Bab I10
Bab I10
PENDAHULUAN
TINJAUAN PUSTAKA
LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi
sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran
alat-alat dalam) dan kegagalan organ.4
2.2 Epidemiologi
Insidensi ALL adalah 1/60.000 orang per tahun dengan 75 % berusia 15 tahun,
insidensi puncaknya usia 3 5 tahun.
ALL lebih banyak di temukan pada pria dari pada perempuan. Saudara kandung dari
pasien ALL mempunyai resiko 4 kali lebih besar untuk berkembang menjadi, ALL,
sedangkan kembar monozigot dari pasien ALL mempunyai resiko 20% untuk berkembang
menjadi ALL.3
2.3 Etiologi
Penyebab Akut Limfoblastik Leukimia (ALL) sampai saat ini belum jelas, diduga
kemungkinan karena virus (virus onkogenik) dan faktor lain yang mungkin berperan, yaitu7,8:
1. Faktor Predisposisi
a) Penyakit defisiensi imun tertentu, misalnya
agannaglobulinemia; kelainan kromosom, misalnya sindrom
Down (risikonya 20 kali lipat populasi umumnya); sindrom
Bloom.
b) Virus, Virus sebagai penyebab sampai sekarang masih terus
diteliti. Sel leukemia mempunyai enzim trankriptase (suatu
enzim yang diperkirakan berasal dari virus). Limfoma Burkitt,
yang diduga disebabkan oleh virus EB, dapat berakhir dengan
leukemia.
c) Radiasi ionisasi, Terdapat bukti yang menyongkong dugaan
bahwa radiasi pada ibu selama kehamilan dapat meningkatkan
risiko pada janinnya. Baik dilingkungan kerja, maupun
pengobatan kanker sebelumnya. Terpapar zat-zat kimiawi
seperti benzene, arsen, kloramfenikol, fenilbutazon, dan agen
anti neoplastik.
d) Herediter , Faktor herediter lebih sering pada saudara
sekandung terutama pada kembar monozigot.
e) Obat-obatan
Obat-obat imunosupresif, obat karsinogenik seperti
diethylstilbestrol
2. Faktor Lain
a) Faktor eksogen seperti sinar X, sinar radioaktif, dan bahan
kimia (benzol, arsen, preparat sulfat), infeksi (virus dan
bakteri).
b) Faktor endogen seperti ras
c) Faktor konstitusi seperti kelainan kromosom, herediter
(kadang-kadang dijumpai kasus leukemia pada kakak-adik atau
kembar satu telur).
2.4 Patofisiologi
Komponen sel darah terdiri atas eritrosit atau sel darah merah (RBC) dan leukosit atau
sel darah putih (WBC) serta trombosit atau platelet. Seluruh sel darah normal diperoleh dari
sel batang tunggal yang terdapat pada seluruh sumsum tulang. Sel batang dapat dibagi ke
dalam lymphpoid dan sel batang darah (myeloid), dimana pada kebalikannya menjadi cikal
bakal sel yang terbagi sepanjang jalur tunggal khusus. Proses ini dikenal sebagai
hematopoiesis dan terjadi di dalam sumsum tulang tengkorak, tulang belakang., panggul,
tulang dada, dan pada proximal epifisis pada tulang-tulang yang panjang.
ALL meningkat dari sel batang lymphoid tungal dengan kematangan lemah dan
pengumpulan sel-sel penyebab kerusakan di dalam sumsum tulang. Biasanya dijumpai
tingkat pengembangan lymphoid yang berbeda dalam sumsum tulang mulai dari yang sangat
mentah hingga hampir menjadi sel normal. Derajat kementahannya merupakan petunjuk
untuk menentukan/meramalkan kelanjutannya. Pada pemeriksaan darah tepi ditemukan sel
muda limfoblas dan biasanya ada leukositosis (^)%), kadang-kadang leukopenia (25%).
Jumlah leukosit neutrofil seringkali rendah, demikian pula kadar hemoglobin dan trombosit.
Hasil pemeriksaan sumsum tulang biasanya menunjukkan sel-sel blas yang dominan.
Pematangan limfosit B dimulai dari sel stem pluripoten, kemudian sel stem limfoid, pre pre-
B, early B, sel B intermedia, sel B matang, sel plasmasitoid dan sel plasma. Limfosit T juga
berasal dari sel stem pluripoten, berkembang menjadi sel stem limfoid, sel timosit imatur,
cimmom thymosit, timosit matur, dan menjadi sel limfosit T helper dan limfosit T supresor.
Peningkatan prosuksi leukosit juga melibatkan tempat-tempat ekstramedular sehingga
anak-anak menderita pembesaran kelenjar limfe dan hepatosplenomegali. Sakit tulang juga
sering dijumpai. Juga timbul serangan pada susunan saraf pusat, yaitu sakit kepala, muntah-
muntah, seizures dan gangguan penglihatan. Sel kanker menghasilkan leukosit yang imatur
/ abnormal dalam jumlah yang berlebihan. Leukosit imatur ini menyusup ke berbagai organ,
termasuk sumsum tulang dan menggantikan unsur-unsur sel yang normal. Limfosit imatur
berproliferasi dalam sumsum tulang dan jaringan perifer sehingga mengganggu
perkembangan sel normal. Hal ini menyebabkan haemopoesis normal terhambat, akibatnya
terjadi penurunan jumlah leucosit, sel darah merah dan trombosit. Infiltrasi sel kanker ke
berbagai organ menyebabkan pembesaran hati, limpa, limfodenopati, sakit kepala, muntah,
dan nyeri tulang serta persendian. Penurunan jumlah eritrosit menimbulkan anemia,
penurunan jumlah trombosit mempermudah terjadinya perdarahan (echimosis, perdarahan
gusi, epistaksis dll.). Adanya sel kanker juga mempengaruhi sistem retikuloendotelial yang
dapat menyebabkan gangguan sistem pertahanan tubuh, sehingga mudah mengalami infeksi.
Adanya sel kanker juga mengganggu metabolisme sehingga sel kekurangan makanan. 9,10
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi Morfologoi [(the French American British (FAB)
a) L1 : sel blas berukuiran kecil seragam dengan sedikit sitoplasma dan
nukleoli yang tidak jelas.
b) L2 : sel blas berukuran besar heterogen dengan nukleoli yang jelas
dan rasio inti sitoplasma yang rendah.
c) L3 : sel blas dengan sitoplasma bervakuola dan basofalik.
Kebanyakan LLA pada dewasa mempunyai morfologi L2, sedangkan
L1 paling sering ditemukan pada anak anak. Sekitar 95% dari tipe
LLA kecualai sel B mempunyai ekspresi yang meningkat dari
terminal deoxynucleotidyl transferasi (TdT), suatu enzim nukklear
yang terlibat dalam pengaturan kembali gen reseptor sel T dan
immunoglobulin. Peningkatan ini sangat berguna dalam diagnosis.
Jika konsentrasi enzim ini tidak meningkat, diagnosis LLA
dicurigai.3,4
2.7 Diagnosa
Pendekatan diagnosis5,6:
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaan laboratorium:
Hitung darah lengkap
Apusan darah tepi
Pemeriksaan koagulasi
Kadar fibrinogen
Kimia darah
Golongan darah ABO dan Rh
Penentuan HLA
4. Foto toraks atau CT
5. Pungsi lumbal
6. Aspisrasi dan biopsi sumsum tulang: pewarnaan sitokimia, analisis sitogenetik,
analisis imunofenotip, analisis molekuler BCR-ABL
Tahap-tahap diagnosis leukemia akut:
1. Klinis
Adanya gejala gagal sumsum tulang: anemia, perdarahan, dan infeksi, sering
disertai gejala hiperkatabolik
Sering dijumpai organomegali: limfadenopati, hepatomegali, atau
splenomegali
2. Darah tepi dan sumsum tulang
Blast dalam darah tepi > 5%
Blast dalam sumsum tulang > 30%
Dari semua pemeriksaan di atas kita dapat membuat diagnosis klinis leukemia
akut. Langkah berikutnya adalah menentukan jenis leukemia akut yang
dihadapi
3. Tentukan jenisnya: dengan pengecatan sitokimia ditentukan klasifikasi FAB. Jika
terdapat fasilitas, lakukan:
a) Immunophenotyping
b) Pemeriksaan sitogenetika (kromosom)
c) Gambaran laboratorium
Hitung darah lengkap:
Leukosit n//, hiperleukositosis (>100.000/mm3)
terjadi pada kira-kira 15% kasus
Anemia normokromik-normositer (berat dan timbul
cepat) dan trombositopenia (1/3 pasien mempunyai
hitung leukosit < 25.000/mm3)
Apusan darah tepi: khas menunjukkan adanya sel muda
(mieloblast, promielosit, limfoblast, monoblast,
eritroblast, atau megakariosit) yang melebihi 5% dari
sel berinti pada darah tepi. Sering dijumpai pseudo
Pelger-Huet Anomaly, yaitu netrofil dengan lobus
sedikit (dua atau satu) yang disertai dengan hipo atau
agranular
d) Aspirasi dan biopsi tulang
Hiperseluler dengan limfoblas yang sangat banyak
Lebih dari 90% sel berinti pada LLA dewasa
Tampak monoton oleh sel blast
e) Imunofenotip (dengan sitometri arus/flow cytometry)
f) Sitogenetik
g) Biologi molekuler
h) Pemeriksaan lain
Diagnosis banding leukimia pada anak yang perlu dipikirkan antara lain anemia
aplastik, gangguan mieloproliferatif, PTI, Keganasan lain, penyakit reumatologi atau
penyakit kolagen vaskular, sindrom hemofagosit familial atau induksi virus, infeksi virus
Ebstein-Barr, Infeksi mononukleosis, reaksi leukemoid, dan sepsis.4
1. Pemeriksaan Laboratorium
a) Hitung darah lengkap (Complete Blood Count ) dan Apus Darah Tepi
Jumlah leukosit dapat normal, meningkat, atau rendah pada saat diagnosis.
Jumlah leukosit biasanya berbanding langsung dengan jumlah blas. Jumlah
leukosit neutrofil seringkali rendah
b) Hiperleukositosis (> 100.000/mm3) terjadi pada kira-kira 15% pasien dan
dapat melebih 200.000/mm3
c) Pada umumnya terjadi anemia dan trombositopenia
d) Prporsi sel blast pada hitung leukosit bervariasi dari 0-100%
e) Hitung trombosit kurang dari 25.000/mm3
f) Kadar hemoglobin rendah
5. Sitogenetik Analisi
Sitogenetik sangat berguna karena beberapa kelainan sitogenetik berhubungan dengan
subtype ALL tertentu, dan dapat memberikan informasi prognostik. Translokasi
t(8;14), t(2;8), dan t (8;22) hanya ditemukan pada ALL sel B, dan kelainan kromosom
ini menyebabkan disregulasi dan ekspresi yang berlebihan dari gen c-myc pada
kromosom 8.
6. Biopsi limpa
Pemeriksaan ini memeperlihatkan poriferasi sel leukemia dan sel yang berasal dari
jaringan limpa yang terdesak, seperti limposit normal, RES, granulosit, dan pulp cell
.
2.10 Penatalaksanaan5
a) Penatalaksanaan terapi
1. Transfusi darah Biasanya diberikan jika kadar Hb kurang dari 6 g%. pada
trombositopenia yang berat dan perdarahan massif, dapat diberikan transfuse
trombosit dan bila terdapat tanda-tanda DIC dapat diberikan heparin.
2. Kortikosteroid (prednisone,kortison,deksametason) Setelah dicapai remisi dosis
dikurangi sedikit demi sedikit dan akhirnya dihentikan.
3. Sitostatika Selain sitostatika yang lama (6-merkatopurin atau 6-mp, metotreksat atau
MTX) pada waktu ini dipakai pula yang baru dan lebih poten seperti vinkristin
(Oncovin), rubidomisin (daunorubycine) dan berbagai nama obat lainnya. umumnya
sitostatiska diberikan dalam kombinasi bersama-sama dengan prednisone. Pada
pemberian obat-obatan ini sering terdapat akibat samping berupa alopecia, stomatitis,
leucopenia, infeksi sekunder atau kandidiasis. Bila jumlah leukosit kurang dari 2000/
mm3pemberiannya harus hati-hati.
4. Infeksi sekunder dihindarkan (lebih baik pasien dirawat dikamar yang suci hama)
5. Imunoterapi, merupakan cara pengobatan yang terbaru. Setelah tercapai remisi dan
jumlah sel leukemia cukup rendah (105-106), imunoterapi mulai diberikan (mengenai
cara pengobatan yang terbaru, masih dalam pengembangan) Cara pengobatan
berbeda-beda pada setiap klinik bergantung dari pengalaman, tetapi prinsipnya sama
yaitu dengan pola dasar:
b) Pengobatan
a) Pengobatan khusus dan harus dilakukan di rumah sakit. Berbagai regimen
pengobatannya bervariasi, karena banyak percobaan pengobatan yang masih
terus berlangsung untuk menentukan pengobatan yang optimum.
b) Obat-obatan kombinasi lebih baik daripada pengobatan tunggal.
c) Jika dimungkinkan, maka pengobatan harus diusahakan dengan berobat jalan.
d) Daya tahan tubuh penderita menurun karena sel leukemianya, demikian pula
karena obat-obatan, dan karena itu infeksi oleh organisme tertentu dapat menjadi
masalah, misalnya septicemia. Organisme yang sering ditemukan adalah
stafilokokus, pneumocystis carinii, jamur dan sitomegalovirus.
Terapi untuk leukemia akut dapat digolongkan menjadi dua yaitu:
1. Terapi spesifik: dalam bentuk kemoterapi
Kemoterapi memiliki tahapan pengobatan yaitu:
a.Induksi Remisi.
Banyak obat yang dapat membuat remisi pada leukemia limfositik akut. Pada
waktu remisi, penderita bebas dari symptom, darah tepi dan sumsum tulang normal
secara sitologis, dan pembesaran organ menghilang. Remisi dapat diinduksi dengan
obat-obatan yang efeknya hebat tetapi terbatas. Remisi dapat dipertahankan dengan
memberikan obat lain yang mempunyai kapasitas untuk tetap mempertahankan
penderita bebas dari penyakit ini. Berupa kemoterapi intensif untuk mencapai remisi,
yaitu suatu keadaan di mana gejala klinis menghilang, disertai blast sumsum tulang
kurang dari 5%. Dengan pemeriksaan morfolik tidak dapat dijumpai sel leukemia
dalam sumsum tulang dan darah tepi. (Bakta,I Made, 2007 : 131-133)
Biasanya 3 obat atau lebih diberikan pada pemberian secara berurutan yang
tergantung pada regimen atau protocol yang berlaku. Beberapa rencana induksi
meliputi: prednisone, vinkristin (Oncovin),daunorubisin (Daunomycin), dan L-
asparaginase (Elspar). Obat-obatan lain yang mungkin dimasukan pada pengobatan
awal adalah 6-merkaptopurin (Purinethol) dan Metotreksat (Mexate). Allopurinol
diberikan secara oral dalam dengan gabungan kemoterapi untuk mencegah
hiperurisemia dan potensial adanya kerusakan ginjal. Setelah 4 minggu pengobatan,
85-90% anak-anak dan lebih dari 50% orang dewasa dengan ALL dalam remisi
komplit. Teniposude (VM-26) dan sitosin arabinosid (Ara-C) mungkin di gunakan
untuk menginduksi remisi juka regimen awal gagal. (Gale, 2000 : 185)
Obat yang dipakai terdiri atas:
Vincristine (VCR) 1.5 mg/m2/minggu, i.v
Predison (Pred) 6 mg/m2/hari, oral
L Asparaginase (L asp) 10.000 U/m2
Daunorubicin 25 mg/m2/minggu-4 minggu
Regimen yang dipakai untuk ALL dengan risiko standar terdiri atas:
Pred + VCR Pred + VCR + L asp
Regimen untuk ALL denga risiko tinggi atau ALL pada orang dewasa
antara lain: Pred + VCR + DNR dengan atau tanap L asp Kelompok
G!MEMA dari Italia memberikan DNR+VCR+Pred+L asp dengan
atau tanpa siklofosfamid.
b) Fase postremisi
Suatu fase pengobatan untuk mempertahankan remisi selama mungkin yang
pada akhirnya akan menuju kesembuhan. Hal ini dicapai dengan:
a) Kemoterapi lanjutan, terdiri atas: Terapi konsolidasi Terapi
pemeliharaan (maintenance) Late intensification
b) Transplantasi sumsum tulang: merupakan terapi konsolidasi yang
memberikan penyembuhan permanen pada sebagaian penderita,
terutama penderita yang berusia di bawah 40 tahun.
2. Terapi postremisi
a) Terapi untuk sanctuary phase (membasmi sel leukemia yang bersembunyi
dalam SSp dan testis) Triple IT yang terdiri atas : intrathecal methotrexate
(MTX), Ara C (cytosine arabinosid), dan dexamenthason
b) Terapi iontensifikasi/konsolidasi: pemberian regimen noncrossresistant
terhadap regimen induksi remisi.
c) Terapi pemeliharaan (maintenance): umumnya dipakai 6 mercaptopurine(6
MP) peroral dan MTX tiap minggu. Di berikan selama 2-3 tahun denga
diselingi terapi konsolidasi atau intesifikasi. 2.
3. Terapi suportif
Terapi ini bertujuan untuk mengatasi kegagalan sumsum tulang, baik karena
proses leukemia sendiri atau sebagai akibat terapi. Terapi suportif pada penderita
leukemia tidak kalah pentingnya dengan terapi spesifik karena akan menentukan
angka keberhasilan terapi. Kemoterapi intensif harus ditunjang oleh terapi suportif
yang intensif pula, kalu tidak maka penderita dapat meninggal karena efek samping
obat, suatu kematian iatrogenic. Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-
akibat yang ditimbulkan oleh penyakit leukemia itu sendiri dan juga untuk mengatasi
efek samping obat. Terapi suportif yang diberikan adalah;
1. Terapi untuk mengatasi anemia
Transfusi PRC untuk mempertahankan hemoglobin sekitar 9-10 g/dl.
Untuk calon transplantasi sumsum tulang, transfusi darah sebaiknya
dihindari.
2. Terapi untuk mengatasi infeksi, sama seperti kasus anemia aplastik
terdiri atas:
a.Antibiotika adekuat
b.Transfusi konsentrat granulosit
c.Perawatan khusus (isolasi)
d.Hemopoitic growth factor ( G-CSF atau GM-CSF )
3. Terapi untuk mengatasi perdarahan terdiri atas:
a.Transfuse konsentrat trombosit untuk mempertahankan trombosit
minimal 10 x 106/ml, idealnya diatas 20 x 106/ml
b.Pada M3 diberikan Heparin untuk mengatasi DIC 4.
4. Terapi untuk mengatasi hal-hal lain yaitu:
a. Pengelolaan leukostasis : dilakukan dengan hidrasi intravenous
dan leukapheresis. Segera lakukan induksi remisi untuk
menurunkan jumlah leukosit
b. Pengelolaan sindrom lisis tumor: dengan hidrasi yang cukup,
pemberiaan alopurinol dan alkalinisasi urin. Hasil pengobatan
Hasil pengobatan tergantung pada berikut ini:
Tipe leukemia : pada umumnya ALL mempunyai
prognosis lebih baik dibandingkan dengan AML
Karakteristik faktor prognostik dari penderita
Jenis regimen obat yang diberikan
2.11 Komplikasi3
Kematian mungkin terjadi karena infeksi (sepsis) atau perdarahan yang tidak
terkontrol.
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah kegagalan leukemia untuk
berespon terhadap kemoterapi.
2.12 Prognosis3
Kebanyakan pasien LLA dewasa mencapai remisi tapi tidak sembuh dengan
kemoterapi saja, dan hanya 30% yang bertahan hidup lama.
Kebanyakan pasien yang sembuh dengan kemoterapi adalah usia 15 20
tahun dengan faktor prognostik baik lainnya.
Overall disease-free survival rate untuk LLA dewasa kira-kira 30%
faktor prognostik uantuk lamanya remisi LLA dewasa.
BAB III
LAPORAN KASUS
Seorang pasien perempuan berumur 4,5 Tahun, dengan berat badan 19Kg, datang ke
IGD RSUD Solok, dan dirawat dibangsal anak RSUD Solok pada tanggal 1 Januari
2016.
I. Identitas Pasien
Nama : A
No.MR : 090990
Umur : 4,5 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Suku Bagsa : Indonesia
Alamat : Aripan
II. Anamnesa:
Keluhan Utama:
Pucat sejak 2 hari yang lalu.
Riwayat Kelahiran:
Ditolong oleh Bidang, BBL 4500gr
Riwayat Imunisasi:
Lengkap
Riwayat Makan/Minum:
Bayi:
ASI
Anak:
Makanan Utama : 3 kali/hari
Daging : 3 kali/seminggu
Ikan : 4 kali/seminggu
Telur : 4 kali/seminggu
Sayur : 4kali/seminngu
Riwayat Keluarga:
Tidak ada riwayat penyakit keluarga yang sama dengan pasien
Kepala
Ukuran : Normocepal
Mata : Konjungtiva Anemis, sklera tidak ikterik
Telinga :Tidak ada kelainan
Hidung :Tidak ada kelainan
Mulut :Bibir kering dan tampak pucat, Tonsil T1-T1
Leher :Tidak ada pembengkakan kelenjar getah bening
Thoraks
Paru
Inspeksi : Simetris Kiri dan Kanan dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : Fremitus Takti sama Kiri dan Kanan
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Vesikuler, Ronkhi -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus cordis teraba dalam batas normal
Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : Reguler, bising tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, distensi(-), tidak ikterik
Palpasi : Hepar teraba dari processus xypoideus samapai umbilikal,
lien teraba di S2, Nyeri tekan pada epigastrium (-).
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+)
Ekstremitas
Atas : Akral hangat, Reflek fisologis ++/++, refleks patologis -/-
Bawah : Akral hangat, Refleks Fisiologis ++/++, Refleks patologis -/-
Kulit : Purpura (+), Ptekie (-)
VI. Terapi
Transfusi Darah
IVFD KA-EN 1B
VII. Follow Up
Sabtu, 02 Januari 2016
S/
Demam (-)
Pucat (+)
Mual (-), muntah(-)
BAB (-)
BAK Biasa
Nafsu makan
O/
KU Kes TD ND Nfs S
Sdg CMC 90/60 90x/i 28x/i 36,60C
Mata: Konjungtiva Anemis +/+, sklera ikterik -/-
Pulmo: vesikuler, Ronki-/-, whezing -/-
Cor: Dalam batas normal
Abdomen : Teraba hepar dari processus xypoideus-umbilicus, lien teraba di
S2, Nyeri Epigastrium (-)
Ektremitas: Akral hangat, sianosis (-)
Kulit: Ptekie (-), Purpura (+)
Senin, 04 Januari 2016
S/
Demam (-)
Pucat (-)
Mual (-), muntah(-)
BAB (-)
BAK Biasa
Nafsu makan
O/
KU Kes TD ND Nfs S
Sdg CMC 110/70 87x/i 26x/i 36,50C
Mata: Konjungtiva Anemis -/-, sklera ikterik -/-
Pulmo: vesikuler, Ronki-/-, whezing -/-
Cor: Dalam batas normal
Abdomen : Teraba hepar dari processus xypoideus-umbilicus, lien teraba di
S2, Nyeri Epigastrium (-)
Ektremitas: Akral hangat, sianosis (-)
Kulit: Ptekie (-), Purpura (+)
DAFTAR PUSTAKA
1. Anderson, Sylvia. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. hlm.
170.
2. Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2007.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: Penerbit
3. Sugondo, S., Sudoyo, A. W., B. Setiyohadi.2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid III Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. hlm. 132-134.
Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.hlm.189-192.
6. Hoffbrand A.V, Pettit J.E, Moss P.A.H. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Ed.4.
8. Wong, Donna. L. 2009. Buku Ajar Pediatriks, vol 2. Jakarta: EGC. Hlm 140-143.