Anda di halaman 1dari 24

Pendahuluan

Pada hakikatnya bermain adalah media seseorang anak untuk mengekspresikan dirinya
dengan cara yang berbeda-beda, hal ini tidak terpaut pada usia seorang anak. Seseorang anak akan
lebih senang ketika bermain, karena anak mempunyai media sebagai pengekspresian dirinya. Melalui
bermain seorang anak dapat menemukan manfaatnya dalam berbagai aspek kehidupan yang
berfungsi dalam perkembangannya. Aspek tersebut meliputi aspek kognitif, afektif dan sosial. Semua
aspek dalam bermain ini adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu aspek
tidak ada maka akan muncul ketidakseimbangan dalam perkembangannya karena bermain
merupakan suatu aktivitas yang menyenangkan serta dibutuhkan oleh anak. Anak akan mendapatkan
berbagai keterampilan dengan senang hati tanpa paksaan dengan bermain.

Tulisan mengenai anak usia dini menyatakan bahwa pada masa kanak-kanak, ada dorongan
yang kuat untuk bergaul dengan orang lain dan ingin diterima oleh orang lain, jika kebutuhan ini tidak
terpenuhi, anak-anak tidak akan bahagia (Hurlock, 1978:251). Menurut Kremenitzer (2005:8), anak
usia dini merupakan saat yang kritis dalam memperoleh segala pembelajaran dimasa mendatang,
perkembangan sosial dan emosional merupakan komponen penting sehingga guru perlu memelihara
kecerdasan sosial emosional anak usia dini. Pernyataan di atas diperkuat dengan pendapat Gooden
& Kearns (2013) bahwa pengembangan komunikasi untuk anak usia dini sangat penting guna
mendapatkan keterampilan dalam memahami, mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi.
Pemahaman komunikasi tersebut dimulai dari sebelum kelahiran (saat kehamilan) dan terus menjalani
hidup, sebagai seorang anak sehingga mampu mendengar, melihat, dan menafsirkan informasi dari
orang lain.

Semiawan (1997: 144) mengemukakan akselerasi dalam cakupan kurikulum atau program
berarti meningkatkan kecepatan waktu dalam menguasai materi yang dimiliki seseorang, yang
dilakukan dalam kelas khusus, kelompok khusus atau sekolah khusus, dalam waktu tertentu. Definisi
anak berbakat yang ada di Indonesia diadopsi dari definisi keberbakatan United State Office of
Education dalam (Hawadi, 2004: 35) yang menyatakan bahwa anak berbakat adalah mereka yang
diidentifikasikan oleh orang-orang yang berkualifikasi profesional memiliki kemampuan luar biasa dan
mampu berprestasi tinggi. Anak-anak ini membutuhkan program pendidikan yang terdiferensiasi dan
atau pelayanan di luar jangkauan program sekolah reguler agar dapat merealisasikan kontribusi
dirinya ataupun masyarakat. Program akselerasi memberikan layanan kebutuhan peserta didik yang
memiliki karakteristik khusus pada segi potensi intelektual dan bakat istimewa agar terlayani sesuai
dengan kebutuhannya.

Menurut Renzulli (dalam Munandar, 2004: 24) keberbakatan merupakan hasil perpaduan
dari tiga konsep, yaitu kemampuan di atas rata-rata, kreativitas di atas rata-rata, dan pengikatan diri
terhadap tugas. Ketiganya disebut The Three-Ring Conception of Giftedness. Ciri-ciri anak berbakat
yang dikemukakan oleh USOE (United States Officer of Education) (dalam Munandar, 2004: 23)
terdapat enam tipe keberbakatan dengan kemampuan-kemampuan khusus, seperti (1) kemampuan
intelektual umum, (2) kemampuan akademis khusus, (3) kemampuan berpikir kreatif dan produktif, (4)
kemampuan memimpin, (5) kemampuan dalam bidang seni, dan (6) kemampuan psikomotor. Keenam
tipe tersebut merupakan ciri-ciri umum dalam akselerasi. Meskipun demikian, pada kenyataan di
lapangan peserta didik yang memiliki kemampuan dan kecerdasan luar biasa dalam kemampuan
interaksi sosialnya belum berkembang.

Ada beberapa dampak negatif dalam program akselerasi bagi anak berbakat yang
dipaparkan oleh Hawadi (2004: 40). Beberapa dampak negatif program akselerasi yaitu terletak pada
masalah penyesuaian sosial. Masalah sosial yang dimaksud adalah siswa program akselerasi
didorong untuk berprestasi baik secara akademis. Hal ini akan mengurangi waktunya untuk
melakukan aktivitas yang lain. Siswa program akselerasi akan kehilangan aktivitas dalam masa-masa
hubungan sosial yang penting pada usianya. Kemungkinan siswa program akselerasi akan ditolak
oleh kakak kelasnya, sedangkan untuk teman sebayanya kesempatan untuk bermain pun sedikit
sekali. Hal ini menyebabkan siswa program akselerasi akan kehilangan kesempatan dan keterampilan
sosialnya. Padahal keberhasilan anak tidak ditentukan oleh aspek kognitif saja, melainkan
kemampuan untuk berinteraksi sosial dengan lingkungan, berempati kepada orang lain, dan
menghargai orang lain.

Aspek perkembangan sosial merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan sosial
anak terutama pada anak sekolah dasar. Pada masa ini dunia anak menjadi lebih luas dibandingkan
dengan masa kanak-kanak, antara lain tampak dari keinginannya untuk berkelompok (Munandar,
1992: 9). Masa perkembangan ini disebut masa sekolah dasar, karena pada masa ini anak diharapkan
mampu mempelajari keterampilan-keterampilan tertentu yang sangat penting bagi persiapan dan
penyesuaian diri terhadap kehidupan di masa depan. Hal tersebut didukung oleh Hurlock (dalam
Munandar, 1992: 2) yang memaparkan bahwa anak diharapkan mampu mempelajari keterampilan-
keterampilan tertentu yang meliputi, (1) keterampilan membantu diri sendiri, (2) keterampilan sosial,
(3) keterampilan sekolah, (4) keterampilan bermain. Salah satu keterampilan yang sangat penting
pada masa sekolah dasar adalah keterampilan sosial yang harus dimiliki peserta didik. Peserta didik
diharapkan mampu menjalin hubungan interaksi sosial yang baik dengan lingkungan rumah,
masyarakat, maupun lingkungan sekolah. Interaksi sosial yang terjalin di sekolah adalah adanya
interaksi antara siswa dengan guru dan sesama siswa yang harus dikembangkan, hal ini dapat
memperkuat hubungan sosial antara mereka.

Menurut Walgito (2003: 57) interaksi sosial adalah hubungan antara individu satu dengan
individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat
adanya hubungan yang saling timbal balik. Pada saat ini sistem pendidikan di Indonesia masih
berorientasi pada perkembangan kecerdasan kognitif sehingga pengembangan sosial emosional
dalam proses belajar mengajar terabaikan. Kemampuan seperti berempati kepada orang lain,
menghargai orang lain, mengendalikan emosi, dan keterampilan sosial cenderung tidak dinilai.

Di beberapa lembaga institusi pendidikan, guru, orang tua, dan masyarakat masih
menganggap bahwa anak cerdas adalah anak yang selalu mendapatkan nilai tertinggi serta mendapat
rangking tertinggi. Pada kenyataannya anak yang berprestasi dalam bidang akademik belum tentu
pula berhasil pada sosial emosionalnya. Seperti yang dijelaskan oleh Hawadi (2004: 83), menjadi
anak berbakat dengan kemampuan di atas rata-rata tidak menjamin bahwa tidak akan muncul
masalah dalam perkembangan mereka, bahkan mereka justru lebih rentan terhadap faktor sosial dan
emosionalnya.

Isu yang berkembang menunjukkan bahwa program kelas akselerasi yang diberlakukan baik
di sekolah dasar maupun sekolah menengah masih ada kekurangan terutama berkaitan dengan
masalah sosial siswa. Berbagai pengalaman sosial sebaya tidak dialami oleh siswa kelas program
akselerasi, mengingat porsi pembelajaran siswa akselerasi lebih banyak dibandingkan dengan siswa
reguler. Dari sisi internal, kelas program akselerasi lebih terlihat ekslusif dan membuat siswanya
merasa lebih dibandingkan dengan siswa reguler sehingga membuat kelompok-kelompok dalam
sekolah.

Menurut Freud dalam (Gerungan, 2009: 27) manusia memiliki superego yang terdiri atas hati
nurani, norma-norma, dan cita-cita pribadi yang tidak mungkin terbentuk dan berkembang tanpa
manusia itu bergaul dengan manusia lainnya. Sudah jelas bahwa tanpa pergaulan sosial manusia
tidak dapat berkembang sebagai manusia seutuhnya, maka perlu adanya pemberian layanan
bimbingan kelompok kepada siswa program akselerasi mengenai interaksi sosial. Dalam mengikuti
layanan bimbingan kelompok diharapkan siswa lebih memahami cara bersosialisasi dengan baik
melalui dinamika kelompok yang diwujudkan dengan tingkah laku yang lebih efektif.

B. Interaksi Sosial

Sebagai makhluk sosial, dalam hidupnya manusia pasti membutuhkan bantuan orang lain.
Adanya kebutuhan akan bantuan ini merupakan awal terbentuknya interaksi sosial dengan orang lain.
Interaksi sosial merupakan suatu hubungan antara individu satu dengan individu lainnya di mana
individu yang satu dapat mempengaruhi individu yang lainnya sehingga terdapat hubungan yang
saling timbal balik (Walgito, 2000: 65). Sama halnya menurut Maryati dan Suryawati (2003 : 22) yang
menyatakan bahwa, interaksi sosial adalah kontak atau hubungan timbal balik atau interstimulasi dan
respons antar individu, antar kelompok atau antar individu dan kelompok.

Terdapat perbedaan antara kedua pendapat ahli di atas, perbedaannya terletak pada
macam-macam interaksinya. Menurut Walgito interaksi sosial yang terjadi hanya interaksi antar
individu sedangkan menurut Maryati dan Suryawati mencakup antar individu, antar kelompok atau
antar individu dan kelompok. Sementara menurut Murdiyatmoko dan Handayani (2004 : 50), interaksi
sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh-mempengaruhi
yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan struktur sosial.
Selain itu menurut Siagian (2004 : 216), interaksi positif hanya mungkin terjadi apabila terdapat
suasana saling mempercayai, menghargai, dan saling mendukung.

Berdasar pengertian interaksi sosial di atas, dapat dilihat bahwa unsurunsur yang
terkandung dalam interaksi sosial adalah: (1) terjadinya hubungan antar individu (2) terjadinya
hubungan antar kelompok (3) adanya hubungan yang saling mempengaruhi (4) adanya umpan balik
(5) adanya rasa saling mempercayai, menghargai dan saling mendukung. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah suatu hubungan antar sesama individu baik secara individu
maupun kelompok yang saling mempengaruhi satu sama lain yang ditandai dengan adanya umpan
balik, rasa saling mempercayai, menghargai dan saling mendukung.

1. Pengertian Interaksi Sosial

Manusia sebagai makhluk sosial melakukan hubungan sosial antar sesamanya dalam
hidupnya. Dalam hubungan sosial itu individu menyadari bahwa dalam kehidupan bermasyarakat
mereka pasti membutuhkan bantuan orang lain. Adanya kebutuhan akan bantuan ini merupakan awal
terbentuknya interaksi sosial dengan orang lain. Menurut Walgito (2003: 57), interaksi sosial adalah
hubungan antara individu satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu
yang lain atau sebaliknya, jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik. Sedangkan
Suranto (2011: 5) menyatakan bahwa interaksi sosial adalah suatu proses berhubungan yang dinamis
dan saling pengaruh-mempengaruhi antar manusia. Pendapat lain dikemukakan oleh Soekanto dalam
(Dayakisni, 2009: 119) yang mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan antar orang perorang
atau dengan kelompok manusia. Bonner dalam (Gerungan, 2009: 62) juga memaparkan
bahwainteraksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia, di mana
kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu yang
lain, atau sebaliknya. Sedangkan pengertian lain dari interaksi sosial menurut Thibaut dan Kelly dalam
(Ali dan Asror, 2004: 87) adalah peristiwa saling mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau
lebih hadir bersama, mereka menciptakan suatu hasil satu sama lain, atau berkomunikasi satu sama
lain.
Menurut Shaw dalam (Ali dan Asror, 2004: 87) mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu
pertukaran antarpribadi yang masing-masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam
kehadiran mereka, dan masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain. Pendapat lain yang
dikemukakan oleh Murdiyanto dan Handayani (2004: 50) dalam (http://jurnal-sdm.blogspot.com),
interaksi sosial adalah hubungan antar manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh
mempengaruhi yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan pembentukan
struktur sosial. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas, disimpulkan bahwa unsur-unsur
yang terkandung dalam interaksi sosial, yaitu (1) terjadinya hubungan antar manusia, (2) terjadinya
hubungan antar kelompok, (3) saling mempengaruhi, dan (4) adanya umpan balik. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan antara individu dengan individu atau individu
dengan kelompok yang saling mempengaruhi sehingga terjadi hubungan timbal balik dan pada
akhirnya membentuk struktur sosial.

Beberapa ahli yang mendefinisikan interaksi sosial, di antaranya adalah:


a. Homans (dalam Ali. : 2004:87) mendefinisikan interaksi sebagai suatu kejadian ketika
suatu aktifitas yang dilakukan oleh seseorang terhadap individu lain diberi ganjaran atau
hukuman dengan menggunakan suatu tindakan oleh individu lain yang menjadi
pasangannya. Konsep yang dikemukakan Homans ini mengandung pengertian bahwa
interaksi sosial merupakan suatu tindakan yang dilakukan oleh seseorang dalam interaksi
merupakan suatu stimulus bagi tindakan lain yang menjadi pasangannya.
b. Shaw mendefinisikan interaksi sosial sebagai suatu pertukaran antar pribadi yang masing-
masing orang menunjukkan perilakunya satu sama lain dalam keadiran mereka, dan
masing-masing perilaku mempengaruhi satu sama lain.
c. Thibaut dan Kelley mendefinisikan interaksi sosial merupakan peristiwa saling
mempengaruhi satu sama lain ketika dua orang atau lebih hadir bersama, mereka
menciptakan hasil satu sama lain atau berkomunikasi satu sama lain. Jadi dalam ksus
interaksi, tindakan setiap orang bertujuan untuk mempengaruhi individu lain.
d. Gillin dan Gillin mendefinisikan interaksi sosial sebagai hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungna antara orang perorangan, antara kelompok-
kelompok manusia, maupun orang perorangan dengan kelompok.

2. Tujuan Interaksi Sosial

Interaksi sosial merupakan faktor paling penting dalam proses-proses sosial. Diantara tujuan
seseorang melakukan interaksi sosial antara lain:

a. untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan tertentu, baik yang bersifat individu atau kelompok.
b. untuk proses pemenuhan kebutuhan dasar dan kebutuhan sosial atau pemenuhan
kebutuhan fisik dan non fisik.
c. untuk meningkatkan kualitas kompetensi diri dalam berbagai aspek kehidupan sosial di
masyarakat.
d. untuk membangun solidaritas ingroup atau outgroup dalam kehidupan sosial di
masyarakat.
e. dalam rangka mendapat masukan atau media evaluasi diri atau refleksi diri tentag pola
perilaku yang telah di lakukan dalam proses-proses sosial.

3. Macam-macam Interaksi Sosial


Dari pengertian interaksi sosial yang sudah dipaparkan di atas, maka dapat diketahui bahwa
interaksi sosial tidak hanya terjadi antara individu yang satu dengan individu yang lainnya, melainkan
interaksi sosial dapat terjadi antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, maupun
interaksi sosial antara kelompok dengan kelompok. Menurut Maryati dan Suryawati (2003: 23) dalam
(http://jurnal-sdm.blogspot.com) interaksi sosial dibagi menjadi tiga macam, yaitu : 1) interaksi antara
individu dan individu. Dalam hubungan ini bisa terjadi interaksi positif ataupun negatif. Interaksi positif,
jika hubungan yang terjadi saling menguntungkan. Interaksi negatif, jika hubungan timbal balik
merugikan satu pihak atau keduanya (bermusuhan), 2) interaksi antara individu dan kelompok.
Interaksi ini pun dapat berlangsung secara positif maupun negatif. Bentuk interaksi sosial individu dan
kelompok bermacam-macam sesuai situasi dan kondisinya, 3) interaksi sosial antara kelompok dan
kelompok. Interaksi sosial kelompok dan kelompok terjadi sebagai satu kesatuan bukan kehendak
pribadi. Misalnya, kerjasama antara dua perusahaan untuk membicarakan suatu proyek. Sedangkan
pendapat lain dipaparkan oleh Santosa (2004: 27) interaksi sosial terdiri dari empat macam, yaitu : 1)
interaksi antara individu dengan diri pribadi, 2) interaksi antara individu dengan individu, 3) interaksi
antara individu dengan kelompok, 4) interaksi antara kelompok dengan kelompok.

Siswa kelas program akselerasi sudah saling mempunyai hubungan yang mendalam antara
satu dengan yang lain, hubungan yang sudah terjalin tidak berlaku pada hari itu saja, namun sudah
terjalin sebelumnya. Dalam tulisan ini peneliti menggunakan layanan bimbingan dan konseling yang
berformat kelompok, yaitu layanan bimbingan kelompok. Diharapkan dalam layanan bimbingan
kelompok interaksi sosial siswa program akselerasi dapat terjalin kebersamaan antara anggota satu
dengan yang lainnya, sehingga dapat saling mempengaruhi tingkah laku individu dalam kelompok.

Berdasarkan uraian di atas bahwa interaksi sosial tidak hanya terjadi antara individu dengan
individu lain saja, melainkan antara individu dengan kelompok, dan kelompok satu dengan kelompok
lain. Dalam tulisan ini peneliti menggunakan salah satu macam interaksi sosial tersebut di atas yaitu
interaksi sosial antara individu dan kelompok sebagai acuan dalam tulisan. Kelompok yang dimaksud
adalah kelompok kelas program akselerasi yang bersifat kelompok primer. Walgito (2003: 88)
memaparkan bahwa kelompok primer adalah kelompok yang mempunyai interaksi sosial yang cukup
intensif, cukup akrab, hubungan antara anggota satu sama lain cukup baik. Sedangkan menurut
Gerungan (2009:92) kelompok primer yaitu kelompok sosial yang anggota-anggotanya sering
berhadapan muka dan saling mengenal dari dekat, dan karena itu saling-hubungannya lebih erat.

4. Ciri-ciri Interaksi Sosial

Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Dalam
interaksi sosial terdapat beberapa ciri-ciri yang terkandung di dalamnya, berikut menurut Santosa
(2004: 11) : 1) Adanya hubungan, yaitu setiap interaksi sudah barang tentu terjadi karena adanya
hubungan antara individu dengan individu maupun antara individu dengan kelompok. 2) Ada individu,
yaitu setiap interaksi sosial menuntut tampilnya individu-individu yang melaksanakan hubungan, 3)
Ada tujuan, yaitu setiap interaksi sosial memiliki tujuan tertentu seperti mempengaruhi individu lain, 4)
Adanya hubungan dengan struktur dan fungsi kelompok, yaitu interaksi sosial yang ada hubungan
dengan struktur dan fungsi kelompok ini terjadi karena individu dalam hidupnya tidak terpisah dari
kelompok. Disamping itu, tiap-tiap individu memiliki fungsi di dalam kelompoknya. Menurut Tim
Sosiologi (2002: 23) dalam (http://jurnal-sdm.blogspot.com), ada empat ciri-ciri interaksi sosial, antara
lain : 1) jumlah pelakunya lebih dari satu orang, 2) terjadinya komunikasi di antara pelaku melalui
kontak sosial, 3) mempunyai maksud atau tujuan yang jelas, 4) dilaksanakan melalui suatu pola sistem
sosial tertentu.
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri interaksi sosial
meliputi: (1) ada beberapa individu lebih dari satu, (2) ada komunikasi di dalamnya, (3) mempunyai
maksud dan tujuan yang jelas, dan (4) terjalin dalam struktur kelompok.

5. Bentuk-bentuk Interaksi Sosial

Bentuk-bentuk interaksi sosial berbeda dengan bentuk kelompok. Oleh karena itu interaksi
sosial dapat dibagi menjadi beberapa bagian. Bentuk interaksi sosial dibagi menjadi competiton,
conflict, accomodation, dan assimilation (Park dan Burgess dalam Santosa, 2004: 23). Interaksi sosial
dikategorikan ke dalam dua bentuk, yaitu : 1) interaksi sosial asosiatif yang meliputi kerjasama,
akomodasi, asimilasi, dan akulturasi. 2) interaksi sosial disosiatif, meliptuti persaingan, kontravensi,
konflik.

Dalam interaksi sosial terdapat beberapa ciri-ciri diantaranya menurut Santosa (2004 : 11)
bahwa ciri-ciri interaksi sosial meliputi:
a) Adanya hubungan Setiap interaksi tentu saja terjadi karena adanya hubungan antara individu
dengan individu maupun antara individu dengan kelompok.
b) Ada individu Setiap interaksi sosial melibatkan individu yang melakukan hubungan.
c) Ada tujuan Setiap interaksi sosial memiliki tujuan tertentu seperti mempengaruhi individu lain.
d) Adanya hubungan dengan struktur dan fungsi sosial Interaksi sosial yang ada hubungan dengan
struktur dan fungsi kelompok terjadi karena individu tidak dapat terpisah dari kelompok. Di
samping itu, tiap-tiap individu memiliki fungsi di dalam kelompoknya.

Dari penjabaran teori di atas, ciri-ciri interaksi sosial yang baik di lingkup sekolah misalnya,
hubungan antara kepala sekolah dengan guru, antar sesama guru, guru dengan staf-staf yang ada di
sekolah, maupun guru dengan para siswa dapat terjalin dengan baik. Ciri-ciri interaksi sosial yang
baik antara siswa dengan siswa misalnya adanya kebersamaan, rasa saling membutuhkan, saling
menghargai dan menghormati, tidak ada jarak antara yang kaya dan yang miskin, serta saling
membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama. Ciri-ciri interaksi sosial di atas, dapat
disimpulkan bahwa dalam berinteraksi sosial pasti akan terjalin hubungan antara individu dengan
individu yang lain, dimana dalam interaksinya itu mereka pasti mempunyai tujuan yang ingin dicapai,
baik itu tujuan individu maupun tujuan kelompok. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya
struktur dan fungsi sosial.

Adapun bentuk interaksi sosial (1) Kerjasama adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika
tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan anggota yang lain atau tujuan
kelompok secara keseluruhan sehingga setiap individu hanya dapat mencapai tujuan apabila individu
lain juga mencapai tujuan, (2) Persaingan adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika seorang individu
dapat mencapai tujuan sehingga individu lain akan terpengaruh dalam mencapai tujuan tersebut, (3)
Pertentangan adalah suatu bentuk interaksi sosial ketika individu atau kelompok dapat mencapai
tujuan sehingga individu atau kelompok lain akan hancur, (4) Akomodasi adalah usaha-usaha individu
untuk meredakan suatu pertentangan atau ketegangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai suatu
kestabilan, (5) Asimilasi adalah suatu proses sosial dalamtaraf kelanjutan, yang ditandai
denganadanya usaha-usaha mengurangi perbedaanyang terdapat diantara individu atau kelompok
dan juga merupakan usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses mental
dengan memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama.

a. Kerjasama
Kerja sama merupakan bentuk usaha bersama antar perorangan atau kelompok manusia
untuk mencapai suatu tujuan bersama. Bentuk kerja sama tersebut berkembang apabila orang dapat
digerakan untuk mencapai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di
kemudian hari mempunyai manfaat bagi semua. Juga harus ada iklim yang menyenangkan dalam
pembagian kerja serta balas jasa yang akan diterima. Dalam perkembangan selanjutnya, keahlian-
keahlian tertentu diperlukan bagi mereka yang bekerja sama supaya rencana kerja samanya dapat
terlaksana dengan baik. Kerja sama timbul karena orientasi orang-perorangan terhadap kelompoknya
(yaitu in-group-nya) dan kelompok lainya (yang merupakan out-group-nya). Kerja sama adalah suatu
bentuk interaksi sosial ketika tujuan anggota kelompok yang satu berkaitan erat dengan tujuan
anggota yang lain atau tujuan kelompok secara keseluruhan sehingga setiap individu hanya dapat
mencapai tujuan apabila individu lain juga mencapai tujuan (Santosa, 2004: 22). Pendapat lain
dikemukakan oleh Tim Sosiologi (2002: 49) yang mengatakan bahwa kerjasama adalah suatu usaha
bersama antara orang perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan
beberapa pendapat tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kerjasama adalah suatu usaha dari
individu atau kelompok dalam mencapai tujuan bersama. Proses timbulnya kerjasama adalah apabila
individu menyadari bahwa mereka harus bisa bekerjasama dengan individu lain, mempunyai tujuan
yang sama, dan saling membantu serta saling memberi atau menerima pengaruh dari oarang lain.

b. Persesuaian (Accomodation)

Menurut Gillin dan Gillin, akomodasi adalah suatu pengertian yang digunakan oleh para
sosiolog untuk menggambarkan suatu proses dalam hubungan-hubungan sosial yang sama artinya
dengan adaptasi dalam biologi. Maksudnya, sebagai suatu proses dimana orang atau kelompok
manusia yang mulanya saling bertentangan, mengadakan penyesuaian diri untuk mengatasi
ketegangan-ketegangan. Akomodasi merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan
tanpa menghancurkan pihak lawan sehingga lawan tidak kehilangan kepribadiannya.

Santosa (2004: 25) memaparkan akomodasi adalah usaha-usaha individu untuk meredakan
suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Hal ini senada dengan yang
dikemukakan oleh Tim Sosiologi (2002: 49) dalam (http://jurnal-sdm.blogspot.com), persesuaian atau
akomodasi adalah suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi dan kelompok-
kelompok manusia untuk meredakan pertentangan. Ada beberapa tujuan persesuaian, antara lain :
1) untuk mengurangi pertentangan antara individu atau kelompok sebagai akibat perbedaan paham,
2) untuk mencegah meledaknya pertentangan yang bersifat sementara, 3) untuk memungkinkan
kerjasama antara kelompok-kelompok sosial sebagai akibat psikologis atau kebudayaan, 4) untuk
mengusahakan peleburan antara kelompok-kelompok sosial yang terpisah. (Park dan Burgess dalam
Santosa, 2004: 25).

Akomodasi mempunyai beberapa bentuk, yaitu (1) Kompromi (compromise), yaitu bentuk
akomodasi ketika pihak-pihak yang terlibat perselisihan saling mengurangi tuntutan agat tercapai
suatu penyelesaian. Sikap dasar untuk melaksanakan kompromi adalah semua pihak bersedia untuk
merasakan dan memahami keadaan pihak lainnya. Contoh: Perjanjian antara Indonesia dengan
Malaysia tentang batas wilayah perairan. (2) Arbitrasi (arbitration), yaitu bentuk akomodasi apabila
pihak-pihak yang berselisih tidak sanggup mencapai kompromi sendiri, sehingga dilakukan melalui
pihak ketiga. Pihak ketiga di sini dapat ditunjuk oleh dua belah pihak atau oleh suatu badan yang
dianggap berwenang. Contoh: pertentangan antara karyawan dan pengusaha, diselesaikan melalui
serikat buruh serta Departemen Tenaga Kerja sebagai pihak ketiga. (3) Mediasi (mediation), yaitu
suatu bentuk akomodasi yang hampir sama dengan arbitrasi. Namun, pihak ketiga yang bertindak
sebagai penengah bersikap netral dan tidak mempunyai wewenang untuk memberi keputusan-
keputusan penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak. Contoh: mediasi pemerintah RI untuk
mendamaikan faksi-faksi yang berselisih di Kamboja. RI hanya menjadi fasilitator, sedangkan
keputusan mau berdamai atau tidak tergantung niat baik masing-masing faksi yang bertikai.
(4) Konsiliasi (conciliation), yaitu bentuk akomodasi untuk mempertemukan keinginan-keinginan dari
pihak-pihak yang bertikai untuk tercapainya kesepakatan bersama. Konsiliasi bersifat lebih lunak dan
membuka kesempatan kepada pihak-pihak yang bertikai untuk mengadakan asimilasi. Contoh: panitia
tetap penyelesaian masalah ketenagakerjaan mengundang perusahaan dan perwakilan karyawan
untuk menyelesaikan pemogokan. (5) Toleransi (toleration), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi
tanpa persetujuan yang resmi. Kadang-kadang toleransi terjadi secara tidak sadar dan tanpa
direncanakan karena adanya keinginan-keinginan untuk sedapat mungkin menghindarkan diri dari
perselisihan yang saling menrugikan kedua belah pihak. Contoh: umat kristiani tidak makan ketika
main bersama dengan umat islam yang sedang berpuasa. (6) Stalemate, yaitu bentuk akomodasi
ketika kelompok yang bertikai mempunyai kekuatan yang seimbang. Lalu keduanya sadar bahwa
tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur, sehingga per-tentangan atau ketegangan antara
keduanya akan berhenti dengan sendirinya. Contoh: pcrsaingan antara Blok Barat dan Blok Timur
Eropa berhenti dengan sendirinya tanpa ada pihak yang kalah ataupun menang. (7) Ajudikasi
(adjudication), yaitu penyelesain masalah atau sengketa melalui pengadilan atau jalur hukum. Contoh:
Persengketaan tanah warisan yang diselesaikan di pengadilan. (8) Displacement, yaitu bentuk
akomodasi yang merupakan untuk mengakhiri suatu pertentangan dengan cara mengalihkan
perhatian pada objek bersama. Contoh: adanya persengketaan Indonesia-Australia tentang batas
ZEE berakhir setelah dilakukan pembagian eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di Cclah Timor.
Persengketaan yang terjadi karena keberadaan sumberdaya alam, dan bukan ZEE. (9) Konversi,
yaitu bentuk akomodasi dalam menyelesaikan konflik dimana salah satu pihak bersedia mengalah
dan mau menerima pendirian pihak lain. Contoh: dua keluarga besar bermusuhan karena perbedaan
prinsip, tetapi karena anak mereka saling menjalin cinta yang tidak mungkin dipisahkan, sikap
permusuhan pun luluh dan bersedia saling menerima pertunangan anak-anaknya. (10) Koersi
(coercion), yaitu bentuk akomodasi yang terjadi melalui pemaksaan kehendak pihak tertentu terhadap
pihak lain yang lebih lemah. Berarti, terjadi penguasaan (dominasi) suatu kelompok atas pada
kelompok yang lemah. Contoh: penjajahan yang terjadi di Indonesia, warga Indonesia di paksa untuk
melakukan apa yang Belanda perintahkan.

c. Perpaduan (Assimilation)

Perpaduan (assimilation) berarti proses penyesuaian sifat-sifat asli yang dimiliki dengan
sifat-sifat lingkungan sekitar. Asimilasi merupakan proses sosial tahap lanjut atau tahap
penyempurnaan. Artinya, asimilasi terjadi setelah melalui tahap kerjasama dan akomodasi. Asimilasi
atau perpaduan adalah suatu proses sosial dalam taraf kelanjutan, yang ditandai dengan adanya
usaha-usaha mengurangi perbedaan yang terdapat di antara individu atau kelompok dan juga
merupakan usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan, sikap, dan proses mental dengan
memperhatikan kepentingan dan tujuan bersama (Santosa, 2004: 26). Pendapat lain dipaparkan oleh
Tim Sosiologi (2002: 49) dalam (http://jurnal-sdm.blogspot.com), asimilasi adalah proses sosial yang
timbul bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling
bergaul secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan
berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran.

Asimilasi atau perpaduan yang merupakan bentuk interaksi sosial yang ditandai dengan
adanya usaha-usaha untuk mempertinggi kesatuan tindakan dari masing-masing individu atau
kelompok dan proses mental dengan memperhatikan toleransi dalam kelompok. Ada beberapa
bentuk-bentuk asimilasi atau perpaduan, antara lain : 1) Alienation adalah suatu bentuk asimilasi
ketika individu kurang baik dalam interaksi sosialnya, dan 2) Stratification adalah suatu proses ketika
individu yang mempunyai kelas, kasta, tingkat, atau status memberi batas yang jelas dalam
masyarakat. Park dan Burgess dalam (Santosa, 2004: 26).
Individu sebagai makhluk sosial tidak bisa dihindarkan dengan interaksi sosial dan bentuk-
bentuk interaksi sosial yang dijalin. Seperti telah dipaparkan di atas, bentuk-bentuk interaksi sosial
meliputi kerjasama, persesuaian, dan asimilasi/perpaduan. Peranan bentuk-bentuk interaksi sosial
dalam interaksi sosial sangatlah penting. Hal ini disebabkan karena individu yang dapat berinteraksi
sosial dengan baik dalam lingkungan masyarakat adalah individu yang dapat menjalin bentuk-bentuk
interaksi sosial dengan baik pula.

Layanan bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekolompok orang
dengan memanfaatkan dinamika kelompok. Dinamika kelompok dalam bimbingan kelompok berguna
bagi pengembangan komunikasi antarpribadi dengan orang lain. Sedangkan menurut Floyd D. Ruch
dalam (Gerungan, 2009:119), dinamika kelompok adalah analisis dari hubungan-hubungan kelompok
sosial yang berdasarkan prinsip bahwa tingkah laku dalam kelompok adalah hasil dari interaksi yang
dinamis antara individu-individu dalam situasi sosial. Dalam kegiatan bimbingan kelompok pada siswa
program akselerasi diharapkan dapat tercipta dinamika kelompok yang dinamis dan timbal balik
antara anggota-anggota yang terlibat dalam kelompok.

d. Akulturasi

Akulturasi (acculturation) adalah berpadunya unsur-unsur kebudayaan yang berbeda dan


membentuk suatu kebudayaan baru, tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaannya yang asli.
Lamanya proses akulturasi sangat tergantung pada persepsi masyarakat setempat terhadap budaya
luar yang masuk. Akulturasi bisa terjadi dalam waktu yang relatif lama apabila masuknya melalui
proses pemaksaaan. Sebaliknya, apabila masuknya melalui proses damai, akulturasi tersebut akan
relatif lebih cepat. Contoh: Candi Borobudur merupakan perpaduan kebudayaan India dengan
kebudayaan Indonesia; musik Melayu bertemu dengan musik Spanyol menghasilkan musik
keroncong.

e. Disosiatif

Walaupun proses sosial ini kurang mendorong terciptanya keteraturan sosial. Bahkan
cenderung ke arah oposisi yang berarti cara yang bententangan dengan seseorang ataupun kelompok
untuk mencapai tujuan tertentu. Walau demikian, ada juga manfaatnya demi tercipta suatu keteraturan
sosial. Proses disosiatif dapat dibedakan ke dalam tiga bentuk sebagai berikut.

a) Persaingan (competition)

Persaingan (Competition) merupakan suatu proses sosial ketika berbagai pihak saling
berlomba dan berbuat sesuatu untuk mencapai tujuan tertentu. Persaingan terjadi apabila beberapa
pihak menginginkan sesuatu yang jumlahnya sangat terbatas atau sesuatu yang menjadi pusat
perhatian umum. Persaingan Adalah suatu perjuangan yang dilakukan perorangan atau kelompok
sosial tertentu, agar memperoleh kemenangan atau hasil secara kompetitif, tanpa menimbulkan
ancaman fisik di pihak lawannya. Contoh: Persaingan siswa dalam memperoleh juara kelas dalam
ujian akhir semester. Persaingan dilakukan dengan norna dan nilai yang diakui bersama. Sehingga
kecil kemungkinan persaingan menggunakan kekerasan atau ancaman.

b) Kontravensi (contravension)
Kontravensi (contravension) merupakan proses sosial yang ditandai adanya ketidakpuasan,
ketidakpastian, keraguan, penolakan, dan penyangkalan terhadap kepribadian seseorang atau
kelompok yang tidak diungkapkan secara terbuka. Kontravcnsi adalah sikap menentang secara
tersembunyi, agar tidak sampai terjadi perselisihan secara terbuka. Penyebab kontravensi antara lain
perbedaan pendirian antara kalangan tertentu dengan kalangan lain dalam masyarakat, atau bisa juga
dengan pendirian masyarakat.

Kontravensi Adalah bentuk proses sosial yang berada di antara persaingan dan konflik.
Wujud kontravensi antara lain sikap tidak senang, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan
yang ditujukan terhadap perorangan atau kelompok atau terhadap unsur kebudayaan golongan
tertentu. Sikap tersebut dapat berubah menjadi kebencian akan tetapi tidak sampai menjadi
pertentangan atau konflik. Menurut Leopold Von Wiese dan Howard Becker, terdapat lima bentuk
kontravensi yaitu, (1) kontarvensi Umum, contoh : Penolakan, perlawanan, protes, gangguan,
mengancam pihak lain, (2) kontravensi sederhana, contoh : menyangkal pernyataan orang lain di
depan umum, (3) kontravensi intensif, contoh : Penghasutan, penyebaran desas-desus, memfitnah,
(4) kontravensi rahasia, contoh : pembocoran rahasia, khianat, dan (5) kontarvensi taktis, contoh :
mengejutkan pihak lawan, provokasi, intimidasi.

c) Pertikaian

Pertiakaian merupakan proses sosial bentuk lanjut dari kontravensi. Sebab peselisihan
sudah bersifat terbuka. Pertikaian terjadi karena adanya perbedaan antara kalangan tertentu dalam
masyarakat. Semakain tajam perbedaan mengakibatkan amarah dan rasa benci yang mendorong
tindakan untuk melukai, menghancurkan atau menyerang pihak lain.

d) Konflik (conflict)

Konflik merupakan suatu perjuangan individu atau kelompok sosial untuk memenuhi
tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman kekerasan. Konflik tidak hanya
berwujut pertentangan fisik sajaakan tetapi pihak yang satu menyingkirkan pihak lain dengan cara
menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya. Konflik Adalah proses sosial antar perorangan atau
kelompok masyarakat tertentu, akibat adanya perbedaan paham dan kepentingan yang sangat
mendasar, sehingga menimbulkan adanya semacam gap atau jarak yang mengganjal interaksi sosial
di antara yang bertikai tersebut.

6. Pengertian Kemampuan Interaksi Sosial

Menurut Soekanto (2003: 61) interaksi sosial merupakan hubungan-hubungan sosial yang
dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok
manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia. Menurut H. Bonner dalam
Santosa (2006:11) interaksi sosial adalah suatu hubungan antara dua atau lebih individu manusia
ketika kelakuan individu yang satu mempengaruhi, mengubah, atau memperbaiki kelakuan individu
yang lain, atau sebaliknya.

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa interaksi sosial adalah hubungan
timbal balik yang dinamis antarindividu dengan individu, individu dengan kelompok, dan kelompok
dengan kelompok,yang saling bertemu, mempengaruhi atau memperbaiki kelakuan satu sama lain.
Sedangkan syarat-syarat adanya interaksi sosial adalah (1) adanya kontak sosial yaitu suatu kontak
sosial dapat bersifat primer dan sekunder. Kontak primer terjadi apabila yang mengadakan hubungan
langsung bertemu dan berhadapan muka, sedangkan kontak sekunder dapat dilakukan melalui alat-
alat seperti telpon, telegram, radio dan sebagainya, (2) adanya komunikasi yaitu Proses komunikasi
adalah pemberian tafsiran pada perilaku orang lain yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak
badaniah atau sikap yang diwujudkan dengan perasaan-perasaan apa yang ingin disampaikan oleh
orang tersebut.

Kemudian dasar-dasar interaksi sosial adalah (1) imitasi yaitu Imitasi adalah adanya tingkah
laku yang bersifat otomatis sehingga menimbulkan atau mengakibatkan tingkah laku yang seragam,
(2) sugesti adalah pemberian pengaruh kepada yang lain tanpa dikritik terlebih dahulu sehingga
akibatnya terjadi tingkah laku yang seragam di antara mereka, (3) identifikasi adalah sebagai proses
menyamakan dirinya dengan individu lain, atau dengan kata lain sebagai alat untuk sosialisasi individu
dalam kehidupan sehari-hari, (4) Simpati adalah suatu proses tertariknya seseorang individu kepada
individu lain dalam suasana atau situasi sosial.

7. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Interaksi Sosial

Interaksi sosial tidak muncul begitu saja. Interaksi sosial adalah hubungan antara individu
satu dengan individu yang lain, individu satu dapat mempengaruhi individu yang lain atau sebaliknya,
jadi terdapat adanya hubungan yang saling timbal balik (Walgito, 2003: 57). Terjadinya interaksi sosial
pada individu dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor imitasi, faktor sugesti, faktor
identifikasi, dan faktor simpati (Ahmadi, 2007: 25). Sedangkan menurut Gerungan (2009: 62),
kelangsungan interaksi sosial dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang
kompleks, tetapi dapat dibedakan beberapa faktor yang mendasarinya, baik secara tunggal maupun
bergabung, yaitu faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, faktor simpati. Peneliti menyimpulkan
dari kedua pendapat tersebut bahwa proses interaksi sosial dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu
faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan faktor simpati. Penjelasan dari keempat faktor
tersebut adalah sebagai berikut.

a. Faktor Imitasi

Imitasi merupakan tindakan meniru orang lain. Imitasi memiliki segi positif juga segi negatif,
dikatakan positif apabila individu tersebut mengikuti atau maniru individu lain yang baik dan sesuai
dengan norma yang berlaku dimasyarakat. Gabriel Tarde dalam (Ahmadi, 2007: 52) beranggapan
bahwa seluruh kehidupan sosial itu sebenarnya berdasarkan pada faktor imitasi saja. Peranan faktor
imitasi dalam interaksi sosial seperti digambarkan di atas juga mempunyai segi-segi yang negatif,
yaitu (1) mungkin yang diimitasi itu salah, sehingga menimbulkan kesalahan kolektif yang meliputi
jumlah manusia yang besar, (2) kadang-kadang orang yang mengimitasikan sesuatu tanpa kritik,
sehingga dapat menghambat perkembangan kebiasaan berpikir kritis.

Menurut Gerungan (2009:64) memaparkan bahwa imitasi bukan merupakan dasar pokok
dari semua interaksi sosial, melainkan merupakan suatu segi dari proses tingkah interaksi sosial, yang
menerangkan mengapa dan bagaimana dapat terjadi keseragaman dalam pandangan dan tingkah
laku di antara orang banyak.

b. Faktor Sugesti
Sugesti merupakan reaksi seseorang terhadap sesuatu secara langsung dan tanpa dipikir
terlebih dahulu. Sugesti terjadi karena pihak yang menerima anjuran itu tergugah secara emosional
tanpa dipikir terlebih dahulu. Sugesti biasanya dilakukan dari orang-orang yang berwibawa dan
memiliki pengaruh besar di lingkungan sosialnya. Akan tetapi, sugesti dapat pula berasal dari
kelompok besar (mayoritas) terhadap kelompok kecil (minoritas), ataupun orang dewasa terhadap
anak-anak. Cepat atau lambatnya proses sugesti ini sangat tergantung pada usia,
kepribadian, kemampuan intelektual, dan keadaan fisik seseorang.

Menurut Ahmadi (2007: 53) yang dimaksud sugesti adalah pengaruh psikis, baik yang
datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya diterima tanpa adanya daya kritik.
Sedangkan Gerungan (2009: 65) mendefinisikan sugesti sebagai suatu proses di mana seorang
individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa
kritik terlebih dahulu. Dari beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa sugesti adalah
pengaruh psikis yang diterima individu tanpa adanya kritik.

c. Faktor Identifikasi

Identifikasi merupakan kecenderungan atau keinginan dalam diri seseorang untuk menjadi
sama dengan pihak lain. Biasanmya yang menjadi objek dari proses identifikasi adalah idolanya.
Skap, perilaku, keyakinan dan pola hidup yang menjadi idola akan melembaga bahkan menjiwai para
pelaku identifikasi, sehingga sangat berpengaruh terhadap pembentukan dan perkembangan
kepribadiannya.

Identifikasi dalam psikologi berarti dorongan untuk menjadi identik dengan orang lain, baik
secara lahiriah maupun secara batiniah. Proses identifikasi berlangsung secara tidak sadar (secara
dengan sendirinya) kemudian irrasional, yaitu berdasarkan perasaan-perasaan atau kecenderungan-
kecenderungan dirinya yang tidak diperhitungkan secara rasional, dan identifikasi berguna untuk
melengkapi sistem norma-norma, cita-cita, dan pedoman-pedoman tingkah laku orang yang
mengidentifikasi itu.

d. Faktor Simpati

Simpati merupakan suatu proses dimana seseorang merasa tertarik pada pihak lain. Di
dalam proses ini perasaan memegang peranan yang sangat penting, walaupun dorongan utama pada
simpati adalah keinginan untuk memahami pihak lain dan untuk bekerja sama dengannya. Simpati
adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Simpati timbul tidak atas dasar
logis rasional, melainkan berdasarkan penilaian perasaan seperti juga pada proses identifikasi.
Hubungan antara individu yang berinteraksi merupakan hubungan saling pengaruh yang timbal balik.
Interaksi sosial dalam bentuknya yang sederhana, ternyata merupakan proses yang kompleks. Ada
beberapa faktor yang mendasarinya, yaitu faktor imitasi, faktor sugesti, faktor identifikasi, dan faktor
simpati. Dengan cara imitasi, pandangan dan tingkah laku seseorang mewujudkan sikap, ide, dan
adat istiadat dalam kelompok masyarakat serta dapat memperluas hubungan sosialnya dengan orang
lain.

Selain faktor imitasi, terdapat faktor lain yaitu sugesti. Sugesti dapat dirumuskan sebagai
suatu proses di mana seorang individu menerima suatu cara penglihatan atau pedoman-pedoman
tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu. Sedangkan identifikasi adalah dorongan untuk
menjadi identik dengan orang lain, baik secara lahiriah maupun secara batiniah. Berikutnya simpati
adalah perasaan tertariknya orang yang satu terhadap orang yang lain. Kegiatan bimbingan kelompok
bermaksud membahas secara bersama-sama topik tertentu. Pembahasan topik-topik mendorong
pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan mewujudkan tingkah laku yang efektif.
Melalui bimbingan kelompok yang intensif, diharapkan interaksi sosial siswa program akselerasi dapat
terjalin secara optimal yang dipengaruhi oleh faktor-faktor interaksi sosial.

Dengan adanya interaksi sosial dengan orang lain, maka seseorang termasuk siswa akan
mempunyai pola tingkah laku yang sesuai dengan lingkungannya tersebut. Apabila lingkungan itu baik
maka hal itu tidak akan menjadi masalah bagi perkembangan siswa tersebut, namun yang
dikhawatirkan apabila lingkungan tinggal siswa itu adalah lingkungan yang sifatnya negatif, maka
dikhawatirkan hal itu akan berdampak buruk bagi perkembangan diri siswa. Dengan demikian, situasi
sosial atau lingkungan tempat individu tinggal dapat mempengaruhi perkembangan individu atau
siswa.

Selain itu norma-norma sosial juga mempunyai andil dalam perkembangan interaksi sosial
siswa. Hal itu sesuai dengan pernyataan yang diungkapkan oleh Santosa (2004: 12) yang
menjelaskan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi interaksi sosial adalah, (1) the nature of the
social situation, situasi sosial itu memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada dalam
situasi tersebut, (2) the norms prevailing in any given social group, kekuasaan norma-norma kelompok
sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu, (3) their own personality
trends, masalah masing-masing individu memiliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap
tingkah lakunya, (4) a person s trasnsitory tendenciessetiap individu beinteraksi sosial dengan
kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara, dan (5) the process of perceiving and
interpretating a situation setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini
mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. Jadi dapat disimpulkan bahwa
yang mempengaruhi interaksi sosial siswa adalah situasi sosial tempat individu tinggal, norma sosial
yang mengatur dalam kelompok, serta masalah yang terjadi pada masing-masing individu.

8. Proses Terjadinya Interaksi Sosial

Proses terjadinya interaksi sosial ada tiga, yaitu tingkah laku komunikatif, pembentukan
norma-norma kelompok, dan respon interpersonal (Newcomb dkk, 1978: 247). Penjelasannya
sebagai berikut.

a. Tingkah Laku Komunikatif

Sikap setiap anggota kelompok yang berinteraksi, dipengaruhi oleh sikap anggota lain
proses saling pengaruh mempengaruhi terjadi tidak langsung atau segera sifatnya, dan menyangkut
komunikasi. Menurut Newcomb dkk. (1978: 293), komunikasi adalah suatu bentuk hubungan
interpersonal di mana dapat dikatakan, orang dapat mengadakan kontak dengan isi pikiran orang lain.
Komunikator menguji keberhasilan pertukaran informasi melalui feedback, yaitu dengan melihat
tanda-tanda pada tingkah laku orang lain yang memperlihatkan efek atas si penerima berita
sebelumnya, dan dengan demikian membantu pengirim berita untuk menentukan apakah berita sudah
diterima sebagaimana dimaksudkan.

b. Pembentukan Norma-Norma Kelompok

Dalam hidup manusia diperlukan adanya suatu peraturan untuk mengatur perilakunya.
Peraturan-peraturan yang dirumuskan sebagai penerimaan bersama terhadap suatu peraturan itu
diistilahkan sebagai norma kelompok. Norma kelompok yang dibentuk dan diterima dalam suatu
kelompok tentunya harus dilaksanakan.

c. Respon Interpersonal

Orang-orang belajar beradaptasi terhadap tingkah laku orang lain, dengan menerima
informasi balasan, atau arus balik, khususnya mengenai dirinya sendiri, dan juga dengan
membandingkan sikap dan nilai orang lain dengan sikap dan nilai diri sendiri. Pengaruh timbal balik
digambarkan dengan pemudahan sosial, suatu proses di mana apa yang dilihat dan didengar dari
anggota kelompok yang melakukan hal yang sama, berpengaruh memperkuat perbuatan itu. Menurut
Gillin & Gillin dalam (Dayakisni, 2009: 119) ada dua macam proses sosial yang timbul sebagai akibat
adanya interaksi sosial, yaitu proses asosiatif dan proses disasosiatif.

d. Proses asosiatif

Proses asosiatif yakni yang mengarah kepada bentuk-bentuk asosiasi (hubungan atau
gabungan) seperti : 1) akomodasi adalah proses penyesuaian sosial dalam interaksi antara pribadi
dan kelompok manusia untuk meredakan pertentangan, 2) asimilasi adalah proses sosial yang timbul
bila ada kelompok masyarakat dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda, saling bergaul
secara intensif dalam jangka waktu lama, sehingga lambat laun kebudayaan asli mereka akan
berubah sifat dan wujudnya membentuk kebudayaan baru sebagai kebudayaan campuran, 3)
akulturasi adalah proses sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat dengan suatu
kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari kebudayaan asing, sehingga lambat laun
unsur unsur kebudayaan asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri, 4) proses disosiatif, yakni yang
mengarah kepada bentuk konflik.

9. Syarat Syarat Terjadinya Interaksi Sosial

Ada dua syarat pokok terjadinya interaksi sosial, hal itu senada dengan pendapat Dayakisni
(2009: 119) yang menyatakan bahwa, interaksi sosial tidak mungkin terjadi apabila tidak memenuhi
dua syarat yaitu adanya kontak sosial dan adanya komunikasi. Adapun penjelasannya adalah sebagai
berikut.

a. Kontak Sosial

Kontak sosial yaitu hubungan antara satu pihak dengan pihak lain yang merupakan reaksi
sosial, dan masing-masing pihak saling bereaksi antara satu dengan yang lain meski tidak harus
bersentuhan secara fisik.Namun, pengertian kontak sosial pada zaman teknologi yang telah maju ini
tidak berarti hanya terjadi kontak langsung saja, tetapi dapat terjadi pada kontak tidak langsung.
Misalnya melalui media teknologi informasi.Kontak sosial dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu
(1) kontak primer, yaitu terjadi apabila seseorang mengadakan hubungan secara langsung seperti,
tatap muka, berjabat tangan, saling tersenyum, main mata, dan lain-lain, (2) kontak sekunder, yaitu
kontak tidak langsung memerlukan perantara, seperti menelepon, dan berkirim surat.

Apabila dicermati, baik dalam kontak primer maupun kontak sekunder terjadi hubungan
timbal balik antara komunikator dan komunikan, yang menimbulkan percakapan antara komunikator
dengan komunikan.Dalam percakapan tersebut agar kontak sosial dapat berjalan dengan baik, harus
ada rasa saling pengertian dan kerjasama yang baik antara komunikator dengan komunikan. Dari
penjelasan di atas terlihat ada tiga komponen pokok dalam kontak sosial, yaitu: (1) percakapan, (2)
saling pengertian, dan (3) kerjasama antara komunikator dan komunikan. Ketiga komponen di atas
merupakan kemampuan interaksi sosial yang harus dimiliki oleh siswa. Kemudian selanjutnya tiga
komponen itu akan dijadikan sebagai indikator dalam kisi-kisi instrumen tulisan yang akan digunakan
oleh peneliti dalam tulisan tulisan ini.

b. Komunikasi

Komunikasi artinya berhubungan atau bergaul dengan orang lain. Komunikasi ada dua
macam yaitu komunikasi verbal dan komunikasi non verbal. Menurut De Vito (dalam Sugiyo, 2005: 4)
mengemukakan ciri-ciri komunikasi meliputi lima ciri yaitu,
1) Empati. Dalam komunikasi antarpribadi perlu ada empati dari komunikator, hal ini dapat dinyatakan
bahwa komunikasi antarpribadi akan berlangsung secara kondusif apabila pihak komunikator
menunjukkan rasa empati pada komunikan. Empati dapat diartikan sebagai menghayati perasaan
orang lain atau turut merasakan apa yang dirasakan orang lain.
2) Keterbukaan atau opennes. Komunikasi antar pribadi mempunyai ciri keterbukaan maksudnya
adanya kesediaan kedua belah pihak untuk membuka diri, mereaksi kepada orang lain, merasakan
pikiran dan perasaan orang lain. Keterbukaan ini sangat penting dalam komunikasi antarpribadi agar
komunikasi menjadi lebih bermakna dan efektif. Keterbukaan ini berarti adanya niat dari masing-
masing pihak yang dalam hal ini antara komunikator dan komunikan saling memahami dan membuka
pribadi masing-masing,

Menurut Surya (2003) dalam Sugiyo (2005: 5) empati adalah sebagai suatu kesediaan untuk
memahami orang lain secara paripurnabaik yang nampak maupun yang terkandung, khususnya
dalam aspek perasaan, pikiran, dan keinginan. Dengan berempati kita menempatkan diri dalam
suasana perasaan, pikiran, dan keinginan orang lain sedekat mungkin. Secara psikologis apabila
dalam komunikasi komunikator menunjukkan empati pada komunikan akan menunjang
berkembangnya suasana hubungan yang didasari atas saling pengertian, penerimaan, dipahami, dan
adanya kesamaan diri.

c. Dukungan

Dalam komunikasi antarpribadi perlu dimunculkan sikap memberi dukungan dari pihak
komunikator agar komunikan mau berpartisipasi dalam kominikasi. De Vito (1989) yang dikutip Sugiyo
(2005: 5) secara tegas menyatakan keterbukaan dan empati tidak akan bertahan lama apabila tidak
didukung oleh suasana yang mendukung. Hal ini berarti bahwa dalam komunikasi antarpribadi perlu
adanya suasana yang mendukung atau memotivasi, lebih-lebih dari komunikator.

d. Rasa positif

Rasa positif dalam komunikasi antarpribadi ditunjukkan oleh sikap dari komunikator
khususnya sikap positif. Sikap positif dalam hal ini berarti adanya kecenderungan bertindak pada diri
komunikator untuk memberikan penilaian yang positif terhadap komunikan. Dalam komunikasi
antarpribadi sikap positif ini ditunjukkan oleh sekurang-kurangnya dua aspek/ unsur yaitu: pertama,
komunikasi antarpribadi hendaknya memberikan nilai positif dari komunikator. Maksud pernyataan ini
yaitu apabila dalam komunikasi, komunikator menunjukkan sikap positif terhadap komunikan maka
komunikan juga akan menunjukkan sikap positif. Sebaliknya jika komunikator menunjukkan sikap
negatif maka komunikan juga akan bersikap negatif. Kedua, perasaan positif pada diri komunikator.
Hal ini berarti bahwa situasi dalam komunikasi antarpribadi hendaknya menyenangkan. Apabila
kondisi ini tidak muncul maka komunikasi akan terhambat dan bahkan akan terjadi pemutusan
hubungan.

e. Kesetaraan

Kesetaraan/ kesamaan menunjukkan kesetaraan antara komunikator dan komunikan.


Dalam komunikasi antarpribadi kesetaraan ini merupakan ciri yang penting dalam keberlangsungan
komunikasi dan bahkan keberhasilan komunikasi antarpribadi. Apabila dalam komunikasi antarpribadi
komunikator merasa mempunyai derajat kedudukan yang lebih tinggi daripaad komunikan maka
dampaknya akan ada jarak dan ini berakibat proses komunikasi akan terhambat. Namun apabila
komunikator memposisikan dirinya sederajat dengan komunikan maka pihak komunikan akan merasa
nyaman sehingga proses komunikasi akan berjalan dengan dengan baik dan lancar. Berdasarkan
pendapat beberapa ahli di atas dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat yang dibutuhkan dalam
interaksi sosial adalah adanya kontak sosial dan adanya komunikasi, baik itu kontak primer maupun
kontak sekunder dan komunikasi verbal maupun komunikasi non-verbal. Syarat-syarat interaksi sosial
di atas, akan dijadikan sebagai indikator dalam penyusunan skala interaksi sosial.

10. Peran Interaksi Sosial terhadap Bimbingan dan Konseling

Interaksi sosial merupakan hubungan timbal balik antara individu dengan individu, individu
dengan kelompok atau kelompok dengan kelompok. Dalam bimbingan dan konseling, konseling ini
di lakukan melalui proses wawancara antara konseli dengan konselor. Secara tidak langsung dari
proses wawancara ini telah terjadi proses interaksi sosial di antara keduanya. Dalam bimbingan dan
konseling ini interaksi sosial mempunyai peran antara lain:
a. Dapat mengubah perilaku konseli ke arah yang lebih baik
b. Dengan melakukan proses wawancara antara konseli dengan konselor, konselor membantu konseli
untuk dapat menyelesaiakan masalahnya. Sehingga masalah konseli dapat terselesaikan.
c. Membantu konseli bagaimana hidup dalam lingkup sosial masyarakat
d. Membantu konseli agar dapat menempatkan diri pada ststus dan peran sesuai dengan keahlian
yang dimilikinya.

11. Kriteria Kemampuan Interaksi Sosial yang Baik

Kemampuan interaksi sosial merupakan hal mutlak yang harus dimiliki olah setiap manusia,
karena pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Menurut Santosa (2004 : 11), ciri-ciri interaksi
sosial adalah adanya hubungan; adanya individu; adanya tujuan; dan adanya hubungan dengan
struktur dan fungsi sosial. Dari teori di atas, dapat dicontohkan bahwa ciri-ciri interaksi sosial yang
baik di lingkup sekolah misalnya, hubungan antara kepala sekolah dengan guru, antar sesama guru,
guru dengan staf-staf yang ada di sekolah, guru dengan para siswa maupun antara siswa sendiri
dapat terjalin dengan baik.

Ciri-ciri interaksi sosial yang baik antara siswa dengan siswa misalnya adanya kebersamaan,
rasa saling membutuhkan, saling menghargai dan menghormati, tidak ada gap atau jarak antara yang
kaya dan yang miskin, serta saling membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama yang
ingin dicapai. Jika dikaitkan dengan syarat terjadinya interaksi sosial, maka dapat disimpulkan bahwa
kriteria interaksi sosial yang baik adalah individu dapat melakukan kontak sosial dengan baik, baik
kontak primer maupun kontak sekunder yang ditandai dengan kemampuan individu dalam melakukan
percakapan dengan orang lain, saling pengertian, dan mampu bekerjasama dengan orang lain.

Tidak hanya itu, individu juga perlu memiliki kemampuan melakukan komunikasi dengan
orang lain, yang ditandai dengan adanya rasa keterbukaan, empati, memberikan dukungan atau
motifasi, rasa positif pada orang lain, dan adanya kesamaan atau disebut kesetaraan dengan orang
lain. Kemampuankemampuan seperti itulah yang dituntut dalam interaksi sosial.
Kemampuankemampuan itu menunjukkan kriteria interaksi sosial yang baik. Kriteria interaksi sosial
yang baik ini akan dijadikan sebagai dasar atau tolok ukur untuk meningkatkan kemampuan interaksi
sosial siswa. untuk selanjutnya kriteria interaksi sosial ini akan dijadikan sebagai indikator dalam
pembuatan instrumen skala interaksi sosial.

12. Cara Meningkatkan Interaksi Sosial

Dalam bimbingan dan konseling kemampuan interaksi sosial siswa dapat dikembangkan
dengan layanan bimbingan kelompok. Dalam layanan bimbingan kelompok siswa diberikan
pembelajaran tentang penanaman nilai dan sikap tertentu, cara atau kebiasaan tertentu, dan
bagaimana mereka menyelesaikan masalah-masalah yang sedang mereka hadapi. Hal itu sesuai
dengan tujuan layanan bimbingan kelompok seperti yang diungkapkan Prayitno (2004:2), bahwa
layanan bimbingan kelompok menambah wawasan dan pemahaman, mengarahkan penilaian dan
sikap, menguasai cara atau kebiasaan tertentu, untuk memenuhi kebutuhannya dan mengatasi
masalah-masalahnya.

Dengan bimbingan kelompok yang dimaksud individu akan lebih mampu menjalani
kehidupannya secara efektif. Dari penjelasan teori di atas, apabila dikaitkan dengan tulisan yang akan
dilakukan dalam tulisan ini yaitu menambah wawasan dan pemahaman; maksudnya siswa diberikan
wawasan dan pemahaman tentang interaksi sosial yang baik, mengarahkan penilaian dan sikap;
maksudnya memberikan pembelajaran kepada siswa mengenai bagaimana mereka menilai dan
bersikap saat mereka berinteraksi dengan orang lain. Dengan begitu diharapkan siswa dapat
mengatasi masalah-masalah yang mereka hadapi dan dapat menjalani kehidupan mereka secara
efektif. Berdasarkan tujuan layanan bimbingan kelompok di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa kemampuan interaksi sosial siswa dapat ditingkatkan melalui layanan bimbingan kelompok.

C. Bimbingan Kelompok

1. Pengertian Layanan Bimbingan Kelompok

Kegiatan bimbingan kelompok tercapai jika di dalamnya terdapat dinamika kelompok.


Dinamika kelompok dalam bimbingan kelompok berguna bagi pengembangan pribadi ketika
mengadakan komunikasi antarpribadi dengan orang lain. Prayitno (1995: 178) mengemukakan bahwa
bimbingan kelompok adalah suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan
memanfaatkan dinamika kelompok. Artinya, semua peserta dalam kegiatan kelompok saling
berinteraksi, bebas mengeluarkan pendapat, menanggapi, memberi saran, dan lain-lain sebagainya;
apa yang dibicarakan itu semuanya bermanfaat untuk diri peserta yang bersangkutan sendiri dan
untuk peserta lainnya.
Pendapat lain dipaparkan oleh Sukardi (2008: 78) layanan bimbingan kelompok yaitu
layanan bimbingan, konseling yang memungkinkan sejumlah peserta didik (konseli) secara bersama-
sama melalui dinamika kelompok memperoleh berbagai bahan dari narasumber tertentu (terutama
dari guru pembimbing/konselor) dan/atau membahas secara bersama-sama pokok bahasan (topik)
tertentu yang berguna untuk menunjang pemahaman dan kehidupannya sehari-hari dan/atau untuk
perkembangan dirinya baik sebagai individu maupun sebagai pelajar, dan untuk pertimbangan dalam
pengambilan keputusan dan/atau tindakan tertentu. Menurut Wibowo (2005: 17) bimbingan kelompok
adalah suatu kegiatan kelompok di mana pemimpin kelompok menyediakan informasi-informasi dan
mengarahkan diskusi agar anggota kelompok menjadi lebih sosial atau untuk membantu anggota-
anggota kelompok untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.

Tujuan Layanan Bimbingan Kelompok Menurut Prayitno (2004: 2-3) tujuan bimbingan
kelompok terdiri atas tujuan umum dan tujuan khusus. Secara umum bimbingan kelompok bertujuan
untuk membantu siswa dalam mengembangkan kemampuan sosialisasi, khususnya kemampuan
komunikasi peserta layanan. Tujuan khusus bimbingan kelompok yaitu bimbingan kelompok
bermaksud membahas topik-topik tertentu yang mengandung permasalahan aktual (hangat) dan
menjadi perhatian peserta. Melalui dinamika kelompok yang intensif, pembahasan topik-topik itu
mendorong pengembangan perasaan, pikiran, persepsi, wawasan, dan sikap yang menunjang
diwujudkannya tingkah laku yang lebih efektif. Dalam hal ini kemampuan berkomunikasi verbal
maupun non verbal ditingkatkan (Prayitno, 2004: 3). Tujuan bimbingan kelompok seperti yang
dikemukakan oleh (Prayitno, 1995: 178) adalah: (1) mampu berbicara di depan orang banyak, (2)
mampu mengeluarkan pendapat, ide, saran, tanggapan, perasaan dan lain sebagainya kepada orang
banyak, (3) belajar menghargai pendapat orang lain, (4) bertanggung jawab atas pendapat yang
dikemukakannya, (5) mampu mengendalikan diri dan menahan emosi (gejolak kejiwaan yang bersifat
negatif), (6) dapat bertenggang rasa, (7) menjadi akrab satu sama lainnya, (8) membahas masalah
atau topik-topik umum yang dirasakan atau menjadi kepentingan bersama.

Layanan bimbingan kelompok berguna bagi pengembangan pribadi individu di mana dapat
mengembangkan kemampuan sosialisasi maupun kemampuan berkomunikasi, dengan berlatih
berbicara, menanggapi, menerima dan memberi pendapat, dan belajar menghargai pendapat orang
lain, serta mampu mengendalikan diri dan emosi pada saat kegiatan.

2. Asas-asas Layanan Bimbingan Kelompok

Etika dalam layanan bimbingan kelompok sangat diperlukan agar layanan bimbingan
kelompok dapat berlangsung secara kondusif, yaitu dengan mengacu pada asas-asas layanan
bimbingan kelompk, antara lain sebagai berikut.

a. Asas Kesukarelaan

Asas kesukarelaan dimulai sejak awal rencana pembentukan kelompok. Kesukarelaan terus-
menerus dibina melalui upaya pemimpin kelompok mengembangkan syarat-syarat kelompok yang
efektif dan penstrukturan tentang layanan bimbingan kelompok. Melalui kesukarelaan anggota
kelompok akan dapat mewujudkan peran aktif diri mereka masing-masing untuk mencapai tujuan
layanan.

b. Asas Keterbukaan
Semua peserta bebas dan terbuka mengeluarkan pendapat, ide, saran, dan apa saja yang
dirasakannya dan dipikirkannya, tidak merasa takut, malu atau ragu-ragu, dan bebas berbicara
tentang apa saja, baik tentang dirinya, sekolah, pergaulan, keluarga, dan sebagainya.

c. Asas Kerahasian

Segala sesuatu yang dibahas dan muncul dalam kegiatan kelompok hendaknya menjadi
rahasia kelompok yang hanya boleh diketahui oleh anggota kelompok dan tidak disebarluaskan ke
luar kelompok. Seluruh anggota layanan hendaknya menyadari benar hal ini dan bertekad untuk
melaksanakannya. Pemimpin kelompok dengan sungguh-sungguh hendaknya memantapkan asas ini
sehingga seluruh anggota layanan berkomitmen penuh untuk melaksanakannya.

d. Asas Kegiatan

Hasil usaha layanan bimbingan kolompok tidak tercipta dengan sendirinya tetapi harus diraih
oleh anggota kelompok yang bersangkutan. Anggota kelompok secara aktif menampilkan diri tanpa
rasa takut, malu ataupun ragu sehingga dinamika kelompok semakin tinggi, berisi dan bervariasi.
Pemimpin kelompok hendaknya dapat mengelola kegiatan serta dapat menimbulkan suasana agar
anggota kelompok termotivasi untuk menampilkan dirinya secara aktif.

e. Asas Kekinian

Pemimpin kelompok memberikan isi aktual dalam pembahasan yang dilakukan, anggota
kelompok diminta mengemukakan hal-hal yang terjadi dan berlaku sekarang ini. Hal-hal atau
pengalaman yang telah lalu dianalisis dan disangkut-pautkan kepentingan pembahasan hal-hal yang
terjadi dan berlaku sekarang. Hal-hal yang akan datang direncanakan sesuai dengan kondisi yang
ada sekarang.

f. Asas Kenormatifan

Semua yang dibicarakan dan yang dilakukan dalam kelompok tidak boleh bertentangan
dengan norma-norma dan peraturan yang berlaku, semua yang dilakukan dan dibicarakan dalam
bimbingan kelompok harus sesuai dengan norma adat, norma agama, norma hukum, norma ilmu, dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku.

3. Peranan Pemimpin dan Anggota Kelompok

Dalam layanan bimbingan kelompok peranan pemimpin kelompok sangatlah penting dan
menentukan tercapainya tujuan layanan. Sebagaimana yang dikemukakan Prayitno (1995: 35-36)
bahwa peranan pemimpin kelompok ialah:
a. Pemimpin kelompok dapat memberikan bantuan, pengarahan ataupun campur tangan langsung
terhadap kegiatan kelompok. Campur tangan ini meliputi, baik hal-hal yang bersifat isi dari yang
dibicarakan maupun yang mengenai proses kegiatan itu sendiri.
b. Pemimpin kelompok memusatkan perhatian pada suasana yang berkembang dalam kelompok itu,
baik perasaan anggota-anggota tertentu maupun keseluruhan kelompok. Pemimpin kelompok dapat
menanyakan suasanan perasaan yang dialami itu.
c. Jika kelompok itu tampaknya kurang menjurus kearah yang dimaksudkan maka pemimpin
kelompok perlu memberikan arah yang dimaksudkan itu.
d. Pemimpin kelompok juga perlu memberikan tanggapan (umpan balik) tentang berbagai hal yang
terjadi dalam kelompok, baik yang bersifat isi maupun proses kegiatan kelompok.
e. Lebih jauh lagi, pemimpin kelompok juga diharapkan mampu mengatur lalu lintas kegiatan
kelompok, pemegang aturan permainan (menjadi wasit), pendamai dan pendorong kerja sama serta
suasana kebersamaan. Disamping itu pemimpin kelompok, diharapkan bertindak sebagai penjaga
agar apapun yang terjadi di dalam kelompok itu tidak merusak ataupun menyakiti satu orang atau
lebih anggota kelompok sehingga ia/mereka itu menderita karenanya.
f. Sifat kerahasiaan dari kegiatan kelompok itu dengan segenap isi dan kejadian-kejadian yang timbul
di dalamnya, juga menjadi tanggung jawab pemimpin kelompok.

Kegiatan bimbingan kelompok sebagian besar didasarkan atas peranan para anggotanya.
Peranan kelompok ini tidak akan terwujud tanpa keikutsertaan secara aktif para anggota kelompok.
Peranan para anggota kelompok sangatlah penting menentukan, karena merupakan badan dan jiwa
kelompok. Peranan anggota kelompok agar dinamika kelompok selalu berkembang, adalah : (1)
membantu terbinanya suasana keakraban dalam hubungan antar anggota kelompok, (2)
mencurahkan segenap perasaan dalam melibatkan diri dalam kegiatan kelompok, (3) berusaha agar
yang dilakukannya itu membantu tercapainya tujuan bersama, (4) membantu tersusunnya aturan
kelompok dan berusaha mematuhinya dengan baik, (5) benar-benar berusaha untuk secara aktif ikut
serta dalam seluruh kegiatan kelompok, (6) mampu berkomunikasi secara terbuka, (7) berusaha
membantu anggota lain, (8) memberi kesempatan anggota lain untuk juga menjalankan peranannya,
(9) menyadari pentingnya kegiatan kelompok itu (Prayitno, 1995: 32).

4. Tahap-tahap Layanan Bimbingan Kelompok

Pada umumnya terdapat empat tahap perkembangan kelompok seperti yang dikemukakan
oleh Prayitno (1995: 40-58), yaitu tahap pembentukan, tahap peralihan, tahap pelaksanaan, dan tahap
pengakhiran. Tahap-tahap tersebut merupakan suatu kesatuan dari seluruh kegiatan bimbingan
kelompok. Berikut penjelasan dari masing-masing tahapan.

a. Tahap Pembentukan

Tahap ini merupakan tahap pengenalan, tahap pelibatan diri atau tahap memasukan diri ke
dalam kehidupan suatu kelompok. Pada tahap ini pada umumnya para anggota saling
memperkenalkan diri dan juga mengungkapkan tujuan ataupun harapan-harapan yang ingin dicapai
baik oleh masing-masing, sebagian, maupun seluruh anggota. Pemimpin kelompok menjelaskan
cara-cara dan asas-asas dalam bimbingan kelompok. Selanjutnya memberikan permainan kelompok
dengan tujuan menambah kehangatan dan keakraban dalam kelompok. Dalam tahap ini anggota
kelompok mulai belajar untuk terlibat dalam interaksi sosial. Fungsi dan tugas utama pemimpin
kelompok selama tahap ini adalah mampu mengarahkan anggota kelompok sehingga terjadi dinamika
kelompok dan terjalin interaksi antar anggota kelompok yang bebas, terbuka, saling mendukung, serta
memberikan rasa nyaman. Prayitno (1995:44) menyatakan bahwa kegiatan-kegiatan yang harus
dilakukan pada tahap awal adalah, 1) mengungkapkan pengertian dan tujuan kegiatan bimbingan
kelompok, 2) menjelaskan cara-cara dan asas-asas kegiatan bimbingan kelompok, 3) saling
memperkenalkan dan mengungkapkan diri, dan 4) Permainan penghangat/pengakraban.

b. Tahap Peralihan
Setelah suasana kelompok terbentuk dan dinamika kelompok sudah mulai tumbuh. Tahapan
kedua untuk mengalihkan kegiatan awal kelompok ke kegiatan berikutnya yang lebih terarah pada
pencapaian tujuan kelompok. Pemimpin kelompok menjelaskan peranan para aggota kelompok
dalam kegiatan. Dalam tahap ini pemimpin kelompok mampu menerima suasana yang ada secara
sabar dan terbuka. Menurut Prayitno(1995: 47) kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan pada tahap
ini adalah 1) menjelaskan kegiatan yang akan ditempuh pada tahap berikutnya, 2) menawarkan atau
mengamati kesiapan anggotanya menjalani kegiatan pada tahap selanjutnya (tahap ketiga), 3)
membahas suasana yang terjadi, 4) meningkatkan kemampuan keikutsertaan anggota, 5) apabila
diperlukan kembali ke beberapa aspek tahap pertama (tahap pembentukan).

c. Tahap Kegiatan

Tahap ini merupakan kehidupan yang sebenarnya dari kelompok. Namun, kelangsungan
kegiatan kelompok pada tahap ini amat bergantung pada hasil dari dua tahap sebelumnya. Jika dua
tahap sebelumnya berhasil dengan baik, maka tahap ketiga itu akan berhasil dengan lancar.
Pemimpin kelompok dapat lebih santai dan membiarkan para anggota sendiri yang melakukan
kegiatan tanpa banyak campur tangan dari pemimpin kelompok. Di sini prinsip tut wuri handayani
dapat diterapkan.

Tahap kegiatan ini merupakan kegiatan inti kegiatan bimbingan kelompok. Di mana masing-
masing anggota kelompok saling berinteraksi memberikan tanggapan dan lain sebagainya yang
menunjukkan hidupnya kegiatan bimbingan kelompok yang pada akhirnya membawa kearah
bimbingan kelompok sesuai tujuan yang diharapkan. Saling tukar pengalaman dalam perasaan yang
terjadi, pengutaraan, penyajian dan pembukaan diri berlangsung dengan bebas. Para anggota
bertukartanggap dengan baik, dan saling membantu dan menerima, serta saling berusaha untuk
menguatkan rasa kebersamaan sehingga interaksi sosial di antara mereka terjalin secara optimal.
Adapun cara pelaksanaan yaitu sebagai berikut.
1) Masing-masing anggota kelompok dalam bimbingan kelompok secara bebas dan sukarela
berbicara, bertanya, mengeluarkan pendapat, ide, sikap, saran, serta perasaan yang dirasakannya
pada saat itu.
2) Mendengarkan dengan baik bila anggota kelompok berbicara, yaitu setiap salah satu anggota
kelompok menyampaikan tanggapan, maka anggota kelompok lainnya memperhatikannya, karena
dengan memperhatikannya maka akan mudah untuk saling menanggapi pendapat lain, sehingga
akan menumbuhkan dinamika kelompok di dalam kegiatan bimbingan kelompok tersebut.
3) Mengikuti aturan yang ditetapkan oleh kelompok dalam bimbingan kelompok, yaitu dalam
pelaksanaan bimbingan kelompok dibuat semacam kesepakatan antara pemimpin kelompok dengan
para anggota kelompok, sehingga diharapkan dalam pelaksanaan kegiatan tersebut dapat berjalan
sesuai yang diharapkan oleh kedua belah pihak.

d. Tahap Pengakhiran

Setelah kegiatan kelompok memuncak pada tahap kegiatan, selanjutnya kelompok akan
mengakhiri kegiatan sesuai dengan kesepakatan awal. Dalam pengakhiran ini terdapat kesepakatan
kelompok apakah kelompok akan melanjutkan kegiatan dan bertemu kembali serta berapa kali
kelompok itu bertemu. Dengan kata lain kelompok yang menetapkan sendiri kapan kelompok itu akan
melakukan kegiatan. Dapat disebutkan kegiatan-kegiatan yang perlu dilakukan pada tahap ini adalah:
1) penyampaian pengakhiran kegiatan oleh pemimpin kelompok, 2) pengungkapan kesan-kesan dari
anggota kelompok, 3) penyampaian tanggapan-tanggapan dari masing-masing anggota kelompok. 4)
pembahasan kegiatan lanjutan, 5) penutup.
Setelah semua tahap di atas terlaksana kemudian diadakan evaluasi dan tindak lanjut. Pada
kegiatan tindak lanjut ini para anggota kelompok dapat membicarakan upaya-upaya yang telah
ditempuh. Para anggota kelompok menyampaikan tentang pemahaman, perasaan, dan tindakan yang
akan dilakukan dalam kehidupan sehari-hari setelah mengikuti kegiatan bimbingan kelompok. Hal
tersebut dapat memberi gambaran akan keberhasilan kegiatan bimbingan kelompok.

5. Evaluasi Kegiatan Layanan Bimbingan Kelompok

Penilaian kegiatan bimbingan kelompok diorientasikan pada perkembangan pribadi siswa


dan hal-hal yang dirasakan berguna untuk mereka. penilaian terhadap kegiatan bimbingan kelompok
dapat dilakukan secara tertulis, baik melalui essai, daftar cek, maupun daftar isian sederhana
(Prayitno, 1995: 81). Setiap akhir kegiatan, anggota diminta mengungkapkan perasaannya, pendapat,
harapan, minat dan sikapnya selama melakukan kegiatan (yang menyangkut isi maupun proses).
Anggota kelompok juga diminta untuk mengemukakan (baik lisan maupun tertulis) tentang hal-hal
yang paling berharga dan atau kurang mereka senangi selama kegiatan berlangsung.

Penilaian bimbingan kelompok berorientasi pada perkembangan, yaitu mengenali kemajuan


atau perkembangan positif yang terjadi pada anggota. Penilaian layanan tersebut bersifat penilaian
dalam proses yang dilakukan melalui : 1) mengamati partisipasi dan aktivitas peserta selama kegiatan
berlangsung, 2) mengungkapkan pemahaman peserta atas materi yang dibahas, 3) mengungkapkan
kegunaan layanan bagi anggota kelompok, dan perolehan anggota sebagai hasil dari keikutsertaan
mereka, 4) mengungkapkan minat dan sikap anggota kelompok tentang kemungkinan kegiatan
lanjutan, dan 5) mengungkapkan tentang kelancaran proses dan suasana penyelenggaraan layanan.

Referensi

Anitah, S. 2009. Teknologi Pembelajaran. Surakarta: UNS Press


Arikunto, S. 2006. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta : Bumi Aksara
Bimo Walgito. 1999. Psikologi sosial. Yogyakarta: Andi.
Bruce Joyce, dkk. 2009. Model Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Davis, dkk. 2005. The indianapolis vocational intervention program A cognitive behavioral apporoach
to addresy rehabilitation. Departement of veterans affairs.
Dayakisni, T. dan Hudaniah. 2009. Psokologi Sosial. Malang : UMM Press
Evans, G. C., Stamopoulos, E., and Maloney, C. 2014. Building Leadership Capacity In Early
Childhood Pre-Service Teachers. Australian Journal of Teacher Education, 42-49
Frisch, N.C., & Frisch, L.E. 2006. Psychiatric Mental Health Nursing. 3th ed. Canada : Thomson
Delmar Learning
Gerungan W.A. 2004. Psikologi Sosial. Bandung: Refika Aditama
Gooden, M. S and Kearns, J. 2013. The Importance Of Communication Skills In Young Children.
Human Development Institute Research Brief, 1-4
Hadi, Sutrisno. 2000. Statistik Jilid 3. Yogyakarta: Andi
Hawker. 2007. Cooperative Learning. Brownlow Education
Herman J, Waluyo. 2003. Drama: Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: Hanindita Graha.
Hurlock, B. Elizabeth. 2006. Psikologi Perkembangan. Jakarta: Erlangga
Hurlock, E. B. 1978. Perkembangan anak jilid satu. Jakarta: Erlangga
Johnson, D. W dan Idianto Muin. 2006. Sosiologi. Jakarta: Erlangga.
Jalal, Fasli. 2007. Rambu-Rambu Penyelenggaraan Bimbingan Dan Konseling Dalam Jalur
Pendidikan Formal. Jakarta: Dirjen PMPTK Depdiknas
Johnson, R. T. 2001. Meaningful Assesment A Manageble And Cooperative Process. Pearson : New
York
Kazantzis, N., Reinecke, M.A., and Freeman, A. 2010. Cognitive and Behavioral Theories in Clinival
Practice. New York : A Division of Guildford Publications, Inc.
Keliat, B.A., dkk. 2005. Modul Basic Course Community Mental Health Nursing. Kerjasama FIK UI dan
WHO.
Killen, M and Smetana, J. 1999. Social Interaction In Preschool Classrooms And The Development
Of Young Childrens Conceptions Of The Personal. Child Development Journal, 486-501.
Kremenitzer, J. P. 2005. The emotionally intelligent early childhood educator: self-reflective journaling.
Early Childhood Education Journal, 3-9
Kurniawan, Yudha. 2007. Smart Games. Jakarta: Wahyu Media
Morrison. 2009. Cognitive behavior therapy for people with schizofrenia. Department of Psychiatry.
Wright State University Boonshoft School of Medicine, Dayton, Ohio.
Morry Van Ments. 1983. The Effective Use Of Role-Play. London: Kogan Page
Mugiarso, Heru.2007. Bimbingan dan Konseling. Semarang: UNNES Pers
NANDA. 2005. Nursing Diagnoses : Definitions & Classification 2007-2008. Philadelphia: NANDA
International
Newcomb dkk. 1978. Psikologi Sosial. Bandung: CV. Diponegoro
Nurdin, Muh et al. 2008. Ilmu Pengetahuan Sosial. Surabaya: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Oemarjoedi, A,K,. 2003. Pendekatan Cognitive Behavioral Dalam Psikoterapi. Jakarta : Kreativ Media.
Prawitasari, dkk. 2002. Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan Kontemporer. Yogyakarta :
Pustaka Pelajar dan Unit Publikasi Fakultas Psikologi UGM.
Prayitno dan Amti, Erman.1994. Dasar-dasar Bimbingan dan Konseling. Jakarta; Rineka Cipta.
Prayitno. 1995. Layanan Bimbingan dan Konseling Kelompok (dasar dan profil). Padang: Galia
Indonesia
R.Moeslilichateon. 2004. Metode Pengajaran Di Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Rineka Cipta
Romlah, T. 2001. Teori dan Praktek Bimbingan Kelompok. Malang : UNM 122
Rusmana, Nandang. 2008. Group Exercise Pelatihan Teknik-Teknik Bimbingan Kelompok
Menggunakan Latihan Kelompok. Bandung:UPI
Saksa, J.R., dkk. 2009. Cognitive Bahavioral Therapy for Early Psychosis : A Comprehensive Review
of Individual vs. Group treatment Studies. International Journal of Group Psychotherapy, 59(3), 357-
377
Santosa, S. 2004. Dinamika Kelompok. Jakarta : Bumi Aksara
Santrock, J. W , 2002. Psikologi Pendidikan Edisi Tiga (Terjemahan). Jakarta: Salemba Humanika
Soenaryo,Adi. 2006. Creativity Games. Yogyakarta:Andi
Stuart, G.W. 2009. Principles and Practice of Psychiatric Nursing, 9th ed. Missouri : Mosby, Inc.
Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung:Tarsito
Sugiyo. 2005. Komunikasi Antar Pribadi. Semarang: UNNES PRESS
Sugiyo. 2006. Psikologi Sosial. Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Sugiyono. 2006. Metode Tulisan Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung : Alfabeta
Suprijono, A. 2014. Cooperative Learning : teori dan aplikasi paikem. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Syah, Muhibbin.2004. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya
Tedjasaputra, Mayke S. 2001. Bermain, Mainan Dan Permainan. Jakarta:Grasindo Gramedia
Widiasarana
Townsend, M.C. 2008. Psychiatric Mental Health Nursing Concepts of Care in Evidence-Based
Practice. 6th ed. Philadelphia: F.A. Davis Company
V M Tri Mulyani. 2000. Strategi Pembelajaran. Yogyakarta: Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas
Negeri Yogakarta.
Walgito, Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: ANDI
Walgito, Bimo. 2004. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi
Wenzler, Hildegark, Dkk. 1995. Proses Pengembangan Diri. Jakarta: Grasindo Gramedia
Widiasarana
Wibowo, Mungin Eddy. 2005. Konseling Kelompok Perkembangan. Semarang: Unnes Press
Winkel W.S. & Sri Hastuti. 2007. Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media
Abadi

Anda mungkin juga menyukai