Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Alergi makanan merupakan suatu reaksi klinis yang tidak dinginkan terhadap
makanan secara imunologis. Berbagai jenis manifestasi klinik reaksi hipersensitivitas tipe I
menurut Gell dan Coomb di antaranya adalah disebabkan reaksi alergi terhadap makanan.1
Alergi makanan merupakan salah satu masalah alergi yang penting pada anak karena
makanan merupakan suatu zat yang mutlak diperlukan pada tumbuh kembang anak. Bila
anak mempunyai alergi terhadap bahan makanan utama yang sangat diperlukan pada proses
tumbuh kembangnya, maka keadaan ini akan merugikan tumbuh kembangnya di kemudian
hari.1
Sekitar 20% anak dalam 1 tahun pertama pernah mengalami reaksi terhadap makanan
yang diberikan (adverse reaction), termasuk yang disebabkan oleh reaksi alergi. Sebetulnya
semua makanan dapat menimbulkan reaksi alergi, akan tetapi antara satu makanan dengan
makanan lain mepunyai derajat alergenitas yang berbeda.1
Saat ini dikembangkan cara modern dalam mengatasi penyakit alergi, yaitu dengan
cara pendekatan nutrisi yang dapat mencegah atau menekan reaksi inflamasi, seperti
pemberian fraksi peptida protein spesifik yang ditoleransi usus, serta penggunaan komponen
spesifik makanan sehari-hari, seperti asam lemak dan antioksidan. Probiotik merupakan
contoh komponen imunomodulator yang diberikan pada pasien alergi.1

1.2. Tujuan
a. Tujuan umum
Penulisan Clinical Science Session (CSS) ini bertujuan untuk melengkapi syarat
kepanitraan klinik senior (KKS) Ilmu Kesehatan Anak Di Rumah Sakit Daerah
(RSUD) Solok.
b. Tujuan khusus
Mengetahui hal-hal yang berhubungan dengan leukemia akut
Definisi
Epidemiologi
Etiologi
Patofisiologi
Gejala klinis
Diagnosis
Pemeriksaan penunjang
Penatalaksanaan
Prognosa
BAB 2
TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1. Definisi 2,10


Tidak semua reaksi yang tidak diinginkan terhadap makanan melalui mekanisme
alergi yang murni (reaksi hipersensitivitas tipe I). Akan tetapi banyak pasien maupun dokter
menggunakan istilah Alergi Makanan untuk semua reaksi yang tidak dinginkan terhadap
makanan, baik yang imunologik maupun non imunologik. Karena itu, oleh The American
Academy and Immunology dan The National Intitute of Allergy and Infections Disease dibuat
batasan, yaitu :

1. Reaksi Simpang Makanan (Adverse food reactions)


Reaksi simpang makanan adalah suatu istilah umum untuk reaksi yang tidak
diinginkan terhadap makanan . Reaksi ini dapat merupakan reaksi skunder terhadap alergi
makanan atau intoleransi makanan.

2. Alergi Makanan (Food Allergy)


Alergi makanan adalah reaksi imunologik yang menyimpang, sebagian besar reaksi
ini melalui reaksi hipersensitivitas tipe I.

3. Intoleransi Makanan
Istilah umum untuk semua respons fisiologis yang abnormal terhadap makanan.aditif
makanan yang ditelan. Intoleransi makanan adalah reaksi non imunologik dan merupakan
sebagian besar penyebab reaksi yang tidak dinginkan terhadap makanan. Reaksi ini dapat
disebabkan oleh zat yang terkandung didalam makanan seperti kontaminan toksik (misalnya
histamin pada keracunan ikan, toksin yang disekresi oleh salmonella, shigela, dan
kampilobacter), zat farmakologik yang terkandung dalam makanan (misalnya kafein, kopi,
tiramin pada keju), atau karena kelainan pada pejamu sendiri, misalnya gangguan
metabolisme pada defisiensi laktase dan maltase, maupun suatu respons idiosinkrasi pada
pejamu.
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan. Dalam kepustakaan
dapat kita jumpai istilah alergi makanan yang dipakai untuk menyatakan suatu reaksi
terhadap makanan yang dasarnya adalah reaksi hipersensitivitas tipe I, sedangkan
hipersensitivitas makanan yang dipakai untuk reaksi terhadap makanan yang dasarnya adalah
reaksi hipersensitivitas tipe III atau IV. Sedangkan istilah intoleransi makanan dapat dipakai
untuk menyatakan reaksi terhadap makanan yang dasarnya bukan reaksi imunologik,
misalnya reaksi toksik, reaksi metabolik, dan reaksi idiosinkrasi.
Reaksi hipersensitivitas terhadap makanan adalah respons imun yang terjadi setelah
memakan makanan atau zat adiktif tertentu. Reaksi hipersensitivitas dibagi atas 4 tipe
menurut Gell dan Coombs. Mekanisme yang terjadi pada reaksi alergi sering merupakan
kombinasi dari keempat tipe reaksi hipersensitivitas tersebut.

Gambar 1. Reaksi Simpang Makanan 9

2.2. Epidemiologi
Alergi makanan adalah suatu kumpulan gejala yang mengenai banyak organ dan
sistem tubuh yang ditimbulkan oleh alergi terhadap bahan makanan, merupakan respons
imunologis terhadap antigen makanan spesifik, sebagian besar reaksi ini melalui reaksi
hipersensitivitas tipe I, dapat diklasifikasikan menjadi dengan perantaraan imunoglobulin (Ig)
E dan tanpa IgE.12,3 Pada tahun pertama kehidupan, 6% anak berusia kurang dari 3 tahun
paling sering menderita alergi makanan. Umumnya, pada umur 5-6 tahun alergi makanan
akan hilang, kecuali alergi kacang tanah dan alergi terhadap jenis ikan laut dan kerang-
kerangan.
Di Amerika, prevalensi alergi makanan sekitar 6% (anak usia 1-3 tahun), 2%-3% bayi
dan balita dengan alergi susu sapi, 1,5% alergi telur, dan 0,6% alergi kacang.4,5 Di negara
berkembang, insiden alergi makanan juga meningkat dengan susu sapi merupakan alergen
makanan tersering untuk bayi.6 Berdasarkan laporan keluhan langsung (subjektif), prevalensi
alergi makanan bervariasi antara 3%- 33%. Sementara itu, prevalensi berdasarkan hasil
penelitian terbuka atau tersamar ganda didapatkan hasil yang lebih rendah, berkisar antara
1%-10,8%.4 Secara keseluruhan, prevalensi laporan langsung atau kuesioner alergi makanan
di Asia berkisar 3,4%- 11,1%.6 Gejala alergi makanan dapat terjadi pada berbagai organ,
seperti kulit, saluran napas, saluran cerna, kardiovaskular, mata, dan telinga. Gejala
anafilaksis, seperti pembengkakan lidah dan palatum, sakit tenggorok, urtikaria, dan
angioedema dapat ditimbulkan akibat alergi makanan.2
Dermatitis atopik merupakan manifestasi klinis utama alergi makanan dengan insiden
tertinggi terjadi pada 3 bulan pertama kehidupan dan prevalensi tertinggi pada 3 tahun
pertama kehidupan. Istilah allergic march (Gambar 1) atau atopic march dianggap sebagai
perjalanan alamiah manifestasi atopi.6 Hal ini merupakan fenomena penyakit alergi, yaitu
manifestasi klinis sesuai dengan progresivitas tahapan kehidupan.7
Prevalensi alergi makanan menurut oenelitian terbaru di tahun 2015, pada anak usia
kurang dari 3 tahun di Jakarta, berbasis survei daring 10,5%. 30% subjek dengan diagnosis
alergi makanan dari yang terduga alergi makanan. Berdasarkan laporan orangtua, jenis
keluhan tersering alergi makanan adalah reaksi kulit berupa dermatitis. Jenis makanan
tersering penyebab alergi adalah susu sapi. Alergi makanan banyak ditemukan pada anak
yang mendapatkan ASI hingga usia 12 bulan, baik ASI eksklusif maupun campur, ASI
eksklusif diberikan kurang dari 6 bulan, serta makanan pendamping di usia 2-4 bulan. Alergi
makanan yang dijumpai sebagian besar memiliki kejadian alergi dalam keluarga, hubungan
keluarga tersering adalah ibu kandung, dan penyakit alergi tersering adalah asma. Untuk
mendapatkan jumlah populasi target penelitian berbasis survei daring, sebaiknya
memperhatikan jumlah halaman elektronik kuesioner daring yang dimuat, kuesioner dapat
diunduh dan dikerjakan luar jaringan (luring)/offline.
Angka kejadian alergi makanan, banyak diteliti dan dilaporkan dengan hasil yang
bervariasi. Departemen pertanian Amerika Serikat melaporkan sekitar 15% populasi
mempunyai alergi terhadap makanan atau ingredient makanan tertentu. Di poliklinik alergi
imunologi departemen ilmu kesehatan anak FKUI/RSCM, dari hasil uji kulit terhadap 69
penderita asma alergi didapatkan 45,31% positif terhadap kepiting, 37,53% terhadap udang
kecil, 26,56% terhadap cokelat. Dari seluruh anakan penderita alergi, sekitar 2,4% adalah
alergi terhadap susu sapi. Penelitian merupakan angka kejadian alergi susu sapi (ASS) sekitar
4,1%.1
Prevalensi alergi makanan dalam dekade terakhir ini tampaknya meningkat. Spektrum
alergi makanan dalam dekade terakhir relatif tidak berubah. Susu sapi, telur, kacang tanah,
gandum, kacang polong, ikan, dan kerang masih merupakan alergen utama pada masa anak.1

2.3. Etiologi
2.3.1. Faktor Penyebab Terjadinya Alergi
Terdapat 3 faktor penyebab terjadinya alergi makanan, yaitu faktor genetik, imaturitas
usus, dan pajanan alergen, yang kadang-kadang memerlukan suatu faktor pencetus.2

1. Faktor Genetik
Pada anak yang salah satu orang tuanya atopi kemungkinan terjadinya alergi adalah
sebesar 17-29%, sedangkan bila kedua orang rua atopi makan kemungkinana alergi adalah
53-58%. Anaka dengan HLA-BB (pada RAS putih HLA-BB Dw3) cenderung mendapat
alergi.2

2. Imaturitas Usus
Secara mekanik, integritas mukosa usus dan peristaltik merupakan pelindung
masuknya alergen ke dalam tubuh. Secara kimiawi, asam lambung dan enzim pencernaan
menyebabkan denaturasi alergen. Secara imunologik, sIgA pada permukaan mukosa dan
limfosit pada lamina propria dapat menangkal alergen masuk ke dalam tubuh. Pada usus
imatur sistem pertahanan tersebut masih lemah dan gagal berfungsi sehingga memudahkan
alergen masuk ke dalam tubuh.2

3. Pajanan Alergen 2
Pajanan alergen yang merangsang produksi IgE spesifik sudah dapat terjadi sejak bayi
dalam kandungan. Diketahui adanya IgE spesifik pada janin terhadap penisilin, gandum,
susu, atau telur walaupun hal ini jarang terdapat (1% dari seluruh kelahiran).
Pajanan juga terjadi pada masa bayi. Pemberian ASI eksklusif mengurangi jumlah
bayi yang hipersensitif terhadap makanan pada tahun pertama kehidupan. Pemberia PASI
pada bayi cenderung meningkatkan angka kejadian alergi. Dibanding dengan air susu sapi
maka ASI dapat mengurangi kejadian eksema sebanyak 7 kali lipat. Eliminasi telur, susu, dan
ikan pada ibu yang mneyusui selama 3 bulan pertama mengurangi sensitivitas selama 3 bulan
berikutnya, dan meurunkan kejadian dermatitis atopik 6 bulan berikutnya.
Pajanan terhadap alergen tergantung juga pada kebiasaan dan norma kehidupan
setempat. Di negara skandanavia tidak dijumpai alergi terhadap kacang tanah, sedangkan di
Amerika banyak dijumpai. Alergi ikan banyak dijumpai di Jepang, alergi gandum banyak
dijumpai di Amerika, sedangkan di Indonesia mulai banyak dijumpai alegi beras. Susu
kedelai yang dhulu dianggap hipoalergenik sekarang mulai banyak dilaporkan sebagai
penyebab alegi karenamakin banyak pajanan terhadap susu keledai tersebut. Prang tua
tersebut sering kali mengetahui makanan kesukaan anak, dan tidak jarang gejala alergi akan
menghilang kalau makanan kesukaan ini dihindari.
Faktor pencetus sebetulnya bukan penyebab serangan alergi tetapi menyulut
terjadinya gejala alergi. Tanpa pajanan alergen maka faktor pencetus tidak akan berarti.
Faktor pencetus dapat berupa faktor fisik misalnya dingin, panas, hujan; faktor psikis,
misalnya sedih, stres, menghadapi ujian; atau beban latihan misalny lari, sepak bola, lelah.

2.3.2. Makanan Yang Mencetuskan Alergi 1


Beberapa jenis makanan yang dapat menimbulkan alergi pada anak dapat digolongkan
menurut kekerapannya sebagai berikut:
1. Golongan makanan yang paling sering menimbulkan alergi
Makanan yang termasuk golongan ini, antara lain susu sapi/kambing, telur, kacang-
kacangan, ikan laut, kedelai serta gandum.
a. Susu sapi / kambing
Protein susu sapi merupakan protein asing yang pertama kali dikenal oleh bayi.
Susu sapi mengandung sedikitnya 20 komponen protein yang dapat merangsang
pembentukan antibodi pada manusia. Fraksi protein susu sapi terdiri dari protein casein
dan whey. Beberapa protein whey dapat didenaturasi dengan pemanasan yang
ekstensif. Akan tetapi pada tindakan pasteurisasi rutin, tidak cukup untuk menimbulkan
denaturasi protein ini dan bahkan dapat meningkatkan sifat alergenitas beberapa jenis
protein susu sapi, seperti beta lacto globulin. Gejala awal yang timbul biasanya gejala
pada saluran cerna, seperti diare dan muntah. Protein susu sapi dapat menimbulkan
alergi, baik dalam bentuk susu murni atau bentuk lain, seperti es krim, keju dan kue.
Anak yang mempunyai alergi terhadap daging sapi atau bulu sapi.
b. Telur Ayam
Telur ayam juga merupakan alergen yang penting pada anak terutama anak yang
menderita dermatitis atopik. Kuning telur dianggap kurang alergenik dari pada putih
telur. Kuning telur dianggap kurang alergenik daripada putih telur. Putih telur
mengandung sekitar 23 glikoprotein dan yang merupakan alergen utama adalah
ovalbumin, ovomucoid, dan ovotranferin. Anak yang mempunyai alergi terhadap telur
belum tentu mempunyai alergi terhadap daging ayam maupun bulu ayam maupun bulu
ayam, akan tetapi dapat timbul reaksi alergi bila diberikan vaksin yang ditanam pada
kuning telur, seperti misalnya vaksin campak. Antibodi IgE spesifik terhadap putih
telur ayam dibuktikan juga mempunyai reaksi silang dengan protein telur jenis unggas
yang lain.
c. Kacang-kacangan
Kacang tanah, kacang mede dan sejenisnya dapat menyebabkan reaksi , akan tetapi
biasanya bersifat ringan. Gejalanya biasanya berupa gatal-gatal di tenggorokan.
Walaupun demikian, di Amerika Serikat, alergi terhadap kacang dilaporkan sebagai
penyebab kematian tersering karena reaksi anafilaksis. Protein kacang-kacangan, terdiri
dari albumin (yang larut dalam air) dan globulin (yang tidak larut dalam air).
d. Ikan
Ikan merupakan alergen yang kuat terutama ikan laut. Bentuk reaksi alergi yang
sering berupa urtikaria atau asma. Pada anak yang sangat sensitif, dengan hanya
mencium bau ikan yang sedang dimasak, dapat juga menimbulkan sesak nafas dan
bersin. Jenis hidangan laut lain (sea food) yang sering menimbulkan alergi adalah
udang kecil, udang besar (lobster) serta kepiting. Gejala yang sering timbul adalah
urtikaria serta angioedema. Alergi terhadap ikan laut, dengan proses pemasakan
(pemanasan), sebagian besar dapat menghancurkan alergen utama yang ada dalam
hidangan laut ini.
e. Kacang Kedele
Kacang kedele dilaporkan banyak menimbulkan reaksi hipersensitivitas pada bayi
dan anak. Walaupun belum banyak ditemukan di Indonesia, penelitian di departemen
ilmu kesehatan anak, FKUI RSCM mendapatkan sekitar 17% anak yang alergi susu
sapi alergi juga terhadap susu kedele. Karena harganya murah, kacang kdele banyak
dikonsumsi. Kurang lebih 10% protein yang terkandung adalah albumin yang larut
dalam air dan sisanya adalah globulin yang larit dalam garam. Sifat alergenitas kacang
kedele akan berkurang pada pemanasan. Kacang kedele ini banyak digunakan sebagai
bahan pengganti susu sapi pada penderita alergi susu sapi.
f. Gandum
Gandum biasanya dapat menimbulkan reaksi alergi dalam bentuk tepung bila
dihirup (bakers asthma). Bila dimakan, tidak selalu menimbulkan alergi karena gandum
dicerna oleh enzim pencernaan di lambung

2. Golongan Makanan yang Relatif Jarang Menimbulkan Alergi


Makanan yang termasuk golongan ini, antara lain daging ayam, daging babi, daging
sapi, kentang cokelat, jagung (nasi), jeruk serta bahan-bahan aditif makanan. Reaksi terhadap
buah-buahan seperti jeruk, tomat, apel relatif sering dlaporkan , tetapi sebagian besar mulai
timbul pada usia 15 bulan dengan gejala yang berlangsung agak lama. Gejala alergi terhadap
buah-buahan umumnya berupa gatal-gatal di mulut. Jeruk sering dapat menyebabkan gatal
serta kemerahan pada kulit bayi.
Sifat alergenitas buah dan sayur dapat berkurang bila disimpan dalam freezer selama
2 minggu atau dimasak selama 2 menit. Sampai sekarang belum ada data yang menunjukkan
bahwa reaksi terhadap buah-buahan ini murni karena alergi yang diperani oleh IgE.

3. Bahan Aditif Pada Makanan


Selain golongan makanan yang telah disebutkan di atas, beberapa jenis bahan yang
ditambahakan pada makanan juga dapat menimbulkan reaksi alergi sehingga sering salah
duga dengan bahan makanan aslinya sebagai penyebab alergi. Bahan aditif dapat berupa
bahan alami, seperti bambu atau dapat juga berupa bahan sintetis, misalnya bahan pengawet,
pewarna, serta penyebab makanan misalnya vetsin. Biasanya bahan aditif alami lebih aman
dibandingkan dengan bahan sintetis. Menurut fungsinya, bahan aditif ini dapat dibagi
beberapa kelompok, yaitu bahan pewarna, bahan pengawet, bahan penambah rasa, serta
bahan emulsi dan stabilisator makanan. Bahan pewarna yang sering menimbulkan reaksi
alergi adalah tatrazine, bahan pengawet asam benzoat. Bahan penambah rasa yang sering
menimbulkan reaksi alergi adalah monosodium glutamat yang terkenal dengan gejala chinese
restaurant syndrome.

2.4. Mekanisme Pertahanan Saluran Cerna Dalam Reaksi Alergi 1


Fungsi utama saluran cerna adalah memproses makanan yang dicerna menjadi bentuk
yang dapat diserap dan digunakan untuk energi dan pertumbuhan sel. Selama proses ini,
mekanisme imunologik dan non imunologik berperan dalam pencegahan masuknya antigen
asing (bakteri, virus, parasit, protein makanan) ke dalam tubuh melalui saluran cerna.

1. Mekanisme Imunologik
- Pencegahan penetrasi antigen yang ditelan:
o IgA sekretorik spesifik dalam lumen usus
- Eliminasi antigen yang lolos masuk ke dalam tubuh melalui saluran cerna
o IgA dan IgG spesifik serum
o Sistem retikulo endotelial
2. Mekanisme Non Imonologik/fisiologik
- Pemecahan antigen yang ditelan
o Asam lambung dan pepsin
o Enzim intestinal
o Aktivitas lisosom sel epitel usus
- Pencegahan penetrasi antigen yang ditelan
o Lapisan mukus intestinal
o Komposisi membran mikrovolus intestinal
o Persitaltik usus
Imaturitas mekanisme pertahanan saluran cerna dapat menerangkan mengapa alergi
makanan mudah terjadi pada pemberian makanan dengan alergenitas yang tinggi pada bayi
usia dini.

2.5. Patofisiologi 2
Alergen dalam makanan adalah protein, glikoprotein atau polipeptida dengan besar
molekul lebih dari 18.000 dalton, tahan panas, dan tahan enzim proteolitik. Pada pemurnian
alergen pada ikan diketahui alergen-M sebagai determinan walaupun jumlahnya hanya
sedikit. Pada telur ovomukoid diketahui merupakan alergen utama.
Betalaktoglobulin (BLG), alfalaktalbumin (ALA), bovin serum albumin (BSA) dan
bovin gama globulin (BGG) merupakan alergen utama dalam susu sapi. BLG adalah alergen
yang paling kuat. Protein kacang tanah yang terpenting sebagai alergen adalah arachin dan
conarachin, sedangkan pada pemurnian ditemukan alergen yang disebut sebagaia Peanut-l
yaitu suatu glikoprotein dengan berat molekul 180.000 dalton. Pemurnian pada udang
mendapatkan alergen-l dan alergen-2 masing-masing dengan berat molekul 21.000 dalton dan
200.000 dalton. Albumin, pseudoglobulin dan euglobulin adalah alergen utama pada gandum.
Pada paparan awal, alergen makanan akan dikenali oleh sel penyaji antigen untuk
selanjutnya mengekspresikan pada sel T secara langsung atau melalui sitokin. Sel T
tersensitisasi dan akan merangsang sel B menghasilkan antibodi dari berbagai subtipe.
Alergen yang utuh diserap oleh usus dalam jumlah cukup banyak dan mencapai sel-sel
pembentuk antibodi di dalam mukosa usus dan organ limfoid usus, yang pada kebanyakan
anak-anak membentuk antibodi dari subtipe IgG, IgA dan IgM. Pada anak-anak atopi
cenderung terbntuk IgE lebih banyak yang selanjutnya mengadakan sensitisasi sel mast pada
saluran cerna, saluran nafas, dan kulit. Bayi yang sangat atopi juga mendapat sensitisasi
melalui air susu ibu terhadapa makanan yang dikonsumsi ibu. Bayi-bayi dengan alergi awal
terhadap satu makanan, misalnya susu, juga mempunyai resiko yang tinggi untuk
berkembang menjadi alergi terhadap makanan lain. Pembuatan antibodi IgE dimulai sejak
paparan awal dan berlanjut walaupun dilakukan diet eliminasi. Komplemen akan mulai
mengalami aktivasi oleh kompleks antigen antibodi.
Pada paparan selanjutnya mulai terjadi produksi sitokin oleh sel T. Sitokin
mempunyai berbagai efek terhadap berbagai sel terutama dalam menarik sel-sel radang
misalnya neutrofil dan eosinofil, sehingga menimbulkan reaksi peradangan. Aktivasi
komplemen dan terjadinya kompleks imun akan menarik neutrofil.
Kombinasi alergen dengan IgE pada sel mast bisa terjadi ketikan IgE telah melekat
pada sel mast, atau ketika IgE masih belum melekat pada sel mast, atau IgE telah melekat
pada sel mast kemudian diaktivasi oleh pasangan non spesifik. Kombinasi ini akan
menimbulkan degranulasi mediator. Gejala klinis yang timbul adalah hasil interaksi mediator,
sitokin dan kerusakan jaringan yang ditimbulkannya.

Gambar 2. Patogenesa Alergi Makanan


2.6. Manifestasi Klinis
Dari segi klinis dan penanganan perlu dibedakan reaksi yang terjadi diperantarai IgE
dan yang tidak diperantarai IgE.8

a. Reaksi Hipersensitivitas Diperantarai IgE 8


Gambaran klinis reaksi alergi terhadap makanan terjadi melalui IgE dan menunjukkan
manifestasi terbatas: gastrointestinal, kulit dan sakuran napas. Tanda dan gejalanya
disebabkan oleh penglepasan histamin, leukotrien, prostaglandin dan sitokin. Awitan respons
alergi terjadi dalam 30 menit setelah mengkonsumsi makanan. Ada hubungan tidak erat
antara derajat alergi dan cepatnya awitan. Pasien yang sangat alergi dapat menimbulkan
menimbulkan reaksi dalam menit atau bahkan detik setelah konsumsi. Ciri kedua reaksi
alergi nampaknya tidak tergantung dosis. Reaksi berat yang terjadi oleh dosis kecil sama
dengan yang ditimbulkan dosis besar. Anafilaksis dapat terjadi hanya melalui kontak kacang
tanah dengan bibir atau setelah makan kacang tanah dalam jumlah besar. Ciri reaksi alergi
lainnya ialah terjadinya reaksi berat di berbagai tempat organ.
Mengapa alergen yang dimakan menimbulkan efek luas? Respons dapat berupa
urtikaria, ditentukan oleh distribusi random IgE pada sel mast di seluruh tubuh. Makanan
sebagian dicerna. Dalam usus kecil terjadi absorbsi direk peptida di plak peyer. Plak peyer
dilapisi sel berdindig tipis, disebut sel M yang memudahkan peptida masuk langsung ke
dalam plak peyer. Begitu sampai di senter germinal plak peyer, antigen diikat sel dendritik
dan sel langerhans. Sel-sel tersebut bermigrasi melalui saluran limfe dan menyebarkan
infromasi mengenai antigen dan dapat menimbulkan reaksi difus.

b. Reaksi Hipersensitivitas Non-IgE 8


Reaksi hipersensitivitas non-IgE akibat makanan umumnya bermanifestasi sebagai
gangguan saluran cerna dengan berbagai variasi, mulai dari mula, muntah, diare, steatorea,
nyeri abdomen, berat badan menurun. Pada beberapa kasus dapat ditemukan darah dalam
pemeriksaan fesesnya. Berlawanan dengan reaksi hipersensitivitas yang diperantarai IgE,
beratnya reaksi yang terjadi bergantung pada jumlah alergen yang dikonsumsi dan awitnnya
sangat bervariasi, mulai dari beberapa menit sampai beberapa jam kemudian.
Beberapa kasus reaksi hipersensitivitas non IgE mekanismenya diatur IgG, misalnya
hipersensitivitas terhadap gliadin, protein utama gandum yang terjadi pada sariawan. Pasien
menunjukkan tanda malabsorbsi dan steatorea akibat reaksi antara IgG terhadap gliadin dan
gandum. Reaksi terjadi di permukaan mukosa, meratakan vilus mikro dan malabsorbsi.
Pada umumnya pasien dengan hipersensitivitas menunjukkan reaksi berlebihan
terhadap makanan atau aditif. Sebagai contoh reaksi terhadap kafein, yang menimbulkan
kesulitan tidur setelah pasien mengkonsumsi kopi dalam jumlah sedikit. Banyak bahan kimia
yang dapat menimbulkan reaksi hipersensitivitas yang dapat dikaburkan dengan reaksi alergi
melalui IgE. Jenis reaksi hipersensitivitas terlihat pada tabel 1.

Tabel 1. Berbagai Mekanisme Hipersensitivitas Makanan

Manifestasi alergi makanan juga dapat berupa manifestasi lokal dan sistemik.
Manifestasi lokal biasanya karena kontak langsung dengan makanan. Pada kulit berupa
utikaria kontak, pada saluran napas berupa rinits atau asma setelah inhalasi partikel makanan,
dan pada saluran cerna misalnya sindrom alergi oral. Manifestasi sistemik terjado setelah
menelan makanan. Faktor penentu terjadinya reaksi sistemik ataupun lokal adalah reaksi
biokimia protein makanan tersebut, absorbsi dan proses dalam saluran cerna, respon imun
individu, dan hipereaktivitas terget organ. Berbagai macam alergi makanan pada target organ
tersebut dapat dilihat pada tabel 2.9
=
Tabel 2. Gejala Alergi Makanan9

Gejala klinis alergi makanan, terutama pada reaksi cepat, seringkali dapat
diungkapkan oleh penderita sendiri kalau ia cukup besar atau oleh orang tua pada anak yang
lebih kecil, karena hubungan sebab akibatnya cukup jelas. Alergi makanan fase lambat
seringkali memerlukan pertolongan dokter, dan ini merupakan bagian terbanyak dari
penderita alergi makanan.2
Gejala seringkali sudah dijumpai sejak masa bayi. Makanan tertentu dapat
menimbulkan gejala tertentu pada seorang anak, tetapi pada anak lain menimbulkan gejala
yang lain. Pada seseorang makanan yang satu dapat mempunyai organ sasaran yang lain
dengan makanan lain. Misalnya udang menyebabkan urtikaria, sedangkan kacang tanah
menyebabkan sesak napas. Susu sapi pada anak bisa menimbulkan gejala alergi padasaluran
napas, saluran cerna, kulit dan reaksi anfilaksis. Makanan lain juga dapat menimbulkan reaksi
anafilaksis. Susu formula hidrolisat kasein yang dianggap aman sabagai pengganti susu sapi
pernah pula dilaporkan menimbulkan rekasi anafilaksis.2
Gejala alergi makanan dapat terjadi berbagai organ sasaran seperti kulit, saluran
napas, saluran cerna, mata dan telinga. Organ sasaran yang terkena dapat berpindah. Tidak
jarang kita mendengar dari orang tua penderita bahwa sewaktu bayi, anaknya menderita
eksim, dan sekarang mengalami sesak napas. Atau, sulu anakanya sesak dan sekarang sudah
baik tetapi pileknya tidak sembuh-sembuh.2
Pada saluran cerna gejala yang dapat ditemukan berupa gatal pada bibir, mulut,
faring: sembab tenggorok, mual-muntah, nyeri perut, kembung, mencret, perdarahan usus,
protein-losing enteropathy. Pada saluran napas dapat berupa rinitis, asma bronkial, atau batuk
kronik berulang. Gejala klinis pada kulit adalah urtikaria, sembab Quincke, atau dermatitis
atopik. Pada sistem kardiovaskular alergi makanan dapat menimbulkan renjatan anafilaksis.2
Makanan seperti kacang, ikan laut, udang, susu sapi, telur, kacang kedelai sering
menyebabkan gejala anafilaksis dengan gejala pembengkakan lidah dan palatum, sakit
tenggorok, sakit mata, mual, sakit perut, urtikaria dan angioedema. Selain itu anafilaksis juga
dapat terjadi akibat penaruh latihan dan makanan yaitu gejala anafilaksis yang timbul setelah
makan suatu alergen kemudian diikuti latihan fisis. Misalnya pada seorang yang alergi
terhadap udang, EIA baru timbul bila setelah makan udang kemudian ia berlari-lari; bila tidak
lari-lari tidak akan timbul EIA.2

2.7. Diagnosis
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti merupakan hal terpenting dalam alergi
makanan. Kebanyakan reaksi cepat oleh makanan terjadi dalam beberapa menit, tetapi dapat
terjadi sampai 30 menit. Formulasikan makanan yang diduga sebagai penyebab, dan
singkirkan sebab-sebab lainnya. 8
Bila pada pasien yang diduga alergi terhadap makanan ditemukan tes kulit positif, yang
pertama harus dilakukan ialah mengeliminasi jenis makanan tersebut dari dietnya. Tes kulit
tidak dilakukan pada pasien dengan reaksi akut yang berat. Bila keadaan kronis (dermatitis
atopi, asma) dan/atau banyak jenis makanan terlibat, mungkin diperlukan food challenge.8
Tabel 3. Gambaran Umum Dalam Pendekatan Terhadap Diagnosis Alergi Makanan

2.7.1. Pemeriksaan Penunjang


Pada alergi yang disebabkan makanan, terdapat beberapa pemeriksaan penunjang
yang dapat dilakukan seperti yang tertera di bawah ini: 1,2
1. Uji Eliminasi dan provokasi
2. Uji Kulit
3. IgE spesifik dengan RAST (Radio Allergy Sorbent Test)
4. Antibodi Monoklonal, Kompleks Imun dan Imunitas Seluler dengan Enzyme Linked
Immunosorbent Assay (ELISA)
5. Foto Thorax
6. Lemak Tinja
7. Analisis Hidrogen Pernafasan
8. Uji Keringat
9. Basofil Histamin Release Assay (BHR)
10. Intestinal Mast Cell Histamine Release (IMCHR)
11. Provokasi intra gastral melalui endoskopi
12. Double Blind Blood Placebo Controlled Food Challenge (DBPCFE)
13. Biopsi usus setelah eliminasi alergen dan pemberian makanan

1. Uji Eliminasi dan Provokasi 2


Sampai sekarang diagnosis alergi makanan adalah diagnosis klinis yang dibuktikan
dengan eliminasi dan provokasi makanan. Berbagai klinik alergi mempunyai cara eliminasi
dan provokasi masing-masing, tetapi cara yang paling sering digunakan adalah provokasi
makana secara buta (double blind palsebo control food challenge = DBPCFC).
Makanan tersangka dieliminasi selama 2-3 minggu dari diet penderita. Bila gejala
hilang atau berkurang maka dilanjutkan dengan provokasi makanan yang dicurigai. Bila
makanan tersangka berupa cairan atau makanan lunak maka dapat diberikan bersama-sama
dengan cairan juice (air jeruk) atau disembunyikan dalam bubur. Bila anak berumur >6 tahun
maka bahan makanan tersebut dihaluskan mejadi bubuk lalu dimasukkan dalam kapsul. Dosis
paling kecil 50 mg dinaikkan tiap 30 menit, dan bila tidak timbul gejala setelah dosis 8 gram
berarti makanan tersebut bukan alergen oenyebab. Provokasi tidak dilakukan bila gejala yang
timbul berupa anafilaksis dan edema laring.

a. Uji Provokasi
Bila dicurigai lebih dari satu macam makanan sebagai oenyebab, maka kepada orang
tua diberikan tabel catatan makanan. Orang tua mencatat diet makanan, gejala yang timbul ,
dan obat yang diberikan pada anak selama 2 minggu (lihat daftar catatan makanan sehari-
hari). Setiap melakukan provokasi makanan di rumah, orang tua pasien dilengkapi dengan
obat-batan yang perlu untuk mengatasi gejala atopi yang timbul. Setelah 2 minggu maka tabel
makanan tersebut dievaluasi oleh dokter, dan mungkin akan ditemukan makanan yang
dicurigai, kemudian makanan tersebut dieliminasi dan dietnya selama 2 minggu. Apabila
gejala hilang atau berkurang maka dilanjutkan dengan uji provokasi.
Provokasi dilakukan dengan 2 cara, yaitu 1) pengamat dan penderita mengetahui
bahan makanan yang diberikan, biasanya cara ini dapat dilakukan pada bayi dan anak berusia
<5 tahun, dan 2) pengamat dan penderita tidak mengetahui bahan makanan yang diberikan,
biasanya makanan itu disamarkan dengan makanan lain atau dijadikan bubuk dalam kapsul.
Untuk uji eliminasi dan provokasi terdapat beberapa regimen diet, yaitu diet eliminasi, diet
minimal 1, diet minimla 2, diet bebas makanan laut dan telur, dan diet sendiri. Diet eliminasi
dilakukan setelah terbukti dengan uji provokasi makanan secara double blind placebo /
DBPCFC).

b. Diet Eliminasi
Diet ini terdiri dari beberapa makanan yang harus dihindari, yaitu buah, susu, telur,
ikan, dan kacang yang biasanya merupakan makanan penyebab alergi alergi tersering, jadi
terdiri dari makanan dengan indeks alergenitas tinggi.
Setiap daerah mempunyai indeks alergenitas makana sendiri. Misalnya Bock dkk
(1990), dengan DBPCFC mendapatkan telur, kacang tanah, susu sapi, ikan, kedelai, gandum,
ayam, babi, sapi dan kentang. Sedang Bischop (1990) dengan cara eliminasi dan provokasi
mendapatkan susu, telur, susu kedelai dan kacang.
Di bawah ini ada beberapa jenis dari diet eliminasi, seperti :
- Diet Minimal 1 (Minimal diet 1= Modified Rowes diet 1)
Diet terdiri dari beberapa makanan dengan indeks alergenitas rendah. Berbeda
dengan diet eliminasi, maka diet ini terdiri dari beberapa bahan makanan yang
diperbolehkan seperti air, beras, dagin sapi, kelapa, kedelai, bayam, wortel, bwang,
gula, garam dan mungkin susu formula kedelai. Bahan makanan lain harus dihindari.
- Diet Minimal 2 (minimal diet )
Diet ini terdiri dari makanan dengan indeks alergenitas rendah lain yang
diperbolehkan misalnya air, kentang, daging kambing, kacang ose, buncus, kubis,
bawang, formula hidrolisat kasein.
- Diet bebas telur dan makanan laut
Regimen ini menyingkirkan telur ayam, termasuk makanan yang dibuat dari
telur ayam dan semua ikan. Biasanya diberikan pada penderita dengan keluhan utama
urtikaria, edema angioneurotik dan eksema.
- Diet Sendiri (his owns diet)
Diet sendiri terdiri dari makanan yang dikemukakan sendiri oleh penderita
sebagai penyebab alergi
Bandingkan diet tersebut dengan diet Rowe yang asli, yaitu :
- Diet No. 1: nasi, daging kambing, bayam, jeruk, pear, gula, garam
- Diet No. 2: jagung, ayam, asparagus, nanas, gula, garam
- Diet No.3 : Nasi, daging sapi, aspargus, anggur, gula , garam
- Diet No.4 : susu sapi 2-3 liter/hari selama dilakukan test.
Diet dilakukan selama 3 minggu, setelah itu dilakukan provokasi dengan 1
bahan makanan setiap minggu. Makanan yang menimbulkan gejala alergi dicatat.
Disebut alergen kalau pada 3 kali provokasi menimbulkan gejala alergi. Jika dengan
salah satu regimen diet tidak ada perbaikan padahal sudah dilakukan dengan benar
maka diberikan regimen yang lain. Sebelum memulai regimen diet yang baru diberik
karnaval selama seminggu, artinya selama satu minggu itu segala makanan boleh
dimakan. Maksudnya adalah sebagai hadiah untuk penderita setelah 3 minggu diet
dengan baik. Dengan demikian akan menambah semangat untuk menjalankan diet
berikutnya.
2. Uji Kulit 2
Uji kulit dapat dilakukan dengan cara uji gores (scratch test), uji tusuk (prick test),
dan uji suntik intradermal (intradermal test). Dapat dilakukan sebagai pemeriksaan penyaring
dengan menggunakan ekstrak alergen yang lazimnya ada di lingkungan penderita, misalnya
alergen hirup seperti tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput; atau
alergen makanan seperti susu, telur, kacang dan ikan.

Gambar 3. Prick Test

3. Darah tepi 2
Hitung jenis leukosit dapat menyingkirkan kemungkinana penyakit infeksi, dan bila
eosinofilia >5% atau >500/ml condong pada alergi. Hitung leukosit <5000/ml disertai
neutropenia <30% seringkali ditemukan pada alergi makanan.
Hemoglobin dan hematokrit yang rendah sering ditemukan pada alergi susu sapi oleh
karena adanya perdarahan usus,yaitu timbulnya reaksi Arthus (tipe III). Laju endap darah
yang meningkat terdapat pada penyakit infeksi atau autoimun.

4. Foto toraks 2
Foto sinar X toraks dibuat untuk menyingkirkan kemungkinan benda asing,
neoplasma, dan tiberkulosis. Jika ditemukan gambaran hiperaerasi akan memperkuat
diagnosis asma.
5. Uji Keringat 2
Bila kadar sodium dan klorida >60 mEq/l pada anak kemungkinana menderita fibrosis
kistik (normal 40mEq/l). Gejala saluran cerna pada fibrosis kistik misalnya adalah buang air
besar yang banyak dan sering menyerupai gejala alergi makanan.

Gambar 4. Uji Keringat

6. Lemak Tinja 2
Pewarnaan dengan Sudan III menunjukkan adanya lemak, atau bila secara kuantitatif
dari pengumpulan tinja 3 hari jumlah lemak lebih dari 2g/hari menunjukkan kemungkinan
adanya penyakit seliak (coeliac disease).
Gambar 5. Lemak Tinja

7. Analisis Hidrogen Pernafasan2


Uji ini untuk menunukkan kemungkinan adanya defisiensi disakaridase.

Gambar 6. Analisis Hidrogen Pernafasan

8. IgE total dan spesifik2


Pemeriksaan IgE total dengan PRIST (Paper radioimmunosorbent test) atau yang
sepadan, berguna untuk menentukan status alergi penderita. Harga normal adalah 100/ml
sampai umur 20 tahun. Kadar IgE lebih dari 300/ml pada umumnya menunjukkan bahwa
penderita adalah atopi, atau mengalami infeksi parasit, atau keadaan depresi imun seluler.
Pemeriksaan IgE spesifik biasannya dilakukan dengan RAST (Radio allergosorbent
test). IgE spesifik terhadap maknana tertntu dapat dipakai sebagai prediksi adanya reaksi
alergi tipe cepat dan lambat terhadap makanan tesebut.
Uji prausnitz-Kustner merupakan uji transfer pasif serum yang mnegandung IgE pada
seseorang yang tidak atopi. Uji Prausnitz-Kustner tidak dipakai untuk mrnunjang diagnosis
alergi makanan.

Gambar 7. Tes IgE Spesifik

9. ELISA 2
a. Antibodi Monoklonal Dalam Sirkulasi
Adanya antibodi terhadap susu sapi pada anak usia kurang dari tiga tahun dapat
dipakai sebagai petanda alergi terhadap susu sapi. Tetapi pada anak besar atau orang
dewasa kadar antibodi nonreaginik terhadap susu sapi dapat saja meningkat walaupun
ternyata alergi terhadap makanan lain.
Pemeriksaan IgG subkelas 1, 2, 3, 4 dapat dilakukan dengan menggunakan
antibodi monoklonal. IgG4 pada alergi makanan ditemukan dalam kadar cukup tinggi.
Tidak diketahui apakah hal ini menunjukkan kapasitas blokade terhadapa alergen
makanan ataukah karena ekses alergen makanan akan menyebabkan kapasitas IgE tidak
memadai sehingga diperlukan respons igG4.
b. Komples Imun
Kompleks imun yang mengandung IgG, IgM, IgA, dan IgE telah dapat dibuktikan
pada penderita alergi makanan maupun inhalan. Kompleks imun ini dapat diukur
dengan esai sel ragi dan esai ikatan Clq.
c. Imunitas Seluler
Imunitas seluler berperan pada alergi makanan, yang dapat diukur dengan uji
hambatan migrasi leukosit (leukocyte migration inhibition test).

10. Pelepasan Histamin Oleh Basofil (BHR) 2


Beberapa penderita alergi makanan menunjukkan peningkatan pelepasan histamin 20-
40% lebih tinggi daripada normal. Hal itu mungkin sekali disebabkan oleh reaksi dan
kompleks imun sirkulasi yang menyebabkan timbulnya anafilatoksin C3a dan C5a.

2.8. Penatalaksanaan 2
Perlu ditekankan sekali lagi bahwa diet eliminasi/provokasi adalah untuk diagnosa.
Bila alergen telah ditemukan maka harus dihindari sebaik mungkin. Makanan-makanan yang
tergolong hipoalergenik dipakai sebagai pengganti, bila mungkin untuk selamanya.
Umumnya alergi susu sapi menghilang pda kebanyakan kasus pada umur 2 tahun. Harus
diingat bahwa alergi tidak bisa disembuhkan, tetapi dikendalikan jumlah frekuensi
serangannya, dikurangi intensitas serangannya, dikurangi penggunaan obatnya, dikurangi
jumlah hari tidak masuk sekolah, dan ditingkatkan kualitas hidupnya.
Desensitisasi pada alergi makanan tidak dilakukan sebab reaksinya hebat dan sedikit
sekali bukti-bukti keberhasilannya. Andaikata berhasil, penderita juga tetap harus
menyingkirkan makanan penyebab serangan alergi itu, seperti halnya pada desensitisasi
dengan debu rumah dimana pasien tetap tidak boleh memakai kasur kapuk. Orang tua
penderita harus diberi tahu mengenai makanan pengganti, sebab seringkali orang tua khawatir
akan terjadi kekurangan gizi pada anak mereka. Untuk pengganti susu sapi dapat dipakai susu
hidrolisat casein. Walaupun ada beberapa laporan terjadi anafilaksis pada penggunaan susu
ini, tetapi pada umumnya aman. Pilihan lainnya adalah susu formula kedelai, namun harus
tetap waspada terhadap kemungkinan alergi terhadap kedelai. Pda bayi yang menderita alergi
makanan derajat berat yang telah menggunakan formula susu hipoalergenik, andaikata ingin
memberikan lagi susu formula sapi, harus dilakukan di rumah sakit karena jika gagal ada
kemungkinan terjadi renjatan anafilaksis. Dalam hal ini epinefrin subkutan dengan dosis 0,01
ml/Kg maksismum 0,3 m, bisa diberikan, Hidrokortison intravena bisa ditambahkan selama
resusitasi. Pada anak-anak tanpa riwayat asma atau anafilaksis dan reaksi sebelumnya hanya
urtikaria, diphendramin 1-2 mg/kg maksimum 75 mg dapat diberikan pada setiap kekeliruan
paparan alergen. Sayur mayur bisa dianjurkan sebagai pengganti buah, daging sapi atau
kambing sebagai pengganti telur ayam dan ikan.
Makan di restoran kurang man dan dianjurkan selalu membaca label bahan-bahan
makanan jika membeli makanan jadi (label reading). Pada bayi yang melakukan eliminasi
makanan yang masih menyusu pada ibu, maka ibu juga harus pantang makanan yang
dipantang bayinya karena alergen bisa ditransfer melalui susu ibu. Bila diet tidak bisa
dilaksanakan maka harus diberikan farmakoterapi.

2.8.1. Farmakoterapi
1. Kromolin, Nedokromil
Obat ini dipakai pada penatalaksanaan farmakoterapi terutama pada penderita dengan
gejala asma dan rinitis alergika, dan akhir-akhir ini mengalami kemajuan yang pesat. Sebagai
hasil dari pemahaman terhadap patofisiologi penyakit alergi saat ini obat-obat dengan khasiat
anti inflamasi, anti alergi, dan imunomodulasi banyak dikembangkan dan mulai dirasakan
manfaatnya. Harus ditekankan pada penderita dan orang tuanya bahwa pengobatan utama
penyakit alergi adalah menyingkirkan penyebab (alergen).
Di dalam buku kita bisa membaca; The mainstary of treatment of alergic disease is
avoidance of allergen. Pemberian beberapa macam farmakoterapi tidak bisa menggantikan
peranan eliminasi alergen. Beberapa obat akan mengurangi gejala yang ringan tetapi secara
keseluruhan menutupi gejala awal pada kulit.
Pada penderita dengan gejala asma ringan dan asma latihan, khasiat antiinflamasi
nedokromil lebih kuat dibanding kromolin in vitro, dan lebih banyak digunakan untuk tujuan
pencegahan sebelum terjadinya serangan sesak. Penggunaan kromolin pada penderita alergi
makanan dengan beberapa gejala gastrointestinal sangat efektif. Pengobatan dimulai pada
waktu penderita masih melakukan diet eliminasi. Kromolin juga efektif untuk gejala kulit
pada dermatitis atopik yang disebabkan alergi makanan, sedangkan peneliti lain mendapatkan
bahwa kromolin baik untuk mengatasi gejala gastrointestinal karena alergi susu sapi, tetapi
tidak bisa mengatasi gejala eksrakranial.

2. Glukokortikoid
Digunakan sebagai antiinflamasi pada penderita alergi makanan dengan gejala
terutama asma. Pada asma akut tidak diperlukan kecuali pada penderita yang tergantung
steroid atau dalam pengobatan steroid sebelumnya. Pemberian prednison oral 5-7 hari akan
mempercepat penyembuhan asma dan tidak berbahaya.
Pada keadaan lain, steroid oral dipakai pada asma akut dengan indikasi sebagai
berikut : gejala dan PEF makin hari makin memburuk, PEF kurang dari 60%, gangguan asma
malam dan menetap pada pagi hari, penggunaan bronkodilator lebih dari 4 kali/ hari, serta
penderita yang memerlukan nebulizer dan bronkodilator parenteral darurat.
Preparat oral yang dipakai adalah: metilprenisolon, prednisolon dan prednison.
Prednisosn diberikan sebagai loading dose 1-2 mg/kg/hari dosis tunggal pagi hari sampai
keadaan stabil kira-kira 4 hari, kemudian diturunkan dalam 4-10 hari. Steroid parenteral
digunakan untuk oenderita alergi makanan dengan gejala status asmatikus. Preparat yang
digunakan adalah metil prednisolon atau hidrokortison dengan dosis 4-10 mg/kg/dosis tiap 4-
6 jam sampai kegawatan dilewati, diikuti dengan rumatan prednison oral. Kortikosteroid
hirupan digunakan pada asma dan rinitis alergika.

3. Agonis Beta Adrenergik


Digunakan untuk relaksasi otot polos bronkus. Agonis-2 ling acing dapat melindungi
selama 12 jam dan bronkokontriksi. Epinefrin mempunyai khasiat agonis 2, 1 dan 2
sehingga digunakan sebagai pengobatan renjatan anafilaktik.

4. Metil xantin
Digunakan sebagai bronkodilator. Pada dosis rendah sudah mempunyai efek
bronkodilatasi terhadap penyempitan bronkus oleh latihan, uji provokasi histamin dan
metakolin.

5. Antagonis Kolinergik (muskarinik)


Termasuk golongan ini adalah atropin, ipatropium bromide, oxitropium bromide,
thiazinamium chloride, dan glycopyrolate. Penggunaanya adalah untuk pengobatan tambahan
pada pendeerita dengan asma. Beberapa penderita non atopik mendapat manfaat dari
penggunaan agonis-2 dan ipatropium bromide dalam meningkatkan efek bronkodilatasi.

6. Antagonis Leukotrien
LTC4 dan LTD4 menimbulkan bronkokonstriksi yang kuat pada manusia, sementara
LTE4 dapat memacu masuknya eosinofil dan neutrofil ke saluran nafas. Preparat yang sudah
ada di Indonesia adalah zafirlukast. Obat ini dugunakan pada penderita dengan asma
persisten ringan. Pada penelitian dapat diberikan sebagai alternatif peningkatan dosis
kortikosteroid inhalasi. Posisi anti leukotrien mungkin dapat digunakan pada asma persisten
sedang, bahakan pada asma berat yang selalu membutuhkan kortikosteroid sistemik, serta
digunakan dalam kombinasindengan xantin, agonis- 2, dan steroid.

7. Antagonis Reseptor H1
Antagonis reseptor H1 generasi kedua mulai banyak digunakan dalam penanganan
alergi karena tidak adanya efek samping CNS. Cetirizine bisa digunakana ada anak mulai
umur 1 tahun dan tidak ada efek samping kardiovaskular, dapat digunakan untuk jangka lama
karena khasiatnya terhadap penekanana molekul adhesi ICAM-1. Obat ini telah banyak
berhasil dalam pengobatan rinitis alergika dan urtikaria kronik, serta terbukti efektif dan
aman. Cetirizine, karena khasiatnya di samping hambatan degranulasi sel mast dan basofil
dan hambatan aktivasi agregasi platelet, juga berkhasiat menekan ekspresi sel adhesi,
membuka cakrawala baru dalam penanganan asma. Antihistamin generasi sebelumnya, efek
antikolinergiknya memperburuk gejala asma karena pengentalan mukus, dan pada dosis
tinggi efek samping pada CNS sangat membatasi penggunaannya dalam pengobatan asma.
Beberapa penelitian mebuktikan efektivitas cetirizine pada asma ringan dan sangat berperan
sebagai obat corticosteroid sparing.

2.9. Prognosis 2
Pada prinsipnya alergi tidak bisa disembuhkan. Semua penatalaksanaan yang
dilakukan bertujuan mengendalikan agejala alergi untuk meringankan intensitas serangan,
mengurangi frekuensi serangan, membatasi oenggunaan obat, dan mengurangi jumlah hari
tidak hadir di sekolah.
Dermatitis atopik akan berkurang pada usia 12 tahun akan tetapi ada kemungkinan
organ sasaran berpindah karena 50-80% anak ini akan mengalami rinitis alergik dan asma.
Alergi makanan yang mulai pada usia 3 tahun mempunyai prognosis yang lebih baik karena
ada kemungkinan kurang lebih 40% dari mereka akan mengalami grow-out. Anak yang
mengalami alergi pada usia 15 tahun ke atas cenderung untuk menetap, tetapi toleransi
terhadap susu, telur dan kedelai cukup sering djumpai.
BAB 3
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Alergi makanan merupakan penyebab tersering penyakit alergi pada anak usai dini.
Alergi makanan mempunyai aspek yang penting pada tumbuh kembang anak, terutama dalam
penatalaksanaan diet, penghindaran makanan alergen yang mungkin diperlukan untuk
tumbuh kembangnya. Pada dasarnya semua makanan mempunyai potensi untuk
menimbulkan alergi tetapi mempunyai derajat alergenitas yang berbeda. Umumnya sebagian
besar penderita alergi makanan akan kehilangan reaktivitas terhadap berbagai jenis makanan
sejalan bertambahnya usia. Berbagai cara diusahakan untuk mencegah serta mengobati alergi
makanan, di antaranya adalah dengan penghindaran makanan hiperalergenik pada usia dini ,
pendekatan nutrisi, misalnya dengan pemberian fraksi peptida yang dapat ditoleransi usus
atau dengan pemberian probiotik untuk mencegah atau menekan reaksi inflamasi.
DAFTAR PUSTAKA

1. Gunardi H, dkk. Kumpulan Tips Pediatri. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2011. h. 1-
12.
2. Harsono A. Alergi makanan. Dalam: Akib AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting.
Buku ajar alergi-imunologi anak. Edisi ke-2. Jakarta: Balai Penerbit IDAI; 2008. h.
270-83.
3. Garcia G, Gamboa PM, Asturias JA, Lpez-Hoyos M, Sanz ML, dkk. Guidelines on
the clinical usefulness of determination of specific immunoglobulin E to foods. J
Investig Allergol Clin Immunol 2009;19:423-32.
4. Hyams JS. Food allergy. Dalam: Kliegman RM, Behrman RE, Jenson HB, Stanton
BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier
Inc; 2007. h.334.
5. Sampson HA, Leung DYM. Adverse reaction to food. Dalam: Kliegman RM,
Behrman RE, Jenson HB, Stanton BF, penyunting. Nelson textbook of pediatrics.
Edisi ke-18. Philadelphia: Elsevier Inc; 2007.h.150.
6. Wahn U. The allergic march. World allergy organization. 2007. Diakses 20 Desember
2015. Diunduh dari: http:// www.worldallergy.org/professional/ allergic_diseases
_center/allergic_march/
7. Bever HPV, Samuel ST, Lee BW. Halting the allergic march. WAO Journal 2008;57-
62.
8. Sudoyo AW, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi Ke-5. Jakarta: Interna
Publishing; 2010. h.382-86.
9. Judarwanto W. Alergi Makanan, Diet dan Autisme. Dalam: Seminar Autism Update
di Hotel Novotel Jakarta tanggal 9 September 2005. Diakses 20 Desember 2015.
Diunduh dari http://gizi.depkes.go.id/wp-content/uploads/2012/05/alergi-autisme.pdf
10. Joshua A. Boyce, dkk. Guidelines for the Diagnosis and Management of Food Allergy
in the United States. J Allergy Clin Immunol, 2010; 126(6 0): S158.
doi:10.1016/j.jaci.2010.10.007.

Anda mungkin juga menyukai