Anda di halaman 1dari 7

BAB II

PEMBAHASAN
A. Pendidikan Dan Kebudayaan
1. Hakikat Pendidikan dan Kebudayaan
Pendidikan baik secara teoritik maupun secara praktis tidak
terlepas dari kebudayaan. Kebudayaan bersifat dinamis dan terus
berkembang karena adanya proses pendidikan. Sebagai proses
transformasi, proses pendidikan mentransformasikan nilai-nilai satu
generasi kepada generasi lain dan membentuk pribadi-pribadi yang
kreatif yang menjadi penggerak serta pengembang dari jaringan
kebudayaan dimana ia hidup. Pribadi yang tidak kreatif dan tidak
produktif akan menjadi beban kebudayaan atau beban dari
masyarakatnya.
Pendidikan tidak mungkin terlepas dari budaya karena kebudayaan
memberikan rambu-rambu, nilai-nilai, memberikan reward and
punishment dalam perkembangan pribadi seseorang. Proses pendidikan
bukan hanya sekedar merupakan transmisi kebudayaan tetapi juga
penciptaan atau pengembangan kebudayaan itu sendiri. Demokratisasi
dan desentralisasi pendidikan menekankan hubungan antara praksis
pendidikan dengan kebudayaan. Kebudayaan mempunyai aspek-aspek
yang luas dan bukan hanya aspek intelektual atau teknologi. Kebudayaan
meliputi nilai-nilai moral dan agama, nilai-nilai estetika, nilai-nilai
emosional, nilai-nilai keterampilan, nilai-nilai luhur yang telah hidup
berabad-abad di dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu praksis
pendidikan haruslah mengembangkan seluruh nilai-nilai kebudayaan
tersebut. Jika tidak demikian kebudayaan akan mati, atau pendidikan
hanya akan menghasilkan manusia-manusia yang pintar dan cerdas tetapi
tidak berbudaya. (Tilaar, A.R, 2004)
Ahli Antropologi Geertz dalam Tilaar, A.R. (2004) menyatakan
bahwa manusia adalah makhluk yang terkungkung dalam jaringan-arti
yang ditentukannya sendiri. Artinya, manusia tidak dapat menjadi dewasa
apabila dia tercabut dari masyarakatnya yang mempunyai kebudayaannya
sendiri. Namun demikian, manusia bukanlah semata-mata hasil
kungkungan nilai-nilai kebudayaannya. Kreatifitas, inovasi, enkulturasi,
akulturasi di dalam transmisi kebudayaan menunjukkan bahwa manusia
adalah makhluk yang aktif. Kemampuan kreatifitas dan aktivitas tersebut
adalah hasil dari proses pendidikan.
Kebudayaan bangsa akan tetap bertahan jika setiap individu
ataupun masyarakatnya masih menghargai dan menjunjung tinggi arti
keberadaan budaya tersebut. Upaya penumbuhan sikap menghargai
budaya ini dapat dimunculkan melalui proses pendidikan. Pendidikan
pada dasarnya adalah bertujuan untuk membantu pengembangan
kepribadian peserta didik seutuhnya dalam konteks lingkungan alamiah
dan kebudayaan yang berkeadaban. Di dalam lingkungan kebudayaan
inilah terjadi proses pendidikan anak manusia. Hal yang diinginkan
sebagai output pendidikan ialah educated and civilized human being, dan
manusia seperti itu hanya dapat dihasilkan oleh suatu sistem pendidikan
yang berakar dalam kebudayaannya
Menurut Ki Hajar Dewantara dalam Tim Kreatif LKM UNJ (2011),
proses pendidikan perlu menggali nilai-nilai kebudayaan yang luhur dari
kebudayaan lokal sebagai kebijaksanaan lokal. Menurutnya, proses
pendidikan terjadi di dalam habitus yang sentripetal yang berpusat dari
budaya lokal menuju budaya nasional dan global. Menurut Romo
Mangunwijaya, ramuan kekayaaan sosial dan budaya membantu
pengembangan kepribadian dan kemampuan peserta didik. Hal senada
juga diungkapkan John Dewey, bahwa pendidikan merupakan alat bagi
generasi muda untuk memperkenalkannya pada warisan budaya, tidak
sekedar untuk proses transmisi, tetapi juga kemungkinan untuk
mengubahnya.

Selain beberapa ahli teoritis di atas yang telah mengemukakan


pendapatnya terkait hakikat kebudayaan yang menjadi sudut pandang
berfikir terhadap pendidikan, di sisi lain beberapa paham yang dimiliki
oleh beberapa ahli di negara Amerika mengemukakan juga bahwa unsur-
unsur kebudayaan memiliki peran penting dalam proses pendidikan di
Amerika. Di sana untuk mencapai tujuan pendidikan perlu adanya suatu
postur budaya yang diadopsi ke dalam pendidikan. Seorang ahli bernama
Nieto, mengemukakan bahwa culture Pendidikan yang berlandaskan
keragaman budaya( culture diversty of education) itu memiliki karakter
dasar yang dapat di implementasikan ke dalam dunia pendidikan, sehingga
siswa di Amerika memiliki bebrapa karakter yang kuat berdasarkan apa
yang mereka pelajari di dunia pendidikannya. Karakter kuat yang dapat
muncul menurut Nieto diantaranya adalah Pendidikan multikultural adalah
pendidikan anti rasis, pendidikan multikultural adalah pendidikan dasar,
pendidikan multikultural sangat penting bagi semua siswa, pendidikan
multikultural sangat meresap, pendidikan multikultural adalah pendidikan
untuk keadilan sosial, pendidikan multikultural adalah sebuah proses,
pendidikan multikultural adalah pedagogi kritis. Pendidikan yang
mengadopsi dari nilai-nilai kebudayaan yang berkembang di Amerika
merupakan suatu kebutuhan. Mengapa demikian, karena realitas sosial
masyarakat Amerika, pengaruh budaya dan etnis pada pertumbuhan dan
perkembangan manusia dan kondisi pengajaran dan pembelajaran yang
efektif. Selain itu Amerika yang memiliki kebudayaan yang beragam sama
halnya dengan indonesia, sehingga sebuah tolak ukur yang mendasar
bagaimana pendidikan dalam perspektif kebudayaan yang dibangun di
Amerika.

2. Praktek Pendidikan di Indonesia Berdasarkan Perspektif Budaya


Kekeliruan selama ini dalam proses pendidikan adalah cenderung
memisahkan praksis pendidikan dari nilai-nilai kebudayaan. Hal ini
terjadi karena nilai-nilai kebudayaan itu sendiri telah direduksikan sebagai
nilai-nilai intelektual. Dengan demikian praksis pendidikan yang
menitikberatkan kepada intelektualisme semata-mata akan merontokkan
bukan hanya kebudayaan tetapi juga pendidikan itu sendiri. Akibat dari
pendekatan intelektualisme di dalam sistem pendidikan nasional, maka
nilai-nilai kebudayaan yang telah direduksikan hanya sebagai nilai-nilai
intelek, tentunya akan mengakibatkan proses kemiskinan kebudayaan
nasional. Kebhinekaan budaya Indonesia yang mengandung nilai-nilai
yang sarat akan niai-nilai moral, etis, estetika dan lainnya mulai dilupakan
dan tersingkirkan. (Tilaar, A.R. 2004).
Dalam era reformasi, kita bertekad untuk membangun suatu
masyarakat Indonesia baru yaitu masyarakat yang demokratis.
Masyarakat yang demokratis terdiri dari para individu yang cerdas yang
bukan hanya semata-mata memiliki kecerdasan intelek tetapi berbagai
kecerdasan seperti kecerdasan emosional dan kecerdasan etika serta
estetika. Anggota masyarakat yang cerdas yang menjadi pilar-pilar dari
masyarakat Indonesia baru adalah manusia yang terdidik dan berbudaya
(educated and civilized human being). Paradigma baru reformasi
pendidikan nasional haruslah didasarkan kepada hal berikut :
a. Kebudayaan Indonesia yang bhineka dan merupakan suatu totalitas
milik bangsa Indonesia
b. Kebhinekaan budaya nusantara yang menuntut eksistensi, artinya
menuntut pemeliharaan dan komitmen untuk menyumbang sebagai
sumbangan unsur-unsur budaya lokal bagi terwujudnya budaya
nasional.
Paradigma baru reformasi pendidikan nasional yang berdasarkan
kebudayaan memerlukan redefinisi mengenai visi, misi, dan program
pendidikan nasional yang kemudian perlu dijabarkan di dalam berbagai
program lembaga kehidupan bermasyarakat termasuk lembaga pendidikan
(Tilaar, A.R. 2004).
Pendidikan di Indonesia sekarang ini masih mencari format yang
tepat agar dapat mengakomodasi seluruh kepentingan masyarakat.
Pendidikan adalah jawaban guna menyelesaikan seluruh kerusakan yang
diakibatkan oleh sistem pendidikan. Pendidikan yang dapat menghargai
kebudayaan atau falsafah hidup orang Indonesia mungkin dapat menjawab
sebagai persoalan yang timbul. Pendidikan berbasis budaya adalah upaya
pemerintah dan masyarakat untuk menggali kembali khazanah adi luhung
bangsa Indonesia yang sudah banyak ditinggalkan. Pendidikan ini
diarahkan untuk mengambil nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan
pedoman umum dalam aktivitas pembelajaran. Penggalian nilai dasar atau
potensi budaya ini tidak mudah dilaksanakan dikarenakan setiap wilayah
mempunyai keunikan dan keragaman budaya yang tidak dapat disatukan.
Keunikan dan keragaman budaya yang tidak dapat disatukan inilah yang
seharusnya menjadi nilai lebih dari bangsa Indonesia (Setiawan, Beni.
2006).
Sikap multikulturalisme atau menghargai budaya masyarakat yang
lain menjadi kunci dari pendidikan berbasis budaya ini. Di era keterbukaan
ini, masyarakat satu dan lainnya tidak boleh memaksakan kehendaknya
dalam melakukan setiap aktivitas budaya. Ia harus menghargai dan
menghormati serta merasa memiliki keragaman budaya yang ada di tengah
masyarakat. Sikap tersebut akan menjadikan masyarakat paham bahwa
kita adalah berbhineka tunggal ika, berbeda tetapi tetap satu. Kebhinekaan
ini akan menjadi sebuah modal pendidikan yang luar biasa. Artinya,
masyarakat Indonesia tidak akan dapat disebut masyarakat Indonesia tanpa
memiliki dasar budaya atau menghormati budaya yang telah diwariskan
oleh nenek moyang .
Pendidikan Indonesia harus berbeda dengan model pendidikan
negara lain dan harus didasarkan pada realita budaya masyarakat yang
seragam. Karena itu, muatan lokal atau pendidikan bahasa daerah harus
diajarkan pada sekolah-sekolah atau tingkat pendidikan dari Sekolah Dasar
(SD) hingga Sekolah Menengah Atas (SMA). Pendidikan bahasa daerah
adalah modal budaya yang cukup efektif guna membedakan antara
pendidikan Indonesia dengan pendidikan manapun. Beberapa hal yang
dapat diambil dari mata pelajaran bahasa daerah ini, diantaranya :
a. Peserta didik diajak untuk menghormati dan menghargai bahasa
daerahnya sendiri
b. Peserta didik belajar sopan santun dalam berbahasa sehingga ia dilatih
untuk hormat-menghormati antar sesame
c. Peserta didik dapat menggali dan mempertahankan kebudayaan
setempat (Setiawan, Beni. 2006).
Pendidikan berbasis budaya dapat dilatih pula dengan cara dan
model guru dalam melakukan aktivitas belajar mengajar. Sebagaimana
yang dikemukakan Priyo Widiyanto dalam Setiawan, Beni (2006), guru
harus dapat menjadi Simbah, Simbok lan Babu. Prinsip Simbah
menyatakan bahwa relasi antara guru dan siswa harus didasari dengan
relasi cinta kasih tanpa batas layaknya hubungan antara simbah dan
cucunya. Prinsip Simbok menyatakan bahwa guru harus selalu berupaya
agar siswanya memiliki keteraturan hidup, seperti relasi antara simbok dan
anaknya. Prinsip Babu menyatakan bahwa guru harus siap melayani
siswanya secara total, seperti relasi babu dengan tuannya. Prinsip Simbah,
Simbok lan Babu tersebut dapat dijadikan principle of reaction guru, yakni
seorang guru dalam merespon tingkah laku siswa harus didasari cinta,
keteraturan, dan motif untuk melayani. Principle of reaction ini dapat
melengkapi principle of reaction Ki Hajar Dewantara, yaitu Ing Ngarsa
Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, dan Tut Wuri Handayani.
Pendidikan berbasis budaya merupakan cerminan bahwa bangsa
Indonesia memiliki nilai plus dibandingkan pendidikan luar negeri.
Kebanggaan terhadap pendidikan Indonesia akan mengantarkan bangsa ini
kepada jalan yang baik dan keteraturan hidup. Ketika pendidikan
Indonesia hanya dapat meniru dan menjiplak pendidikan luar negeri, yang
terjadi adalah keterasingan manusia Indonesia dari budaya asli dan hanya
meniru dan mengagungkan budaya asing. Pendidikan berbasis budaya
dapat dilakukan dan diwujudkan apabila pemerintah dan masyarakat
bersatu padu guna memikirkan dan menggali budaya yang ada. Dengan
demikian kemitraan yang baik antara pemerintah, saksi sejarah, tokoh
masyarakat, dan orang-orang yang masih peduli dengan budaya dan
pendidikan Indonesia sangat dibutuhkan.
B. Pendidi

Anda mungkin juga menyukai