Anda di halaman 1dari 10

MINIMALISASI LAHAN KRITIS MELALUI PENGELOLAAN

SUMBERDAYA LAHAN DAN KONSERVASI TANAH DAN AIR


SECARA TERPADU
Oleh : Sutopo Purwo Nugroho*)

Abstrak
Akibat adanya pemanfaatan sumberdaya alam yang melebihi daya dukung
lingkungan dan tidak dibarengi dengan usaha konservasi tanah dan air, ternyata
telah menimbulkan munculnya ketidakseimbangan lingkungan yaitu terus
bertambahnya luas lahan kritis. Peningkatan luas lahan kritis ini juga semakin
dipercepat dengan meningkatnya tekanan penduduk terhadap lahan, khususnya di
Pulau Jawa. Akibatnya pemanfaatan lahan dieksploitasi secara terus menerus
sehingga menyebabkan produktivitas lahan menjadi berkurang dan lahan miskin
hara. Hal ini akan berakibat pada menurunnya produksi pertanian, semakin
besarnya erosi, sedimentasi, banjir, kekeringan, pendangkalan sungai,
berkurangnya umur waduk dan masalah-masalah lingkungan lainnya.
Luas lahan kritis pada awal tahun 1974, jumlah lahan kritis secara nasional
mencapai 10.751.000 ha, kemudian pada tahun 1998 dengan kriteria penetapan
lahan kritis yang lebih objektif, lahan kritis di Indonesia mencapai 23.725.552 ha.
Sedangkan luas lahan agak kritis sebesar 3.311.152 ha dan lahan potensial kritis
seluas 8.806.758 ha, sehingga luas keseluruhan sebesar 35.852.462 ha atau
18,6% dari luas lahan di Indonesia.
Meskipun usaha rehabilitasi lahan dan konservasi tanah dan air sudah
dilakukan melalui program penghijauan dan reboisasi serta usaha lainnya, namun
usaha-usaha tersebut masih belum mampu mengatasi terjadinya peningkatan luas
lahan kritis. Hal ini lebih disebabkan pendekatan yang dilakukan lebih berorientasi
pada penanganan fisik dan kurang memperhatikan masalah sosial ekonomi dan
budaya masyarakat. Untuk itulah maka untuk mencegah peningkatan laju lahan
kritis tersebut perlu dilakukan secara komprehensif, terpadu dan multisektoral.
dengan melibatkan peran serta masyarakat secara menyeluruh.

Katakunci : sumberdaya alam, pengelolaan, lahan kritis, konservasi, terpadu.

1. PENDAHULUAN Masalah pengelolaan sumberdaya


alam dan lingkungan hidup yang timbul akibat
Masalah-masalah yang berkenaan keterbelakangan pembangunan adalah suatu
dengan pengelolaan sumberdaya alam dan masalah yang mendesak bagi Indonesia.
lingkungan hidup di Indonesia, sebagaimana Dalam hubungan ini kenyataan yang terjadi
juga dialami oleh negara-negara sedang misalnya adalah adanya tekanan penduduk
berkembang lainnya, adalah pencerminan terhadap lahan yang sangat besar telah
dari akibat-akibat keterbelakangan mendorong penduduk di beberapa bagian
pembangunan dan sekaligus juga suatu daerah tertentu, khususnya di Pulau Jawa
masalah yang menyertai proses pelaksanaan untuk menggunakan daerah hutan yang
pembangunan. Baik keterbelakangan sebenarnya harus dilindungi, guna kegiatan
pembangunan maupun proses pelaksanaan pertanian. Hal ini telah mengakibatkan
pembangunan, kedua-duanya menimbulkan kerusakan lahan dan menimbulkan masalah
persoalan di lapangan dalam pengelolaan lingkungan yang sebelumnya tidak ada.
sumberdaya alam dan lingkungan. Sumberdaya lahan yang dimanfaatkan
dalam pembangunan sebenarnya merupakan

*)
Penulis adalah staf peneliti masalah pengembangan sumberdaya alam, saat ini bekerja di
Kelompok Hidrologi dan Lingkungan UPT Hujan Buatan BPPT dan sedang menempuh S-2
Program Studi Pengelolaan DAS IPB Bogor.

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pnegelolaan Sumberdaya (Sutopo Purwo Nugroho) 73


sumber alam yang dapat pulih, apabila masih sangat jauh dibandingkan dengan laju
kemampuan untuk memperbaharuinya tidak dari peningkatan lahan kritis setiap tahunnya.
dilampaui oleh pemanfaatannya. Adanya kebijaksanaan dalam pemanfaatan
Pemanfaatan yang berlebihan atau sumberdaya alam, seperti usaha konversi
pengelolaan lahan yang salah telah hutan menjadi hutan tanaman industri dan
menimbulkan kemerosotan produktivitas perkebunan justru telah menimbulkan
lahan yang akhirnya menjadi lahan kritis. masalah-masalah lingkungan baru.
Lahan kritis adalah lahan yang karena tidak Perubahan tatanan hutan menjadi
sesuai penggunaan tanah dan penggunaan lahan lainnya tersebut telah
kemampuannya, telah mengalami atau dalam merubah proses keseimbangan alam yang
proses kerusakan fisik-kimia-biologi, yang ada, bahkan telah menyebabkan hilangnya
akhirnya membahayakan fungsi hidroorologi, beberapa jenis keanekaragaman hayati yang
produksi pertanian, pemukiman dan terdapat di daerah tersebut. Selain itu usaha
kehidupan sosial ekonomi dari daerah konservasi tanah dan air masih terbatas pada
lingkungan pengaruhnya Lahan kritis dan kebijaksanaan dalam bentuk proyek yang
marjinal di Indonesia mencapai 43 juta ha, belum melibatkan masyarakat secara sadar
diantaranya 20 juta ha kritis hidroorologisnya dan terencana, bahkan masih sangat
dan setiap tahunnya masih terus bertambah sektoral. Kondisi demikian justru akan
(Ditjen Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan, meningkatkan besarnya erosi dan
1985). sedimentasi sehingga timbul lahan-lahan kritis
Di Indonesia, luas lahan kritis setiap baru.
tahun selalu bertambah. Kondisi demikian
terjadi karena adanya dampak dari 2. BAHASAN
pelaksanaan pembangunan yang tidak
mengindahkan asas keseimbangan Metode penelitian yang digunakan
lingkungan dan kurangnya usaha konservasi dalam penulisan ini adalah analisis deskriptif
tanah dan air. Pembangunan yang komparatif, yaitu melakukan perbandingan
menyangkut pengembangan lahan yang pada jumlah luas lahan kritis yang terdapat di
berlangsung selama ini direncanakan dan Indonesia secara nasional, dan selanjutnya
dilaksanakan tanpa didasarkan atas informasi menganalisis faktor-faktor penyebabnya. Luas
yang memadai tentang kemampuan dan lahan kritis ditentukan berdasarkan kriteria
kesesuaian sumberdaya tanah. Akibatnya, yang telah ditetapkan dan digunakan oleh
pengoptimuman penggunaan tanah tidak Direktorat Jenderal Reboisasi dan
tercapai, bahkan terjadi banyak pengalihan Rehabilitasi Lahan, Departemen Kehutanan
peruntukan tanah yang melawan asas tata dan Perkebunan, dimana setiap lima tahun
guna tanah. sekali menentukan luas lahan kritis per
Selain itu akibat adanya tekanan propinsi di Indonesia. Data luas lahan kritis
penduduk terhadap lahan yang besar telah yang digunakan dalam analisis ini adalah data
menyebabkan hilangnya lahan-lahan tahun 1974, 1989, 1994 dan 1998.
pertanian kelas satu, terutama persawahan
teknis karena dikonversikan menjadi lahan 2.1. Penentuan Lahan Kritis
industri atau pemukiman. Pada saat ini
diyakini bahwa sekitar 50.000 ha lahan Penentuan luas lahan kritis sejak tahun
pertanian teknis setiap tahun dikonversikan 1974 hingga 1994 didasarkan pada
menjadi lahan non pertanian. Tanah-tanah parameter penutup vegetasi, tingkat
kelas satu yang dikonversikan untuk torehan/kerapatan, penggunaan
penggunaan non pertanian tersebut sangat lahan/vegetasi dan kedalaman tanah (Tabel
sulit untuk dicari gantinya di tempat lainnya 1). Pada tahun 1998 dilakukan perbaikan
karena tanah-tanah yang tersedia untuk dalam penentuan lahan kritis, dimana sasaran
perluasan pertanian tinggallah tanah marjinal lahan yang dinilai adalah lahan-lahan dengan
yang miskin. Untuk mengganti tanah subur fungsi lahan yang ada kaitannya dengan
50.000 ha yang hilang tersebut diperlukan kegiatan reboisasi dan penghijauan, yaitu
tanah marjinal sekurang-kurangnya 250.000 fungsi kawasan hutan lindung, fungsi
ha agar produksi padi tidak berkurang kawasan lindung di luar kawasan hutan dan
(Tejoyuwono N., 1999). fungsi kawasan budidaya untuk usaha
Usaha konservasi tanah dan air pertanian (Ditjen RRL, 1998).
sebenarnya sudah cukup banyak dilakukan, Selanjutnya untuk masing-masing
baik oleh pemerintah melalui institusi yang fungsi lahan tersebut, ditentukan kriteria
terkait, masyarakat maupun lembaga pendukungnya yang terbagi lagi dalam
swadaya masyarakat. Namun usaha tersebut beberapa kelas. Untuk penilaiannya, pada
masing-masing kelas diberi bobot, besaran

74 Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2000 : 73-82


dan skoring. Untuk lahan dengan fungsi untuk tanah dalam maupun tanah dangkal.
kawasan hutan lindung, kriteria yang Sedangkan yang dimaksud dengan
digunakan adalah penutupan lahan, manajemen adalah usaha pengamanan hutan
kelerengan lapangan, erosi dan manajemen. yang meliputi pembuatan tata batas kawasan,
Penutupan lahan dinilai berdasarkan pos pengamanan, adanya petugas jagawana
persentase penutupan oleh tajuk pohon. dan pelaksanaan penyuluhan kepada
Tingkat erosi diukur berdasarkan masyarakat.
kerusakan/hilangnya lapisan tanah, baik

Tabel 1. Kriteria Penilaian Lahan Kritis

Tingkat Kekritisan
Parameter Potensial kritis Semi kritis Kritis Sangat kritis
Penutup > 75 % 50 - 75 % 25 - 50 % < 25 %
vegetasi
Tk. torehan/ agak tertoreh cukup tertoreh sangat tertoreh sangat tertoreh
kerapatan cukup tertoreh sangat tertoreh sangat tertoreh drainase sekali
Penggunaan hutan, kebun pertanian lahan pertanian lahan gundul, rumput
lahan/ campuran, kering, semak kering, rumput, semak
vegetasi belukar, belukar, alang- semak
perkebunan alang
Kedalaman dalam dalam dalam sangat dangkal
tanah (> 100 cm) (60 - 100 cm) (30 - 60 cm) (< 30 cm)
Sumber : Dephut (1985) dan Ditjen Pertanian Tanaman Pangan (1991)

Untuk lahan dengan fungsi kawasan Kehutanan. Sedangkan di luar kawasan


budidaya untuk usaha pertanian, kriteria yang adalah lahan yang akan dilakukan
digunakan adalah produktivitas lahan, penghijauan.
kelerengan lapangan, erosi, penutupan lahan Pada awal Pelita II (1974), luas lahan
oleh batu-batuan dan manajemen. kritis di dalam kawasan hutan mencapai
Produktivitas dihitung berdasarkan rasio 4.317.000 ha dan di luar kawasan hutan
terhadap produksi komoditi umum optimal sebesar 6.434.000 ha, sehingga luas lahan
pada pengelolaan tradisional, sedangkan kritis keseluruhan mencapai 10.751.000 ha.
manajemen dinilai berdasarkan usaha Pada awal Pelita IV (1984) sejalan dengan
penerapan teknologi konservasi tanah pada adanya proyek reboisasi dan penghijauan
setiap unit lahan. Sedangkan untuk kawasan serta usaha konservasi lainnya secara relatif
lindung di luar kawasan hutan, kriteria yang telah menyebabkan jumlah luas lahan kritis
digunakan adalah vegetasi permanen lahan, berkurang dibanding periode sebelumnya
kelerengan lapangan, erosi dan manajemen. yaitu seluas 9.699.000 ha. Luas lahan kritis di
Selanjutnya tingkat kekritisan lahan dalam kawasan sebesar 4.187.000 ha dan di
ditentukan dari jumlah nilai yang diperoleh luar kawasan sebesar 5.512.000 ha. Namun
untuk masing-masing kriteria sesuai fungsi pada awal Pelita V atau tahun 1989 jumlah
lahannya, kemudian dapat ditentukan tingkat lahan kritis yang terdapat di Indonesia
kekritisannya. meningkat lagi menjadi 13.188.200 ha,
dengan lahan kritis yang terdapat di dalam
2.2. Luas Lahan Kritis kawasan seluas 5.918.500 ha dan di luar
kawasan 7.269.700 ha. Luas lahan kritis yang
Sejak tahun 1974 hingga tahun 1998, demikian besar hampir sama dengan luas
luas lahan kritis di Indonesia terus meningkat Pulau Jawa telah berakibat pada munculnya
sejalan dengan meningkatnya tekanan masalah-masalah lingkungan hidup dan
penduduk terhadap lahan akibat proudksi pertanian berkurang. Pada awal
bertambahnya jumlah penduduk sedangkan Pelita VI (1994) luas lahan kritis menjadi
luas lahan relatif tetap. Meningkatnya luas 12.517.632 ha atau berkurang 670.568 ha
lahan kritis ini tidak hanya di dalam kawasan (Tabel 2 dan Gambar 1).
hutan namun di luar kawasan hutan juga
semakin meningkat. Lahan kritis yang
terdapat di dalam kawasan maksudnya
adalah lahan-lahan yang akan dilakukan
reboisasi oleh Direktorat Jenderal Reboisasi
dan Rehabilitasi Lahan, Departemen

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pnegelolaan Sumberdaya (Sutopo Purwo Nugroho) 75


17.000 ha, dan pada awal Pelita VI menjadi

Luas lahan (x 1000 Ha)


25000
tidak ada lahan kritisnya. Apakah sedemikian
20000 cepat perubahan lahan dari hutan menjadi
15000 lahan non hutan, ataukah memang karena
10000 hasil dari usaha reboisasi sehingga lahan
kritis di kawasan hutan yang tersisa di Pulau
5000
Jawa sudah menjadi lahan yang baik ? Dari
0 Tabel 2 tersebut juga terlihat bahwa ada
1974 1984 1989 1994 1998 ketidakkonsistenan data sehingga cukup
Tahun meragukan reliabilitasnya. Kondisi demikian
merupakan hal yang banyak dijumpai di
Dlm Luar Jml
Indonesia berkenaan dengan data, dimana
keakuratan data masih meragukan (Sri Harto,
Gambar 1. Luas lahan kritis di dalam 1987).
kawasan, luar kawasan dan jumlah Pada tahun 1998, kriteria penetapan
keseluruhan lahan kritis secara nasional. lahan kritis untuk perencanaan reboisasi dan
penghijuan diubah sesuai dengan hasil yang
Dilihat secara nasional, terlihat bahwa diperoleh dalam lokakarya pada tanggal 17
peningkatan luas lahan kritis di luar kawasan Juni 1997 dan dilanjutkan dengan diskusi
hutan ternyata lebih besar peningkatannya. tanggal 23 dan 19 Juli 1997, dimana telah
Hal ini menunjukkan bahwa adanya menghasilkan rumusan kriteria penetapan
perubahan pola penggunaan lahan, lahan kritis yang dianggap objektif. Dari hasil
khususnya lahan pertanian yang berubah kriteria yang ada, maka pada tahun 1998,
fungsi menjadi lahan non pertanian. jumlah luas lahan sangat kritis dan kritis
Diperkirakan setiap tahunnya perubahan secara nasional sebesar 23.714.552 ha,
lahan atau konversi lahan pertanian manjadi lahan agak kritis sebesar 3.311.152 ha dan
lahan non pertanian mencapai 50.000 ha per lahan potensial kritis seluas 8.806.758 ha,
tahun. Konversi ini apabila tidak diikuti sehingga luas keseluruhan sebesar
dengan usaha konservasi tanah dan air 35.852.462 ha atau 18,6% dari luas lahan di
tentunya akan menimbulkan lahan kritis baru. Indonesia. Apabila luas lahan kritis tersebut
Di Pulau Jawa, pada awal Pelita II luas dibagi berdasarkan sasaran kegiatan di dalam
lahan kritis di dalam kawasan hutan mencapai kawasan dan di luar kawasan, maka terdapat
575.000 ha atau lebih luas dari wilayah Jawa luasan lahan kritis secara keseluruhan
Timur, namun pada awal Pelita IV luas lahan sebagai berikut :
kritis di dalam kawasan berkurang menjadi

Tabel 3. Luas lahan kritis di dalam dan luar kawasan pada tahun 1998 di Indonesia

Luas Lahan (Ha)


Kawasan
Sangat kritis dan Agak kritis Potensial Jumlah
kritis kritis
Dalam kawasan 8.313.754 1.368.743 4.061.257 13.743.754
Luar kawasan 15.411.798 1.951.409 4.745.501 22.108.708
Jumlah 23.714.552 3.320.152 8.806.758 35.852.462
Sumber : Ditjen RRL, 1998

2.3. Faktor-Faktor Penyebab Lahan Kritis kurang produktif atau rusak. Salah satu
indikator kerusakan tersebut adanya erosi
Faktor penyebab timbulnya lahan kritis tanah. Proses erosi terjadi pada permukaan
merupakan masalah yang cukup komplek tanah dimana butiran tanah yang
mengingat keberadaannya muncul sebaga mengandung unsur hara terangkut limpasan
akibat dari interaksi manusia dalam permukaan dan diendapkan di tempat lain.
mengelola lahan tersebut, baik secara Hal ini menyebabkan lapisan tanah menjadi
langsung maupun tidak langsung. Adanya tipis. Dengan demikian maka tanah yang tebal
campur tangan manusia dalam belum tentu subur, dan sebaliknya tanah yang
memanfaatkan lahan untuk memenuhi tipis belum tentu tidak subur. Tebal tanah
kebutuhan hidupnya telah melebihi daya yang kurang subur masih dapat ditingkatkan
dukungnya sehingga lahan tersebut menjadi kesuburannya, antara lain dengan

76 Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2000 : 73-82


pemupukan. Lain halnya dengan tanah yang lingkungan hidup dan sumberdaya alam.
tipis, kalau dibiarkan tererosi dapat Akibat krisis tersebut telah membawa dampak
menghilangkan manfaat kesuburan yang ada, pada meningkatnya jumlah penduduk miskin
disebabkan akar tanaman yang tak mungkin di Indonesia, menurunnya pendapatan per
lagi dapat berpijak pada tanah yang semakin kapita, dan meningkatnya pengangguran.
tipis. Dengan demikian maka erosi Apabila pada awal tahun 1997, penduduk
merupakan suatu proses kebocoran yang miskin di Indonesia sekitar 27 juta penduduk,
paling berpengaruh dalam siklus hara maka hingga Desember 1998 menjadi lebih
terhadap kemunduran kesuburan lahan. kurang 120 juta jiwa, dengan kemiskinan
Ketebalan tanah itu sendiri dapat dipengaruhi absolut dari penduduk yang di bawah garis
oleh proses erosi dan proses pembentukan kemiskinan tersebut mencapai 80 juta jiwa.
tanah (pelapukan). (Kompas, 23 Desember 1998). Kondisi
Masalah utama yang berperan pada demikian menyebabkan masyarakat
terciptanya lahan kritis adalah kondisi sosial, mengeksploitasi sumberdaya alam dan
ekonomi dan budaya masyarakat. Sebagaii lingkungan hidup secara tidak terkendali.
misal adalah pemilikan lahan yang sempit Untuk itulah maka, usaha
yang memberikan indikasi bahwa tekanan meminimalisasi laju lahan kritis dapat
penduduk terhadap lahan untuk memenuhi dilakukan dengan usaha yang bersifat
kebutuhannya akan semakin besar. Apabila struktural (reboisasi, penghijauan, check dam,
eksploitasi terhadap lahan yang sempit ini terasering, dan sebagainya) dan non
terus dilanjutkan tanpa upaya-upaya struktural seperti melibatkan masyarakat,
rehabilitasi lahan dan konservasi tanah, akan peningkatan pendapatan, penyuluhan dan
mengakibatkan kerusakan lingkungan, sebagainya. Usaha tersebut harus dilakukan
khususnya sumberdaya vegetasi, tanah dan secara terpadu dan berkesinambungan.
air. Kepemilikan lahan yang sempit tersebut Pengalaman telah membuktikan bahwa
juga berpengaruh terhadap sikap dan perilaku usaha-usaha pengelolaan yang dilakukan
petani dalam mengelola lahannya dan sangat secara terpisah oleh masing-masing sektor,
berkaitan dengan usaha konservasi dan tanpa landasan pendekatan interdisiplin atau
terjadinya lahan kritis. integrasi, seringkali menyebabkan konflik
Di pedesaan di luar Pulau Jawa, antar satu sektor dengan sektor lainnya,
penyebab utama munculnya lahan kritis misalnya antara sektor kehutanan dengan
adalah erosi akibat perladangan berpindah sektor pertanian. Dengan berlandaskan
(Tejoyuwono N. dkk, 1999). Adanya pendekatan interdisiplin atau integrasi dalam
pertambahan penduduk di daerah tersebut tata guna tanah dan perencanaan wilayah,
menyebabkan waktu rotasi makin pendek konflik tersebut dapat dihindarkan.
sehingga proses penyuburan kembali menjadi Untuk mengelola sumberdaya lahan
terganggu. Penggunaan lahan menjadi dengan sebaik-baiknya diperlukan pemikiran
intensif sehingga tidak cukup waktu bagi yang luas, metode yang tepat dan organisasi
proses penyuburan tanah secara alami. perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan
Selain itu kerusakan lahan di luar Pulau Jawa yang kuat. Pokok-pokok pemikiran tersebut
juga disebabkan oleh penebangan hutan antara lain :
yang sangat intensif. Menurut World Bank a. Pengelolaan sumberdaya alam mencakup
(1990), penebangan hutan untuk eksploitasi masalah eksploitasi dan pembinaan yang
kayu dan program pemukiman transmigrasi tujuannya mengusahakan agar
mencapai antara 900.000 ha sampai penurunan daya produksi sumberdaya
1.000.000 ha per tahun. sebagai akibat eksploitasi dapat
diimbangi dengan tindakan peremajaan
2.4. Pengelolaan Lingkungan dan dan pembinaan sehingga manfaat
Konservasi Terpadu maksimal dari sumberdaya alam dapat
diperoleh dengan terus menerus.
Untuk meminimalisasikan laju lahan b. Pertimbangan ekonomis dan ekologis
kritis per tahun yang terus meningkat harus berimbang.
tersebut, maka perlu segera diambil langkah- c. Untuk mencegah konflik antar
langkah kebijakan nyata yang langsung kepentingan antara sektor-sektor yang
bersumber pada fokus permasalahan. memanfaatkan sumberdaya alam perlu
Terlebih lagi dengan adanya krisis ekonomi, dicari pendekatan interdisiplin atau
yang semakin diperparah oleh adanya krisis pengintegrasian dalam perencanaan
politik dan euphoria masyarakat yang pengelolaan, khususnya integrasi dalam
berlebihan yang melanda Indonesia sejak tata guna tanah dan perencanaan
bulan Juli 1997 justru telah merugikan wilayah.

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pnegelolaan Sumberdaya (Sutopo Purwo Nugroho) 77


Mengingat lahan merupakan kritis, dapat dikelola dengan usaha
sumberdaya fisik sebagai bagian dari sistem rehabilitasi. Kemampuan lahan yang ada
lingkungan tanah, maka pengelolaannya pada saat itu ditingkatkan agar dapat lebih
harus diusahakan secara lestari. Sistem subur. Demikian pula halnya dengan
lingkungan tanah ini digambarkan oleh pemanfaatan lainnya, seperti untuk
Choulett (1973) sebagai suatu sistem perkotaan, industri, pertambangan
lingkungan yang saling terkait antara perhubungan, dan rekreasi. Dengan demikian
komponen penggunanya (Gambar 2). Tanah maka usaha yang dapat dilakukan adalah
untuk usaha pertanian dan kehutanan dapat dengan rehabilitasi, pengawetan dan
memanfaatkan tanah marjinal dan tanah pendayagunaan tanah secara optimum.
tandus, dimana keduanya merupakan lahan

TANAH

Industri/ Pertanian/ Rekreasi


Perkotaan Pertambangan Perhubungan
Kehutanan

Tanah Pengawetan/ Tanah Tanah Taman


marjinal Rehabilitasi marjinal tandus Nasional
Tanah dll

Daerah Perencanaan
kumuh kota - wilayah Rehabilitasi Pengawetan

Tanah yang direhabilitasi,


pendayagunaan tanah
yang optimum

Gambar 2. Sistem lingkungan tanah untuk pengelolaan lahan

Penanganan lahan kritis secara fisik Ironisnya, penduduk di hulu umumnya


lebih mudah dilakukan, namun pengalaman mempunyai tingkat pendapatan, pendidikan,
menunjukkan bahwa program konservasi ekonomi dan aksesibilitas yang lebih rendah
tanah dan air yang hanya didasarkan pada dibandingkan dengan penduduk di hilir. Selain
upaya-upaya teknis tanpa memperhatikan itu lahan kritis yang terdapat di Indonesia
faktor sosial ekonomi ternyata kurang sebagian besar berada di daerah hulu suatu
berhasil. Dalam hal ini terdapat dilematis, sungai dengan kemiringan lereng yang cukup
dimana penduduk di bagian hulu selalu besar dan relatif sulit untuk dijangkau. Kondisi
dituntut untuk selalu mempertahankan ini apabila usaha konservasi hanya
konservasi tanah dan air, sementara dibebankan kepada penduduk di hulu, jelas
penduduk di bagian hilir justru yang lebih sangat membebani hidupnya dan tidak akan
menikmati tanpa memberikan suatu insentif berhasil program tersebut.
bagi hulu. Sebab dampak kegiatan manusia Untuk mengatasi permasalahan yang
dalam sistem penggunaan lahan dapat berkaitan dengan eksternalitas tersebut
terbatas dan setempat (on-site), tetapi dapat maka, perlu adanya bantuan penanganan
juga menyebar sampai ke daerah yang paling konservasi tanah yang diberikan kepada
hilir (off-site). Kondisi demikian dikenal petani atau pemakai lahan, baik berupa
dengan istilah eksternalitas. bantuan konservasi tanah, bantuan dana dan
Adanya eksternalitas sangat bantuan teknik. Di Amerika Serikat, sejak
menentukan program konservasi tanah dan permulaan tahun delapan puluhan, petani
air. Berhasil tidaknya usaha penanggulangan Amerika dan Departemen Pertanian (USDA)
suatu masalah, banjir misalnya, sangat bersama-sama mengeluarkan lebih dari satu
ditentukan oleh pengelolaan lahan di hulu. milyar dollar Amerika per tahun untuk

78 Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2000 : 73-82


mengendalikan erosi pada tanah-tanah maksimum-minimum sepanjang tahun, dan
pertanian. Untuk mengatasi ancaman erosi semakin seringnya terjadi kekeringan dan
Pemerintah Amerika Serikat, mulai tahun banjir yang menandakan tidak seimbangan
1986, mengeluarkan dana melalui program sistem lingkunga di tempat tersebut.
Conservation Reserve yang tercantum dalam Salah satu kelemahan dari semua
Food Security Act 1985, melalui dua cara usaha/kegiatan tersebut adalah tidak
yaitu (a) untuk lahan pertanian yang mudah terfokusnya kegiatan tersebut pada
tererosi petani dibayar rata-rata 48 dollar permasalahan. Meskipun semua instansi
Amerika untuk setiap 0,4 ha lahannya agar yang berkaitan dengan usaha konservasi
tidak ditanami dengan tanaman semusim tanah dan air seperti Departemen Kehutanan
tetapi ditanami rumput atau hutan, dan (b) dan Perkebunan, Pekerjaan Umum,
penerapan metode konservasi tanah pada Pertanian, dan lainnya telah melakukan
tanah yang tidak begitu mudah tererosi. Untuk kegiatan konservasi setiap tahun, namun
kedua program tersebut pemerintah Amerika kegiatannya berjalan sendiri-sendiri dan
pada tahun 1986, mengeluarkan dana interpretasi terhadap suatu lahan yang
sebesar 1,4 milyar dollar yang terdiri atas 0,4 dikonservasi juga sektoral. Sampai saat ini
milyar untuk membayar petani dan satu milyar belum ada standar baku yang digunakan
untuk dollar untuk menerapkan metode untuk melakukan kegiatan konservasi secara
konservasi. Pada tahun 2000 diperkirakan terpadu. Akibatnya hasil yang diperoleh tidak
Pemerintah Amerika Serikat harus menunjukkan produktivitas yang signifikan
mengeluarkan sekitar tiga milyar dollar untuk seiring dengan semakin bertambahnya dana
program tersebut. dan waktu dari tahun ke tahun. Untuk itulah
Bagaimana dengan kondisi di maka perlu ada suatu standar baku yang
Indonesia? Kondisi demikian cukup rumit disepakati bersama-sama.
untuk dipecahkan, khususnya untuk program Salah satu model yang dapat
pertama dimana untuk setiap 0,4 ha lahannya digunakan sebagai acuan kerja, evaluasi dan
agar tidak ditanami dengan tanaman simulasi usaha konservasi adalah model
semusim tetapi ditanami rumput atau hutan. AGNPS (Agricultural Non-Poin Source).
Hal ini disebabkan luas lahan yang dimiliki Model AGNPS dikembangkan oleh USDA-
petani Indonesia sangat sempit. Di Pulau ARS (U.S. Department of Agriculture
Jawa rata-rata luas kepemilikan lahan hanya Agricultural Research Service) bekerjasama
mencapai rata-rata 0,6 ha setiap keluarga dengan MPCA (Minnesota Pollution Control
(Supriyo Ambar, 1986), sehingga jika 0,2 ha Agency) dan SCS (Soil Conservation
yang hanya dapat diusahakan untuk Service), dimana model ini mensimulasi aliran
pertanian maka akan sulit untuk permukaan, sediment dan transport unsur
mempertahankan hidupnya. Namun yang hara utama dari suatu DAS (Jaewan Yoon,
jelas, penanganan lahan kritis masih bersifat 1996). Model ini menggunakan parameter
sektoral, kurang terpadu dan masih bersifat masukan (input) distribusi dan beroperasi
proyek yang penanganannya hanya sesaat dalam basis sel, sehingga dari suatu DAS
saja, setelah menunggu proyek tahun akan diketahui sel-sel mana yang mempunyai
berikutnya, bahkan reboisasi dan penghijauan kerusakan lahan terberat dan dengan model
hanya ditekankan pada target jumlah pohon ini dapat ditentukan skala prioritas kegiatan.
yang ditanam pada suatu lahan. Kondisi Model ini telah banyak diterapkan di negara-
demikian seharusnya sudah tidak berlaku lagi negara bagian Amerika dan negara lainnya
apabila laju lahan kritis per tahun akan pada DAS prioritas yang mempunyai masalah
diminimalisasi. lingkungan yang rumit, untuk menunjukkan
lahan kritis secara tepat dan untuk evaluasi
2.5. Alternatif Pengelolaan Lahan Kritis dampak dari alternatif pengelolaan lahan
(R.A. Young, dkk., 1995).
Meskipun telah dilakukan penghijauan
dan rebosiasi untuk mengendalikan laju lahan 3. KESIMPULAN DAN SARAN
kritis sejak tahun 1976 hingga sekarang,
namun laju atau peningkatan luas lahan kritis 3.1. Kesimpulan
terus meningkat setiap tahunnya dan hasil
dari usaha tersebut belum optimal. Selain itu Adanya peningkatan luas lahan kritis
kegiatan lainnya yang bertujuan sama untuk setiap tahun merupakan masalah lingkungan
usaha konservasi tanah dan air, seperti yang harus segera ditangani. Sebab luas
pengelolaan DAS terpadu juga belum lahan kritis di Indonesia sudah mencapai
memperlihatkan hasil yang optimal. Hal ini 23.725.552 ha. Sedangkan lahan agak kritis
ditandai dengan semakin ekstremnya debit sebesar 3.311.152 ha dan lahan potensial

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pnegelolaan Sumberdaya (Sutopo Purwo Nugroho) 79


kritis seluas 8.806.758 ha, sehingga luas Konservasi Tanah, Pusat Penelitian
keseluruhan menjadi 35.852.462 ha atau Tanah, Bogor.
18,6% dari luas lahan di Indonesia. Luas 2. Arsyad, S., 1989, Konservasi Tanah dan
lahan yang demikian besar tentunya akan Air, UPT Produksi Media Informasi
menimbulkan dampak yang sangat merugikan Lembaga Sumberdaya Informasi IPB,
seperti menurunnya produksi pertanian, Bogor.
semakin besarnya erosi, sedimentasi, banjir, 3. Choulett, E.T., 1973, Environmental
kekeringan, pendangkalan sungai, Protection, McGraw Hill Book Co., New
berkurangnya umur waduk dan masalah- York.
masalah lingkungan lainnya. 4. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
Meskipun sudah ada program reboisasi Rehabilitasi Lahan, 1993, Statistik Dalam
dan penghijauan, namun hasilnya belum Angka Direktorat Jenderal Reboisasi dan
memuaskan karena laju lahan kritis terus Rehabilitasi Lahan, Departemen
meningkat, bahkan diyakini rata-rata per Kehutanan, Jakarta.
tahun mencapai 500.000 ha. Hal ini 5. Direktorat Jenderal Reboisasi dan
disebabkan kurangnya pendekatan masalah Rehabilitasi Lahan, 1998, Kriteria
sosial, ekonomi dan budaya dalam program Penetapan Lahan Kritis. Direktorat
tersebut. Masyarakat tidak dilibatkan secara Jenderal Reboisasi dan Rehabilitasi
aktif, namun program tersebut bersifat proyek Lahan, Departemen Kehutanan, tidak
dengan tolok ukur atau target jumlah pohon dipublikasikan, Jakarta.
yang ditanam dalam luas lahan tertentu. 6. Holy, Milos., 1980, Erosion and
Selain itu, penanganannya masih berifat Environment, Pergamon Press, Oxford,
sektoral. Untuk itulah maka dalam mengelola New York-Toronto-Sydney-Paris-
sumberdaya lahan dengan sebaik-baiknya Frankfurt.
diperlukan pemikiran yang luas, metode yang 7. Ishemat Soerianegara, 1978,
tepat dan organisasi perencanaan, Pengelolaan Sumberdaya Alam, Sekolah
pelaksanaan dan pengawasan yang kuat. Pasca Sarjana Jurusan Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan,
3.2. Saran Institut Pertanian Bogor, Bogor.
8. Kadaroesman Achil, 1995, Lahan Kritis
Mengingat peningkatan luas lahan kritis Pengertian dan Kriteria, Balai Teknologi
terus meningkat setiap tahun, maka perlu Pengelolaan DAS Surakarta, Surakarta.
segera dilakukan minimalisasi dengan usaha 9. Kompas, 1998, Hutan Alam Rusak Berat.
konservasi tanah dan air secara terpadu. Harian Kompas, 23 Desember 1998,
Sudah cukup banyak dana, waktu dan tenaga Hal.8, Jakarta.
yang terbuang sia-sia untuk kegiatan 10. Morgan, RPC., 1977, Soil Erosion,
penghijauan, reboisasi dan usaha konservasi Topics in Applied Geography, Longman
tanah dan air lainnya, namun hasilnya belum Group Limited, London.
optimal. Kesalahan utama yang sangat 11. Oliver S. Owen and Daniel D Chiras,
menonjol dari kegiatan tersebut adalah 1990, Natural Resource Conservation :
kurang terpadunya kegiatan dan sektoral, An Ecological Approach, 5-th ed.,
serta tidak terfokusnya pada sumber Macmillan Publishing Company, New
permasalahan yang sebenarnya. York.
Model AGNPS merupakan salah satu 12. Oliver S. Owen and Daniel D Chiras,
model yang cepat berkembang dan sudah 1995, Natural Resource Conservation
cukup terbukti keakuratannya sebagai alat :Management for a Sustainable Future,
bagi pengambil kebijakan dalam pengelolaan 6-th ed., Prentice-Hall, Inc. A Simon &
sumberdaya lahan, khususnya untuk Schuster Company Englewood Cliffs,
mengelola DAS. Dengan memanfaatkan New Jersey..
model ini keterpaduan antar instansi dan 13. Supriyo Ambar, 1986, Aspek Vegetasi
antar kegiatan akan dapat terjembatani dan Tataguna Lahan dalam Proses Erosi
sehingga dapat memberikan hasil yang lebih Di Daerah Tampung Waduk Jatiluhur,
optimum. Jawa Barat, Disertasi Doktor, Fakultas
Pasca Sarjana UNPAD, Bandung.
DAFTAR PUSTAKA 14. Tejoyuwono N., Rachman Sutanto dkk.,
1999, Kebutuhan Riset, Inventarisasi dan
1. Abdurachman, A.S. Abujamin dan U. Koordinasi Pengelolaan Sumberdaya
Kurnia, 1984, Pengelolaan Tanah dan Tanah di Indonesia, Kantor Menteri
Pengelolaan Pertanaman Dalam Usaha Negara Riset dan Teknologi Dewan
Riset Nasional, Jakarta.

80 Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2000 : 73-82


15. Yoon, Jaewan, 1996, Watershed-Scale 16. Young, R.A., C.A. Onstad, D.D. Bosch,
Nonpoint Source Pollution Modelling and 1995, AGNPS: An Agricultural Nonpoint
Decision Support System Based on a Source Model dalam Computers Model of
Model-GIS-RDBMS Linkage, AWRA Watershed Hydrology, Water Resources
Symposium on GIS and Water Publications, Colorado.
Resources, American Water Resources
Association, FT. Lauderdale.

Minimalisasi Lahan Kritis Melalui Pnegelolaan Sumberdaya (Sutopo Purwo Nugroho) 81


82
Tabel 2. Luas Lahan Kritis Di Dalam Kawasan dan Luar Kawasan Hutan Per Propinsi
Dari Tahun 1974/1975 Sampai Dengan 1995
LAMPIRAN

Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol.1, No. 1, Januari 2000 : 73-82

Anda mungkin juga menyukai