Anda di halaman 1dari 2

Pengetahuan Lokal, Makanan

Tradisional, dan
Ketahanan Pangan
NOVEMBER 3, 2007
Tahun 1984 Badan Pangan Sedunia (FAO) memberikan pengharagaan kepada Indonesia yang dinilai telah
berhasil memenuhi kebutuhan pangan nasional (swasembada beras). Dari segi jumlah penduduk dan luas
lahan pertanian Indonesia memang tergolong sebagai salah satu negara produsen beras terbesar di dunia
setelah China dan India. Namun mengingat kebutuhan akan beras di pasar domestik yang begitu besar,
tak lama setelah diberi penghargaan oleh FAO, Indonesia kembali mengimpor beras.
Bambang Hariyadi, mahasiswa program PhD pada University of Hawaii at Manoa (UHM) yang
menjadi pembicara dalam Hawaii Forum yang digelar Jumat malam 2 November, mengatakan gelar
eksportir beras besar justru disandang oleh negara-negara yang luas wilayahnya relatif kecil dengan
kebutuhan akan beras di pasar domestik yang juga relatif sedikit, seperti Thailand dan Vietnam. Di sisi
lain Amerika Serikat sejak beberapa tahun terakhir juga mulai menguasai pasar beras internasional.
Kondisi yang dialami Indonesia menjadi demikian problematik karena ditambah dengan kebijakan pangan nasional yang justru menciptakan
ketergantungan pada beras dalam kadar yang amat sangat. Dalam beberapa dasawarsa terakhir program pangan nasional yang diintrodusir
pemerintah telah menghilangkan makanan pokok yang dikenal di daerah-daerah lain sebelumnya, seperti jagung, popedau, juga sagu serta ubi-
ubian, dari peta pangan nasional.
Belakangan, bersamaan dengan ketergantungan pada beras yang sudah sampai pada taraf yang mengkhawatirkan, ada usahaterutama dari
kalangan korporatuntuk mendiversifikasi makanan pokok. Tetapi diversifikasi yang dilakukan kalangan korporat ini justru memperkuat
struktur ketergantungan. Karena yang diperkenalkan sebagai contender beras adalah terigu dengan berbagai produk turunannya yang tingkat
eceran bercita rasa global.
Setelah menyampaikan pengantarnya, Bambang lalu mempresentasikan pokok-pokok pikirannya dalam sebuah makalah yang berjudul
Pengetahuan Lokal, Makanan Tradisional, dan Ketahanan Pangan.
INDONESIA sebagai salah satu pusat keanekaragaman hayati dunia menyimpan kekayaan flora dan fauna yang melimpah,
sebagian diantaranya berpotensi untuk dikembangkan menjadi bahan pangan. Beberapa jenis tumbuhan dari suku Dioscoraceae
seperti gembili ataupun ubi kelapa, misalnya, memiliki potensi untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi sumber bahan pangan.
Disamping itu, berbagai kelompok masyarakat (kelompok etnik) yang tersebar di seluruh kepulauan nusantara juga memiliki
beraneka-ragam makanan traditional, terutama yang bahan dasarnya non-beras. Akan tetapi, sebagian besar dari makanan
tradisional tersebut hanya dikenal dan dikonsumsi secara lokal. Misalnya saja kaledo, sop tulang kaki sapi khas Sulawesi Tengah ini
biasanya disajikan panas-panas dan dimakan dengan ubi kayu yang direbus. Lain lagi dengan Papua, masyarakat di daerah ini
memiliki papeda. Makanan yang bahan dasarnya sagu ini bisanya dimakan dengan kuah ikan.
Dengan sentuhan teknologi dan pengelolaan yang lebih baik, makanan tradisional seperti kaledo ataupun papeda dapat
dikembangkan lebih lanjut, selain untuk memperbaiki kandungan gizinya, juga untuk menjangkau pasar yang lebih luas di luar
konsumen tradisionalnya. Sehingga makanan tradisional seperti kaledo dan pepeda juga tersedia di daerah-daerah yang lain.
Pengayaan makanan tradisional seperti kaledo tidak hanya mempromosikan makanan asli Indonesia, yang lebih penting lagi
adalah meningkatkan ketahanan pangan dengan cara mengurangi ketergantungan terhadap beras.
Negara Meksiko juga memiliki makanan tradisional yang disebut tortila. Setiap harinya penduduk di daerah pedalaman negera ini
menyiapkan tortila, tak ubahnya dengan memasak nasi bagi masyrakat di Indonesia. Tortila dibuat dengan memanfaatkan salah
satu kekayaan alam Meksiko yaitu jagung. Catatan sejarah menunjukkan bahwa dari negara inilah asal muasal jagung yang kini
tersebar ke seluruh penjuru dunia. Yang menarik, tortila yang dulunya merupakan makanan tradisional di daerah pedesaan, kini
juga dikonsumsi oleh penduduk di perkotaan bahkan menembus ke sejumlah negara lainya seperti Amerika Serikat. Teknologi dan
pengelolaan yang lebih baik merubah citra tortila dari makanan orang kampung menjadi makanan modern.
Penduduk di negara-negara maju kini lebih hati-hati untuk menentukan jenis makanan apa yang akan dikonsumsinya. Selain cita
rasa, mereka juga mulai mempertimbangkan efek dari makanan tersebut untuk kesehatan dalam jangka panjang, serta dampak
dari proses produksi makanan tersebut terhadap kelestarian lingkungan. Secara berangsur-angsur mereka mulai meninggalkan
makanan konvensional seperti fast food dan berusaha untuk kembali ke makanan tradisional. Sebagian memilih untuk menjadi
vegetarian dengan pertimbangan sumberdaya yang diperlukan untuk memproduksi bahan pangan hewani jauh lebih besar
daripada bahan pangan nabati. Down to Earth, salah satu lembaga pendukung gaya hidup vegetarian, menyebutkan bahwa untuk
menghasilkan satu kalori daging sapi membutuhkan 78 kali lipat energi yang diperlukan untuk memproduksi satu kalori kedelai.
Berbeda dengan kecendrungan yang terjadi di negara maju, berbagai jenis makanan fast food, terutama international fast food, kini
tumbuh dan berkembang, membanjiri kota-kota besar di Indonesia dan bersaing dengan makanan-makanan tradisional. Bagi
sebagian masyarakat, fast food semacam ini masih menjadi konsumsi golongan menengah ke atas. Oleh karena itu menyantap
makanan di restoran fast food tidak hanya sekedar untuk memenuhi kebutuhan perut, tetapi juga merupakan suatu prestise. Apalagi
restoran semacam ini biasanya dilengkapi dengan beberapa fasilitas lainya sperti arena permainan anak-anak serta penataan
ruangan yang lebih menarik, sehingga mengundang masyarakat untuk lebih sering mendatangi restoran seperti ini. Tidak salah bila
anak-anak sekarang pun lebih terbiasa dengan makanan introduksi seperti donat, pizza, dan fried chicken, dibandingkan dengan
makanan local seperti kaledo dan pepeda di atas. Bila kecendrungan ini terus berlanjut, tidak dapat dipungkiri pada saatnya nanti
makanan local akan menjadi asing di negerinya sendiri.
Mana yang perlu kita pilih: mempertahankan makanan lokal atau mengadopsi makanan global, atau dua-duanya..?

Rachmawati, penanggap pertama dalam forum ini, mengafirmasi pandangan yang mengatakan bahwa sebab utama mengapa makanan pokok
lokal menghilang dari peta makanan pokok nasional karena pemerintah tampaknya membiarkan kampanye yang merugikan. Misalnya,
masyarakat lokal di Maluku Utara kini merasa bahwa popedau atau sagu hanya untuk kalangan terbelakang. Pilihan makanan pokok kini menjadi
penanda status sosial. Makan nasi sama dengan prestisius. Dan popedau hanya untuk orang miskin.
Belum lagi, popedau pun digambarkan sebagai makanan yang tak mengandung gizi dan tidak menyehatkan, karena hanya mengandung air dan
karbohidrat. Padahal, sambung mahasiswa program master Public Health di UHM ini, gizi dan vitamin maksimal memang diterima dari
makanan pendamping. Makanan pokok, tambahnya, didefinisikan sebagai makanan yang menyumbang kebutuhan kalori dan energi terbesar
terhadap tubuh.
Ninik sependapat dengan Rahma. Tampaknya diperlukan usaha untuk memutar definisi kemiskinan. Di Papua dan Irian, misalnya, tak perlu
memaksakan beras sebagai makanan pokok. Mestinya masyarakat lokal dibiarkan mengoptimalkan makanan pokok mereka. Program perbaikan
gizi mestinya dilakukan dengan memodifikasi makanan pokok masyarakat lokal, bukan sebaliknya dengan menghilangkan makanan pokok
tersebut dan memaksa masyarakat lokal mengikuti selera masyarakat lain yang hidup di alam yang berbeda.
Paula menambahkan, masyarakat di daerah Kepulauan Sangihe dan Talaud, Sulawesi Utara dulu terbiasa makan singkong, ubi jalar, talas atau
bete yang direbus (biasanya ketiganya dikenal dengan nama lokal ubi, batata, dan bete diistilahkan dengan makanan tanah), serta pisang rebus
dan sagu bakar yang dicampur terlebih dahulu dengan kelapa muda sebagai makanan pokok. Namun pemerintah Orde Baru mengintrodusir
beras menggantikan posisi makanan pokok lokal. Ditambah dengan adanya pandangan bahwa makan nasi lebih bergengsi dan menandakan
memiliki uang untuk membeli beras sehingga. Tanpa disadari in the long run ini terjadi pemiskinan lewat politik makanan pokok.
Di sisi lain, Alfian mencoba mencari jalan keluar. Untuk saat ini, katanya, yang harus dilakukan tampaknya membiarkan makanan pokok lokal
dan makanan pokok nasional apalagi yang bercita rasa global sama-sama exist. Yang penting adalah gerakan menyeimbangan diantara mereka.
Adapun Ahmad Ubaedillah menyoroti problematika ini dari sudut pandang globalisme. Menurutnya, sudah menjadi natur globalisme
menggerus apapun yang dianggap berlawanan dengan prinsip kapitalisme yang melahirakannya. Kepentingan kapitalisme (global) di balik
kehancuran struktur pangan nasional Indonesia tercium kuat.
Pramono dalam komentarnya mengatakan bahwa yang dapat dilakukan untuk menghadapi globalisme dan kapitalisme saat ini adalah
mengontrol dampak kerusakan yang ditimbulkan. Dan untuk itu dibutuhkan civil society yang kuat, dan upaya untuk meminimalisir
ketergantungan masyarakat pada pemerintah.
Pada bagian akhir, Agung mengatakan untuk menjawab pertanyaan bagaimana memperkuat ketahanan pangan nasional, secara ideal ketiga
agent pangan nasionalnegara, masyarakat. dan korporatharus bergerak bersama dan selaras. Tetapi kondisi idealnya ini tampaknya sulit
sekali terjadi.
Ukuran ketahanan pangan, menurut Agung, adalah apabila stok makanan pokok, apapun jenis makanan pokok itu, tercukupi. Untuk ini, sudah
sepatutnya masyarakat dilibatkan dengan diberi tempat dan akses yang luas; tidak hanya menjadi konsumen, tetapi juga produsen sehingga
dapat melestarikan makanan pokok lokal yang selama ini mereka konsumsi.

Anda mungkin juga menyukai