Anda di halaman 1dari 13

Perbandingan Efek dan Efek Samping Betahistin Lisan dengan Promethazine Injeksi

dalam Pengobatan Vertigo Perifer Vertikal dalam keadaan Darurat

Hassan Motamed, Meisam Moezzi, Ali Dalir Rooyfard, Kambiz Ahmadi Angali, dan Zahra
Izadi

Abstrak

Latar Belakang

Vertigo adalah ilusi rotasi yang disebabkan oleh asimetris fungsi neurologis dari inti
vestibular kanan dan kiri. Tujuan penelitian ini adalah untuk membandingkan efikasi dan efek
samping betahistin oral dengan prometazin injeksi dalam pengobatan vertigo perifer akut.

Metode

Dalam penelitian klinis double blind ini, pasien dengan vertigo perifer akut dimasukkan
kedalam dua kelompok yaitu kelompok yang menerima prometazin secara intramuskular dengan
dosis 25 mg (kelompok A) dan kelomok yang menerima tablet betahistin 8 mg (kelompok B)
dan tingkat keparahannya vertigo dievaluasia dengan sistem penilaian skala analog visual (VAS).
Selain itu, efek samping pada kedua kelompok pasien juga dibandingkan dan dievaluasi.

Hasil

Sebanyak 162 pasien (82 subjek pada kelompok A) berpartisipasi dalam penelitian ini.
Usia rata-rata, distribusi jenis kelamin, intensitas dan gejala vertigo serupa pada kedua kelompok
sebelum intervensi. Pada jam ke 2 dan ke 3 setelah intervensi, skor VAS pada pasien yang
memakai betahistin secara signifikan lebih tinggi daripada prometazin. Selain itu, gejala klinis
setelah mengkonsumsi betahistine secara signifikan berkurang. Efek samping yang terlihat pada
pasien yang memakai prometazin adalah mengantuk. Setelah mengkonsumsi betahistine,
komplikasi yang paling umum ditemukan adalah masalah pada abdominal (mual dan muntah).

Kesimpulan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa betahistine adalah obat yang aman dan efektif
dalam mengendalikan pasien dengan vertigo akut dan dampaknya lebih baik dari prometazin.

Kata kunci: Betahistine, Promethazine, vertigo perifer akut


Pendahuluan

Vertigo adalah sebuah ilusi rotasi yang disebabkan oleh asimetris fungsi neurologis dari
inti vestibular kanan dan kiri. Diagnosis banding vertigo sangat penting karena berbagai alas an,
yaitu, pertama, vertigo dapat muncul sebagai situasi yang mengancam jiwa hingga respons
fisiologis normal dan kedua, tidak ada alat diagnostik definitif untuk mendeteksi alasannya.
Karena itu, penanganan yang tepat umtuk pasien di puskesmas selalu menjadi tantangan.
bagaimanapun, vertigo adalah penyebab umum untuk merujuk pasien ke pusat gawat darurat.
Sehingga diperkirakan prevalensinya di kalangan orang muda dan orang dewasa masing-masing
adalah 1,8% dan 30%, dan ini adalah alasan untuk merujuk 4% dari semua pasien yang datang ke
pusat gawat darurat. Pasien karena vertigo masuk ke dalam salah satu dari tiga kelompok: 1)
vertigo severe akut, 2) serangan vertigo berulang, dan 3) vertigo posisional berulang. Penyebab
paling umum pada ketiga kelompok adalah disfungsi vestibular perifer yang tidak berbahaya.

Pengobatan farmakologis vertigo dibagi menjadi dua kelompok: pengobatan simtomatik


dan kausal. Dalam pengobatan simtomatik, obat neuroleptik, anxiolytics dan antihistamin
generasi pertama digunakan, obat tersebut dapat mempengaruhi medulla, hipotalamus dan sistem
limbik dan menyebabkan penurunan gejala neurovegetative (mual, muntah, palpitasi, berkeringat
dan kecemasan). Antihistamin termasuk obat antagonis reseptor histamin H1-H4 dan banyak
digunakan dalam pencegahan dan pengobatan gejala vertigo. Antagonis reseptor histamin H1
saat ini paling banyak digunakan pada pasien vertigo, dan ada beberapa obat, termasuk
meclizine, astemizole dan promethazine pada kelompok farmakologis ini. Kegunaan obat ini
dalam mengobati vertigo adalah menghalangi sinyal histaminergik dari inti vestibular ke pusat
muntah di medulla. Hal ini terlepas dari kenyataan bahwa baru-baru ini terdapat beberapa bukti
telah menunjukkan bahwa selain antagonis reseptor histamin H1, betahistine juga dapat
memperbaiki gejala vertigo yang efektif. Betahistine adalah analog struktural histamin dengan
karakteristik farmakologis yang serupa dengannya. Betahistine adalah agonis reseptor H1 dan
antagonis reseptor H3 yang relatif kuat. Efek betahistine pada vertigo adalah peningkatan
kinerja vestibular dengan meningkatkan sirkulasi darah di telinga bagian dalam dan fungsi
vasodilator.

Beberapa efek samping dari antagonis H1, seperti efek sedatif, telah menyebabkan
keterbatasan penggunaannya dalam pengobatan pasien vertigo. Namun, betahistine tidak
memiliki efek sedatif ini. Jadi jika efek kedua obat ini sama, betahistine bisa menjadi alternatif
yang tepat dalam pengobatan pasien vertigo. Namun, sejauh ini belum ada penelitian yang
dilakukan untuk membandingkan kedua obat tersebut dalam memperbaiki gejala vertigo. Jadi,
penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek betahistine dibandingkan dengan prometazin
pada pasien dengan vertigo perifer akut.

Bahan dan metode

Desain studi

Dalam penelitian klinis double blind ini, diteliti pasien yang telah dirujuk ke Rumah Sakit
Imam Khomeini, Ahvaz, Iran, karena vertigo perifer. Kriteria inklusi untuk penelitian ini adalah:
usia di atas 18 tahun dan keluhan vertigo. Sementara pasien hamil, riwayat alergi terhadap obat
yang diteliti, penggunaan antiemetik dalam 24 jam terakhir dan pasien dengan cedera otak
traumatis dikeluarkan dari penelitian ini. Data demografi, waktu onset dan lama gejala, gejala
yang terkait (mual, muntah, tinnitus dan sakit kepala), perubahan pendengaran, riwayat
neurologis, obat-obatan, riwayat otitis baru-baru ini dan trauma kepala diperiksa dan dicatat
dalam kuesioner. Penelitian ini disetujui oleh komite etika Universitas Ilmu Kesehatan Ahvaz
Jundishapur dan pasien menandatangani informed consent dan kemudian dimasukkan kedalam
penelitian.

Evaluasi pasien

Semua pasien menjalani pemeriksaan fisik (neurologis dan neurotologis), termasuk: uji
bed-side vestibular, manuver Dix-Hallpike, tes Rinne dan Weber, pemeriksaan okulomotor, uji
posisi, uji head thrust, tes Romberg, uji tandem gait, dan uji Fukuda step.

Intervensi terapeutik

Pasien yang memenuhi syarat dipilih secara acak dengan membuang segel amplop yang
berisi jenis perawatan yang tersedia di apotek darurat. Obat yang digunakan ditempatkan di
kotak terpisah yang mengandung 25 mg injeksi prometazin, tablet plasebo dan tablet betahistin 8
mg. Pasien dan dokter belum diberi tahu tentang pengobatan apa yang telah diterima masing-
masing pasien. Selain itu, orang yang mengukur jawabannya tidak tahu kelompok mana masing-
masing pasien masuk. Jadi, desain yang blind berhasil dilakukan. Kode pengacakan
dipertahankan sampai saat analisis data dicatat. Satu paket, termasuk formulir untuk menerima
catatan dan obat prometazin atau betahistin, digunakan untuk setiap pasien.

Kelompok A mendapat dosis 25 mg prometazin secara intramuskular dan kelompok B


menerima tablet 8 mg betahistine secara oral. Dosis obat digunakan serupa dengan dosis standar
yang biasanya digunakan di departemen kami.

Pengukuran

Sebelum pengobatan, baseline peserta vertigo digolongkan dengan skala analog visual
horizontal (VAS). Peringkat VAS memiliki dua rentang: 0 sama dengan tidak ada vertigo, dan 10
berarti vertigo yang paling buruk. Efektivitas masing-masing obat dinilai dengan perubahan
VAS. Uji VAS dilakukan secara berurutan setiap jam sampai 3 jam setelah pemberian obat.

Semua efek samping selama penelitian dicatat, berdasarkan laporan dokter yang merawat
atau pasien dalam bentuk rekaman. Kemudian komplikasinya dibandingkan pada masing-masing
kelompok.

Analisis data

Pertama, data yang diperoleh dianalisis dalam bentuk indeks deskriptif dan kemudian
dibandingkan jumlah antara kedua kelompok, berdasarkan data normalitas, uji t -test dan Mann-
Whitney. Data kualitatif dianalisis dengan uji Chi-kuadrat. Semua analisis statistik dilakukan
dengan menggunakan SPSS. Nilai P yang signifikan dianggap kurang dari 0,05.
Hasil

Dari bulan April 2015 sampai April 2016, 162 pasien (kelompok A = 82 dan kelompok B
= 80) diteliti, dimana 53,7% adalah laki-laki. Pasien berada di rentang usia 18 sampai 65 tahun;
usia rata-rata mereka adalah 41,8 13,6. Distribusi jenis kelamin dan usia rata-rata pasien serupa
pada kedua kelompok ( Tabel 1 ).

Tingkat VAS sebelum intervensi dan 1 jam setelah pengobatan tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antara kedua kelompok. Namun, pada 2 dan 3 jam setelah intervensi
tingkat pada kelompok A (prometazin) lebih tinggi ( Tabel 2 ).

Gejala klinis pasien sebelum intervensi relatif sama. Namun, pada saat 1, 2 dan 3 jam
setelah intervensi, prevalensi gejala klinis pada kedua kelompok menunjukkan distribusi yang
berbeda yang signifikan secara statistik. Umumnya, dalam ketiga titik tersebut, jumlah pasien
yang tidak memiliki gejala klinis pada kelompok B (betahistine) lebih tinggi. Juga pada
kelompok B, mual dan muntah diamati lebih sering, namun pada kelompok A, mengantuk
diamati sebagai presentasi yang paling umum ( Tabel 3 ).
Efek samping obat yang tidak diinginkan hanya diamati pada kelompok A, kantuk
merupakan efek paling umum (76,8%) diikuti oleh akathisia. Namun pada kelompok B efek
samping ini tidak ditemukan (Tabel 4)

Diskusi

Vertigo adalah penyebab umum untuk merujuk pasien ke pusat gawat darurat dan
konsekuensinya beragam; di satu sisi, mereka mempengaruhi kondisi yang mengancam jiwa dan
di sisi lain, hal itu mempengaruhi respons fisiologis normal. Pengobatan pasien sering bergejala
dan kelompok obat yang berbeda digunakan untuk mengendalikannya. Antagonis histamin
adalah salah satu obat yang paling sering digunakan dalam memperbaiki gejala vertigo, yang
terkadang membuat banyak efek samping yang tidak diinginkan seperti efek sedatif pada pasien
sehingga membatasi penggunaannya. Oleh karena itu upaya untuk menemukan alternatif yang
tepat dengan efikasi serupa dan semakin sedikit efek samping terus berlanjut. Sesuai dengan
bukti yang menunjukkan betahistine memiliki fitur yang disebutkan di atas (efikasi yang tinggi
dan efek samping yang lebih sedikit), dalam penelitian ini, betahistine dibandingkan dengan
prometazin (antagonis reseptor H1) pada pasien vertigo. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sementara tingkat VAS menurun pada kedua kelompok, jumlah yang diukur pada titik waktu 2
dan 3 jam setelah terapi intervensi pada pasien yang menerima betahistin secara signifikan
berkurang. Jadi, menurut temuan ini, nampaknya betahistine lebih efektif daripada prometazin
dalam memperbaiki gejala vertigo. Namun, menurut pengetahuan kami, tidak ada penelitian
serupa yang menilai efek betahistine dan prometazin pada vertigo, namun perbandingan antara
betahistine dengan plasebo dan obat lain digunakan untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.
Dalam penelitian double blind, Oosterveld dkk menilai efek betahistine pada peningkatan vertigo
pada 24 pasien, dan menunjukkan bahwa tingkat keparahan vertigo dan juga mual dan muntah
setelah mengkonsumsi betahistine telah menurun secara signifikan. Demikian pula, dalam
sebuah penelitian yang dilakukan pada 144 pasien dengan vertigo, Simoncelli dkk menilai
gejala-gejala yang dipengaruhi oleh betahistine dan menunjukkan bahwa frekuensi, tingkat
keparahan dan durasi serangan vertigo pada pasien yang memakai betahistin secara signifikan
lebih sedikit, dan juga kualitas hidup sebelum dan sesudah menggunakan obat tersebut secara
signifikan meningkat. Dalam uji klinis acak, Alberta dkk membandingkan keefektifan betahistine
dengan flunarizine pada 52 pasien dengan vertigo berulang. Dalam penelitian ini, kriteria
Dizziness Handicap Inventory (DHI) digunakan untuk membandingkan efek kedua obat tersebut.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pada pasien yang memakai betahistine, DHI secara
signifikan lebih rendah dari flunarizine dan oleh karena itu betahistine lebih efektif dalam
memperbaiki gejala vertigo. Dalam studi serupa, Fraysse dkk mengkonfirmasi temuan baru-baru
ini. Terlepas dari fakta sebaliknya, Elbaz dkk, telah menunjukkan bahwa flunarizine lebih efektif
dalam memperbaiki vertigo daripada betahistine. Selain itu, dalam penelitian terhadap 88 pasien
dengan vertigo perifer yang tidak diketahui penyebabnya, Dearing dkk membandingkan efek
betahistine dengan cinnarizine dan menunjukkan bahwa walaupun kedua obat memiliki efek
yang sama dalam mengurangi keparahan dan durasi serangan vertigo, frekuensi serangan vertigo
pasien yang memakai betahistine berkurang.

Sehubungan dengan keamanan betahistidin, gejala pasien setelah minum obat dan efek
sampingnya yang tidak diinginkan dibandingkan dengan prometazin diteliti. Hasilnya
menunjukkan bahwa meski tidak ada efek kantuk, akathisia dan kecemasan yang terlihat pada
pasien yang memakai betahistine, namun jumlah pasien dengan gejala mual dan muntah pada
kelompok ini lebih tinggi daripada yang menerima prometazin. Hasil ini konsisten dengan
penelitian lain.

Kesimpulan

Secara keseluruhan, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa betahistine lebih efektif
daripada prometazin dalam memperbaiki vertigo, dan obat ini memiliki efek samping yang tidak
diinginkan lebih sedikit. Perbandingan efek betahistine dan prometazin, pada pasien dengan
vertigo untuk pertama kalinya dan juga ukuran sampel yang tinggi adalah beberapa kekuatan dari
penelitian ini. Sementara mengevaluasi dosis obat yang berbeda dan untuk menentukan dosis
optimal serta follow-up pasien jangka panjang adalah beberapa keterbatasan dalam penelitian ini.
Referensi

1. Halmagyi GM. Diagnosis dan pengelolaan vertigo. Clin Med (Lond) 2005; 5 (2): 159-165.
doi: 10.7861 / klinmedicine.5-2-159.
2. Jung I, Kim JS. Pendekatan vertigo di gawat darurat. Kedokteran Darurat Klinis dan
Eksperimental. 2015; 2 (2): 75-88. doi: 10.15441 / ceem.15.026.
3. Shahrami A, Norouzi M, Kariman H, Hatamabadi HR, Arhami Dolatabadi A. Pasien vertigo
sejati di gawat darurat; sebuah studi epidemiologi. Darurat (Tehran) 2016; 4 (1): 25-28.
4. Lam JM, Siu WS, Lam TS, Cheung NK, Graham CA, Rainer TH. Epidemiologi pasien
dengan vertigo di gawat darurat. Hong Kong J Emerg Med. 2006; 13 (3): 133-139.
5. Kerber KA. Vertigo dan pusing di gawat darurat. Emerg Med Clin Utara Am. 2009; 27 (1):
39-50. doi: 10.1016 / j.emc.2008.09.002. viii.
6. Zatonski T, Temporale H, Holanowska J, Krecicki T. Pandangan saat ini tentang pengobatan
vertigo dan pusing. J Med Diagn Meth. 2014; 3 : 150. doi: 10.4172 / 2168-9784.1000150.
7. Amini A, Heidari K, Kariman H, Taghizadeh M, Hatamabadi H, Shahrami A,
Derakhshanfar H. et al. Antagonis histamin untuk pengobatan vertigo perifer: meta-analisis.
J Int Adv Otol. 2015; 11 (2): 138-142. doi: 10.5152 / iao.2015.1169.
8. Simons FE, Simons KJ. H1 antihistamin: status saat ini dan arah masa depan. Organ Alergi
Dunia J. 2008; 1 (9): 145-155. doi: 10.1097 / WOX.0b013e318186fb3a.
9. Lacour M. Betahistine treatment dalam mengelola vertigo dan memperbaiki kompensasi
vestibular: klarifikasi. J Vestib Res. 2013; 23 (3): 139-151.
10. Ramos Alcocer R, Ledezma Rodriguez JG, Navas Romero A, Cardenas Nunez JL,
Rodriguez Montoya V, Deschamps JJ, Liviac Ticse JA. Penggunaan betahistine dalam
pengobatan vertigo perifer. Acta Otolaryngol. 2015; 135 (12): 1205-1211. doi: 10.3109 /
00016489.2015.1072873.
11. Lacour M, Sterkers O. Histamin dan betahistine dalam pengobatan vertigo: penjelasan
mekanisme tindakan. Obat SSP. 2001; 15 (11): 853-870. doi: 10.2165 / 00023210-
200115110-00004.
12. Dannenbaum E, Chilingaryan G, Fung J. Skala analog vertigo visual: kuesioner penilaian
untuk vertigo visual. J Vestib Res. 2011; 21 (3): 153-159.
13. Oosterveld WJ. Betahistine dihydrochloride dalam pengobatan vertigo asal vestibular
perifer. Studi double-blind placebo-controlled. J Laryngol Otol. 1984; 98 (1): 37-41. doi:
10.1017 / S0022215100146158.
14. Mira E, Guidetti G, Ghilardi L, Fattori B, Malannino N, Maiolino L, Mora R. et al.
Betahistine dihidroklorida dalam pengobatan vertigo vestibular perifer. Eur Arch
Otorhinolaryngol. 2003; 260 (2): 73-77.
15. Albera R, Ciuffolotti R, Di Cicco M, De Benedittis G, Grazioli I, Melzi G, Mira E. et al.
Penelitian double-blind, randomized, multicenter membandingkan efek betahistine dan
flunarizine pada cacat pusing pada pasien dengan vertigo vestibular berulang. Acta
Otolaryngol. 2003; 123 (5): 588-593. doi: 10.1080 / 00016480310001475.
16. Fraysse B, Bebear JP, Dubreuil C, Berges C, Dauman R. Betahistin dihidroklorida versus
flunarizine. Studi double-blind pada vertigo berulang dengan atau tanpa sindrom koklea
khas penyakit Meniere. Acta Otolaryngol Suppl. 1990; 490 : 1-10.
17. Elbaz P. Flunarizine dan betahistine. Dua pendekatan terapeutik yang berbeda pada vertigo
dibandingkan pada penelitian double blind. Acta Otolaryngol Suppl. 1988; 460 : 143-148.
doi: 10.3109 / 00016488809125148.
18. Deering RB, Prescott P, Simmons RL, Downey LJ. Sebuah studi crossover double-blind
membandingkan betahistine dan cinnarizine dalam pengobatan vertigo berulang pada pasien
pada praktik umum. Curr Med Res Opin. 1986; 10 (4): 209-214. doi: 10.1185 /
03007998609110440.
CRITICAL APPRAISAL

I. Identifikasi Jurnal
Judul Jurnal: A Comparison of the Effects and Side Effects of Oral Betahistine with
Injectable Promethazine in the Treatment of Acute Peripheral Vertigo in Emergency
Penulis : Hassan Motamed, Meisam Moezzi, Ali Dalir Rooyfard, Kambiz Ahmadi
Angali, dan Zahra Izadi
Tahun terbit : 2017
Penerbit : J Clin Med Res dan Elmar Press

II. PICO
P : Pasien usia diatas 18 tahun dengan vertigo
I : Pengobatan dengan betahistin 8 mg oral
C : Pengobatan dengan prometazin 25 mg intramuskular
O : Betahistine adalah obat yang aman dan efektif dalam mengendalikan pasien dengan
vertigo akut.

III. Worksheet Critical Appraisal

Validitas: Apakahjurnalini valid?


1a. Apakah alokasi pasien terhadap Ya Alokasi pasien dilakukan secara random.
terapi/ perlakuan dilakukan secara ( )
random? Tidak Patients eligible were randomly selected by
removing the sealed envelopes containing the
( ) treatment type available in emergency pharmacies.

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
1b. Apakah randomisasi dilakukan Ya Alokasi pasien dilakukan secara
tersembunyi? ( ) tersembunyi.
Tidak Randomization code was preserved until time of
record analysis of data.
( )

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
1c. Apakah antara subyek penelitian Ya Subyek penelitian dan peneliti blind
dan peneliti blind terhadap terapi/ ( ) terhadap terapi/ perlakuan.
perlakuan yang akan diberikan? Tidak Patient and physician have not been informed of
what treatment each patient has received.
() Moreover, the person that measured the answers
did not know which group each patient is in. So,
blinded design was done successfully.

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
2a. apakah semua subjek yang ikut Ya Semua subyek yang ikut serta
serta dalam penelitian diperhitungkan ( ) diperhitungkan dalam hasil penelitian.
dalam hasil/ kesimpulan? Apa follow- Tidak From April 2015 to April 2016, 162 patients
(group A = 82 and group B = 80) were studied
up pasien dilakukan cukup lengkap? ( )
Follow up juga dilakukan secara lengkap
Before treatment, the baseline of vertigo of
participants was ranked by horizontal visual analog
scale (VAS). VAS ranking has two ranges: 0 equals
to no vertigo, and 10 means the worst possible
vertigo [12]. Effectiveness of each drug was
assessed by VAS changes. VAS test was done
consecutively for each hour up to 3 h after drug
administration. All adverse events during the study
period were recorded, according to a report by the
treating physician or the patient in a recorded
form.

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
2b. Apakah pengamatan yang Ya Follow up dilakukan hanya sampai 3 jam
dilakukan cukup panjang? ( ) setelah pengobatan. Keterbatasan
Tidak penelitian ini adalah tidak dilakukan
( ) follow up untuk pemakaian obat jangka
panjang.

While evaluating different doses of the drug and


to determine the optimal dose as well as long-term
follow-up of patients were some of the limitations
of this study.

Terdapat dalam conclusion (halaman4)


2c. Apakah subjek dianalisis pada Ya Ya subjek dianalisis pada kelompok
kelompok dimana subjek tersebut ( ) dimana subjek tersebut dikelompokkan
dikelompokkan dalam randomisasi? Tidak dalam randomisasi.
( ) The drugs used were placed in separate boxes
containing 25 mg of promethazine injection,
placebo tablets and betahistine tablets 8 mg. Group
A received a dose of 25 mg promethazine
intramuscularly and group B received tablets of 8
mg betahistine orally

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
3a. Selain perlakuan yang Ya Ya subjek diperlakukan sama.
dieksperimenkan, apakah subjek ( )
diperlakuakan sama? Tidak All patients underwent physical examination
(neurological and neurotological), including:
( ) complete bed-side vestibular test, Dix-Hallpike
maneuver, Rinne and Weber test, oculomotor
examination, positional test, head thrust test,
Rombergs test, tandem gait test, and Fukuda
stepping test.

Terdapat dalam Material and methods


(halaman 2)
3b. Apakah kelompok dalam penelitian Ya Ya kelompok dalam penelitian sama pada
sama pada awa lpenelitian? ( ) awal penelitian.
Tidak Their gender distribution and average age of the
patients were similar in both groups (Table 1). The
( ) VAS level before the intervention and 1 h after
treatment showed no significant difference between
both groups

Tdapat pada results (halaman 2)

Importance: Apakahjurnalinipenting?
1. Berapa besar efek Ya Tingkat VAS sebelum intervensi dan 1 jam setelah
pengobatan tidak menunjukkan perbedaan yang
terapi? ( )
signifikan antara kedua kelompok. Namun, pada 2 dan
Tidak 3 jam setelah intervensi tingkat pada kelompok A
(prometazin) lebih tinggi dgn p value masing-masing p=
( )
0.043 dan p=0.039. Gejala klinis pasien sebelum
intervensi relatif sama. Namun, pada saat 1, 2 dan 3 jam
setelah intervensi, prevalensi gejala klinis pada kedua
kelompok menunjukkan distribusi yang berbeda yang
signifikan secara statistik. Pada kelompok B, mual dan
muntah diamati lebih sering, namun pada kelompok A,
mengantuk diamati sebagai presentasi yang paling
umum. Efek samping obat yang tidak diinginkan hanya
diamati pada kelompok A, kantuk merupakan efek
paling umum (76,8%) diikuti oleh akathisia. Namun
pada kelompok B efek samping ini tidak ditemukan.
2. Seberapa tepat Ya Ketepatan terapi dilihat dari 95% CI.
estimasi efek terapi? ( )
A significant P value was considered as less than 0.05
Tidak
Terdapat dalam Material and methods (halaman 2)
()
Applicable : Apakah hasil penelitian ini dapatditerapkan pada pasien kita?
Bagian ini disi sesuai dengan keadaan, pilihan, dan harapan pasien terhadap intervensi terapi
yang kita berikan
1. Apakah pasien yang kita miliki Ya Karakteristik pasien hampir sama seperti
sangat berbeda dengan pasien ( ) yang ditemukan di lapangan.
dalam penelitian Tidak
( )
2. Apakah hasil yang baik dari Ya Hal ini karena obat-obat yang digunakan
penelitian dapat diterapkan ( ) terdapat di Indonesia.
dengan kondisi yang kita miliki? Tidak
( )
3. Apakah semua outcome klinis Ya Efek samping berat tidak terdapat pada
yang penting dipertimbangkan ( ) penelitian ini.
(efeks amping yang mungkin Tidak
timbul)? ( )
4. Apakah sudah memahami Ya .Ya, betahisine lebih efektif dalam
harapan dan pilihan pasien? ( ) memperbaik vertigo dan memiliki efek
Tidak samping lebih sedikit.
( )
5. Apakah intervensi yang akan Ya Harapan pasien kesembuhan. Dari
diberikan akan memenuhi ( ) penelitian hasil akhir berupa kesembuhan
harapan pasien? Pasien siap akan Tidak tercapai dan konsekuensi lain berupa efek
konsekuensinya? ( ) samping tidak terjadi.

Anda mungkin juga menyukai