Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN

Ushul fiqih sebagai ilmu metodologi penggalian hukum mempunyai


peranan penting dalam ranah keilmuan agama Islam khususnya dalam ilmu
hukum islam atau ilmu fiqih. Pembahasan dari segi kebahasaan atau kajian
lughawiyah, sangat penting sekali ditelaah karena sumber hukum islam yaitu
Al-Quran dan al-Hadist menggunakan bahasa arab yang mempunyai banyak
makna yang terkandung didalamnya. Ilmu Ushul Fiqih adalah ilmu yang sangat
diperlukan bagi setiap muslim yang ingin mengetahui dan mengistimbathkan
hukum dari dalil-dalil syari, terutama untuk mengetahui hukum-hukum dari
peristiwa atau hal baru yang tidak terjadi pada masa Rasulullah SAW. Karena
zaman selalu berkembang, sedangkan Al-Quran dan Hadits sudah tidak akan ada
penambahan dan perubahan karena memang segalanya sudah tercakup di dalam
Al-Quran.
Sehingga banyak para ulama atau tokoh-tokoh agama islam yang
berijtihad bersama dalam memecahkan banyaknya permasalahan yang semakin
hari kian banyak dan memengaruhi kemantapan hati umat islam dalam beribadah
kepada Allah SWT. Sudah barang tentu, para ulama dalam berijtihad tidak hanya
menggunakan akal pikiran semata namun, semua pemikiran itu dilandaskan pada
Al-Quran dan As sunnah.
Kemudian halnya, hasil ijtihad para ulama ditetapkan sebagai hukum
syara, yang disesuaikan dengan berbagai sebab dan keadaannya. Sehingga dapat
membantu meringankan para mukallaf dalam beribadah kepada Allah secara
mutlak, seiring berbagai macam persoalan zaman yang semakin berkembang.
Bagitupun juga terkait dalil-dalil antara perintah dan larangan. Maka, dalam
makalah ini kami akan membahas tentang perihal amar (perintah) dan nahy
(larangan) dalam penafsiran Al-Quran.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. AMR DAN PEMBAHASANNYA


1. Pengertian Amr
Menurut bahasa arab, Amar artinya perintah, menurut istilah Amar adalah
suatu lafadz yang didalamnya menunjukkan tuntutan untuk mengerjakan suatu
perkerjaan dari atasan kepada bawahan. Dari definisi tersebut dapat dipahami
bahwa Amar itu tidak hanya ditunjukkan pada lafadz-lafadz yang memakai sighat
(bentuk kata) Amar saja, tetapi ditunjukkan pula oleh semua bentuk kata yang
didalamnya mengandung arti perintah. Jadi Amar merupakan suatu permintaan
untuk mengerjakan sesuatu yang sifatnya mewajibkan/mengharuskan.1
Hakikat pengertian amar (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya
orang mengerjakan perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah
menyatakan bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih
tinggi kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal
ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi derajatnya dari
orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak akan ditaati oleh yang
disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada yang menyuruh. Sebagian
ulama mensyaratkan bahwa orang yang menyuruh harus lebih tinggi derajatnya
daripada orang yang disuruh, yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.

2. Sighat (bentuk kata) Amar


Amar merupakan lafal yang mengandung pengertian perintah. Sighat
Amar berbentuk sebagai berikut:
a. Berbentuk Fiil Amar / perintah langsung.
Misalnya, firman Allah:

1
Muhammad Masum Zein Zudbah, UshulFiqh,Darul Hikmah, JawaTimur . 2008. hal. 52.

2
Artinya: Dirikanlah Shalat. (QS. Al baqarah: 43)2
Contoh lain:
Apabila lafadz yang khusus dalam nash syari datang dalam shighat amar
atau perintah, maka lafadz itu menunjukkan kewajiban. Artinya menuntut
perbuatan yang diperintah itu secara penetapan dan kepastian. Allah swt
berfirman:



Artinya: wahai wanita yang ditalak menahan diri (menunggu) ..

Firman tersebut menunjukkan kewajiban wanita yang ditalaq untuk


menahan diri atau beriddah selama tiga kali quru (suci). Sebab menurut pendapat
yang rajih (unggul) bahwasannya shighat amar dan shighat lain yang bermakna
sama dengannya ditetapkan untuk mewajibkan. Sedangkan suatu lafadz ketika di
mutlakkan, maka ia menunjukkan terhadap maknanya yang hakiki yang telah
ditetapkan untuknya. Ia tidak boleh dipalingkan dari maknanya yang hakiki,
kecuali dengan adanya suatu qarinah (hubungan/keterkaitan kata sebelum dan
sesudahnya).
Selanjutnya jika ditemukan suatu qarinah (keterkaitan / hubungan) yang
dapat memalingkan shighat perintah dari makna kewajiban kepada makna lainnya,
maka ia dipahami sesuai dengan apa yang ditunjuki oleh qarinah itu, seperti
ibahah (pembolehan).3

b. Berbentuk Fiil mudhari yang didahului oleh lam Amar.


Misalnya, firman Allah:



Artinya: dan hendaklah thawaf sekeliling rumah tua itu
(Baitullah). (QS.Al Haj: 29)

2
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Pustaka Setia,Bandung.2001.hal 35

3
Moh.Zuhri, dan Ahmad Qarib,Ilmu Ushul Fiqih,Toha Putra Group. Semarang.1994.hal.306.

3

Artinya: dan hendaklah ada segolongan umat. (QS. Ali Imran:
104)

c. Isim Fiil Amr, seperti:




Artinya: Jagalah dirimu. (QS. Al Maidah: 105)

d. Masdar pengganti fiil, seperti:




Artinya: dan berbuat baiklah kepada Ibu Bapak. (QS. Al
Baqarah: 83)

e. Bentuk lainnya yang semakna, seperti lafal faradla, kutiba dan lain
sebagainya.




Artinya: sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang kami
wajibkan kepada mereka tentang istri istri mereka. (QS. Al Ahzab: 50).




Artinya: Hai orang-orang yang beriman diwajibkan atas kamu
berpuasa. (QS. Al Baqarah: 183)


Artinya: sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk
menyampaikan amanah. (QS. An Nisa: 58)

4
Bentuk amar kadang-kadang keluar dari maknanya yang asli dan
digunakan untuk makna yang bermacam-macam yang dapat kita ketahui dari
susunan kalimatnya.4
Amr (perintah) memiliki kaidah yaitu ketentuan-ketentuan yang
dipergunakan para mutjahid dalam mengistinbatkan hukum. Ulama ushul
merumuskan kaidah-kaidah amar dalam lima bentuk, yaitu :
Kaidah pertama; pada dasarnya amar (perintah) itu menunjukan kepada
wajib dan tidak menunjukan kepada selain wajib kecuali dengan adanya qarinah
(hubungan keterkaitan). Maksud dari kaidah tersebut adalah bahwa mengerjakan
sesuatu pekerjaan yang dituntut oleh suatu perintah adalah wajib diperbuat.
Imam Ar Razi berkata di dalam kitabnya Al Mahsul, bahwa ahli Ushul
telah sepakat menetapkan bahwa bentuk fiil amar dipergunakan dalam 15
macam makna sesuai dengan qarinah yang mempengaruhinya, antara lain:
1. Ijab (Wajib)
Contoh:


Artinya: Dirikanlah Shalat. (QS. Al baqarah: 43)

2. Nadb (anjuran)

Artinya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta
Allah yang dikaruniakan Nya kepadamu. (QS. An Nur : 33)

3. Takdzib (mendustakan)


Artinya: tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang
yang benar. (QS. Al Baqarah 111).

4
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hal.109.

5
4. Irsyad (membimbing atau Menunjukkan)
Contoh firman Allah:



Artinya: dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang
laki-laki (diantaramu). (QS. Al Baqarah : 282)
5. Ibahah (kebolehan)


Artinya: makan dan minumlah hingga jelas bagimu beng putih
dan benang hitam bagimu. (QS. Al Baqarah : 187)



Artinya: dan apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, Maka
bolehlah berburu. (QS. Al-Maidah:2)
6. Tahdid (Ancaman)


Artinya: kerjakanlah apa yang kamu kehendaki. Sesungguhnya
Dia maha melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Fusshilat : 40)
7. Inzhar (peringatan)

Artinya: Katakanlah, Bersuka rialah kamu, karena
sesungguhnya tempat kembalimu adalah neraka. (QS. Ibrahim : 30)
8. Ikram (memuliakan)



Artinya: (dikatakan kepada mereka): masuklah ke dalamnya
dengan sejahtera lagi aman. (QS. Al Hijr : 46)
9. Taskhir (penghinaan)

Artinya: Jadilah kamu sekalian kera yang hina. (QS. Al
Baqarah : 65)

6
10. Tajiz (melemahkan)

Artinya: datangkanlah satu surat (saja) yang seumpama (Al
Quran )itu. (QS. Al Baqarah : 23)
11. Taswiyah (mempersamakan)



Artinya: maka bersabar atau tidak. (QS. At Thur :16)
12. Tamanni (angan-angan)
Contoh Syiir Arab:




Artinya: wahai sang malam, memanjanglah wahai kantuk
menghilanglah. Wahai waktu subuh berhentilah dahulu, jangan segera
datang.
13. Doa


Artinya: Ya Allah ampunilah aku. (QS. Shad : 35)
14. Ihanah (meremehkan)

Artinya: Rasakanlah, sesungguhnya kamu orang yang perkasa
lagi mulia. (QS. Ad Dukhan : 49)
15. Imtinan

Artinya: Makanlah apa yang direzekikan kapadamu. (QS. An
Nahl :114)5

5
Ibid,.hal.113.

7
Kaidah kedua: Perintah setelah larangan menunjukan kepada kebolehan.
Maksud dari kaidah ini ialah, apabila ada perbuatan-perbuatan yang semula
dilarang, lalu datang perintah mengerjakan, maka perintah tersebut bukan perintah
wajib tetapi bersifat membolehkan. Seperti Firman Allah swt:





apabila shalat telah dilaksanakan , maka bertebaranlah kamu di bumi,
carilah karunia allah{ QS.al-jumuah 62:10}.
Dengan demikian perintah bertebaran dimuka bumi, seperti kata ayat
diatas, hukumnya tidak wajib, tapi diperbolehkan.
Kaidah ketiga: Pada dasarnya perintah itu tidak menghendaki segera
dilaksanakan. Misalnya tentang haji. Jumhur ulama sepakat bahwa perintah
mengerjakan sesuatu yang berhubungan dengan waktu, maka harus dikerjakan
sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan dan tidak bleh di luar waktu. Bila
dilakukan diluar waktu, tanpa sebab yang dibenarkan oleh syara maka hukumnya
akan berdosa.
Kaidah Keempat: pada dasarnya perintah ini tidak menghendaki
pengulangan (berkali-kali mengerjakan perintah). Misalnya dalam ibadah haji,
yaitu satu kali seumur hidup namun bila perintah itu dimaksudkan pengulangan,
maka harus ada qarinah atau kalimat yang menunjukan pada pengulangan.
Allah berfirman:

dan Sempurnakan haji dan umrah karena Allah. (QS. Al Baqarah: 196).
Kewajiban haji dan umrah hanya sekali seumur hidup. Jadi bila dikerjakan sekali
saja sudah cukup.6
Kaidah Kelima: kaidah ini menjelaskan bahwa perbuatan yang
diperintahkan itu tidak bisa terwujud tanpa disertai dengan sesuatu perbuatan lain
yang dapat mewujudkan perbuatan yang diperintah itu. Misalnya, kewajiban
melaksanakan sholat, sholat ini tidak sah untuk dikerjakan tanpa suci (wudhu)

6
SyafiI Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung.2001.hal.224.

8
terlebih dahulu. Maka para ulama menetapkan bahwa Tiap-tiap perkara yang
kewajiban tidak sempurna kecuali dengannya, maka perkara itu wajb pula.

3. Dilalah dan Tuntutan Amar


a. Menunjukkan wajib, seperti dijelaskan oleh Dr. Zakariya Al Bardisy bahwa
jumhur ulama sepakat menyatakan bahwa amar menunjukkan tidak wajib suatu
tuntutan yang secara mutlaq selama tidak ada qarinah (hubungan sesuatu) dari
ketentuan amar tersebut. Berdasarkan kaidah juga ada yang mengatakan bahwa
arti pokok dalam amar ialah menunjukkan wajib (wajibnya perbuatan yang
diperintahkannya).
Contoh:


Artinya: Sujudlah kamu kepada Adam, maka sujudlah mereka kecuali iblis.
(QS. Al Baqarah : 34)
Bentuk perintah amar dalam ayat tersebut, yaitu perkataan sujudlah
(usjuduu) dengan tidak disertai qarinah menunjukkan kemestian / keharusan.
Kalau tidak demikian Allah tidak mencela iblis karena kedurhakaannya itu.
Perlu diketahui bahwa suatu perintah atau suruhan yang tidak ada
qarinahnya, dengan suatu hal yang lain berarti menunjukkan arti kemestian
(wajib).
b. Menunjukkan anjuran (nadb) berdasarkan sebuah kaidah yang berarti amar /
suruhan ialah menunjukkan sebuah anjuran (nadb).
Suruhan itu memang adakalanya untuk suruhan (wajib), seperti salat lima
waktu, adakalanya untuk anjuran (nadb), seperti salat dluha. Di antara kemestian
dan anjuran yang paling diyakini adalah anjuran (sunnah).
Kesimpulannya, amar tetap mengandung arti wajib, kecuali apabila amar
tadi sudah tidak mutlaq lagi, atau terdapat qarinah yang dapat mengubah
ketentuan tersebut, sehingga amar itu berubah pula, yakni tidak menunjukkan
wajib, tetapi menjadi bentuk yang menunjukkan hukum sunnah atau mubah dan
sebagainya sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya.7

7
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,.Op,Cit,.hal.117.

9
4. Syarat yang harus ada pada kata Amar (perintah) adalah :
a. Harus berupa ucapan perintah (Amar) seperti kata uful (kerjakanlah).
b. Harus berbentuk kata permintaan.
c. Tidak ada tanda-tanda (Qarinah) yang menunjukkan permintaan itu
bertatus tidak mewajibkan atau mengharuskan.
d. Datangnya permintaan itu harus dari atasan, sebab jika dari bawahan
namanya doa.8
Suatu kata perintah (fiil amar) dapat dipandang dari dua sisi yakni:
a) Cara menyatakan perintah dari bentuk kata. Hal ini menunjukkan tuntunan
perbuatan dalam waktu yang tertentu atau waktu mendatang.
b) Maksud yang dikandung dalam perintah itu atau perbuatan yang diminta
(maaddatul amri). Hal ini menunujukkan macamnya perbuatan yang diminta,
seperti berdiri, duduk. Apabila disatukan kedua sisi tersebut dalam amar, maka
maksudnya tidak lebih dari pada hanya menuntut perbuatan yang disebutnya, dan
tidak ada tanda-tanda yang menunjukkan berulang-ulanya perbuatan itu.
Memenuhi tuntunan suruhan tersebut cukup dengan dikerjakan sekali saja, karena
menurut qaidah tidak ada kewajiban lebih dari pada tanggungan yang sebenarnya
(sesuai kemampuan seorang hamba).9

B. NAHI DAN PEMBAHASANNYA


1. Pengertian Nahi
Nahi menurut bahasa artinya mencegah, melarang (al-manu), sedangkan
Menurut istilah adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu
perbuatan kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan suatu
pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita. Akal juga

8
Muhammad MasumZein Zudbah,.Op,Cit,.hal. 52-53.

9
SyafiI Karim,Op,Cit,.hal.224.

10
disebut nuhyah (nahyu), karena dia dapat mencegah orang yang berakal itu untuk
tidak berbuat salah.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah
untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi adalah suatu
larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni
dari Allah SWT kepada hamba-Nya.10
Adapun maksud nahi yang sebenarnya adalah menunjukkan haram, seperti
dalam firman Allah:



Artinya: dan janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda.
(QS. Ali Imran: 130)
Karena La takulu berbentuk nahi, sedangkan ketentuan nahi adalah haram,
maka makan harta riba hukumnya haram, karena tidak diridlai Allah swt. Inilah
hukum asli dari nahi.
Kecuali apabila ada qarinah yang memengaruhinya, maka nahi tersebut
tidak lagi menunjukkan hukum haram, tetapi menunjukkan hukum makruh,
mubah, dan sebagainya. Sesuai dengan qarinah yang memengaruhinya itu. Ada
ulama yang berpendapat bahwa nahi yang masih asli itu menunjukkan hukum
makruh. Namun, pendapat yang lebih kuat, bahwa nahi adalah haram.11

2. Sighat (bentuk kata) Nahi


Kalimat larangan yang tidak memiliki qarinah menunjukkan hakikat
larangan yang mutlak. Seperti firman Allah:

Artinya: hai orang-orang yang beriman, jangan kamu kerjakan shalat


dalam keadaan mabuk. (QS.An Nisa : 43)

10
Muhammad Masum Zein Zudbah,.Op,Cit,.hal. 64.

11
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,. hal.118.

11
Ungkapan yang menunjukkan kepada nahi (larangan) itu ada beberapa
bentuk diantaranya:

a) Fiil Mudhari yang disertai dengan la nahi, seperti:





Artinya: janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. (QS. Al Baqarah:
11).

b) Lafadz-lafadz yang memberi pengertian haram atau perintah meninggalkan


sesuatu perbuatan, seperti:


Artinya: dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (QS. Al
Baqarah: 275).
Kaidah-kaidah Nahi:

Kaidah pertama, pada dasarnya larangan itu menunjukkan haram, seperti:




Artinya: dan janganlah kalian mendekati zina. (QS. Al Isra: 32).
Sighat Nahi mengandung beberapa pengertian, antara lain sebagai berikut:

a. Untuk doa


hai Tuhan kami, janganlah engkau hukum kami, bila kami lupa atau salah.

b. Untuk pelajaran


janganlah kamu menanyakan hal-hal yang jika diterangkan kepadamu,
niscaya menyusahkan kamu.
c. Putus asa

janganlah kamu cari-cari alasan hari ini

12
d. Untuk menyenangkan (menghibur)

jangan bersedih kamu, bahwa sesungguhnya Allah bersama kita
Kaidah kedua: larangan terhadap sesuatu berarti perintah akan
kebalikannya, seperti:


Artinya: janganlah kamu mempersekutukan Allah.

Kaidah ketiga: pada dasarnya larangan yang mutlak menghendaki


pengulangan larangan dalam setiap waktu. Seperti:



Artinya: janganlah shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk. (QS. An
Nisa:43).

Nahi terbagi kedalam 4 bagian yakni:

1. Nahi yang menunjukkan perbuatan itu sendiri sebagaimana contoh di atas


yang menyebabkan perbuatan yang dilarang itu hukumnya fasid (rusak)
haram.
2. Nahi yang menunjukkan juzi dari perbuatan (bagian dari perbuatan).
Misalnya, larangan jual beli anak binatang yang masih dalam kandungan
ibunya.
3. Nahi yang menunjukkan sifat perbuatan yang tidak dapat dipisahkan,
misalnya larangan berpuasa pada hari raya karena hikmah di hari raya ialah
agar semua umat Islam dapat menikmati kegembiraan makan minum di hari
tersebut.

13
4. Nahi yang menunjukkan hal-hal di luar perbuatan yang tidak mesti
berhubungan dengan perbuatan tersebut. Misalnya, larangan dalam jual beli
sewaktu shalat jumat yang akibatnya akan meninggalkan shalat jumat.12

3. Dilalah dan Tuntutan Nahi


Dalam melarang suatu perbuatan, menurut pendapat Muhammad Khudhari
Beik, Allah juga memakai beragam gaya bahasa diantaranya:

a. Larangan secara tegas dengan memakai kata naha atau yang searti
dengannya yang secara bahasa berarti melarang. Misalnya surat An-Nahl
ayat 90 yang artinya:


Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.

b. Larangan dengan menjelaskan bahwa suatu perbuatan diharamkan,


misalnya ayat 33 surat Al-Araf:





Artinya: Katakanlah : "Tuhanku Hanya mengharamkan perbuatan yang keji,
baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar
hak manusia tanpa alasan yang benar.

c. Larangan dengan menegaskan bahwa perbuatan itu tidak halal dilakukan,


contoh surat An-Nisa ayat 19:



Artinya :Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa.

d. Larangan dengan menggunakan kata kerja Mudhari (kata kerja untuk


sekarang atau mendatang) yang disertai huruf lam yang menunjukkan
larangan, misal surat Al-Anam ayat 152:

12
Ibid,.hal.120.

14



Artinya:Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan
cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa.

e. Larangan dengan memakai kata perintah namun bermakna tuntutan untuk


meninggalkan misalnya, surat Al-Anam ayat 120 artinya:



Dan tinggalkanlah dosa yang Nampak dan yang tersembunyi.

f. Larangan dengan cara mengancam pelakunya dengan siksaan pedih,


misalnya surat Al-Taubah : 34.






Artinya: Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih.

g. Larangan dengan mensifati perbuatan itu dengan keburukan, misalnya


surat Ali Imran : 180




Artinya: Sekali-kali janganlah orang-orang yang bakhil dengan harta
yang Allah berikan kepada mereka dari karuniaNya menyangka, bahwa
kebakhilan itu baik bagi mereka.

h. Larangan dengan cara meniadakan wujud perbuatan itu sendiri, misalnya


surat al-Baqarah : 193




Artinya: Jika mereka berhenti (dari memusuhi kamu), Maka tidak ada
permusuhan (lagi), kecuali terhadap orang-orang yang zalim13

13
Satria Efendi dan Mashum Zein, UshulFiqh, KencanPerdana Media Group, Jakarta, hal. 187-
190.

15
4. Syarat-syarat Nahi
1. Bentuk nahi hanya satu saja, yaitu fiil mudhari yang disertai la nahi.
Arti nahi yang pokok.
a. Menunjukkan haram
Artinya: larangan itu menunjukkan haram (haramnya perbuatan yang
dilarang).
Alasannya, apabila ada kata-kata larangan yang tidak disertai qarinah, akal
kita dapat mengerti keharusan yang diminta larangan itu, yang segera dapat
dimengerti menunjukkan pengertian yang sebenarnya. Demikian pula pemahaman
lama salaf.
Qarinah ialah kata-kata yang menyerupai larangan, yang menyebabkan
larangan itu tidak menyebabkan haram.

b. Menunjukan makruh
Artinya: Bermula larangan menunjukkan makruh. (makruhnya
perbuatan yang dilarang).
Alasannya, larangan itu hanya menunjukkan buruknya (tidak baiknya)
perbuatan yang dilarang. Keburukan ini tidak berarti haram atau larangan
menunjukkan rusaknya perbuatan yang dilarang.14

c. Melarang sesuatu mengakibatkan perbuatan yang dilarang hukumnya menjadi


rusak dan tidak sah.

Artinya, larangan melakukan suatu perbuatan itu akan mengakibatkan


perbuatan yang dilarang tadi apabila dilakukan hukumnya menjadi tidak sah.
Contoh zina. Sebagian ulama termasuk imam Ghazali dan ar Razi berpendapat
bahwa nahi itu tidak menyebabkan tidak sahnya suatu perbuatan yang
dilakukan, kecuali hanya dalam soal ibadah saja, tidak dalam muamalah.
Sebagian ulama Syafiiyyah, hanafiah, dan muktazilah berpendapat bahwa nahi
itu tidak menyebabkan tidak sahnya perbuatan yang dilarang, tidak pada lughah /

14
SyafiI Karim,Op,Cit,. hal.234.

16
bahasanya, tidak pada syara, dan tidak pula dalam soal-soal ibadah dan
muamalah. Sementara Imam Syaukani berkata di dalam kitab shulnya Irsyadul
Fuhul bahwa tiap-tiap nahi yang tidak membedakan antara ibadah dan
muamalah menyebabkan perbuatan yang dilarang itu haram hukumnya, dan tidak
sahnya hukum menurut syara berarti batal (tidak sah).15

15
Chaerul Uman dan Achyar Aminudin,Op,Cit,.124.

17
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Amr (perintah) ialah Lafal yang dikehendaki supaya orang mengerjakan


perintah apa yang dimaksudkan. Menurut Ali Hasbullah menyatakan
bahwa amar berarti suatu tuntutan perbuatan dari pihak yang lebih tinggi
kedudukannya kepada pihak yang lebih rendah kedudukannya. Dalam hal
ini, tidak diharuskan bahwa orang yang menyuruh lebih tinggi
derajatnya dari orang yang disuruh, walaupun perintah tersebut tidak
akan ditaati oleh yang disuruh itu, karena derajatnya lebih tinggi daripada
yang menyuruh. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa orang yang
menyuruh harus lebih tinggi derajatnya daripada orang yang disuruh,
yakni dalam hal ini Allah kepada hambanya.
Nahi adalah lafadz yang meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan
kepada orang lain dengan menggunakan ucapan yang sifatnya
mengharuskan, atau lafadz yang menyuruh kita untuk meninggalkan
suatu pekerjaan yang diperintahkan oleh orang yang lebih tinggi dari kita.
Menurut Abdul Hamid Hakim menyebutkan bahwa nahi adalah perintah
untuk meninggalkan sesuatu dari atasan kepada bawahan. Jadi Nahi
adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan
kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya
B. SARAN
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan seksama dalam menjelaskan
tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang
tentunya dapat di pertanggungjawabkan.
Untuk saran bisa berisi kritik atau saran terhadap penulisan juga
bisa untuk menanggapi terhadap kesimpulan dari bahasan makalah yang
telah di jelaskan. Untuk bagian terakhir dari makalah ini adalah daftar
pustaka.

18
DAFTAR PUSTAKA

Efendi,Satria dan Mashum Zein.tt. UshulFiqh.Jakarta: Kencan Perdana Media


Group.
Karim,Syafii.2001. Fiqih-Ushul Fiqih.Bandung: Pustaka Setia.
Uman,Chaerul dan Achyar Aminudin.2001. Ushul Fiqih II.Bandung: Pustaka
Setia.
Zudbah, Muhammad Masum Zein.2008. UshulFiqh.Jawa Timur:Darul Hikmah.
Zuhri,Moh dan Ahmad Qarib.1994.Ilmu Ushul Fiqih.Semarang:Toha Putra
Group.

19

Anda mungkin juga menyukai