Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

CEREBROVASCULAR ACCIDENT SUBARACHNOID HEMORRHAGE


(CVA-SAH)

A. Definisi
Stroke atau penyakit serebrovaskular mengacu pada setiap gangguan neurologik
mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui
system suplai arteri otak ( Sylvia A. Price, 2006 ). Menurut American Association of
Neuroscience Nurses (AANN) pada tahun 2009 mendefinisikan subarachnoid
hemorrhage (SAH) adalah stroke perdarahan dimana darah dari pembuluh darah
memasuki ruang subarachnoid yaitu ruang di antara lapisan dalam (piamater) dan
lapisan tengah (arachnoid mater) dari jaringan selaput otak (meninges). Penyebab
paling umum adalah pecahnya tonjolan (aneurisma) dalam arteri basal otak atau
pada sirkulasi Willisii.

B. Etiologi
Dewanto et all (2009) menyebutkan bahwa etiologi perdarahan subarakhnoid
meliputi:
1. Ruptur aneurisma sakular (70-75%)
2. Malformasi arteriovena
3. Ruptur aneurisma fusiform
4. Ruptur aneurisma mikotik
5. Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan antikoagulan, dan gangguan
pembekuan darah
6. Infeksi
7. Neoplasma
8. Trauma

C. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko yang dihubungkan dengan risiko tinggi aneurisma SAH
menurut Feigin et al. (2005) dan Teunissen et al. (1996) dalam Lemonick (2010)
meliputi:
1. Riwayat keluarga dengan aneurisma intrakranial
2. Hipertensi
3. Merokok
4. Atherosklerosis
5. Kontrasepsi oral
6. Usia lanjut
7. Jenis kelamin
8. Pecandu alkohol berat

D. Patofisiologi
CVA subarakhnoid hemorrhage (SAH) sebagian besar disebabkan oleh rupturnya
aneurisma serebral. Segera setelah perdarahan, rongga subarakhnoid dipenuhi
dengan eritrosit di CSF. Eritrosit ini mengikuti salah satu dari beberapa jalan kecil
di otak. Beberapa eritrosit akan berikatan menjadi bekuan pada area perdarahan.
Sebagian besar eritrosit akan berikatan dengan arachnoid villi dan trabekulae.
Akibatnya, otak akan mengalami edema. Eritrosit juga berpindah dari ruang
subarakhnoid melalui fagositosis. Proses ini terjadi dalam 24 jam setelah
perdarahan. Makrofag CSF, muncul dari sel mesotelial arakhnoid atau memasuki
ruang subarakhnoid melalui pembuluh meningeal, dapat secara langsung
memecah eritrosit di CSF atau merubahnya menjadi bekuan darah (Hayman et al.,
1989). Keadaan ini menyebabkan aliran darah ke otak menjadi berkurang, sehingga
menyebabkan terjadinya iskemi pada jaringan otak dan lama-lama akan
menyebabkan terjadinya infark serebri. Selanjutnya, jaringan otak yang mengalami
iskemi/ infark akan menyebabkan gangguan/ kerusakan pada sistem saraf. Pada
pasien dengan SAH yang masih hidup, sering mengalami kelumpuhan pada saraf
kranial kiri, paralisis, aphasia, kerusakan kognitif, kelainan perilaku, dan gangguan
psikiatrik (Bellebaum et al., 2004 dalam American Association of Neuroscience
Nurses, 2009).
E. Pathway
Ruptur aneurisma sakular, Malformasi arteriovena, Ruptur aneurisma fusiform,
Ruptur aneurisma mikotik, Kelainan darah: diskrasia darah, penggunaan
antikoagulan, dan gangguan pembekuan darah, infeksi, neoplasma, trauma

Pembuluh darah
pecah

Ekstravasasi darah dari pembuluh darah arteri di otak

Masuk ke dalam ruang subarakhnoid

Menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis

Penekanan Infark
jaringan otak Edema serebri serebri

Peningkatan kapasitas
adaptif intra kranial CVA Risiko penurunan perfusi jaringan
serebral

Nyeri
Defisit neurologis

Frontal Temporal Parietal Dominan Nondomnian Oksipital

Gangguan : Gangguan Afasia (tidak Gangguan Disorientasi Kemampuan


penilaian, memori mampu sensorik Apraksia penglihatan
penampilan Kejang berbicara dan bilateral (kehilangan berkurang
Gangguan psikomotor menulis) kemampuan
afek&proses Tuli Agrafia melakukan
pikir, fungsi Konfabulasi (kehilangan gerakan
motorik kemampuan bertujuan) Risiko
(mengingat
menulis) Distorsi cidera
pengalaman
imajiner) Agnosia (tidak konsep ruang
mampu Hilang
Kehilangan
mengenali kesadaran
kontrol
stimulus pada sisi
volunter
sensori) tubuh yang
berlawanan

Hemiplegia dan hemiparese


Kerusakan
komunikasi verbal Penurunan
kesadaran
Kerusakan Defisit perawatan diri:
mobilitas fisik Mandi dan eliminasi
Ketidakefektifan
bersihan jalan nafas
F. Manifestasi Klinis
Menurut Hunt dan Hess (1968) dalam Dewanto G, et al. 2009, gejala CVA SAH
dapat dilihat dari derajat nya, yaitu:
Derajat GCS Gejala
1 15 Asimtomatik atau nyeri kepala minimal serta kaku kuduk
ringan.
2 15 Nyeri kepala moderat sampai berat, kaku kuduk, defisit
neurologis tidak ada (selain parese saraf otak).
3 13-14 Kesadaran menurun (drowsiness) atau defisit neurologis
fokal.
4 8-12 Stupor, hemiparesis moderate sampai berat, permulaan
desebrasi, gangguan vegetatif.
5 3-7 Koma berat, deserebrasi.

Pasien dengan perdarahan sub arachnoid didapatkan gejala klinis Nyeri kepala
mendadak, adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi
cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit neurologis
fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya ketajaman sensasi
pada satu sisi tubuh) . Kesadaran sering terganggu dan sangat bervariasi. Ada
gejala/tanda rangsangan meningeal. Edema papil dapat terjadi bila ada perdarahan
sub arachnoid karena pecahnya aneurisma pada arteri (Dewanto et al., 2009).
Onset dari gejalanya biasanya tiba-tiba perjalanan penyakit perdarahan
subarochnoid yang khas dimulai dengan sakit kepala yang sangat hebat (berbeda
dengan sakit kepala biasa), onset biasanya 1-2 detik hingga 1 menit dan sakit
kepalanya sedemikian rupa sehingga mengganggu aktivitas yang dilaksanakan
oleh penderita. Sakit kepala makin progresif, kemudian diikuti nyeri dan kekakuan
pada leher, mual muntah sering dijumpai perubahan kesadaran (50%) kesadaran
hilang umumnya 1-2 jam, kejang sering dijumpai pada fase akut (sekitar 10-15%)
perdarahan subarochnoid sering diakibatkan oleh arterivena malformasi. Umumnya
onset saat melakukan aktivitas 24-36 jam setelah onset dapat timbul febris yang
menetap selama beberapa hari.
G. Peningkatan TIK
1. Tanda Peningkatan TIK
Nyeri kepala, gelisah, iritabilitas, disfungsi (refleks pupil lambat), penurunan
tingkat kesadaran, muntah proyektil, gangguan motorik, perubahan tanda vital,
peningkatan suhu tubuh, pupil aniskor, hilangnya refleks batang otak,
abnormalitas visual, perubahan pola napas
2. Faktor faktor yang Menyebabkan Peningkatan TIK
a. Hiperkapnia : PCO2 >45mmHg
b. Hipoksemia : PO2 <50mmHg
c. Prosedur respiratory : suction, PEEP, intubasi
d. Obat-obatan vasodilator : obat anastesi, beberapa obat anti hipertensi,
beberapa histamine, peningkatan tekanan intraabdominal, angulasi leher
e. Tekanan pada leher : soft collar
f. Valsava maneuver
g. Batuk
h. Emosi sedih
i. Aktivitas yang dapat meningkatkan metabolism
3. Penatalaksanaan Peningkatan TIK Secara Umum
a. Mengatur posisi kepala lebih tinggi 15-30
b. Mengusahakan tekanan darah yang optimal
c. Mengatasi kejang, menghilangkan stress dan cemas, mengatasi nyeri,
menjaga suhu tubuh dalam batas normal
d. Koreksi kelainan metabolic dan elektrolit
e. Atasi hipoksia

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan Radiologis
a. CT Scan
Hasil yang di dapatkan menunjukkan bahwa darah SAH pada CT Scan
tanpa bentuk berarti pada ruang subarakhnoid disekitar otak, kemudian
membentuk sesuatu yang secara normal berwarna gelap muncul menjadi
putih. Efek ini secara khas muncul sebagai bentuk bintang putih pada pusat
otak seperti gambar berikut ini.
Sedangkan lokasi darah pada umumnya terdapat di basal cisterns, fisura
sylvian, atau fisura interhemisper yang mengindikasikan ruptur saccular
aneurysma. Darah berada di atas konfeksitas atau dalam parenkim
superfisial otak sering mengindikasikan arteriovenous malformation atau
mycotic aneurysm rupture (AANN, 2009).
b. Pungsi lumbar
Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat xanthochromia (CSF berwarna
kuning yang disebabkan oleh rusaknya hemoglobin) dimana sensitivitas
pemeriksaan ini lebih besar dari 99% (AANN, 2009).
c. CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH
telah dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP.
d. Rontgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.

2. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau
leukositosis setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik (Dewanto et
al., 2009).
b. Adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
(Weiner, 2000).
c. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
d. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.

I. Penatalaksanaan
1. Pemeriksaan Umum
a. Sistem jalan nafas dan kardiovaskuler. Pantau ketat di unit perawatan
intensif atau lebih baik di unit perawatan neurologis.
b. Lingkungan. Pertahankan tingkat bising yang rendah dan batasi pengunjung
sampai aneurisma ditangani.
c. Nyeri. Morfin sulfat (2-4 mg IV setiap 2-4 jam) atau kodein (30-60 mg IM
setiap 4 jam).
d. Profilaksis gastrointestinal. Ranitidin (150 mg PO 2x sehari atau 50 mg IV
setiap 8-12 jam) atau lansoprazol (30 mg PO sehari)
e. Profilaksis deep venous thrombosis. Gunakan thigh-high stockings dan
rangkaian peralatan kompresi pneumatik; heparin (5000 U SC 3x sehari)
setelah terapi aneurisma.
f. Tekanan darah. Pertahankan tekanan darah sistolik 90-140 mmHg sebelum
terapi aneurisma, kemudian jaga tekanan darah sistolik < 200 mmHg.
g. Glukosa serum. Pertahankan kadar 80-120 mg/dl; gunakan sliding scale
atau infus kontinu insulin jika perlu
h. Suhu inti tubuh. Pertahankan pada 37,20C; berikan
asetaminofen/parasetamol (325-650 mg PO setiap 4-6 jam) dan gunakan
peralatan cooling bila diperlukan.
i. Calcium antagonist. Nimodipin (60 mg PO setiap 4 jam selama 21 hari).
j. Terapi antifibrinolitik (opsional). Asam aminokaproat (24-48 jam pertama, 5
g IV dilanjutkan dengan infus 1,5 g/jam)
k. Antikonvulsan. Fenitoin (3-5 mg/kg/hari PO atau IV) atau asam valproat (15-
45 mg/kg/hari PO atau IV)
l. Cairan dan hidrasi. Pertahankan euvolemi (CVP, 5-8mmHg); jika timbul
vasospasme serebri, pertahankan hipervolemi (CVP, 8-12 mmHg atau
PCWP (pulmonal capillary wedge pressure) 12-16 mmHg.
m. Nutrisi. Coba asupan oral (setelah evaluasi menelan) untuk alternatif lain,
lebih baik pemberian makanan enteral.

2. Terapi Lain
a. Surgical clipping. Dilakukan dalam 72 jam pertama
b. Endovascular coiling. Dilakukan dalam 72 jam pertama

3. Komplikasi Umum
a. Hidrosefalus. Masukkan drain ventrikular eksternal atau lumbar.
b. Perdarahan ulang. Berikan terapi suportif dan terapu darurat aneurisma.
c. Vasospasme serebri. Beri nimodipin; pertahankan hipervolemi atau
hipertensi yang diinduksi dengan fenilefrin, norepinefrin, atau dopamin;
terapi endovascular (angioplasti transluminal atau vasodilator langsung)
d. Bangkitan. Lorazepam (0,1 mg/kg, dengan kecepatan 2 mg/menit) atau
diazepam 5-10 mg, dilanjutkan dengan fenitoin (20 mg/kg IV bolus dengan
kecepatan < 50 mg/menit sampai dengan 30 mg/kg).
e. Hiponatremia. Pada SIADH: restriksi cairan; Pada serebral salt wasting
syndrome: secara agresif gantikan kehilangan cairan dengan 0,9% NaCl
atau NaCl hipertonis.
f. Aritmia miokardia. Metoprolol (12,5-100 mg PO 2x sehari); evaluasi fungsi
ventrikel; tangani aritmia
g. Edema pulmonal. Berikan suplementasi oksigen atau ventilasi mekanik bila
perlu

4. Perawatan Jangka Panjang


a. Rehabilitasi. Terapi fisik, pekerjaan, dan bicara
b. Evaluasi neuropsikologis. Lakukan pemeriksaan global dan domain specifik,
rehabilitasi kognitif
c. Depresi. Pengobatan antidepresan dan psikoterapi
d. Nyeri kepala kronis. NSAIDs, Antidepresan trisiklik, atau SSRIs; gabapetin.

5. Terapi Medikamentosa
a. Edatif tranquilizer : fenobarbital (luminal) dan diazepam (valium) untuk
menghindari kegelisahan dan tekanan darah yang meningkat
b. Antiemetik : dimenhidrat
c. Analgetika : kodein fosfat, meperidin HCL, morfin, dan fentanil
d. Antikonvulsan : fenitoin (dilantin), karbamazepin, fenobarbital
dengan dosis 30 mg peroral 3 kali perhari
e. Pencahar : diotil Na, sulfosuksinat, psilium hidrofilik musiloid
sedium 100 mg peroral perhari
f. Antasida : magnesium aluminium hidroksida, simetidin,
ranitidin
g. Diuretik/ antiedema : furosemid (lasix), manitol
h. Steroid : deksametason (oradexon, kalmethasone)
i. Antifibrinolitik : epsilon-amino-kaproat (amicar), asam traneksamik
Pemberian anti fibrolitik dianggap bermanfaat untuk memecah perdarahan
ulang akibat lisis atau bekuan darah ditempat yang mengalami perdarahan
j. Antidiuretik : vasopresin (pitresin)
k. Obat hipotensif intrakranial : tiopental (pentotal)
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN CEREBROVASCULAR ACCIDENT
SUBARACHNOID HEMORRHAGE (CVA-SAH)

A. PENGKAJIAN
1. Anamnesis
a. Identitas klien mencakup nama, usia, jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, dan
diagnosa medis.
b. Keluhan utama pada umumnya akan terlihat bila sudah terjadi disfungsi
neurologis. Keluhan yang sering didapatkan meliputi: Nyeri kepala mendadak,
adanya tanda rangsang meningeal (mual, muntah, fotofobia/intoleransi
cahaya, kaku kuduk), penurunan kesadaran, serangan epileptik, defisit
neurologis fokal (disfasia, hemiparesis, hemihipestesia (berkurangnya
ketajaman sensasi pada satu sisi tubuh).
c. Riwayat penyakit sekarang yang mungkin didapatkan meliputi adanya riwayat
trauma, riwayat jatuh, keluhan mendadak lumpuh pada saat klien melakukan
aktivitas, keluhan pada gastrointestinal seperti mual, muntah, bahkan kejang
sampai tidak sadar, di samping gejala kelumpuhan separuh badan atau
ganggguan fungsi otak yang lain, selisah, letargi, lelah, apatis, perubahan
pupil, dll.
d. Riwayat penyakit dahulu meliputi penggunaan obat-obatan (analgesik, sedatif,
antidepresan, atau perangsang syaraf), keluhan sakit kepala terdahulu, riwayat
trauma kepala, kelainan kongenital, peningkatan kadar gula darah dan
hipertensi.
e. Riwayat penyakit keluarga perlu ditanyakan tentang adanya keluarga yang
menderita hipertensi atau diabetes.
f. Pengkajian psikososial meliputi status emosi, kognitif, dan perilaku klien.
g. Kemampuan koping normal meliputi pengkajian mengenai dampak yang timbul
pada klien seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah.
h. Pengkajian sosioekonomispiritual mencakup pengkajian terhadap fungsi
neurologis dengan dampak gangguan neurologis yang akan terjadi pada gaya
hidup individu.
B. PEMERIKSAAN FISIK
1. Tingkat kesadaran
Tingkat Klinis
Responsivitas
Terjaga Normal
Sadar Dapat tidur lebih dari biasanya, sedikit bingung saat pertama
kali terjaga, tetapi berorientasi sempurna ketika terbangun.
Letargi Mengantuk tetapi dapat mengikuti perintah sederhana ketika
dirangsang.
Stupor Sangat sulit untuk dibangunkan, tidak konsisten dalam
mengikuti perintah sederhana atau berbicara satu kata atau
Semikomatosa frase pendek.
Gerak bertujuan ketika dirangsang tidak mengikuti perintah,
koma atau berbicara koheren.
Dapat berespon dengan postur secara refleks ketika
distimulasi atau dapat tidak beresepon pada setiap stimulus.

Respon motorik Respon verbal Membuka mata


Menurut 6 Orientasi 5 Spontan 4
Terlokalisasi 5 Bingung 4 Terhadap panggilan 3
Menghindar 4 Kata tidak dimengerti 3 Terhadap nyeri 2
Fleksi abnormal 3 Hanya suara 2 Tidak dapat 1
Ekstensi abnormal 2 Tidak ada 1
Tidak ada 1

2. Keadaan umum
Penderita dalam kesadaran menurun atau terganggu postur tubuh mengalami
ganguan akibat adanya kelemahan pada sisi tubuh sebelah atau keseluruhan
lemah adanya gangguan dalam berbicara kebersihan diri kurang serta tanda-tanda
vital (hipertensi).
a. Sistem Integumen
Kulit tergantung pada keadaan penderita apabila kekurangan O2 kulit akan
kebiruan kekurangan cairan turgor jelek berbaring terlalu lama atau ada
penekanan pada kulit yang lama akan timbul dekubitus. Kuku jika penderita
kekurangan O2 akan tampak kebiruan.
b. Sistem pernafasan
Adanya pernafasan dispnoe, apnoe atau normal serta obstrusi jalan nafas,
kelumpuhan otot pernafasan penggunaan otot-otot bantu pernafasan, terdapat
suara nafas ronchi dan whezing.
c. Sistem kardio vaskuler
Bila penderita tidak sadar dapat terjadi hipertensi atau hipotensi, tekanan
intrakranial meningkat serta tromboflebitis, nadi bradikardi, takikardi atau
normal .
d. Sistem pencernaan
Adanya distensi perut, pengerasan feses, penurunan peristaltik usus,
gangguan BAB baik konstipasi atau diare .
e. Ekstrimitas
Adanya kelemahan otot, kontraktur sendi dengan nilai ROM : 2, serta
kelumpuhan.
f. Pemeriksaan urologis
Pada penderita dapat terjadi retensi urine, incontinensia infeksi kandung
kencing, serta didapatkannya nyeri tekan kandung kencing.

3. Saraf Kranial
a. Saraf Kranial I (olfaktorius/ penciuman) : Biasanya tidak ada kelainan pada
fungsi penciuman.
b. Saraf Kranial II (optikus/ penglihatan) : Disfungsi persepsi visual karena
gangguan jaras sensorik primer di antara mata dan korteks visual.
c. Saraf Kranial III, IV, dan VI (okulomotorius/ mengangkat kelopak mata,
troklearis, dan abdusens) : Paralisis seisi otot-otot okularis
didapatkan penurunan kemampuan gerakan konjugat unilateral di sisi yang
sakit.
d. Saraf Kranial V (trigeminus) : Paralisis saraf trigeminus, didapatkan
penurunan kemampuan koodinasi gerakan mengunyah. Penyimpangan
rahang bawah ke sisi ipsilateral dan kelumpuhan seisi otot-otot pterigoideus
internus dan eksternus.
e. Saraf Kranial VII (fasialis) : Persepsi pengecapan dalam batas
normal, wajah asimetris, otot wajah tertarik ke bagian sisi yang sehat.
f. Saraf Kranial VIII (vestibulokoklearis) : Tidak ditemukan tuli konduktif dan tuli
perseptif.
g. Saraf Kranial IX dan X (glosofaringeus dan vagus) : Kemampuan menelan
kurang baik, kesukaran membuka mulut.
h. Saraf Kranial XI (aksesoris) : tidak ada atrofi otot sternokleidomastoideus
dan trapesius.
i. Saraf Kranial XII (hipoglosus) : lidah simetris, terdapat deviasi pada satu
sisi dan fasikulasi. Indra pengecap normal.

4. Pemeriksaan Neurologis
a. Tanda-tanda rangsangan meningen
Kaku kuduk umumnya positif, tanda kernig umumnya positif, tanda brudzinsky
I, II, III, IV umumnya positif, babinsky umumnya positif.
b. Pemeriksaan fungsi sensorik
Terdapat gangguan penglihatan, pendengaran atau pembicaraan.

5. Sistem Motorik
a. Refleks : pada fase akut refleks fisiologis sisi yang lumpuh
akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali
didahului dengan refleks patologis.
b. Gerakan involunter : pada umumnya kejang.

6. Sistem sensorik
Dapat terjadi hemihipestesi

C. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
1. Pemeriksaan darah lengkap untuk mengetahui adanya anemia atau leukositosis
setelah terjadinya bangkitan atau infeksi sistemik
2. adanya diskrasia darah, polisitemia, trombositopenia atau trombosis
3. Pemeriksaan koagulasi untuk menentukan riwayat koagulopati sebelumnya.
4. Ureum dan elektrolit untuk menentukan hiponatremia akibat salt wasting.
5. Glukosa serum untuk menentukan hipoglikemi
6. Rotgen toraks untuk melihat adanya edema pulmonal atau aspirasi.
7. EKG 12 sadapan untuk melihat aritmia jantung atau perubahan segmen ST
(Dewanto et al., 2009)
8. CT scan kepala tanpa kontras dilakukan < 24 jam sejak awitan.
9. Pungsi lumbal bila CT scan kepala tampak normal.
10. CTA (computed tomography angiography) dilakukan jika diagnosis SAH telah
dikonfirmasi dengan CT Scan atau LP
D. DIAGNOSIS KEPERAWATAN
1. Peningkatan kapasitas adaptif intrakranial berhubungan dengan peningkatan
volume intrakranial, brain injury (gangguan serebrovaskular, gangguan neurologis,
trauma, tumor), penurunan perfusi serebral 50-60 mmHg
2. Risiko perubahan perfusi jaringan otak ditandai dengan faktor risiko brain injury
(gangguan serebrovaskular, gangguan neurologis, trauma, tumor), brain
neoplasma, aneurisma otak, emboli, hiperkolesterolemia, hipertensi
3. Nyeri akut berhubungan dengan agen injury biologis
4. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,
penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
5. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/ hemiplegia,
kelemahan neuromuskular pada ekstremitas.
6. Risiko tinggi cidera berhubungan dengan penurunan sensori, luas lapang pandang.
7. Defisit perawatan diri : mandi dan eliminasi berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular, menurunnya kekuatan dan kesadaran, kehilangan koordinasi otot.
8. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan efek dari kerusakan pada area
bicara pada hemisfer otak, kehilangan kontrol tonus otot fasial atau oral, dan
kelemahan secara umum.

E. INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Risiko peningkatan TIK yang berhubungan dengan peningkatan volume
intrakranial, penekanan jaringan otak, dan edema serebri.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam tidak terjadi
peningkatan TIK.
Kriteria hasil:
a. Tidak gelisah
b. Keluhan nyeri kepala tidak ada
c. Mual dan muntah tidak ada
d. GCS 456
e. Tidak ada papiledema
f. TTV dalam batas normal
Intervensi Rasional
Kaji keadaan klien, penyebab koma/ Memperioritaskan intervensi, status
penurnan perfusi jaringan dan neurologis/ tanda-tanda kegagalan
kemungkinan penyebab peningkatan untuk menentukan kegawatan atau
TIK tindakan pembedahan.
Memonitor TTV tiap 4 jam. Suatu keadaan normal bila sirkulasi
serebri terpelihara dengan baik.
Peningkatan TD, bradikardi, disritmia,
dispnea merupakan tanda peningkatan
TIK. Peningkatan kebutuhan
metabolisme dan O2 akan
meningkatkan TIK.
Evaluasi pupil. Reaksi pupil dan pergerakan kembali
bola mata merupakan tanda dari
gangguan saraf jika batang otak
terkoyak. Keseimbangansaraf antara
simpatis dan parasimpatis merupakan
respons refleks saraf kranial.
Kaji peningkatan istirahat dan tingkah Tingkah laku non verbal merupakan
laku pada pgi hari. indikasi peningkatan TIK atau
memberikan refleks nyeri dimana klien
tidak mampu mengungkapkan keluha
secara verbal.
Palpasi pembesaran bladder dan Dapat meningkatkan respon otomatis
monitor adanya konstipasi. yang potensial menaikkan TIK.
Obaservasi kesadaran dengan GCS Perubahan kesadaran menunjukkan
peningkatan TIK dan berguna untuk
menentukan lokasi dan perkembangan
penyakit.
Kolaborasi:
O2 sesuai indikasi Mengurangi hipoksemia.
Diuretik osmosis Mengurangi edema.
Steroid (deksametason) Menurunkan inflamasi dan edema.
Analgesik Mengurangi nyeri
Antihipertensi Mengurangi kerusakan jaringan.

2. Perubahan perfusi jaringan otak yang berhubungan dengan perdarahan


intraserebri, oklusi otak, vasospasme, dan edema otak.
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam perfusi jaringan
otak dapat tercapai secara optimal.
Kriteria hasil:
a. Tidak gelisah
b. Keluhan nyeri kepala , mual, kejang tidak ada
c. GCS 456
d. Pupil isokor
e. Refleks cahaya +
f. TTV dalam rentang normal (TD: 110-120/80-90 mmHg; nadi: 60-100 x/menit;
suhu: 36,5-37,50C; RR: 16-20 x/menit)
Intervensi Rasional
Tirah baring tanpa bantal. Menurunkan resiko terjadinya herniasi
otak.
Monitor asupan dan keluaran. Mencegah terjadinya dehidrasi.
Batasi pengunjung. Rangsangan aktivitas dapat
meningkatkan tekanan intrakranial.
Kolaborasi:
Cairan perinfus dengan ketat. Meminimalkan fluktuasi pada beban
vaskuler dan TIK, restriksi cairan dan
cairan dapat menurunkan edema.
Monitor AGD bila perlu O2 tambahan. Adanya asidosis disertai pelepasan O2
pada tingkat sel dapat menyebabkan
iskemia serebri.
Steroid Menurunkan permeabilitas kapiler
Aminofel. Menurunkan edema serebri
Antibiotik Menurunkan konsumsi sel/ metabolik
dan kejang.

3. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan akumulasi sekret,


penurunan mobilitas fisik, dan penurunan tingkat kesadaran.
Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 2x24 jam klien mampu meningkatkan
dan mempertahankan jalan nafas tetap bersih dan mencegah aspirasi.
Klriteria hasil:
a. Bunyi nafas bersih
b. Tidak ada penumpukan sekrest di saluran nafas
c. Dapat melakukan batuk efektif
d. RR 16-20 x/menit
Intervensi Rasional
Kaji keadaan jalan nafas Obstuksi dapat terjadi karena akumulasi sekret ata
sisa cairan mukus, perdarahan.
Evaluasi pergerakan dada Pergerakan dada simetris dengan suara nafas dari
dan auskultasi kedua paru-paru mengindikasikan tidak ada sumbatan.
lapang paru.
Ubah posisi setap 2 jam Mengurangi risiko atelektasis.
dengan teratur.
Kolaborasikan: Mengatur venstilasi dan melepaskan sekret
Aminofisil, alupen, dan karena relaksasi otot.
bronkosol.
DAFTAR PUSTAKA

American Association of Neuroscience Nurses (AANN). 2009. Care of the Patient with
Aneurysmal Subarachnoid Haemorrhage. www.aann.org
Batticaca, Fransisca B. 2008. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika. Hal: 58.
Muttaqin A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem
Persarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Weiner, Howard L. 2000. Buku Saku Neurologi. Jakarta: EGC.
Satyanegara, dkk. 2010. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. Ed. 4. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Dewanto G, et al. 2009. Panduan Praktis Diagnosis Dan Tata Laksana Penyakit Saraf.
Jakarta: EGC.
Price, Wilson. 2006. Patofisiologi. Jakarta:EGC

Anda mungkin juga menyukai