3. Semprit dan Jarum, Dianjurkan memakai semprit plastic dan jarum yang cukup besar.
Paling kecil nomor 20.
4. Cara pengambilan darah, Pada waktu pengambilan darah, harus dihindari masuknya
tromboplastin jaringan. Yang dianjurkan adalah pengambilan darah dengan memakai 2
semprit. Setelah darah dihisap dengan semprit pertama, tanpa mencabut jarum, semprit
pertama dilepas lalu pasang semprit kedua. Darah semprit pertama tidak dipakai untuk
pemeriksaan koagulasi, sebab dikhawatirkan sudah tercemar oleh tromboplastin jaringan.
5. Kontrol, Setiap kali mengerjakan pemeriksaan koagulasi, sebaiknya diperiksa juga satu
kontrol normal dan satu kontrol abnormal. Selain tersedia secara komersial, kontrol
normal juga dapat dibuat sendiri dengan mencampurkan plasma yang berasal dari 10
sampai 20 orang sehat, yang terdiri atas pria dan wanita yang tidak memakai kontrasepsi
hormonal. Plasma yang dipakai sebagai kontrol tidak boleh ikterik, lipemik, maupun
hemolisis.
Hemostasis terdiri dari enam komponen utama, yaitu: trombosit, endotel vaskuler,
procoagulant plasma protein faktors, natural anticoagulant proteins, protein fibrinolitik dan
protein antifibrinolitik. Semua komponen ini harus tersedia dalam jumlah cukup, dengan fungsi
yang baik serta tempat yang tepat untuk dapat menjalankan faal hemostasis dengan baik.
Interaksi komponen ini dapat memacu terjadinya thrombosis disebut sebagai sifat prothrombotik
dan dapat juga menghambat proses thrombosis yang berlebihan, disebut sebagai sifat
antithrombotik. Faal hemostasis dapat berjalan normal jika terdapat keseimbangan antara faktor
prothrombotik dan faktor antithrombotik. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
patofisiologik dan prinsip pemeriksaan laboratorium dari masing2 faktor yang berperan dalam
proses koagulasi dan interpretasi hasilnya.
1. Percobaan pembendungan
Percobaan ini bermaksud menguji ketahanan dinding kapiler darah dengan cara
mengenakan pembendungan pada vena, sehingga tekanan darah di dalam kapiler
meningkat. Dinding kapiler yang kurang kuat akan menyebabkan darah keluar dan
merembes ke dalam jaringan sekitarnya sehingga nampak titik-titik merah kecil pada
permukaan kulit, titk itu disebut dengan petekia. Untuk melakukan percobaan ini mula-
mula dilakukan pembendungan pada lengan atas dengan memasang tensimeter pada
pertengahan antara tekanan sistolik dan tekanan diastolik. Tekanan itu dipertahankan
selama 10 menit. Jika percobaan ini dilakukan sebagai lanjutan masa perdarahan, cukup
dipertahankan selama 5 menit. Setelah waktunya tercapai bendungan dilepaskan dan
ditunggu sampai tanda-tanda stasis darah lenyap. Kemudian diperiksa adanya petekia di
kulit lengan bawah bagian voler, pada daerah garis tengah 5 cm kira-kira 4 cm dari lipat
siku.
Pada orang normal tidak atau tidak sama sekali didapatkan petekia. Hasil positif
bila terdapat lebih dari 10 petekia. Seandainya di daerah tersebut tidak ada petekia tetapi
jauh di distal ada, hasil percobaan ini positif juga. Jika pada waktu dilakukan
pemeriksaan masa perdarahan sudah terjadi petekie, berarti percobaan pembendungan
sudah positif hasilnya dan tidak perlu dilakukan sendiri. Pada penderita yang telah terjadi
purpura secara spontan, percobaan ini juga tidak perlu dilakukan. Walaupun percobaan
pembendungan ini dimaksudkan unntuk mmengukur ketahanan kapiler, hasil tes ini ikut
dipengaruhi juga oleh jumlah dan fungsi trombosit. Trombositopenia sendiri dapat
menyebabkan percobaan ini barhasil positif.
Pada cara duke, mula-mula dilakukan tindakan antisepsis pada anak daun telinga.
Dengan lancet, dilakukan tususkan pada tepi anak daun telinga. Stopwatch dijalankan
waktu darah keluar. Setiap 30 detik, darah dapat dihisap dengan kertas saring. Setelah
darah tidak keluar lagi, stopwatch dihentikan. Nilai normal berkiasar antara 1-3 menit.
Cara Duke sebaiknya dipakai untuk bayi dan anak kecil dimana sukar atau tidak mungkin
dilakukan pembendungan.
Pada pemeriksaan ini tusukan harus cukup dalam, sehingga salah satu bercak
darah pada kertas saring mempunyai diameter 5 mm atau lebih. Masa perdarahan yang
kurang dari 1 menit juga disebabkan tusukan yang kurang dalam. Dalam hal seperti ini,
percobaan dianggap batal dan perlu diulang. Hasil pemeriksaan menurut cara Ivy lebih
dapat dipercaya daripada cara Duke, karena pada cara Duke tidak dilakukan
pembendungan sehingga mekanisme hemostatis kurang dapat dinilai. Apabila pada cara
Ivy perdarahan berlangsung lebih dari 10 menit dan hal ini diduga karena tertusuknya
vena, perlu dilakukan pemeriksaan ulang pada lengan yang lain. Kalau hasilnya tetap
lebih dari 10 menit, hal ini membuktikan adanya suatu kelainan dalam mekanisme
hemostatis. Tindakan selanjutnya adalah mencari letak kelainan hemostatis dengan
mengerjakan pemeriksaan-pemeriksaan lain.
3. Hitung trombosit
Hitung trombosit dapat dilakukan dengan cara langsung dan tak langsung. Cara
langsung dapat dilakukan dengan cara manual, semi otomatik, dan otomatik.
Pada cara manual, mula-mula darah diencerkan dengan larutan pengencer lalu
diidikan ke dalam kamar hitung dan jumlah trombosit dihitung dibawah mikroskop.
Untuk larutan pengencer yang dipakai larutan Rees Ecker atau larutan amonium oksalat
1%. Cara manula mempunyai ketelitian dan ketepatan yang kurang baik, karena
trombosit kecil sekali sehingga sukar dibedakan dari kotoran kecil. Lagi pula trombosit
mudah pecah dan cenderung saling melekat membentuk gumpalan serta mudah melekat
pada permukaan asing. Oleh karena itu alat-alat yang dipakai harus betul-betul bersih dan
larutan pengencer harus disaring terlebih dahulu. Sebagai bahan pemeriksaan d ipakai
darah dengan anticoagulant sodium ethylendiamine tetraacetate yang masih dalam batas
waktu yang diijinkan artinya tidak lebih dari 3 jam setelah pengambilan darah.
Pada cara semi otomatik dan otomatik dipakai alat electronic particle counter
sehingga ketelitiannya lebih baik daripada cara manual. Akan tetapi cara ini masih
mempunyai kelemahan, karena trombosit yang besar (giant trombocyte) atau beberapa
trombosit yang menggumpal tidak ikut terhitung, sehingga jumlah trombosit yang
dihitung menjadi lebih rendah. Pada cara tak langsung, jumlah trombosit pada sediaan
hapus dibandingkan jumlah trombosit dengan jumlah eritrosit kemudian jumlah
mutlaknya dapat diperhitungkan dari jumlah mutlak eritrosit.
Selain dilaporkan dalam detik, hasil PT juga dilaporkan dalam rasio, aktivitas
protombin dan indeks. Rasio yaitu perbandingan antara PT penderita dengan PT kontrol.
Aktivitas protombin dapat ditentukan dengan menentukan dengan menggunakan kurva
standart dan dinyatakan dalam %. Pemeriksaan PT juga sering dipakai untuk memantau
efek pemberian antikoagulan oral. Pemberian kepekaan reagen tromboplastin yang
dipakai dan perbedaan cara pelaporan menimbulkan kesulitan bila pemantauan
dikerjakan di laboratorium yang berbeda-beda. Untuk mengatasi masalah tersebut ICTH
(International Comittee on Thrombosis and Haemostasis) dan ICSH (International
Comitte for Standardization in Haematology) menganjurkan agar tromboplastin jaringan
yang akan digunakan harus dikalibrasi terlebih dahulu terhadap tromboplastin rujukan
untuk mendapatkan ISI (International Sensitivity Index). Juga dianjurkan agar hasil
pemeriksaan PT dilaporkansecara seragam dengan menggunakan INR (International
Normalized Ratio), yaitu rasio yang dipangkatkan dengan ISI dari reagens tromboplastin
yang digunakan.
Pemeriksaan ini digunakan untuk menguji pembekuan darah melaui jalur intrinsik
dan jalur bersama yaitu faktor pembekuan XII, prekalikrein, kininogen, XI, IX, VIII, X,
V, protombin dan fibrinogen. Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lamanya
terbentuk bekuan bila ke dalam plasma ditambahkan reagens tromboplastin parsial dan
aktivator serta ion kalsium pada suhu 370C. reagen tromboplastin parsial adalah
fosfolipid sebagai pengganti platelet factor 3. Nilai normal tergantung dari reagens, cara
pemeriksaan dan alat yang dipakai. Juga dianjurkan agar tiap laboratorium menentukan
nilai normalnya sendiri. Hasilnya memanjang bila terdapat kekurangan faktor pembekuan
dijalur intrinsik dan bersama atau bila terdapat inhibitor. Sama seperti PT, untuk
membedakan hal ini dilakukan pemeriksaan ulang terhadap campuran plasma penderita
dan plasma kontrol dengan perbandinagn 1:1. Bila hasilnya tetap memanjang, berarti ada
inhibitor. Pada hemofilia A maupun hemofilia B, APTT akan memanjang, tetapi
pemeriksaan ini tidak dapat membedakan kedua kelainan tersebut. Pemeriksaan ini juga
dipakai untuk memnatau pemberian heparin. Dosis heparin diatur sampai APTT
mencapai 1,5-2,5 kali nilai kontrol.
2.Tes Ristocetin
8. INR
INR didapatkan dengan membagi nilai PT yang didapat dengan nilai PT normal
kemudian dipangkatkan dengan ISI di mana ISI adalah International Sensitivity Index.
Jadi INR adalah rasio PT yang mencerminkan hasil yang akan diperoleh bila
tromboplastin baku WHO yang digunakan, sedangkan ISI merupakan ukuran kepekaan
sediaan tromboplastin terhadap penurunan faktor koagulasi yang bergantung pada
vitamin K. Sediaan baku yang pertama mempunyai ISI = 1,0 ( tromboplastin yang kurang
peka mempunyai ISI > 1,0). Dengan demikian cara paling efektif untuk standardisasi
pelaporan PT adalah kombinasi sistim INR dengan pemakaian konsisten tromboplastin
yang peka yang mempunyai nilai ISI sama.
9. FIBRINONGEN TEST
Pengukuran kadar fibrinogen dapat dilakukan secara manual (visual), foto optik
atau elektro mekanik. Pemeriksaan ini menilai terbentuknya bekuan bila ke dalam plasma
yang diencerkan ditambahkan thrombin. Waktu pembekuan dari plasma terdilusi
berbanding terbalik dengan kadar fibrinogen. Bahan pemeriksaan yang digunakan adalah
darah vena dengan antikoagulan trisodium sitrat 3.2% (0.109M) dengan perbandingan
9:1. Gunakan tabung plastik atau gelas yang dilapisi silikon. Sampel dipusingkan selama
10 menit dengan kecepatan 2.500 g. Plasma dipisahkan dalam tabung plastik tahan 8 jam
pada suhu 205oC.