Anda di halaman 1dari 18

BRONKOPNEUMONIA

1. Pendahuluan

Bronkopneumonia merupakan salah satu tipe pneumonia yang diklasifikasikan

berdasarkan predileksi infeksi. Pneumonia merupakan infeksi pada jaringan parenkim

paru yang bersifat akut. Pada kondisi normal, saat bernapas alveoli dalam paru-paru

akan terisi oleh udara. Pada kondisi pneumonia, alveoli akan terisi oleh pus dan cairan,

yang menyebabkan terbatasnya pengambilan oksigen pada penderitanya. The American

Thoracic Sosiety ( ATS ), Infectious Disease Society of America ( IDSA ), dan National

Heart, Lug, and blood Institute ( NHLBI ) mengklasifikasikan pneumonia menjadi

beberapa tipe, diantaranya : 1,2

Community-Acquired Pneumonia ( CAP )/ Pneumonia komunitas ialah pnumonia

yang muncul akibat paparan di luar fasilitas kesehatan.

Hospital-Acquired Pneumonia ( HAP)/ Pneumonia Nosokominal ialah

pneumonia yang muncul setelah 48 jam pertama perawatan di Rumah Sakit

tanpa keluhan pneumonia sebelum perawatan.

Ventilator-Aquired Pneumonia adalah pneumonia yang muncul setelah 48 jam

pertama setelah pemasangan endotracheal tube.

Health Care- Associated Pneumonia ( HCAP ) adalah pneumonia yang muncul

pada penderita yang memiliki riwayat perawatan jangka panjang di fasilitas

kesehatan dalam 90 hari terakhir atau mendapat terapi antibiotic

parental/kemoterapi/perawatan luka dalam 30 hari terakhir.

1
Pada praktek, VAP dan HCAP sering disebut sebagai HAP. Istilah lain

diantaranya pneumonia aspirasi yaitu pneumonia yang terjadi akibat masuknya

makanan, minuman, atau air liur ke dalam paru yang dapat terjadi pada pasien

dengan gangguan reflex menelan 2,3. Pneumonia juga dibagi berdasarkan predileksi

infeksi yaitu pneumonia lobaris sering terjadi akibat infeksi bakteri, melibatkan satu

lobus atau segmen paru dan jarang terjadi pada bayi serta orang tua;

bronkopneumonia ditandai dengan bercak-bercak infiltrate pada lapangan paru,

dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus, dan sering terjadi pada bayi serta

orang tua; dan pneumonia interstisial 4.

Menurut data WHO tahun 2016, sepanjang tahun 2015 pneumonia menduduki

posisi kedua sebagai penyebab kematian pada anak dibawah usia 5 tahun, setelah

kelahiran prematur sebagai penyebab kematian pertama dan asfiksia lahir, diare,

serta malaria sebagai penyebab kematian setelah pneumonia. Diperkirakan

922.000 anak meninggal akibat pneumonia, data ini mencakup 15% seluruh kasus

kematian pada anak dibawah 5 tahun sepanjang tahun 2015 di seluruh dunia

dengan prevalensi tertinggi berada di Asia Tenggara dan sub- Sahara Afrika. Di

indonesia pneumonia menempati posisi kedua penyebab kematian pada balita

setelah diare. RISKESDAS ( 2013 ) menunjukka penurunan angka sebesar 2,13%

pada tahun 2007 menjadi 1,8% pada tahun 2013. Menurut profil kesehatan

Indonesia tahun 2013, provinsi sulawese selatan mempati posisi keempat dengan

jumlah prevalensi kasus pneumonia tertinggi setelah NTT, Sulawesi Tengah, dan

Sulawesi Barat. Pada data RISKESDAS ( 2013 ) yang diukur berdasarkan kelompok

umur pada anak-anak, usia 1-4 tahun memiliki angka prevalensi pneumonia

2
tertinggi dengan angka kematian tertinggi akibat pneumonia ada kelompok usia

bayi ( < 1 tahun )5,6,7.

Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme, termasuk virus,

bakteri dan jamur. Mikroorganisme yang sering menjadi penyebab pneumonia

menurut WHO adalah Streptococcus Pneumonia merupakan penyebab terbanyak

pneumonia bakteri pada anak; Haemophilus influenza tipe B merupakan penyebab

kedua terbanyak pneumonia bakteri, dan; Respiratory Syncytial Virus merupakan

penyebab utama pneumonia viral; sementara pneumocystis jiiroveci biasanya

menjadi penyebab pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV. Bebrapa faktor resiko

lain seperti malnutrisi, usia muda, kelengkapan imunisasi, kepadatan hunian,

defisiensi vir. A, defisiensi zink, paparan asap rokok dan factor lingkungan dapat

memicu terjadinya pneumonia. Factor predisposisi lain yang menyebabkan

terjadinya pneumonia adalah adanya kelainan anatomi kongenital ( fistula

trakeosofagus, PJB ), gangguan fungsi imun ( penggunaan sitostatika dan steroid

jangka panjang, HIV ), campak, pertussis, gangguan neuromuscular, kontaminasi

perinatal dan gangguan klirens mucus/sekresi ( fibrostik kistik, aspirasi benda asing,

disfungsi silier ) 1,9.

3
Tabel 1. Penyebab utama pneumonia pada anak, ( Ostapchuk dkk, 2004 )8

Usia Penyebab tersering Penyebab jarang

Bakteri Bakteri
Eschricia coli Group B Streptococci
Group B streptococci Haemophillus influenza
0-20 hari Listeria monocytigenes Streptococcus pneumoniae

Virus
Cytomegalovirus
Herpes simplek virus
Bakteri Bakteri
Chlamydia trachomatis Bordetella pertusis
s. pneumonia h. influenza B and non-
typeable
3 minggu 3bulan Virus moraxella catarrhalis
Adenovirus staphylococcus aureus
Influenza virus u.urealyticum
Parainfluenzavirus 1,2,3
Respiratory syncitial virus Virus
Cytomegalovirus
Bakteri Bakteri
Chlamydia tracthomatis H.Inluenza tipe B
Mycoplasma pneumoniae M. cattarrharils
S. penumoniaee Mycobacteriumm
tuberculosisi
Neisseria meningitis
4 bulan- 5 tahun Virus S.aureus
Adenovirus
Influenza virus Virus
Parainfluenza virus Vaicella zoster virus
Rhinovirus
Respirator Syncytial Virus

Bakteri Bakteri
C. Pneumoniae H.Influenza
M.Pneuminiae Legionella Species
S.Pneumonia M.Tuberculosisi
S.Areus

Virus
6-18 tahun
Adenovirus
Epstein-Barr virus
Influenza virus
Parainfluenza virus
Rhinovirus
Respiratory syncytial virus
Varicella zooster virus

4
2. PATOGENESIS BRONKOPNEUMONIA

Sebagian besar pneumonia timbul melalui aspirasi atau penyebaran langsung kuman

dari saluran respiratorik atas. Paru terlindung dari infeksi melalui beberapa mekanisme

diantaranya barrier anatomi dan mekanik ( filter partikel di hidung, pencegahan aspirasi

dengan reflex epiglottis, espulasi benda asing melalui reflex batuk, pembersihan kearah

kranial oleh lapisan mukosilier ), serta sistem pertahanan tubuh ( IgA, Leukosit,

Komplemen, Sitokin, Immunoglobulin, alveolar, makrofag, dan Cell mediated immunity ).

Proses patogenesis pneumonia terkait tiga faktor, yaitu imun host, mikroorganisme yang

menyerang, dan lingkungan yang bereaksi. Proses radang yang terjadi pada pneumonia

di bagi menjadi 4 stadium. Stadium I ( 4-12 jam pertama/ kongesti ) disebut sebagai

hiperemia. Hal ini ditandai dengan peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di

tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator peradangan dari sel-sel

setelah pengaktiktifan imun dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup

histamin dan prostaglandin yang akhirnya mengaktifkan sistem komplemen kemudian

melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru yang

akibatnya terjadi perpindahan eksudat plasma kedalam ruang interstitium sehingga

terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus. Stadium II ( 48 jam

berikutnya ), disebut hepatisasi merah yang terjadi sewaktu alveoli terisi oleh sel darah

merah, eksudatt, dan fibrin yang dihasilkan sebagai bagian dari reaksi peradangan. Pada

stadium ini, udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga anak akan bertambah

sesak. Stadium III ( 3-8hari ) disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel darah

putih mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibran

terakumulasi diseluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada saat

eritrosit mulai diresorbsi dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti. Stadium IV (7-

5
11 hari ) disebut stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan

mereda, sisa-sisa fibrin dan eksudat lisis dan diabsorbsi oleh makrofag sehingga jaringan

kembali ke struktu nya 9,10.

3. DIAGNOSISI BRONKOPNEUMONIA

Gejala dan tanda klinis pneumonia bervariasi tergantung kuman penyebab, usia

pasien, status imunologis pasien, dan beratnya penyakit. Manifestasi klinis bisa berat

yaitu sesak, sianosis, dapat juga gejala tidak terlihat jelas seperti pada neonatus. Gejala

dan tanda pneumonia dapat dibedakan menjadi gejala umum infeksi ( non spesifik ),

gejala pulmonal, pleural, dan ekstrapulmonal. Gejala non spesifik meliputi demam,

menggigil, sefalgia, dan gelisah. Beberapa pasien mungkin mengalami gangguan

gastrointestinal seperti muntah, kembung, diare, atau sakit perut. Gejala pada paru

biasanya timbul setelah beberapa saat proses infeksi berlangsung. Gejala gangguan

respiratori seperti batuk, sesak napas, retraksi dinding dada, takipneu, napas cuping

hidung, merintih, dan sianosis. Gejala pneumonia pada anak dengan malnutrisi berat

kurang spesifik dan dapat tumpang tindih dengan sepsis. Pneumonia bakteri harus

dipertimbangkan pada anak usia <3 tahun yang mengalami panas badan >38,5 0C disertai

retraksi dinding dada dan frekuensi napas 50 kali/menit. Pneumonia akibat

pneumokokus biasanya diawali dengan demam dan napas cepat. Gejala lain yang umum

ditemukan adalah kesukaran bernapas, retraksi dinding dada, dan anak tampak sakit

berat. Pneumonia akibat stafilokokus mempunyai gejala yang sama dengan pneumonia

pneumokokus, sering ditemukan pada bayi, tetapi dapat juga ditemukan pada anak yang

lebih besar sebagai komplikasi dari influenza. Pneumoniamikroplasma harus dicurigai

pada anak usia sekolah yang menunjukkan gejala demam, nyeri sendi, sakit kepala,

6
batuk. Gejala gejala takipneu terbukti memilki sensitibitas dan spesifisitas yang tinggi

dalam mendiagnosis pneumonia. WHO menyatakan bahwa 50-80% anak dengan

takipneu terbukti menunujukkan gambaran pneumonia pada pemeriksaan radiolgi, dan

ketiadaan gejala ini dapat menyingkirkan kemungkinan bronkopneumoni. Frekuensi

napas dihitung selama satu menit penuh saat anak dalam kondisi tenag 8,9.

Tabel 2. Kriteria Takipneu menurut WHO 11

Usia Frekuensi Napas

0-2 bulan 60 kali/menit

2-12 bulan 50 kali/menit

1-4 tahun 40 kali/menit

5 tahun 30 kali/ menit

Pada pemeriksaan fisik auskultasi dada dapat ditemukan ronki ( ditemukan pada 33-

90% kasus anak dengan pneumonia ) basah halus yang khas pada anak besar, mungkin

tidak ditemukan pada bayi. Iritasi pleura akan menyebabkan nyeri dada; bila berat

gerakan dada tertinggal waktu inspirasi, anak berbaring kearah yang sakit dengan kaki

fleksi. Rasa nyeri dapat menjalar ke leher, bahu, dan perut. Pemeriksaan saturasi oksigen

perlu dilakukan pada semua anak dengan pneumonia, hal ini dapat membantu

menentukan derajat keparahan penyakit.

7
Tabel 3. Derajat Pneumonia pada anak menurut WHO & IMCI 12

WHO IMCI Clinical Sign Management


Clasification Clasification
No Pneumonia Cough or cold No sign of pneumonia or Symptomatic
very severe disease treatment, advise
carer when to return
immediatelly, follow
up in 5 days if not
improving
No-severe Pneumonia Fast breathing Give oral antibiotic for
pneumonia 3 days, advise the
carer when to return
immediately, follow
up in 2 days
Severe Severe Chest indrawing Give first dose
pneumonia pneumonia or antibiotics refer
very severe urgently to hospital
Very severe disease Any general danger sign Give first dose of
disease antibiotic refer
urgently to hospital
*Lethargy, inability to feed, convulsion, womithing everything

Foto rontgen toraks proyeksi posterior-anterior (PA) merupakan dasar diagnosis

utama pneumonia. Untuk negara berkembang, pemeriksaan ini secara rutin tidak

direkomendasikan terutama pada pneumonia yang tidak memerlukan perawatan sangat

berat, dugaan komplikasi pneumonia, atau penderita yang tidak berespon terhadap

terapi yang diberikan. British Thoracic Society tidak merekomendasikan pemeriksaan

rutin foto Rontgen Toraks bagi anak pada kasus pneumonia, terutama pneumonia yang

tidak memerlukan perawatan di RS. Pada pemeriksaan Laboratorium dapat ditemukan

kadar leukosit >15.000/L dengan dominasi neutrophil terutama pada pneumonia

bakteri, tetapi dapat juga terjadi pada pneumonia nonbakteri. Leukosit >30.0000/ L

dengan dominasi netrofil mengarah ke pneumonia streptokokus dan stafilokokus.

Diagnosis pneumonia bacterial yaitu dengan melakukan pemeriksaan mikrobiologi

8
melalui isolasi kuman mikroorganisme dari paru, cairan pleura, atau darah. Pengambilan

specimen dari paru sangat invasive dan tidak rutin diindikasikan atau dilakukan.

Pemeriksaan C-reactive protein perlu dipertimbangkan pada pneumonia dengan

komplikasi dan dapat bermanfaat untuk melihat respon antibiotic. Adanya CPR yang

positif dapat mengarah kepada infeksi bakteri. Kadar CPR yang lebih tinggi ditemukan

pada pasien dengan pneumonia alveolar dibandingkan dengan pneumonia interstisial.

Pneumonia streptokokus juga akan menunujukkan hasil CPR yang lebih tinggi

dibandingkan pneumonia nonstreptokokus. Namun rekomendasi terbaru dari BTS

menyatakan bahwa pemeriksaan CPR tidak rutin dilakukan pada kasus pneumonia anak.

Pemeriksaan CPR dapat dilakukan untuk mendeteksi streptokokus dan pemeriksaan

immunoassay dapat dilakukan untuk mendeteksi mikroorganisme viral, namu karena

harganya yang mahal dan tidak ada pengaruhnya terhadap proses pengobatan maka

pemeriksaan ini tidak direkomendasikan 8,9,11,12,13.

4. TATALAKSANA BRONKOPNEUMONIA

Menurut penanggulangan Medis IDAI ( 2009 ) , indikasi rawat inap bagi pasien

pneumoni anak ialah sebagai berikut :

Saturasi oksigen 92% (WHO <90% ),sianosis

Frekuensi napas 50x/menit

Distress pernapasan

Grunting

Terdapat tanda dehidrasi

Keluarga tidak bisa merawat di rumah

9
Tatalaksana bagi pasien pneumonia 14.15.

- Berikut oksigen terutama pada pasien dengan saturasi 92% dan pasien

dengan distress pernapasan, evaluasi setiap minimal 4 jam sekali, termasuk

pemeriksaan saturasi oksigen, jika tidak ada maka berikan oksigen samapai

gejala hipoksia tidak ada. Bayi dan anak yang mengalami hipoksia mungkin

tidak tampak sianosis. Asgitasi dapat menjadi indikasi hipoksia pada anak.

Lepas oksigen saat saturasi oksigen baik minimal 15 menit tanpa oksigen.

- Hisap lendir dengan menggunakan suction terutama pada pasien yang tidak

bisa mengeluarkan lendir.

- Terapi cairan terutama pada pasien dengan intrake per oral menurun.

Pemasangan pipa nasogastric dapa mempengaruhi pernapasan dan arena itu

harus dihindari pada anak yang sakit berat, terutama bayi dengan lubang

hidung kecil. Penderita yang muntah dan atau sakit berat memerlukan cairan

IV. Bila perlu cairan IV dapat diberikan 80% dari kebutuhan basal atau perlu

dipantau cairan elektrolit serum. Lakukan pemantauan balans cairan ketat

untuk menghindari overhidrasi.

- Berikan analgetik dan antipiretik untuk mengatasi keluhan demam, nyeri

kepala, nyeri dada, nyeri sendi, nyeri perut, dan nyeri telinga yang biasanya

dialami oleh anak dengan infeksi pernapasan bawah.

- Nebulisasi dengan SABA dan/ atau NACL untuk memperbaiki mococlialiary

clearance

- Pemberia antibiotik

Idealnya tatalaksana pneumonia sesuai dengan etiologi penyebabnya, namun

karena berbagai kendala diagnostik etiologi, untuk semua pasien pneumonia

10
diberikan antibiotik empiris. Walaupun pneumonia viral dapat ditatalaksana

tanpa antibiotik, tetapi pasien dapat diberikan antibiotik karena kesulitan

membedakan infeksi virus dan bakteri, disamping itu infeksi bakteri sekunder

tidak dapat disingkirikan. Golongan betalactam ( penisilin, sefalosporin,

karbapenem dan monobaktam ) merupakan jenis antibiotic yang sudah

dikenal cukup luas. Biasanya digunakan untuk terapi pneumonia yang

disebakan oleh bakteri gram positif (S. Pneumoniae, H.Influenza, dan

S.Aureus ). Pada kasus berat diberikan golongan sefalosporin sebagai pilihan,

terutama bila penyebabnya belum di ketahui. Sedangkan pada kasus ringan

sedang dipilih golongan penisilin. Pada pneumonia anak tanpa komplikasi

pemberian ampisilin dan kloramfenikol dapat mencakup bakteri gram

negative. Penanganan pneumonia pada neonatus diberikan golongan

penisilin ( cakupan gram positif ) dan golongan aminoglikosida ( untuk

cakupan gram negative ). kombinasi kloksasilin dan gentamisin efektif untuk

terapi pneumonia dibawah 3 bulan karena dapat mencakup kuman S.aureus.

sefalosporin generasi ketiga dapat diberikan jika ada kecurigaan penyebab

bakteri batang gram negative. Pada pneumonia atipik yang disebabkan oleh

bakteri klamidia dan mikoplasma, golongan makrolida menjadi pilihan utama

( azitromisin dan klaritromisin ). Pemberian azitromisin 3 hari sama efektifnya

dengan pemberian coacmoxiclav selama 10 hari 8.9.

Pemberian antibiotik empiris diberikan berdasarkan usia penderita

danderajat penyakit. Untuk pneumonia dapat diberikan kotrimokzsazol (8

mg/kgBB/dosis dalam 2 dosis trimetroprim PO ) atau amoksisilin 25

mg/kgBB/dosis diberikan tiap 12 PO ( pnelitian menyatakan bahwa

11
pemberian amoksisilin 2 kali sehari memiliki konsentrasi dalam darah yang

sama dengan amoksisilin yang diberikan 3 kali sehari ).

Pemberian antibiotic inisial pada pneumonia adalah ampisilin 50

mg/kgBB/dosis (IV/IM ) setiap 6 jam. Jika klinis berat atau bayi <2 bualan,

pengobatan inisial berupa kombinasi ampisilin gentamisin ( 7,5 mg/kgBB

(IV/IM) satu kali sehari. Jika dalam 4. Pada keadaan meningitis ( malas

menetek, letargis, kejang, menangis lemah, fontanel menonjol ) dan

septicemia, maka obat pilihan pertama adalah sefotaksim atau seftriakson IV.

Apabila terjadi kegagalan pada terapi kotrimoksazol, dapat diganti dengan

amoksisilin. Jika gagal dengan amoksisilin maka ditambahkan gentmisin atau

diganti dengan amoksilin-asam klavulanat ( 80-90 mg/kgBB/hari dalam dosis

terbagi ). Bila kembali terjadi kegagalan terapi, berikutnya dpat diberikan

sefalosporin G2 ( sefuroksim ) atau sefalosporin G3 ( Seftriakson,

sefopodoksim )8.

12
Community acquired pneumonia pada anak dengan malnutrisi berat

0-3 minggu 3 minggu 3 bulan Tanpa Ampisilin


komplikasi : 25-50
kotrimoksaz mg/kg/dos
ol 20 is (IV)
mg/kg/dosis Gentamisi
n 7,5
mg/kg (IV)
Tanpa Komplikasi Tanpa Komplika Evaluasi 48 jam
(sepsis, komplikasi si (sepsis,
komplikasi infitrate, efusi infiltrate,
pleura luas) efusi
pleura
luas
Ampisilin Ampisilin Afebris : Membaik Memburuk
25-50 dapat azitromisin 10
mg/kg/dos dipertimbangk mg/kg (PO)
is (IV) an diganti hari 1,5 mg.kg Ganti oral
Gentamisi dengan (PO) hari ke 2- amoksisili + kloramfenikol 25 mg/kg
n 7,5 sefalosforin G3 5 n setiap 8 jam
mg/kg/har Atau
i (IV) *pertimbangka Eritromisin 30-
n penampahan 40 mg/kg (IV)
vankomisin dalam dosis
dan terbagi setiap
klindamisin 8 jam
jika diduga S. Vankomisin
Aureus dan
klindamisin
harus
dipertimbangk
an bila
dipikirkan
infeksi MRSA
Ampisilin jika
di duga Listeria
momocytogen
es
Tabel 3 : Tatalaksana CAP menurut usia (2012)8

13
Community acquired pneumonia pada anak
4 bulan 5 tahun 5 tahun remaja
Rawat jalan Tanpa Komplikasi Rawat Tanpa Komplikasi
komplikasi (sepsis, jalan komplikasi (sepsis,
infiltrate, efusi infiltrate,efu
pleura luas) si pleura
luas)
Amoksisilin 50 SefalosporinSefotaksim Azitromisi Sefuroksi SefotaksIm
mg/kgbb/hari G3 200 n 10 m 150 IV 200
dibagi tiap 8 jam Sefotaksim mg/kgbb/hari mg/kgBB mg/kgbb/ mg/kgbb/ha
selama 7-10 hari 50 mg/kgbb dosis terbagi (max 50 hari IV ri atau
tiap 8 jam + mg PO) tiap 8 jam Sefuroksim
Alternatif : co- Pertimbangk kloksasilin 25- pada hari + IV 150
amoxiclav,azitro an 50 mg/kgbb IV I, diikuti 5 Eritromisi mg/kgbb/ha
misin,eritromisi penambahan setiap 6 jam mg/kgbb/ n 40 ri tiap 8 jam.
n klidamisin IV selama 10-14 hari pada mg/kgbb/
bila tidak ada hari hari ke 2-5 hari IV Sefuroksim
Pertimbangkan perbaikan Atau atau oral 150
menambah klaritromis tiap 6 jam mg/kgbb/ha
azitromisin bila in 15 selama ri IV atau
gejala masih ada mg/kgbb/ 10-14 hari. oral dalam
hari PO Pneumoko dosis tiap 6
terbagi kus : jam selama
tiap 12 Amoksisisl 10-14 hari.
jam in saja 90
selama 7- mg/kgbb/
10 hari hari PO
Atau tiap 8 jam
eritromisi
n 40
mg/kgbb/
hari tiap 6
jam
selama 7-
10 hari

Jika ada
infeksi
pneumoko
kus :
Amoksisili
n saja 90
mg/kgbb/
hari PO
tiap 8 jam
Tabel 3. Tatalaksana CAP menurut usia (2012) 8

14
Pemantuan pada pasien pneumonia harus dilakukan secara adekuat. Pada kasu

pneumonia tanpa komplikasi perbaikan gejala akan terlihat dalam 2 hari setelah

terapi ( penurunan frekuensi napas, retraksi berkurang, demam turun, mulai dapat

makan dan minum, dan perbaikan saturasi oksigen ). Jika dalam 2 hari setelah

terapi tidak terlihat adanya perbaikan atau gejala seakan memburuk maka perlu

dilakukan pemeriksaan radiologi, pewarnaan gram sputum, atau cairan empyema

untuk mencari kemungkinan komplikasi, diagnosis alternative yaitu 15 :

- Pneumonia stafilokokus, pada infeksi pneumonia stafilokokus dapat

ditemukan adanya pneumatokel atau pneumothoraks disertai efusi pleura,

munculnya gejala infeksi kulit ( pustul ) mendukung diagnosi ini. Berikan

kloksasilin ( 50 mg/kgIM/IV 6 jam ) dan gentamisin ( 7,5 mg/kg IM/IV kali

sehari ). Setelah pasien membaik ( minimal setelah pemberian antibiotic 7

hari ). Lanjutkan kloksasisilin oral empat kali sehari selama 3 minggu.

Cloksasilin dapat diganti oleh antibiotic antistafilokokal lainnya seperti

oksasilin, flukoksasilin, atau dikloksasilin.

- Tuberkulosis. Anak dengan gejala batuk persisten disertai demam lebih dari 2

minggu dan adanya tanda pneumonia yang tidak membaik setelah terpai

antibiotic yang adekuat harus dievaluasi kemungkinan infeksi tuberculosis.

- Infeksi HIV. Penyebab tersering pneumonia pada pasien dengan HIV adalah

Pneumocystis (PCP) biasanya pada usia 4-6 bulan. Terapi pasien sesuai

dengan terapi pneumonia berat, jika tidak ada perbaikan dalam 48 jam dapat

diganti dengan ceftriakson 80 mg/kg satu kali sehari diberikan selama 30 2.

15
Menurunkan angka kematian akibat pneumonia melalui dua cara yaitu

mencegah pneumonia akibat infeksi pathogen langsung (H. Influenza) dan

mencegah pneumonia akibat komplikasi dari penyakit sistemik ( campak dan

pertusi ). Tiga vaksin yang secara signifikan menurunkan angka kematian akibat

pneumonia yaitu vaksin campak, Hib, dan PCV ( pneumococcal conjugate

vaccines ). Anak dengan kondisi gizi yang buruk akan meningkatkan angka

mortalitas pneumonia akibat dari menurunnya sistem imun tubuh karena

kurangnya protein dalam tubuh dan anak dengan malnutrisi memiliki

kecendrungan kelemahan otot pernapasan, yang menghambat kerja clearance

dari sistem pernapasan. Pemberia ASI ekslusif juga berperan dalam menurunkan

angka mortalitas pneumonia pada anak. ASI mengandung banyak

nutrisi,antioksidan, hormone, dan antibody yang dibutuhkan anak untuk tumbuh

dan berkembang, terutama untuk memicu sistem pertahanan tubuh anak agar

dapat bekerja secara optimal. Anak usia kurang dari 6 bulan yang tidak diberikan

ASI ekslusif memilki resiko kematian akibat pneumonia 5 kali lebih besar di

banding anak dengan ASI ekslusif. Selain itu pemberian Zink juga membantu

menurunkan angka kejadian dan tingkat keparahan pneumonia. Penelitian yang

dilakukan menunjukkan terjadi penurunan durasi dan derajat keparahan

pneumoni, serta kegagalan terapi pada kelompok yang diberikan suplemen zink

pada fase dibandingkan kelompok yang diberikan placebo 8,15,17.

16
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Pneumonia : Fact Sheet, Updated November 2015.

Available at http://WWW.Who.int/mediacentre/factssheets/fs331/en/

2. Tedja, R & Gorden, S.Hospital Acquired, Helath Care Assiciated, and Ventilator
Associated Pneumonia; Published November 2013. Avaible at
http://WWW.Clevelandclinicmeded.com/medicalpubs/diseasemanagement/infectious-
disease/health-careassociated-pneumonia/
3. National Heart, Lung,and Blood Institute. Explore Pneumonia, Publisher March 2011.
Available at http://WWW.nhlbi.nih.gov/health-topics/pnu/types
4. Perhimpunan Dokter paru Indonesia. Pneumonia komuniti: Pedoman & Diagnosis di
Indonesia PDPI,2003.
5. World Health Organization. Children: Reducing mortality; Fact Sheet updated january
2016. Available. At http://WWW.Who.int//mediacentre/factsheets/ fsl 178/en/
6. Kementrian Kesehatan RI. 2014. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2013. Kementrian
Kesehatan RI, Indonesia.
7. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2013. RISKESDAS Provinsi Sulawesi
Selatan Tahun 2013. KementriaN Kesehatan RI, Indonesia.
8. Kartasasmita CB, Suardi AU, Nataprawira HM, Sudarti S & Wulandari DA. 2009.
Respirologi Pneumonia : Pedoman diagnosis dan terapi Ilmu Kesehatan.Departemen
Ilmu Kesehatan Anak RSHS, Bandung.
9. Asih R, Landia S & Makmuri MS. 2006. Naskah lengkap Continuing Education Ilmu
Kesehatan anak XXXVI,Kapita Selkta Ilmu Keshatan Anak vi : Kuliah Pneumonia.
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga-RSU Dr. Soetomo Surabaya.
10. Patophysiology of Altered Helath States II. Case Study : Community- acquired
pneumonia. Available at
http://nucleus.con.ohiostate.edu/it/pneumoniacasestudy/pneumonia print.html
11. Banaszak, Irene B & Breborowicz, Anna.2013. pneumonia in children. Departement of
pulpomonology, pediatric Allergy and Clinical Immunology. Karol Marcikowski
University of Medical Science, Poland.
12. Gray D * Zar HJ.2010. Childhoob Pneumonia in Low and Middle Income Countries:
Burden, Prevention and Management. The Open Infectious Diseases Journal,
2010,4:74-84.
13. Harris M,Clark J, Coote N, Fletcher P, Harnden A, McKean M, & Thomson A. 2011.
Guidelines for the Management of Community Acquired Pneumonia in Children :
Update 2011. Journal of the British Thoracic Society. London.
14. Suyoko EMD, et al. Pedoman pelayanan medis Ikatan Dokter Anak Indonesia. IDAI:
2009.58-62,250-6.

17
15. World Health Organization. 2013. Pocket Book of Hospital Care for Children: Guidelines
for the Management of Common Childhood Illnesses, 2nd edt. Avaible at.
http://apps.Who.int/iris/bitsream/10665/81170/1/9789241548373 eng.pdf
16. Kuman V, Mehta R, Mohan O, Patwari A, Saxena S & Patel A. 2010. Rational USE OF
Antibiotic for Pneumonia. India Clinical Epidemiology Network (IndiaCLEN). New
Delhi,India.
17. Wardlaw, T, Johansson EW & Hodge M. 2006. Pneumonia: The Forgotten Killer of
Children. World Health Organization-UNICEF.
18. WORLD Health Organization. Background document : The diagnosis, Treatment and
Prevention of Thyphoid Fever. 2003. http://WWW.Who.int/rpc/TFGuideWHO.pdf
19. Darmawandoyo W. Demam Tifoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Keshatan Anak, Infeksi dan
Penyakit Tropis. Balai Penerbit FKUI. Jakarta, 2003 ; 367 375.
20. Brusch JL. Corales R, Schmitt SK & Garvery T. 2016. Thypoid Fever. Available at
http://emerdicine.medscape.com/article/231135-overview#a5
21. Neopane S & Panta S. 2012.Validation of thr Proposed Clinicall Diagnostik Criteria of
Enteric Fever. Departemen of Medicine Katmandu Medical College. Kathmandu
University Medical Journal, Vol. 10; 4; 8-11.
22. Huang,DB & Dupant HL. Problem Phatogens : Extra-intestinal Complications of
Salmonella Enterica serotype Typhi Infection. The Lancet Infectious Disease 2005;
5:341-48.
23. World Health Organization. Guidelines for the Mangement of Typhoid Fever. 2011.
http://apps.who.nt/medicinedocs/documents/s20994en/s/20994en.pdf.

18

Anda mungkin juga menyukai