ILMU
Drs. H.MohammadAdib, MA.
Filsafat
ILMU Ilmu Pengetahuan
Epistemologi,
PERPUSTAKAAN UIN
SUNAN KALIJAGA
APBN: _/ DEC 2011
PUSTAKA PELAJAK
FILSAFAT ILMU
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan
Edisi ke-2
Cetakan I Februari 2010 Cetakan II Februari 2011
Penulis
Drs. H. Mohammad Adib, MA.
Desain Cover
Digi Art Yogya
Tata Aksara
Dimaswids
Penerbit
PUSTAKA PELAJAR Celeban Timur UH III/548 Yogyakarta 55167 Telp. (0274) 381542;
Fax (0274) 383083 E-mail: pustakapelajar@telkom.ne
Pengantar Penulis
Telah lebih dari dua dekade terakhir, bergulat dalam pembelajaran sebagai pengajar
dan penanggung jawab mata kuliah Filsafat Ilmu di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Airlangga, dan sejumlah perguruan tinggi lainnya. Sesungguhnya, kajian-
kajian tentang Filsafat Ilmu yang penulis lakukan dalam kurun waktu tersebut, terasa
semakin bermakna apabila disusun dalam uraian tulisan dan penjelasan yang detail.
Uraian buku ini merupakan sejumlah materi yang telah dikembangkan, diluaskan,
dan didalamkan pada mata kuliah tersebut, yang sebelumnya telah diterbitkan (2007 dan
2008) dengan judul Filsafat Ilmu dan Logika. Pada penerbitan ini, judul diubah sesuai
dengan isi yang terdapat di dalamnya, sehingga judul yang dipilih adalah Filsafat Ilmu:
Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Judul ini terasa lengkap
sebagai landasan utama dalam membahas filsafat ilmu, melalui empat pilar
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
utamanya.
Buku di hadapan pembaca ini dipilahkan dalam empat belas bab yang masing-
masingnya terdapat sub-bab yang kesemuanya menjelaskan judul buku yakni Filsafat Ilmu.
Pada masing-masing bab diuraikan tentang deskripsi pokok bahasan, tujuan pembelajaran,
bagian isi dan diakhiri dengan ringkasan. Pencantuman sumber pustaka yang dijadikan
rujukan dalam pembahasan, disajikan dalam bagian akhir buku ini yakni setelah bab yang
ke- 14. Pencantuman daftar pustaka, diharapkan dapat dilakukan penelusuran lebih lanjut.
Pada bab pertama buku ini, menjelaskan tentang sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan, dilanjutkan dengan perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad ke- 17,
aspek-aspek positif semangat renaissance, pandangan David Hume tentang sains is power.
Bab kedua buku ini menjelaskan tentang objek studi filsafat dan ilmu pengetahuan
yang dijelaskan objek dan sudut pandang filsafat, kegunaan filsafat bagi manusia,
pengertian ilmu pengetahuan, objek dan sudut pandang pengetahuan, pengertian dan asal
filsafat, arti filsafat, sejarah filsafat, perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, corak-
corak pemikiran filsafat zaman Yunani kuno, karakteristik pemikiran zaman patristik,
sumbangan pemikiran Filsafat Islam pada abad pertengahan, dan perbedaan pemikiran
zaman modern dan kontemporer.
Pada bab ketiga, dijelaskan tentang filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu yang dijabarkan
dalam pengertian dan kegunaan filsafat baik secara etimologi maupun secara terminologi,
Pengantar Penulis
vi
Bab kedua belas, dijelaskan tentang filsafat ilmu dan teknologi, pengertian filsafat
teknologi, teori kuda liar teknologi, hakikat efisiensi, hakikat kualitas produk, dan
hubungan teknologi dan civility.
Bab ketiga belas menjelaskan tentang moralitas ilmu pengetahuan tanggung jawab
ilmuwan, problem etika ilmu pengetahuan, ilmu apakah bebas nilai atau tidak bebas nilai,
sikap ilmiah yang harus dimiliki ilmuwan, moralitas ilmu pengetahuan, pengingkaran dan
perlawanan etika, dan masalah kejahatan sempurna.
Bab keempat belas menjelaskan tentang filsafat, iptek, dan budaya dengan
menguraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan, hubungan
antara kebudayaan dengan teknologi, hubungan antara ilmu dengan teknologi, hubungan
antara ilmu dengan kebudayaan.
Pada Cetakan kedua ini, dilakukan perbaikan-perbaikan antara lain penataan atau
penempatan kembali beberapa sub-bab yang relevan, terutama pada bagian pembahasan
Logika. Perbaikan juga dilakukan berupa koreksi redaksional, juga penambahan sejumlah
daftar pustaka. Yang juga baru adalah Kata Pengantar dari Prof. Dr. Suhartono Taat Putra,
dr., MS. Seorang dosen senior di FK Unair yang juga mengajar Filsafat Ilmu di berbagai
perguruan tinggi termasuk di Universitas Airlangga.
Buku ini bermanfaat bagi para pembelajar, dosen, mahasiswa, dan para pemerhati di
bidang sosial, budaya, dan politik.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Tiada gading yang tak retak, materi inilah yang dapat disajikan dalam pembelajaran
ini.
Akhirnya, perkenankanlah saya menyampaikan terima kasih yang seagung-agungnya
kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penyediaan buku ini. Terutama
kepada teman dosen di Universitas Airlangga antara lain Drs. I Nyoman Naya Sujana, MA.,
Drs. Budi Setiawan, MA., Listiyono Santoso, S.S., M.Hum., juga segenap mahasiswa yang
berapresiasi dalam pelaksanaan pembelajaran filsafat ilmu. Terima kasih pula kepada
Penerbit Pustaka Pelajar yang berkenan menerbitkan buku ini. Manfaat yang signifikan
semoga dapat ditumbuhkembangkan melalui buku ini.
Surabaya, April 2009 Mohammad Adib
Pengantar Penulis
x
Kata Pengantar
Mengapa manusia itu berfilsafat? Ini pertanyaan mendasar yang melandasi manusia
memikirkan filsafat. Ada tiga hal yang mendorong manusia untuk berfilsafat, yaitu rasa
kagum, keraguan, dan kesadaran akan keterbatasan diri. Bila pengetahuan dimulai dari
rasa ingin tahu, dan kepastian dimulai dari rasa ragu maka filsafat dimulai dari keduanya.
Jelas kiranya bahwa filsafat merupakan kebutuhan manusia untuk memenuhi rasa ingin
tahu dan mendapatkan manfaat dari hidup dan kehidupannya.
Setelah lama rasa ingin tahu manusia dipenuhi dengan jawaban yang tidak rasional,
berupa tahayul dan mitos maka mulai timbul dalam diri manusia rasa tidak puas dengan
jawaban demikian. Selanjutnya manusia mulai memberdayakan akalnya untuk mencari
tahu dan memperoleh manfaat lebih. Pemberdayaan akal tersebut dilakukan dengan cara
melakukan perenungan reflektif- intuitif yang mengarah ke rasional sebagai upaya mencari
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
kebenaran atas jawaban rasa ingin tahunya. Perkembangan filsafat bergerak dari dongeng
yang penuh dengan tahayul dan mistik menuju ke arah hasil pemikiran rasional.
Selanjutnya perkembangan ini terus bergerak ke penalaran rasional ilmiah yang
memunculkan pemahaman sciense is power. Apakah perkembangan filsafat akan berakhir
pada puncak hasil penalaran ilmiah, yang berupa ilmu pengetahuan dan teknologi dan
filsafat sudah tidak diperlukan lagi?
Alam semesta ini selalu berubah dalam keteraturan, keberadaannya tentu ada yang
menciptakan dan mengatur. Siapa yang mengadakan dan mengatur dan kemanakah alam
semesta yang selalu berubah ini akan berakhir? Jawaban atas pertanyaan demikian
dimulai dari dongeng, tahayul atau mitos. Pertama kali Filsuf Yunani yang keluar dari
mitos adalah Thales (624-548 SM) dengan pemikiran falsafahnya bahwa arche is water.
Filsuf ini melihat dan memahami bahwa semua makhluk hidup, baik manusia, hewan
maupun tumbuhan memerlukan air. Anaxi- mandros (610-540) mulai mengembangkan
intuisinya sampai pada tataran ilahi yang kekal tak terubahkan. Hasil perenungan
Anaximandros mendapatkan pemahaman bahwa arche atau azas alam semesta ini adalah to
apeiron, sesuatu yang paling awal dan abadi, yang tidak terbatas, bersifat ilahi, yang abadi
dan tidak terubahkan. Pemahaman demikian semakin dicerahkan oleh filsuf Xenopanes
(580-470 SM) bahwa semua ini berasal dari satu, yang satu itu lebih tinggi dari apeiron,
yaitu Tuhan yang satu, yang memeluk makhluk sekalian alam semesta.
Pengantar Penulis
xii
Penjelajahan manusia dalam mencari kebenaran hidup dan kehidupan ini sampailah
pada kesepahaman tentang suatu kebenaran. Pada tataran menyatakan kebenaran maka
terjadi kesepakatan untuk tidak sepakat, karena muncul beberapa mashab, yaitu mashab
rasionalis, emperis, dan kritisis. Mashab rasionalis menyatakan bahwa sesuatu dianggap
benar manakala logis. Mashab ini dipelopori oleh Thales dan mencapai puncak ketenaran
pada zaman Socrates-Plato dan Aristoteles. Hal demikian berbada dengan mashab Emperis,
yang menyatakan bahwa pengetahuan yang bermanfaat, pasti dan benar manakala
diperoleh lewat indera. Mashab yang dipelopori oleh Francis Bacon, Thomas Hobbes, John
Locke dan David Hume (1561-1776) ini sepakat bahwa pengetahuan yang benar adalah
yang indrawi. Menurut John Locke semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Akal
ibarat kertas putih yang ditulisi pengalaman melalui proses kerjasama antara refleksi
(pengenalan intuitif dari jiwa) dan sensasi (pengenalan dari luar) sehingga lahir ide.
Immanuel Kant (1724-1804) sepakat mengakui peran akal dan empiri. Bila keduanya
dipadukan dan difungsikan secara benar, empiri berfungsi menangkap objek dan akal
berfungsi mengelola tangkapan objek tersebut secara benar maka akan diperoleh
pengetahuan yang benar dan akurat. Mashab tersebut telah banyak membantu manusia
dalam mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan.
Selanjutnya, apa, bagaimana dan untuk apa ilmu pengetahuan ada dalam kehidupan
manusia, pembaca saya persilahkan untuk membaca lanjut dalam buku Filsafat
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Ilmu yang ditulis oleh Saudara H Mohammad Adib, Drs, MA. Penulisan buku tersebut telah
menguraikan ontologi, epistemologi, aksiologi dan logika ilmu pengetahuan secara rinci dan
jelas. Selamat mencerahkan pikiran dan penalaran, terutama bagi pemula yang mulai
menyenangi Filsafat Ilmu.
Surabaya, 20 Oktober 2009
Prof. Dr. Suhartono Taat Putra, dr, MS.
Ketua Grha Masyarakat Ilmiah (Gramik)
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga
Daftar Isi
Daftar Isi—xv
Renaisans — 1
1.1. Deskripsi — 1
1.2. Tujuan Pembelajaran — 2
1.3. Sejarah Perkembangan Ilmu Pengetahuan —2
1.4. Perkembangan Ilmu Pengetahuan Setelah Abad ke-17 — 4
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance — 6
1.6. David Hume: "Science is Power" — 11
1.7. Relevansinya Dengan Ilmu Antropologi — 13
1.8. Ringkaksan — 14
Bab II
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahuan — 15
2.1. Deskripsi — 15
2.2. Tujuan Pembelajaran — 16
2.2.1. Objek dan Sudut Pandang Filsafat — 16
2.2.2. Kegunaan Filsafat bagi Manusia — 17
2.2.3. Pengertian Ilmu Pengetahuan — 17
2.2.4. Objek dan Sudut Pandang Pengetahuan — 17
2.3. Pengertian dan Asal Filsafat — 18
2.3.1 Arti Filsafat — 18
2.3.2. Asal Filsafat — 18
2.4. Sejarah Filsafat — 19
2.5. Perkembangan Filsafat — 21
2.6. Perkembangan Ilmu Pegetahuan — 23
2.7- Corak-Corak Pemikiran Filsafat Zaman Yunani
Kuno — 26
2.7.1. Parmenides pada Abad ke-5 (+ 515 - 450 SM) - 27
2.7.2. Xenophanes pada Abad ke-6 (± 560 - 478 SM) - 27
2.7.3. Thales pada Abad ke-7 (±625 - 547 SM) — 27
2.7.4. Aristoteles pada Abad ke-4 (384-322 SM) —
28
2.7.5. Heraklitus (± 515 - 450) — 28
2.7.6. Phytagoras (± 581 - 507) - 29
2.8. Karasteristik Pemikiran Zaman Patristik — 29
2.9. Sumbangan Pemikiran Filsafat Islam Pada Abad
Pertengahan — 30
___________________________________________________________________
Daftar Is
i
2.13. Ringkasan — 33
Bab III
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 35
3.1. Deskripsi — 35
3.2. Tujuan Pembelajaran — 36
3.3. Pengertian dan Kegunaan Filsafat — 36
3.3.1. Pengertian Secara Etimologi — 36
3.3.2. Pengertian Secara Terminologi — 37
3.3.3. Kegunaan Filsafat — 39
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat — 40
3.3.5. Ruang Lingkup Filsafat — 42
3.3.6. Karakteristik Pemikiran Kefilsafatan — 44
3.4. Pengertian Ilmu dan Filsafat Ilmu — 45
3.4.1. Definisi Ilmu — 49
3.4.2. Cabang-Cabang Ilmu — 50
3.4.3. Macam-macam Ilmu Pengetahuan — 52
3.4.4. Objek Material dan Objek Formal Ilmu — 53
3.5. Filsafat Ilmu — 54
2.5.1. Sejarah Filsafat Ilmu — 55
3.5.2. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu — 55
3.5.3. Perbedaan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu — 56
3.5.4. Tujuan Pendidikan Filsafat dan Filsafat Ilmu — 58
3.5.5.
3.5.6.
3.5.7.
Hubungan Filsafat, Ilmu, Filsafat Ilmu dengan Antropologi
— 59
Hubungan Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu dengan Ilmu Politik
— 60
Hubungan Antara Ilmu Alam, Sosial, dan Humaniora — 62
3.6. Ringkasan — 64
Bab VI
Teori Kebenaran Ilmu Pengetahuan — 7 77
6.1. Deskripsi — 117
6.2. Tujuan Pembelajaran — 117
6.3. Teori Kebenaran — 118
6.3.1. Koherensi — 121
6.3.2. Korespondensi — 121
6.3.3. Postivisme — 122
6.3.4. Pragmatisme — 123
6.3.5. Esensialisme — 122
6.3.6. Konstruktivisme — 124
6.3.7. Religiusisme — 124
6.4. Relevansinya dengan Antropologi — 126
6.5. Ringkasan — 127
Bab VII Logika Ilmu dan Metode Berpikir Ilmiah — 729
7.1. Deskripsi — 129
7.2. Tujuan Pembelajajran — 130
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
7.3. Hakekat Berpikir dan Medote Berpikir Ilmiah — 130
7.3.1. Hakekat Berpikir — 130
7.3.2. Pengertian Metode Berpikir Ilmiah — 132
7.4. Bahasa Keilmuan — 135
7.5. Model dan Kriteria Metode Berpikir Ilmiah — 137
7.6. Kelemahan-kelemahan Metode Berpikir Ilmiah — 138
7.7. Metode Berpikir Rasional: Asas dalam Berpikir — 140
7.8. Hal-Hal yang Harus Diperhatikan Dalam Penggunaan Metode Rasional
— 141
7.9. Ringkasan — 142
Bab VIII
Pola Penalaran Langsung dan Tidak Langsung — 745
8.1. Deskripsi — 145
8.2. Tujuan Pembelajaran — 145
8.3. Pengertian Logika — 145
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah —146
8.3.2. Macam-macam Logika — 148
8.3.3. Kegunaan Logika — 148
8.4. Penalaran Langsung — 149
8.5. Penalaran Tidak Langsung — 150
8.6. Implisit dan Eksplisit suatu Term dalam Proposisi — 150
8.7. Jenis Pola Penalaran Tidak Langsung — 151
8.7.1. Conversi — 152
8.7.2. Obversi — 155
8.7.3. Kontraposisi — 157
Inversi — 15
8.7.4.
Daftar Isi
8
Bab IX
Pola Penalaran Induksi — 165
9.1. Deskripsi — 165
9.2. Tujuan Pembelajaran — 166
9.3. Pengertian Penalaran Induksi — 166
9.4. Prinsip-prinsip Penalaran Induksi — 166
9.5. Generalisasi Induksi dan Analogi Induksi — 168
9.5.1. Generalisasi Induksi — 168
9.5.2. Analogi Induksi — 169
9.5.3. Faktor Probabilitas dalam Penalaran Induksi — 171
9.5.3.1. Jumlah Fakta sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.2. Faktor Analogi sebagai Faktor Probabilitas —
171
9.5.3.3. Faktor Dis-analogi sebagai Faktor Probabilitas — 172
9.5.3.4. Luas dan Sempitnya kesimpulan sebagai Faktor
Probabilitas — 172
9.6. Studi Kasus — 173
9.7. Ringkasan — 175
u 10.3.1.1.
10.3.1.2.
Kesesatan Formal — 182
Kesesatan Material — 182
10.4 Kesesatan Bahasa — 182
10.4.1. Kesesatan Aksentuasi — 183
10.4.2. Kesesatan Aksentuasi Verbal — 183
10.4.3. Kesesatan Aksentuasi non-verbal — 183
10.4.4. Kesesatan Ekuivokasi — 184
10.4.4.1. Kesesatan Ekuivokasi Verbal - 184
10.4.4.2. Kesesatan Ekuivokasi Non-Verbal — 185
10.4.4.3. Kesesatan Amfiboli — 185
10.4.4.4. Kesesatan Metaforis — 186
10.5. Kesesatan Relevansi — 187
10.5.1. Argumentum ad Hominem 1 — 188
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2 — 189
10.5.3. Argumentum ad Baculum — 190
10.5.4. Argumentum ad Misericordiam — 192
10.5.5. Argumentum ad Populum — 192
10.5.6. Argumentum Auctoritatis — 193
10.5.7. Argumentum ad Verecundiam — 194
10.5.8. Ignoratio Elenchi — 194
10.5.9. Argumentum ad Ignoratiam — 195
10.5.10. Petitio Principii — 195
10.5.11. Kesesatan non Causa Pro Causa (Post Hoc Ergo Propter Hoc/False
Cause) — 196
10.5.12. Kesesatan Aksidensi — 297
Kesesatan karena Komposisidan Divisi — 19
10.5.13.
Daftar Isi
7
Bab XI
Etika Ilmu —203
11.1. Deskripsi — 203
11.2. Tujuan Pembelajaaran — 205
11.3. Pengertian Etika — 205
11.4. Hubungan antara Ilmu dan Etika — 208
11.5. Membangun Masyarakat Ilmiah — 209
11.6. Menuju Mayarakat Berbudaya Ilmu Pengetahuan — 211
11.6.1. Kebudayaan dan Pendidikan — 211
11.6.2. Ilmu Pengetahuan dan Pengembang Kebudayaan — 213
11.6.3. Nilai Ilmiah dan Pengembangan Kebudayaan Nasional —
214
11.6.4. Dampak Intelektual — 216
11.6.5. Dampak Sosial Praktis — 218
11.6.6. Watak Intelektual — 218
11.6.7. Kecenderungan Pragmatis — 219
11.7. Relevansi Etika Ilmu
dengan Ilmu Antropologi — 219
11.8. Ringkasan — 221
Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan — 229
13.1. Deskripsi — 229
13.2. Tujuan Pembelajaran — 229
13.3. Tanggung Jawab Ilmuwan — 230
13.4. Problem Etika Ilmu Pengetahuan — 236
13.5. Ilmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai — 237
13.6. Sikap Ilmiah yang Harus Dimiliki Ilmuwan — 240
13.7. Moralitas Ilmu Pengetahuan — 243
13.8. Pengingkaran dan Perlawanan Etika — 245
13.9. Masalah Kejahatan Sempurna — 248
13.10. Ringkasan — 249
14.4.
14.5.
14.6.
14.7.
Hubungan antara Kebudayaan dengan Teknologi — 253
Hubungan antara Ilmu dengan Teknologi — 1
Hubungan antara Ilmu dengan Kebudayaan — 255
Ringkasan — 255
Bab 1
1.1. Deskripsi
Filsafat merupakan suatu ilmu pengetahuan yang bersifat
ekstensial artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan
kita sehari-hari. Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang
menjadi motor penggerak kehidupan kita sehari-hari sebagai
manusia pribadi maupun sebagai manusia kolektif dalam
bentuk suatu masyarakat atau bangsa.
Dalam konteks filsafat hidup, orang selalu memper-
timbangkan hal-hal yang penting dan terpenting sebelum
menetapkan keputusan untuk berperilaku. Hal-hal yang
terpenting tersebut tergolong yang esensial. Dalam pengertian
ini hal-hal yang esensial terliput dalam pengertian filsafat.
1.2.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan tentang
(i) sejarah perkembangan ilmu pengetahuan;
(ii) perkembangan ilmu pengetahuan setelah abad 17; dan
(iii) aspek-aspek positif semangat renaissance.
hanya menjadi otoritas gereja, gereja dan para raja yang berhak
mengatakan dan menjadi sumber kebenaran, Perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa ini sempat mengalami keterpurukan,
karena, terjadi pembatasan kebebasan seseorang dalam berpikir dan
berkarya.
Ketiga, adalah periode kebangkitan Islam (Abad 6-13 M), pada
masa ini dunia Kristen Eropa mengalami kegelapan, ada juga yang
menyatakan periode ini sebagai periode pertengahan. Masa keemasan
atau kebangkitan Islam ditandai dengan banyaknya ilmuwan-
ilmuwan Islam yang ahli dibidang masing-masing, berbagai buku
ilmiah diterbitkan dan ditulis. Di antara tokoh-tokoh tersebut adalah
Hanafi, Maliki, Syafii, dan Hanbali yang ahli dalam hukum Islam, Al-
farabi ahli astronomi dan matematika, Ibnu Sina ahli kedokteran
dengan buku terkenalnya yaitu The Canon of Medicine. Al-kindi ahli
filsafat, Al-ghazali intelek yang meramu berbagai ilmu sehingga
menjadi kesatuan dan kesinambungan dan mensintesis antara
agama, filsafat, mistik dan sufisme.
Ibnu Khaldun ahli sosiologi, filsafat sejarah, politik, ekonomi,
sosial dan kenegaraan. Anzahel ahli dan penemu teori peredaran
planet. Tetapi setelah perang salib terjadi umat Islam mengalami
kemunduran, umat Islam dalam keadaan porak-poranda oleh
berbagai peperangan.
Keempat, adalah periode kebangkitan Eropa (Abadl4- 20). Pada
masa ini Kristen yang berkuasa dan menjadi sumber otoritas
kebenaran mengalami kehancuran, abad kemunduran umat Islam
berbagai pemikiran Yunani muncul, alur pemikiran yang mereka
anut adalah
masam. Anda ambil lagi dan mencicipi, terasa masam juga, anda
ambil satu lagi dan setelah dicicipi maka terasa masam juga. Anda
lakukan terus hal tersebut hingga apel kesembilan dan semuanya
terasa masam. Tinggal satu apel, Anda cenderung akan meyakini
bahwa apel terakhir itu juga akan terasa masam. Apakah ini logis?
Jelas tidak. Apel terakhir dapat masam, tetapi dapat juga manis.
Bahwa apel sebelumnya terasa masam tidak berarti bahwa apel
terakhir terasa masam juga.
Meski demikian dalam kondisi tersebut tentu kita akan
cenderung berpendapat bahwa apel terakhir terasa masam, walau
kita belum mencicipinya.
Perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat lepas dari induksi.
Pengembangan teori juga tidak pernah lepas dari induksi. Artinya
ilmu pengetahuan dan teori juga mengandung problem.
Sewaktu Hume mengungkapkan Problem of Induction tersebut,
dunia ilmu pengetahuan geger... untuk sementara... kemudian tenang
lagi. Mengapa? Karena meskipun Problem of Induction itu secara nalar
nyata adanya, namun dianggap tidak memengaruhi perkembangan
ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi meskipun berproblem, ilmu penge-
tahuan tetap dapat berkembang dan menghasilkan teknologi yang
berguna untuk kehidupan manusia.
Artinya, ilmu pengetahuan memang mempunyai banyak celah
untuk kesalahan. Karena sesungguhnya ilmu pengetahuan dapat
mencapai kebenaran pada tataran probabilitas (kemungkinan).
Kesimpulannya, mencari kebenaran adalah hal yang
tidak mudah dan dapat berbahaya, namun lebih berbahaya lagi jika
kita berasumsi bahwa kebenaran mutlak sudah ada di tangan kita.
1.5. Aspek-Aspek Positif Semangat Renaissance
Renaisans adalah suatu periode sejarah yang mencapai titik
puncaknya kurang lebih pada tahun 1500. Perkataan "renaisans"
berasal dari bahasa Prancis Renaissance yang artinya adalah "lahir
kembali" atau "kelahiran kembali". Yang dimaksudkan adalah
kelahiran kembali budaya klasik terutama budaya Yunani kuno dan
budaya Romawi Kuno yang dapat melakukan kegiatan pemikiran
secara bebas tentang segala kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, termasuk kehidupan bertuhan.
Masa ini ditandai oleh kehidupan yang cemerlang di bidang seni,
pemikiran maupun kesusastraan yang menge-
1
0
1
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
1
1
3
1.8. Ringkasan
Bab II
2.1. Deskripsi
Antara teologi dan ilmu pengetahuan terletak dalam suatu
daerah tidak bertuan. Daerah ini diserang baik oleh teologi maupun
ilmu pengetahuan. Daerah tidak bertuan ini disebut "Filsafat"
(Bertrand Russell). Makin banyak manusia tahu, makin banyak pula
pertanyaan yang timbul. Manusia ingin tahu tentang asal-usul dan
tujuan, tentang dia sendiri tentang nasibnya, tentang kebebasan dan
kemungkinan-kemungkinannya. Namun, dengan ke- majuan Ilmu
pengetahuan yang luas, sejumlah pertanyaan manusia masih tetap
terbuka dan sama aktualnya seperti pada ribuan tahun yang lalu.
Seperti diungkapkan dalam sajak kuno:
Aku datang — entah dari mana Aku ini —
entah siapa Aku pergi — entah kemana
Aku akan mati —entah kemana
dibedakan menjadi empat (4) periode terdiri dari: (i) Zaman kuno, (ii)
Zaman Patristik dan skolastik, (iii) Zaman modern, dan (iv) Zaman
sekarang.
Filsafat Barat Zaman kuno (600-400 SM), terdiri dari Filsafat pra
Socrates di Yunani; Zaman keemasan Yunani: Socrates, Plato,
Aristoteles; dan Zaman Hellenisme.
Filsafat Barat Zaman Patristik dan Skolastik (400- 1500), terdiri
dari pemikiran Bapa Gereja; dan puncak filsafat abad pertengahan
dalam Skolastik.
Filsafat Barat Zaman Modem (1500-1800) terdiri dari Zaman
modern (renaisance), Zaman Barak, Zaman Fajarbudi, dan Zaman
Romantik.
Filsafat Barat Zaman sekarang (setelah ±1800) yaitu Filsafat
abad kesembilan belas dan dua puluh.
Satu hal yang menonjol ialah baik di India, Cina, maupun dalam
dunia Barat hidup intelektual menjadi dewasa, (dengan melepaskan
diri dari corak berpikir "mistis") dalam periode antara 800 dan 200
SM. Itu antara lain kelihatan dalam seni dan dalam berbagai ilmu
yang lahir sejak zaman renaisance yang mempunyai kenyataan
manusiawi sebagai objeknya: ekonomi, sosiologi, psikologi,
psikoanalisis, dan seterusnya. Semua ini telah menghasilkan ilmu
pengetahuan yang luas tentang manusia.
dan menderita kejang? Lagu "nina bobo" apa yang harus kita
nyanyikan agar dia tertidur lelap?
Pada masyarakat yang masih sederhana (primitif), pembedaan
antara berbagai organisasi masyarakat belum tampak, seorang ketua
suku umpamanya, dapat merangkap hakim, penghulu, atau bahkan
seorang guru besar. Pada kurun waktu tersebut tidak terdapat
pembedaan antara berbagai pengetahuan. Pokoknya segala apa yang
kita ketahui adalah pengetahuan. Apakah itu cara mengobati sakit
gigi, menentukan kapan mulai bercocok tanam atau biografi para
dewa di kahyangan. Pokoknya semua adalah satu apakah itu
objeknya, metode atau kegunaannya.
Dalam berkembangnya abad penalaran maka konsep dasar
berubah dari kesamaan kepada pembedaan. Mulailah terdapat
pembedaan yang jelas antara berbagai pengetahuan yang
mengakibatkan timbulnya spesialisasi pekerjaan* dan
konsekuensinya mengubah struktur kemasyarakatan. Pohon
pengetahuan mulai dibeda-bedakan tidak berdasarkan pada apa yang
diketahui, bagaimana cara mengetahui, dan untuk apa pengetahuan
itu dipergunakan.
Setiap jenis ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik
mengenai apa (ontologi), bagaimana (epistemologi) dan untuk apa
(aksiologi) pengetahuan tersebut disusun. Ketiga landasan ini saling
berkaitan; jadi ontologi ilmu terkait dengan epistemologi ilmu dan
epistemologi ilmu terkait dengn aksiologi ilmu dan seterusnya. Jadi
kalau kita ingin membicarakan epistemologi ilmu, maka hal ini harus
dikaitkan dengan ontologi dan aksiologi ilmu.
Berdasarkan landasan ontologi dan aksiologi seperti
Objek Studi Filsafat dan Ilmu Pengetahua
24
n
2
8
2.12. Ringkasan
Sejarah perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan terdiri
dari berbagai periode, antara lain periode atau masa
3
4
Bab III
3.1. Deskripsi
Untuk mengetahui perbedaan antara filsafat, ilmu, dan filsafat
ilmu, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui definisi-definisi
filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu.
Filsafat adalah suatu pengetahuan yang bersifat eksistensial
artinya sangat erat hubungannya dengan kehidupan kita sehari-hari.
Bahkan, dapat dikatakan filsafatlah yang menjadi motor penggerak
kehidupan kita sehari-hari baik sebagai manusia pribadi maupun
sebagai manusia kolektif dalam suatu masyarakat atau bangsa.
Kata ilmu merupakan terjemahan dari kata "science" artinya "to
know". Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk
menunjukkan ilmu pengetahuan alam yang bersifat kuantitatif dan
objektif. Ilmu dikatakan rasional, karena ilmu merupakan hasil dari
proses berpikir dengan menggunakan akal, atau hasil berpikir secara
rasional.
Filsafat ilmu merupakan bagian epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilm
u
Filsafat ,
segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan- persoalan mengenai
Ilmu, dan Filsafat Ilmu
segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu
dengan segala segi kehidupan manusia.
Krisis ilmu pengetahuan ditandai oleh: (i) tidak ada temuan baru
setelah temuan C. Darwin dan A. Einstein. Semua temuan dan teori
baru merupakan turunan teori- teori Evolusi Darwin dan teori
Relativitas Einstein; (ii) Ilmu dengan teori-teorinya gagal atau tidak
mampu menjelaskan gejala alam dan non-alam (gagal menjelaskan
krisis-krisis kemanusiaan); (iii) terjadi krisis moralitas dan kejahatan
dalam dunia ilmu yang terus meluas.
Dengan belajar filsafat semakin menjadikan orang mampu
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar manusia yang
tidak terletak dalam wewenang metode-metode ilmu khusus. Jadi,
filsafat membantu manusia mendalami pertanyaan asasi manusia
tentang makna realitas dan ruang lingkupnya. Kemampuan itu
dipelajari melalui dua jalur, yaitu secara sistematik dan secara
historis.
Kegunaan filsafat dapat dibagi dua, yakni kegunaan secara
umum dan secara khusus. Kegunaan secara umum dimaksudkan
manfaat yang dapat diambil oleh orang yang belajar filsafat dengan
mendalam sehingga mampu memecahkan masalah-masalah secara
kritis tentang segala sesuatu. Kegunaan secara khusus dimaksudkan
untuk memecahkan suatu objek di Indonesia. Jadi, khusus diartikan
terikat oleh ruang dan waktu, umum dimaksudkan tidak terikat oleh
ruang dan waktu.
3.3.4. Cabang-Cabang Filsafat
Cabang filsafat yang diuraikan pada bagian ini adalah: (i)
Epistemologi; (ii) Metafisika; (iii) Logika; (iv) Etika; dan (v). Estetika.
beda-beda, bahkan dalam banyak hal tertentu harus berbeda. Justru itulah
merupakan penghampiran menurut objek formal. Sebaliknya tentang objek
materiil, objeknya jelas sehingga metode yang digunakanpun jelas dan tidak
banyak mengalami ketimpangan.
Apa yang merupakan objek dan ruang lingkup ilmu? Ilmu membatasi
lingkup pada batasan pengalaman manusia juga disebabkan metode yang
dipergunakan dalam menyusun kebenaran yang secara empiris. Secara
ontologis ilmu membatasi diri pada pengkajian yang berada dalam lingkup
pengalaman manusia.
Objek dari ilmu itu sendiri adalah ilmu merupakan suatu berkah
penyelamat bagi umat manusia. Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak
mengenal baik buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang mempunyai
sikap. Atau dengan kata lain, netralitas ilmu terletak pada epistemologinya,
jika hitam katakan hitam, jika putih katakan putih; tanpa berpihak pada siapa
pun selain kebenaran.
3.5. Filsafat llmu
Filsafat dan ilmu yang dikenal di dunia Barat berasal dari zaman
Yunani Kuno. Pada zaman itu keduanya termasuk dalam pengertian
episteme. Kata philosophia merupakan suatu kata padanan dari episteme.
Istilah lain dari filsafat ilmu adalah theory of science (teori ilmu), meta
science (adi-ilmu), science of science (ilmu tentang ilmu).
The Liang Gie mendefinisikan bahwa filsafat ilmu
Filsafat, llmu, dan Filsafat Ilmu
suatu pandangan atau teori yang sering tidak bertujuan praktis, tetapi
teoretis. Filsafat selalu memandang sebab- sebab terdalam, tercapai dengan
akal budi murni. Filsafat membantu untuk mendalami pertanyaan asasi
manusia tentang makna realitas dan ruang lingkupnya yang dapat dipelajari
secara sistematik dan historis.
Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. Ilmu membuka
mata kita terhadap berbagai kekurangan. Ilmu tidak mengikat apresiasi kita
terhadap ilmu itu sendiri. Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang
disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji secara empiris. Ilmu
harus diusahakan dengan aktivitas manusia, aktivitas itu harus
dilaksanakan dengan metode tertentu, dan akhirnya aktivitas metodis itu
mendatangkan pengetahuan yang sistematis. Kesatuan dari interaksi di
antara aktivitas, metode, dan pengetahuan dapat digambarkan sebagai
bagan segitiga penyusun menjadi ilmu.
Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran yang reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat
ilmu merupakan suatu telaah kritis terhadap metode yang digunakan oleh
ilmu tertentu terhadap lambang-lambang dan struktur penalaran tentang
sistem lambang yang digunakan. Filsafat ilmu adalah upaya untuk mencari
kejelasan mengenai dasar-dasar konsep, sangka wacana dan postulat
mengenai ilmu. Filsafat ilmu merupakan studi gabungan yang terdiri atas
beberapa studi yang beraneka macam yang ditunjukkan untuk menetapkan
batas yang
5
7
dikuasainya.
3.5.5. Hubungan Filsafat, llmu, Filsafat llmu dengan
Antropologi
muka bumi. Manusia mempunyai budi yang merupakan pola kejiwaan yang
di dalamnya terkandung "dorongan- dorongan hidup" yang dasar, insting,
perasaan, dengan pikiran, kemauan, dan fantasi. Budi inilah yang
menyebabkan manusia mengembangkan suatu hubungan yang bermakna
dengan alam sekitarnya dengan jalan memberi penilaian terhadap objek dan
kelebihan.
Nilai-nilai budaya ini adalah dari kebudayaan dan menjadi dasar dari
segenap wujud kebudayaan. Kebudayaan diwujudkan dalam bentuk tata
hidup yang merupakan kegiatan manusia yang mencerminkan nilai budaya
yang terkandung. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan pendidikan
sebab semua materi yang terkandung dalam suatu kebudayaan diperoleh
manusia secara sadar lewat proses belajar. Dari kegiatan belajar itu
diteruskan kebudayaan dari generasi yang satu kepada generasi selanjutnya,
dari waktu ke waktu. Kebudayaan yang lalu bereksistensi pada masa kini
dan disampaikan pada masa yang akan datang.
3.5.6. Hubungan Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu dengan llmu
Politik
Politik dapat dikatakan sebagai filsafat karena dalam mempelajari
politik diperlukan cara berpikir yang kompleks sistematis serta politik
adalah sebuah ilmu yang menyangkut salah satu aspek kehidupan manusia
berkaitan dengan kemenangan yang perlu di analisis secara kritis.
Politik juga dapat dikatakan sebagai suatu ilmu karena politik
memenuhi syarat sebagai sebuah ilmu. Van Dyke
60 Filsafat, llmu, dan Filsafat llmu
menyatakan politik sebagai ilmu dengan mengemukakan tiga syarat yakni (i)
variability, (ii) sistematis, dan (iii) generality.
Pertama, variability. Politik dapat diuji oleh banyak spesialis dalam
bidang ilmu yang bersangkutan sehingga menimbulkan keyakinan yang
mantap, baik bobot maupun pengakuan dan dapat menjadi dasar bagi
prediksi.
Kedua, sistematis. Pengetahuan dikatakan sistematis jika diorganisir ke
dalam pola/struktur dengan hubungan yang jelas, kepedulian terhadap
sistem berarti para ahli ingin meneruskan dari fakta-fakta yang khusus ke
yang umum, dari pengetahuan fakta-fakta yang terpisah menuju
pengetahuan hubungan antara fakta-fakta tersebut. Hal ini sesuai dengan
tujuan ilmu yaitu mencapai suatu hubungan antarfakta yang sistematis.
Ketiga, generality. Alasan untuk menekankan pada generality ini
berkaitan dengan tujuan utama karya ilmiah yaitu memberikan eksplanasi
dan prediksi. Eksplanasi dan prediksi membutuhkan penggunaan
generalisasi yang implisit (misalnya, acuan pada peraturan, hukum, atau
teori). Objek dalam ilmu adalah untuk mengembangkan generalisasi
sehingga eksplanasi dan prediksi dapat terjadi dengan tingkat kemungkinan
yang maksimal.
Politik adalah sebuah ilmu yang memerlukan segenap pemikiran
reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang
menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari
kehidupan manusia. Selain itu politik suatu bidang pengetahuan campuran
yang eksistensi pemekarannya bergantung pada hubungan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilm
u
timbal balik dan saling pengaruh antara filsafat dan ilmu sehingga terjadi
relevansi antara politik dan filsafat ilmu.
3.5.7. Hubungan Antara llmu Alam, Sosial, dan Humaniora
Selama bertahun-tahun, ilmu-ilmu sosial telah menjadi arena bagi
sejumlah kritik, di mana kritik yang dilontarkan bermacam-macam, mulai
dari keraguan tentang kegiatan ahli ilmu sosial karena "tidak mungkin"
sampai pada kebenaran pasti. Pembahasan ini mencoba memberikan
gambaran terhadap pokok permasalahan penting yang disuarakan oleh para
kritikus yang ragu terhadap status keilmuan dari ilmu-ilmu sosial.
Argumentasi mereka yang berpendapat bahwa gejala sosial adalah
terlalu rumit untuk diselidiki secara keilmuan, suatu kritik yang kadang-
kadang dimulai dengan suatu pendapat bahwa hukum ilmu-ilmu sosial, jika
memang ada, paling jauh hanya berupa "semata-mata kemungkinan".
Kadang orang menganggap bahwa kegagalan ilmu dalam menerapkan
hukum yang non-probabilitas adalah disebabkan oleh rumitnya gejala yang
harus dihadapi, suatu hal yang kontras sekali bila dibandingkan dengan
bidang keilmuan dari disiplin-disiplin lain yang lebih beruntung. Adakah
dasar bagi kritik ini?
Sebenarnya kritik ini agak sukar untuk dinilai karena beberapa
kritikus yang melontarkannya mempunyai pendapat yang berbeda-beda.
Sebagai contoh, beberapa kritikus tidak saja menyerang rumitnya gejala
sosial sebagai dasar untuk menyimpulkan bahwa ilmu-ilmu sosial adalah
tidak mungkin, namun juga menyerang ilmu yang me-
Filsafat, Ilmu, dan Filsafat Ilmu
nurut mereka tidak mungkin karena rumitnya suatu gejala. Dalam hal ini
maka bukan hanya perilaku manusia yang terlalu kompleks, namun di
dalamnya juga termasuk ilmu yang bukan sosial, seperti liku-liku dari pola
sehelai daun, permainan cahaya dan bayang-bayang. Ada baiknya untuk
meninggalkan thesis tersebut sebelum mempelajari tuduhan serupa yang
hanya menempatkan ilmu-ilmu sosial dalam suatu kedudukan yang kurang
menguntungkan ini. Sedangkan untuk ilmu humaniora, Elwood mendefinisi-
kan 'humaniora' sebagai seperangkat perilaku moral manusia terhadap
sesamanya. Ia juga percaya bahwa definisi ini juga mengisyaratkan bahwa
manusia adalah makhluk yang mempunyai kedudukan di dalam ekosistem,
namun sekaligus juga amat tergantung pada ekosistem itu dan dia sendiri
merupakan bagiannya. Oleh karena itu, pengertian humaniora menjadi
hubungan trisula atau bercabang tiga, yakni: (i) Hubungan manusia dengan
sang Khalik; (ii) Hubungan manusia dengan sesamanya, dan dengan alam;
(iii) Hubungan manusia dengan alam baik makhluk yang jasad-jasad hidup,
maupun benda-benda mati.
Argumentasi mengenai ketidakmungkinan semua ilmu maupun ilmu
sosial ditinjau dari segi deskripsi yang kasar, keunikan maupun objek,
abstraksi, pemutarbalikan penelaah keilmuan dan ketidakmampuan untuk
menangkap kenyataan, semua didasarkan untuk menangkap kenyataan,
yang umumnya didasarkan pada anggapan salah tentang hakikat ilmu.
3.6. Ringkasan
Filsafat, secara etimologi berarti cinta kebijaksanaan (love of wisdom)
dalam pengertian yang sedalam-dalamnya. Secara terminologi, filsafat
adalah ilmu pengetahuan mengenai segala sesuatu dengan memandang
sebab-sebab terdalam tercapai dengan budi murni.
Ruang lingkup filsafat dipilahkan dalam dua objek yaitu: (i) objek
formal, dan (ii) objek material.
Filsafat adalah segala sesuatu yang nyata. Ilmu adalah kumpulan
pengetahuan yang disusun secara konsisten dan kebenarannya telah teruji
secara empiris.
Objek dan ruang lingkup ilmu membatasi pada pengkajian. Cabang-
cabang ilmu berkembang dari dua cabang utama yaitu (i) filsafat alam, dan
(ii) filsafat moral.
Filsafat alam yang kemudian menjadi kumpulan ilmu- ilmu alam (the
natural science). Sedangkan filsafat moral yang kemudian berkembang dalam
cabang-cabang ilmu sosial (the social science).
Filsafat ilmu adalah teory of science (teori ilmu), meta science (adi-ilmu),
science of science (ilmu tentang ilmu).
Filsafat ilmu menampung permasalahan yang menyangkut berbagai
hubungan keluar dan kedalam yang terdapat dalam kegiatan ilmiah.
Ruang lingkup filsafat ilmu menurut para filsuf antara lain: (i) ilmu
mempunyai empat bidang konsentiasi yang utama (Peter Angeles); (ii) ilmu
mempunyai beberapa bidang yaitu logika ilmu, ilmu kealaman (A. Coenelius
Benjamin); (iii) ada tiga bidang filsafat ilmu (Israel
Scheffler); dan (iv) filsafat ilmu dianggap mempunyai dua komponen utama
(U.C Smart).
Perbedaan filsafat, ilmu, dan filsafat ilmu antara lain adalah: (i) Filsafat
itu membahas akal budi murni dan memandang sebab tersebut secara
mendalam; (ii) Ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang disusun secara
konsisten, sistematis, dan empiris; (iii) Filsafat ilmu membahas segala hal
yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala
kehidupan manusia.
Hubungan filsafat, ilmu, filsafat ilmu dengan antropologi dan ilmu
politik antara lain: (i) antropologi membahas segala aspek tentang manusia
sedangkan filsafat menelaah tentang segala yang mungkin dipikirkan
manusia. Ilmu hanya dapat maju apabila masyarakat berkembang dan
berperadaban; dan (ii) dalam antropologi dibahas tentang manusia dan
kebudayaannya dalam suatu masyarakat. Filsafat ilmu merupakan metode
penalaran dari suatu lambang atau struktur penalaran dari suatu bidang
studi, misalnya studi antropologi.
Ilmu politik mempelajari salah satu aspek kehidupan manusia antara
manusia tentang kewenagan sehingga diperlukan analisis yang jelas dalam
menelaahnya dan menurut van Dyike politik memenuhi syarat sebagai suatu
ilmu karena memiliki variability, systematic, dan generality.
Selain itu, ilmu politik merupakan suatu bidang pengetahuan campuran
yang pengembangannya bergantung pada hubungan timbal balik dan saling
pengaruh antara filsafat dan ilmu, sehingga terjadi relevansi antara politik
dan filsafat ilmu.
BAB IV
4.1. Deskripsi
Filsafat ilmu merupakan kajian atau telaah secara mendalam
terhadap hakikat ilmu. Filsafat ilmu hendak menjawab pertanyaan-
pertanyaan mengenai hakikat ilmu tersebut, antara lain: (i) objek apa
yang ditelaah ilmu; (ii) bagaimana memperoleh ilmu; dan (iii) untuk apa
ilmu digunakan.
Pertama, sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan objek
yang ditelaah ilmu antara lain: bagaimana wujud hakiki objek tersebut?
Bagaimana hubungan objek dengan daya tangkap manusia (misalnya
berpikir, merasa, dan mengindra)?
Kedua, bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya
pengetahuan yang berupa ilmu antara lain dengan pertanyaan:
bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita
mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apa
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilm
u
kriterianya? Cara, teknik, atau sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Ketiga, untuk apa ilmu itu dipergunakan antara lain diperkaya dengan
Ontologi , Epistemologi ,
pertanyaan-peranyaan: bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut
dan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berda-
sarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana hubungan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dan norma-
norma moral/profesional?
Keempat, kelompok pertanyaan tersebut merupakan landasan-landasan
ilmu, yakni kelompok pertama merupakan landasan ontologi, kelompok
kedua merupakan landasan epistemologi, dan kelompok yang terakhir
merupakan landasan aksiologi ilmu pengetahuan.
Secara singkat uraian landasan ilmu itu adalah sebagai berikut: (i)
Landasan ontologis adalah tentang objek yang ditelaah ilmu. Hal ini berarti
tiap ilmu harus mempunyai objek penelaahan yang jelas. Karena
diversivikasi ilmu terjadi atas dasar spesifikasi objek telaahannya maka tiap
disiplin ilmu mempunyai landasan ontologi yang berbeda; (ii) Landasan
epistemologi adalah cara yang digunakan
68 Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiolog
i
alam nyata ini, baik itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang,
baik yang hidup ataupun yang sudah mati. Idea kuda itu adalah paham,
gambaran atau konsep universal yang berlaku untuk seluruh kuda yang
berada di benua mana pun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato
adalah badan hidup yang kita kenal dan dapat berpikir. Dengan kata lain,
idea manusia adalah "binatang berpikir". Konsep binatang berpikir ini
bersifat universal, berlaku untuk seluruh manusia besar-kecil, tua- muda,
lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia, India, Cina, dan sebagainya. Tiap-
tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea inilah yang merupakan
hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-idea itu berada di
balik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang kita lihat
atau yang dapat ditangkap dengan pancaindra senantiasa berubah. Karena
itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari
idea-idea- nya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan
panca-indra ini hanyalah khayal dan ilusi belaka.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354-430 M).
Menurut Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa
dalam alam ini ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa
bahwa ia mengetahui apa yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-
ragu bahwa apa yang diketahuinya itu adalah suatu kebenaran.
Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di atasnya masih ada suatu
kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah), dan itulah yang
7
1
menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui apa yang
benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak. Kebenaran
mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno
dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang
bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat
ontologis dikenal seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya,
kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan (apreance)
dengan kenyataan (reality). Thales terkenal sebagai filsuf yang pernah
sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam yang
merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu
substansi belaka (sehingga sesuatu itu tidak dapat dianggap ada berdiri
sendiri).
Hakikat kenyataan atau realitas memang dapat didekati ontologi
dengan dua macam sudut pandang: (i) kuantitatif, yaitu dengan
mempertanyakan apakah kenyataan itu tunggal atau jamak? (ii) Kualitatif,
yaitu dengan mempertanyakan apakah kenyataan (realitas) tersebut
memiliki kualitas tertentu, seperti misalnya daun yang memiliki warna
kehijauan, bunga mawar yang beraroma harum.
Ontologi, secara sederhana dapat dirumuskan sebagai ilmu yang
mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis. Aspek ontologi
dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya diuraikan antara lain secara: (a)
Metodis; menggunakan cara ilmiah; (b) Sistematis; saling berkaitan satu
72Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiolog
i
sama lain secara teratur dalam suatu keseluruhan; (c) Koheren; unsur-
unsurnya tidak boleh mengandung uraian yang bertentangan; (d) Rasional;
harus berdasar pada kaidah berpikir yang benar (logis); (e) Komprehensif;
melihat objek tidak hanya dari satu sisi/sudut pandang, melainkan secara
multidimensional-atau secara keseluruhan (holistik); (f) Radikal; diuraikan
sampai akar persoalannya, atau esensinya; (g) Universal; muatan kebe-
narannya sampai tingkat umum yang berlaku di mana saja.
Beberapa aliran dalam ontologi, yakni realisme, naturalisme, dan
empirisme. Istilah-istilah terpenting yang terkait dengan ontologi adalah: (i)
yang-ada (being); (ii) kenyataan/ realitas (reality); (iii) eksistensi (existence);
(iv) esensi (essence); (v) substansi (substance); (vi) perubahan (change); (vii)
tunggal (singular, one); dan (viii); jamak (plural/many).
Adapun karakteristik (ontologi) ilmu pengetahuan antara lain adalah:
(i) ilmu berasal dari riset (penelitian); (ii) tidak ada konsep wahyu; (iii)
adanya konsep pengetahuan empiris; (iv) pengetahuan rasional, bukan
keyakinan; (v) pengetahuan objektif; (vi) pengetahuan sistematik; (vii)
pengetahuan metodologis; (viii) pengetahuan observatif (observable); (ix)
menghargai asas verifikasi (pembuktian); (x) menghargai asas eksplanatif
(penjelasan); (xi) menghargai asas keterbukaan dan dapat diulang kembali;
(xii) menghargai asas skeptikisme yang radikal; (xiii) melakukan pembuktian
bentuk kausalitas (causality); (xiv) mengakui pengetahuan dan konsep yang
relatif (bukan absolut); (xv) mengakui adanya logika-logika ilmiah; (xvi)
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
74
7
5
terhadap forms.
Kedua, critical epistemology. Revolusi dari epistemologi dogmatik ke
epistemologi kritis diperkenalkan oleh Rene Descartes. Descartes membalik
epistemologi dogmatik dengan menanyakan apa yang dapat kita ketahui
sebelum menjelaskannya. Pertanyakan dulu secara kritis, baru diyakini.
Ragukan dulu bahwa sesuatu itu ada, kalau terbukti ada, baru dijelaskan.
Berpikir dulu, baru yakini atau tidak. Ragukan dulu, baru yakini atau tidak.
Descartes menganut the immediacy theses, bahwa apa yang kita ketahui
adalah terbatas pada ide-ide yang adalah jiwa kita (our own minds). Metode
Descartes disebut juga metode skeptis. Yakni, skeptis bahwa kita dapat
mengetahui secara langsung objek di luar diri kita tanpa melalui jiwa kita.
Tesis ini dikembangkan oleh David Hume dengan teori primary qualities dan
secondary qualities. Pertanyaan utama epistemologi jenis ini: Apa yang dapat
kita ketahui? Dapatkah kita mengetahuinya? Mungkinkah kita dapat
mengetahui sesuatu di luar diri kita? Singkatnya, epistemologi kritis
menetapkan ontologi setelah epistemologi.
Reid menolak tesis ini dengan berargumen bahwa kita mempunyai
pengetahuan langsung tentang dunia luar (the external world). Menurut Reid,
kita tidak melihat penampakan objek, tapi objek itu sendiri.
Contoh karya Descartes, Meditations, dan karya Hume, Inquiry Into the
Human Understanding (terutama "The Sections on Perception and Scepticism”).
Karya Reid, Inquiry and Essays (Selected Sections on Perception).
Ketiga, scientific epistemology. I argue that there is a third
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
approach to epistemology where theories about what we can know and theories
about what is real are given equal status, that is, neither is assumed to be prior to
the other. Consequently, a theory of knowledge should explain how we know those
things which we most clearly do know and at the same time provide a critical
standard of evaluation for knowledge claims. Pertanyaan utama epistemologi
jenis ini adalah, apa yang benar-benar sudah kita ketahui dan
bagaimana cara kita mengetahuinya? Epistemologi ini tidak peduli
apakah batu di depan mata kita adalah penampakan atau bukan. Yang
ia urus adalah bahwa ada batu di depan mata kita dan kita teliti secara
sainstifik.
Epistemologi juga disebut teori pengetahuan atau kajian tentang
justifikasi kebenaran pengetahuan atau kepercayaan. Untuk
menemukan kebenaran dilakukan sebagai berikut (AR Lacey): (i)
Menemukan kebenaran dari masalah; (ii) Pengamatan dan teori untuk
menemukan kebenaran; (iii) Pengamatan dan eksperimen untuk mene-
mukan kebenaran; (iv) Falsification atau operasionalism (experimental
operation, operation research); (v) Konfirmasi kemungkinan untuk
menemukan kebenaran; (vi) Metode hipotetico-deduktif; (vii) Induksi dan
presuposisi/teori untuk menemukan kebenaran fakta.
benaran ilmiah.
Contoh: pada Ilmu Mekanika Tanah dikatakan bahwa kadar air tanah
memengaruhi tingkat kepadatan tanah tersebut. Setelah dilakukan
pengujian laboratorium dengan simulasi berbagai variasi kadar air ternyata
terbukti bahwa teori tersebut benar. Ilmu ini bermanfaat meningkatkan
kesejahteraan dalam bidang pertanian
8
0
8
1
anut aliran ini adalah B. Spinoza berpendapat bahwa hanya ada satu
substansi yaitu Tuhan. Aliran yang demikian disebut aliran Monisme.
Aliran yang menyatakan bahwa ada dua substansi disebut Dualisme,
tokoh-tokohnya adalah Plato, Rene Descrates, Leibinz, Imanuel Kant yang
memilahkan bahwa ada dua dunia, yaitu dunia sesungguhnya dengan dunia
mungkin. Aliran yang ketiga adalah Pluralisme yang menyatakan bahwa ada
banyak substansi. Para filsuf yang termasuk pluralisme adalah Empedokles,
Anaxagoras. Sedangkan yang mempelajari tentang segala sesuatu yang
berhubungan dengan religi adalah aliran spiritualisme. Spiritualisme di sini
memiliki banyak arti, di antaranya bahwa kenyataan yang terdalam adalah
roh. Dapat juga digunakan untuk istilah keagamaan.
Mempelajari Ilmu Politik diperlukan suatu ilmu pengetahuan,
informasi, penalaran, maka di sinilah peran Epistemologi. Pengetahuan
didapat dari pengamatan. Di dalam pengamatan indrawi tidak dapat
ditetapkan apa yang subjektif dan apa yang objektif. Dikatakan bahwa sifat
pengamatan adalah konkret seperti halnya Ilmu Politik yang mempelajari
sesuatu yang konkret artinya isi yang diamati adalah sesuatu yang benar-
benar dapat diamati dan terjadi dalam kehidupan manusia.
Dasar ontologis ilmu. Pada latar filsafat diperlukan dasar ontologis dari
ilmu politik. Adapun aspek realitas yang dijangkau teori dan ilmu politik
melalui pengalaman pancaindra ialah dunia pengalaman manusia secara em-
piris. Objek materiil ilmu politik ialah manusia seutuh-
82Landasan Penelaahan Ilmu: Ontologi, Epistemologi, dan Aksiolog
i
8
3
lukan secara korespondensi, secara koheren dan sekaligus secara praktis dan
atau pragmatis (Randall &Buchler,1942).
Dasar aksiologis ilmu politik. Kemanfaatan teori politik tidak hanya
perlu sebagai ilmu yang otonom, tetapi juga diperlukan untuk memberikan
dasar yang sebaik-baiknya bagi pendidikan sebagai proses pembudayaan
manusia secara beradab. Oleh karena itu, nilai ilmu politik tidak hanya
bersifat intrinsik sebagai ilmu seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai
ekstrinsik dan ilmu untuk menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak
dalam praktik melalui kontrol terhadap pengaruh yang negatif dan me-
ningkatkan pengaruh yang positif dalam politik. Dengan demikian ilmu-ilmu
tersebut tidak bebas nilai mengingat hanya terdapat batas yang sangat tipis.
Dalam hal ini relevan sekali untuk memerhatikan politik sebagai bidang
yang sarat nilai seperti dijelaskan oleh Phenix (1966). Namun, harus diakui
bahwa ilmu politik belum jauh pertumbuhannya dibandingkan dengan
kebanyakan ilmu sosial dan ilmu perilaku, khususnya di Indonesia.
Implikasinya ialah bahwa ilmu politik lebih dekat kepada ilmu perilaku
kepada ilmu-ilmu sosial, dan harus menolak pendirian lain bahwa di dalam
kesatuan ilmu-ilmu terdapat unifikasi satu-satunya metode ilmiah (Karl
Pearson, 1990).
Bab V
5.1. Deskripsi
Pengetahuan merupakan khazanah kekayaan mental yang secara
langsung atau tidak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Sukar
dibayangkan bagaimana kehidupan manusia seandainya pengetahuan itu
tidak ada, sebab pengetahuan merupakan sumber jawaban bagi berbagai
pertanyaan yang muncul dalam kehidupan kita.
Pengetahuan adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala
perbuatan manusia untuk memahami objek yang dihadapinya, hasil usaha
manusia untuk memahami suatu objek tertentu. Ilmu pengetahuan diambil
dari bahasa Inggris science, yang berasal dari bahasa Latin scientia dari
bentuk kata kerja scire yang berarti mempelajari, mengetahui. Pertumbuhan
selanjutnya pengertian ilmu mengalami perluasan arti sehingga menunjuk
pada segenap pengetahuan sistematik.
The Liang Gie memberikan pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas
penelaahan yang mencari penjelasan
91
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
.
secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya, dan
keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang
ingin dimengerti manusia.
Pengetahuan ilmiah mempunyai 5 (lima) ciri pokok sebagai berikut: (i)
empiris; (ii) sistematis; (iii) objektif; (iv) analitis; (v) verifikatif.
9
2
peraturan yang terdapat dalam metode ilmiah. Metodologi ini secara filsafati
termasuk dalam apa yang dinamakan epistemologi. Epistemologi merupakan
pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan; Apakah
sumber-sumber pengetahuan? Apa hakikat, jangkauan dan ruang lingkup
pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk mendapatkan
pengetahuan? Sampai tahapan mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia?
Seperti diketahui berpikir adalah kegiatan mental yang menghasilkan
pengetahuan. Metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerja
pikiran. Dengan cara bekerja ini maka pengetahuan yang dihasilkan
diharapkan mempunyai karakteristik tertentu yang diminta oleh ilmu
pengetahuan, yaitu sifat rasional dan teruji yang memungkinkan. tubuh
pengetahuan yang disusunnya merupakan pengetahuan yang dapat
diandalkan. Dalam hal ini maka metode ilmiah mencoba menggabungkan
cara berpikir deduktif dan cara berpikir induktif dalam membangun tubuh
pengetahuannya.
Secara garis besar metode ilmiah ada dua macam, yaitu yang bersifat
umum dan metode penelitian ilmiah.
yaitu yang lazimnya berupa atau terjelma dalam tingkah laku manusia
dalam berbagai bidang kehidupan seperti dalam biang politik, ekonomi,
sosial, dan sebagainya. Penerapan metode seperti ini apabila dikatakan
mengambil bentuk bentuk garis tegak lurus berarti suatu proses yang
bertahap dan apabila dikatakan mengambil bentuk garis lempang berarti
proses yang bersifat setapak demi setapak. Penerapan metode ini diawali
dengan pengumpulan bahan penyelidikan secukupnya, kemudian bahan itu
dikelompokkan menurut suatu pola atau suatu bagan tertentu. Dalam babak
terakhir kita menarik kesimpulan yang umum berdasarkan atas
pengelompokan bahan semacam itu dan apabila dipandang perlu kita dapat
pula mengadakan peramalan/prediksi yang menyangkut objek penyelidikan
yang bersangkutan. Penyelidikan semacam ini biasanya dilakukan di alam
bebas atau di alam terbuka, yaitu kelompok manusia tertentu.
5.3.4. Teori
Ilmu dimulai dengan fakta dan diakhiri dengan fakta, Einstein berkata,
apa pun juga teori yang menjembatani antara keduanya. Teori yang
dimaksudkan di sini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam
dunia fisik tersebut. Teori merupakan suatu abstraksi intelektual di mana
pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris.
Artinya, teori ilmu merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian
dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan, biar bagaimanapun
meyakinkannya, tetap harus didukung oleh fakta empiris untuk
9
7
9
8
9
9
5.3.5. Hipotesis
Fakta tidak berbicara untuk diri mereka sendiri. Dalam
dunia yang ditelaah ilmu, sekelompok molekul atau sel tidak
meloncat-loncat, melambaikan tangan, bersuit- suit, dan
mengatakan, "Hai, lihat saya! Di sini! Saya adalah batu, atau
pohon, atau kuda." Apanya suatu benda tergantung kepada
merek yang diberikan manusia kepada benda tersebut.
Bagaimana suatu benda dapat dijelaskan tergantung kepada
hubungan konseptual yang dipakai menyorot benda tersebut.
Kenyataan ini membawa kita kepada salah satu segi yang
paling sulit dari metodologi keilmuan yakni peranan dari
hipotesis.
Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan
antar variabel. Hubungan hipotesis ini diajukan dalam bentuk
dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam
menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut. Hipotesis
diajukan secara khas dengan dasar coba- coba (trial-and-error).
Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau
mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang
telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada
data yang baru. Dalam kedua hal di atas, hipotesis berfungsi
untuk mengikat data sedemikian rupa, sehingga hubungan
yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang
mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanya diajukan
dalam bentuk pernyataan "jika X, maka Y". Jika kulit manusia
kekurangan pigmen, maka kulit itu mudah terbakar saat
disinari matahari. Hipotesis ini memberikan penjelasan
sementara paling tidak tentang beberapa hubungan antara
pigmentasi
10
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika
Ilmu
1
5.3.9. Evaluasi
5.4. Ringkasan
Bab VI
6.1. Deskripsi
Manusia sebagai makhluk pencari kebenaran dalam
perenungannya akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran, dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran.
Filsafat dipahami sebagai suatu kemampuan berpikir
dengan menggunakan rasio dalam menyelidiki suatu objek atau
mencari kebenaran yang ada dalam objek yang menjadi sasaran.
Kebenaran itu sendiri belum pasti melekat dalam objek.
Terkadang hanya dapat dibenarkan oleh per- sepsi-persepsi
belaka, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai universal dalam
filsafat.
6.2. Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang teori kebenaran dalam ilmu pengetahuan terdiri atas:
(i) koherensi; (ii) korespondensi; (iii) positivistik; (iv) pragmatik;
(v) esensialisme; (vi) konstruktivisme; dan
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika 11
Ilmu
7
(vii) religiusisme.
6.3. Teori Kebenaran
Pertanyaan-pertanyaan berikut tentu membuka wawasan
kita, bisa jadi selama ini hanya merupakan kesan- kesan yang
kita biarkan berlalu. Untuk keperluan pembelajaran filsafat
ilmu, sengaja diangkat lagi agar memperoleh wacana yang
memadai dalam konteks untuk menemukan kebenaran.
Pertanyaan-pertanyaan itu adalah; (i) Apakah kebenaran itu
ada?; (ii) Apakah kebenaran ada atau tidak ada? (iii) Kebenaran
itu apakah kecil atau kebenaran besar; (iv) Bagaimana
kebenaran yang terdapat di dalam filsafat, agama, ilmu, dan
seni; (v) Bagaimana pandangan kaum skeptis, relatif, dan
subjektif, dan kaum nihilis tentang kebenaran; (vi) Bagaimana
paham diterminis dan inditerminis (konseptual, atau konseptual
yang kacau) tentang kebenaran; dan (vii) Bagaimana teori- teori
ontologi kebenaran.
Sejumlah teori yang telah dikemukakan oleh para filsuf
dengan senyatanya membuka mata kita antara lain yang
dikemukakan: (i) teori idealisme Plato yang berpusat pada
"idea"; (ii) teori Rasionalisme R.Decartes, yang berpusat pada
rasio dan kesadaran; (iii) teori Immanuel Kant yang berpusat
pada akal atau rasio mumi (Reinen Vernunft, Praktisen Vernunft).
(iv) teori-teori wahyu/revalasi dari kalangan teolog (dari Tuhan
YME) yang menyatakan bahwa the truth is created by the God
yang dilawan oleh teori evolusi; (v) teori coherence (coherence
theory) yang menyatakan bahwa kebenaran itu suatu nilai inter-
11
penomenon
(gejala); (xiv)
teori konstruk yang
tivisme
hanya ada sedikit perbedaan (jika ada) antara ilmu sosial dan
ilmu alam, karena masyarakat dan kehidupan sosial berjalan
berdasarkan aturan-aturan, demikian juga alam.
6.3.4. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan teori kebenaran yang men-
dasarkan diri kepada kriteria tentang fungsi atau tidaknya
suatu pernyataan dalam lingkup ruang dan waktu tertentu.
Teori Pragmatisme berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi yang keduanya berhubungan langsung dengan
realita objektif, pragmatisme berusaha menguji kebenaran ide-
ide melalui konsekuensi-konsekuensi daripada praktik atau
pelaksanaannya. Artinya, ide-ide itu belum dikatakan benar
atau salah sebelum diuji.
6.3.5. Esensialisme
Esensialisme adalah pendidikan yang didasarkan kepada
nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
umat manusia. Esensialisme muncul pada zaman Renaissance
dengan ciri-ciri utama yang berbeda dengan progresivisme.
Perbedaannya yang utama ialah dalam memberikan dasar
berpijak pada pendidikan yang penuh fleksibilitas, di mana
serta terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada
keterikatan dengan doktrin tertentu. Esensialisme memandang
bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama yang memberikan kestabilan dan
nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Esensialisme berpendapat bahwa dunia ini dikuasai oleh tata
yang tiada cela yang mengatur dunia beserta isinya dengan
tiada cela pula.
12
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
3
6.3.6. Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pem-
belajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta
sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Konstruktivisme
sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang
dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan
himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman.
Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan
menjadi lebih dinamis.
Konstruktivisme dianggap berusaha menghilangkan
aspek power dalam memahami nilai. Nilai dianggap sebagai
sesuatu yang netral dan tidak punya bias ataupun basis
kekuasaan. Dalam artian ini, konstruktivisme kehilangan
tujuan utama pemikiran kritis, yakni emansipasi. Jadi,
sekalipun memahami realitas bukan sebagai sesuatu yang
beku, alamiah dan abadi melainkan sebagai produk dari
interaksi, konstruktivisme tidak memaknai interaksi antar
nilai ini sebagai sebuah proses politik yang sangat berpe-
ngaruh pada aspek keadilan, kesederajatan dan kebebasan.
6.3.7. Religiusisme
Teori Religiusisme memaparkan bahwa manusia
bukanlah semata-mata makhluk jasmaniah, tetapi juga
124Teori Kebenaran Ilmu Pengetahua
n
6.5. Ringkasan
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa manusia sebagai makhluk pencari
kebenaran akan menemukan tiga bentuk eksistensi, yaitu
agama, ilmu pengetahuan, dan filsafat. Agama mengantarkan
pada kebenaran dan filsafat membuka jalan untuk mencari
kebenaran. Sedangkan ilmu pengetahuan pada hakikatnya
adalah kebenaran itu sendiri, karena manusia menuntut ilmu
dengan tujuan mencari tahu rahasia alam agar gejala alamiah
tersebut tidak lagi menjadi misteri.
Secara pasti, tidak ada kebenaran yang absolut di dunia
ini. Kebenaran dan kesesatan ilmu pengetahuan itu sendiri
tergantung kepada kita yang berusaha mencari tahu dengan
menggunakan metode kriteria kebenaran yang terdiri dari:
koherensi, korespondensi, positivisme, pragmatisme,
esensialisme, konstruktivisme, dan religiusisme.
Bab VII
7.1. Deskripsi
Di era postmodern saat ini telah begitu banyak dite-
mukan inovator baru dalam ilmu pengetahuan. Penemuan-
penemuan tersebut dapat kita rasakan hampir dalam segala
bidang dan lingkungan di mana kita berada. Misalnya,
keberadaan teknologi informasi yang semakin hari semakin
canggih.
Hasil penemuan baru tersebut tentunya melalui se-
jumlah proses yang memakan waktu cukup relatif panjang.
Hal ini (semakin pesatnya penemuan-penemuan baru)
merupakan suatu yang tidak dapat dielakkan lagi, karena ia
merupakan tuntutan dari keberadaan manusia itu sendiri,
yakni keberadaan kebutuhan dan keinginan manusia yang
semakin tinggi dan beragam.
Di dalam proses penemuan sains tersebut kita menge-
nal yang namanya metode ilmiah sebagai jalan untuk
meraih hasil yang sesuai "standar" keilmuan. Sains yang
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
7.9: Ringkasan
Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik- baik
untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan) atau cara
kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan secara efektif,
efisien, dan hasil yang optimal.
Metode berpikir ilmiah, layak untuk dijadikan sebagai asas
bagi metode berpikir. Hal ini disebabkan, ia dapat diterapkan pada
objek-objek material yang dapat diindra, dan kesimpulan yang
dihasilkan darinya tidaklah bersifat (probability) pasti. Dengan
kata lain, metode ilmiah hanya dapat diterapkan pada ilmu yang
sifatnya adalah eksperi-
Bab VIII
8.1. Deskripsi
8.3. Logika
8.3.1. Pengertian Logika dan Penalaran Ilmiah
Logika berasal dari kata Yunani kuno (logos) yang berarti
hasil pertimbangan akal pikiran yang diutarakan lewat kata dan
dinyatakan dalam bahasa. Sebagai ilmu, logika disebut dengan
logike episteme (Latin: logica scientia) atau ilmu logika (ilmu
pengetahuan) yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara
lurus, tepat, dan teratur.
Ilmu di sini mengacu pada kemampuan rasional untuk
mengetahui dan kecakapan mengacu pada kesanggupan akal budi
untuk mewujudkan pengetahuan ke dalam tindakan. Kata logis
yang dipergunakan tersebut dapat juga diartikan dengan masuk
akal.
Logika merupakan sebuah ilmu pengetahuan di mana objek
materialnya adalah berpikir (khususnya penalaran/ proses
penalaran) dan objek formal logika adalah berpikir/ penalaran
yang ditinjau dari segi ketepatannya. Sebagai cabang filsafat,
logika merupakan cabang filsafat yang praktis. Praktis di sini
berarti logika dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Logika lahir bersama-sama dengan lahirnya filsafat di
Yunani. Dalam usaha untuk memperkenalkan pemikiran dan
pendapat-pendapatnya, para filsuf Yunani kuno tidak
karena subjek dalam proposisi “A" tersebar. Jadi kalau kita tarik
proposisi "A" dari proposisi "I" dengan conversi akan terjadi
pelanggaran terhadap prinsip keempat. Karena itu conversi dari
“I" menghasilkan "I" pula.
155
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llm
u
8.7.4. Inversi
Tabel 8.1.
Rangkuman Pola Penyimpulan Langsung Berdasarkan atas
Kuantitas, Kualitas, dan Posisi S (Subjek) dan P (Predikat) dalam
Suatu Proposisi
Proposisi Conve Obver Kontr Inver Inversi
yang r si a si sebagia
si posisi Penu n
diberikan
I E E hI O
A Semua S
adalah P
E Tidak E A I O I
satupun S
adalah P
I Sebagian S I O - - -
adalah P
O Sebagian S - I I - -
tidaklah P
8.8. Ringkasan
Penalaran langsung merupakan pola penyimpulan yang langsung dapat
ditentukan dari proposisi atau kalimat yang tersedia. Kalimat terdiri dari
term S (subjek) dan P (predikat). Melalui kalimat yang dinyatakan dalam
bahasa tersebut maka penyimpulan langsung dapat dilakukan dan dapat
dibuktikan kebenarannya.
Para ahli pikir menggolongkan proposisi dalam empat jenis yaitu
proposisi: (i) A (universal afirmatif); (ii) E (universal negatif); (iii) I (particular
afirmatif); dan O (particular negatif). Penyimpulan langsung dilakukan
dengan cara mempertukarkan proposisi berdasarkan kualitas afirmatif dan
negative, letak S (subjek) dan P (prediket), dan menyimpulkan langsung
melalui kuantitas proposisi.
Empat jenis proposisi dapat dilakukan penyimpulan
Bab IX
9.1. Deskripsi
Pada topik ontologi ilmu telah dijelaskan bahwa pada
dasarnya hakikat ilmu adalah objek bahasannya yang empiris
terdapat dalam kegiatan keseharian, dapat diamati (dipotret,
dividco) yang karenanya lingkup ilmu pengetahuan adalah hal-
hal yang dapat diukur (measurable), dan dapat diamati
(observable). Objek empiris dari ilmu adalah mengandung gejala
yang memiliki keserupaan yang satu dengan yang lain,
karenanya pula dapat diidentifikasi kecenderungan-
kecenderungan dari gejala yang diamati. Melalui metode
penelaahan yang cermat, maka dapatlah disusun teori yang
tingkat kebenaran (logika)nya yang memiliki probabilitas
kebenaran yang tinggi, sejauh tidak terdapat bukti baru yang
membantahnya.
Uraian berikut merupakan penjabaran dari logika induktif
dengan menempatkan asumsi dasar objek empiris dalam ilmu
pengetahuan.
16
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu
9.2.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang: (i) pengertian induksi; (ii) prinsip dalam penalaran
induksi; (iii) generalisasi dan analogi induksi; dan (iv) faktor-
faktor probabilitas.
Contoh:
Premis umum : Mata kuliah Filsafat Ilmu adalah mata kuliah
wajib mahasiswa UNAIR semester II.
Premis khusus : Diana, Tyas, dan Tania adalah mahasiswa
UNAIR semester II.
Kesimpulan : Diana, Tyas dan Tania harus mengambil mata
kuliah Filsafat Ilmu.
16
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu
9
9.7. Ringkasan
Bab X
10.1. Deskripsi
Upaya-upaya untuk dapat menemukan kesimpulan yang
tepat atau benar dilakukan dengan menyusun pola
penalaran sesuai dengan prinsip-prinsip panalaran yang
tepat. Di sisi lain terdapat cara juga untuk menemukan
kesimpulan yang tepat itu dengan cara menghidari pola
penalaran yang sesat. Inilah yang disebut dengan kesesatan
(fallacy) dalam penalaran ilmiah sebagai bagian dalam
pembahasan tentang logika.
Dalam konteks tersebut maka pada bagian ini diuraikan
tentang: (i) pengertian, (ii) klasifikasi; (iii) kesesatan bahasa;
(iv) kesesatan relevansi; (v) relevansi kesesatan berpikir
dengan ilmu pengetahuan.
·
·
18
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
7
pandangan.
Ukuran logika (pembenaran) pada sesat pikir argumentum
ad hominem 1 adalah kondisi pribadi dan karakteristik personal
yang melibatkan: gender, fisik, sifat, dan psikologi.
Contoh 1:
"Tidak diminta mengganti bohlam (bola lampu) karena
seseorang itu pendek".
Kesesatan: tingkat keberhasilan pergantian sebuah bola
lampu dengan menggunakan alat bantu tangga tidak
tergantung dari tinggi/ pendeknya seseorang.
Contoh 2:
"Seorang juri lomba menyanyi memilih kandidat yang
cantik sebagai pemenang, bukan karena suaranya yang
bagus tapi karena parasnya yang lebih cantik
dibandingkan dengan kandidat lainnya, walaupun suara
kandidat lain ada yang lebih bagus".
10.5.2. Argumentum ad Hominem 2
Berbeda dari argumentum ad hominem 1, argumentum ad
hominem 2 menitikberatkan pada hubungan yang ada diantara
keyakinan seseorang dan lingkungan hidupnya. Pada umumnya
argumentum ad hominem 2 ini menunjukkan pola pikir yang
diarahkan pada pengutamaan kepentingan pribadi; yaitu: suka-
tidak suka, kepentingan kelompok-bukan kelompok, dan hal-hal
yang berkaitan dengan SARA.
Contoh 3:
an tertentu.
10.5.6. Argumentum Auctoritatis
Auctoritatis dari bahasa Latin: auctoritas berarti ke-
wibawaan adalah sesat pikir di mana nilai penalaran ditentukan
oleh keahlian atau kewibawaan orang yang mengemukakannya.
Jadi suatu gagasan diterima sebagai gagasan yang benar hanya
karena gagasan tersebut dikemukakan oleh seorang yang sudah
terkenal karena keahliannya.
Sikap semacam ini mengandaikan bahwa kebenaran bukan
sesuatu yang berdiri sendiri (otonom), dan bukan berdasarkan
penalaran sebagaimana mestinya, melainkan tergantung dari
siapa yang mengatakannya (kewibawaan seseorang).
Argumentasi ini sangat mirip dengan argumentum ad hominem,
bedanya dalam argumentum ad hominem yang menjadi acuan
adalah pribadi orang yang menyampaikan gagasan (dilihat dari
disenangi atau tidak disenangi), maka dalam argumentum
auctoritatis ini dilihat dari siapa (posisinya dalam
masyarakat/keahliannya/kewibawaannya) yang
mengemukakan.
Contoh:
Apa yang dikatakan ulama A pada kampanye itu pasti benar.
Apa yang dikatakan pastor B dalam iklan itu pasti benar.
Apa yang dikatakan Rhoma Irama pasti benar.
Apa yang dikatakan pak dokter pasti benar.
"Saya yakin apa yang dikatakan beliau adalah baik dan
benar karena beliau adalah seorang pemimpin
sebesar Rp. 100.000 bila Badu tidak ingin ditilang, maka semua polisi lalu
lintas di sekitar jalan Sudirman dan Thamrin adalah pasti pelaku pemalakan.
2. Maulana W. Kusuma anggota KPU sekaligus dosen kriminologi di UI
melakukan korupsi, maka seluruh anggota KPU yang juga dosen di UI pasti
koruptor. Kesesatan karena divisi terjadi bila seseorang beranggapan bahwa
apa yang benar (berlaku) bagi seluruh kelompok secara kolektif pasti juga
benar (berlaku) bagi individu-individu dalam kelompok tersebut.
Contoh 1: "Banyak pejabat pemerintahan korupsi. Yahya Zaini adalah anggota
DPR, maka Yahya Zaini juga korupsi."
Contoh 2: Umumnya pasangan artis-artis yang baru menikah pasti lalu
bercerai.
Dona Agnesia dan Darius adalah pasangan artis
yang baru menikah, pasti sebentar lagi mereka bercerai.
10.5.14. Kesesatan karena Pertanyaan yang Kompleks
Kesesatan karena pertanyaan yang kompleks ini bersumber pada pertanyaan
yang sering kali disusun sedemikian rupa sehingga sepintas tampak sebagai
pertanyaan yang sederhana, namun sebetulnya bersifat kompleks. Oleh
karena itu pertanyaan tersebut sulit untuk dijawab dengan sekedar
mengatakan ya atau tidak.
Contoh:
"Bagaimana, masih senang begituan?"
"Kamu sedang itu ya?"
10.7. Ringkasan
Kesesatan adalah kesalahan yang terjadi dalam aktivitas
berpikir dikarenakan penyalahgunaan bahasa dan atau
penyalahan relevansi. Kesesatan merupakan bagian dari logika,
dikenal juga sebagai fallacia/falaccy, di mana beberapa jenis
kesesatan penalaran dipelajari sebagai lawan dari argumentasi
logis. Kesesatan terjadi karena dua hal: (i) ketidaktepatan
bahasa: pemilihan terminologi yang salah; dan (ii)
ketidaktepatan relevansi.
Macam-macam atau klasifikasi kesesatan disebabkan oleh
bahasa adalah (i) kesesatan aksentuasi terdiri dari (a
)
Bab XI
Etika Ilmu
11.1. Deskripsi
20
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan LogikaIlmu
3
11.2.
Tujuan Pembelajaran
Tujuan pembelajaran pada topik ini adalah menjelaskan
tentang (i) pengertian etika ilmu; (ii) hubungan ilmu dan etika;
(iii) membangun masyarakat ilmiah; (iv) menuju masyarakat
berbudaya ilmu pengetahuan; dan (v) relevansi etika ilmu.
11.3. Pengertian Etika
Dalam bahasa Inggris etika disebut ethic (singular) yang
berarti a sistem of moral principles or rules of behaviour, atau
suatu sistem, prinsip moral, aturan atau cara berperilaku. Akan
tetapi, terkadang ethics (dengan tambahan huruf s) dapat
berarti singular. Jika ini yang dimaksud maka ethics berarti the
branch of philosophy that deals with moral principles, suatu
cabang filsafat yang memberikan batasan prinsip-prinsip moral.
Jika ethics dengan maksud plural (jamak) berarti moral
principles that govern or influence a person's behaviour, prinsip-
prinsip moral yang dipengaruhi oleh perilaku pribadi.
Dalam bahasa Yunani, etika berarti ethikos mengandung
arti penggunaan, karakter, kebiasaan, kecenderungan, dan
sikap yang mengandung analisis konsep-konsep seperti harus,
mesti, benar-salah, mengandung pencarian ke dalam watak
moralitas atau tindakan-tindakan moral, serta mengandung
pencarian kehidupan yang baik secara moral.
Dalam bahasa Yunani Kuno, etika berarti ethos, yang
apabila dalam bentuk tunggal mempunyai arti tempat tinggal
yang biasa, padang rumput, kandang, adat, akhlak,
Etika Ilm
u
cara pandang tradisional kita tetapi juga teologi yang sering terlalu teosentris.
Manfaat ilmu pengetahuan bagi kemajuan umat manusia seperti
mengurangi hal-hal buruk. Setiap orang mengembangkan diri sesuai dengan
tuntutan masyarakat ilmiah pada umumnya, yaitu taat pada adanya rasio.
Inilah watak intelektual nomor satu dan satu-satunya. Salah satu ciri yaitu
adanya keinginan untuk mengetahui fakta-fakta penting dan keengganan
untuk terlibat ilusi-ilusi yang menyenangkan (yang disajikan oleh obat bius).
Setiap orang harus memiliki keingintahuan untuk memahami fakta-fakta
penting bagi kehidupan manusia dan siap membuka diri bagi kebenaran-
kebenaran penting lainnya.
Membangun masyarakat ilmiah dengan berilmu pengetahuan adalah hal
terpenting yang harus dilakukan. Maka dari itu ilmu pengetahuan akhirnya
berguna bagi kehidupan manusia, yakni bahwa ilmu pengetahuan berguna
bagi manusia untuk memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi dalam
hidupnya. Jadi, ilmu pengetahuan bukan dikembangkan demi ilmu
pengetahuan semata, melainkan juga demi menjawab berbagai persoalan hidup
manusia.
Kebenaran ilmiah itu tidak hanya bersifat logis- rasional dan empiris,
melainkan juga bersifat pragmatis, yaitu bahwa kebenaran itu berguna untuk
menjawab berbagai persoalan hidup manusia. Berkaitan dengan itu, harus
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan mempunyai daya tarik luar biasa besar
sekarang ini, tidak hanya karena kecenderungan empiris dalam ilmu
pengetahuan modern
Etika Ilmu
21
0
sekarang ini. Melainkan juga karena sifat pragmatis dari ilmu pengetahuan
itu sendiri, yaitu karena ternyata ilmu pengetahuan berhasil menjawab
berbagai persoalan hidupnya. Oleh karena itu, manusia modern sedemikian
bergairah mengembangkan terus ilmu pengetahuan sekarang ini.
11.8. Ringkasan
Etika Ilmu
22
2
Bab XII
Filsafat Ilmu dan Teknologi
12.1. Deskripsi
Seiring perkembangan filsafat yang begitu pesat, maka munculnya
berbagai pertanyaan berkaitan dengan hakikat filsafat ilmu dan filsafat
teknologi. Hal itu dikarenakan perkembangan sebuah ilmu yang begitu besar
pastilah membuat lahirnya teknologi-teknologi dalam masyarakat menjadi
begitu pesat. Namun, perkembangan itu tidak diiringi dengan dasar
pemahaman dari filsafat ilmu dan filsafat teknologi itu sendiri yang membuat
manusia menjadi tidak paham hakikat yang sebenarnya dari ilmu dan
teknologi yang sesungguhnya, sehingga tidak dapat mendudukan keduanya
sesuai dengan yang seharusnya.
lain, selalu ingin tahu dan selalu mencari kebenaran yang lebih konkret
kebenarannya daripada kebenaran yang ada sebelumnya. Seperti sifat dasar
dari manusia yaitu curiousity yaitu selalu memiliki rasa/kebutuhan untuk
memenuhi rasa ingin tahu. Sifat keingintahuan dalam mencari hakikat ilmu
dan teknologi ini diibaratkan dengan kuda liar.
12.4.1. Hakikat Efisiensi
Efisiensi dalam istilah ekonomi didefinisikan sebagai pengeluaran
terbesar dibanding dengan ongkos yang serendah-rendahnya. Dalam mengukur
efisiensi dapat memasukkan standar-standar kualitatif bagi apa yang telah
dihasilkan dalam proses produksi. Misalnya, kita dapat memasukkan fungsi
manusiawi dalam penilaian biaya-biaya. Artinya apa pengaruh terhadap pria,
wanita, air, udara, dan sistem sosial bila kita memproduksi barang- barang
tersebut.
Efisiensi menurut kamus bahasa Indonesia adalah suatu proses/kegiatan
dalam rangka mendayagunakan semua potensi yang ada. Maksudnya jika
dihubungkan dengan kondisi suatu masyarakat adalah apabila masyarakat
tersebut menyediakan modal, memanajemen adanya pihak-pihak yang
mendesain, merencanakan, berproduksi, mendistribusi, memasarkan suatu
barang atau jasa berupa hasil teknologi dalam rangkaian kegiatan ekonomi.
12.4.2. Hakikat Kualitas Produk
Kualitas produk jika didefinisikan secara harfiah ekonomi adalah suatu
penilaian baik ataupun buruk terhadap hasil produksi baik barang ataupun
jasa yang
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llm
u
itu sendiri.
Masyarakat sekarang sangat menggantungkan hidupnya pada teknologi,
ketergantungan yang terus menerus menjadikan dirinya terlena dari eksistensi
diri manusia sendiri sebagai makhluk bebas dan kreatif. Masyarakat kemudian
menjadi tidak sadar bahwa mereka dipenjarakan oleh teknologi (tidak kreatif
dan reflektif lagi) itu sendiri bila tidak memahami hakikat teknologi yang
sesungguhnya. Pada dasarnya teknologi hadir di masyarakat semata- mata
untuk sarana memudahkan urusan bukan sebagai tujuan.
12.6. Ringkasan
Bab XIII
Moralitas Ilmu Pengetahuan
13.1. Deskripsi
Penerapan dari ilmu pengetahuan membutuhkan dimensi etis sebagai
pertimbangan dan kadang-kadang mempunyai pengaruh pada proses
perkembangan ilmu pengetahuan. Tanggung jawab etis, merupakan hal yang
menyangkut kegiatan maupun penggunaan ilmu pengetahuan. Dalam hal ini
berarti ilmuwan dalam mengemban ilmu pengetahuan harus memerhatikan
kodrat dan martabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung
jawab kepada kepentingan umum, dan generasi mendatang, serta bersifat
universal karena pada dasarnya ilmu pengetahuan adalah untuk
mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghan-
curkan eksistensi manusia.
etika; dan (iv) kejahatan yang sempurna yang dilakukan oleh ilmuwan.
berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih
mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi bila terjadi
penyalahgunaan; dan (iii) ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana
terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan
kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan
teknik pembuatan sosial.
Proses transformasi ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan oleh
masyarakat tidak terlepas dari ilmuwan. Seorang ilmuwan akan dihadapkan
pada kepentingan- kepentingan pribadi ataukah kepentingan masyarakat akan
membawa pada persoalan etika keilmuan serta masalah bebas nilai. Fungsi
ilmuwan tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara individual namun
juga ikut bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan dapat
dimanfaatkan masyarakat (Suriasumantri, 1984).
Ilmu merupakan hasil karya perseorangan yang dikomunikasikan dan
dikaji secara terbuka oleh masyarakat. Jika hasil karya itu memenuhi syarat
keilmuan maka ia diterima sebagai bagian dari kumpulan ilmu pengetahuan
dan digunakan oleh masyarakat. Dengan kata lain, pen- ciptaan ilmu bersifat
individual namun komunikasi dan penggunaan ilmu adalah bersifat sosial.
Peranan individu inilah yang menonjol dalam kemajuan ilmu, yang dapat saja
mengubah wajah peradaban. Jelas bahwa seorang ilmuwan mempunyai
tanggung jawab sosial yang terpikul di bahunya.
Implikasi penting dari tanggung jawab sosial seorang ilmuwan, adalah
bahwa setiap pencarian dan penemuan
23
Filsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
1
kebenaran secara ilmiah harus disertai dengan landasan etis yang kukuh.
Menurut Suriasumantri (1984), proses pencarian dan penemuan
kebenaran ilmiah yang dilandasi etika, merupakan kategori moral yang
menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan. Ilmuwan bukan saja berfungsi
sebagai penganalisis materi kebenaran tersebut, tetapi juga harus menjadi
prototipe moral yang baik. Aspek etika dari hakikat keilmuan ini kurang
mendapat perhatian dari para ilmuwan itu sendiri.
Contoh kecil dalam pengembangan ilmu kedokteran. Sekelompok kecil
orang membutuhkan organ tertentu, kelompok orang lainnya menjadi korban,
dan ilmuwan serta praktisinya menjadi perantara aktif dalam transaksi itu.
Hakikatnya, ilmuwan itu telah mengabaikan prinsip moral dan agama yang
dianut masyarakat. Fenomena ini, yang cenderung menjadi faktor paling
fundamental yang mendorong berdirinya berbagai lembaga yang mengkaji
dan berupaya menegakkan etika biomedis.
Tanggung jawab ilmuwan tidaklah ringan. Dapatkah seorang ilmuwan
memikul tanggung jawab sedemikian itu, jika batas moral yang berlaku tidak
bersifat universal? Hal etis, yang diharapkan menjadi landasan utama
tegaknya tanggungjawab moral para ilmuwan, memang tidak pernah
memiliki sifat umum dan universal. Artinya, etika tidak dapat memberikan
aturan universal yang konkret untuk setiap masa, kebudayaan, dan situasi
(Peursen dkk, 1990).
Hal ini yang mendorong, setiap kebudayaan atau suatu negara
mengembangkan etika profesi dan aturan
232 Moralitas llmu Pengetahua
n
Kaum ilmuwan tidak boleh picik dan menganggap ilmu dan teknologi
adalah segala-galanya, masih terdapat banyak lagi sendi-sendi lain yang
menyangga peradaban manusia yang baik. Demikian juga masih terdapat ke-
benaran-kebenaran lain di samping kebenaran keilmuan yang melengkapi
harkat kemanusiaan yang hakiki. Jika kaum ilmuwan konsekuen dengan
pandangan hidupnya, baik secara intelektual maupun secara moral, maka
salah satu penyangga masyarakat modem ini, yaitu ilmu pengetahuan, akan
berdiri dengan kukuh. Berdirinya pilar penyangga keilmuan ini merupakan
tanggung jawab sosial kaum ilmuwan (Suryasumantri, 1984).
Ilmuwan mempunyai kewajiban sosial untuk menyampaikan kepada
masyarakat dalam bahasa yang mudah dicerna. Tanggung jawab sosial seorang
ilmuwan adalah memberikan perspektif yang benar, untung dan rugi, baik dan
buruknya, sehingga penyelesaian yang objektif dapat dimungkinkan.
Dengan kemampuan pengetahuannya seorang ilmuwan harus dapat
memengaruhi opini masyarakat terhadap masalah-masalah yang seyogianya
mereka sadari. Dalam hal ini, berbeda dengan saat menghadapi masyarakat,
ilmuwan yang elitis dan esoterik, dia harus berbicara dengan bahasa yang
dapat dicerna oleh orang awam. Untuk itu ilmuwan bukan saja mengandalkan
pengetahuannya dan daya analisisnya namun juga integritas kepribadiannya.
Seorang ilmuwan pada hakikatnya adalah manusia yang biasa berpikir
dengan teratur dan teliti. Seorang ilmuwan tidak menolak dan menerima
sesuatu secara begitu
234 Moralitas llmu Pengetahuan
236
Moralitas Ilmu Pengetahua
n
dalam kehidupan manusia. Akan tetapi, menyadari juga apa yang seharusnya
dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta
martabat manusia, baik dalam hubungan sebagai pribadi, dengan lingkungan-
nya maupun sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap khalik-Nya.
Jadi, sesuai dengan pendapat van Melsen (1985) bahwa perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan
keberadaan manusia tergantung pada manusianya itu sendiri, karena ilmu
pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan
manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan
kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk
mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang baik.
Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan
bantuan agar manusia dapat sungguh- sungguh mencapai pengertian tentang
martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk
mengembangkan diri manusia. Tetapi juga merupakan hasil perkembangan
dan kreatifitas manusia itu sendiri.
13.5. llmu: Bebas Nilai atau Tidak Bebas Nilai
Rasionalitas ilmu pengetahuan terjadi sejak Rene Descartes bersikap
skeptik sebagai metode yang meragukan segala sesuatu, kecuali dirinya yang
sedang ragu-ragu (cogito ergo sum). Sikap ini berlanjut pada masa aufklarung,
suatu era yang merupakan usaha manusia untuk mencapai
24
0
ilmuwan tidak boleh terpengaruh oleh sistem budaya, sistem politik, sistem
tradisi, atau apa saja yang hendak menyimpangkan tujuan ilmu. Tujuan ilmu
yang dimaksud adalah objektivitas yang berlaku secara universal dan komunal.
Di samping sikap ilmiah berlaku secara umum tersebut, pada
kenyataannya masih ada etika keilmuan yang secara spesifik berlaku bagi
kelompok ilmuwan tertentu. Misalnya etika kedokteran, etika bisnis, etika
politisi, serta etika-etika profesi lainnya yang secara normatif berlaku dan
dipatuhi oleh kelompoknya itu. Taat asas dan patuh terhadap norma etis yang
berlaku bagi para ilmuwan diharapkan akan menghilangkan kegelisahan serta
ketakutan manusia terhadap perkembangan ilmu dan teknologi. Bahkan,
diharapkan manusia akan semakin percaya pada ilmu yang membawanya pada
suatu keadaan yang membahagiakan dirinya sebagai manusia. Hal ini sudah
tentu jika pada diri para ilmuwan tidak ada sikap lain kecuali pencapaian
objektivitas demi kemajuan ilmu untuk kemanusiaan.
13.7. Moralitas llmu Pengetahuan
Manusia sebagai manipulator dan artikulator dalam mengambil manfaat
dari ilmu pengetahuan. Dalam psikologi, dikenal konsep diri dan Freud
menyebut sebagai "id", "ego" dan "super-ego". "Id" adalah bagian kepribadian
yang menyimpan dorongan-dorongan biologis (hawa nafsu dalam agama) dan
hasrat-hasrat yang mengandung dua instink: libido (konstruktif) dan thanatos
(destruktif
dan agresif). "Ego" adalah penyelaras antara "id" dan realitas dunia luar.
"Super-ego" adalah polisi kepribadian yang mewakili ideal, hati nurani
(Jalaluddin Rakhmat, 1985). Dalam agama, ada sisi destruktif manusia, yaitu
sisi angkara murka (hawa nafsu).
Ketika manusia memanfaatkan ilmu pengetahuan untuk tujuan praktis,
mereka dapat saja hanya memfungsikan "id"-nya, sehingga dapat dipastikan
bahwa manfaat pengetahuan mungkin diarahkan untuk hal-hal yang
destruktif. Misalnya dalam pertarungan antara id dan ego, di mana ego kalah
sementara super-ego tidak berfungsi optimal, maka tentu—atau juga nafsu
angkara murka yang mengendalikan tindak manusia menjatuhkan pilihan
dalam memanfaatkan ilmu pengetahuan —amatlah nihil kebaikan yang
diperoleh manusia, atau malah mungkin kehancuran. Kisah dua kali perang
dunia, kerusakan lingkungan, penipisan lapisan ozon, adalah pilihan "id" dari
kepribadian manusia yang mengalahkan "ego" maupun " super-ego" -nya.
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pembicaraan tentang nilai-nilai
adalah hal yang mutlak. Nilai ini menyangkut etika, moral, dan tanggung
jawab manusia dalam mengembangkan ilmu pengetahuan untuk dimanfaatkan
bagi sebesar-besar kemaslahatan manusia itu sendiri. Karena dalam
penerapannya, ilmu pengetahuan juga punya bias negatif dan destruktif, maka
diperlukan patron nilai dan norma untuk mengendalikan potensi "id" (libido)
dan nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut dengan
pemanfaatan ilmu pengetahuan. Di sinilah etika
24
Istilah kejahatan sempurna atau bisa disebut The Perfect Crime, mungkin
memang jarang sekali dipakai atau didengar dalam istilah-istilah fenomen
kejahatan.
Jean Baudrilland, dalam bukunya The Perfect Crime (1992), yang
menjelaskan kejahatan menjadi hyper ketika ia melampaui berbagai realitas
(hukum, moralitas, akal sehat, dan budaya). Ketika ia telah berkembang
sedemikian
Moralitas llmu Pengetahuan
13.10. Ringkasan
Proses pencarian dan penemuan kebenaran ilmiah yang dilandasi etika,
merupakan kategori moral yang menjadi dasar sikap etis seorang ilmuwan.
Ilmuwan bukan saja berfungsi sebagai penganalisis materi kebenaran
tersebut, tetapi juga harus menjadi prototipe moral yang baik. Fungsi ilmuwan
tidak berhenti pada penelaah dan keilmuan secara individual namun juga ikut
bertanggung jawab agar produk keilmuannya sampai dan bermanfaat bagi
masyarakat.
Setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan
itu sendiri. Ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang
tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan itu sendiri.
Pengingkaran atau perlawanan etika dalam ilmu pengetahuan adalah
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip etika keilmuan. Seperti sikap-sikap
buruk yang dilakukan oleh peneliti atau adanya campur tangan faktor
eksternal yang mengakibatkan ilmu sendiri diragukan validitasnya.
- Kejahatan sempurna adalah : kejahatan yang dengan sistematis
membunuh realitas, yang menikam kebenaran, yang menusuk keadilan,
kejahatan yang begitu rapi direncanakan, diorganisir, dan dikontrol.
Bab XIV
14.1. Deskripsi
Pada bab ini diuraikan tentang pengertian ilmu pengetahuan, teknologi
dan kebudayaan serta relevansinya terhadap ilmu Politik. Topik-topik tersebut
telah menjadi pembicaraan dan tidak henti-hentinya diperbincangkan. Baik
politik maupun ilmu pengetahuan, Teknologi dan Kebudayaan, keduanya
mempunyai hubungan yang saling mendasari perkembangan satu dan lainnya.
Dapat dikatakan bahwa ilmu, teknologi dan kebudayaan dipengaruhi dari
pemikiran politik saat ini.
yang ada dalam kebudayaan itu, yang menyebabkan teknologi itu tidak
berfungsi optimal atau mengalami disfungsi.
14.7. Ringkasan
langgarnya.
Pengandaian bahwa teknologi hanya mengubah dunia materiil, pada taraf
sekarang tidak benar seluruhnya, karena teknologi langsung mengubah alam
pikiran dan tanggapan. Dunia materiil diubah dengan memproduksi benda-
benda, dunia tanggapan diubah dengan memproduksi tanda-tanda.
Semakin besarnya peranan para ahli dalam politik, dapat membawa kita
kepada oligarki para ahli, yang dapat menggeser partisipasi masyarakat luas
dalam suatu sistem politik yang demokratis.
Berfungsinya teknologi tidak saja tergantung kepada sifat teknologi itu
sendiri, tetapi juga sangat tergantung kepada wacana tentang teknologi.
Penyelidikan tentang wacana ini besar manfaatnya untuk melihat peraturan-
per- aturan yang dianut dalam kalangan teknologi untuk menjalankan
fungsinya, dan apa yang terdapat di balik peraturan-peraturan itu, yang sering
kali memperlihatkan dirinya dalam topeng-topeng ilmiah dan filosofis, yang
memerlukan kritik untuk mengungkapkannya dan meninjau atau kalau perlu
mendekonstruksinya sekalian.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Daftar Pustaka
Abdurrahman, M. 2005. At-Tafkeer. Alih bahasa oleh Abu Faiz, Cet. I Bogor:
Pustaka Thariqul Izzah, Hal. 34.
Adib, Mohammad. 2009. Jatidiri Unair Telah Berhasil Disusun dalam
http://madib.blog.unair.ac.id/ethics/ jatidiri-ua-telah-berhasil-disusun/
Adib, Mohammad. 2007. Bahan Ajar Filsafat Ilmu dan Logika. Surabaya:
Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas
Airlangga.
Adib, Mohammad. 2007. Filsafat Ilmu: Diskursus tentang Filsafat, Ilmu dan
Agama dalam Ilmu Keperawatan, Kedokteran Gigi, serta Psikologi. Surabaya:
Laboratorium Humaniora Tingkat Persiapan Bersama (TPB) Universitas
Airlangga.
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Asmadi, AsmoroDrs. Filsafat Umum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Athiyat, Ahmad. 2004 At-Thariq, Alih Bahasa oleh Dede Koswara, Cet. I.
Bogor: Pustaka Thariqul Izzah. Bakhtiar, Amsal. 2007. Filsafat Ilmu.
Jakarta: Rajawali Pers. Bakker, Anton. 1990. Metodologi Penelitian Filsafat.
Yogyakarta: Kanisius.
Beerling, Kwee, Mooij Van Peursen. 1986. Pengantar Filsafat Ilmu.
Jogjakarta: PT Tiara Wacana Yogya.
1997. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
1998. Lintasan Sejarah Ilmu. Yogyakarta: PUBIB.
Brower, dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu. 2001 Filsafat Ilmu.
Yogyakarta: Liberty Yogyakarta. Hal. 129.
Budiardjo, Miriam. 2006 Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama.
Chalmers, A.F. 1983 Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?.
Jakarta: Hasta Mitra.
Dato, A. dan S. Morgenbesser. 1960 Philosophy of Science.
New York: Meridian Books.
Gie, The Liang. 1991. Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty.
Gie. The Liang. 2004. Pengantar Filsafat Ilmu, Edisi II (Yogyakarta: Liberty
Yogyakarta, 2004), Hal. 110. Departemen Pendidikaan dan Kebudayaan. 1977.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Cet IX (Jakarta: Balai Pustaka, 1997), hal. 652.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Universitas Terbuka. 1985 Materi
Dasar Pendidikan Program Akta Mengajar V, 1985.
Hamami M., Abbas. 1976. Filsafat (Suatu Pengantar Logika Formal - Filsafat
Pengetahuan). Yogyakarta: Yayasan
Daftar Pustaka
Mehra, Partap Sing dan Burhan, Jazir. 1988. Pengantar Logika Tradisional.
Bandung: Bina Cipta.
Filsafat Ilmu: Ontologi. Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Indek
A antropologi 13, 59
Aksiologi 78 Anzahel 3
A.C. Ewing 43 AR Lacey 78
Abbas Hamami M 242 Argumentum ad baculum
activity 47 190
aksiologi 23, 81 Argumentum ad hominem
Al-Battani 31 188
Al-farabi 3, 21, 31 argumentum ad hominem 2
Al-ghazali 3 189
Al-Khowarizmi 31 Argumentum ad ignoratiam
Al-kindi 3, 31, 41 195
Ali Mudhofir 38 Argumentum ad
aliran monisme 86 verecundiam 194
Amfiboli 185 Aristoteles 19, 27, 31, 34, 37,
Anaxagoras 82 72, 88, 149, 166, 206
Anaximander 81, 86 attitude 47
Anaximandros 26 Augustinus 19, 30
Angeles, Peter 55 Averroisme 31
Anton Bakker 87
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilm
u B
B. Spinoza 82, 86
Babbie 134
Bacon 31
Bacon, Francis 31, 179
Baudrilland, Jean 248
Benjamin, A, Cornelius
55
Berger, Peter 113
Berkeley 12
Biesanz, John 59
Brooks, Harvey 253
C
CA. Van Peurson 52
Cassirer, Ernest 88
Cicero 21
Comte, August 122
Conant, James B. 133
conclusions 47
Copernicus 12
D
Darwinisme 217
David Hume 4
E.B. Taylor 59
Descartes, Rene 10, 19, 22, 37, effects 47
Einstein 97
77, 82118, 237 eksistensialisme 119
Dewey, John 178 Elwood 63
Empedokles 82
E empirisme 73
epistemologi 23, 41, 74, 75, 81
Esensialisme 123
F
filsafat ilmu 70
Fransiscan Roger Bacon 4
Freud 243
G
G. Kemeny, John 49 Galilei,
Galileo 12
H. Gerard Van Cromona 4
Gordon 83
Guba 112
H
H. Titus, Harold 38, 49
Habermas 239
Hanafi 3
Hanbali 3
Hebernas, Jurgen 120
Heraklitus 27, 28, 34
homo oeconomicus 59
Daftar Pustak
266
a I
Ibnu Khaldun 3
Ibnu Rusyd 31
Ibnu Sina 3, 4, 31, 39
Ignoratio elenchi 194
Induksi 145, 147
J
J. Bahm, Archie 47
J.J. Rousseau 4
J.J.C.Smart 56
John Locke 4
Horgan, John 80
Josep Situmorang 238
Hume 5, 11, 12, 77
Jujun S. Suriasumantri 50,
Husserl 239
70, 120
K
Kant, Immanuel 18, 33, 37,
82, 89, 118
Kattsoff, Louis 17, 42
Kebudayaan 253
Klemens 30
Koherensi 121
Konstruktivisme 124
Korespondensi 121
L
Lehrer, Keith 76
Leibinz 82
Leonardo da Vinci 7
Locke, John 178, 201
M
M.J. Langeveld 42
Maliki 3
Martir, Justinus 30
Maslow 59
Mavies 59
Metafisika 41
metafisisontology 119
method 47
Michelangelo 7
Mill, John Stuart 166
monisme 82
Montagu, Ashley 59
Mr. D.C. Mukler 42
Muhammad Abdurrahman
140
N
N. Driyarkara S.J., 39
naturalisme 73
Newton 4, 45
Notonagoro 38
Kuns, Thomas 80
Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu 26
Parmenides 27 34
penomenologi 119
perenialisme 119
Petitio principii 196
Phenix 85 Phytagoras
O 27, 34
Pierce 134
Plato 18, 21, 37, 70, 72, 76, 82,
118
Positivisme 122
Pragrmatisme 123
Pyhtagoras 26, 29
R
R. Harre 46
rasionalisme 252
realisme 73
Reid 77
Religiusisme 124 Singer, Charles 49
Rizal Mustansyir 239 Skeptisme 12
Rosenblueth, Arturo 133
St. Augustine 71
Russell, Bertrand 80, 125
Surajiyo 126
S
Suriasumantri 232
Scheffler, Israel 55
Syafii 3
Senn, Peter R. 132
silogistik 10
T
Tagore, Rabindranath 19
Taqiyuddin an-Nabhani 133
teori Evolusi Darwin 40
V
van Dyike 60,65
W
Weber 238
Whitehead, 181
Xenophanes 27, 34
Lampiran-lampiran
Lampiran-lampiran
27
0
telanjur melekat pada benak masyarakat awam bahwa disiplin ini adalah
ilmu yang hanya mempelajari masyarakat primitif.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa antropologi memang belum
dipromosikan secara maksimal. Bahwa cakupan kajian antropologi kini
telah sedemikian luasnya sehingga merambah pada kehidupan komunitas
perkotaan yang kosmopolit, hal ini merupakan kenyataan yang tidak
dapat dipungkiri. Poin ini juga mempunyai hubungan dengan antropologi
terapan yang semestinya mempunyai sensitivitas terhadap berbagai
masalah yang timbul dalam masyarakat sebagai dampak globalisasi.
Akhir kata, penulis berharap catatan ini bisa menyambung lidah
kelu Amri Marzali, salah satu mursyid antropologi di Indonesia saat ini,
yang telah memperjuangkan kemajuan disiplin antropologi agar bisa
memberi kontribusi lebih besar kepada bangsa ini.
(Mohammad Rozi, Alumnus Program Studi
Antropologi pada Pascasarjana UGM).
Lampiran-lampiran
Apa bedanya dengan lirik lagu "wakil rakyat" dari Iwan Fals ?
bukankah sama ? Dan kalau anggota DPR yang terhormat tidak merasa
seperti yang DIGOSIPKAN (bukan yang dituduhkan), kan bisa cuek
saja...
Sebenarnya reaksi anggota DPR ini sangat berlebihan, mereka
menganggap bahwa dirinya orang yang paling berkuasa di negeri ini.
Memang, jika kita lihat dari tugas dan wewenangnya mereka mengawasi
pemerintah, membuat undang undang, menentukan gubernur BI,
memang akhir akhir ini porsi mereka cukup banyak di dunia perpolitikan,
tetapi ketika giliran digosipin (bukan dikritik, bukan diawasi), mereka
sudah kebakaran jenggot. Padahal bisa kita lihat di media televisi, tidak
sedikit dari mereka yang tidur ketika rapat. Padahal mereka DIGAJI oleh
rakyat. Apa ga punya malu....
Tapi memang tidak semua..dan bagi anggota DPR yang bekerja
dengan benar pasti gossip dari SLANK akan dianggap sebagai pemicu
untuk menjadi lebih baik lagi. Mestinya gosip dari slank dianggap saja
sebagai semacam kritikan yang membangun saja, itu kalo mereka mau
berpikir positif...Coba deh kalau mereka mau jujur, mau melihat dengan
hati nurani, mau merenung dalam dalam, apakah mereka sudah berbuat
banyak untuk rakyat ? sudah memberi yang terbaik ? kita bisa menilai
sendiri.
jadi wajar jika rakyat mengkritik dan memberi saran, orang mereka
yang milih kita ko', apa mungkin saking banyaknya pekerjaan sehingga
mereka lupa akan dirinya sendiri. MJR ( Mak Jelas Remang-Remang).
dari berbagai sumber
FiIsafat llmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika llmu
Biodata Penulis
Lampiran-lampiran