Anda di halaman 1dari 49

MAKALAH PENGOLAHAN dan PEMURNIAN AIR

Pengolahan dan Pemurnian Air di PLTU Muara Karang

Kelomok :1
Nama Anggota Kelomok : Amelia Putri N ( 141724001 )
Asep Sopyan ( 141724002 )
Budi Irawan ( 141724003 )
Dani Ramdani ( 141724004 )
Daryal Fuadin ( 141724005 )
Program Studi : Teknologi pembangkit tenaga listrik
Kelas : 3C
Nama Instruktur / Dosen : Tina Mulya Gantina , Dra., MT.

TEKNIK KONVERSI ENERGI


POLITEKNIK NEGERI BANDUNG
Kata Pengantar

Bismillahhirrahmannirrahim
Assalammualaikum Wr.WB
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan kesehatan dan
indahnya ilmu kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
Pengolahan dan Pemurnian Air di PLTU Muara Karang Kami sadari dalam penyelesaian
makalah ini masih ada kekurangannya, oleh sebab itu kami mengharapkan kritik dan saran
yang bersifat membangun dari dosen pembimbing dan dari mahasiswa/i sekalian agar
tercapainya tujuan yang kita harapkan bersama, dan kami berharap makalah ini bisa bermanfaat
bagi kami khususnya dan bagi pembaca umumnya.

Akhirnya Kami selaku penulis sangat mengharapkan masukan berupa saran, ataupun
kritikan yang bersifat membangaun, yang pada intinya sangat berguna untuk menyempurnakan
penulisan makalah selanjutnya, dan semoga makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan
baru bagi pembacanya.

Bandung, 24 Oktober 2016

Hormat Kami

Penulis
BAB I
Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Air menjadi satu kebutuhan penting yang digunakan pada setiap pembangkit
tenaga listrik yang memakai uap air sebagai media kerjanya. Pengadaan dan kualitasnya
menjadi satu hal yang sangat dijaga di setiap PLTU. Air digunakan di banyak hal
termasuk kebutuhan pendinginan, perawatan kebersihan, mengontrol polutan, dan yang
pasti sebagai media kerja untuk siklus uap air. Treatment air yang baik mencegah
terbentuknya kerak dan korosi pada sistem pembangkit listrik -yang bekerja pada siklus
uap-air tekanan tinggi- demi untuk menghindari kerugian ekonomi karena penurunan
kemampuan produksi dan kenaikan biaya produksi. Pengolahan sumber daya air yang
kurang baik dapat menimbulkan polusi , Indonesia telah memiliki UUD yang mengatur
tentang pencemaran ,hal ini diatur di dalam PP No 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan Perusakan Laut. Ada pula untuk permasalahan polusi di udara diatur
dalam PP No 41 tahun 1999 tentang pengendalian pencemaran udara.

1.2. Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah :


1. Untuk mengetahui sumber air di PLTU Muara Karang

2. Untuk mengetahui karakteristik sumber air laut

3. Untuk mengetahui pengolahan air laut di PLTU Muara Karang

4. Untuk mengetahui hubungan antara pengolahan air di Muara Karang dengan UUD
yang berlaku

1.3. Rumusan Masalah


Bagaimana cara mengetahui sumber air di PLTU Muara Karang
Bagaimana cara mengetahui karakteristik sumber air laut
Bagaimana cara pengolahan air laut di PLTU Muara Karang
Bagaimana hubungan pengolahan air di Muara Karang dengan UUD yang berlaku

1.4. Metoda Penulisan


Metode yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah metode kepustakaan
dengan telaah pada buku-buku atau sumber. Hal ini dapat dijadikan sumber atau
referensi serta memiliki ketersambungan atau keterkaitan materi dengan kajian atau
pokok bahasan dalam makalah ini.

1.5. Sistematika Penulisan


Untuk memberikan garis besar penulisan tugas makalah, maka isi makalah
dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN, terdiri dari latar belakang, tujuan, rumusan
masalah, dan metode penelitian.
BAB II : DASAR TEORI, terdiri dari teori yang berhubungan dengan judul
makalah yang akan dibahas.
BAB III : PEMBAHASAN, terdiri dari pembahasan mengenai sumber air,
karakteristik air laut di PLTU Muara Karang, pross pemurnian air, dan hubungan
pengolahan air dengan UUD yang berlaku.
BAB IV : KESIMPULAN DAN SARAN
BAB II
Dasar Teori

2.1. PLTU Muara Karang


Unit Pembangkitan Muara Karang adalah sebuah pembangkit listrik tenaga
uap (PLTU) dan pembangit listrik tenaga gas uap (PLTGU) yang dikelola oleh PT
Pembangkitan Jawa-Bali. Pembangit ini berada di daerah Pluit, Jakarta Utara. Pembangkit ini
mengoperasikan 5 PLTU dan 1 PLTGU dengan total kapasitas 1.200 MW. Unit Pembangkitan
Muara Karang menyuplai energi listrik di Jakarta dan sejumlah area VVIP termasuk Istana
Negara dan Gedung DPR/MPR. Energi listrik ini kemudian didistribusikan melalui SUTT 150
kV.

2.2. Pengertian PLTU


Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) adalah pembangkit yang mengandalkan
energi kinetik dari uap untuk menghasilkan energi listrik.

Bentuk utama dari pembangkit listrik jenis ini adalah Generator yang dihubungkan ke
turbin yang digerakkan oleh tenaga kinetik dari uap panas/kering. Pembangkit listrik tenaga
uap menggunakan berbagai macam bahan bakar terutama batu bara dan minyak bakar serta
MFO untuk start up awal. Salah satu PLTU terbesar adalah PLTU Paiton, Probolinggo, Jawa
Timur.

Proses konversi energi pada PLTU berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu :

Pertama, energi kimia dalam bahan bakar diubah menjadi energi panas dalam bentuk
uap bertekanan dan temperatur tinggi.
Kedua, energi panas (uap) diubah menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran.
Ketiga, energi mekanik diubah menjadi energi listrik.

PLTU menggunakan fluida kerja air uap yang bersirkulasi secara tertutup. Siklus
tertutup artinya menggunakan fluida yang sama secara berulang-ulang. Urutan sirkulasinya
secara singkat adalah sebagai berikut :

Pertama air diisikan ke boiler


hingga mengisi penuh seluruh luas permukaan pemindah panas. Didalam boiler air
ini dipanaskan dengan gas panas hasil pembakaran bahan bakar dengan udara sehingga
berubah menjadi uap.

Kedua, uap hasil produksi boiler dengan

tekanan dan temperatur tertentu diarahkan untuk memutar turbin sehingga


menghasilkan daya mekanik berupa putaran.

Ketiga, generator yang dikopel langsung

dengan turbin berputar menghasilkan energi listrik sebagai hasil dari perputaran medan
magnet dalam kumparan, sehingga ketika turbin berputar dihasilkan energi listrik dari
terminal output generator

Keempat, Uap bekas keluar turbin masuk ke kondensor

untuk didinginkan dengan air pendingin agar berubah kembali menjadi air yang disebut
air kondensat. Air kondensat hasil kondensasi uap kemudian digunakan lagi sebagai air
pengisi boiler.

Demikian siklus ini berlangsung terus menerus dan berulang-ulang

2.3. Fungsi PLTU


PLTU adalah jenis pembangkit listrik tenaga termal yang banyak digunakan, karena e
fisiensinyatinggi sehingga menghasilkan energi listrik yang ekonomis. PLTU merupakan me
sin konversienergi yang mengubah energi kimia dalam bahan bakar menjadi energi listrik.
Proses konversi energi pada PLTU berlangsung melalui 3 tahapan, yaitu :
Pertama, energi kimia dalam bahan bakar diubah menjadi energi panas dalam bentuk
uapbertekanan dan temperatur tinggi.
Kedua, energi panas (uap) diubah menjadi energi mekanik dalam bentuk putaran.
Ketiga, energi mekanik diubah menjadi energi listrik.

2.4. Cara Kerja PLTU


1. Pertama-tama air demin ini berada disebuah tempat bernama Hotwell.
2. Dari Hotwell, air mengalir menuju Condensate Pump untuk kemudian dipompakan
menuju LP Heater (Low Pressure Heater) yang pungsinya untuk menghangatkan tahap
pertama. Lokasi hotwell dan condensate pump terletak di lantai paling dasar dari
pembangkit atau biasa disebut Ground Floor. Selanjutnya air mengalir masuk
ke Deaerator.
3. Di dearator air akan mengalami proses pelepasan ion-ion mineral yang masih tersisa di
air dan tidak diperlukan seperti Oksigen dan lainnya. Bisa pula dikatakan deaerator
memiliki pungsi untuk menghilangkan buble/balon yang biasa terdapat pada
permukaan air. Agar proses pelepasan ini berlangsung sempurna, suhu air harus
memenuhi suhu yang disyaratkan. Oleh karena itulah selama perjalanan menuju
Dearator, air mengalamai beberapa proses pemanasan oleh peralatan yang disebut LP
Heater. Letak dearator berada di lantai atas (tetapi bukan yang paling atas). Sebagai
ilustrasi di PLTU Muara Karang unit 4, dearator terletak di lantai 5 dari 7 lantai yang
ada.
4. Dari dearator, air turun kembali ke Ground Floor. Sesampainya di Ground Floor, air
langsung dipompakan oleh Boiler Feed Pump/BFP (Pompa air pengisi) menuju Boiler
atau tempat memasak air. Bisa dibayangkan Boiler ini seperti drum, tetapi drum
berukuran raksasa. Air yang dipompakan ini adalah air yang bertekanan tinggi, karena
itu syarat agar uap yang dihasilkan juga bertekanan tinggi. Karena itulah konstruksi
PLTU membuat dearator berada di lantai atas dan BFP berada di lantai dasar. Karena
dengan meluncurnya air dari ketinggian membuat air menjadi bertekanan tinggi.
5. Sebelum masuk ke Boiler untuk direbus, lagi-lagi air mengalami beberapa proses
pemanasan di HP Heater (High Pressure Heater). Setelah itu barulah air masuk boiler
yang letaknya berada dilantai atas.
6. Didalam Boiler inilah terjadi proses memasak air untuk menghasilkan uap. Proses ini
memerlukan api yang pada umumnya menggunakan batubara sebagai bahan dasar
pembakaran dengan dibantu oleh udara dari FD Fan (Force Draft Fan) dan pelumas
yang berasal dari Fuel Oil tank.
7. Bahan bakar dipompakan kedalam boiler melalui Fuel oil Pump. Bahan bakar PLTU
bermacam-macam. Ada yang menggunakan minyak, minyak dan gas atau istilahnya
dual firing dan batubara.
8. Sedangkan udara diproduksi olehForce Draft Fan (FD Fan). FD Fan mengambil udara
luar untuk membantu proses pembakaran di boiler. Dalam perjalananya menuju boiler,
udara tersebut dinaikkan suhunya oleh air heater (pemanas udara) agar proses
pembakaran bisa terjadi di boiler.
9. Kembali ke siklus air. Setelah terjadi pembakaran, air mulai berubah wujud menjadi
uap. Namun uap hasil pembakaran ini belum layak untuk memutar turbin, karena masih
berupa uap jenuh atau uap yang masih mengandung kadar air. Kadar air ini berbahaya
bagi turbin, karena dengan putaran hingga 3000 rpm, setitik air sanggup untuk membuat
sudu-sudu turbin menjadi terkikis.
10. Untuk menghilangkan kadar air itu, uap jenuh tersebut di keringkan di super heater
sehingga uap yang dihasilkan menjadi uap kering. Uap kering ini yang digunakan untuk
memutar turbin.
11. Ketika Turbin berhasil berputar berputar maka secara otomastis generator akan
berputar, karena antara turbin dan generator berada pada satu poros. Generator inilah
yang menghasilkan energi listrik.
12. Pada generator terdapat medan magnet raksasa. Perputaran generator menghasilkan
beda potensial pada magnet tersebut. Beda potensial inilah cikal bakal energi listrik.
13. Energi listrik itu dikirimkan ke trafo untuk dirubah tegangannya dan kemudian
disalurkan melalui saluran transmisi PLN.
14. Uap kering yang digunakan untuk memutar turbin akan turun kembali ke lantai dasar.
Uap tersebut mengalami proses kondensasi didalam kondensor sehingga pada akhirnya
berubah wujud kembali menjadi air dan masuk kedalam hotwell. Siklus PLTU ini
adalah siklus tertutup (close cycle) yang idealnya tidak memerlukan lagi air jika
memang kondisinya sudah mencukupi. Tetapi kenyataannya masih diperlukan banyak
air penambah setiap hari. Hal ini mengindikasikan banyak sekali kebocoran di pipa-
pipa saluran air maupun uap di dalam sebuah PLTU

2.5. Pemurnian dan Pengolahan Air PLTU


Air menjadi satu kebutuhan penting yang digunakan pada setiap pembangkit tenaga
listrik yang memakai uap air sebagai media kerjanya. Pengadaan dan kualitasnya menjadi satu
hal yang sangat dijaga di setiap PLTU. Air digunakan di banyak hal termasuk kebutuhan
pendinginan, perawatan kebersihan, mengontrol polutan, dan yang pasti sebagai media kerja
untuk siklus uap air.

Treatment air yang baik mencegah terbentuknya kerak dan korosi pada sistem
pembangkit listrik -yang bekerja pada siklus uap-air tekanan tinggi- demi untuk menghindari
kerugian ekonomi karena penurunan kemampuan produksi dan kenaikan biaya produksi.

Sumber Air
Supply kebutuhan air secara umum dibagi menjadi dua: air permukaan dan air tanah.
Air permukaan dapat berupa air dari sungai, danau, dan juga laut. Air tanah terdapat di bawah
permukaan tanah, berada di lapisan air tanah, dan dapat diambil melalui mata air atau sumur.
Hanya 3% dari keseluruhan air di bumi terbukti fresh dan bersih, 75% diantaranya berupa
gletser dan es di kutub. 25% sisanya, 24% berupa air tanah, dan 1% berada di permukaan tanah
dan udara.
Semua supply air bersih merupakan hasil presipitasi (hujan) dari atmosfer, yang
menjadi bagian dari proses evaporasi dan kondensasi kontinyu (siklus hujan / hidrologi). Air
hujan atau salju, akan mencapai permukaan tanah dan membentuk aliran, ada yang kembali
menguap, dan ada juga yang masuk ke dalam tanah. Semuanya tergantung atas kondisi
atmosfer dan topografi, sekitar 25%-nya menjadi air permukaan, kurang dari 10% masuk ke
dalam tanah, dan sisanya kembali terevaporasi ke atmosfer. Hanya sedikit sekali bagian yang
dapat mencapai ke air tanah. Sebagian besar dari air tanah akan kembali ke permukaan untuk
bergabung ke dalam aliran sungai.

Kualitas Air
Secara alami air mengandung berbagai jenis zat kimia dan material-material solid lainnya.
Material-material tersebut akan mempengaruhi proses yang akan digunakan PLTU untuk
mengolah air lebih lanjut sehingga dapat terjaga kualitasnya sesuai dengan kebutuhan yang
ada. PLTU yang menggunakan air tanah memiliki treatment air yang berbeda dengan PLTU
yang mengambil air dari laut. Namun demikian secara umum kandungan zat-zat yang ada
adalah sama, sekalipun kadarnya sangat berbeda. Berikut adalah zat-zat yang terkandung di
dalam air secara umum:
Kekeruhan (turbidity): Faktor kekeruhan pada air mempengaruhi tampilan kejernihan
air. Pada suatu sistem proses dapat menyebabkan terbentuknya deposit (kerak), dan
sangat mempengaruhi proses tersebut. Cara menghilangkannya dapat dilakukan dengan
proses koagulasi, pengendapan, dan filtrasi.
Hardness: Berupa garam magnesium dan calsium (CaO3). Material ini akan
membentuk kerak di boiler, saluran pipa, heat exchanger, dan lain sebagainya. Material
ini dapat dihilangkan dengan proses softening, demineralisasi, treatment air di dalam
boiler, dan penggunaan surfactant(surface-active agents).
Penggunaan surfactant dapat menurunkan tegangan permukaan air sehingga dapat
terpisah antara air dan zat-zat solid yang terkandung.
Alkalin: Dapat berupa Bikarbonat (HC03)-, karbonat (C03)2-, dan hydrat (OH)-.
Senyawa-senyawa tersebut dapat membentuk foam dan membawa material-material
padat melalui uap air. Menyebabkan embrittlement pada baja-baja boiler. Bikarbonat
dan carbonat dapat menghasilkan CO2 yang merupakan sumber korosi di saluran sistem
kondensat (kondensor, pompa ekstraksi kondensat). Zat-zat ini dapat diminimalisir
kandungannya dengan cara softening (lime and lime-soda softening, hydrogen zeolite
softening), penambahan zat asam (acid treatment), demineralisasi, serta dealkalisasi
melalui proses pertukaran anion (anion exchange).
Mineral asam bebas: Dapat berupa H2SO4 dan HCl yang sangat berbahaya pada baja
karena sifatnya yang korosif. Menetralisirnya dengan menggunakan bahan alkali.
Karbon dioksida (CO2): Menjadi penyebab korosi di saluran air dan beberapa saluran
uap air dan kondensat. Menghilangkannya melalui proses aerasi, deaerasi, dan
netralisasi menggunakan zat alkali.
Konsentrasi ion H+ yang ditunjukkan dengan bilangan pH: Nilai pH bervariasi pada air
tergantung banyaknya zat asam dan bahan alakali yang terkandung di dalamnya.
Umumnya air alami memiliki nilai pH 6,0-8,0. Sedangkan air laut di kisaran 7,5-8,4.
Nilai pH dapat dinaikkan dengan menggunakan zat-zat alkali dan diturunkan dengan
zat-zat asam.
Sulfat (SO42-): Ion ini jika bereaksi dengan ion lain seperti kalsium, akan menimbulkan
zat padat dan membentuk kerak. Namun jika berdiri sendiri tidak terlalu memiliki
dampak yang signifikan. Sulfat dapat dihilangkan melalui proses demineralisasi.
Klorida (Cl-): Menambah material padat serta meningkatkan karakter korosif pada air.
Dapat dihilangkan melalui proses demineralisasi.
Nitrat (NO3-): Dapat menimbulkan bahan padat meskipun tidak terlalu besar. Pada
kesehatan bayi dapat menyebabkan methemoglobinemia. Sedangkan pada dunia
industri dapat kita gunakan keberadaannya untuk mengontrol embrittlement pada
logam-logam boiler. Material ini dapat dihilangkan melalui proses demineralisasi.
Fluorida (F-): Digunakan pada dunia kesehatan untuk mengontrol kerusakan pada gigi.
Sedangkan pada dunia industri tidak terlalu berbahaya. Dapat diserap dangan
menggunakan magnesium hidroksida dan kalsium fosfat,
Sodium (Na+): Ion ini menambah kandungan solid di dalam air. Dan jika membentuk
ikatan dengan OH- akan menibulkan korosi di pipa-pipa boiler pada kondisi tertentu.
Ion ini dapat dihilangkan melalui demineralisasi.
Silika (SiO2): Material ini dapat membentuk kerak di boiler dan sistem air pendingin.
Sedangkan di sisi turbin uap dapat melarutkan deposit yang ada karena membentuk uap
silika. Silika dapat dihilangkan melalui proses panas dengan menggunakan garam
magnesium atau diserap dengan proses pertukaran anion yang dikombinasikan dengan
demineralisasi.
Besi (Fe2+ dan Fe3+) dan Mangan (Mn2+): Material ini dapat merubah warna air dan
menjadi sumber kerak di saluran pipa dan boiler. Dihilangkan dengan cara aerasi,
koagulasi dan filtrasi, line softening, pertukaran kation (cation exchange), filtrasi
kontak, dan penggunaan bahan surface-active (penghilang tegangan permukaan).
Aluminium (Al3+): Zat ini dapat menimbulkan kerak di sistem air pendingin serta di
pipa boiler. Material ini dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem filter
dan clarifier yang berkualitas.
Oksigen (O2): Oksigen menjadi sumber korosi pada saluran pipa, boiler, heat
exchanger, dan sebagainya. Dapat dihilangkan melalui proses deaerasi, penggunaan
sodium sulfit, serta penggunaan corrosion inhibitor (zat yang menurunkan kecepatan
logam untuk korosi).
Hidrogen sulfida (H2S): Senyawa ini selain bersifat korosif dan beracun, juga
menimbulkan bau yang tak sedap seperti telur busuk. Dapat dihilangkan melalui proses
aerasi, klorinasi dan anion exchange.
Amonia (NH3): Menimbulkan korosi pada logam tembaga dan seng dengan membentuk
larutan ion kompleks. Dihilangkan melalui cation exchange dengan hidrogen zeolit,
klorinasi, dan deaerasi.
Larutan padat (desolved solids): Desolved solids menjadi satuan yang menunjukkan
banyaknya zat-zat padat terlarut di dalam air. Konsentrasi tinggi dari desolved
solid dapat mengganggu karena menyebabkan proses foaming di boiler.
Suspended solids: Adalah kandungan padatan total yang tidak terlarut di dalam air dan
dapat mengendap akibat gravitasi. Suspended solid menimbulkan kerak di heat
exchanger, boiler, saluran pipa, dan alat-alat lain. Dapat dihilangkan melalui filtrasi dan
pengendapan.

2.6. Undang undang Pencemaran Air


PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang :

1. bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara
merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha
Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa;
2. bahwa pengelolaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan
makhluk hidup lainnya;
3. bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfaatan laut
beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan laut yang akhirnya dapat menurunkan mutu serta fungsi laut;
4. bahwa sehubungan dengan hal tersebut di atas, dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut;
Mengingat :

1. Pasal 5 ayat (2), Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945;


2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kehutanan
(Lembaran Negara Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2823);
3. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landasan Kontinen Indonesia (Lembaran
Negara Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Nomor 2994);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah
(Lembaran Negara Tahun 1974 Nomor 38, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia
(Lembaran Negara Tahun 1983 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun
1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan
Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3419);
10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
11. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun
1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara
Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
13. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);
MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG

PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksudkan dengan :

1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi,
dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga
kualitasnya turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai
lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya;
3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau
komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang
keberadaannya di dalam air laut;
4. Perusakan air laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak
langsung terhadap sifat fisik dan/atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan
laut;
5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik dan/atau hayati laut yang melewati kriteria baku
kerusakan laut;
6. Kriteria baku kerusakan laut adalah ukuran batas perubahan sifat fisik dan/atau hayati
lingkungan laut yang ditenggang;
7. Status mutu laut adalah tingkat mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai
berdasarkan baku mutu air laut dan/atau kriteria baku kerusakan laut;
8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut
tetap baik;
9. Pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan
pencegahan dan/atau penanggulangan dan/atau pemulihan pencemaran dan/atau perusakan
laut;
10. Pembuangan (dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha dan/atau
kegiatan dan/atau benda lain yang tidak terpakai atau daluarsa ke laut;
11. Limbah adalah sisa usaha dan/atau kegiatan;
12. Limbah cair adalah sisa dari proses usaha dan/atau kegiatan yang berwujud cair;
13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari suatu usaha dan/atau atau kegiatan yang
berwujud padat termasuk sampah;
14. Orang adalah orang perseorangan, dan/atau kelompok orang, dan/atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang
pengendalian dampak lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasal 2

Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian pencemaran dan/atau
perusakan laut dengan tujuan untuk mencegah atau mengurangi turunnya mutu laut dan/atau
rusaknya sumber daya laut.

BAB II

PERLINDUNGAN MUTU LAUT

Pasal 3

Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan
status mutu laut
Pasal 4

Baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dari menteri lainnya dan
Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.

Pasal 5

1. Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian data mutu air laut,
kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu laut.
2. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut berdasarkan
pedoman teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan oleh Kepala instansi yang
bertanggung jawab.
3. Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu laut, maka
Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu laut.
Pasal 6

Kepala instansi bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status
mutu laut.

Pasal 7

1. Air laut mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang status
mutunya berada pada tingkatan baik.
2. Air yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air laut yang
status mutunya berada pada tingkatan tercemar.
Pasal 8

1. Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan sebagai
lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik,
2. Lingkungan laut tidak memenuhi kriteria baku mutu kerusakan laut yang dinyatakan
sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
BAB III

PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT

Pasal 9

Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan pencemaran laut.

Pasal 10

1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat menyebabkan pencemaran
laut, wajib melakukan pencegahan terjadinya pencemaran laut.
2. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang limbahnya ke laut,
wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah cair, baku
mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Pasal 11

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan pencemaran
laut.

Pasal 12

Limbah cair dan/atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan
dibuang di sarana pengelolaan limbah cair dan/atau limbah padat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
BAB IV

PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT

Pasal 13

Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan
yang dapat menimbulkan kerusakan laut.

Pasal 14

1. Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan
laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut.
2. Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pencegahan
perusakan
BAB V

PENANGGULANGAN PENCEMARAN

DAN/ATAU PERUSAKAN LAUT

Pasal 15

1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan laut wajib melakukan penanggulangan pencemaran
dan/atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.
2. Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/atau perusakan laut sebagaimana
dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VI

PEMULIHAN MUTU LAUT

Pasal 16
1. Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan pencemaran
dan/atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
2. Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB VII

KEADAAN DARURAT

Pasal 17

1. Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha dan/atau
kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila;
A. Pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa kegiatan di laut;
B. Pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf (a) dapat dilakukan dengan
syarat bahwa semua upaya pencegahan yang layak telah dilakukan atau pembuangan
tersebut merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
2. Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik dan/atau penanggung
jawab usaha dan/atau kegiatan wajib dan segera memberitahukan kepada pejabat yang
berwenang terdekat dan/atau instansi yang bertanggung jawab.
3. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), wajib menyebutkan tentang benda
yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan langkah-langkah yang telah dilakukan.
4. Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya
pencemaran dan/atau kerusakan laut serta wajib melaporkan kepada Menteri.
5. Biaya penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut
yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan.
BAB VIII

DUMPING

Pasal 18

1. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan dumping ke
laut wajib mendapatkan izin oleh Menteri.
2. Tata cara dumping sebagaimana yang dimaksud ayat (1) ditetapkan lebih lanjut oleh
Menteri.
BAB IX

PENGAWASAN

Pasal 19

1. Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau


kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut.
2. Untuk melakukan pengawasan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 20

1. Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19


berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dukumen
dan/atau membuat catatan yang diperlukan, tempat tertentu, mengambil contoh, memeriksa
peralatan, memeriksa instalasi dan/atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari
pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau kegiatan.
2. Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawasan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Setiap pengawasan wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasal 21

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan, wajib:


1. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya membantu terlaksananya tugas
pengawasan tersebut;
2. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu
diminta pengawas;
3. memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas;
4. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya
yang diperlukan pengawas; dan
5. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar dan/atau melakukan
pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasal 22

1. Setiap orang penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan
hasil pemantauan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah dilakukan
kepada instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
2. Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BAB X

PEMBIAYAAN

Pasal 23

1. Biaya inventarisasi dan/atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu laut
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah dan/atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
2. Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau sumber dana lain sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BAB XI

GANTI RUGI

Pasal 24
1. Setiap orang atau penaggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
pencemaran dan/atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan
pencemaran dan/atau perusakan laut serta biaya pemulihannya.
2. Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan laut wajib membayar
ganti rugi terhadap pihak yang di rugikan.
Pasal 25

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 26

Setelah diundangkannya Peraturan Pemerintah ini, setiap usaha dan/atau kegiatan wajib
menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB XII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 27

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/atau perusakan laut yang telah ada tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 28

Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini


dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 27 Pebruari 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 27 Pebruari 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA

REPUBLIK INDONESIa

AKBAR TANDJUNG
2.7. Undang undang Pencemaran udara.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 41 TAHUN 1999
TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA

Menimbang :

Bahwa udara sebagai sumber daya alam yang mempengaruhi kehidupan manusia serta
makhluk hidup lainnya harus dijaga dan dipelihara kelestarian fungsinya untuk pemeliharaan
kesehatan dan kesejahteraan manusia serta perlindungan bagi makhluk hidup lainnya; bahwa
agar udara dapat bermanfaat sebesar-besarnya bagi pelestarian fungsi lingkungan hidup, maka
udara perlu dipelihara, dijaga dan dijamin mutunya melalui pengendalian pencemaran udara;
bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan Undang-undang Nomor
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup dipandang perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran Udara;

Mengingat :

Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945;

Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran


Negara Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699);

MEMUTUSKAN :

Menetapkan :

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan : Pencemaran udara adalah masuknya
atau dimasukkannya zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam udara ambien oleh kegiatan
manusia, sehingga mutu udara ambien turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
udara ambien tidak dapat memenuhi fungsinya; Pengendalian pencemaran udara adalah upaya
pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara serta pemulihan mutu udara; Sumber
pencemar adalah setiap usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan bahan pencemar ke udara
yang menyebabkan udara tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya; Udara ambien adalah
udara bebas dipermukaan bumi pada lapisan troposfir yang berada di dalam wilayah yurisdiksi
Republik Indonesia yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup
dan unsur lingkungan hidup lainnya; Mutu udara ambien adalah kadar zat, energi, dan/atau
komponen lain yang ada di udara bebas; Status mutu udara ambien adalah keadaan mutu udara
di suatu tempat pada saat dilakukan inventarisasi; Baku mutu udara ambien adalah ukuran
batas atau kadar zat, energi, dan/atau komponen yang ada atau yang seharusnya ada dan/atau
unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam udara ambien; Perlindungan mutu
udara ambien adalah upaya yang dilakukan agar udara ambien dapat memenuhi fungsi
sebagaimana mestinya; Emisi adalah zat, energi dan/atau komponen lain yang dihasilkan dari
suatu kegiatan yang masuk dan/atau dimasukkannya ke dalam udara ambien yang mempunyai
dan/atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur pencemar; Mutu emisi adalah emisi yang
boleh dibuang oleh suatu kegiatan ke udara ambien; Sumber emisi adalah setiap usaha
dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dari sumber bergerak, sumber bergerak spesifik,
sumber tidak bergerak maupun sumber tidak bergerak spesifik; Sumber bergerak adalah
sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada suatu tempat yang berasal dari kendaraan
bermotor; Sumber bergerak spesifik adalah sumber emisi yang bergerak atau tidak tetap pada
suatu tempat yang berasal dari kereta api, pesawat terbang, kapal laut dan kendaraan berat
lainnya; Sumber tidak bergerak adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat; Sumber
tidak bergerak spesifik adalah sumber emisi yang tetap pada suatu tempat yang berasal dari
kebakaran hutan dan pembakaran sampah; Baku mutu emisi sumber tidak bergerak adalah
batas kadar maksimum dan/atau beban emisi maksimum yang diperbolehkan masuk atau
dimasukkan ke dalam udara ambien; Ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor
adalah batas maksimum zat atau bahan pencemar yang boleh dikeluarkan langsung dari pipa
gas buang kendaraan bermotor; Sumber gangguan adalah sumber pencemar yang
menggunakan media udara atau padat untuk penyebarannya, yang berasal dari sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, atau sumber tidak bergerak
spesifik; Baku tingkat gangguan adalah batas kadar maksimum sumber gangguan yang
diperbolehkan masuk ke udara dan/atau zat padat; Ambang batas kebisingan kendaraan
bermotor adalah batas maksimum energi suara yang boleh dikeluarkan langsung dari mesin
dan/atau transmisi kendaraaan bermotor; Kendaraan bermotor adalah kendaraan yang
digerakkan oleh peralatan teknik yang berada pada kendaraan itu; Kendaraan bermotor tipe
baru adalah kendaraan bermotor yang menggunakan mesin dan/atau transmisi tipe baru yang
siap diproduksi dan dipasarkan, atau kendaraan yang sudah beroperasi tetapi akan diproduksi
ulang dengan perubahan desain mesin dan sistem transmisinya, atau kendaraan bermotor yang
diimpor tetapi belum beroperasi di jalan wilayah Republik Indonesia; Kendaraan bermotor
lama adalah kendaraan yang sudah diproduksi, dirakit atau diimpor dan sudah beroperasi di
jalan wilayah Republik Indonesia; Uji tipe emisi adalah pengujian emisi terhadap kendaraan
bermotor tipe baru; Uji tipe kebisingan adalah pengujian tingkat kebisingan terhadap
kendaraan bermotor tipe baru; Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU) adalah angka yang
tidak mempunyai satuan yang menggambarkan kondisi mutu udara ambien di lokasi tertentu,
yang didasarkan kepada dampak terhadap kesehatan manusia, nilai estetika dan makhluk hidup
lainnya; Inventarisasi adalah kegiatan untuk mendapatkan data dan informasi yang berkaitan
dengan mutu udara; Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab
di bidang pengendalian dampak lingkungan; Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk
mengelola lingkungan hidup; Gubernur adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I.

Pasal 2

Pengendalian pencemaran udara meliputi pengendalian dari usaha dan/atau kegiatan sumber
bergerak, sumber bergerak spesifik, sumber tidak bergerak, dan sumber tidak bergerak spesifik
yang dilakukan dengan upaya pengendalian sumber emisi dan/atau sumber gangguan yang
bertujuan untuk mencegah turunnya mutu udara ambien.

BAB II

PERLINDUNGAN MUTU UDARA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 3

Perlindungan mutu udara ambien didasarkan pada baku mutu udara ambien, status mutu udara
ambien, baku mutu emisi, ambang batas emisi gas buang, baku tingkat gangguan, ambang batas
kebisingan dan Indeks Standar Pencemar Udara.
Bagian Kedua

Baku Mutu Udara Ambien

Pasal 4

(1) Baku mutu udara ambien nasional ditetapkan sebagai batas maksimum mutu udara ambien
untuk mencegah terjadinya pencemaran udara, sebagaimana terlampir dalam Peraturan
Pemerintah ini.

(2) Baku mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau
kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 5

(1) Baku mutu udara ambien daerah ditetapkan berdasarkan pertimbangan status mutu udara
ambien di daerah yang bersangkutan.

(2) Gubernur menetapkan baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan baku mutu udara ambien nasional.

(3) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
ketentuan sama dengan atau lebih ketat dari baku mutu udara ambien nasional.

(4) Apabila Gubernur belum menetapkan baku mutu udara ambien daerah, maka berlaku baku
mutu udara ambien nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

(5) Baku mutu udara ambien daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat ditinjau
kembali setelah 5 (lima) tahun.

(6) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penetapan baku mutu
udara ambien daerah.

Bagian Ketiga

Status Mutu Udara Ambien

Pasal 6

(1) Status mutu udara ambien ditetapkan berdasarkan inventarisasi dan/atau penelitian terhadap
mutu udara ambien, potensi sumber pencemar udara, kondisi meteorologis dan geografis, serta
tata guna tanah.
(2) Instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan daerah
melakukan kegiatan inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Gubernur menetapkan status mutu udara ambien daerah berdasarkan hasil inventarisasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

(4) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis inventarisasi dan
pedoman teknis penetapan status mutu udara ambien.

Pasal 7

(1) Apabila hasil inventarisasi dan/atau penelitian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(2) menunjukkan status mutu udara ambien daerah berada di atas baku mutu udara ambien
nasional, Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah yang
bersangkutan sebagai udara tercemar.

(2) Dalam hal Gubernur menetapkan dan menyatakan status mutu udara ambien daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur wajib melakukan penanggulangan dan
pemulihan mutu udara ambien

Bagian Keempat

Baku Mutu Emisi dan Ambang Batas Emisi Gas Buang

Pasal 8

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku mutu emisi sumber tidak
bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor, tipe baru dan kendaraan
bermotor lama.

(2) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan mempertimbangkan
parameter dominan dan kritis, kualitas bahan bakar dan bahan baku, serta teknologi yang ada.

(3) Baku mutu emisi sumber tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 9

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku mutu emisi sumber
tidak bergerak dan ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian
pencemaran udara sumber tidak bergerak dan sumber bergerak
Bagian Kelima

Baku Tingkat Gangguan dan Ambang Batas Kebisingan

Pasal 10

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan baku tingkat gangguan sumber tidak
bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.

(2) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas : baku tingkat kebisingan; baku tingkat getaran; baku tingkat kebauan; dan baku tingkat
gangguan lainnya.

(3) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
keselamatan sarana fisik serta kelestarian bangunan.

(4) Ambang batas kebisingan kendaraan bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan mempertimbangkan aspek kenyamanan terhadap manusia dan/atau aspek
teknologi.

(5) Baku tingkat gangguan sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 11

(1) Instansi yang bertanggung jawab melakukan pengkajian terhadap baku tingkat gangguan
sumber tidak bergerak dan ambang batas kebisingan kendaraan bermotor.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis pengendalian
pencemaran udara sumber gangguan dari sumber tidak bergerak dan kebisingan dari sumber
bergerak.

Bagian Keenam

Indeks Standar Pencemar Udara (ISPU)

Pasal 12

(1) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan Indeks Standar Pencemar Udara.
(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan tingkat mutu udara terhadap kesehatan manusia, hewan, tumbuh-
tumbuhan, bangunan, dan nilai estetika.

Pasal 13

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis perhitungan dan
pelaporan serta informasi Indeks Standar Pencemar Udara.

Pasal 14

(1) Indeks Standar Pencemar Udara diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas
udara ambien secara otomatis dan berkesinambungan.

(2) Indeks Standar Pencemar Udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dipergunakan
untuk : bahan informasi kepada masyarakat tentang kualitas udara ambien di lokasi tertentu
dan pada waktu tertentu; bahan pertimbangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam
melaksanakan pengendalian pencemaran udara.

Pasal 15

Indeks Standar Pencemar Udara yang diperoleh dari pengoperasian stasiun pemantau kualitas
udara ambien sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) wajib diumumkan kepada
masyarakat.

BAB III

PENGENDALIAN PENCEMARAN UDARA

Bagian Kesatu Umum

Pasal 16

Pengendalian pencemaran udara meliputi pencegahan dan penanggulangan pencemaran, serta


pemulihan mutu udara dengan melakukan inventarisasi mutu udara ambien, pencegahan
sumber pencemar, baik dari sumber bergerak maupun sumber tidak bergerak termasuk sumber
gangguan serta penanggulangan keadaan darurat.

Pasal 17

(1) Penyusunan dan pelaksanaan kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara secara
nasional ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(2) Kebijaksanaan teknis pengendalian pencemaran udara dan pelaksanaannya sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 18

(1) Pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan oleh


Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II.

(2) Pelaksanaan koordinasi operasional pengendalian pencemaran udara di daerah dilakukan


oleh Gubernur .

(3) Kebijaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) dapat ditinjau kembali setelah 5 (lima) tahun.

Pasal 19

(1) Dalam rangka penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian pencemaran udara di
daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), daerah menyusun dan menetapkan
program kerja daerah di bidang pengendalian pencemaran udara.

(2) Ketentuan mengenai pedoman penyusunan dan pelaksanaan operasional pengendalian


pencemaran udara di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

Bagian Kedua

Pencegahan Pencemaran Udara dan Persyaratan Penaatan Lingkungan Hidup

Pasal 20

Pencegahan pencemaran udara meliputi upaya-upaya untuk mencegah terjadinya pencemaran


udara dengan cara : penetapan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi sumber tidak
bergerak, baku tingkat gangguan, ambang batas emisi gas buang dan kebisingan kendaraan
bermotor sebagaimana dimaksud dalam Bab II Peraturan Pemerintah ini; penetapan
kebijaksanaan pengendalian pencemaran udara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, 18 dan
19.

Pasal 21

Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang mengeluarkan emisi dan/atau baku
tingkat gangguan ke udara ambien wajib : menaati baku mutu udara ambien, baku mutu emisi,
dan baku tingkat gangguan yang ditetapkan untuk usaha dan/atau kegiatan yang
dilakukannya; melakukan pencegahan dan/atau penanggulangan pencemaran udara yang
diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan yang dilakukannya; memberikan informasi yang
benar dan akurat kepada masyarakat dalam rangka upaya pengendalian pencemaran udara
dalam lingkup usaha dan/atau kegiatannya.

Pasal 22

(1) Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi dan/atau gangguan wajib memenuhi persyaratan mutu emisi dan/atau
gangguan yang ditetapkan dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

(2) Izin melakukan usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 23

Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan
hidup dilarang membuang mutu emisi melampaui ketentuan yang telah ditetapkan baginya
dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.

Pasal 24

(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang tidak wajib memiliki analisis mengenai dampak
lingkungan hidup, maka pejabat yang berwenang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan
mewajibkan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan untuk mematuhi ketentuan baku mutu
emisi dan/atau baku tingkat gangguan untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran udara
akibat dilaksanakannya rencana usaha dan/atau kegiatannya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan kewajiban mengenai baku mutu emisi
dan/atau baku tingkat gangguan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala
instansi yang bertanggung jawab.

(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dicantumkan sebagai ketentuan
dalam izin melakukan usaha dan/atau kegiatan.
Bagian Ketiga

Penanggulangan dan Pemulihan Pencemaran Udara

Pasal 25

(1) Setiap orang atau penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang menyebabkan terjadinya
pencemaran udara dan/atau gangguan wajib melakukan upaya penanggulangan dan
pemulihannya.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan dan
pemulihan pencemaran udara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Paragraf 1

Keadaan Darurat

Pasal 26

(1) Apabila hasil pemantauan menunjukan Indeks Standar Pencemar Udara mencapai nilai 300
atau lebih berarti udara dalam kategori berbahaya maka : Menteri menetapkan dan
mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara secara nasional; Gubernur menetapkan dan
mengumumkan keadaan darurat pencemaran udara di daerahnya.

(2) Pengumuman keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan antara lain
melalui media cetak dan/atau media elektronik.

Pasal 27

Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara
penanggulangan dan pemulihan keadaan darurat pencemaran udara.

Paragraf 2

Sumber Tidak Bergerak

Pasal 28

Penanggulangan pencemaran udara sumber tidak bergerak meliputi pengawasan terhadap


penaatan baku mutu emisi yang telah ditetapkan, pemantauan emisi yang keluar dari kegiatan
dan mutu udara ambien di sekitar lokasi kegiatan, dan pemeriksaan penaatan terhadap
ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran udara.

Pasal 29

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan


pencemaran udara dari sumber tidak bergerak.

(2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penanggulangan
pencemaran udara sumber tidak bergerak.

Pasal 30

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, dan
baku tingkat gangguan. (2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber
tidak bergerak yang mengeluarkan emisi wajib menaati ketentuan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2).

Paragraf 3

Sumber Bergerak

Pasal 31

Penanggulangan pencemaran udara dari sumber bergerak meliputi pengawasan terhadap


penaatan ambang batas emisi gas buang, pemeriksaan emisi gas buang untuk kendaraan
bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama, pemantauan mutu udara ambien di sekitar
jalan, pemeriksaan emisi gas buang kendaraan bermotor di jalan dan pengadaan bahan bakar
minyak bebas timah hitam serta solar berkadar belerang rendah sesuai standar internasional.

Pasal 32

(1) Instansi yang bertanggungjawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan


pencemaran udara dari sumber bergerak. (2) Kepala instansi yang bertanggungjawab
menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber
bergerak.

Pasal 33

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan emisi gas
buang wajib memenuhi ambang batas emisi gas buang kendaraan bermotor.
Pasal 34

(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe emisi.

(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe emisi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe emisi.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan tata cara dan metode uji tipe emisi
kendaraan bermotor tipe baru.

(4) Uji tipe emisi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.

Pasal 35

(1) Hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru yang dilakukan oleh instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
34 ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan angka parameter-
parameter polutan hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan
hasil uji tipe emisi kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 36

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji emisi berkala sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji emisi berkala kendaraan bermotor lama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang
bertanggung jawab.
Paragraf 4

Sumber Gangguan

Pasal 37

Penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber gangguan meliputi pengawasan


terhadap penaatan baku tingkat gangguan, pemantauan gangguan yang keluar dari kegiatannya
dan pemeriksaan penaatan terhadap ketentuan persyaratan teknis pengendalian pencemaran
udara.

Pasal 38

(1) Instansi yang bertanggung jawab mengkoordinasikan pelaksanaan penanggulangan


pencemaran udara dari sumber gangguan. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab
menetapkan pedoman teknis penanggulangan pencemaran udara dari kegiatan sumber
gangguan.

Pasal 39

(1) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan baku tingkat gangguan.

(2) Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dari sumber tidak bergerak yang
mengeluarkan gangguan wajib menaati ketentuan persyaratan teknis sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 ayat (2).

Pasal 40

Kendaraan bermotor tipe baru dan kendaraan bermotor lama yang mengeluarkan kebisingan
wajib memenuhi ambang batas kebisingan.

Pasal 41

(1) Kendaraan bermotor tipe baru wajib menjalani uji tipe kebisingan.

(2) Bagi kendaraan bermotor tipe baru yang dinyatakan lulus uji tipe kebisingan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberi tanda lulus uji tipe kebisingan.

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara dan metode
uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru.

(4) Uji tipe kebisingan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan oleh Instansi yang
bertanggung jawab di bidang lalu lintas dan angkutan jalan.
Pasal 42

(1) Hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud dalam Pasal
41 ayat (4), wajib disampaikan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab dan
penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib mengumumkan hasil uji tipe kebisingan
kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis tata cara pelaporan
hasil uji tipe kebisingan kendaraan bermotor tipe baru sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

Pasal 43

(1) Setiap kendaraan bermotor lama wajib menjalani uji kebisingan berkala sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2) Gubernur melaporkan hasil evaluasi uji kebisingan berkala kendaraan bermotor lama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setiap 1 (satu) tahun sekali kepada Kepala instansi yang
bertanggung jawab.

BAB IV\

PENGAWASAN

Pasal 44

(1) Menteri melakukan pengawasan terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran udara.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri dapat
menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.

Pasal 45

(1) Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah,


Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat melakukan pengawasan
terhadap penaatan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang membuang emisi dan/atau
gangguan.

(2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)


Gubernur/Bupati/Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II dapat menetapkan pejabat yang
berwenang melakukan pengawasan.
Pasal 46

Hasil pemantauan yang dilakukan oleh pejabat pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
45 ayat (2) wajib dilaporkan kepada Kepala instansi yang bertanggung jawab sekurang-
kurangnya sekali dalam 1 (satu) tahun.

Pasal 47

(1) Dalam melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2)
dan Pasal 45 ayat (2) berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat
salinan dari dokumen dan/atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki tempat tertentu,
mengambil contoh mutu udara ambien dan/atau mutu emisi, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas usaha dan/atau
kegiatan.

(2) Penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang dimintai keterangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas pengawas sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas dan/atau tanda pengenal serta wajib
memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.

Pasal 48

Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib : mengizinkan pengawas memasuki
lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut; memberikan
keterangan dengan benar baik secara lisan maupun tertulis apabila hal itu diminta
pengawas; memberikan dokumen dan/atau data yang diperlukan oleh pengawas; mengizinkan
pengawas untuk melakukan pengambilan contoh udara emisi dan/atau contoh udara ambien
dan/atau lainnya yang diperlukan pengawas; dan mengizinkan pengawas untuk melakukan
pengambilan gambar dan/atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.

Pasal 49

Hasil inventarisasi dan pemantauan baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku tingkat
gangguan dan indeks standar pencemar udara yang dilakukan oleh pejabat pengawas
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (2) dan Pasal 45 ayat (2) wajib disimpan dan
disebarluaskan kepada masyarakat.

Pasal 50
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan wajib menyampaikan laporan
hasil pemantauan pengendalian pencemaran udara yang telah dilakukan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.

(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.

Pasal 51

(1) Dalam rangka kegiatan pengawasan, masyarakat dapat melakukan pemantauan terhadap
mutu udara ambien.

(2) Hasil pemantauan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat disampaikan kepada instansi
yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait lainnya.

(3) Hasil pemantauan yang dilakukan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dapat digunakan oleh instansi yang bertanggung jawab, instansi teknis, dan instansi terkait
lainnya sebagai bahan pertimbangan penetapan pengendalian pencemaran udara.

BAB V
PEMBIAYAAN

Pasal 52

Segala biaya yang timbul sebagai akibat dari upaya pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dari sumber tidak bergerak yang dilakukan oleh penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan dibebankan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan.

Pasal 53

Segala biaya yang timbul sebagai akibat pengujian tipe emisi dan kebisingan kendaraan
bermotor tipe baru dan pelaporannya dalam rangka pengendalian pencemaran udara dan/atau
gangguan dibebankan kepada perakit, pembuat , pengimpor kendaran bermotor.
BAB VI

GANTI RUGI

Pasal 54

(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya pencemaran udara wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran udara
serta biaya pemulihannya.

(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang menimbulkan kerugian
bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran udara wajib membayar ganti rugi terhadap pihak
yang dirugikan.

Pasal 55

Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 54 ayat (2) ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.

BAB VII

SANKSI

Pasal 56

(1) Barangsiapa melanggar ketentuan dalam Pasal 21, Pasal 22 ayat (1), Pasal 23, Pasal 24 ayat
(1), Pasal 25 ayat (1), Pasal 30, Pasal 39, Pasal 47 ayat (2), Pasal 48, dan Pasal 50 ayat (1)
Peraturan Pemerintah ini yang diduga dapat menimbulkan dan/atau mengakibatkan
pencemaran udara dan/atau gangguan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal
41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46 dan Pasal 47 Undang-undang Nomor 23
Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. (2) Barangsiapa melanggar ketentuan
dalam Pasal 33 yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, Pasal 36 ayat (1), Pasal 40
yang berkaitan dengan kendaraan bermotor lama, dan Pasal 43 ayat (1) Peraturan Pemerintah
ini yang tidak memenuhi persyaratan ambang batas emisi gas buang, atau ambang batas
kebisingan diancam dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 67 Undang-undang Nomor
14 tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
BAB VIII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 57

Selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah ini setiap


usaha dan/atau kegiatan yang telah memiliki izin, wajib menyesuaikan menurut persyaratan
berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.

BAB IX

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 58

Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundang-undangan tentang
pengendalian pencemaran udara yang telah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan
dengan dan belum diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Pasal 59 Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya,
memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ttd

BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE

Diundangkan di Jakarta pada tanggal 26 Mei 1999

MENTERI NEGARA SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA

ttd

PROF. DR. H. MULADI, S.H.


BAB III
Pembahasan

3.1. Sumber Air PLTU Muara Karang


Sumber Air berasal dari Air laut di kepulauan Seribu.

3.2. Karakteristik Air Laut PLTU Muara Karaang


3.2.1. Temperatur
Perubahan temperatur air laut disebabkan oleh perpindahan panas dari
massa yang satu ke massa yang lainnya. Kenaikan temperatur permukaan laut
disebabkan oleh :
Radiasi dari angkasa dan matahari
Konduksi panas dari atmosfir
Kondensasi uap air
Penurunan temperatur permukaan laut disebabkan oleh :
Radiasi balik permukaan laut ke atmosfir
Konduksi balik panas ke atmosfir
Evaporasi (penguapan)
Matahari mempunyai efek yang paling besar terhadap perubahan suhu
permukaan Laut
Variasi perubahan temperatur dipengaruhi juga oleh posisi geografis
wilayah perairan
Para Ahli Oseanografi membagi pola temperatur dalam arah vertikal
menjadi tiga lapisan :
Well-mixed surface layer (10 - 500 m)
Thermocline, lapisan transisi (500 - 1000 m)
Lapisan yang relatif homogen dan dingin (> 1000 m)
Lapisan Thermocline : Lapisan dimana kecepatan perubahan temperatur
cepat sekali
Bentuk pola temperatur dalam arah vertikal sangat dipengaruhi oleh dua
faktor, yaitu :
Posisi geografis daerah perairan
Waktu, berkaitan dengan musim

3.2.2. Salinitas
Lautan terdiri dari :
Air sebanyak 96,5 %
Material terlarut dalam bentuk molekul dan ion sebanyak 3,5 %
Material yang terlarut tersebut 89 % terdiri dari garam Chlor, sedangkan
sisanya 11 % terdiri dari unsur-unsur lainnya

Salinitas adalah jumlah total material terlarut (yang dinyatakan dalam


gram) yang terkandung dalam 1 kg air laut, Satuan salinitas : 0/00 (per mil)
Faktor utama yang mempengaruhi perubahan salinitas, yaitu :
Evaporasi (penguapan) air laut
Hujan
Mencair/membekunya es
Aliran sungai menuju ke laut
Para Ahli Oseanografi membagi pola salinitas dalam arah vertikal
menjadi empat lapisan :
Well-mixed surface zone, dengan ketebalan 50 - 100 m (salinitas seragam)
Halocline, zona dimana salinitas berubah dengan cepat sesuai dengan
bertambahnya kedalaman
Zona di bawah Halocline sampai ke dasar laut, dengan salinitas yang relatif
homogen
Zona Berkala (Occasional Zone), pada kedalaman 600 - 1000 m, dimana
terdapat nilai salinitas minimum
Salinitas air laut di seluruh wilayah perairan di dunia berkisar antara 33
- 37 0/00 , dengan nilai median 34,7 0/00 , namun di Laut Merah dapat mencapai
40 0/00
Salinitas air laut tertinggi terjadi di sekitar wilayah ekuator, sedangkan
terendahdapat terjadi di daerah kutub, walaupun pada kenyataannya sekitar 75
% air laut mempunyai salinitas antara 34,5 0/00 - 35,0 0/00

3.2.3. Densitas
Densitas air laut merupakan jumlah massa air laut per satu satuan volume
Densitas merupakan fungsi langsung dari kedalaman laut, serta dipengaruhi
juga oleh salinitas, temperatur, dan tekanan
Pada umumnya nilai densitas (berkisar antara 1,02 - 1,07 gr/cm3) akan
bertambah sesuai dengan bertambahnya salinitas dan tekanan serta
berkurangnya temperatur
Perubahan densitas dapat disebabkan oleh proses-proses :
Evaporasi di permukaan laut
Massa air pada kedalaman < 100 m sangat dipengaruhi oleh angin dan
gelombang, sehingga besarnya densitas relatif homogen
Di bawah lapisan ini terjadi perubahan temperatur yang cukup besar
(Thermocline) dan juga salinitas (Halocline), sehingga menghasilkan pola
perubahan densitas yang cukup besar (Pynocline)
Di bawah Pynocline hingga ke dasar laut mempunyai densitas yang lebih
padat Stabilitas air laut dipengaruhi oleh perbedaan densitasnya, yang disebut
dengan Sirkulasi Densitas atau Thermohaline
Dalam kegiatan pemeruman (pengukuran kedalaman dengan alat
Echosounder), salinitas dan temperatur yang diperoleh dari pengukuran pada
interval kedalaman tertentu sangat berguna untuk menentukan :
Cepat rambat gelombang akustik
Menentukan pembelokan arah perambatan gelombang akustik (refraksi)

3.3. Pengolahan dan Pemurnian Air PLTU Muara Karang

3.3.1. Raw Water

o Raw water adalah air yang diperoleh dari dalam tanah dengan bantuan
submersible pump dan sudah mengalami desinfeksi menggunakan chlorin
kemudian ditampung di tanki penyimpanan.
o Air ini dikenal juga sebagai deep well water
o Pemakaian air ini adalah untuk proses sehari-hari diindistri seperti pencucian di
kantin penyiraman tanah, dan untuk kamar mandi dan toilet

3.3.2. Desaltination Plant

o Desalination plant adalah metode perubahan fase, yaitu air laut yang dipanaskan
untuk menghasilkan uap air. Kemudian dikondensasi untuk menghasilkan air
tawar
o Ada beberapa metode desalination plan
o Ditinjau dari media pemisah desalination plant dibagi menjadi dua yaitu
pemisah membran dan therma
o Pada pemisah membran ada dua metode yaitu electrodialysis (ED) dan reverse
osmosis (RO)
o Electrodialysis menggunakan potensial listrik untuk memisahkan garam yang
melalui membran
o Fresh water tertinggal di belakang sebagai hasil produk.
o Sedangkan reverse osmosis menggunakan metoda tekanan, tekanan digunakan
untuk memisahkan fresh water yang mengalir melalui membran dan garam
tertinggal dibelakang.

3.3.3. Deminarelitation Plant


o Demineralisasi adalah proses penghilangan ion2 terlarut yang tidak diinginkan,
yang terdapat dalam air baku
o Proses ini dilakukan untuk treatment air umpan boiler, untuk mencegah
terbentuknya kerak2 pada permukaan peralatan boiler. Adanya kerak akan
menurunkan efisiensi pertukaran panas

Ada 4 tahap dalam proses demineralisasi yaitu : Service, Backwash,


Regenerasi, Pembilasan

Tahapan proses demineralisasi

1. Service
Pada tahap ini akan dipasang seri dalam dua kolom terpisah
Air bakunya melewati catex dulu lalu kemudian melewati anex
Urutan ini bisa dibalik bahkan bisa juga dicampur dalam 1 bed, disebut
mixed bed
Ketika air baku melewati resin, terjadi reaksi dimana komponen kesadahan
(Ca2+ dan Mg2+) dalam air ditukar dengan ion Na+ dari resin. Reaksi yang
terjadi :

R (-SO3Na)2 + Mg 2+ R (-SO3)2 Ca + 2Na+

R (-SO3Na)2 + Mg 2+ R (-SO3)2 Mg + 2Na+

2. Backwash

Resin atau penukar ion memiliki kapasitas terbatas dalam penukaran ion
hingga akhirnya resin menjadi jenuh. Oleh karena itu, resin harus diregenerasi
dengan melakukan backwash menggunakan larutan regenarasi yang kuat sperti HCl
untuk anex dan NaOH untuk catex. Resin penukar ion kehilangan kemampuan
tukarnya sekitar 10%. Air bersih dialirkan dari bawah ke atas agar memecah
susunan tumpukan resin dan melepaskan padatan halus yang terperangkap di
dalamnya

3. Regenerasi
Tahap ini bertujuan untuk mengganti ion yang terjerap resin dan
mengembalikan kapasitas tukar resin. Larutan regenarasi (HCl dan NaOH)
dialirkan ke dalam media dari atas. Diikuti dengan proses slow rinse untuk
mendorong regeneran ke dalam media resin dan fast rinse untuk menghilangkan
sisa regenerant dari resin

4. Pembilasan
Air dengan kecepatan tinggi dimasukkan ke dalam media resin. Air akan
membilas pertikulat di dalam media resin juga ion Ca2+ dan mg2+ serta sisa-sisa
larutan regenerasi yang terperangkap di dalam resin. Pembilasan dilakukan dengan
air bersih dengan arah aliran dari atas ke bawah
3.3.4. Deaerator
o Deaerasi digunakan untuk menghilangkan gas-gas terlarut (oksigen, carbon
dioksida) dalam air umpan karen gas-gas ini akan menyebabkan permasalan
korosi di dalam sistem ketel uap
o Deaerasi menggunakan prinsip dasar bahwa kelarutan gas-gas terlarut didalam
air menjadi nol pada titik didihnya, sehingga pengolahan dengan cara ini dibagi
menjadi 2, yaitu deaerasi secara vakum dan deaerasi secara pemanasan.
o Pada PLTU muara karang, menggunakan metode deaerasi pemanasan
o Gas-gas terlarut didalam air umpan ketel uap dihilangkan dengan cara
memanaskan air umpan tersebut sampai mencapai suhu jenuh steam. Sistem ini
secara luas digunakan pada ketel uap bertekanan menengah dan tinggi karena
oksigen terlarut di dalam air umpan dengan cara ini dapat dideaerasi sampai di
bawah 0,007 mg/L
o Air umpan dipancarkan keatas dari nozzle spray, membuat lapisan (film) air
o Dan setelah menabrak plate ceiling (loteng/ dinding atas) air tersebut jatuh ke
annular tray dan selanjutnya jatuh dalam bentuk tetesan-tetesan kecil dari
perforasi tray bawah ke permukaan air di dalam drum
o Disini air umpan dideaerasi dengan mengontakkan steam secara langsung.
o Steam yang mengandung gas-gas (telah dipisahkan/lepas) melewati ruangan
diantara pipa umpan dan pipa support dan diventingkan ke atmosfer

3.4. Hubungan dengan Undang Undang


Berdasarkan analisis kami limbah yang dibuang oleh pengolahan air yang dilakukan
dan di buang ke laut itu tidak mencemari air laut itu sendiri dikarenakan air yang dibuang itu
berasal dari kondensat yang kemudian di buang sehingga air yang keluar dari kondensat
merupakan air yang tidak mengandung banyak kandungan yang mencemari air laut jadi tidak
melanggar PP No 19 th 1999 tentang pengendalian dan pencemaran laut.

Namun ada gas buang yang keluar dari katup gas buang yang mencemari udara
dilingkungan sekitar sehingga ada pelanggaran pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 41 tahun 1999 Tentang pengendalian pencemaran udara.
BAB IV

Kesimpulan dan Saran


4.1. Kesimpulan

Berdasarkan Pembahasan tersebut dapat disimpulkan bahwa :

Sumber air laut berasal dari Laut kepulauan seribu.


Karakteristik Sumber air Laut adalah Temperatur, Salinitas, dan Densitas.
Proses pengolahan air di PLTU muara karang ada 3 tahap yaitu Raw Water,
Desaltination Plant, Deminarelitation Plant, dan Deaerator.
Air limbah yang dihasilkan tidak mencemari air laut karena air limbah yang
dihasilkan berasal dari kondensor dimana air yang sudah di kondensasikan.
Pencemaranya terletak pada gas buang yang dihasilkan, karena gas buang
tersebut mencemari udara disekitar da melangga undang undang yang berlaku

4.2. Saran.

Penanggulangan yang kami sarankan untuk limbah gas buang yang dihasilkan
adalah Filter udara yang digunakan untuk menangkap debu / partikel yang
keluar dari cerobong atau stack.

Filter udara :

o Pengendap siklon
o Pengendap basah
o Pengendap sistem Gravitasi
o Pengendap elektrostatik

Saran dari kelompok kami ketika melakukan penelitian harus langsung terjun
kelapangan tidak hanya mencari referensi yang ada.
Daftar Pustaka :

http://dokumen.tips/documents/penolahan-air-pada-pltu-muara-karang.html#

https://alamendah.org/peraturan-hukum/undang-undang/pp-no-19-tahun-1999-tentang-
pengendalian-pencemaran-dan-atau-perusakan-laut/

http://dzulfikaar.blogspot.co.id/2012/03/karakteristik-air-laut.html

http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=108:pp-no-41199-
tentang-p

http://artikel-teknologi.com/pengolahan-air-di-pltu/

http://rohmattullah.student.telkomuniversity.ac.id/siklus-cara-kerja-pltu/

http://www.terangi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=108:pp-no-
41199-tentang-p

http://www.ptpjb.com/id/profil-menu/dewan-komisaris/115-profil/367-unit-pembangkitan-
muara-karang.html

https://id.wikipedia.org/wiki/Unit_Pembangkitan_Muara_Karang

Anda mungkin juga menyukai