NPM : 1506800792
STROKE ISKEMIK
Sistem saraf terdiri dari sel-sel saraf (neuron) dan sel-sel penyokong (neuroglia dan sel
Schwann). Neuron adalah sel-sel sistem saraf khusus peka rangsang yang menerima
masukan sensorik atau aferen dari ujung-ujung saraf perifer khusus atau dari organ
reseptor sensorik dan menyalurkan masukan motorik atau masukan eferen ke otot-otot dan
kelenjar-kelenjar, yaitu organ-organ efektor. Neuron tertentu, disebut interneuron, hanya
mempunyai fungsi menerima dan mengirim data neural ke neuron-neuron lain.
Interneuron tersebut disebut juga neuron asosiasi sangat banyak pada substansia grisea,
tempat antarhubungan menyebabkan banyak fungsi integratif medula spinalis. Neuroglia
merupakan penyokong, pelindung, dan sumber nutrisi bagi neuron-neuron otak dan
medula spinalis. Sel Schwann merupakan pelindung dan penyokong neuron-neuron dan
tonjolan neuronal di luar sistem saraf pusat (Price & Wilson, 2005).
Sistem saraf dibagi menjadi dua yaitu sistem saraf pusat (SSP) dan sistem saraf tepi (PNS).
SSP terdiri dari otak dan medula spinalis. SSP dilindungi oleh tulang tengkorak dan tulang
belakang. SSP juga dilindungi oleh suspensi cairan serebrospinal yang diproduksi dalam
ventrikel otak. SSP diliputi oleh tiga lapis jaringan yang secara bersama-sama disebut
sebagai meninges (dura mater, araknoid, pia mater). Otak dibagi menjadi otak depan, otak
tengah, dan otak belakang berdasarkan perkembangan embriologik. Batang otak
merupakan sebutan untuk otak tengah, pons, dan medula oblongata secara bersama-sama.
Medula spinalis merupakan suatu struktur lanjutan tunggal yang memanjang dari medula
oblongata melalui foramen magnum dan terus ke bawah melalui kolumna vertebralis
sampai setinggi vertebra lumbalis pertama (L1) orang dewasa. Medula spinalis terbagi
menjadi 31 segmen yang menjadi tempat asal dari 31 pasang saraf spinal. Segmen-segmen
tersebut dinamakan sesuai dengan vertebra tempat keluarnya radiks saraf yang
bersangkutan, sehingga medula spinalis dibagi menjadi bagian servikal, torakal, lumbal,
dan sakral (Price & Wilson, 2005).
PNS terdiri dari neuron aferen dan eferen sistem saraf somatis dan neuron sistem autonom
(viseral). Secara anatomis, PNS dibagi menjadi 31 pasang saraf spinal dan 12 pasang saraf
kranial. Saraf perifer terdiri dari neuron-neuron yang menerima pesan-pesan neural
sensorik (aferen) yang menuju ke SSP tubuh dan ekstremitas. Saraf eferen terutama
berhubungan dengan otot rangka tubuh. Sistem saraf somatis menangani interaksi dan
respons terhadap lingkungan luar. Sistem saraf autonom merupakan sistem saraf
campuran. Serabut-serabut aferennya membawa masukan dari organ-organ viseral
(menangani pengaturan denyut jantung, diameter pembuluh darah, pernapasan,
pencernaan makanan, rasa lapar, mual, pembuangan, dan sebagainya). Sistem saraf
autonom terutama menangani pengaturan fungsi viseral dan interaksinya dengan
lingkungan internal. Sistem autonom dibagi menjadi dua bagian, yaitu sistem saraf
autonom parasimpatis (parasympathethic autonomic nervous system, PANS) dan sistem
saraf autonom simpatis (sympathethic autonomic nervous system, SANS). Bagian simpatis
meninggalkan SSP dari daerah torakal dan lumbal (torakolumbal) medula spinalis. Bagian
parasimpatis keluar dari otak (melalui komponen-komponen saraf kranial) dan bagian
sakral medula spinalis (kraniosakral). Beberapa fungsi simpatis adalah peningkatan
kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta penurunan aktivitas saluran cerna. Tujuan
utama SANS adalah mempersiapkan tubuh agar siap menghadapi stres atau yang disebut
respons fight or flight. Sebaliknya, sistem saraf parasimpatis autonom menurunkan
kecepatan denyut jantung dan pernapasan, serta meningkatkan pergerakan saluran cerna
sesuai dengan kebutuhan pencernaan dan pembuangan (Price & Wilson, 2005).
B. Etiologi
Aliran darah ke otak dapat menurun dengan beberapa cara. Iskemia terjadi ketika
suplai darah ke bagian dari otak terganggu atau tersumbat total. Kemampuan
bertahan yang utama pada jaringan otak yang iskemik bergantung pada lama waktu
kerusakan ditambah dengan tingkatan gangguan dari metabolism otak. Iskemua
terjadi karena thrombosis atau embolik. Namun lebih sering stroke yang terjadi
karena thrombosis. Stroke yang terjadi pada pembuluh darah besar disebabkan oleh
adanya sumbatan pada arteri serebral utama, seperti pada karotid interna, serebral
anterior, serebral media, serebral posterior, vertebral, dan arteri basilaris. Stroke
pembuluh darah kecil terjadi pada pembuluh darah besar yang masuk ke bagian
lebih dalam bagian otak (Black & Hawks, 2014).
Stroke yang disebabkan oleh thrombosis atau penggumpalan mulanya terjadi dari
adanya kerusakan pada bagian garis endothelial dari pembuluh darah. Aterosklerosis
merupakan penyebab utama. Aterosklerosis menyebabkan zat lemak tertumpuk dan
membentuk plak pada dinding pembuluh darah. Plak ini terus membesar dan
menyebabkan penyempitan (stenosis) pada arteri. Stenosis menghambat aliran darah
pada arteri yang seharusnya lancar. Darah akan berputar-putar di bagian permukaan
yang terdapat plak tersebut. Akhirnya rongga pembuluh darah menjadi tersumbat.
Selain itu, penyumbatan dapat terjadi karena inflamasi pada arteri atau disebut
arteritis atau vaskulitis tetapi hal ini jarang terjadi. Trombus bisa terjadi di semua
bagian sepanjang arteri carotid atau pada cabang-cabangnya Bagian yang biasa
terjadi penyumbatan adalah pada bagian yang mengarah pada percabangan dari
carotid utama ke bagian dalam dan luar dari arteri carotid. Stroke karena thrombosis
adalah tipe yang paling sering terjadi pada pasien dengan diabetes.
Sumbatan pada arteri serebral yang disebabkan oleh embolus menyebabkan stroke
embolik. Embolus terbentuk di bagian luar otak, kemudian terlepas dan mengalir
melalui sirkulasi serebral sampai embolus tersebut melekat pada pembuluh darah
dan menyumbat arteri. Embolus yang paling sering adalah plak. Trombus dapat
terlepas dari arteri karotis bagian dalam pada bagian luka plak dan bergerak ke
dalam sirkulasi serebral. Kejadian fibrilasi atrial kronik dapat berhubungan dengan
tingginya kejadian stroke embolik, yaitu darah terkumpul di dalam atrium yang
kosong. Gumpalan darah yang sangat kecil terbentuk dalam atrium kiri dan bergerak
menuju jantung dan masuk ke dalam sirkulasi serebral. Endokarditis yang
disebabkan oleh bakteri maupun yang nonbakteri dapat menjadi sumber terjadinya
emboli. Sumber-sumber penyebab emboli lainnya adalah tumor, lemak, bakteri dan
udara. Emboli bisa terjadi pada seluruh bagian pembuluh darah serebral. Kejadian
emboli pada serebral meningkat bersamaan dengan meningkatnya usia (Black &
Hawks, 2014).
C. Faktor Risiko
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi/diturunkan :
Faktor risiko terjadinya stroke adalah (Smeltzer & Bare, 2010):
1. Hipertensifaktor risiko utama
2. Penyakit kardiovaskular embolisme serebral yang berasal dari jantung, seperti
penyakit arteri koronaria, gagal jantung kongestif, hipertrofi ventrikel kiri,
abnormalitas irama, penyakit jantung kongestif.
3. Kolestrol tinggi
4. Obesitas
5. Peningkatan hemotokrit meningkatkan risiko infark serebral
6. Diabetes : Mekanisme terjadinya kondisi stroke akibat DM yaitu disebabkan oleh
perubahan makrovaskular pada penderita diabetes.
7. Kontrasepsi oral yang disertai dengan hipertensi, merokok, dan kadar ekstrogen
tinggi
8. Merokok
9. Penyalahgunaan obat, khususnya kokain
10. Konsumsi alkohol
11. Penyempitan pada karotis dan riwayat serangan iskemi transien (Transient
Ischenic Attacts/ TIAs)
12. Penuaan
B. Afasia
Afasia adalah defisit kemampuan berkomunikasi. Afasia mungkin melibatkan salah
satu atau semua aspek komunikasi, termasuk berbicara, membaca, menulis, dan
pemahaman bahasa lisan. Pusat pengaturan bahasa terletak di belahan otak kiri dan
diperdarahi oleh arteri serebri medial kiri.
1. Afasia Wernicke atau afasia sensorik merupakan gangguan pemahaman
komunikasi dimana kemampuan komunikasi hanya lancar mengeluarkan isi
pikiran, berbicara dengan memakai kalimat yang panjang namun yang
dibicarakan tidak mempunyai arti. Tetapi pada pasien afasia Wernicke tidak
mengerti pembicaraan orang lain. Akibatnya pada pasien tersebut terlihat tidak
nyambung kalau diajak bicara karena otak tidak mampu menginterpretasikan
pembicaraan orang lain walaupun pendengarannya baik. Afasia Wernicke
berhubungan dengan kerusakan pada Area Wernicke dan diakibatkan infark pada
lobus temporal otak. Pada tingkat sangat berat, perintah satu kata, seperti
duduk! atau makan!, juga tidak dipahaminya. Pasien tersebut hanya mengerti
bila dilakukan dengan gerakan, karena pengertian ini diterima otak melalui
penglihatan.
2. Afasia Broca atau afasia motorik merupakan ketidakmampuan berbicara. Namun,
penderita afasia Broca mengerti bila diperintah dan menjawab dengan gerakan
tubuh sesuai perintah itu. Afasia Broca berhubungan dengan kerusakan di area
Broca. Area Broca adalah bagian dari otak manusia yang terletak di gyrus
frontalis superior pada lobus korteks otak besar. Area Broca letaknya
berdampingan dengan area Wernicke. Karena kerusakan terjadi berdampingan
dengan pusat otak untuk pergerakan otot-otot tubuh, penderita juga lumpuh di
otot-otot tubuh sebelah kanan.
3. Disfagia
Menelan merupakan proses yang kompleks yang membutuhkan beberapa fungsi
saraf kranial. Mulut membuka (CN V: N. Irigeminus), menutup bibir (CN VII: N.
Pachialis), dan lidah yang bergerak (CN XII: N. Hipoglosus). Mulut merasakan
rasa dan banyaknya bolus makanan yang masuk (CN V dan VII) dan mengirim
pesan ke pusat menelan (CN V dan IX). Selama menelan, lidah mengerakkan
bolus makanan ke arah orofaring tersebut. Faring diangkat dan glotis menutup.
Kontraksi otot-otot faring mengangkut makanan dari faring ke esofagus.
Peristaltik menggerakkan makanan ke perut. Sebuah stroke di wilayah sistem
vertebrobasilar menyebabkan disfagia.
4. Dysarthria
Dysarthria adalah artikulasi tidak sempurna yang menyebabkan kesulitan dalam
berbicara. Penting untuk membedakan antara dysarthria dan aphasia. Dengan
dysarthria klien mengerti bahasa tetapi memiliki kesulitan mengucapkan kata-
kata. Tidak ada gangguan jelas dalam tata bahasa atau dalam konstruksi kalimat.
Seorang klien dysarthric dapat memahami komunikasi verbal dan dapat membaca
dan menulis (kecuali tangan dominan adalah lumpuh, tidak ada, atau terluka).
Dysarthria disebabkan oleh distidakfungsi nervus cranial dari penyumbatan
pembuluh darah di arteri vetebrobasilar atau percabangannya. Hal ini akan
menyebabkan kelemahan atau paralisis dari otot-otot bibir, lidah dan laring atau
kehilangan sensasi. Tambahan, klien dengan dysarthria akan mengalami kesulitan
dalam mengunyah dan menelan karena kehilangan control otak.
5. Apraxia
Apraxia adalah suatu kondisi yang mempengaruhi integrasi motorik secara
kompleks. Oleh karena itu apraxia dapat menyebabkan stroke di beberapa area
otak. Klien apraxia tidak dapat melakukan kegiatan sehari-hari, seperti memakai
baju. Klien dengan apraxia mampu mengkonseptualisasikan isi dari pesan yang
akan disampaikan ke otot tetapi impuls tersebut tidak dapat direkonstruksikan
oleh otot.
6. Perubahan Visual
Penglihatan adalah proses komplek yang dikontrol oleh beberapa area di otak.
Penyumbatan di lobus parietal dan temporal dapat memotong serat saraf visual di
traktus optikus dalam perjalanan ke korteks oksipital dan memnyebabkan
gangguan ketajaman penglihatan. Persepsi tentang penglihatan mungkin
terganggu. Gangguan penglihatan dapat mempengaruhi terhadap
ketidakmampuan klien untuk mempelajari keterampilan motorik. Infark dapat
menyebabkan fungsi dari CN III, IV, dan VI lumpuh dan diplopia.
7. Sindrom Horners
Sindrom Horners adalah paralisis saraf simpatis mata yang dapat menyebabkan
tenggelamnya bola mata, kontriksi pupil dan penurunan produksi air mata.
8. Agnosia
Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mempersepsikan sensasi yang ada.
Biasanya lebih banyak terjadi tipe visual dan auditori. Agnosia mungkin dapat
disebabkan dari oklusi di arteri serebral medial dan posterior yang mensuplai
aliran darah ke lobus temporal atau oksipital. Klien dengan visual agnosia dapat
melihat objek tetapi tidak dapat mempersepsikan objek tersebut. Disorientasi
dapat terjadi karena ketidakmampuan untuk mengenal lingkungan, suatu yang
familiar atau simbol-simbol tertentu. Visual agnosia dapat menigkatkan resiko
injuri karena tidak dapat mengenal tanda-tanda atau symbol-simbol bahaya. Klien
dengan agnosia auditori tidak dapat mengartikan suara yang klien dengar karena
penurunan fungsi pendengaran atau kesadaran.
9. Defisit Sensorik
Beberapa jenis perubahan sensori dapat diakibatkan oleh stroke dalam perubahan
sensorik dapat hasil dari stroke di area sensori dari lobus parietalis yang disuplai
oleh arteri serebral anterior atau medial. Defisit tersebut pada sisi kontralateral
tubuh dan sering disertai dengan hemiplegia atau hemiparesis. Sensasi rasa sakit
yang dangkal, sentuhan, tekanan, dan temperatur yang mempengaruhi variasi
tingkatan. Paresthesia digambarkan sebagai persisten, rasa sakit terbakar berupa
mati rasa, kesemutan, atau menusuk-nusuk, atau kepekaan yang meningkat.
Resiko jatuh sangat tinggi cenderung pada posisi kaki yang salah saat berjalan.
10. Perubahan Perilaku
Berbagai bagian dari otak membantu kontrol perilaku dan emosi. Korteks serebral
interpretasikan stimulus yang masuk. Daerah temporal dan limbik memodulasi
tanggapan emosional terhadap stimulus. Hipotalamus dan kelenjar pituitary
berkerja sama dengan dengan korteks motorik dan area bahasa. Otak dapat dilihat
sebagai modulator emosi, dan ketika otak tidak berfungsi sepenuhnya, reaksi
emosional dan tanggapan kekurangan modulasi ini. Orang dengan stroke di otak
kiri, atau dominan, hemisfer sering lambat, dan tidak terorganisir. Orang dengan
stroke di otak kanan, atau tidak dominan, hemisfer sering impulsif, melebih-
lebihkan kemampuan, dan memiliki rentang perhatian menurun, yang
meningkatkan risiko cedera. Infark pada lobus frontal dari stroke di arteri serebral
anterior atau medial dapat menyebabkan gangguan pada memori, penilaian,
berpikir abstrak, wawasan, hambatan, dan emosi. Klien mungkin menunjukkan
pengaruh yang datar, kurangnya spontanitas, dan pelupa.
11. Inkontinensia
Stroke dapat menyebabkan disfungsi usus dan kandung kemih. Salah satu jenis
neurologis kandung kemih, kadang-kadang terjadi setelah stroke. Saraf mengirim
pesan untuk pengisian kandung kemih ke otak, tapi otak tidak menafsirkan pesan
tersebut dan tidak mengirimkan pesan untuk tidak buang air kecil ke kandung
kemih. Hal ini menyebabkan frekuensi, urgensi, dan inkontinensia. Penyebab lain
dari inkontinensia mungkin penyimpangan memori, kurang perhatian, faktor
emosional, ketidakmampuan untuk berkomunikasi, gangguan mobilitas fisik, dan
infeksi. Durasi dan keparahan disfungsi tergantung pada tingkat dan lokasi infark
tersebut.
Iskemia dengan cepat bisa mengganggu metabolisme. Kematian sel dan perubahan
yang permanen dapat terjadi dalam waktu 3-10 menit. Tingkat oksigen dasar klien dan
kemampuan mengompensasi menentukan seberapa cepat perubahan perubahan yang
tidak bisa di perbaiki akan terjadi. Aliran darah dapat terganggu oleh masalah perfusi
local, seperti pada stroke atau gangguan perfusi secara umum, misalnya pada hipotensi
atau henti jantung. Tekanan perfusi serebral harus turun dua pertiga di bawah nilai
normal (nilai tengah tekanan arterial sebanyak 50 mm Hg atau dibawahnya dianggap
nilai normal) sebelum otak tidak menerima aliran darah yang adekuat. Dalam waktu
yang singkat, klien yang sudah kehilangan kompensasi autoregulasi akan mengalami
manifestasi dari gangguan neurologis.
Penurunan perfusi serebral biasanya disebabkan oleh sumbatan di arteri serebral atau
perdarahan intraserebral. Sumbatan yang terjadi mengakibatkan iskemik pada jaringan
otak yang mendapatkan suplai dari arteri yang terganggu dan karena adanya
pembengkakakn di jaringan sekelilingnya. Sel-sel di bagian tengah terutama pada
lokasi stroke akan mati dengan segera setelah kejadian stroke terjadi.Hal ini dikenal
dengan istilah cedera saraf primer. Daerah yang mengalami hipoperfusi juga terjadi
disekitar bagian utama yang mati. Bagian ini disebut penumbra. Ukuran dari bagian ini
bergantung pada jumlah sirkulasi kolateral yang ada. Sirkulasi kolateral merupakan
gambaran pembuluhh darah yang memperbesar sirkulasi pembuluh darah utama dari
otak. Perbedaan dalam ukuran dan jumlah pembuluh darah kolateral dapat menjelaskan
berbagai macam tingkat keparahan manifestasi stroke yang dialami oleh klien di daerah
anatomis yang sama.
Beberapa proses reaksi biokimia akan terjadi dalam hitungan menit pada kondisi
iskemik serebral. Reaksi-reaks tersebut seperti neurotoksin, oksigen radikal bebas, nitro
oksida, dan glutamate akan dilepaskan. Asidosis local juga akan terbentuk. Depolarisasi
membrane juga akan terjadi. Sebagai hasilnya akan terjadi edema sitotoksik dan
kematian sel. Hal ini dikenal dengan perlukaan sel-sel saraf sekunder. Bagian neuron
penumbra paling dicurigai terjadi sebagai akibat dari iskemik serebral. (Black &
Hawks, 2014).
Trombus Embolus
Membentuk plak
Infark
Stroke
V. Komplikasi
1. Perdarahan
2. Edema serebral
3. Hiperglikemia
4. Stroke berulang
5. Koma
VI. Pengkajian
AKTIFITAS/ ISTIRAHAT
Tanda:
Merasa kesulitan untuk melakukan aktifitas karena kelemahan, kehilangan sensasi
atau paralysis.
Gejala:
Gangguan tonus Otot
Gangguan penglihatan
Gangguan tingkat kesadaran
SIRKULASI
Tanda:
Adanya penyakit jantung , Keterangan :
Polisitemia
Riwayat hipotensi postural
Gejala ;
Hipertensi arterial
Nadi, Frekuensi: kali/ menit, Kuat/ lemah. Regular/ ireguler. Disaritmia
Perubahan EKG
Desiran pada karotis, femoralis, dan arteri iliaka/ aorta yang abnormal
INTEGRITAS EGO
Tanda:
Perasaan tidak berdaya
Perasaan putus asa
Gejala:
Emosi yang labil
Ketidaksiapan untuk marah, sedih dan gembira
Kesulitan untuk mengekspresikan diri
ELIMINASI
Gejala:
Perubahan pola berkemih sepert; inkontinensia/ anuria.
Distensi abdomen ( distensi kandung kemih berlebihan )
Bising usus negative ( ileus paralitik)
MAKANAN/ CAIRAN
Tanda:
Kesulitan menelan (gangguan pada refleks palatum dan faringea).
Obesitas (faktor resiko)
Gejala:
Nafsu makan hilang
Mual,
Muntah selama fase akut (peningkatan TIK)
Kehilangan sensasi (rasa kecap) pada lidah, pipi dan tenggorokan.
Dyspagia
Adanya riwayat diabetes , peningkatan lemak dalam darah ,, normal:
NEUROSENSORI
Tanda:
Status mental/ tingkat kesadaran =E:.., M: .., V: . GCS =
Lethargi
Apatis
Menyerang
Penurunan memori
Pemecahan masalah
Ekstremitas/ paralysis
Genggaman tidak sama
Reflek tendon melemah secara kontralateral
Pada wajah terjadi paralisi/ parese (ipsilateral)
Afasia motorik
Afasia reseftif/ sensorik
Kehilangan rangsang visual
Kehilangan rngsang pendengaran taktil/ agnosia)
Kehilangan kemampuan menggunakan motorik saan pasien ingin menggunakannya
(apraksia)
Ukuran/ reaksi pupil tidak sama
Dilatasi/ miosis pupil ipsilateral ( perdarahan/ herniasi) Kekakuan nukal biasanya
karena perdarahan.
Kejang karena adanya pencetus perdarahan
Gejala:
Sinkope/ pusing ( sebelum serangan CSV/ selama TIA)
Sakit kepala
Kelemahan/ kesemutan kebas
Penglihatan menurun
Penglihatan ganda
NYERI/ KENYAMANAN
Tanda:
Tingkah laku yang stabil/ gelisah, ketegangan pada otot/ fasia
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda- beda
Gejala:
Sakit kepala dengan intensitas yang berbeda- beda
PERNAFASAN
Tanda:
Ketidak mampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas
Timbulnya pernafasan sulit dan / atau tidak teratur
Suara nafas terdengar/ ronki (aspirasi sekresi)
Gejala:
Merokok (faktor resiko)
KEAMANAN
Tanda:
Motorik/ sensorik, masalah dengan penglihatan
Perubahan persepsi terhadap orientasi tempat tubuh (stroke kanan)
Kesulitan untuk melihat obyek kesisi kiri (pada stroke kanan)
Hilang kewaspadaan terhadap bagian tubuh yang sakit
Tidak mampu mengenali obyek , warna/ kata dan wajah yang pernah dikenalnya
dengan baik
Gangguan berespon terhadap panas dan dingin/ gangguan regulasi suhu tubuh
Kesulitan dalam menelan, tidak mampu memenuhi kebutuhan nutrisi sendiri
Gangguan dalam memutuskan, perhatian sedikit terhadap keamanan, tidak sabar/
kurang kesadaran diri (stroke kanan)
INTERAKSI SOSIAL
Tanda:
Masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
PENYULUHAN/ PEMBELAJARAN
Tanda:Adanya riwayat hipertensi pada keluarga,
Stroke (faktor resiko)
Pemakaian kontrasepsi oral
Kecanduan alkohol
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
a. Angiografi serebral: membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik.
Seperti: perdarahan, atau obstruksi arteri, adanya titik oklusi atau rupture.
b. CT Scan : memperlihatkan adanya edema, hematoma, iskemia dan adanya infark,
Catatan: mungkin tidak dengan segera menunjukkan semua perubahan tersebut.
c. Lumbal pungsi: menunjukkan adanya tekanan normal dan biasanya ada trombosis,
emboli srebral, dan TIA. Tekanan meningkat dan cairan yang mengandung darah
menunjukkan adanya hemoragik subsrakhnoid atau perdarahan intra cranial.
Kadar protein total meningkat pada kasus trombosis sehubungan adanya proses
inflamasi.
d. MRI: menunjukkan daerah yang mengalami infark, hemoragik, malformasi
arteriovena (MAV).
e. Ultrasonografi Dopler : mengidentifikasi penyakit arteriovena (masalah system
karotis [aliran darah/ muncul plak] arterioskerotik)
f. EEG : mengidentifikasi masalah didasarkan pada gelombang otak dan mungkin
memperlihatkan daerah lesi yang spesifik.
g. Sinar X tengkorak : menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal daerah
yang berlawanan dari massa yang meluas : kalsifikasi karotis interna terdapat pada
trombosis serebral; kalsifikasi dinding parsial dinding aneurisma pada perdarahan
subarakhnoid.
VIII. Penatalaksanaan
1. Manajemen tekanan intrakranial (TIK) meninggi (Marshall, 2011)
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau hematoma
intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor TIK. TIK normal adalah
0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus diturunkan dengan cara:
a. Posisi tidur : Bagian kepala ditinggikan 20- 30 derajat dengan kepala dan dada
pada satu bidang.
b. Terapi diuretik : Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB,
diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah rebound, pemberian diulang setelah
6 jam dengan dosis 0,25-0,5/kgBB dalam 30 menit. Pemantauan: osmolalitas
tidak melebihi 310 mOsm.
c. Loop diuretic (furosemid) : Pemberiannya bersama manitol, karena mempunyai
efek sinergis dan memperpanjang efek osmotik serum manitol. Dosis: 40
mg/hari IV
2. Neurorestorasi/rehabilitasi (Soertidewi, 2012)
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan ekstremitas
digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik. Kondisi
kognitif dan fungsi kortikal luhur lain perlu diperiksa. Saat Skala Koma Glasgow
sudah mencapai 15, dilakukan tes orientasi amnesia Galveston (GOAT). Bila
GOAT sudah mencapai nilai 75, dilakukan pemeriksaan penapisan untuk menilai
kognitif dan domain fungsi luhur lainnya dengan Mini-Mental State Examination
(MMSE); akan diketahui domain yang terganggu dan dilanjutkan dengan konsultasi
ke klinik memori bagian neurologi.
3. Dexamethason/ kalmetason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma. (Smeltzer, 2010)
4. Pemberian analgetik.
5. Pengobatan antiedema dengan larutan hipertonis yaitu; manitol 20%, glukosa 40%
atau gliserol.
6. Antibiotik yang mengandung barier darah otak (pinicilin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidazole.
7. Makanan atau cairan infus dextrose 5%, aminousin, aminofel (18 jam pertama dari
terjadinya kecelakaan) 2-3 hari kemudian diberikan makanan lunak.
8. Pembedahan
IX. Pengobatan
1. Cairan isotonic, kristaloid atau koloid 1200-2000ml, pemberian makan melalui
NGT jika ada gangguan menelan
2. GDS harus dalam batasan 150 mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama
2-3 hari pertama
3. Penurunan tekanan darah maksimal adalah 20% obat yang direkomendasikan:
natrium nitroprisid, penyekat reseptor alfa beta, penyekat ACE, antagonis kalsium
4. Jika kejang diberikan diazepam 5-20mg iv pelan selama 3 menit maksimal 100mg
per hari dilanjutkan pemberian antikonvulsan ( fenitoin, karbamazepin. Jika kejang
> 2 minggu pemberian antikonvulsan diperpanjang
DAFTAR PUSTAKA
Black, J.M., & Hawks, J.N. (2014). Keperawatan medical bedah: Manajemen klinis untuk
hasil yang diharapkan, Edisi 8, Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.
Doenges, M. E. (2008). Rencana asuhan keperawatan: pedoman untuk perencanaan dan
pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sloane, Ethel. (2012). Anatomi dan fisiologi untuk pemula. Jakarta: EGC
Smeltzer, S.C., & Bare, B.G. (2010). Brunner & Suddarths textbook of medical-surgical
nursing volume 2. Philladelphia: Lippincots Willian & Wilkins