Anda di halaman 1dari 12

BAB II

LANDASAN TEORI

II. 1. Teori Self-efficacy

Teori self-efficacy merupakan cabang dari Social Cognitive Theory yang

dikemukakan oleh Albert Bandura (juga biasa dikenal dengan Social Learning

Theory). Teori kognitif sosial menurut Bandura menyoroti pertemuan yang kebetulan

(chance encounters) dan kejadian tak terduga (fortuitous events) meskipun

pertemuan dan peristiwa tersebut tidak serta merta mengubah jalan hidup manusia.

Cara manusia bereaksi terhadap pertemuan atau kejadian itulah yang biasanya

berperan lebih kuat dibanding peristiwa itu sendiri (Feist & Feist, 2008).

Beberapa asumsi awal dan mendasar dari teori kognitif sosial Bandura

adalah Learning Theory (teori pembelajaran) yang berasumsi bahwa manusia cukup

fleksibel dan sanggup mempelajari beragam kecakapan bersikap maupun

berperilaku, dan bahwa titik pembelajaran terbaik dari itu semua adalah adanya

pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious experiences). Teori kognitif sosial

Bandura juga mengambil sudut pandang manusia sebagai agen terhadap dirinya

sendiri, artinya bahwa manusia memiliki kapasitas untuk melatih kendali atas

hidupnya (Feist & Feist, 2008).

Bandura (2001) yakin bahwa manusia (human agency) adalah makhluk yang

sanggup mengatur dirinya, proaktif, reflektif dan mengorganisasikan dirinya. Selain

itu, mereka juga memiliki kekuatan untuk mempengaruhi tindakan mereka sendiri

demi menghasilkan konsekuensi yang diinginkan (dalam Feist & Feist, 2008).

12

Oleh sebab itu, Bandura memperkenalkan konsep self-efficacy. Bandura

(2001) mendefinisikan self-efficacy sebagai keyakinan manusia pada kemampuan

mereka untuk melatih sejumlah ukuran pengendalian terhadap fungsi diri mereka

dan kejadian-kejadian di lingkungannya (dalam Feist & Feist, 2006). Sedangkan

apabila self-efficacy diaplikasikan ke dalam dunia kerja, maka menurut Stajkovic &

Luthans (1998), self-efficacy dapat didefinisikan sebagai keyakinan seseorang

tentang kemampuannya untuk mengerahkan motivasi, sumber daya kognitif dan

tindakan yang diperlukan untuk berhasil melaksanakan tugas dan dalam konteks

tertentu (dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).

Keyakinan efficacy dikatakan mempengaruhi bagaimana seseorang melihat

dan menginterpretasi suatu kejadian. Mereka yang memiliki self-efficacy yang

rendah dengan mudah yakin bahwa usaha yang mereka lakukan dalam menghadapi

tantangan yang sulit akan sia-sia, sehingga mereka cenderung untuk mengalami

gejala negatif dari stres. Sementara mereka yang memiliki self-efficacy yang tinggi

akan cenderung untuk melihat tantangan sebagai sesuatu yang dapat diatasi yang

diberikan oleh kompetensi dan upaya yang cukup (Bandura dalam Avey, Luthans &

Jensen, 2009).

Pandangan Hughes, Ginnett & Curphy (2009) melihat self-efficacy terdiri dari

dua jenis; Positive self-efficacy dan Negative self-efficacy. Self-efficacy dikatakan

positif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang bahwa ia percaya mempunyai kuasa

untuk menciptakan apa yang ia inginkan atau harapkan. Sedangkan, self-efficacy

yang negatif ketika keyakinan yang dimiliki seseorang membuat dirinya lemah atau

melemahkan dirinya sendiri. Penelitian mengungkapkan bahwa orang yang secara

13

sederhana percaya bahwa ia dapat menyelesaikan suatu tugas tertentu dengan

baik, seringkali mengerahkan usaha yang cukup untuk menyelesaikan tugas

tersebut. Sebaliknya, orang yang memiliki self-efficacy yang negatif seringkali

menyerah dalam menghadapi kesulitan.

Menurut Feist & Feist (2008), manusia dapat memiliki self-efficacy yang tinggi

di satu situasi namun rendah di situasi lain. Hal ini berdasarkan atas faktor-faktor

yang membentuk self-efficacy pada satu pribadi. Self-efficacy pribadi itu didapatkan,

dikembangkan atau diturunkan melalui satu atau lebih dari kombinasi empat sumber

berikut (Bandura, 1997): (1) pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery

experiences), (2) pemodelan sosial (social modeling), (3) persuasi sosial (social

persuasion), (4) kondisi fisik dan emosi (physical and emotional states) (dalam Feist

& Feist, 2008).

II. 1. 1. Mastery Experiences

Sumber yang paling kuat atau berpengaruh bagi self-efficacy adalah

pengalaman-pengalaman tentang penguasaan (mastery experiences), yaitu kinerja

yang sudah dilakukan di masa lalu (Bandura dalam Feist & Feist, 2008). Biasanya,

kesuksesan suatu kinerja akan membangkitkan harapan terhadap kemampuan diri

untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan, sedangkan kegagalan cenderung

merendahkannya (Feist & Feist, 2008).

Dalam pekerjaan, menurut Gist & Mitchell (dalam Avey, Luthans & Jensen,

2009) keberhasilan dalam melakukan suatu tugas (performa/kinerja) sebelumnya

akan meningkatkan self-efficacy mengenai tugas tersebut, dan kesalahan yang

14

berulang saat melakukan suatu tugas maka membuat ekspetasinya menjadi lebih

rendah. Dengan kata lain, kinerja seseorang dalam melakukan suatu tugas akan

sangat mempengaruhi self-efficacy.

II. 1. 2. Social Modeling

Social modeling atau pemodelan sosial, yaitu berbicara mengenai

pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious experiences) yang disediakan atau

dilakukan oleh orang lain. Self-efficacy akan meningkat ketika seseorang mengamati

pencapaian orang lain yang setara kompetensinya, tetapi akan menurun ketika

melihat kegagalan seorang rekan kerja (Feist & Feist, 2008).

Menurut Bandura (1977); Gist & Mitchell (1992), social modeling adalah

pemodelan perilaku orang lain yang telah berhasil menyelesaikan suatu tugas.

Dengan mengamati atau mengobservasi orang lain yang berhasil menyelesaikan

tugasnya, observer dapat meningkatkan atau memperbaiki performance mereka

(dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).

II. 1. 3. Social Persuasion

Menurut Bandura (1997), self-efficacy dapat juga diraih atau dilemahkan

melalui persuasi sosial. Efek persuasi sosial agak terbatas, namun apabila dalam

kondisi yang tepat akan sangat berdampak dalam meningkatkan atau menurunkan

self-efficacy. Kondisi yang dimaksud ialah seseorang harus percaya kepada sang

pembicara (persuader). Bandura (1986) berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat

15

bagi self-efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas dari pemberi nasihat

(dalam Feist & Feist, 2008).

Social persuasion terjadi ketika seseorang memberitahu kepada seorang

individu bahwa mereka dapat menyelesaikan tugas dengan berhasil. Bentuk umum

dari social persuasion yaitu; dorongan verbal, coaching dan menyediakan

performance feedback (Bandura dalam Avey, Luthans & Jensen, 2009).

II. 1. 4. Physical and Emotion States

Sumber terakhir dari self-efficacy adalah kondisi fisik dan emosi (Bandura,

1997). Emosi yang kuat biasanya menurunkan tingkat performa/kinerja seseorang.

Ketika mengalami rasa takut yang besar, kecemasan yang kuat dan tingkat stres

yang tinggi, seseorang akan memiliki self-efficacy yang rendah. Bagi beberapa

psikoterapis sudah lama menyadari bahwa pereduksian/pengurangan rasa cemas

atau peningkatan relaksasi fisik dapat meningkatkan kinerja (dalam Feist & Feist,

2008).

Keempat sumber self-efficacy tersebut digunakan untuk menentukan apakah

seseorang dikatakan kompeten atau mampu melakukan perilaku tertentu (Friedman

& Schustack, 2008). Pada penelitian ini, diasumsikan bahwa melalui keempat

sumber self-efficacy tersebut seorang karyawan baru dikatakan dapat berhasil

menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja baru atau dengan kata lain keempat

informasi tersebut menjadi indikator dalam menggambarkan self-efficacy seorang

karyawan baru. Antara self-efficacy dan performance atau kinerja kerja seseorang

16

dikatakan saling menguntungkan atau mempengaruhi satu sama lain. Self-efficacy

memimpin atau mengarahkan seseorang ke performance kerja yang lebih baik, dan

sebaliknya performance kerja yang baik akan meningkatkan self-efficacy seseorang

(Larsen & Buss, 2008).

II. 2. Program Orientasi Karyawan Baru

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, program orientasi merupakan

bagian dalam sosialisasi. Sosialisasi dalam suatu organisasi adalah suatu tindakan

bersifat luas yang memperkenalkan seorang karyawan baru kepada organisasi

dengan melalui proses memindahkan norma-norma kepada bagaimana mereka

berperilaku dalam cara yang diterima oleh kelompok sosial dan menjadi bagian di

dalamnya. Menurut Anderson-Gough et al. (2000), sosialisasi dalam organisasi

terdiri atas; proses formal dan informal yang memungkinkan karyawan baru menjadi

anggota yang secara berhasil dapat berfungsi dalam kolektivitas organisasi tersebut

(dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H., 2010).

Menurut Cooper-Thomas & Anderson (2006), sosialisasi dalam organisasi

mencerminkan proses pembelajaran dimana karyawan baru beradaptasi dari

seorang outsider menjadi insider yang efektif. Proses belajar ini termasuk

pengembangan pengetahuan mengenai struktur organisasi, peraturan formal

organisasi dan tujuan resmi, serta peraturan sosial yang terbentuk dari sejarah

perusahaan, tradisi dan politik organisasi tersebut (dalam Antonacopoulou, E. P. &

Guttel, W. H., 2010). Hal ini tidak jauh berbeda dengan content atau dimensi dari

program orientasi yang ada dalam Klein et al. (2000); performance proficiency

17

(kemahiran performance), politik, language (bahasa), people (orang), organizational

goals/values (tujuan/nilai organisasi) dan history (sejarah)

Tujuan utama dari sosialisasi dalam organisasi adalah perpindahan dari

pekerjaan dan informasi yang relevan dan tugas kepada anggota organisasi yang

baru. Dari sudut pandang organisasi, program orientasi (sebagai bagian dalam

sosialisasi) berusaha menstimulasi pembelajaran dalam rangka membuat karyawan

baru menjadi familiar dengan sistem, peraturan, kondisi dan rekan kerja di tempat

kerja yang baru. Begitu juga dari sudut pandang individu, program orientasi

memudahkan karyawan baru menerima nilai-nilai, norma dan pola perilaku yang

dibutuhkan mereka untuk belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja yang

baru (Schein, dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H., 2010).

Blanchard & Thacker (2010) melihat program orientasi sebagai tahap awal

dimulainya proses sosialisasi karyawan baru dengan membantu mereka belajar

tentang bagaimana cara organisasi bekerja dan nilai-nilai yang dimilikinya. Oleh

karena itu, menurut Blanchard & Thacker program orientasi menjadi penting, yaitu

dimana suatu perusahaan yang dikatakan baik akan menyadari bahwa dengan

menyediakan karyawan baru dengan informasi yang mereka perlukan untuk

memahami perusahaan dan apa yang diharapkan dari perusahaan pada mereka

adalah suatu investasi yang baik.

Penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang mengikuti program orientasi

akan lebih bersedia mengadopsi tujuan dan nilai-nilai perusahaan dibandingkan

dengan mereka yang tidak mengikuti program orientasi. Terdapat beberapa positive

outcome atau hasil yang positif bagi suatu organisasi dengan menyelenggarakan

18

orientasi untuk pegawai baru, yaitu mengurangi rasa cemas, mengurangi role

ambiguity, mengurangi turnover, meningkatkan prestasi kerja, tingkat komitmen

yang lebih tinggi, organisasi yang lebih efektif/efisien (Blanchard & Thacker, 2010).

Untuk keterangan lebih detil tentang positive outcome dari program orientasi yang

efektif, dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 2.1 Positive Outcomes Possible from an Effective Orientation


Reduced anxiety A better understanding of expectations and formalized
meeting of co-workers results in the new employee not
feeling the higher level of anxiety associated with the first few
days on the job.
Reduced role ambiguity A structured opportunity to determine what is required on the
job and a comfortable feeling about approaching the
supervisor and co-workers to ask questions about the job
provide an opportunity to clear up any misunderstandings
about job requirements.
Reduced turnover Substantial evidence indicates that effective orientations
reduce turnover.
Improved job performance A better understandings of job requirements and the
willingness to ask for assistance result in fewer errors and
the ability to get up to top production levels sooner; all of
which translates to improved performance.
Higher level of commitment Evidence suggests that those who receive effective
orientations are more commited, more involved in their job,
and more likely to take on the values of the organization.
More effective/efficient The organization with more employees achieving optimal
performance quicker, operating at a higher level of
performance, showing a clearer understanding of their
responsibilities, staying with the organization for a longer
time, and being more committed to the values and objectives
of the organizations is definitely going to be more efficient,
effective, and valuable to its shareholders.

Sumber: Blanchard & Thacker (2010, p. 378)

Sayangnya, orientasi dikatakan salah satu program training yang sering

diabaikan atau sering dilakukan secara asal/semena-mena. Menurut Blanchard &

Thacker (2010), survei menunjukkan bahwa hanya 39% dari eksekutif senior yang

merasa puas dengan usaha organisasi untuk mengarahkan mereka kepada

organisasi.

Berdasarkan positive outcomes dari program orientasi yang efektif, yang

berhubungan dengan sumber informasi atau indikator dari self-efficacy adalah


19

improved job performance berkaitan dengan mastery experience seseorang; yaitu

melalui program orientasi karyawan baru, seorang karyawan baru memiliki

pemahaman yang lebih baik mengenai persyaratan suatu tugas atau pekerjaan,

sehingga apabila ia telah berhasil menyelesaikan tugas tersebut maka ia memiliki

mastery experience terhadap tugas tersebut dan job performance nya pun semakin

meningkat begitu juga dengan self-efficacy nya. Berikutnya adalah reduced anxiety

berkaitan dengan physical and emotional states; yaitu dengan adanya program

orientasi karyawan baru, seorang karyawan baru memiliki pemahaman yang lebih

baik tentang harapan perusahaan kepada mereka juga bertemu dengan rekan kerja

secara formal melalui program orientasi karyawan baru tersebut menghasilkan

penurunan tingkat kekuatiran mereka, sehingga emotional state atau kondisi emosi

karyawan baru dapat terhindar dari rasa tertekan atau stres dan dengan begitu

dapat meningkatkan self-efficacy mereka.

II. 3. Kaitan Self-Efficacy dan Program Orientasi Karyawan Baru

Telah dijelaskan sebelumnya mengenai dua topik utama dari penelitian ini,

yaitu self-efficacy dan program orientasi baru. Menurut Stajkov & Luthans (1998),

suatu penelitian meta-analysis yaitu terdiri dari 114 studi dan termasuk lebih dari

21.000 karyawan, menemukan bahwa karyawan dengan learning efficacy

(keyakinan mengenai kemampuan mereka untuk mendapatkan keterampilan baru)

yang tinggi mampu untuk belajar keterampilan kompleks lebih mudah dibanding

dengan karyawan yang memiliki learning efficacy yang rendah (dalam Schultz &

Schultz, 2006).

20

Learning efficacy sama halnya dengan self-efficacy, dimana berbicara

mengenai keyakinan seseorang bahwa ia merasa mampu untuk mendapatkan

sesuatu (learning efficacy mendapatkan keterampilan baru, sedangkan self-efficacy

dapat menyelesaikan suatu tugas). Penelitian meta-analysis juga dilakukan oleh

Bauer et al. (2007) menunjukkan bahwa pencarian informasi seorang karyawan baru

berpengaruh terhadap sosialisasi dalam organisasi, dan di sisi lain juga

mempengaruhi penyesuaian seorang karyawan baru dalam hal role clarity

(kejelasan peran), self-efficacy dan social acceptance (penerimaan sosial), seperti

yang terlihat pada Gambar 2.1 (dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H., 2010).

Newcomer Newcomer adjustment Outcomes


information seeking
Role clarity (+) Performance (+)
Job satisfaction (+)
Organizational Self-efficacy (+) Organizational commitment (+)
socialization tactics Intentions to remain (+)
Social acceptance (+) Turnover (+)
Sumber: Bauer et al. (2007, p. 708) dalam Antonacopoulou, E. P. & Guttel, W. H. (2010)

Gambar 2.1 Antecedents and outcomes of newcomer adjustment during

organizational socialization

Gambar 2.1 menggambarkan bagaimana organizational socialization tactics

dan pencarian informasi dari karyawan baru (new comer information seeking)

berperan dalam penyesuaian diri karyawan baru (newcomer adjustment) salah

satunya adalah self-efficacy. Dimana jika dilihat outcomes yang diperoleh memiliki

persamaan dengan positive outcomes dari program orientasi yang efektif pada Tabel

2.1 yakni; improved job performance, organizational commitment dan reduced

turnover. Dengan begitu dapat disimpulkan bahwa program orientasi karyawan baru

(sebagai organizational socialization tactics) dapat mempengaruhi self-efficacy


21

karyawan baru sebagai salah satu faktor dalam penyesuaian diri mereka sebagai

new comer pada perusahaan tersebut yang nantinya akan menghasilkan beberapa

positive outcomes yang berkaitan dengan sumber self-efficacy. Untuk dapat

mencapai positive outcomes tersebut maka yang menjadi penentu adalah dalam

pelaksanaan program orientasi karyawan baru, yaitu pelaksanaan program orientasi

karyawan baru seperti apa yang dapat mempengaruhi self-efficacy karyawan baru

sehingga terjadinya new comer adjustment yang berhasil dan mencapai outcomes

yang diharapkan.

Metode yang dapat digunakan untuk mempengaruhi self-efficacy karyawan

baru dalam program orientasi karyawan baru adalah metode pembelajaran (method

of learning). Terdapat beberapa metode pembelajaran, yaitu antara lain; traditional

learning, training dan coaching (Hughes, Ginnett & Curphy, 2009). Dari metode

tersebut yang dapat disesuaikan dengan pelaksanaan program orientasi karyawan

baru adalah traditional learning yakni dalam penelitian ini akan diberikan beberapa

materi atau topik soft skill ke dalam program orientasi karyawan baru, untuk dapat

melihat apakah pemberian materi soft skill tersebut memiliki peran terhadap self-

efficacy karyawan baru.

Dalam dunia kerja, skill atau keterampilan terbagi dalam dua istilah; hard

skills dan soft skills. Hard skills merupakan keterampilan terkait dengan prosedur

teknikal atau administratif yang berhubungan dengan bisnis inti dari suatu

organisasi, contohnya: operasional mesin, peraturan komputer, standar keamanan,

prosedur finansial dan administrasi penjualan. Keterampilan-keterampilan tersebut

dapat dengan mudah diobservasi dan diukur. Di lain pihak, soft skills (juga disebut

22

dengan people skills) merupakan keterampilan yang sulit untuk diobservasi dan

diukur. Kebutuhan people skills dalam pekerjaan sama seperti kebutuhan setiap

hari, yaitu bagaimana seseorang berhubungan dengan tiap orang; berkomunikasi,

mendengarkan, terlibat dalam dialog, memberikan feedback, bergabung sebagai

anggota tim, memecahkan permasalahan, berkontribusi dalam pertemuan dan

menyelesaikan kembali suatu konflik (Coates, 2006).

Pada penelitian ini soft skill yang dimaksud merupakan keterampilan yang

berhubungan dengan self-efficacy atau dengan kata lain keterampilan yang

dibutuhkan oleh seorang karyawan baru agar mereka memiliki self-efficacy yang

baik. Content atau isi dari pemberian materi soft skill yang berhubungan dengan self-

efficacy antara lain motivasi dan panduan menghadapi kesulitan dan tantangan

sebagai seorang karyawan baru.

23

Anda mungkin juga menyukai