Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Operasi merupakan salah satu penyebab tersering terjadinya nyeri kronis.

Nyeri pasca bedah adalah sebuah bentuk nyeri akut oleh karena trauma operatif

dengan reaksi inflamasi dan inisisasi dari neuron aferen. Dan nyeri pasca

pembedahan akhirakhir ini mendapat perhatian khusus dari dokter spesialis

Anestesi.1

Nyeri ini pada dasarnya adalah reaksi fisiologis karena merupakan reaksi

protektif tubuh sebagai mekanisme untuk menghindari stimulus yang

membahayakan tubuh. Tetapi apabila nyeri tetap berlangsung walaupun stimulus

penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi perubahan patofisiologis yang

justru dapat merugikan tubuh. Sebagai contoh, nyeri ketika pembedahan masih

sering dirasakan pada masa pasca bedah.2

Nyeri semacam ini tidak saja menimbulkan perasaan menderita, tetapi juga

reaksi stress, yaitu merupakan rangkaian reaksi fisik maupun biologis yang dapat

menghambat proses penyembuhan. Oleh karena itu analgesi yang efektiv sangat

dibutuhkan pasien pasca pembedahan supaya efek yang merugikan bisa

diminimalisir.3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Nyeri

Nyeri adalah suatu sensasi tidak menyenangkan yang merupakan

mekanisme pertahanan tubuh.4 Sedangkan definisi nyeri menurut IASP (The

International Association Studi of Pain) adalah pengalaman sensorik dan

emosional yang tidak menyenangkan akibat kerusakan jaringan, baik aktual

maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut.3

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nyeri terdiri dari dua

komponen yaitu komponen sensoris dan komponen emosi. Komponen sensoris

adalah komponen yang menghantarkan impuls melalui serabut saraf. Sedangkan

komponen emosi adalah aspek afeksi seseorang terhadap nyeri. Afeksi bersifat

subjektif dan ditentukan oleh makna nyeri secara individual.2

Nyeri pasca operatif adalah sebuah bentuk dari nyeri akut setelah trauma

bedah dengan reaksi inflamsi dan inisiasi dari sebuah neuron aferen . Perbedaan

nyeri fisiologis dengan nyeri klinik adalah pada nyeri klinik terjadi proses

sensitisasi pada sistem saraf perifer maupun sentral (susunan saraf pusat dan korda

spinalis). Proses sensitisasi menyebabkan terjadinya hiperalgesia, allodynia. Nyeri

yang menetap (kronis) dan rangsangan pada sistem saraf simpatis. Yang dimaksud

dengan hiperalgesia adalah reaksi yang meningkat terhadap rangsang nyeri.

Sedangkan allodynia adalah nyeri yang timbul dibawah nilai ambang atau non
noksius. Perubahanperubahan inilah yang kemudian menyebabkan immobilisasi,

infeksi, gangguan ketahanan tubuh, dan gangguan proses penyembuhan.5

1. Nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang diakibatkan


adanya kerusakan jaringan yang sedang atau akan terjadi, atau pengalaman
sensorik dan emosional yang merasakan seolah-olah terjadi kerusakan
jaringan. (International Association for the Study of Pain)
2. Nyeri akut adalah nyeri dengan onset segera dan durasi yang terbatas,
memiliki hubungan temporal dan kausal dengan adanya cedera atau
penyakit.
3. Nyeri kronik adalah nyeri yang bertahan untuk periode waktu yang lama.
Nyeri kronik adalah nyeri yang terus ada meskipun telah terjadi proses
penyembuhan dan sering sekali tidak diketahui penyebabnya yang
pasti..2,5

Asesmen nyeri
Asesmen nyeri dapat menggunakan Numeric Rating Scale
a. Indikasi: digunakan pada pasien dewasa dan anak berusia > 9 tahun yang
dapat menggunakan angka untuk melambangkan intensitas nyeri yang
dirasakannya.
b. Instruksi: pasien akan ditanya mengenai intensitas nyeri yang dirasakan
dan dilambangkan dengan angka antara 0 10.
1. 0 = tidak nyeri
2. 1 3 = nyeri ringan (sedikit mengganggu aktivitas
sehari-hari)
3. 4 6 = nyeri sedang (gangguan nyata terhadap
aktivitas sehari-hari)
4. 7 10 = nyeri berat (tidak dapat melakukan
aktivitas sehari-hari)3
FARMAKOLOGI OBAT ANALGESIK
Lidokain tempel (Lidocaine patch) 5%
a. Berisi lidokain 5% (700 mg).
b. Mekanisme kerja: memblok aktivitas abnormal di kanal natrium
neuronal.
c. Memberikan efek analgesik yang cukup baik ke jaringan lokal,
tanpa adanya efek anestesi (baal), bekrja secara perifer sehingga
tidak ada efek samping sistemik
d. Indikasi: sangat baik untuk nyeri neuropatik (misalnya neuralgia
pasca-herpetik, neuropati diabetik, neuralgia pasca-pembedahan),
nyeri punggung bawah, nyeri miofasial, osteoarthritis
e. Efek samping: iritasi kulit ringan pada tempat menempelnya
lidokain
f. Dosis dan cara penggunaan: dapat memakai hingga 3 patches di
area yang paling nyeri (kulit harus intak, tidak boleh ada luka
terbuka), dipakai selama <12 jam dalam periode 24 jam.

Eutectic Mixture of Local Anesthetics (EMLA)


a. Mengandung lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%
b. Indikasi: anestesi topical yang diaplikasikan pada kulit yang intak
dan pada membrane mukosa genital untuk pembedahan minor
superfisial dan sebagai pre-medikasi untuk anestesi infiltrasi.
c. Mekanisme kerja: efek anestesi (baal) dengan memblok total kanal
natrium saraf sensorik.
d. Onset kerjanya bergantung pada jumlah krim yang diberikan. Efek
anesthesia lokal pada kulit bertahan selama 2-3 jam dengan
ditutupi kassa oklusif dan menetap selama 1-2 jam setelah kassa
dilepas.
e. Kontraindikasi: methemoglobinemia idiopatik atau kongenital.
f. Dosis dan cara penggunaan: oleskan krim EMLA dengan tebal
pada kulit dan tutuplah dengan kassa oklusif.
Parasetamol
a. Efek analgesik untuk nyeri ringan-sedang dan anti-piretik. Dapat
dikombinasikan dengan opioid untuk memperoleh efek anelgesik
yang lebih besar.
b. Dosis: 10 mg/kgBB/kali dengan pemberian 3-4 kali sehari. Untuk
dewasa dapat diberikan dosis 3-4 kali 500 mg perhari.

Obat Anti-Inflamasi Non-Steroid (OAINS)


a. Efek analgesik pada nyeri akut dan kronik dengan intensitas
ringan-sedang, anti-piretik
b. Kontraindikasi: pasien dengan Triad Franklin (polip hidung,
angioedema, dan urtikaria) karena sering terjadi reaksi anafilaktoid.
c. Efek samping: gastrointestinal (erosi / ulkus gaster), disfungsi
renal, peningkatan enzim hati.
d. Ketorolak:
merupakan satu-satunya OAINS yang tersedia untuk parenteral.
Efektif untuk nyeri sedang-berat
bermanfaat jika terdapat kontraindikasi opioid atau
dikombinasikan dengan opioid untuk mendapat efek sinergistik
dan meminimalisasi efek samping opioid (depresi pernapasan,
sedasi, stasis gastrointestinal). Sangat baik untuk terapi multi-
analgesik.

Efek analgesik pada Antidepresan


a. Mekanisme kerja: memblok pengambilan kembali norepinefrin dan
serotonin sehingga meningkatkan efek neurotransmitter tersebut
dan meningkatkan aktivasi neuron inhibisi nosiseptif.
b. Indikasi: nyeri neuropatik (neuropati DM, neuralgia pasca-
herpetik, cedera saraf perifer, nyeri sentral)
c. Contoh obat yang sering dipakai: amitriptilin, imipramine,
despiramin: efek antinosiseptif perifer. Dosis: 50 300 mg, sekali
sehari.

Anti-konvulsan
a. Carbamazepine: efektif untuk nyeri neuropatik. Efek samping:
somnolen, gangguan berjalan, pusing. Dosis: 400 1800 mg/hari
(2-3 kali perhari). Mulai dengan dosis kecil (2 x 100 mg),
ditingkatkan perminggu hingga dosis efektif.
b. Gabapentin: Merupakan obat pilihan utama dalam mengobati nyeri
neuropatik. Efek samping minimal dan ditoleransi dengan baik.
Dosis: 100-4800 mg/hari (3-4 kali sehari).

Antagonis kanal natrium


a. Indikasi: nyeri neuropatik dan pasca-operasi
b. Lidokain: dosis 2mg/kgBB selama 20 menit, lalu dilanjutkan
dengan 1-3mg/kgBB/jam titrasi.
c. Prokain: 4-6,5 mg/kgBB/hari.

Antagonis kanal kalsium


a. Ziconotide: merupakan anatagonis kanal kalsium yang paling
efektif sebagai analgesik. Dosis: 1-3ug/hari. Efek samping: pusing,
mual, nistagmus, ketidakseimbangan berjalan, konstipasi. Efek
samping ini bergantung dosis dan reversibel jika dosis dikurangi
atau obat dihentikan.
b. Nimodipin, Verapamil: mengobati migraine dan sakit kepala
kronik. Menurunkan kebutuhan morfin pada pasien kanker yang
menggunakan eskalasi dosis morfin.
Tramadol
a. Merupakan analgesik yang lebih poten daripada OAINS oral,
dengan efek samping yang lebih sedikit / ringan. Berefek
sinergistik dengan medikasi OAINS.
b. Indikasi: Efektif untuk nyeri akut dan kronik intensitas sedang
(nyeri kanker, osteoarthritis, nyeri punggung bawahm neuropati
DM, fibromyalgia, neuralgia pasca-herpetik, nyeri pasca-operasi.
c. Efek samping: pusing, mual, muntah, letargi, konstipasi.
d. Jalur pemberian: intravena, epidural, rektal, dan oral.
e. Dosis tramadol oral: 3-4 kali 50-100 mg (perhari). Dosis maksimal:
400mg dalam 24 jam.
f. Titrasi: terbukti meningkatkan toleransi pasien terhadap medikasi,
terutama digunakan pada pasien nyeri kronik dengan riwayat
toleransi yang buruk terhadap pengobatan atau memiliki risiko
tinggi jatuh.
Jadwal titrasi tramadol
Protokol Dosis inisial Jadwal titrasi Direkomendasika
Titrasi n untuk
Titrasi 10-hari 4 x 50mg 2 x 50mg selama 3 hari. Lanjut usia
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 50mg selama 3 Risiko jatuh
hari hari. Sensitivitas
Lanjutkan dengan 4 x 50mg. medikasi
Dapat dinaikkan sampai tercapai
efek analgesik yang diinginkan.
Titrasi 16-hari 4 x 25mg 2 x 25mg selama 3 hari. Lanjut usia
selama 3 Naikkan menjadi 3 x 25mg selama 3 Risiko jatuh
hari hari. Sensitivitas
Naikkan menjadi 4 x 25mg selama 3 medikasi
hari.
Naikkan menjadi 2 x 50mg dan 2 x
25mg selama 3 hari.
Naikkan menjadi 4 x 50mg.
Dapat dinaikkan sampai tercapai
efek analgesik yang diinginkan.

Opioid
a. Merupakan analgesik poten (tergantung-dosis) dan efeknya dapat
ditiadakan oleh nalokson.
b. Contoh opioid yang sering digunakan: morfin, sufentanil,
meperidin.
c. Dosis opioid disesuaikan pada setiap individu, gunakanlah titrasi.
d. Adiksi terhadap opioid sangat jarang terjadi bila digunakan untuk
penatalaksanaan nyeri akut.
e. Efek samping:
Depresi pernapasan, dapat terjadi pada:
Overdosis : pemberian dosis besar, akumulasi akibat
pemberian secara infus, opioid long acting
Pemberian sedasi bersamaan (benzodiazepin, antihistamin,
antiemetik tertentu)
Adanya kondisi tertentu: gangguan elektrolit,
hipovolemia, uremia, gangguan respirasi dan
peningkatan tekanan intrakranial.
Obstructive sleep apnoes atau obstruksi jalan nafas
intermiten

Sedasi: adalah indikator yang baik untuk dan dipantau dengan


menggunakan skor sedasi, yaitu:
0 = sadar penuh
1 = sedasi ringan, kadang mengantuk, mudah dibangunkan
2 = sedasi sedang, sering secara konstan mengantuk, mudah
dibangunkan
3 = sedasi berat, somnolen, sukar dibangunkan
S = tidur normal

Sistem Saraf Pusat:


Euforia, halusinasi, miosis, kekakukan otot
Pemakai MAOI : pemberian petidin dapat menimbulkan koma
Toksisitas metabolit
Petidin (norpetidin) menimbulkan tremor, twitching, mioklonus
multifokal, kejang
Petidin tidak boleh digunakan lebih dari 72 jam untuk
penatalaksanaan nyeri pasca-bedah
Pemberian morfin kronik: menimbulkan gangguan fungsi ginjal,
terutama pada pasien usia > 70 tahun
Efek kardiovaskular :
Tergantung jenis, dosis, dan cara pemberian; status volume
intravascular; serta level aktivitas simpatetik
Morfin menimbulkan vasodilatasi
Petidin menimbulkan takikardi
Gastrointestinal: Mual, muntah. Terapi untuk mual dan muntah: hidrasi
dan pantau tekanan darah dengan adekuat, hindari pergerakan berlebihan
pasca-bedah, atasi kecemasan pasien, obat antiemetic.

Numeric Rating Scale3


Klasifikasi nyeri
Berdasarkan waktu durasi nyeri dibedakan menjadi nyeri akut dan nyeri kronik.
Nyeri akut berlangsung dalam waktu kurang dari 3 bulan secara mendadak akibat
trauma atau inflamasi, dan tanda respon simpatis. Nyeri kronik apabila nyeri lebih
dari 3 bulan, hilang timbul atau terus menerus dan merepukan tanda respon
parasimpatis.6
Menurut etiologinya dibagi ke dalam nyeri nosiseptik serta nyeri neuropatik.
Nyeri nosiseptik ialah nyeri yang ditimbulkan oleh mediator nyeri, seperti pada
pasca trauma-operasi dan luka bakar. Nyeri neuropatik yaitu nyeri yang
ditimbulkan oleh rangsang kerusakan saraf atau disfungsi saraf seperti pada
diabetes mellitus dan herpes zoster.6
Menurut lokasinya nyeri dibagi menjadi 6 tipe. Nyeri superfisial yaitu nyeri pada
kulit, nyeri pada subkutan, bersifat tajam, serta nyeri terlokasi pembungkusnya.
Nyeri viseral yakni nyeri yang berasal dari organ internal atau organ, seperti nyeri
kolik gastrointestinal dan kolik ureter. Nyeri alih adalah nyeri masukan dari organ
14
dalam pada tingkat spinal disalah artikan oleh penderita sebagai masukan dari
daerah kulit pada segmen spinal yang sama. Nyeri proyeksi misalnya pada herpes
zoster, kerusakan saraf menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian
tubuh yang diinervasi oleh saraf yang rusak tersebut. Nyeri phantom yaitu
persepsi dihubungkan dengan bagian tubuh yang hilang seperti pada amputasi
ekstrimitas.6
Berdasarkan intensitas nyeri dibagi menjadi skala visual analog score : 1-8

dan skala wajah Wong Baker menjadi tanpa nyeri, nyeri ringan, sedang, berat, dan

tak tertahankan.6 Pengukuran nyeri unidimensional dapat menggunakan beberapa

skala. Cara yang paling mudah yaitu menggunakan Visual Analog Scale (VAS).

VAS merupakan skala berupa suatu garis lurus yang panjangnya biasaya 10 cm

(atau 100 mm), dengan penggambaran verbal pada masing-masing ujungnya,

seperti angka 0 (tanpa nyeri) sampai angka 100 (nyeri terberat). Nilai VAS 0 - 4

mm = tidak nyeri, 5-44 mm = nyeri ringan, 45-74 mm = nyeri sedang, dan 75-100

mm = nyeri berat.18 Penilaian tersebut dilakukan sendiri oleh pasien. Pasien

dengan penglihatan terganggu, anak anak, serta orang dewasa dengan kognitif

yang terganggu tidak dapat menggunakan skala ini.19

Anda mungkin juga menyukai