Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH

Dampak Kebijakan Fiskal Yang Kurang Tepat Oleh Pemerintah,


Menyebabkan Adanya Inflasi Barang Dan Jasa Di Indonesia

Disusun oleh:
Agung Dwi Rahmawan
201310370311164

PROGRAM STUDI TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2014/2015
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji dan syukur bagi Allah SWT yang telah memberikan
kemampuan, kekuatan, serta keberkahan baik waktu, tenaga, maupun pikiran kepada
penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah yang berjudul Dampak Kebijakan Fiskal
Yang Kurang Tepat Oleh Pemerintah, Menyebabkan Adanya Inflasi Barang Dan Jasa Di
Indonesia tepat pada waktunya.
Dalam penyusunan makalah ini, penulis banyak mendapat tantangan dan
hambatan. Akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak tantangan itu dapat teratasi
dengan baik. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada semua pihak yang telah membantu hingga makalah ini dapat diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada penulisan makalah ini.
Maka dari itu, saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan dari pembaca
sekalian. Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang
membacanya.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................................................. ii

DAFTAR ISI ............................................................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................................................... 4

1.1 Latar Belakang .................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................. 6

1.3 Tujuan................................................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 7

2.1 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi ..................................... 7

2.2 Inflasi di Indonesia ............................................................................................. 8

2.3 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi di Indonesia .................................. 12

2.4 Pengendalian Inflasi di Indonesia..................................................................... 15

BAB III PENUTUP............................................................................................................................... 19

3.1 Kesimpulan ....................................................................................................... 19

3.2 Saran................................................................................................................. 20

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................................ 21

iii
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kebijakan fiskal merujuk pada kebijakan yang dibuat pemerintah untuk
mengarahkan ekonomi suatu negara melalui pengeluaran dan pendapatan (berupa
pajak) pemerintah. Kebijakan fiskal berbeda dengan kebijakan moneter, yang bertujuan
men-stabilkan perekonomian dengan cara mengontrol tingkat bunga dan jumlah uang
yang beredar. Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak.
Selama ini kita mengenal tiga sistem perekonomian yang berlaku di dunia yaitu
sistem kapitalis, sistem sosialis dan sistem campuran. Salah satu dari tiga sistem tersebut
diterapkan di Indonesia yaitu sistem campuran, dimana sistem campuran adalah sebuah
sistem perekonomian dengan adanya peran pemerintah yang ikut serta menentukan
cara-cara mengatasi masalah ekonomi yang dihadapi masyarakat. Tetapi campur tangan
ini tidak sampai menghapuskan sama sekali kegiatan-kegiatan ekonomi yang dilakukan
pihak swasta yang diatur menurut prinsip-prinsip cara penentuan kegiatan ekonomi
yang terdapat dalam perekonomian pasar.
Bentuk-bentuk campur tangan pemerintah antara lain:
1. Membuat peraturan-peraturan, dengan maksud untuk menghindari praktek
sehat dalam perekonomian pasar.
2. Secara langsung ikut serta dalam kegiatan-kegiatan ekonomi. Ikut serta
pemerintah dilakukan dengan mendirikan perusahaan-perusahaan yang
menyediakan barang atau jasa-jasa dalam kehidupan masyarakat. Contoh:
Perusahaan Air Minum
3. Melaksanakan kebijakan fiskal dan moneter. Kebijakan fiskal yang dilakukan
pemerintah merupakan kebijakan didalam bidang perpajakan (penerimaan)
dan pengeluarannya, sedangkan kebijakan moneter adalah langkah-langkah
yang dijalankan oleh Bank Sentral untuk mengawasi jumlah uang yang berada
di tangan masyarakat.
5

Kedua kebijakan ini merupakan wahana utama bagi peran aktif pemerintah
dibidang ekonomi. Pada dasarnya sebagian besar upaya stabilisasi makro ekonomi
berfokus pada pengendalian atau pemotongan anggaran belanja pemerintah dalam
rangka mencapai keseimbangan neraca anggaran. Oleh karena itu, setiap upaya
mobilisasi sumber daya untuk membiayai pembangunan publik yang penting hendaknya
tidak hanya difokuskan pada sisi pengeluaran saja, tetapi juga pada sisi penerimaan
pemerintah. Pinjaman dalam dan luar negeri dapat digunakan untuk menutupi
kesenjangan tabungan.
Dalam jangka panjang, salah satu potensi pendapatan yang tersedia bagi
pemerintahan untuk membiayai segala usaha pembangunan adalah penggalakan pajak.
Selain itu, sebagai akibat ketiadaan pasar-pasar uang domestik yang terorganisir dan
terkontrol dengan baik, sebagian besar pemerintahan Negara- Negara Dunia Ketiga
memang harus mengandalkan langkah-langkah fiskal dalam rangka mengupayakan
stabilisasi perekonomian nasional dan memobilisasikan sumber-sumber daya
(keuangan) domestik.
Inflasi dapat diartikan sebagai kenaikan harga secara umum dan terus menerus
atau penurunan nilai mata uang. Indonesia merupakan salah satu Negara berkembang
yang pernah terkena dampak Krisis Ekonomi Global. Pada tahun 1998 Indonesia benar -
benar merasakan dahsyatnya goncangan krisis financial yang merembet pada
kepercayaan. Setelah itu Ekonomi Indonesia mulai bergerak dan bangkit kembali,
namun pada tahun 2004 perlahan kondisi Ekonomi Indonesia mulai merasakan tekanan
kembali yang merupakan imbas dari kenaikan harga minyak dunia dengan
diumumkannya kenaikan harga BBM oleh Menteri Koordinator Abu Rizal Bakri pada
tanggal 1 Maret 2004. Dan baru - baru ini kenaikan BBM kembali terjadi tepatnya pada
tanggal 21 Juni 2013 lalu.
Semenjak peristiwa kenaikan BBM tersebut, Indonesia benar - benar mengalami
inflasi. bukan hanya harga BBM yang melambung namun harga barang - barang pokok
pun ikut melambung. Hal ini cukup membuat beban masyarakat Indonesia semakin
berat. Walaupun dengan adanya BLSM, Masyarakat tidak dapat sepenuhnya memenuhi
kebutuhan pokoknya. Selain itu turunnya nilai mata uang rupiah juga dirasakan oleh
semua orang, Khususnya masyarakat golongan menengah ke bawah.
6

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi?
2. Bagaimanakah inflasi yang terjadi di Indonesia?
3. Bagaimanakah dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi di Indonesia?
4. Bagaimanakah pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut
inflasi yang terjadi di Indonesia?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dibuat, berikut adalah tujuan dari
penulisan makalah ini:
1. Mengetahui dampak kebijakan fiskal terhadap output dan inflasi.
2. Mengetahui inflasi yang terjadi di Indonesia.
3. Mengetahui dampak kebijakan fiskal terhadap inflasi di Indonesia.
4. Mengetahui pengendalian yang dilakukan oleh Pemerintah menyangkut inflasi
yang terjadi di Indonesia.
7

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Output dan Inflasi


Literatur yang ada mengelompokkan dampak kebijakan fiskal menjadi dua yaitu
dampak terhadap sisi permintaan (demand side effect) dan dampak terhadap sisi
penawaran (supply side effect). Dampak kebijakan fiskal terhadap sisi penawaran
mempunyai implikasi jangka panjang. Kebijakan fiskal yang berorientasi untuk
meningkatkan supply side dapat mengatasi masalah keterbatasan kapasitas produksi
dan karena itu dampaknya lebih bersifat jangka panjang.
Dampak kebijakan fiskal terhadap perekonomian melalui pendekatan permintaan
agregat diterangkan melalui pendekatan Keynes. Pendekatan Keynesian
mengasumsikan adanya price rigidity dan excess capacity sehingga output ditentukan
oleh permintaan agregat (demand driven). Keynes menyatakan bahwa dalam kondisi
resesi, perekonomian yang berbasis mekanisme pasar tidak akan mampu untuk pulih
tanpa intervensi dari Pemerintah. Kebijakan moneter tidak berdaya untuk memulihkan
perekonomian karena kebijakan hanya bergantung kepada penurunan suku bunga
sementara dalam kondisi resesi tingkat suku bunga umumnya sudah rendah dan bahkan
dapat mendekati nol.
Dalam pendekatan Keynes, kebijakan fiskal dapat menggerakkan perekonomian
karena peningkatan pengeluaran pemerintah atau pemotongan pajak mempunyai efek
multiplierdengan cara menstimulasi tambahan permintaan untuk barang konsumsi
rumah tangga. Demikian pula halnya apabila pemerintah melakukan pemotongan pajak
sebagai stimulus perekonomian. Pemotongan pajak akan meningkatkan disposable
income dan pada akhirnya mempengaruhi permintaan. Kecenderungan rumah tangga
untuk meningkatkan konsumsi dengan meningkatkan marginal prospensity to consume
(mpc), menjadi rantai perekonomian untuk peningkatan pengeluaran yang lebih banyak
dan pada akhirnya terhadap output.
8

Government spending multiplier dinyatakan sebagai 1/(1-mpc), dan dari


formulaini terlihat bahwa semakin besar mpc maka semakin besar pula dampak dari
pengeluaran pemerintah terhadap GDP.Sementara itu efek multiplier dari pemotongan
pajak (tax cut multiplier) dinyatakan sebagai ( 1/(1-mpc) - 1). Tax cut multiplier adalah
satu dikurangi dengan government spending multiplier. Tax cut multiplierselalu lebih
kecil dari spending multiplier, oleh karenanya pemotongan pajak dianggap kurang
potensial untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam masa resesi dibandingkan
dengan peningkatan pengeluaran pemerintah.
Besarnya efek multiplierdari peningkatan pengeluaran pemerintah dan
pemotongan pajak bergantung kepada besarnya mpc yang bergantung kepada apakah
peningkatan tersebut bersifat transitory atau permanen. Dalam hal ini, dampak mpc
atas perubahan pendapatan transitori lebih kecil dibandingkan perubahan pendapatan
yang permanen.
Untuk kasus Indonesia, aplikasi teori Keynes tersebut di beberapa model ekonomi
makro yang dikembangkan Bank Indonesia, meliputi SOFIE dan SEMAR, sejalan dengan
temuan empiris tersebut. Namun, derajat pengaruhnya terhadap output saling berbeda.
Dalam SOFIE, kenaikan pengeluaran pemerintah, baik dalam bentuk konsumsi maupun
investasi, sebesar Rp10 triliun akan menaikkan PDB sebesar 0.3%. Sementara
penambahan pengeluaran pemerintah untuk program infrastruktur sebesar Rp10.8
triliun akan menaikkan PDB sebesar 0.0512% di model SEMAR. Perbedaan pengaruh
tersebut mungkin disebabkan oleh sifat kedua model tersebut yang berbeda, yaitu
SOFIE yang bersifat dinamis stokastik, sementara SEMAR lebih bersifat statis
deterministk.

2.2 Inflasi di Indonesia


Seperti halnya yang terjadi pada negara-negara berkembang pada umumnya,
fenomena inflasi di Indonesia masih menjadi satu dari berbagai penyakit ekonomi
makro yang meresahkan pemerintah terlebih bagi masyarakat. Memang, menjelang
akhir pemerintahan Orde Baru (sebelum krisis moneter) angka inflasi tahunan dapat
ditekan sampai pada single digit, tetapi secara umum masih mengandung kerawanan
jika dilihat dari seberapa besar prosentase kelompok masyarakat golongan miskin yang
menderita akibat inflasi. Lebih-lebih setelah semakin berlanjutnya krisis moneter yang
9

kemudian diikuti oleh krisis ekonomi, yang menjadi salah satu dari penyebab jatuhnya
pemerintahan Orde Baru, angka inflasi cenderung meningkat pesat (mencapai lebih dari
75 % pada tahun 1998), dan diperparah dengan semakin besarnya presentase golongan
masyarakat miskin. Sehingga bisa dikatakan, bahwa meskipun angka inflasi di Indonesia
termasuk dalam katagori tinggi, tetapi dengan meninjau presentase golongan
masyarakat ekonomi bawah yang menderita akibat inflasi cukup besar, maka
sebenarnya dapat dikatakan bahwa inflasi di Indonesia telah masuk dalam stadium awal
dari hyperinflation. Contoh peristiwa Inflasi:
a. Pasca kenaikan harga bbm subsidi
Baru - baru ini pemerintah Indonesia menaikkan harga bbm pada tanggal 21
juni lalu. Hal ini membuktikan bahwa bangsa kita benar - benar mengalami
masalah naiknya harga bbm. Hal ini terjadi dikarenakan permintaan masyarakat
akan konsumsi bbm melambung tinggi sementara stock atau persediaan bbm
semakin menipis. Berbagai upaya telah pemerintah lakukan untuk mengatasi krisis
bbm ini, awalnya pemerintah melakukan pembatasan pengguna bbm subsidi.
Pembatasan ini dilakukan pada bbm premium yang menjadi sasaran utama oleh
pemerintah kepada kendaraan dinas. Namun usaha ini dapat dikategorikan gagal
karena terbukti masih banyak kendaraan dinas yang menikmati bbm subsidi yaitu
dengan cara membeli kepada pedagang eceran sehingga bbm non subsidi kurang
laku di pasaran. Menanggapi pemakaian bbm subsidi yang diukur masih tinggi,
pemerintah menaikkan harga bbm atau mngurangi jatah subsidi yang diberikan
oleh pemerintah. Kenaikan harga bbm memperberat beban hidup masyarakat
terutama mereka yang berada di kalangan bawah dan juga para pengusaha,
karena kenaikan bbm menyebabkan turunnya daya beli masyarakat dan itu akan
mengakibatkan tidak terserapnya semua hasil produksi banyak perusahaan
sehingga akan menurunkan tingkat penjualan yang pada akhirnya juga akan
menurunkan laba perusahaan.
Naiknya harga bbm di Indonesia diawali oleh naiknya harga minyak dunia.
Yang membuat pemerintah tidak dapat menjual bbm kepada masyarakat dengan
harga yang sama dengan harga sebelumnya, karena hal itu dapat menyebabkan
pengeluaran apbn untuk subsidi minyak menjadi lebih tinggi. Maka pemerintah
mengambil langkah untuk menaikkan harga bbm.
10

Dan untuk mengimbangi masalah melonjaknya harga bbm setiap tahunnya,


pemerintah mengeluarkan kebijakan subsidi bbm. Kebijakan subsidi bbm (bahan
bakar minyak) bertujuan mengatasi kelebihan beban apbn. Sebab jika tidak, apbn
dipastikan akan mengalami penurunan yang berdampak langsung pada
mandeknya pembangunan nasional.
Kenaikan bbm ini menimbulkan berbagai dampak yaitu meningkatnya harga
barang - barang baik barang pokok maupun jasa. Meskipun pemerintah telah
mengadakan program baru sementara yang berupa blsm kepada masyarakat
miskin namun bantuan tersebut tidak dapat menutupi keseluruhan kekurangan -
kekurangan dana untuk memenuhi kebutuhan sehari - hari mereka. Bahkan
terbukti terkadang blsm tersebut masih melenceng dari masyarakat miskin.
Banyak masyarakat miskin yang tidak menerima bantuan tersebut. Selain itu daya
beli kebutuhan sehari - hari masyarakat berkurang karena uang yang biasanya
cukup untuk membeli seluruh kebutuhan - kebutuhan kini tidak cukup lagi untuk
membeli semua kebutuhan dikarenakan harganya terpaut melambung tinggi.
Apabila kebutuhan - kebutuhan masyarakat kurang, maka dapat menyebabkan
meningkatnya tindakan - tindakan criminal sehingga keamanan lingkungan pun
akan menurun. Kebijakan tersebut tidak hanya berimbas kepada kebutuhan pokok
namun berimbas juga kepada laju pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi
diperkirakan akan melamban dan daya saing akan menurun.
Apabila pemerintah ingin menaikkan harga bbm harusnya tidak langsung
melonjak seperti ini dikarenakan harga - harga barang pun ikut melambung tinggi.
Seharusnya pemerintah menaikkan harga bbm cukup per tahun atau dua tahun
sekali dinaikkan sebesar Rp. 500,- di tahun - tahun sebelumnya, sehingga harga -
harga barang kebutuhan pokok akan lebih terkendali.

b. Krisis moneter di Indonesia


Krisis moneter yang melanda negara-negara asean, termasuk Indonesia,
telah menyebabkan rusaknya sendi-sendi perekonomian nasional. Krisis moneter
menyebabkan terjadinya imported inflation sebagai akibat dari terdepresiasinya
secara tajam nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, yang selanjutnya
mengakibatkan tekanan inflasi yang berat bagi Indonesia.
11

Fenomena inflasi di Indonesia sebenarnya semata-mata bukan merupakan


suatu fenomena jangka pendek saja dan yang terjadi secara situasional, tetapi
seperti halnya yang umum terjadi pada negara-negara yang sedang berkembang
lainnya, masalah inflasi di Indonesia lebih pada masalah inflasi jangka panjang
karena masih terdapatnyahambatan- hambatan struktural dalam perekonomian
negara. Dengan demikian, maka pembenahan masalah inflasi di Indonesia tidak
cukup dilakukan dengan menggunakan instrumen-instrumen moneter saja.
Devaluasi menjadi penyebab utama terjadinya krisis ekonomi di asia dan akhirnya
menimbulkan masalah inflasi di dalam negeri. Inflasi merupakan masalah ekonomi
makro yang mempengaruhi perekonomiaan secara riil karena memberikan
tekanan bagi investasi dan menghalangi pertumbuhan ekonomi.
Penelitian world bank (world bank institute home page, retrieve februari
2000) mengenai inflasi dan pertumbuhan di 127 negara antara tahun 1960-1992
menunjukkan adanya hubungan yang erat antara tingkat inflasi dan penurunan
pertumbuhan ekonomi. Pada penelitian tersebut ditemukan bahwa pada tingkat
inflasi yang rendah-menengah (20-40%) tidak secara langsung menyebabkan
penurunan pertumbuhan sedangkan tingkat inflasi diatas 40% merupakan inflasi
yang sangat membahayakan.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas inflasi merupakan masalah ekonomi
makro yang perlu mendapat perhatian baik untuk mencari penyebab maupun
solusi untuk mengatasinya. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa inflasi di
Indonesia lebih didominasi oleh penyebab non ekonomis. Permasalahan
penyebab ekonomis dan non ekonomis di Indonesia memang menimbulkan
kontroversi yang cukup tinggi. Aspek-aspek non ekonomis terkadang memberikan
pengaruh yang signifikan bagi perubahan-perubahan indikator ekonomi.
Dalam tulisan ini, faktor-faktor non ekonomis dieliminir dan diasumsikan
tidak memberikan pengaruh yang signifikan pada tingkat inflasi. Fenomena inflasi
di Indonesia sendiri memunculkan banyak pendapat mengenai sumber inflasi dan
aspek kausalitas. Inflasi di Indonesia dipicu oleh jumlah uang beredar yang
terlampau besar dan di sisi lain terdapat kelompok yang mengatakan bahwa inflasi
di Indonesia disebabkan karena ketergantungan Indonesia bagi barang impor. Sisi
kausalitas inflasi muncul karena inflasi itu tidak hanya merupakan akibat dari
12

faktor ekonomi namun juga dapat menyebabkan perubahan faktor ekonomi yang
lain.
c. Turunnya nilai riil kekayaan masyarakat
Inflasi menyebabkan turunnya nilai riil kekayaan masyarakat yang berbentuk
kas, karena nilai tukar kas tersebut akan menadi lebih kecil, karena secara nominal
harus menghadapi harga komoditi per satuan yang lebih besar. Sebagai misal, jika
uang rp. 10.000,- tadinya bisa dibelikan 10kg beras yang berharga rp.1000,-/kg,
maka setelah adanya inflasi uang rp.10.000,- tersebut hanya dapat ditukarkan
dengan 5kg beras saja, karena sekarang harga beras menjadi lebih mahal
(rp.2000,-/kg). Sebaliknya mereka yang memiliki kekayaan dalam bentuk aktiva
tetap (umumnya golongan ekonomi menengah ke atas) justru diuntungkan
dengan kenaikan harga akibat inflasi tersebut. Dengan demikian inflasi akan
membuat jurang kesenjang akan semakin lebar.

2.3 Dampak Kebijakan Fiskal Terhadap Inflasi di Indonesia


Instrumen utama kebijakan fiskal adalah pengeluaran dan pajak. Perubahan
tingkat dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah dapat mempengaruhi
variabel-variabel makro ekonomi lainnya, seperti:
1. Permintaan agregat dan tingkat aktivitas ekonomi
2. Pola persebaran sumber daya
3. Distribusi pendapatan
Pengeluaran pemerintah berasal dari pajak yang di perolehnya. Perubahan tingkat
dan komposisi pajak dan pengeluaran pemerintah mempengaruhi variabel-variabel
diatas, karena pengeluaran pemerintah bila di salurkan secara tepat akan meningkatkan
perekonomian di suatu negara. Misalnya pembangunan proyek pemerintah seperti
pembangunan jalan tol, akan mengurangi masalah kemacetan. Selain itu, sumber daya
yang tadinya hanya terpusat di daerah tertentu saja dapat diatasi dengan di bangunnya
fasilitas-fasilitas penting yang dibutuhkan masyarakat melalui pengeluaran pemerintah.
Pengeluaran pemerintah juga mempengaruhi distribusi pendapatan masyarakat. Karena
penghasilan yang diperoleh karyawan/pegawai negeri termasuk dalam catatan
pengeluaran pemerintah. (Nurhadi, 2001)
13

Terjadinya trade-off antara pencapaian stabilitas harga dan pertumbuhan


ekonomi terutama dalam jangka pendek merupakan dampak dilematis dari
pengambilan keputusan untuk melakukan kebijakan fiskal dalam perekonomian
Indonesia.
Kebijakan fiskal akan mempengaruhi perekonomian melalui penerimaan dan
pengeluaran negara yang dapat dilihat dari selisih antara penerimaan dan pengeluaran
maupun jenis sumber penerimaan negara dan bentuk kegiatan yang dibiayai oleh
pengeluaran negara. Pada dasarnya sumber - sumber penerimaan negara berasal dari
pajak - pajak dan berbagai pungutan yang dipungut pemerintah dari perekonomian
dalam negeri. Sedangkan pengeluaran negara adalah semua pengeluaran untuk operasi
pemerintah dan pembiayaan berbagai proyek di sektor negara ataupun badan usaha
miliki negara.

a) Dampak Positif Kebijakan Fiskal


1. Peredaran / perputaran barang lebih cepat.
2. Produksi barang-barang bertambah, karena keuntungan pengusaha
bertambah.
3. Kesempatan kerja bertambah, karena terjadi tambahan investasi.
4. Pendapatan nominal bertambah, tetapi riil berkurang, karena kenaikan
pendapatan kecil.

b) Dampak Negatif kebijakan Fiskal


1. Harga barang-barang dan jasa naik.
2. Nilai dan kepercayaan terhadap uang akan turun atau berkurang.
3. Menimbulkan tindakan spekulasi.
4. Banyak proyek pembangunan macet atau terlantar.
5. Kesadaran menabung masyarakat berkurang.
14

c) Pihak-pihak yang diuntungkan


1. Para pengusaha, yang pada saat sebelum terjadinya inflasi, telah memiliki
stock/persediaan produksi barang yang siap dijual dalam jumlah besar.
2. Para pedagang, yang dengan terjadinya inflasi menggunakan kesempatan
memainkan harga barang. Cara yang dipakai adalah dengan menaikkan
harga, karena ingin mendapatkan laba/keuntungan yang besar.
3. Para spekulan, yaitu orang-orang atau badan usaha yang mengadakan
spekulasi, dengan cara menimbun barang sebanyak-banyaknya sebelum
terjadinya inflasi dan menjualnya kembali pada saat inflasi terjadi,
sehingga terjadinya kenaikan harga sangat menguntungkan mereka.
4. Para peminjam, karena pinjaman telah diambil sebelum harga barang-
barang naik, sehingga nilai riil-nya lebih tinggi daripada sesudah inflasi
terjadi, tetapi peminjam membayar kembali tetap sesuai dengan
perjanjian yang dibuat sebelum terjadi inflasi. Misalnya, para pengambil
kredit KPR BTN sebelum inflasi yang mengakibatkan harga bahan
bangunan dan rumah KPR BTN naik, sedangkan jumlah angsuran yang
harus dibayar kepada BTN tetap tidak ikut dinaikkan.

d) Pihak-pihak yang dirugikan :


1. Para konsumen, karena harus membayar lebih mahal, sehingga barang
yang diperoleh lebih sedikit jika dibandingkan dengan sebelum terjadinya
inflasi.
2. Mereka yang berpenghasilan tetap, karena dengan penghasilan tetap,
naiknya harga barang-barang dan jasa, mengakibatkan jumlah barang-
barang dan jasa yang dapat dibeli menjadi lebih sedikit, sehingga
pendapatan riil/nyata berkurang, sedangkan kenaikan penghasilan atau
pendapatan pada saat terjadi inflasi sulit diharapkan.
3. Para pemborong atau kontraktor, karena harus mengeluarkan tambahan
biaya agar dapat menutup pengeluaran-pengeluaran yang diakibatkan
terjadinya inflasi dan mengakibatkan berkurangnya keuntungan yang
diperoleh dari proyek yang dikerjakan.
15

4. Para pemberi pinjaman/kreditor, karena nilai riil dari pinjaman yang telah
diberikan menjadi lebih kecil sebagai akibat terjadinya inflasi. Misalnya,
sebelum inflasi, pinjaman Rp 500.000,00 = 25 gram emas, sesudah inflasi
= 20 gram emas.
5. Para penabung, karena pada saat inflasi bunga yang diperoleh dari
tabungan dirasakan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan harga
yang terjadi. Di samping itu akibat naiknya harga barang-barang dan jasa,
nilai uang yang ditabung menjadi lebih rendah/turun, jika dibandingkan
dengan sebelum terjadi inflasi.

2.4 Pengendalian Inflasi di Indonesia


Sebagaimana halnya yang umum terjadi pada negara - negara berkembang, inflasi
di Indonesia relatif lebih banyak disebabkan oleh hal-hal yang bersifat struktural
ekonomi bila dibandingkan dengan hal-hal yang bersifat monetary policies. Sehingga
bisa dikatakan, bahwa pengaruh dari cosh push inflation lebih besar dari pada demand
pull inflation.
Memang dalam periode tahun-tahun tertentu, misalnya pada saat terjadinya oil
booming, tekanan inflasi di Indonesia disebabkan meningkatnya jumlah uang beredar.
Tetapi hal tersebut tidak dapat mengabaikan adanya pengaruh yang bersifat struktural
ekonomi, sebab pada periode tersebut, masih terjadi kesenjangan antara penawaran
agregat dengan permintaan agregat, contohnya di sub sector pertanian, yang dapat
meningkatkan derajat inflasi.
Pada umumnya pemerintah Indonesia lebih banyak menggunakan pendekatan
moneter dalam upaya mengendalikan tingkat harga umum. Pemerintah Indonesia lebih
senang menggunakan instrumen moneter sebagai alat untuk meredam inflasi, misalnya
dengan open market mechanism atau reserve requirement. Tetapi perlu diingat, bahwa
pendekatan moneter lebih banyak dipakai untuk mengatasi inflasi dalam jangka pendek,
dan sangat baik diterapkan peda negara-negara yang telah maju perekonomiannya,
bukan pada negara berkembang yang masih memiliki structural bottleneck. Jadi, apabila
pendekatan moneter ini dipakai sebagai alat utama dalam mengendalikan inflasi di
negara berkembang, maka tidak akan dapat menyelesaikan problem inflasi di negara
berkembang yang umumnya berkarakteristik jangka panjang.
16

Seperti halnya yang terjadi di Indonesia pada saat krisis moneter yang selanjutnya
menjadi krisis ekonomi, inflasi di Indonesia dipicu oleh kenaikan harga komoditi impor
(imported inflation) dan membengkaknya hutang luar negeri akibat dari
terdepresiasinya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika dan mata uang asing lainnya.
Akibatnya, untuk mengendalikan tekanan inflasi, maka terlebih dahulu harus dilakukan
penstabilan nilai tukar rupiah terhadap valuta asing, khususnya dolar Amerika.
Dalam menstabilkan nilai kurs, pemerintah Indonesia cenderung lebih banyak
memainkan instrumen moneter melalui otoritas moneter dengan tight money policy
yang diharapkan selain dapat menarik minat para pemegang valuta asing untuk
menginvestasikan modalnya ke Indonesia melalui deposito, juga dapat menstabilkan
tingkat harga umum.
Tight money policy yang dilakukan dengan cara menaikkan tingkat suku bunga SBI
(melalui open market mechanism) sangat tinggi, pada satu sisi akan efektif untuk
mengurangi money suplly, tetapi di sisi lain akan meningkatkan suku bunga kredit untuk
sektor riil. Akibatnya, akan menyebabkan timbulnya cost push inflation karena adanya
interest rate-price spiral. Apabila tingkat suku bunga (deposito) perbankan sudah terlalu
tinggi, sehingga dana produktif (dana untuk berproduksi atau berusaha) yang ada di
masyarakat ikut terserap ke perbankan, maka akan dapat menyebabkan timbulnya
stagnasi atau bahkan penurunan output produksi nasional (disebut dengan Cavallo
effect). Lebih lagi bila sampai terjadi negatif spread pada dunia perbankan nasional,
maka bukan saja menimbulkan kerusakan pada sektor riil, tetapi juga kerusakan pada
industri perbankan nasional (sektor moneter). Jika kebijaksanaan ini terus dilakukan
oleh pemerintah dalam jangka waktu menengah atau panjang, maka akan terjadi
depresi ekonomi, akibatnya struktur perekonomian nasional akan rusak.
Jika demikian halnya, maka sebaiknya kebijaksanaan pengendalian inflasi bukan
hanya dilakukan melalui konsep kaum moneterist saja, tetapi juga dengan
memperhatikan cara pandang kaum structuralist, yang lebih memandang perlunya
mengatasi hambatan-hambatan struktural yang ada.
Dengan berpedoman pada berbagai hambatan dalam pembangunan
perekonomian Indonesia yang telah disebutkan di atas, maka perlu berbagai upaya
pembenahan, yaitu :
17

1. Meningkatkan Supply Bahan Pangan


Meningkatkan supply bahan pangan dapat dilakukan dengan lebih
memberikan perhatian pada pembangunan di sektor pertanian, khususnya
sub sektor pertanian pangan. Modernisasi teknologi dan metode pengolahan
lahan, serta penambahan luas lahan pertanian perlu dilakukan untuk
eningkatkan laju produksi bahan pangan agar tercipta swasembada pangan.

2. Mengurangi Defisit APBN


Mungkin dalam masa krisis ekonomi mengurangi defisit APBN tidak dapat
dilaksanakan, tetapi dalam jangka panjang (setelah krisis berlalu) perlu
dilakukan. Untuk mengurangi defisit anggaran belanja, pemerintah harus
dapat meningkatkan penerimaan rutinnya, terutama dari sektor pajak dengan
benar dan tepat karena hal ini juga dapat menekan excess demand.
Dengan semakin naiknya penerimaan dalam negeri, diharapkan
pemerintah dapat mengurangi ketergantungannya terhadap pinjaman dana
dari luar negeri. Dengan demikian anggaran belanja pemerintah nantinya
akan lebih mencerminkan sifat yang relative independent.
3. Meningkatkan Cadangan Devisa
a) Pertama, perlu memperbaiki posisi neraca perdagangan luar negeri
(current account), terutama pada perdagangan jasa, agar tidak terus
menerus defisit. Dengan demikian diharapkan cadangan devisa nasional
akan dapat ditingkatkan. Juga, diusahakan untuk meningkatkan kinerja
ekspor, sehingga net export harus semakin meningkat.
b) Kedua, diusahakan agar dapat mengurangi ketergantungan industri
domestic terhadap barang-barang luar negeri, misalnya dengan lebih
banyak memfokuskan pembangunan pada industri hulu yang mengolah
sumberdaya alam yang tersedia di dalam negeri untuk dipakai sebagai
bahan baku bagi industri hilir. Selain itu juga perlu dikembangkan industri
yang mampu memproduksi barang-barang modal untuk industri di dalam
negeri.
18

c) Ketiga, mengubah sifat industri dari yang bersifat substitusi impor kepada
yang lebih bersifat promosi ekspor, agar terjadi efisiensi di sektor harga
dan meningkatkan net export.
d) Keempat, membangun industri yang mampu menghasilkan nilai tambah
yang tinggi dan memiliki kandungan komponen lokal yang relatif tinggi
pula.

4. Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Sisi Penawaran Agregat


a) Pertama, mengurangi kesenjangan output (output gap) dengan cara
meningkatkan kualitas sumberdaya pekerja, modernisasi teknologi
produksi, serta pembangunan industri manufaktur nasional agar
kinerjanya meningkat.
b) Kedua, memperlancar jalur distribusi barang nasional, supaya tidak terjadi
kesenjangan penawaran dan permintaan di tingkat regional (daerah).
c) Ketiga, menstabilkan tingkat suku bunga dan menyehatkan perbankan
nasional, tujuannya untuk mendukung laju proses industrialisasi nasional.
d) Keempat, menciptakan kondisi yang sehat dalam perekonomian agar
market mechanism dapat berjalan dengan benar, dan mengurangi atau
bahkan menghilangkan segala bentuk faktor yang dapat menyebabkan
distorsi pasar.
e) Kelima, melakukan program deregulasi dan debirokrasi di sektor riil karena
acapkali birokrasi yang berbelit dapat menyebabkan high cost economy.

Dengan menggunakan dua pendekatan (moneterist dan strukturalist) pada


komposisi yang tepat, maka diharapkan bukan saja dalam jangka pendek inflasi dapat
dikendalikan, tetapi juga dalam jangka panjang. Dan, bila ada upaya yang serius untuk
memperkecil atau bahkan menghilangkan hambatan-hambatan struktural yang ada,
maka akan berakibat pada membaiknya fundamental ekonomi Indonesia.
19

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kebijakan fiskal menyangkut pengaturan pengeluaran pemerintah dan
perpajakan yang secara langsung memengaruhi permintaan total dan
memengaruhi harga. Inflasi dapat dicegah melalui penurunan permintaan total.
Kebijakan fiskal seperti pengurangan pengeluaran pemerintah dan kenaikan
pajak akan dapat mengurangi permintaan total, sehingga inflasi dapat ditekan.
Kebijakan fiskal dapat ditempuh melalui tiga cara, yaitu sebagai berikut.
a) Meningkatkan penerimaan pajak, dengan memberlakukan tingkat pajak
yang tinggi bagi unit usaha yang tidak memproduksi kebutuhan pokok
masyarakat atau dengan mengenakan jenis-jenis pajak baru.
b) Mengurangi pengeluaran pemerintah, dengan jalan menunda atau
menghapuskan pengeluaran yang bukan prioritas.
c) Mengadakan pinjaman pemerintah, yaitu mengurangi pembayaran yang
dilakukan pada masyarakat dan mengembalikannya di kemudian hari,
misalnya dalam bentuk pensiun.
Inflasi merupakan suatu proses kenaikan harga secara umum yang terjadi
secara terus menerus namun juga mempengaruhi menurunnya nilai mata uang
negara. Misalnya apabila persediaan uang yang semakin sedikit dapat
menyebabkan kenaikan harga secara umum. Dan harga yang tinggi namun
persediaan uang cukup banyak maka tidak menunjukkan terjadinya inflasi.
Masalah inflasi di Indonesia bukanlah hanya sekedar masalah dalam kurun
waktu jangka pendek namun inflasi tersebut bisa menjadi masalah yang
berkepanjangan apabila tidak segera di atasi dengan benar. Inflasi yang terjadi di
Indonesia ini benar - benar membuat Indonesia semakin terpuruk khususnya
yang dirasakan oleh masyarakat. Namun inflasi yang terjadi di Indonesia bukan
lah semata - mata disebabkan oleh gagalnya pelaksanaan kebijakan - kebijakan
moneter oleh pemerintah tetapi juga mengindikasikan masih adanya hambatan
- hambatan struktural dalam perekonomian Indonesia yang belum sepenuhnya
dapat diatasi.
20

3.2 Saran
1. Untuk menangulangi inflasi, maka pemerintah perlu menerapkan kebijakan
fisikal dan moneter yang tepat. Tujuan kebijakan tersebut untuk menjaga
kestabilan nilai tukar dan kestabilan harga dengan tepat.
Bahwa pada dasarnya tingkat inflasi di Indonesia cukup tinggi karena
tingginya tingkat jumlah uang beredar dan tekanan perekonomian,
Pemerintah seharusnya tetap dan benar-benar memegang teguh sikap yang
penuh kehati-hatian dalam pengambilan kebijakan ekonomi. Hal ini ditujukan
untuk menimbulkan dalam penyejukan terhadap perkembangan kegiatan
ekonomi.
2. Perlu dikaji ulang kebijakan perpajakan di bidang Pajak Pertambahan Nilai (PPN),
karena belajar dari negara-negara yang tax ratio pajak secara keseluruhannya
sudah tinggi, mereka cenderung konservatif dalam kebijakan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini karena dimaklumi bahwa kebijakan tentang
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terkait langsung dengan kelancaran arus
barang dan jasa yang merupakan prasyarat bergeraknya roda
perekonomian dan akan menciptakan multiplier effect yang pada gilirannya
akan meningkatkan potensi pajak secara keseluruhan.
21

DAFTAR PUSTAKA

Ardra. 2012. Cara Pemerintah Mengatasi-Menanggulangi Inflasi. (Online) (http://


http://ardra.biz/ekonomi/ekonomi-makro/cara-pemerintah-menanggulangi-
inflasi/ diakses 12 April 2015)
Adlansyah, Tengku. 2013. Dampak postif dan negatif dari kebijakan fiskal. (Online)
(http://kebijakanfiskal.blogspot.com/2013/10/dampak-postif-dan-negatif-
dari.html, diakses 12 April 2015)
Saepu, I. 2013. Pengaruh Inflasi dan Penerimaan Pajak Pertambahan Nilai. (Online)
(http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/586/jbptunikompp-gdl-irvansaepu-29258-
12-unikom_i-v.pdf, diakses 12 April 2015)
Priyo. 2013. Inflasi. (Online)
(priyo.staff.gunadarma.ac.id/Downloads/files/11519/5.+Inflasi.pdf, diakses 12
Aprol 2015)

Anda mungkin juga menyukai