mesir,
bersama banyak konsep geometris). Selanjutnya, Phythagoras
memakai teori mengenai perimbangan (proportion) untuk
menjelaskan, di antara hal-hal lain, hakikat musik dan gerakan bintang-
bintang.
34
Bab III
3.1. Deskripsi
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat, ilmu, dan filsafat
ilmu, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi-definisi
filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu.
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak
kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun
sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata " science" artinya
"to know". Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan
objektif. Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari
proses berpikir dengan menggunakan akal, atau hasil berpikir secara
rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
57
tegas mengenai ilmu tertentu.
63
3.6. Ringkasan
Filsafat, secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom)
dalam pengertian yang sedalam-dalamnya. Secara terminologi, filsafat
adalah ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu dengan memandang sebab-
sebab terdalam tercapai dengan budi murni.
Ruang lingkup filsafat dipilahkan dalam dua objek yaitu: (i) objek
formal, dan (ii) objek material.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji
secara empiris.
Objek dan ruang lingkup ilmu membatasi pada pengkajian. Cabang-
cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu (i) filsafat alam, dan
(ii) filsafat moral.
Filsafat alam yang kemudian menjadi kumpulan ilmu- ilmu alam (the
natural science). Sedangkan filsafat moral yang kemudian berkembang
dalam cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Filsafat ilmu adalah teory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu),
science of science (ilmu tentang ilmu).
Filsafat ilmu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan keluar dan kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (i) ilmu
mempunyai empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (ii) ilmu
mempunyai beberapa bidang yaitu logika ilmu, ilmu kealaman (A. Coenelius
Benjamin); (iii) ada tiga bidang filsafat ilmu (Israel
4.1. Deskripsi
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam
terhadap hakikat ilmu. Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut, antara lain: (i) objek apa
yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii) untuk apa
ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek
yang ditelaah ilmu antara lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut?
Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya
berpikir, merasa, dan mengindra)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu antara lain dengan pertanyaan:
bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apa
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya
dengan pertanyaan-peranyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan
tersebut dan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berda- sarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana hubungan antara
teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan
norma- norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-
landasan ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi,
kelompok kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang
terakhir merupakan landasan aksiologi ilmu pengetahuan.
71
menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa
yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak.
Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling
kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan
sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan
(apreance) dengan kenyataan (reality). Thales terkenal sebagai filsuf
yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi
terdalam yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih
penting ialah pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu
berasal dari satu substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak dapat
dianggap ada berdiri sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi
dengan dua macam sudut pandang: (i) kuantitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? (ii) Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Aspek ontologi
dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan antara lain secara: (a)
Metodis; menggunakan cara ilmiah; (b) Sistematis; saling berkaitan satu
74
Metode ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan melalui
pendekatan deduktif dan induktif. Sedangkan metode problem solving adalah
memecahkan masalah dengan cara mengidentifikasi permasalahan;
merumuskan hipotesis; mengumpulkan data; mengorganisasikan dan
menganalisis data; menyimpulkan dan conlusion; melakukan verifikasi, yakni
pengujian hipotesis. Tujuan utamanya adalah untuk menemukan teori-teori,
prinsip-prinsip, generalisasi dan hukum-hukum. Temuan itu dapat dipakai
sebagai basis, bingkai atau kerangka pemikiran untuk menerangkan,
mendeskripsikan, mengontrol, mengantisipasi atau meramalkan sesuatu
kejadian secara lebih tepat.
Epistemologi derivasinya dari bahasa Yunani yang berarti teori ilmu
pengetahuan. Epistemologi merupakan gabungan dua kalimat episteme,
pengetahuan; dan logos, teori. Epistemologi adalah cabang ilmu filasafat
yang menjelaskan masalah-masalah filosofis yang mengitari teori ilmu
pengetahuan.
Epistemologi bertalian dengan definisi dan konsep- konsep ilmu, ragam
ilmu yang bersifat nisbi dan niscaya, dan relasi eksak antara 'alim (subjek)
dan ma'lum (objek). Dengan kata lain, epistemologi adalah bagian filsafat
yang meneliti asal usul, asumsi dasar, sifat-sifat, dan bagaimana
memperoleh pengetahuan menjadi penentu penting dalam menanyakan apa
yang dapat kita ketahui sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara
kritis, baru diyakini. Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti
ada, baru dijelaskan. Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu,
baru yakini atau tidak.
75
Pertanyaan utama epistemologi jenis ini adalah, apa yang benar-benar
sudah kita ketahui dan bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi
ini tidak peduli apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau
bukan. Yang ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita
teliti secara sainstifik, kemudian menentukan sebuah model filsafat. Dengan
pengertian ini epistemologi tentu saja menentukan karakter pengetahuan,
bahkan menentukan "kebenaran" macam yang dianggap patut diterima dan
apa yang patut ditolak. Menurut Keith Lehrer secara historis terdapat tiga
perspektif dalam epistemologi yang berkembang di Barat, yaitu: (i) dogmatic
epistemology; (ii) critical epistemology; dan (iii) scientific epistemology.
Pertama, dogmatic epistemology adalah pendekatan tradisional
terhadap epistemologi, terutama Plato. Dalam perspektif epistemologi
dogmatik, metaphysics (ontologi) diasumsikan dulu ada, baru kemudian
ditambahkan epistemologi. Setelah realitas dasar diasumsikan ada, baru
kemudian ditambahkan epistemologi untuk menjelaskan bagaimana kita
mengetahui realitas tersebut. Pertanyaan utama epsitemologi jenis ini: Apa
yang kita ketahui? Lalu bagaimana cara kita mengetahuinya? Singkatnya,
epistemologi dogmatik menetapkan ontologi sebelum epistemologi.
Untuk melihat contoh cara kerja epistemologi jenis ini, silakan lihat
karya Plato, Theaetetus, terutama ketika ia menganalisis pengetahuan
sebagai opini yang benar, forms sebagai the ultimate reality yang bermuara
pada definisi bahwa pengetahuan adalah sebagai kesadaran intuitif
Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
76
terhadap forms.
Kedua, critical epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke
epistemologi kritis diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik
epistemologi dogmatik dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui
sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis, baru diyakini.
Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada, baru dijelaskan.
Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau tidak.
Descartes menganut the immediacy theses, bahwa apa yang kita ketahui
adalah terbatas pada ide-ide yang adalah jiwa kita ( our own minds). Metode
Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat
mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita.
Tesis ini dikembangkan oleh David Hume dengan teori primary qualities
dan secondary qualities. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini: Apa yang
dapat kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya, epistemologi kritis
menetapkan ontologi setelah epistemologi.
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai
pengetahuan langsung tentang dunia luar (the external world). Menurut
Reid, kita tidak melihat penampakan objek, tapi objek itu sendiri.
Contoh karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into the
Human Understanding (terutama "The Sections on Perception and
Scepticism”). Karya Reid, Inquiry and Essays (Selected Sections on Perception).
Ketiga, scientific epistemology. I argue that there is a third
80
atau komputer atau internet.
81
anut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu
substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme,
tokoh-tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang
memilahkan bahwa ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan
dunia mungkin. Aliran yang ketiga adalah Pluralisme yang menyatakan
bahwa ada banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme adalah
Empedokles, Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari tentang segala
sesuatu yang berhubungan dengan religi adalah aliran spiritualisme.
Spiritualisme di sini memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan
yang terdalam adalah roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari Ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan,
informasi, penalaran, maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang mempelajari
sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-
benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis
dari ilmu politik. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu
politik melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia
secara em- piris. Objek materiil ilmu politik ialah manusia seutuh-
82Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi
nya, manusia yang lengkap aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia
yang berakhlak mulia dalam situasi pendidikan atau diharapkan
melampaui manusia sebagai makhluk sosial mengingat sebagai warga
masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good citizenship atau
kewarganegaraan yang sebaik-baiknya). Agar ilmu politik dalam praktek
terbebas dari keragu- raguan, maka objek formal ilmu tersebut dibatasi
pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi manusia dan
politik.
Di dalam situasi sosial manusia itu sering berperilaku tidak utuh,
hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan atau makhluk sosial
yang berperilaku kolektif. Hal itu boleh-boleh saja dan dapat diterima
terbatas pada ruang lingkup pendidikan makro yang berskala besar
mengingat adanya konteks sosio-budaya yang terstruktur oleh sistem nilai
tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem nilai harus terwujud dalam
hubungan inter dan antarpribadi yang menjadi syarat mutlak (conditio
sine qua non) bagi terlaksananya kegiatan politik dan manusia, yaitu
kegiatan yang berskala mikro.
Hal itu terjadi mengingat pihak pendidik yang berkepribadian sendiri
secara utuh memperlakukan peserta didiknya secara terhormat sebagai
pribadi pula, terlepas dari faktor umum, jenis kelamin ataupun
pembawaannya. Jika pendidik tidak bersikap afektif utuh demikian maka
menurut Gordon (1975: Ch. I) akan terjadi mata rantai yang hilang (the
missing link) atas faktor hubungan tersebut. Dengan begitu manusia dan
politik hanya akan terjadi secara kuantitatif sekalipun bersifat optimal.
83
Dasar epistemologis ilmu politik dan antropologi. Dasar epistemologis
diperlukan oleh para politisi untuk mengembangkan ilmunya secara produktif
dan bertanggung jawab. Sekalipun pengumpulan data di lapangan sebagian
dapat dilakukan oleh tenaga pemula, namun telaah atas objek formil ilmu
politik memerlukan pendekatan fenomenologis yang menjalin studi empirik
dengan studi kuali- tatif-fenomenologis. Pendekatan fenomenologis itu
bersifat kualitatif, artinya melibatkan pribadi dan diri peneliti sebagai
instrumen pengumpul data secara pascapositivis- me. Karena itu, penelaah
dan pengumpulan data diarahkan oleh politisi atau ilmuwan sebagai pakar
yang jujur dan menyatu dengan objeknya. Karena penelitian tertuju tidak
hanya pemahaman dan pengertian ( verstehen, Bodgan & Biklen, 1982)
melainkan unuk mencapai kearifan (kebijaksanaan atau wisdom) tentang
fenomena pendidikan maka validitas internal harus dijaga betul dalam
berbagai bentuk penelitian dan penyelidikan seperti penelitian koasi
eksperimental, penelitian tindakan, penelitian etnografis dan penelitian
expost facto.
Inti dasar epistemologi ini adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam
menjelaskan objek formalnya, telaah ilmu politik dan antropologi tidak hanya
mengembangkan ilmu terapan melainkan menuju kepada telaah teori dan ilmu
politik dan sebagai ilmu otonom yang mempunyi objek formil sendiri atau
problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya menggunakan pendekatan
kuantitatif ataupun eksperimental (Campbell & Stanley, 1963). Dengan
demikian uji kebenaran pengetahuan sangat diper-
86
antropologi budaya. Jika ditekankan pada hubungan antara manusia yang
satu dengan manusia yang lainnya, jawabannya berupa ilmu manusia
dilihat dari hubungan sosialnya atau antropologi sosial.
Dari contoh di atas tampak bahwa pengetahuan yang telah disusun
atau disistematisasi lebih lanjut dan telah dibuktikan serta diakui
kebenarannya adalah ilmu. Dalam hal di atas, ilmu tentang manusia.
Selanjutnya, jika seseorang masih bertanya terus mengenai apa
manusia itu atau apa hakikat manusia itu, maka jawabannya berupa suatu
"filsafat". Dalam hal ini yang dikemukakan bukan lagi susunan tubuhnya,
kebudayaannya dan hubungannya dengan sesama manusia, tetapi hakikat
manusia yang ada di balik tubuh, kebudayaan dan hubungan tadi. Alm.
Anton Bakker, dosen Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
menggunakan istilah "antropologi metafisik" untuk memberi nama kepada
macam filsafat ini. Jawaban yang dikemukan antara lain: (i) monisme; (ii)
dualisme; (iii) triadisme, dan (iv) pluralisme.
Monisme, yang berpendapat manusia terdiri dari satu asas. Jenis asas
ini juga bermacam-macam, misalnya jiwa, materi, atom, dan sebagainya. Hal
ini menimbulkan aliran spiritualisme, materialisme, atomisme. Dualisme,
yang mengajarkan bahwa manusia terdiri atas dua asas yang masing-masing
tidak berhubungan satu sama lain, misalnya jiwa-raga. Antara jiwa dan raga
tidak terdapat hubungan. Triadisme, yang mengajarkan bahwa manusia
terdiri atas tiga asas, misalnya badan, jiwa dan roh. Pluralisme, yang
mengajarkan bahwa manusia terdiri dari banyak asas,
5.1. Deskripsi
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar
dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu
tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha
manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil
dari bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan
selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk pada
segenap pengetahuan sistematik.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan
92
Secara sederhana dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah
suatu cara dalam memperoleh pengetahuan. Suatu rangkaian prosedur
tertentu harus diikuti untuk mendapatkan jawaban tertentu dari pertanyaan
yang tertentu pula. Mungkin epistemologi dari metode keilmuan akan
lebih mudah dibicarakan, jika kita mengarahkan perhatian kita kepada
sebuah rumus yang mengatur langkah- langkah proses berpikir sekaligus
menjadi unsur-unsur dalam ilmu pengetahuan, yang diatur dalam suatu
urutan tertentu.
Kerangka dasar prosedur ini dapat diurutkan dalam delapan langkah
sebagai berikut: (a) metode ilmiah; (b) teori; (c) hipotesis; (d) logika; (e) data-
informasi; (f) pembuktian; (g) evaluasi; dan (h) paradigma.
5.3.1. Metode Ilmiah
Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan
yang disebut ilmu. Jadi ilmu merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan dapat disebut ilmu sebab
ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi
syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu
pengetahuan dapat disebut ilmu tercantum dalam apa yang dinamakan
metode ilmiah. Metode merupakan suatu prosedur atau cara mengetahui
sesuatu, yang mempunyai langkah-langkah yang sistematis. Metodologi
merupakan suatu pengkajian dalam mempelajari peraturan-peraturan
dalam metode tersebut. Jadi metodologi ilmiah merupakan pengkajian dari
peraturan-
93
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara
filsafati termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi
merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan; Apakah sumber-sumber pengetahuan? Apa hakikat,
jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia
dimungkinkan untuk mendapatkan pengetahuan? Sampai tahapan mana
pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manusia?
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan
diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh ilmu
pengetahuan, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan. tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan
cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh
pengetahuannya.
Secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu yang bersifat
umum dan metode penelitian ilmiah.
5.3.2. Metode ilmiah yang Bersifat Umum
Metode ilmiah yang bersifat umum dibagi dua, yaitu metode analitiko-
sintesis dan metode nondeduksi. Metode analitiko-sintesis merupakan
gabungan dari metode analisis dan metode sintesis. Metode nondeduksi
merupakan gabungan dari metode deduksi dan metode induksi.
95
ngan melakukan sesuatu tangkapan indrawi. Pengetahuan aposteriori itu
merupakan pengetahuan yang diperoleh dengan cara menggabung-
gabungkan pengertian yang satu dengan yang lainnya menyangkut hal-hal
yang terdapat dalam alam tangkapan indrawi atau yang adanya dalam
pengalaman empiris.
Metode deduksi adalah cara penanganan terhadap sesuatu objek
tertentu dengan jalan menarik kesimpulan mengenai hal-hal yang bersifat
khusus berdasarkan atas ketentuan hal-hal yang bersifat umum. Metode
induksi adalah cara penanganan terhadap suatu objek tertentu dengan jalan
menarik kesimpulan yang bersifat lebih umum berdasarkan atas
pemahaman atau pengamatan terhadap sejumlah hal yang lebih khusus.
97
dapat dinyatakan dengan benar.
Teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan
mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Sebenarnya
tujuan akhir dari tiap disiplin keilmuan adalah mengembangkan sebuah
teori keilmuan yang bersifat utuh dan konsisten, namun hal ini baru
dicapai oleh beberapa disiplin keilmuan saja seperti umpamanya fisika.
Bila dalam fisika saja keadaannya sudah seperti ini maka dapat
dibayangkan bagaimana situasi perkembangan penjelasan teoretis pada
disiplin-disiplin keilmuan dalam bidang sosial. Ilmu sosial pada
kenyataannya terdiri dari berbagai teori yang tergabung dalam suatu
disiplin keilmuan yang satu sama lain belum membentuk suatu perspektif
teoretis yang bersifat umum. Teori-teori ini sering mempergunakan
postulat dan asumsi yang berbeda satu sama lain.
Sebuah teori biasanya terdiri dari hukum-hukum. Hukum pada
hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua
variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Pernyataan yang
mencakup hubungan sebab akibat ini, atau dengan perkataan lain
hubungan kasualitas, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang
akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab. Secara mudah maka dapat
kita katakan bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan
penjelasan tentang "mengapa" suatu gejala-gejala terjadi. Sedangkan
hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang
"apa" yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah yang berbentuk teori dan
hukum ini harus mempunyai
98
tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat
universal. Dalam usaha mengembangkan tingkat keumuman yang lebih
tinggi ini maka dalam sejarah perkembangan ilmu kita melihat berbagai
contoh di mana teori-teori yang mempunya tingkat keumuman yang lebih
rendah disatukan dalam suatu teori umum yang mampu mengikat
keseluruhan teori tersebut. Makin tinggi tingkat keumuman sebuah konsep,
maka makin "teoretis" konsep tersebut. Pengertian teoretis di sini dikaitkan
gejala fisik yang dijelaskan oleh konsep yang dimaksud. Artinya makin
teoritis sebuah konsep maka makin jauh pernyataan yang dikandungnya bila
dikaitkan dengan gejala fisik yang tampak nyata.
Di sinilah pendekatan rasional digabungkan dengan pendekatan
empiris dalam langkah-langkah yang disebut metode ilmiah. Secara
rasional maka ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan
kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan antara pengetahuan
yang sesuai dengan fakta dengan yang tidak. Secara sederhana maka hal
ini berarti bahwa semua teori ilmiah harus memenuhi dua syarat utama
yaitu 1) Harus konsisten dengan teori-teori sebelumnya yang
memungkinkan tidak terjadinya kontradiksi dalam teori keilmuan secara
keseluruhan: dan 2) Harus cocok dengan fakta-fakta empiris sebab teori
yang bagaimanapun konsistennya sekiranya tidak didukung oleh pengujian
empiris tidak dapat diterima kebenarannya secara ilmiah.
99
5.3.5. Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam
dunia yang ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak
meloncat-loncat, melambaikan tangan, bersuit- suit, dan
mengatakan, "Hai, lihat saya! Di sini! Saya adalah batu, atau
pohon, atau kuda." Apanya suatu benda tergantung kepada
merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut.
Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada
hubungan konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut.
Kenyataan ini membawa kita kepada salah satu segi yang
paling sulit dari metodologi keilmuan yakni peranan dari
hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan
antar variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk
dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam
menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut. Hipotesis
diajukan secara khas dengan dasar coba- coba (trial-and-
error). Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan,
atau mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu
yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan
pada data yang baru. Dalam kedua hal di atas, hipotesis
berfungsi untuk mengikat data sedemikian rupa, sehingga
hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan
yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya
diajukan dalam bentuk pernyataan "jika X, maka Y". Jika
kulit manusia kekurangan pigmen, maka kulit itu mudah
terbakar saat disinari matahari. Hipotesis ini memberikan
penjelasan sementara paling tidak tentang beberapa hubungan
antara pigmentasi
MILIK PERPUSTAKAAN
UIN SUNAN KAUJAGA
dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan
kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan pengamatan
apa yang diperlukan jika kita ingin menguji kebenaran dari
dugaan kerja tersebut.
Oleh karena itu, maka sebelum teruji kebenarannya
secara empiris semua penjelasan rasional yang diajukan
statusnya hanyalah bersifat sementara. Sekiranya kita
menghadapi suatu masalah tersebut, kita dapat mengajukan
hipotesis yang merupakan jawaban sementara dari
permasalahan tersebut. Secara teoretis maka sebenarnya kita
dapat mengajukan hipotesis sebanyak-banyaknya sesuai
dengan hakikat rasionalisme yang bersifat pluralistik. Hanya
di sini dari sekian hipotesis yang diajukan itu hanya satu yang
diterima berdasarkan kriteria kebenaran keorespondensi yakni
hipotesis
yang didukung oleh fakta- fakta empiris.
5.3.6. Logika
Penalaran merupakan suatu proses berpikir yang
membuahkan pengetahuan. Agar pengetahuan yang dihasilkan
penalaran itu mempunyai dasar kebenaran maka proses
berpikir itu harus dilakukan suatu cara tertentu. Suatu
penarikan kesimpulan baru dianggap sahih (valid) kalau
proses penarikan kesimpulan itu dilakukan menurut cara
tertentu. Cara penarikan kesimpulan ini disebut logika, di
mana logika secara luas dapat didefinisikan sebagai
"pengkajian untuk berpikir secara sahih". Lapangan dalam
logika adalah asas-asas yang menentukan pemikiran yang
lurus, tepat, dan sehat. Agar
dapat berpikir
101
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu
lurus, tepat, dan teratur, logika menyelidiki, merumuskan
serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati. Berpikir
adalah objek material logika. Berpikir di sini adalah kegiatan
pikiran, akal budi manusia. Dengan berpikir, manusia
'mengolah', 'mengerjakan' pengetahuan yang telah
diperolehnya. Dengan mengolah dan mengerjakannya, ini
terjadi dengan mempertimbangkannya, menguraikan,
membandingkan, serta menghubungkan pengertian yang satu
dengan pengertian lainnya. Dalam logika berpikir dipandang
dari sudut kelurusan dan ketepatannya. Karena berpikir lurus
dan tepat, merupakan objek formal logika.
Logika menurut The Liang Gie (1980) dapat digolongkan
menjadi lima macam, yaitu (i) logika dalam pengertian luas dan
sempit; (ii) logika deduktif dan logika induktif; (iii) logika
formal dan logika material; (iv) logika mumi dan logika terapan;
dan (v) logika filsafati dan logika matematik.
Pertama, logika makna luas dan logika makna sempit.
Dalam arti sempit istilah tersebut dipakai searti dengan logika
deduktif atau logika formal. Sedangkan dalam arti yang lebih
luas, pemakaiannya mencakup kesimpulan- kesimpulan dari
berbagai bukti dan tentang bagaimana sistem penjelasan
disusun dalam ilmu alam serta meliputi pula pembahasan
mengenai logika itu sendiri.
Kedua, logika deduktif dan logika induktif. Logika
deduktif adalah suatu ragam logika yang mempelajari asas- asas
penalaran yang bersifat deduktif, yakni suatu penalaran yang
menurunkan suatu kesimpulan sebagai kemestian
102 Struktur llmu Pengetahuan
dari pangkal pikirnya sehingga bersifat betul menurut
bentuknya saja. Logika induktif merupakan suatu ragam logika
yang mempelajari asas-asas penalaran yang betul dari sejumlah
hal khusus sampai pada kesimpulan umum yang bersifat boleh
jadi (probabiliti).
Ketiga, logika formal dan logika material. Logika formal
mempelajari asas, aturan atau hukum-hukum berpikir yang harus
ditaati, agar orang dapat berpikir dengan benar dan mencapai
kebenaran. Logika material mempelajari langsung pekerjaan
akal, serta menilai hasil-hasil logika formal dan mengujinya
dengan kenyataan praktis yang sesungguhnya. Logika material
mempelajari sumber- sumber dan asalnya pengetahuan, alat-alat
pengetahuan, proses terjadinya pengetahuan, dan akhirnya
merumuskan metode ilmu pengetahuan itu. Logika formal
dinamakan juga logika minor, sedangkan logika material
dinamakan logika mayor. Yang disebut logika formal adalah
ilmu yang mengandung kumpulan kaidah cara berpikir untuk
mencapai kebenaran.
Keempat, logika murni dan logika terapan. Logika mumi
merupakan suatu pengetahuan mengenai asas dan aturan
logika yang berlaku umum pada semua segi dan bagian dari
pernyataan-pernyataan dengan tanpa mempersoalkan arti
khusus dalam sesuatu cabang ilmu dari istilah yang dipakai
dalam pernyataan dimaksud. Logika terapan adalah
pengetahuan logika yang diterapkan dalam setiap cabang
ilmu, bidang-bidang filsafat, dan juga dalam pembicaraan
yang mempergunakan bahasa sehari-hari.
Kelima, logika filsafati dan logika matematik.
Logika 103
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
filsafati dapat digolongkan sebagai suatu ragam atau bagian
logika yang masih berhubungan sangat erat dengan
pembahasan dalam bidang filsafat, seperti logika kewajiban
dengan etika atau logika arti dengan metafisika. Adapun
logika matematik merupakan suatu ragam logika yang
menelaah penalaran yang benar dengan menggunakan metode
matematik serta bentuk lambang yang khusus dan cermat
untuk menghindarkan makna ganda atau kekaburan yang
terdapat
dalam bahasa biasa.
5.3.7. Data-informasi
Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam
metode keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan
keilmuan yang diarahkan kepada pengumpulan data, maka
banyak orang yang menyamakan ilmuwan dengan
pengumpulan fakta. Hasil observasi ini kemudian dituangkan
dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Pengamatan yang teliti
yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang
dibuat manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan
yang dramatis terhadap konsep keilmuan sebagai suatu
prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan induktif.
Tumpuan terhadap persepsi indra secara langsung atau tidak
langsung, dan keharusan untuk melakukan pengamatan secara
teliti seakan menyita perhatian kita terhadap segi empiris dari
penyelidikan keilmuan tersebut.
Penyusunan dan klasifikasi data. Tahap metode keilmuan
ini menekankan kepada penyusunan fakta dalam kelompok-
kelompok, jenis-jenis, dan kelas-kelas. Dalam
104
Struktur llmu Pengetahuan
semua cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasi, meng-
analisis, membandingkan, dan membedakan fakta-fakta yang
relevan tergantung kepada adanya sistem klasifikasi disebut
taksonomi, dan ilmuwan modern terus berusaha untuk
menyempurnakan taksonomi khusus bidang keilmuan mereka.
Deskripsi dan klasifikasi memang suatu hal yang pokok
dalam ilmu, tetapi adalah menyesatkan bila kita mengacaukan
deskripsi dan penyusunan ini dengan seluruh urutan kegiatan
yang merupakan metode keilmuan.
5.3.8. Pembuktian
Langkah selanjutnya sesudah penyusunan hipotesis
adalah menguji hipotesis tersebut dengan mengonfron-
tasikannya dengan dunia fisik yang nyata. Sering sekali dalam
hal ini kita harus melakukan langkah perantara yakni
menentukan faktor- faktor apa yang dapat kita uji dalam
rangka melakukan verifikasi terhadap keseluruhan hipotesis
tersebut. Proses pengujian ini seperti yang telah kita singgung
sebelumnya merupakan pengumpulan fakta- fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan. Fakta- fakta ini
kadang-kadang bersifat sederhana yang dapat kita tangkap
secara langsung dengan pancaindra kita. Kadang- kadang kita
memerlukan instrumen yang membantu pancaindra kita
umpamanya teleskop atau mikroskop. Tidak jarang pula
beberapa pembuktian ilmiah memerlukan alat yang rumit
sekali, sehingga sering terjadi bahwa hipotesis baru dapat
dibuktikan berapa lama kemudian setelah ditemukan alat yang
dapat membantu mengum-
108
Struktur Ilmu Pengetahuan
jelasan yang berbeda pula yang dapat diterima dalam sistem
ilmu. Penjelasan dalam ilmu pada dasarnya adalah menjawab
pertanyaan "mengapa". Terdapat empat cara berbeda yang
digunakan dalam ilmu untuk menjawab pertanyaan ini, yakni
penjelasan (i) deduktif, (ii) pro- babilistik, (iii) genetis, dan (iv)
fungsional. Tiap-tipe penjelasan ini menjawab mengenai
mengapa namun untuk pertanyaan yang berbeda-beda.
Pertama, penjelasan deduktif adalah sebuah penjelasan
yang terdiri dari serangkaian pertanyaan di mana kesimpulan
tertentu disimpulkan setelah menetapkan aksioma atau postulat.
Contoh yang klasik adalah sebagai berikut: Semua manusia
adalah fana. Socrates adalah manusia. Oleh sebab itu, Socrates
adalah fana. Fakta bahwa Socrates adalah fana
merupakan konsekuensi langsung karena dia adalah manusia.
Jadi pertanyaan "Mengapa Socrates fana?" dalam cara
penjelasan ini adalah karena dia manusia. Ilmuwan, jika
menerima fakta semua manusia fana, dan dia menemukan
fakta bahwa Socrates adalah manusia, maka dia dapat
melakukan deduktif bahwa Socrates adalah fana. Walaupun
begitu, seorang ilmuwan tidak akan berhenti sampai di sini,
dia akan berusaha untuk mengembangkan beberapa tes untuk
melihat apakah Socrates secara fakta adalah fana. Penjelasan
deduktif, meskipun merupakan alat yang sangat berguna
dalam beberapa cabang ilmu, dapat menyesatkan kita karena
cara itu hanya memperhatikan beberapa karakteristik dari
gejala. Terlebih lagi, hubungan logika belum tentu berlaku
untuk hubungan antarmanusia. Ahli ilmu sosial tidak
UI N S U N A N N S U N A N
memiliki perspektif yang tersangkut paut dengan hubungan
antara anggota masyarakat; (iv) model terakhir itu akan
mneghasilkan gambaran yang menyambung. Di satu sisi
berlangsung proses socialization yang terjadi ketika individu
mendapat pengaruh kuat dari lingkungan sosial, individu akan
menyesuaikan diri dengan pola-pola yang berlaku di
masyarakatnya.
Pandangan tentang paradigma ilmu pengetahuan
tampaknya berubah antarwaktu. Perkembangan substansi
paradigmatik dalam tulisan ini akan dikupas lengkap, berawal
dari paradigma positivisme, postpositivisme, critical theory dan
konstruktivisme. Perubahan paradigma dalam ilmu
pengetahuan mencakup seluruh aspek paradigma. Dari
beberapa kasus perubahan paradigma ilmu pengetahuan yang
telah dipaparkan, arah yang dicapai memang diutamakan
berupa perkembangan. Kemapanan dan
5.4. Ringkasan
Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilmiah
disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi
mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang
sudah ada. Dengan demikian maka ilmu merupakan tubuh
pengetahuan yang tersusun dan terorganisasikan dengan baik.
Penemuan yang tidak teratur dapat diibaratkan sebagai
"rumah atau batu bata yang bercerai-berai".
Secara singkat dapat dikatakan bahwa metode keilmuan
adalah sebuah teori pengetahuan yang dipergunakan manusia
dalam memberikan jawaban tertentu terhadap suatu
pernyataan. Metode ini menitikberatkan kepada suatu urutan
prosedur yang saksama di mana diperoleh sekumpulan
pengetahuan yang diperluas secara terus menerus serta
bersifat mengoreksi diri sendiri. Metode keilmuan
mendasarkan diri pada anggapan bahwa, terdapat keteraturan
yang dapat ditemukan dalam hubungan antara gejala-gejala,
dan bahwa alat pancaindra manusia, (atau alat yang dibuat
secara teliti), pada dasarnya dapat berfungsi secara layak.
Lewat pengorganisasian yang sistematis dan pengujian
pengamatan, manusia telah mampu mengumpulkan
pengetahuan secara kumulatif, walaupun
Teori Kebenaran
Ilmu Pengetahuan
6.1. Deskripsi
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam
perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir
dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek
atau mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi
sasaran. Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam
objek. Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh per- sepsi-
persepsi belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal
dalam
filsafat.
6.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan terdiri atas:
(i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v) esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan 117
Logika Ilmu
(vii) religiusisme.
6.3. Teori Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan berikut tentu membuka wawasan
kita, bisa jadi selama ini hanya merupakan kesan- kesan yang
kita biarkan berlalu. Untuk keperluan pembelajaran filsafat
ilmu, sengaja diangkat lagi agar memperoleh wacana yang
memadai dalam konteks untuk menemukan kebenaran.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah; (i) Apakah kebenaran itu
ada?; (ii) Apakah kebenaran ada atau tidak ada? (iii)
Kebenaran itu apakah kecil atau kebenaran besar; (iv)
Bagaimana kebenaran yang terdapat di dalam filsafat, agama,
ilmu, dan seni; (v) Bagaimana pandangan kaum skeptis,
relatif, dan subjektif, dan kaum nihilis tentang kebenaran; (vi)
Bagaimana paham diterminis dan inditerminis (konseptual,
atau konseptual yang kacau) tentang kebenaran; dan (vii)
Bagaimana teori- teori ontologi kebenaran.
Sejumlah teori yang telah dikemukakan oleh para filsuf
dengan senyatanya membuka mata kita antara lain yang
dikemukakan: (i) teori idealisme Plato yang berpusat pada
"idea"; (ii) teori Rasionalisme R.Decartes, yang berpusat pada
rasio dan kesadaran; (iii) teori Immanuel Kant yang berpusat
pada akal atau rasio mumi (Reinen Vernunft, Praktisen
Vernunft).
(iv) teori-teori wahyu/revalasi dari kalangan teolog (dari Tuhan
YME) yang menyatakan bahwa the truth is created by the God
yang dilawan oleh teori evolusi; (v) teori coherence (coherence
theory) yang menyatakan bahwa kebenaran itu suatu nilai inter-
119
penomenon (gejala); (xiv) teori konstruktivisme yang
menyatakan bahwa kebenaran itu suatu hasil konstruksi
pikiran manusia yang bebas, dan selalu berubah, dan sangat
subjektif; (xvi) teori post-modernisme menyatakan bahwa
kebenaran itu bukan suatu yang tetap, selalu berubah, dan akal
manusia menciptakan secara bebas dan tidak pernah sama
dengan yang lalu, terdapat kecenderungan bahwa kebenaran
tidak dapat diungkapkan dalam bahasa; (xvii) teori
progresivisme menyatakan bahwa kebenaran yang tidak pernah
statik, melainkan selalu berubah ke depan (ke masa yang akan
datang) sesuai perkembangan manusia dan zaman. Paham ini
menolak paham-paham warisan tradisi dan konservatif; (xviii)
teori kritik (Critical theory of truth) menyatakan kebenaran itu
suatu hasil pemikiran manusia yang terbuka dan kritis
sepanjang zaman, dan kebenaran lahir dari dialog, diskusi, dan
diskursus yang kontinu (Jurgen Hebernas); (xix) teori nihilism
menyatakan bahwa sesungguhnya tidak pernah ada kebenaran
di dunia ini, yang ada hanya power, who holds the power, he is
able to creat the truth and jaustice (F. Nietzsche).
Menurut Jujun S. Suriasumantri dalam tulisannya yang
berjudul Hakikat Dasar Keilmuan, ilmu merupakan suatu
pengetahuan yang menjelaskan rahasia alam agar gejala
alamiah tersebut tidak lagi merupakan misteri. Ilmu
membatasi ruang jelajah kegiatan pada daerah pengalaman
manusia. Artinya, objek penjelajahan keilmuan meliputi
segenap gejala yang dapat ditangkap oleh pengalaman
manusia lewat pancaindranya.
120 Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan
Secara epistemologi, ilmu memanfaatkan dua
kemampuan manusia dalam mempelajari alam, yakni pikiran
dan indra. Epistemologi keilmuan pada hakikatnya
merupakan gabungan antara pikiran secara rasional dan
berpikir secara empiris. Kedua cara berpikir tersebut
digabungkan dalam mempelajari gejala alam untuk
menemukan kebenaran.
Ilmu, dalam menemukan kebenaran, menyandarkan
dirinya kepada kriteria atau teori kebenaran antara lain: (i)
koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v)
esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan (vii) religiusisme.
6.3.1. Koherensi
Koherensi merupakan teori kebenaran yang menegaskan
bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,
pendapat, kejadian, atau informasi) akan diakui sahih/ dianggap
benar apabila memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari
proporsi sebelumnya yang juga sahih dan dapat dibuktikan secara
logis sesuai dengan kebutuhan- kebutuhan logika. Teori ini juga
mendasarkan diri kepada kriteria konsistensi suatu argumentasi.
Teori ini melihat sesuatu itu dengan benar ketika terdapat adanya
konsistensi yang ditangkap subjek yang satu dengan subjek
lainnya tentang suatu realita yang sama. Makin konsisten ide-ide
atau kesan yang ditangkap beberapa subjek tentang sesuatu
objek yang sama, makin benarlah ide-ide atau
kesan itu.
6.3.2. Korespondensi
Korespondensi merupakan teori kebenaran yang
6.3.4. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang men-
dasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya
suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Teori Pragmatisme berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan
realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-
ide melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau
pelaksanaannya. Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar atau
salah sebelum diuji.
6.3.5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman
Renaissance dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan
progresivisme. Perbedaannya yang utama ialah dalam
memberikan dasar berpijak pada pendidikan yang penuh
fleksibilitas, di mana serta terbuka untuk perubahan, toleran
dan tidak ada keterikatan dengan doktrin tertentu.
Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang
memberikan kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang
mempunyai tata yang jelas. Esensialisme berpendapat bahwa
dunia ini dikuasai oleh tata yang tiada cela yang mengatur
dunia beserta isinya dengan tiada cela pula.
6.5. Ringkasan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk pencari
kebenaran akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya
adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu
dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi menjadi misteri.
Secara pasti, tidak ada kebenaran yang absolut di dunia
ini. Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan itu sendiri
tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu dengan
menggunakan metode kriteria kebenaran yang terdiri dari:
koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatisme,
esensialisme, konstruktivisme, dan religiusisme.
7.1. Deskripsi
Di era postmodern saat ini telah begitu banyak dite-
mukan inovator baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan-
penemuan tersebut dapat kita rasakan hampir dalam segala
bidang dan lingkungan di mana kita berada. Misalnya,
keberadaan teknologi informasi yang semakin hari semakin
canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui se-
jumlah proses yang memakan waktu cukup relatif panjang.
Hal ini (semakin pesatnya penemuan-penemuan baru)
merupakan suatu yang tidak dapat dielakkan lagi, karena ia
merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri,
yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang
semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penemuan sains tersebut kita menge-
nal yang namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk
meraih hasil yang sesuai "standar" keilmuan. Sains yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
terus berkembang dapat dikatakan merupakan dampak dari
revolusi industri yang terjadi di Eropa. Revolusi industri
membawa perubahan besar dalam berbagai aspek. Corak-corak
metodologis yang dikembangkan menyebabkan ilmu
pengetahuan bersifat positivistik, deterministik, dan
evolusionistik. Sehingga segala sesuatu harus dijelaskan dengan
metode kuantitatif dan eksperimental melalui observasi.
Dewasa ini, ada kecenderungan-kalau tidak mau dikatakan
sepenuhnya—yang dilakukan oleh para pemikir atau ilmuwan
yang berpersepsi bahwa metode ilmiah merupakan satu-satunya
metode yang diterapkan dalam mendapatkan pengetahuan yang
disebut ilmu. Bahkan, ia juga dijadikan landasan atau sebagai
asas dalam berpikir. Lebih dari itu, terjadi pensakralan
terhadapnya.
7.9: Ringkasan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik- baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan) atau cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan secara efektif,
efisien, dan hasil yang optimal.
Metode berpikir ilmiah, layak untuk dijadikan sebagai asas
bagi metode berpikir. Hal ini disebabkan, ia dapat diterapkan
pada objek-objek material yang dapat diindra, dan kesimpulan
yang dihasilkan darinya tidaklah bersifat (probability) pasti.
Dengan kata lain, metode ilmiah hanya dapat diterapkan pada
ilmu yang sifatnya adalah eksperi-
8.1. Deskripsi
Logika dapat diartikan sebagai pengetahuan yang membahas
tentang simpul-menyimpulkan penalaran yang diperoleh dari
sejumlah premis atau pangkal pikir secara tepat atau valid. Unsur-
unsur utama dalam simpul-menyimpulkan suatu penalaran itu
adalah term atau konsep, proposisi (kalimat pernyataan), dan
penyimpulan (inter- versi). Dalam simpul menyimpulkan suatu
penalaran dapat dilakukan secara langsung dari proposisi sebagai
pangkal pikirnya, namun dapat juga dilakukan secara tidak lang-
sung yang harus melalui premis-premis dalam proposisi yang
tersedia. Pada bagian ini dijelaskan tentang pola penalaran yang
langsung disimpulkan dari proposisi yang tersedia.
8.3. Logika
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan
logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara
lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal
budi untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata
logis yang dipergunakan tersebut dapat juga diartikan dengan
masuk akal.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek
materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/ proses
penalaran) dan objek formal logika adalah berpikir/ penalaran
yang ditinjau dari segi ketepatannya. Sebagai cabang filsafat,
logika merupakan cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini
berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di
Yunani. Dalam usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan
pendapat-pendapatnya, para filsuf Yunani kuno tidak
155
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Sebagian manusia adalah bijaksana.
Sebagian manusia tidaklah tidak bijaksana.
Obversi "O": Obversi "O" adalah
"I" Obvertend: Sebagian S tidaklah P
Obverse : Sebagian S adalah P
Jadi dengan obversi A memberikan E, E memberikan A, I
memberikan O dan O memberikan I.
8.7.3. Kontraposisi
8.8. Ringkasan
Penalaran langsung merupakan pola penyimpulan yang langsung
dapat ditentukan dari proposisi atau kalimat yang tersedia. Kalimat terdiri
dari term S (subjek) dan P (predikat). Melalui kalimat yang dinyatakan
dalam bahasa tersebut maka penyimpulan langsung dapat dilakukan dan
dapat dibuktikan kebenarannya.
Para ahli pikir menggolongkan proposisi dalam empat jenis yaitu
proposisi: (i) A (universal afirmatif); (ii) E (universal negatif); (iii) I
(particular afirmatif); dan O (particular negatif). Penyimpulan langsung
dilakukan dengan cara mempertukarkan proposisi berdasarkan kualitas
afirmatif dan negative, letak S (subjek) dan P (prediket), dan menyimpulkan
langsung melalui kuantitas proposisi.
Empat jenis proposisi dapat dilakukan penyimpulan
9.1. Deskripsi
Pada topik ontologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada
dasarnya hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris
terdapat dalam kegiatan keseharian, dapat diamati (dipotret,
dividco) yang karenanya lingkup ilmu pengetahuan adalah
hal- hal yang dapat diukur (measurable), dan dapat diamati
(observable). Objek empiris dari ilmu adalah mengandung gejala
yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain,
karenanya pula dapat diidentifikasi kecenderungan-
kecenderungan dari gejala yang diamati. Melalui metode
penelaahan yang cermat, maka dapatlah disusun teori yang
tingkat kebenaran (logika)nya yang memiliki probabilitas
kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang
membantahnya.
Uraian berikut merupakan penjabaran dari logika induktif
dengan menempatkan asumsi dasar objek empiris dalam ilmu
pengetahuan.
9.7. Ringkasan
Induksi merupakan pola penalaran untuk melakukan
penyimpulan dalam logika dari kasus-kasus individual atau
partikular menuju kepada kasus-kasus umum/ universal. Pola
penalaran induksi seperti ini disebut sebagai generalisasi
induksi, kesimpulannya berupa pernyataan umum. Dalam
penelitian melalui metode tertentu dilengkapi dengan sejumlah
bukti maka pernyataan umum itu disebut tesis, dan teori,
disebut hukum (law) apabila tingkat bukti kebenarannya tidak
dapat dibantah lagi.
Dalam pola penalaran induksi juga terdapat analogi
induksi, yang kesimpulannya bukan berupa pernyataan umum
seperti generalisasi induksi, namun berupa pernya- taan-
pemyataan yang pembuktiannya mendasarkan pada unsur-
unsur yang sama dengan mengabaikan perbedaan. Pola
penalaran seperti ini disebut sebagai analogi induksi.
10.1. Deskripsi
Upaya-upaya untuk dapat menemukan kesimpulan yang
tepat atau benar dilakukan dengan menyusun pola
penalaran sesuai dengan prinsip-prinsip panalaran yang
tepat. Di sisi lain terdapat cara juga untuk menemukan
kesimpulan yang tepat itu dengan cara menghidari pola
penalaran yang sesat. Inilah yang disebut dengan kesesatan
(fallacy) dalam penalaran ilmiah sebagai bagian dalam
pembahasan tentang logika.
Dalam konteks tersebut maka pada bagian ini diuraikan
tentang: (i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa;
(iv) kesesatan relevansi; (v) relevansi kesesatan berpikir
dengan ilmu pengetahuan.
10.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada bagian ini adalah men-
jelaskan kesesatan berpikir ini meliputi: (i) pengertian, (ii)
klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa; (iv) kesesatan relevansi;
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
(v) relevansi kesesatan berpikir dengan ilmu pengetahuan.
187
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
logis kesimpulan tersebut tidak terkandung dalam/ atau tidak
merupakan implikasi dari premisnya.
Jadi penalaran yang mengandung kesesatan relevansi
tidak menampakkan adanya hubungan logis antara premis
dan kesimpulan, walaupun secara psikologis menampakkan
adanya hubungan, namun kesan adanya hubungan secara
psikologis ini sering kali membuat orang terkecoh.
Kesesatan relevansi ini terdiri dari: (i)Argumentum ad
Hominem, (ii) Argumentum ad Baculum, (iii) Argumentum ad
Populum, (iv) Argumentum Auctoritatis, (v) Argumentum ad
Verecundiam, (vi)Ignoratio Elenchi, (vii) Argumentum ad
Ignoratiam, (viii) Petitio Principii, (ix) Kesesatan non Causa Pro
Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc/False Cause) (x) Kesesatan
Aksidensi (xi) Kesesatan karena Komposisi dan Divisi (xii)
Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks.
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1
Argumentum ad hominem adalah argumen diarahkan
untuk menyerang manusianya secara langsung. Penerapan
argumen ini dapat menggambarkan tindak pelecehan terhadap
pribadi individu yang menyatakan sebuah argumen.
Hal ini keliru karena ukuran logika dihubungkan dengan
kondisi pribadi dan karakteristik personal seseorang yang
sebenarnya tidak relevan untuk kebenaran atau kekeliruan isi
argumennya. Argumen ini juga dapat menggambarkan aspek
penilaian psikologis terhadap pribadi seseorang. Hal ini dapat
terjadi karena perbedaan
10.7. Ringkasan
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas
berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau
penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari
logika, dikenal juga sebagai fallacia/falaccy, di mana
beberapa jenis kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan
dari argumentasi logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: (i)
ketidaktepatan bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan
(ii) ketidaktepatan relevansi.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh
bahasa adalah (i) kesesatan aksentuasi terdiri dari (a)
Kesesatan aksentuasi verbal dan (b) kesesatan aksentuasi non-verbal; (ii)
kesesatan ekuivokasi yang terdiri dari (a) kesesatan ekuivokasi verbal dan (b)
kesesatan Ekuivokasi non-verbal; (iii) kesesatan amfiboli; dan (iv) kesesatan
metaforis.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh Relevansi
adalah (i) argumentum ad Hominem 1; (ii) argumentum ad Hominem 2; (iii)
argumentum ad baculum; (iv) argumentum ad misericordiam; (v) argumentum
ad populum; (vi) argumentum auctoritatis; (vii) argumentum ad verecundiam;
(viii) ignoratio elenchi; (ix) argumentum ad ignoratiam; (x) petitio principii; (xi)
kesesatan non causa pro causa (post hoc ergo propter hoc / false cause); (xii)
kesesatan aksidensi; (xiii) kesesatan karena komposisi dan divisi; dan (xiv)
kesesatan karena pertanyaan yang kompleks.
Kesesatan, menurut John Locke terjadi karena subjek sesungguhnya
jarang berpikir sendiri atau bertindak sesuai dengan apa yang dipikirkan dan
dilakukan orang lain.
Etika Ilmu
11.1. Deskripsi
203
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, danLogikaIlmu
mencari keseimbangan moral, sifat keras kepala dan
hilangnya rasa malu dan dosa dari perilaku manusia.
Yang penting adalah bahwa prosesnya, baik dalam
analisis maupun pembuktiannya, kita dapat memisahkan
spekulasi mana yang dapat diandalkan dan mana yang tidak.
Dari serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah
pikiran yang dapat diandalkan sebagai titik awal dari
penjelajahan pengetahuan tanpa menetapkan kriteria tentang
apa yang disebut benar maka tidak mungkin pengetahuan lain
berkembang di atas kebenaran, tanpa menetapkan apa yang
disebut baik atau buruk maka kita tidak mungkin berbicara
tentang moral.
Untuk membangun masyarakat ilmiah menuju
masyarakat berbudaya ilmu pengetahuan dan hubungan
antara ilmu dan etika yang merupakan bagian dari ilmu
humaniora belum memperoleh perhatian dari masyarakat atau
para peneliti (sarjana). Dari sisilah masyarakat luas sangat
membutuhkan terbentuknya konsep etika dan ilmu yang dapat
mengembangkan sikap dan perilaku yang baik di satu pihak
dan menghilangkan, melenyapkan sikap dan perilaku buruk
seperti perilaku penyimpangan dan kejahatan.
Suatu ilmu dan etika adalah suatu sumber pengetahuan
yang diharapkan dapat meminimalakan dan menghentikan
perilaku menyimpang di kalangan masyarakat. Untuk itu,
pengkajian kita difokuskan pada usaha meningkatkan peranan
ilmu sebagai sumber moralitas dalam mendukung
pengembangan kebudayaan.
204
Etika Ilmu
11.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang (i) pengertian etika ilmu; (ii) hubungan ilmu dan etika;
(iii) membangun masyarakat ilmiah; (iv) menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan; dan (v) relevansi etika ilmu.
11.3. Pengertian Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang
berarti a sistem of moral principles or rules of behaviour,
atau suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku.
Akan tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat
berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the
branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral.
Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral
principles that govern or influence a person's behaviour,
prinsip- prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung
arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak
moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung
pencarian kehidupan yang baik secara moral.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang
apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak,
Etika Ilmu
menemukan kebenaran dan juga mempertahankan kebenaran
diperlukan keberanian moral.
Etika memberikan semacam batasan maupun standar
yang mengatur pergaulan manusia di dalam kelompok
sosialnya. Etika ini kemudian dirupakan ke dalam bentuk
aturan tertulis yang secara sistematik sengaja dibuat ber-
dasarkan prinsip-prinsip moral yang ada dan pada saat
dibutuhkan dapat difungsikan sebagai alat untuk menghakimi
segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum
(common sense) dinilai menyimpang dari kode etik.
Ilmu sebagai asas moral atau etika mempunyai kegunaan
khusus yakni kegunaan universal bagi umat manusia dalam
meningkatkan martabat kemanusiaan.
Etika Ilmu
210
sekarang ini. Melainkan juga karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan
itu sendiri, yaitu karena ternyata ilmu pengetahuan berhasil menjawab
berbagai persoalan hidupnya. Oleh karena itu, manusia modern sedemikian
bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan sekarang ini.
Etika Ilmu
amatan. Ilmu pengetahuan merintis jalan kepada kemandirian dalam berpikir
berdasarkan pada pengamatan terhadap gejala-gejala alam atau sosial. Tentu
harus diakui di sini bahwa sikap menghargai pengamatan, sebagai lawan
tradisi dan otoritas, adalah sesuatu yang sulit. Ilmu pengetahuan menuntut
agar orang tidak mudah percaya begitu saja pada tradisi atau otoritas tetapi
percaya pada pengamatan dengan teknik-teknik yang rasional.
Kedua, otonomi dunia fisik. Bahwa ilmu pengetahuan berangkat dari
suatu filosofi alam sebagai sesuatu yang otonom, yang memiliki hukum
sendiri. Dunia fisik mengikuti hukum-hukum fisika, tidak ada pengaruh roh-
roh halus. Peranan dewa-dewi sebagaimana dianut oleh banyak agama
tradisional lenyap dengan sendirinya jika ilmu pengetahuan diterima secara
konsekuen.
Ketiga, disingkatnya konsep tujuan. Bahwa ilmu pengetahuan hanya
mengenal sebab efisien dari suatu peristiwa. Bagi ilmu pengetahuan masa
lampau lebih penting dari masa depan. Sebab final tidak diberi tempat dalam
pandangan ilmiah tentang dunia. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan lebih
memerhatikan konsep kausalitas dibandingkan dengan konsep formalitas.
Masyarakat yang dicerahi ilmu pengetahuan lebih percaya pada Darwinisme.
Keempat, tempat manusia dalam alam. Dari segi kontemplasi
tampaknya ilmu pengetahuan merendahkan manusia. Namun, dari segi
praktis ilmu pengetahuan dapat mengangkat manusia, justru karena dengan
ilmu pengetahuan manusia dapat memeroleh kekuasaan dan dapat berbuat
banyak. Kekuasaan dapat diperoleh manusia
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
dengan memahami hukum-hukum alam.
Ilmu pengetahuan membantu proses emansipasi manusia terhadap dewa-
dewi tradisional dan Tuhan Allah. Ilmu pengetahuan membangun suatu
rasionalitas yang berbeda dari rasionalitas kepercayaan-kepercayaan
tradisional dan agama.
11.6.5. Dampak Sosial Praktis
Dalam konteks yang sama kita juga dapat berbicara tentang manfaat
ilmu pengetahuan adalah dalam memperbesar kekuasaan manusia. Maka
teori-teori ilmiah, melalui tehnik, dapat menjadi instrumen yang ampuh
untuk memperbesar kekuasaan manusia atas alam dan atas masyarakat.
Kekuatan-kekuatan teknik ilmiah itu semakin menjadi nyata ketika
dikembangkan dalam interaksi komunitas manusia.
Kemampuan untuk mengontrol atau kemampuan untuk berkuasa tidak
sama dengan kekuatan untuk hidup dan bertindak sebagaimana diharapkan
orang-orang yang dididik dengan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Perkem- bangan teknologi mengandaikan kepentingan sosial yang
berkembang dalam masyarakat, dan itu berarti hal tersebut membutuhkan
komunikasi antara
kepentingan dalam masyarakat.
11.6.6. Watak Intelektual
Ilmu pengetahuan, sampai sekarang selalu didasarkan pada
pengamatan dan tidak pernah pasti benar, melainkan hanya mengklaim
probabilitas berdasarkan bukti yang ada. Efektivitas dari ilmu pengetahuan
untuk memberikan
218 Etika Ilmu
harapan itu tidak diragukan lagi. Ilmu pengetahuan dapat menawarkan
kemungkinan kesejahteraan hidup yang jauh lebih baik bagi umat manusia
sehingga dapat disimpulkan bahwa ilmu pengetahuan dapat menciptakan
suatu masyarakat yang enlightened, hanya bila masyarakat itu mengikuti
rasionalitas ilmu pengetahuan yang taat pada rasio.
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis
Kecenderungan pragmatis beranggapan bahwa ilmu pengetahuan
dikembangkan demi mencari dan memperoleh penjelasan tentang berbagai
persoalan dalam alam semesta ini. Ilmu pengetahuan memang bertujuan me-
nemukan kebenaran, tetapi bagi mereka ilmu pengetahuan tidak berhenti sampai
di situ saja, yang terpenting adalah bahwa ilmu pengetahuan pada
akhirnya berguna bagi kehidupan manusia.
11.7. Relevansi Etika ilmu dengan llmu Antropologi
Hubungan antara antropologi dan etika ilmu bersifat timbal balik.
Antropologi pun perlu bantuan ilmu-ilmu lain dan sebaliknya ilmu-ilmu lain
juga memerlukan bantuan antropologi. Perkembangan ilmu antropologi sejak
fase- fase perkembangan yang dahulu juga mengumpulkan beratus-ratus suku
bangsa yang tersebar di muka bumi ini. Etika yang sering kali berupa daftar
kata-kata, catatan tentang tata bahasa, bahkan seringkali juga pelukisan lengkap
tentang mengembangkan teori-teori tentang berbagai asas, oleh suatu etika ilmu
bagian dari antropologi.
Etika pun seringkali disebut dengan filsafat moral di
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu 219
mana di setiap masyarakat pastilah terdapat etika-etika keilmuan yang sudah
tertanam, contoh yang kecil saja, seperti yang terjadi di kalangan masyarakat
misalnya tata cara pergaulan di kalangan anak muda perkotaan menjadi lebih
bebas. Di mana tradisi, adat istiadat, budaya luhur dan nilai-nilai kesopanan
dalam pergaulan mulai ditinggalkan dengan seiring perkembangan teknologi.
Kehidupan modem dan gaya hidup di negara-negara Barat atau negara maju
lebih permisif dan bebas. Timbulnya anak- anak "punk" di daerah perkotaan
lebih cenderung disebabkan oleh tayangan televisi. Tentunya kita mudah
mengerti bagaimana baik buruknya suatu metode-metode dan teori-teori
dalam etika ilmu yang berhubungan langsung dengan antropologi.
Latar belakang etika ilmu dengan peristiwa-peristiwa yang sukar
diketahui hanya dari sumber-sumber, konsep- konsep tentang kehidupan
masyarakat yang dikembangkan oleh antropologi dan ilmu-ilmu sosial
lainnya, memberi pengertian banyak kepada seorang ahli sejarah. Dalam hal
mengumpulkan keterangan komparatif antropologi sangat berguna, dari ilmu
itu telah menyadari kepentingan antropologi sebagai ilmu bantu dalam
penelitian.
Metode-metode antropologi untuk menyelami latar belakang kehidupan
di dalam masyarakat yang mana pada zaman krisis dunia sekarang ini.
Pengertian tentang yang sangat diperlukan dalam perilaku dan tindakan
manusia yang diteliti oleh antropologi. Oleh karena itu, ilmu dan etika
adalah sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat menghambat dan
menghentikan perilaku penyim-
Etika llmu
pangan dari kejahatan di kalangan masyarakat, maka antara ilmu antropologi
dan etika ilmu saling berhubungan erat yang mana ilmu antropologi adalah
ilmu yang mempelajari tentang aspek kehidupan manusia.
11.8. Ringkasan
Ilmu pengetahuan sesungguhnya merupakan alat bagi manusia. Ilmu
diciptakan dengan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
Dengan ilmu dapat diciptakan suasana yang lebih baik dan dengan demikian
melalui ilmulah manusia dapat lebih mudah mencapai tujuan untuk
meningkatkan kesejahteraan.
Sebagai suatu subjek, etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh
individu ataupun kelompok-kelompok yang menilai apa tindakan-tindakan
yang telah dikerjakan. Di mana etika memberikan semacam batasan maupun
standar yang mengatur manusia di dalam kelompok sosial lainnya. Dalam
etika ilmu ini dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan konsep yang dimiliki oleh manusia.
Dalam hal ini paradigma merupakan istilah yang sangat erat dengan
sains yang normal. Suatu paradigma bersama telah membebaskan masyarakat
sains dari kebutuhan penelitian ulang secara konstan. Masyarakat sains tahu
benar masalah-masalah mana yang telah dipecahkan beberapa ilmuwan akan
mudah dipersuasi untuk menerima pandangan baru.
Dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional ilmu pengetahuan
mempunyai peranan ganda. Pengkajian
Etika Ilmu
222
Bab XII
Filsafat Ilmu dan Teknologi
12.1. Deskripsi
Seiring perkembangan filsafat yang begitu pesat, maka munculnya berbagai
pertanyaan berkaitan dengan hakikat filsafat ilmu dan filsafat teknologi. Hal itu
dikarenakan perkembangan sebuah ilmu yang begitu besar pastilah membuat
lahirnya teknologi-teknologi dalam masyarakat menjadi begitu pesat. Namun,
perkembangan itu tidak diiringi dengan dasar pemahaman dari filsafat ilmu dan
filsafat teknologi itu sendiri yang membuat manusia menjadi tidak paham
hakikat yang sebenarnya dari ilmu dan teknologi yang sesungguhnya, sehingga
tidak dapat mendudukan keduanya sesuai dengan yang seharusnya.
226
itu sendiri.
Masyarakat sekarang sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi,
ketergantungan yang terus menerus menjadikan dirinya terlena dari
eksistensi diri manusia sendiri sebagai makhluk bebas dan kreatif.
Masyarakat kemudian menjadi tidak sadar bahwa mereka dipenjarakan oleh
teknologi (tidak kreatif dan reflektif lagi) itu sendiri bila tidak memahami
hakikat teknologi yang sesungguhnya. Pada dasarnya teknologi hadir di
masyarakat semata- mata untuk sarana memudahkan urusan bukan sebagai
tujuan.
12.6. Ringkasan
Filsafat ilmu berisi tentang analisis atau metodologi tentang ilmu
sedangkan filsafat teknologi analisis tentang suatu hasil ciptaan manusia
melalui proses berpikir untuk menciptakan suatu barang dan atau jasa yang
berguna bagi kehidupan manusia. Dengan kata lain antara filsafat ilmu
dengan filsafat teknologi amat berkaitan, dilihat dalam proses pencarian
suatu teknologi atau hasil karya tertentu.
Ketika kita memahami filsafat dari ilmu dan teknologi maka kita dapat
mendudukkan hakikat sebenarnya dari ilmu dan teknologi itu sendiri.
Pada dasarnya manfaat lain bagi kehidupan kita bila kita memahami
filasafat ilmu dan teknologi adalah kita dapat memanfaatkan teknologi itu
sendiri secara efisien, serta dalam mengembangkannya kita dapat seimbang
sehingga tidak menjadi bumerang bagi masyarakat.
13.1. Deskripsi
233
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi
adalah segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang
menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat ke-
benaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi
harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen dengan
pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka
salah satu penyangga masyarakat modem ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan
berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan
tanggung jawab sosial kaum ilmuwan (Suryasumantri, 1984).
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada
masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya
mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan saat menghadapi masyarakat,
ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang
dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja
mengandalkan pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas
kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir
dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima
234 sesuatu secara begitu
Moralitas llmu Pengetahuan
saja tanpa pemikiran yang cermat. Di sinilah kelebihan seorang ilmuwan
dibandingkan dengan cara berpikir orang awam. Kelebihan seorang ilmuwan
dalam berpikir secara teratur dan cermat. Inilah yang menyebabkan dia mem-
punyai tanggung jawab sosial.
Di bidang etika tanggung jawab sosial seorang ilmuwan bukan lagi
hanya memberi informasi namun memberi contoh. Dia harus tampil di depan
bagaimana caranya bersifat objektif, terbuka, menerima kritikan, menerima
pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan berani
mengakui kesalahan. Tugas seorang ilmuwan harus menjelaskan hasil
penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang
tepat.
Seorang ilmuwan secara moral tidak akan membiarkan hasil penelitian
atau penemuannya dipergunakan untuk menindas bangsa lain meskipun yang
mempergunakan bangsanya sendiri. Sejarah telah mencatat para ilmuwan
bangkit dan bersikap terhadap politik pemerintahnya yang menurut anggapan
mereka melanggar asas- asas kemanusiaan.
Pengetahuan merupakan kekuasaan, kekuasaan yang dapat dipakai
untuk kemaslahatan manusia atau sebaliknya dapat pula disalahgunakan.
Untuk itulah tanggung jawab ilmuwan haruslah "dipupuk" dan berada pada
tempat yang tepat, tanggung jawab akademis dan tanggung jawab moral.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapatlah dihipotesis- kan, jika
ilmuwan telah dapat memenuhi tanggung jawab
238
Suatu sikap moral yang sedemikian itu tidak mempunyai hubungan objektivitas
ilmiah (Rizal Mustansyir dan Misnal Munir, 2001).
Kehati-hatian Weber dalam memutuskan apakah ilmu itu bebas nilai atau
tidak, bisa dipahami mengingat di satu pihak objektivitas merupakan ciri mutlak
ilmu pengetahuan, sedangkan di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu
dihadapkan pada nilai-nilai yang ikut menentukan pilihan atas masalah dan
kesimpulan yang dibuatnya.
Tokoh lain Habermas sebagaimana yang ditulis oleh Rizal Mustansyir
(2001) berpendirian teori sebagai produk ilmiah tidak pernah bebas nilai.
Pendirian ini diwarisi Habermas dari pandangan Husserl yang melihat fakta
atau objek alam diperlukan oleh ilmu pengetahuan sebagai kenyataan yang
sudah jadi. Fakta atau objek itu sebenarnya sudah tersusun secara spontan
dan primordial dalam pengalaman sehari-hari, dalam Lebenswelt atau dunia
sebagaimana dihayati. Setiap ilmu pengetahuan mengambil dari Lebenswelt
itu sejumlah fakta yang kemudian diilmiahkan berdasarkan kepentingan
praktis.
Habermas menegaskan lebih lanjut bahwa ilmu pengetahuan alam
terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Ilmu pengetahuan alam tidaklah
netral, karena isinya tidak lepas sama sekali dari kepentingan praktis. Ilmu
sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis kendati
dengan cara yang berbeda. Kepentingan ialah memelihara serta memperluas
bidang aling pengertian antarmanusia dan perbaikan komunikasi. Setiap ke-
giatan teoretis yang melibatkan pola subjek selalu
240
moral dan akhlak amat diperlukan.
Manusia sebagai makhluk Tuhan bersama-sama dengan alam berada di
dalam alam itu. Manusia akan menemukan pribadi dan membudayakan
dirinya bila mana manusia hidup dalam hubungan dengan alamnya. Manusia
yang merupakan bagian alam tidak hanya bagian yang terlepas darinya.
Manusia senantiasa berintegrasi dengan alamnya. Sesuai dengan martabatnya,
manusia yang merupakan bagian alam harus senantiasa menjadi pusat dari alam
itu. Dengan demikian, tampaklah bahwa di antara manusia dengan alam ada
hubungan yang bersifat keharusan dan mutlak. Oleh sebab itu, manusia harus
senantiasa menjaga kelestarian alam dalam keseimbangannya yang bersifat
mutlak pula. Kewajiban ini merupakan kewajiban moral tidak juga sebagai
manusia biasa lebih- lebih seorang ilmuwan dengan senantiasa menjaga
kelestarian dan keseimbangan alam yang bersifat mutlak.
Para ilmuwan sebagai orang yang profesional dalam bidang keilmuan
tentu perlu memiliki visi moral khusus sebagai ilmuwan. Moral inilah di dalam
filsafat ilmu disebut sikap ilmiah (Abbas Hamami M., dalam Tim Dosen
Filsafat Ilmu Fak. Filsafat UGM, 1996).
Sikap ilmiah harus dimiliki oleh setiap ilmuwan. Karena sikap ilmiah
adalah suatu sikap yang diarahkan untuk mencapai pengetahuan ilmiah yang
bersifat objektif. Sikap ilmiah bagi seorang ilmuwan bukanlah membahas
tentang tujuan dari ilmu, melainkan bagaimana cara untuk mencapai suatu
ilmu yang bebas dari prasangka pribadi. Di samping itu, ilmu tersebut dapat
dipertanggungjawab-
244
menjadi ketentuan mutlak, yang akan menjadi well- supporting bagi
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk meningkatkan derajat
hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Hakikat moral, tempat
ilmuwan mengembalikan kesuksesannya.
Etika adalah pembahasan mengenai baik (good), buruk (bad),
semestinya (ought to), benar (right), dan salah (wrong). Yang paling menonjol
adalah tentang baik atau good dan teori tentang kewajiban (obligation).
Keduanya bertalian dengan hati nurani. Bernaung di bawah filsafat moral
(Herman Soewardi 1999). Etika merupakan tatanan konsep yang melahirkan
kewajiban itu, dengan argumen bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan berarti
akan men- datangkan bencana atau keburukan bagi manusia. Oleh karena
itu, etika pada dasarnya adalah seperangkat kewajiban tentang kebaikan
(good) yang pelaksananya (executor) tidak ditunjuk. Executor-nya menjadi
jelas ketika sang subjek berhadap opsi baik atau buruk—yang baik itulah
materi kewajiban exekutor dalam situasi ini.
13.10. Ringkasan
Proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika,
merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan.
Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran
14.1. Deskripsi
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi
dan kebudayaan serta relevansinya terhadap ilmu Politik. Topik-topik tersebut
telah menjadi pembicaraan dan tidak henti-hentinya diperbincangkan. Baik
politik maupun ilmu pengetahuan, Teknologi dan Kebudayaan, keduanya
mempunyai hubungan yang saling mendasari perkembangan satu dan lainnya.
Dapat dikatakan bahwa ilmu, teknologi dan kebudayaan dipengaruhi dari
pemikiran politik saat ini.
14.7. Ringkasan
Penerapan teknologi tidak cukup hanya mengandalkan technical
know-how, tetapi selayaknya dan semestinya didukung oleh pengetahuan
mengenai keadaan sosial-
Abdurrahman, M. 2005. At-Tafkeer. Alih bahasa oleh Abu Faiz, Cet. I Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, Hal. 34.
Adib, Mohammad. 2009. Jatidiri Unair Telah Berhasil Disusun dalam
http://madib.blog.unair.ac.id/ethics/ jatidiri-ua-telah-berhasil-disusun/
Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya:
Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas
Airlangga.
Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan
Agama dalam Ilmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi.
Surabaya: Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB)
Universitas Airlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmadi, AsmoroDrs. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir. 1988. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung: Bina Cipta.
Daftar Pustaka
Populer. Jakarta: Sinar Harapan.
Suriasumantri, Jujuri S. 2003. Ilmu Dalam Perspektif.
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Suriasumantri, Jujun S. 2005. Filsafat
Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Dimensi Etik dan Asketik illmu Pengetahuan Manusia:
Kajian Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam (LESFI)
1985. Susunan Ilmu Pengetahuan Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Suseno dan Magnis, Franz. 1992. Filsafat sebagai llmu Kritis.
Yogyakarta: Kanisius (Anggota IKAPI)
Taryadi, Alfons. 1989. Epistemologi Pemecahan Masalah: Menurut Karl Popper.
Jakarta: Gramedia.
Taqiyuddin an-Nabhani. 2003. At-Tafkir, alih bahasa oleh Taqiyuddin as-Siba'I,
Cet. I (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2003), Hal. 31
Van Melsen, A.G.M. 1985. Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita.
Terjemahan K. Bertens, Judul Asli Wetenschap en Verantwoordelijkheid. Jakarta:
Gramedia
Verhaak, C. dan R. Haryono, Imam. 1989. Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah
Atas Kerja Ilmu. Jakarta: Gramedia.
Wallace, Walter L. 1984. Metoda Logika Ilmu Sosial. Jakarta: Bumi Aksara.
Wiener. P.P. 1953. Reading in Philosophy of Science. New York: Charles
Scribner's Sons.
A
antropologi 13, 59
Aksiologi 78 Anzahel 3
A.C. Ewing 43 AR Lacey 78
Abbas Hamami M Argumentum ad baculum
242 activity 47 190
aksiologi 23, 81 Argumentum ad hominem
Al-Battani 31 188
Al-farabi 3, 21, 31 argumentum ad hominem 2
Al-ghazali 3 189
Al-Khowarizmi 31 Argumentum ad ignoratiam
Al-kindi 3, 31, 41 195
Ali Mudhofir 38 Argumentum ad
aliran monisme 86 verecundiam 194
Amfiboli 185 Aristoteles 19, 27, 31, 34, 37,
Anaxagoras 82 72, 88, 149, 166, 206
Anaximander 81, 86 attitude 47
Anaximandros 26 Augustinus 19, 30
Angeles, Peter 55 Averroisme 31
Anton Bakker 87
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
B E.B. Taylor 59
B. Spinoza 82, 86 effects 47
Einstein 97
Babbie 134 eksistensialisme 119
Elwood 63
Bacon 31 Empedokles 82
Bacon, Francis 31, 179 empirisme 73
epistemologi 23, 41, 74, 75, 81
Baudrilland, Jean 248
Esensialisme 123
Benjamin, A, Cornelius 55
Berger, Peter 113 F
Berkeley 12 filsafat ilmu 70
Biesanz, John 59 Fransiscan Roger Bacon
Brooks, Harvey 253 4
C Freud 243
CA. Van Peurson G
52 Cassirer, Ernest G. Kemeny, John 49
88 Galilei, Galileo 12
Cicero 21 H. Gerard Van Cromona 4
Comte, August 122 Gordon 83
Conant, James B. 133 Guba 112
H
conclusions 47
H. Titus, Harold 38, 49
Copernicus 12
D Habermas 239
Darwinisme 217 Hanafi 3
David Hume 4 Hanbali 3
Descartes, Rene 10, 19, 22, Hebernas, Jurgen 120
37,
Heraklitus 27, 28, 34
77, 82118, 237
homo oeconomicus 59
Dewey, John 178
E
266 Daftar Pustaka
Horgan, John 80
L
Hume 5, 11, 12, 77 Lehrer, Keith 76
Husserl 239 Leibinz 82
I
Leonardo da Vinci 7
Ibnu Khaldun 3
Locke, John 178, 201
Ibnu Rusyd 31 M
Ibnu Sina 3, 4, 31, 39 M.J. Langeveld 42
Ignoratio elenchi 194 Maliki 3
Induksi 145, 147 Martir, Justinus 30
J Maslow 59
J. Bahm, Archie 47 Mavies 59
J.J. Rousseau 4 Metafisika 41
J.J.C.Smart 56 metafisisontology 119
John Locke 4 method 47
Josep Situmorang 238 Michelangelo 7
Jujun S. Suriasumantri Mill, John Stuart 166
50, monisme 82
70, 120 Montagu, Ashley 59
K
Mr. D.C. Mukler 42
Kant, Immanuel 18, 33, 37,
Muhammad Abdurrahman
82, 89, 118
140
Kattsoff, Louis 17, 42 N
Kebudayaan 253 N. Driyarkara S.J., 39
Klemens 30 naturalisme 73
Koherensi 121 Newton 4, 45
Konstruktivisme 124 Notonagoro 38
Korespondensi 121
Kuns, Thomas 80
Scheffler, Israel X
55 Senn, Peter R.
Xenophanes 27, 34
132 silogistik 10
268
Daftar Pustaka
Lampiran-lampiran
Lampiran-lampiran
270
mempunyai hubungan yang harmonis dan akur.
Krisis Relevansi Antropologi di Indonesia
Apa relevansi antropologi untuk Indonesia saat ini? Pertanyaan ini
seolah smash bola voli dari umpan tarik tidak terduga. Adalah dosen
senior antropologi Amri Marzali yang melontarkannya. Tampil sebagai
keynote speaker dalam 4th International Symposium of Jurnal
Antropologi Indonesia di Universitas Indonesia, 12-15 Juli 2005, Amri
merasa gelisah dan prihatin terhadap krisis relevansi yang sedang
menerpa disiplin antropologi, khususnya di Indonesia.
Menurutnya, krisis relevansi itu mencakup tiga hal. Pertama,
berkaitan dengan konsep utilitas dalam ilmu ekonomi atau kurang lebih
asas manfaat seperti dalam ilmu ekonomi. Hal ini berhubungan dengan
keadaan bahwa saat ini antropologi berkembang dalam masyarakat
yang berorientasi pasar. Kedua, berkaitan dengan kekuatan
explanatory, sampai seberapa jauh antropologi dapat menjelaskan
masalah-masalah sosial di lingkungannya secara ilmiah. Ketiga,
berhubungan dengan moral significance yang menyangkut cara dan
tujuan penggunaan antropologi. Tentu saja ini berhubungan dengan
etika keilmuan, yang menyangkut untuk apa dan siapa kegiatan
keilmuan dilakukan, untuk kejahatan kemanusiaan atau kemaslahatan.
Tulisan ini hendak memberikan beberapa catatan mengenai krisis
relevansi seperti yang telah diungkapkan. Pertama, kenyataan di
lapangan menunjukkan, belakangan
272Lampiran-lampiran
tinggi. Artinya, selain dianggap tidak terlalu menjanjikan di
satu sisi, juga bahwa antropologi belum bisa mempromosikan
dirinya sendiri sebagai pilihan favorit.
Kedua, selama ini antropologi masih menjadi disiplin
yang lebih berorientasi pada keilmuan an sich, dalam hal ini
sebagai ilmu humaniora atau sosial, yang basis utamanya
penelitian lapangan. Sudah saatnya untuk dipikirkan, selain
berorientasi keilmuan, antropologi juga mengembangkan diri
dengan berorientasi antropolog sebagai profesi. Istilah seperti
antropolog, sosiolog, bahkan juga geolog dan beberapa yang
lain pengertiannya bukanlah profesi, tetapi secara lazim
berkonotasi pada kepakaran atau keahlian.
Mereka biasanya berprofesi sebagai dosen dan atau
peneliti. Bandingkan dengan disiplin psikologi yang selain
berorientasi keilmuan dengan melahirkan para sarjana
psikologi, juga mencetak profesi psikolog. Oleh karena itu,
bukan sesuatu yang mengada-ada bagi antropologi untuk
memperluas orientasi akademisnya.
Tentu saja ini tidak semudah membalik telapak tangan.
Yang dibutuhkan adalah kerja keras, sehingga pada saatnya
masyarakat akan melihat antropologi sebagai pilihan yang
menjanjikan. Hal ini kiranya tidak jauh dari harapan Amri
Marzali agar antropologi tidak mengenyam- pingkan applied
anthropology, yang menurutnya sebagian ahli antropologi
mengkhawatirkan akan menurunkan gengsi disiplin ini.
Catatan lain, bahwa para sarjana antropologi juga
mempunyai pekerjaan rumah untuk menggeser citra yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini
adalah ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum
dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini
telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan
komunitas perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan kenyataan
yang tidak dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan
dengan antropologi terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas
terhadap berbagai masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai
dampak globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah
kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini,
yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa
memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini.
(Mohammad Rozi, Alumnus Program
Studi Antropologi pada Pascasarjana
UGM).
Lampiran-lampiran
Lampiran 2. Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan
April 10, 2008, Slank Sindir DPR dengan Lagu Gossip Jalanan Posted by
hipmala under Politik I Tag: Politik & Hukum I
Lampiran-lampiran
Apa bedanya dengan lirik lagu "wakil rakyat" dari Iwan Fals ?
bukankah sama ? Dan kalau anggota DPR yang terhormat tidak merasa
seperti yang DIGOSIPKAN (bukan yang dituduhkan), kan bisa cuek
saja...
Sebenarnya reaksi anggota DPR ini sangat berlebihan, mereka
menganggap bahwa dirinya orang yang paling berkuasa di negeri ini.
Memang, jika kita lihat dari tugas dan wewenangnya mereka mengawasi
pemerintah, membuat undang undang, menentukan gubernur BI,
memang akhir akhir ini porsi mereka cukup banyak di dunia perpolitikan,
tetapi ketika giliran digosipin (bukan dikritik, bukan diawasi), mereka
sudah kebakaran jenggot. Padahal bisa kita lihat di media televisi, tidak
sedikit dari mereka yang tidur ketika rapat. Padahal mereka DIGAJI oleh
rakyat. Apa ga punya malu....
Tapi memang tidak semua..dan bagi anggota DPR yang bekerja
dengan benar pasti gossip dari SLANK akan dianggap sebagai pemicu
untuk menjadi lebih baik lagi. Mestinya gosip dari slank dianggap saja
sebagai semacam kritikan yang membangun saja, itu kalo mereka mau
berpikir positif Coba deh kalau mereka mau jujur, mau melihat dengan
hati nurani, mau merenung dalam dalam, apakah mereka sudah berbuat
banyak untuk rakyat ? sudah memberi yang terbaik ? kita bisa menilai
sendiri.
jadi wajar jika rakyat mengkritik dan memberi saran, orang mereka
yang milih kita ko', apa mungkin saking banyaknya pekerjaan sehingga
mereka lupa akan dirinya sendiri. MJR ( Mak Jelas Remang-Remang).
dari berbagai sumber
FiIsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Biodata Penulis