Anda di halaman 1dari 32

BABI

PENDAHULUAN

A. Sejarah
Istilah alergi pertama kali disebutkan oleh seorang ahli sains von Pirquet pada
tahun 1906. Kata alergi berasal dari bahasa Yunani allos dan ergon yang berarti lain atau
kerja yang berbeda. Namun reaksi ini sudah dikenal sejak abad ke 17. Pada tahun 1829,
Dakin mengamati kasus dermatitis disebabkan tanaman genus Rhus dan pada tahun
1840 Fuchs menyarankan bahwa dermatitis venenata merupakan dasar dari ekspresi
reaksi tersebut.
Sensitisasi alergen pada kulit pertama kali dibuktikan oleh Bloch dan Steiner-
Woerlich dengan eksperimen menggunakan tanaman bunga genus Primula pada
manusia. Landsteiner dan Jacobs menyatakan ada zat kimiawi yang dikombinasikan
dengan protein supaya terjadi sensitisasi menyebabkan dermatitis kontak. Sampai tahun
1940 masih belum diketahui asal faktor yang menyebabkan sensitisasi, namun pada
tahun 1942 Landsteiner dan Chase berhasil menyebarkan sensitivitas dari 1 tikus
belanda ke tikus belanda lainnya dengan menggunakan cairan eksudat dari peritoneum
tikus belanda yang telah tersensitisasi. Di tahun yang sama, percobaan transplantasi oleh
Haxthausen akhirnya membukatikan bahwa alergi diesebabkan oleh faktor yang
tersuplaikan ke kulit dari dalam tubuh.
Uji tempel (patchtesting) merupakan alat diagnosis dermatitis alergi, Josef Jadassohn
adalah penemu teknik Uji tempel tersebut pada tahun 1895. Teknik Jadassohn tersebut
dikembangkan dengan cara menciptakan sistem penggolongan reaksi pada uji tempel
oleh seorang pelopor ahli dermatologi Bruno Bloch pada tahun 1911. Kemudian Bloch
menyusun ide-ide penting tentang sensitisasi silang(cross-sensitization) dan dermatitis
kontak alergi sistemik. Marion Sulzberger, asisten Bloch dan Jadassohn, menganjurkan
penggunaan uji tempel untuk diagnosis DKA. Asisten lainnya, Paul Bonnevie
mengembangkan standar seri tersebut yang sekarang dipakai sebagai prototipe uji
tempel saat ini.1
B. Definisi dan Epidemiologi
Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan reaksi eczema yang terjadi sebagai
respon imun terhadap paparan pada sebuah zat kimia yang bersifat alergen yang mana
awalnya telah terjadi sensitisasi pada paparan pertama. Reaksi ini dapat disamakan
dengan respon hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).1,2,3
Prevalensi DKA bervariasi pada berbagai tempat. Di Amerika prevalensi DKA 1,5-
5,4 %, dan mencapai 28% di spanyol.4Pada tahun 2007, Thyssen dkk mengadakan
penelitian retrospektif dengan meninjau kembali penelitian epidemiologi yang pernah
diterbitkan antara tahun 1966-2007 mengenai kontak alergi pada populasi umum
termasuk semua usia dan paling banyak data didapat dari Amerika utara dan Eropa
barat. Berdasarkan data tersebut prevalensi rata-rata kontak alergi pada populasi umum
paling tidak sensitif pada 1 alergen adalah 21,2%. Selain itu, dari penelitian tersebut
didapatkan alergen yang paling sering menyebabkan kontak alergi yaitu nikel,
thimerosal dan parfum.7Penelitian di Denmark pada 1500 anak berusia 12-16 tahun,
penelitian termasuk kuisioner, interview, pemeriksaan fisis dan uji tempel, didapati
prevalensi dermatitis tangan debanyak 9,2%.1Pada tahun 1982 sebuah penelitian di
Inggris menemukan penyebab terbanyak adalah antibakteri (20%), rubber accelerator
(15%), pengharum dan balsam (13%) dan nikel (5%). Namun pada tahun 1997, hasil
yang ditemukan berbeda yakni pengharu dan blasam (37%), rubber accelerator (10%),
antibakteri topikal(9%) dan nikel (9%).5
Belum ada data yang cukup mengenai DKA di Indonesia.Penelitian epidemiologi
retropektif yang dilakukan di RSUP MH Palembang periode 1 Januari 2009- 30 Juni
2012, dengan meneliti sampel pasien DKA sebanyak 861 didapatkan kejadian DKA
sebesar 3,1%. Dengan persentase alergen penyebab tertinggi adalah detergen sebesar
33,2%, diikuti kosmetik sebesar 21,7%, perhiasan sebesar 9,2%, bahan yang terbuat dari
kulit sebesar 8,4%, jam logam 5,9%, salep kulit sebesar 4,7%, adukan semen sebesar
4,4%, minyak rambut sebesar 2,5%, makanan laut sebesar 2,5%, balsam dan minyak
kayu putih sebesar 2,2%, karet sebesar 1,4%, asam salisilat sebesar 0,7%, sampo sebesar
0,7%, danminyak tawon, kunyit yang dicampur minyak, daging ayam, rumput, lipstick
serta akibat tersiram asam masing-masing sebesar 0,3%.5 Penelitian retrospektif pasien
DKA di RSUP Dr. Kariadi periode 1 Januari 31 Desember 2013 berjumlah 174 pasien
menunjukan distribusi kejadian DKA lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Dengan penyebab yang tidak diketahui (89,1%), kosmetik (3,4%), sandal jepit (2,9%),
detergen (2,3%), karet celana dan plester (1,1%) dan semen dan elektroda (0,6%).
Penyebab yang tidak diketahui dikarena pencatatan rekam medis yang kurang lengkap.6

1. Berdasarkan usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dermatitis kontak merupakan penyebab
tersering dermatitis pada anak-anak dan diagnosis tersering pada anak-anak.7
Alergen paling sering yaitu nikel, parfum, thimerosal, obat, bahan karet, chromate
dan resin pada alas kaki.1 Alergi pada parfum terjadi pada semua usia, beberapa
penelitian seperti penetilian di Augsburg tahun 2001 menyatakan bahwa umur 28-75
tahun terjadi peningkatan sensitivitas pada parfum seiring usia. Hal ini sama dengan
penelitian Magnusson dkk di Sweida menunjukkan bahwa prevalensi 4,7%
sensitisasi pada balsam Peru pada pasien umur 65 tahun. Begitu juga dengan
penelitian baru-baru ini di Denmark menyatakan tingginya prevalensi alergi pada
bahan preservatif pada pasien usia 41-60 tahun.7Orang dewasa muda lebih sering
tersensitisasi karena pekerjaan dan penggunaan produk kosmetik sedangkan orang
lanjut usia ebih karena pengobatan dan riwayat alergi.1

2. Jenis kelamin dan Ras


Thyssen dkk menemukan bahwa prevalensi median kontak alergi pada populasi
umum perempuan 21,8% dan laki-laki 12%. Berdasarkan penelitian yang sama,
prevalensi sensitivitas pada nikel pada perempuan 17,1% dan laki-laki 3%. Hal ini
kemungkinan dikarenakan penggunaan perhiasan pada perempuan.
Penelitian terbatas menyatakan sensitisasi terendah pada populasi afrika-amerika
dibanding kaukasian. Bagi pasien dengan kulit lebih gelap, kadang susah untuk
menilai hasil tes karena eritema akan tampak tidak jelas. Namun edema dan papul/
vesikel biasanya tampak dan dapat diraba, oleh karena itu penting untuk palpasi
bagian yang dilakukan uji tempel. Selain itu pada pasien yang berkulit gelap,
mengalami kesulitan untuk menandai bagian yang diuji, sebaiknya menggunakan
tinta fluoresen agar dapat melokasikan bagian yang ditandai dengan lampu Wood
dalam ruangan yang gelap.7
3. Berdasarkan pekerjaan
Insiden dermatitis yang berhubungan dengan pekerjaan pada sebagian besar negara-
negara di Eropa barat mencapai 0,5 1,9 kasus per 1000 pekerja per tahun; penyakit
kulit 13-34% dari semua penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan
dermatitis kontak 90-95% dari penyakit kulit karena pekerjaan. Penelitian pada
pekerjaan dengan resiko tinggi dermatitis, didapati 52% dari pkerjaan dengan resiko
tinggi uji tempel positif, termasuk 73% pekerja konstruksi, 72% penata rambut dan
tukang pangkas rambut, dan 20% pekerja industri makanan.1

C. Patofisilogi
Dermatitis kontak alergi merupakan sel mediasi respon hipersensitivitas tipe lambat (tipe
VI). Reaksi imun tersebut merupakan hasil dari paparan dan sensitisasi individu yang
rentan pada alergen yang mana saat terpapar lagi pada alergen yang sama dapat
menimbulkan reaksi inflamasi kompleks. Hasil gambaran klinis berupa eritema, edema,
dan papul-vesikel biasanya terdistribusi pada bagian yang terkena kontak, dengan gejala
utama pruritus. Agar timbul reaksi tersebut, paparan pada zat kimia yang menyebabkan
sensitisasi harus cukup, dan selanjutnya terpapar lagi pada zat kimia tersebut. Hal ini
penting karena membedakan DKA dari dermatitik kontak iritan (DKI), yang mana DKI
terjadi tanpa sensitisasi dan intensitas reaksi inflamasi sama dengan banyaknya iritan.
Sedangkan pada DKA, hanya sedikit alergen dapat menyebabkan reaksi alergi berat.7
Ada 2 fase dalam perkembangan dermatitis kontak alergen:
1. Sensitisasi
a. Ikatan alergen pada komponen kulit
Pada dasarnya, zat kimia yang menyebabkan DKA berukuran sangat kecil untuk
dapat dikenali sistem imun. Alergen masuk ke kulit dapat secara kimiawi reaktif
sehingga langsung berikatan kovalen dengan protein kulit atau melalui
metabolisme menjadi produk yang dapat membentuk ikatan. Produk yang
dibentuk berikatan dengan MHC II (MajorHistocompability Complex II)
menginduksi reaksi sensitisasi. Zat kimia juga dapat berikatan langsung pada
MHC II menginduksi sensitisasi. MHC II terdapat pada permukaan sel dendritik
epidermis dan sel Langerhans. Allergen yang dipaparkan ke kulit berasosiasi
dengan MHC II dalam waktu 6 jam.1
b. Pengenalan antigen lengkap atau konjugasi
Andai ikatan MHC-antigen tidak menyebabkan sensitisasi secara langsung,
namun memerlukan stimulator yang diproduksi karena sel stress (keratinosit
rusak). Stimulator yaitu IL-1, TNF- dan GM-CSF dibutuhkan untuk aktivasi,
maturasi dan migrasi sel-sel Langerhans. Pada absensi stimulator-stimulator
tesebut, diasumsikan toleransi dapat terjadi.
Sensitisasi dapat terjadi jika kelenjar getah bening (KGB) setempat utuh. Sel
Langerhansyang membawa alergen melalui limfatik aferen ke parakorteks KGB,
di sana alergen dipresentasikan ke limfosit T naif. Ikatan sel Langerhans ke
limfosit T tidak hanya dibantu oleh faktor fisik (membran sel langerhans yang
berkerut dan bentuk sel dendritik, dan struktur parakoteks KGB yang berbelit-
belit) tapi juga oleh CAM ( Cellular Adhesion Molecules). Contoh , LFA-1
(Leukocyte Functional Antigen-1) pada sel CD4 berinteraksi dengan ICAM-1
(Intercellular Adhesion Molecule-1) pada sel Langerhans. Dengan pengenalan
antigen, banyak sitokin dikeluarkan contohnya IL-1 oleh sel Langerhans dan IL-
2 oleh limfosit T.1
c. Proliferasi dan diseminasi limfosit T yang tersensitisasi
Sitokin menyebabkan pembentukan dan proliferasi limfosit sitotoksik spesifik
antigen CD8+ (Tc1) dan CD4+ (Th1). Tipe limfosit T yang dihasil bergantung
pada alur antigen dipresentasikan: molekul kecil yang larut lemak dapat masuk
sitoplasma dipresentasikan pada MHC kelas I sebagai antigen endogen sehingga
sel T sitotoksik CD8+ dihasilkan, sedangkan hapten yang tidak larut lemak
dipresentasikan pada MHC kelas II sebagai antigen eksogen menghasilkan
limfosit T CD4+.1,8
Gambar 1 contoh sensitisasi nikel pada jam tangan. 8

Limfosit T menyebar ke seluruh tubuh melalui saluran limfa eferen dan


berinteraksi dengan sel-sel Langerhans dan residu antigen pada kulit.
Hipersensitivitas kontak dimediasi melalui sebagian limfosit T yang
mengekspresikan CLA (lymphocyte-associated antigen). Terlokalisasinya area
inflamasi terjadi melalui produksi kemokin CCL27 oleh keratinosit basal yang
berikatan dengan glikoprotein pada dermis. Limfosit dengan CLA positif juga
mengekspresikan reseptor untuk CCL27 yaitu CCR10. Sel T sitotoksik
menginduksi kematian sel dengan jalur Fas ligan (CD 95) dan pelepasan
perforin.1,8

2. Elisitasi
Pada paparan pertama pada alergen yang kuat, hampir pada semua individu terjadi
reaksi lokal setelah 5-25 hari terpapar. Saat periode ini, sensitisasi telah terjadi dan
sisa alergen di kulit bereaksi dengan limfosit T yang baru terbentuk. Respon ini
disebut reaksi lambat. Ada bukti yang menunjukkan bahwa limfosit T untuk spesifik
alergen yang terbentuk menetap pada bagian yang terpapar untuk beberapa bulan
setelah sensitisasi. Hal ini menjelaskan rekasi yang terjadi saat uji tempel.1
Jika seseorang yang telah tersensitisasi alergen terpapar pada alergen yang sama
dengan konsentras yang cukup, maka reaksi klinis akan muncul dengan cepat
biasanya dalam 24-48 jam. Namun tergantung dari tingkat sensitivitas, penetrasi dan
faktor lain sehingga setiap orang bervariasi dari beberapa jam sampai dengan
beberapa hari. Antigen tidak hanya dipresentasikan ke limfosit T oleh sel
Langerhans tetapi juga keratinosit yang produksi IL-1. Respon yang timbul stelah
antigen dipresentasikan yaitu sitokin dilepaskan oleh sel T (IFN- dan TNF-) yang
kemudian merekrut sel-sel inflamasi. Keadaan proinflamasi lokal menyebabkan
gambaran klinis yang klasik yaitu inflamasi spongiotik (kemerahan, edema, papul
dan vesikel, dan panas).1,7
Reaksi tipe lambat merupakan respon elisitasi yang lambat setelah paparan antigen
spesifik pada individu yang telah tersensitisasi antigen tersebut. istilah ini sering
membingungkan karena tidak hanya dipakai pada timbulnya reaksi setelah 4 hari
tetapi juga setelah 21 hari paparan. Reaksi ini karenakan tingkat rendah sensitivitas
(jumlah sel T memori sedikit), paparan pada jumlah alergen yang sedikit (butuh
waktu untuk menambah respon sel T) dan penetrasi alergen yang terhambat.1

Faktorpredisposisi:
Kulit rusak menyebabkan peningkatan absorpsi alergen meningkat contoh eczema dan
DKI. Eczema predisposisikan DKA karena nikel dan prevalensi sensitivitas chromate,
cobalt dan balsam pada laki-laki dengan eczema. Lamanya eczema meningkatkan
kemungkinan sensitisasi. Pada DKI, sensitisasi mudah terjadi karena peningkatan
absorpsi alergen, respon imun dan rekrutmen sel imunokompeten awal, dan akumulasi
sel-sel mononuklear.1
1. Faktor kimiawi
Protein pada kulit bermuatan negatif sedangkan hampir semua alergen (hapten)
bermolekul sederhana dengan berat molekul rendah (<500- 1000 Da) dan bermuatan
positif. Sehingga keduanya dapat membentuk hapten-protein dengan ikatan kovalen
yang kuat. Hapten dapat dikelompokkan berdasarkan reaktivitas kimia dalam
hubungan dengan protein pembawanya atau berdasarkan grup fungsional (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi hapten berdasarkan grup fungsional

Potensial sebuah molekul berat rendah menjadi hapten tergantung dari


reaktivitasnya terhadap protein di kulit. Beberapa molekul bereaksi langsung
(contoh: nikel), sementara yang lainnya butuh aktivasi baik di dalam kulit setelah
diabsoprsi atau di luar sehingga dikelompokkan menjadi pro- atau pre- hapten
berdasarkan mode aktivasi:
a. Prohapten
Dimetabolisme di dalam kulit agar menjadi aktif, dengan demikian aktivasinya
bervariasi tergantung dari pola ekspresi enzim setiap individu. Contoh prohapten
yang terkenal yaitu cinamyl alcohol dan urushiol.
b. Prehapten
Merupakan molekul tidak berpotensi atau berpotensi rendah untuk sensitisasi
yang teraktivasi diluar kulit. Contoh prehapten yaitu pengharum terpene,
diterpene dalam rosin/ cholophony, dan ethoxylated surfactan. Auto oksidasi
limonene (dari sitrus) dan linalool (dari lavender) menyebabkan terbentuknya
hidroperoksida kedua pengharum tersebut. berdasarkan penelitian kedua
pengharum tersebut yang telah teroksidasi merupakan penyebab tersering DKA,
sementara tanpa teroksidasi keduanya jarang menyebabkan sensitisasi.

2. Penilaian potensi sensitisasi


Potensi tersensitisasi merupakan kapasitas relatif alergen tertentu menginduksi
sensitisasi pada kelompok manusia atau hewan. Untuk memperkirakan indeks
sensitisasi diperlukan uji tempel termodifikasi untuk meningkatkan dampak
sensitisasi.
3. Resiko sensititsasi
Resiko sensitisasi tak hanya dipengaruhi oleh potensial zat kimia menjadi hapten
tetapi sebelum menstimulasi sistem imun, zat kimia tersebut harus melewati kulit.
Selanjutnya luas area tubuh yang terpapar pada zat kimia tersebut meningkatkan
resiko sensitisasi. Selain itu durasi paparan, paparan yang berulang dan kondisi kulit
(adanya dermatitis saat paparan meningkatkan sensitisasi).
Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan kontak alergi rentan terhadap
sensitisasi alergen lainnya dibandingkan dengan yang tidak ada kontak alergi.
Namun saat terpapar dengan alergen yang kuat dengan konsentrasi tinggi dapat
menimbulkan sensitisasi pada semua individu. Contoh: DNCB (dinitroklorbenzen)

4. Perkembangan dermatitis
Individu yang sensitif terhadap suatu zat kimia dikatakan memiliki sensitivitas laten
jika dapat toleransi kontak terhadap zat kimia tersebut. Tidak ada perbedaan respon
imun antara sensitivitas yang laten dan terekspresikan/ dimanifestasikan. Sebagian
dipengaruhi oleh ambang sensitivitas, jadi konsentrasi rendah dapat menyebabkan
uji tempel positif namun tidak bermanifestasi. Ambang sensitivitas dapat menjadi
rendah setelah kontak yang berulang.

5. Toleransi imun
Reaksi sensitisasi menginduksi sel T efektor dan sel T supresor, yang kemudian
membatasi respon imun agar reaksi epidermis dapat berkurang. Respon sel T
supresor menimbulkan toleransi. Secara teori, stimulasi sel T supresor menyebabkan
tubuh tidak respon terhadap antigen. Hal ini dapat dicapai dengan administrasi
alergen via intravena, oral atau peritoneal ( rute non kutan), sehingga melewati sel
Langerhans. Reaksi toleransi ini dapat dicapai dengan mengoleskan alergen pada
kulit yang sel Langerhans telah dihambat oleh radiasi ultraviolet atau telah dideplesi
oleh glukokortikoid. Sel T supresor sensitif pada obat sitostatik, seperti
siklofosfamid sehingga dapat membalikkan kondisi torelansi.
Patologi:
Hampir semua eczema menunjukan perubahan patologi yang mirip, DKA dan DKI
tidak dapat dibedakan. Tampaknya cara satu-satunya untuk membedakan DKA dari
DKI adalah dengan anamnesis awal terjadinya proses inflamasi.
Organisme penyebab:
Fauna bukan merupakan penyebab utama kontak alergi, walaupun ada dilaporkan
nelayan Eropa rentan pada dermatitis kontak setelah terpapar pada jaring yang ada
organisme laut (dikenal dengan bryozoans). Kelainan ini disebut Dogger Bank itch
di Inggris. Alergen tersebut teridentifikasi sebagai ion dimetilsulfoksonium.

Genetik:
Faktor genetik mempengaruhi pengambilan antigen, respon sel imun pada spesifik
antigen, dan metabolisme antigen oleh enzim di kulit yakni N-acetyltransferase
(NAT). Penelitian menunjukan pasien dengan dermatitis kontak memilik aktivitas
NAT yang tinggi.
Pada manusia sensitisasi tidak mengikuti pola Mendelian. Hampir setiap individu
dapat tersensitisasi dengan ekstrak Primula dan DNCB. Hasil eksperimen
menunjukkan bahwa hampir semua individu yang rentan tersensitisasi pada alergen
tersebut dengan dosis yang sesuai. Aplikasi yang berulang meningkatkan jumlah
individu yang tersensitisasi. Beberapa individu menjadi resistan terhadap sensitisasi.
Resistan didapat dari paparan berulang pada alergen dengan dosis subsensitisasi atau
paparan terhadapan alergen via rute oral sehingga terbentuknya toleransi terhadap
alergen.1
Hubungan antara atopi dan DKA masih diperdebatkan karena atopi menyebabkan
downregulation sel Th1 (CD4+) yang mana kemungkinan terjadinya DKA pada
individu dengan atopi menurun. Memang benar, pada pasien dengan atopi eczema
berat, kapasitas sensitisasi pada DNCB berkurang. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi kontak alergi meningkat individu dengan atopi
terutama DKA terhadap obat untuk eczema, kemungkinan karena kulit yang rusak
terpapar terhadap obat atopi. Pasien dengan atopi eczema dapat terjadi reaksi false
positif uji tempel nikel, chromate dan cobalt.

6. Faktor lingkungan
a. Iklim
Paparan pada sinar ultraviolet B (UVB) menurunkan respon imun terhadap
alergen. Sehingga sinar UVB secara temporari mengurangi reaksi alergi. Sinar
ultraviolet A (UVA) tampaknya tidak memiliki efek yang sama dengan sinar
UVB. Sebaliknya kulit yang pecah-pecah sewaktu musim dingin meningkatkan
kemungkinan DKI dan insiden uji tempel false positif terhadap formaldehid dan
propylene glycol. Keringat yang terhambat atau banyak dapat meningkatkan
alergi pada sepatu dan pakaian.
b. Flora dan fauna
Dermatitis karena tanaman seperti Primula obconica menunjukkan pola musim
yang berbeda. Distribusi material alergen dari tanaman difasilitasi oleh iklim
yang kering dan berangin. Papatan pada Toxicodendron hanya terjadi di Amerika
utara. Tanaman yang menyebabkan alergi bervariasi pada berbagai tempat: di
Amerika, penyebab utama ragweed; di Eropa, chryssanthemums dan garden
weeds; di India, rumput liar Parthenium; di Australia, famili Compositae
(Asteraceae).
c. Faktor sosial ekonomi dan kultural
Penelitian dermatitis kontak pada kelompok sosial ekonomi belum didalami
namun kejadian dermatitis kontak karena paparan terhadap metal yang murahan
(nikel) sebagai perhiasan dapat meningkat.
Faktor kultural seperti penggunaan obat herbal traditional dari tanaman dan
balsem. Selain itu pewarna rambut atau bindi yang dipakai pada dahi, adat di
India. Kultural barat seperti penggunaan kosmetik, berjemur pada matahari, tato
atau tindik bagian tubuh.1

D. ManifestasiKlinis1,7
1. Temuan pada kulit
Presentasi klasik DKA adalah pruritus, dermatitis eczema (dermaitis eczema
yaitu papul, vesikel dan pruritus)10 awalnya terlokalisasi pada bagian yang terpapar
alergen. Susunan bergaris-garis DKA pada ekstremitas biasanya menandakan
alergen dari Toxicodendron spp (poison ivy), oak atau sumac. Terkadang zat-zat dari
tanaman tersebut menyebabkan erupsi berat yang menyebar pada bagian tubuh yang
terpapar contohnya seperti pada wajah dan lengan. Zat-zat yang terkandung dalam
tanaman-tanaman itu disebut urushiol yang dapat menyebabkan sensitisasi melalui
kontak langsung dengan tubuh, melalui pakaian, hewan atau menyebar di udara saat
tanaman tersebut dibakar.
Penting untuk diingat bahwa morfologi DKA bermacam-macam tergantung
dari reaksinya. Contohnya pada fase akut, lesi ditandai dengan edema, eritema dan
vesikel (gambar 2). Ketika vesikel pecah, lesi tampak basah(oozing) dan papul serta
plak muncul. Alergen yang lebih kuat biasanya menyebabkan bentuk lesi vesikel
sedangkan yang lebih lemah menyebabkan lesi papul yang disertai eritema dan
edema. Biasanya manifestasi DKA subakut adalah bersisik, fisura, dan likenifikasi.
Gejala terpenting pada alergi adalah pruritus. Yang mana pada kasus kontak alergi
keluhan rasa gatal lebih sering daripada keluhan rasa perih.

Gambar 2. Karakteristik DKA akut yaitu vesikel, papul dan eritema (kiri) dan DKA
kronis yaitu bersisik, kering dengan fisura (kanan)

Berikut ini beberapa kondisi klinis varian DKA:


a. DKA pruritus: sering pada tungkai/ kaki, disebabkan oleh pewarna kain.
b. DKA likenoid: varian DKA yang paling jarang, kejadiaanya berhubungan
dengan pewarnaan metalik pada tato. Fitur klinis DKA liken mirip liken planus.
DKA liken pada mulut disebabkan oleh amalgam, dapat menyerupai liken planus
oral.
c. DKA pigmentasi: kasus ini ditemukan pada etnis Asia.
d. DKA limfomatoid: DKA ini dikategorikan berdasarkan histopatologinya yaitu
infiltrasi pada dermis yang mirip dengan limfoma. Tanda klinis tidak spesifik
yaitu plak eritema, kadang disertai infiltrasi pada bagian yang terpapar. Contoh
alergen penyebab DKA limfomatoid: metal, pewarna rambut, dan dimetilfumarat
(penghambat jamur pada barang-barang mebel)

2. Pendekatan topografi
Distribusi dermatitis biasanya merupakan petunjuk paling penting dalam
diagnosis DKA. Khususnya bagian tubuh yang dengan luar terdapat eczema
dermatitis merupakan bagian yang terpapar pada alergen dengan konsentrasi tinggi.
Lokasi lesi dapat menjadi petunjuk yang berharga dalam menentukan zat yang
menyebabkan DKA pada pasien. Contohnya, dermatitis eczema peri- atau
infraumbilikus menandakan kontak alergi karena kenop atau gasper ikat pinggang
yang terbuat dari metal, sedangkan eczema yang terdistribusi di sekitar garis rambut
dan di belakang telinga menandakan kontak alergi pada produk perawatan rambut
(sampo, pewarna rambut, konditioner, produk penata rambut). Dengan alasan yang
sama eczema pada dorsum kaki berkaitan dengan produk sepatu seperti kulit, karet,
atau pewarna pada bagian sepatu yang kontak langsung dengan dorsum kaki,
kemudian eczema pada telapak kaki menyarankan kontak alergi pada produk alas
kaki seperti karet atau bahan perekat. Perlu dicurigaipenyebab dermatitis pada
wajah, kelopak mata, bibir, dan leher adalah produk kosmetik. Namun untuk
menentukan zat yang menyebabkan DKA harus dilakukan uji tempel. Pola dermatitis
digunakan untuk menentukan apakah perlu untuk dilakukan uji tempel dan tipe
alergen yang akan diuji.
Terkadang pendekatan topografi tidak memberikan informasi yang dibutuhkan
dan distribusi lesi dapat menimbulkan kesalahan dalam diagnosis. Hal ini terutama
ditujukan pada kasus DKA ektopik atau DKA yang ditularkan lewat udara
(airborne). DKA ektopik mengikuti 2 keadaan: autotransfer yaitu alergen pada
tangan pasien secar tidak sadar ditransfer ke bagian tubuh yang lain. Contoh:
dermatitis pada kelopak mata atau leher karena cat kuku yang mengandung
tosylamide formaldehyde resin (TSFR) dan epoxy resin. Heterotransfer yaitu alergen
ditransfer dari 1 orang ke orang lain (suami-istri, orang tua-anak, dll).
a. Wajah
Wajah merupakan bagian tubuh tersering terjadi DKA, wanita leboh sering
dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan penggunaan kosmetik yang
mengandung alergen seperti pengharum, PPD (para-Phenylenediamine), zat
preservatif dan alkohol lanolin. Sensitisasi dapat terjadi melalui kontak langsung
ke wajah, melewati udara atau dari tangan ke wajah. Selain zat yang terkandung
dalam konsmetik, benda yang digunakan untuk menata produk kosmetik juga
mengandung alergen yang dapat menyebabkan dermatitis pada wajah , seperti
spons wajah. Keadaan yang sama dijumpai pada pasien yang menggunakan jepit
rambut yang terbuat dari nikel, menyebabkan dermatitis kepala dan wajah pada
pasien yang sensitif pada nikel.

Gambar 3. DKA karena kosmetik

b. Kulit kepala
Alergen yang kontak dengan kulit kepala menyebabkan DKA pada bagian
dahi, lateral wajah, kelopak mata, telinga, leher dan tangan. Sementara pada kulit
kepala tidak terjadi DKA, hal ini menunjukkan kulit kepala resistan pada alergen.
Namun pada pasien yang sangat sensitif pada bahan-bahan tertentu seperti PPD,
dapat menyebabkan reaksi edema dan krusta pada kulit kepala. PPD merupakan
alergen/ hapten yang poten , terkandung dalam pewarna rambut. Manifestas PPD
dapat dilihat pada wajah dan kulit kepala pasien yang mewarnai rambut. Selain
itu GMT (glyceryl thioglycolate) merupakan zat yang terkandung dalam cairan
untung mengkeritingkan rambut. Alergi pada GMT dimanifestasikan sebagai
kulit kepala bersisik, edema, dan krusta.
c. Kelopak mata
Kelopak mata merupakan area kulit yang paling sensitif dan rentan terhadap
alergen atau iritan dikarenakan kulit yang tipis dan lipatan kelopak mata
menyebabkan zat-zat terkumpul. Hanya sedikit alergen dari kulit kepala, wajah,
atau tangan dapat menyebabkan reaksi eczema pada kelopak mata, sementara
lokasi utama tidak terjadi perubahan. Penyebab dermatitis kontak pada kelopak
yaitu kosmetik (maskara, eyeliner, eyeshadow, pelengket bulu mata palsu dan
pelentik bulu mata yang terbuat dari karet atau nikel). Lebih lanjut, edema pada
kelopak mata merupakan fitur dermatitis karena pewarna rambut. Antibiotik
topikal ( seperti bacitracin dan neomisin), parfum, bahan preservatif pada
kosmetik, dan metal (seperti emas) menyebabkan dermatitis pada kelopa mata.
Analisis kontak alergen oleh NACDG tahun 2007 menunjukkan emas merupakan
alergen tersering penyebab dermatitis kelopak mata.
d. Bibir
Berdasarkan penelitian NACDG sekitar 1/3 pasien dengan keilitis pada
dermatitis pada bagian tubuh lain disebabkan oleh alergen. Menurut laporan,
keilitis kontak alergi (KKA) disebabkan oleh kosmetik lip balm, lipstik, lip gloss,
mosturizer, sun screen, produk cat kuku dan produk perawatan mulut ( kumur
mulut, odol, dental floss). KKA dominan pada wanita dengan penelitian
menunjukkan 70,7%- 90%. Dikarenakan penggunaan kosmetik yang sering pada
wanita. Penelitian menunjukkan bahwa zat dalam parfum paling sering
menyebabkan KKA dalah pencampur parfum dan Myroxylon pereirae (balsam
peru). Penyebab yang jarang dilaporkan yaitu benzophenone-3 (komponen utama
sunscreen dan produk kosmetik bibir) dan gallates (antioksidan yang digunakan
pada produk waxy dan berminyak seperti lip balm, lipstik, dan lip gloss).

Gambar 4. Kontak alergi keilitis.


e. Leher
Kosmetik pada wajah, kulit kepala, dan rambut, serta cat kuku kadang
menyebabkan DKA pada leher. Selain itu dapat terjadi karena penggunaan
parfum pada leher. Pada pasien yang tersensitisasi parfum, jika parfum
digunakan pada leher anterior menyebabkan plak dermatitis pada leher disebut
atomizer sign. Manifestasi alergi pada metal (kalung atau perhiasan lain ayng
mengandung metal) berupa dermatitis eczema kronis.
f. Tubuh
Alergen penyebab berupa pengharum, zat preservatif, surfaktan (biasanya
terkandung dalam sabun) dan zat kimia lainnya dari produk perwatan tubuh.
Selain itu alergi juga dapat terjadi karena alergen dari baju yaitu pewarna baju
(azoanilines) dan formaldehyde-releaser (zat yang buat kain tidak kusut ketika
basah). Dahulu saat produksi kain, diselesaikan dengan menggunakan
formaldehyde yang banyak, sehingga pada tahun 1950an dan 1960an banyak
kasus DKA. Oleh karena itu, sekarang digunakan dimetilol dihidroksietilenurea
yang hanya melepaskan sedikit formaldehyde. Penelitian baru-baru ini
menunjukkan bahwa kandungan formaldehyde pada baju dibawah ambang batas
elisitasi reaksi dermatitis, namun pada individu yang sangat rentan dapat
menyebabkan DKA.
g. Aksila
Cuaca yang panas, kelembapan yang tinggi, dan kikisan antar lipatan ketiak
dapat menyebabkan resin dan pewarna pada baju terlepas dari baju dan
menyebabkan dermatitis pada area ini (gambar 5). Selain itu, aksila juga terpapar
pada deodoran yang mengandung parfum dan bahan preservatif, dapat
menyebabkan DKA. Deodoran yang disemprot menyebabkan alergen tersebar
sehingga sehingga pada ketiak gambaran satelit lesi papul yang menyebar.

Gambar 5. DKA karena bahan pakaian


h. Tangan dan kaki
Dermatitis pada tangan 80% dari penyakit kulit yang berhubungan dengan
pekerjaan, terutama pekerjaan yang berhubungan dengan keadaan yang basah.
Dengan demikian, saat menangani pasien dengan dermatitis tangan, harus
dipikirkan kemungkinan penyebab paparan alergen saat pasien berkerja. Contoh:
penata rambut terpapar pada produk rambut seperti PPD, glyceryl
monothioglycolate atau cocamidopropyl betaine (merupakan surfaktan-detergen
dalam shampo), sedangkan pekerja konstruksi bangunan alergi pada kromium
dalam semen yang basah. Petunjuk klinis pada DKA yaitu sela-sela jari dan
dorsum tangan terlibat disertai gejala dominan rasa gatal. Walaupun ada petunjuk
klinis tersebut, dermatitis tangan mempunyai banyak faktor penyebab yaitu
paparan pada iritan, atopi, chronic vesicular hand eczema, psoriasis, dan
dermatofitosis, sehingga membuat diagnosis dan terapi pasien menjadi
kompleks.Dermatitis tangan kronis merupakan indikasi untuk uji tempel, begitu
juga dengan dermatitis pada kaki. Uji tempel yang dilakukan harus sesuai dengan
kemungkinan penyebab, yaitu: bahan karet (mercapto benzothiazole, carba mix,
thiuram mix, mercapto mix, black rubber mix, dan mix diakyl thioureas) yang
merupakan bahan alas sepatu; perekat sepatu resin 4-tert-butylphenol
formaldehyde; dan potassium dikromat pada sepatu kulit. Selain dari pada itu,
bahan yang harus dites termasuk obat topikal (antibiotik, kortikosteroid, dan anti
jamur) baik OTC (over-the-counter) atau resep dokter, karena kemungkinan
pasien menggunakan obat-obat tersebut untuk mengobati dermatitis. (gambar 6)

Gambar 6. DKA karena alas sepatu.


Bagian tubuh lain yang dapat terjadi DKA adalah mukosa mulut (stomatitis
kontak alergi karena gigi yang terbuat dari metal) dan perianal (dapat terjadi
karena kandungan zat dalam gel yang digunakan sebagai pelumas saat tes colok
dubur).

3. Scattered Generalized Dermatitis (SGD)


SGD yaitu dermatitis umum yang tersebar, biasanya susah untuk didiagnosis
dan diterapi. Uji tempel merupakan strategi untuk mengevaluasi DKA sebagai faktor
yang berpotensi menyebabkan SGD. Pada tahun 2008, Zug dan NACDG meneliti
hasil uji tempel serta alergen yang berhubungan dengan SGD. Dari 10.061 pasien
dermatitis yang diteliti dalam periode 4 tahun, 14,9 % menderita SGD. Pasien
dengan riwayat eczema atopi beresiko tinggi menderita SGD. Sedangkan dari total
pasien yang menderita SGD, 49 % mendapat reaksi positif pada uji tempel. Alergen
yang berhubungan dengan terjadinya SGD yaitu bahan preservatif, parfum,
propylene glycol (terkandung dalam minuman kopi, pemanis, es krim, soda, rokok
elektronik, dll) , cocamidopropyl betaine, ethylene urea melamine formaldehyde dan
kortikosteroid.

4. Dermatitis kontak sistemis


Pada tahun 2001, anggota-anggota ICDRG (international contact dermatitis
research group) mengembangkan konsep sindrom DKA. Konsep ini
mempertimbangkan berbagai segi kontak alergi, termasuk morfologi dan tingkatan
berdasarkan gejala. Tiga tingkat sindrom DKA pada tabel 2 dan penyebabnya pada
tabel 3.
Dermatitis kontak sistemis menggambarkan reaktivasi sistemis DKA.
Dengan kata lain, erupsi kulit dalam respon pada paparan sistemis (bukan topikal)
pada alergen. ICDRG menyarankan terjadinya dermatitis kontak sistemis: awalnya
terjadi sensitisasi selang beberapa minggu sampai bertahun-tahun lagi baru pasien
terpapar secara sistemis pada alergen yang sama atau mirip menyebabkan elisitasi
DKA sistemis. Ada beberapa rute paparan alergen yaitu subkutan, intravena,
intramuskular, inhalasi dan oral namun tidak secara topikal. Pola yang berhubungan
dengan dermatitis kontak sistemis yaitu dermatitis pada aksila, paha atas medial dan
pantat (kadang dideskripsikan sebagai sindrom baboon), pola ini berhubungan
dengan alergen dengan rute oral (contoh alergen: reaksi silang minyak kacang mete
dan urushiol). Nikel masuk ke tubuh melalui mulut menyababkan dyshidrotic hand
eczema/ pompholyx. Alergen lainnya yaitu Myroxylon pereirae, dikenal dengan
balsam peru. Ada beberapa makanan yang dapat menyebabkan reaksi silang balsam
peru karena zat kimiawi yang mirip yaitu tomat, kulit buah sitrus, cokelat, es krim,
anggur, bir, vermouth, air soda berwarna gelap dan rempah-rampah (kayu manis,
bawang putih, kari dan vanila). Penelitian Salam dan Fowler menyatakan pasien
yang alergi pada balsam peru mendapat perbaikan total gejala DKA setelah
menjalankan diet menghindari makanan-makanan yang dapat menimbulkan reaksi
silang balsam peru.

5. Pendekatan penyebab tersering


Menurut data tiap daerah mengenai alergen tersering, pekerjaan pasien atau
paparan dari individu lain, dapat ditentukan penyebab DKA. Namun hal ini tidak
boleh menggantikan uji tempel yang merupakan standar baku diagnosis DKA.
Berikut ini penjelasan singkat mengenai alergen tersering:
a. Nikel
Nikel digunakan pada berbagai produk termasuk produk yang berkontak
lama dengan kulit seperti perhiasan, kancing, tali selempang, kenop, gesper kaca
mata, handphone, koin, kunci, dll. Nikel merupakan penyebab tersering pada
wanita. Di Amerika dan beberapa daerah lain, insiden nikel pada anak
meningkat.
Bentuk klasik DKA karena nikel diidentifikasi dengan bentuk dermatitis pada
bagian yang terkontak dengan nikel, contohnya erupsi pada telinga, garis leher,
bekas jam tangan dan periumbilikus. (gambar 7)
Hubungan alergi nikel pada kegagalan implantasi ortopedi dan alat jantung
masih belum jelas karena publikasi saat ini merupakan penelitian retrospektif.
Sehingga berdasarkan penelitian ada hubungannya namun belum jelas penyebab
kegagalan.
b. Parfum
Parfum berasal dari alam (produk tanaman atau hewani) atau sintetik. Bagian
tubuh yang sering terjadi DKA akibat parfum yaitu wajah, tangan, belakang
telinga, leher dan aksila (gambar 8). Selain itu parfum dapat menyebabkan SGD.
Bahan utama parfum yang digunakan pada uji tempel di Amerika utara yaitu
Fragrance mix I (campuran 8 parfum yang bersifat alergen) dan Myroxylon
pereirae dikenal dengan balsam peru. Produk yang mengandung balsam peru
contohnya kosmetik, parfum, obat, odol, obat kumur, perasa makanan dan
minuman, dll.

Gambar 7. DKA subakut pada nikel (kiri); DKA karena metal pada kancing
celana (kanan)

Gambar 8. DKA karena parfum.


c. Neomisin
Neomisin adalah antibiotik golongan aminoglikosida yang biasanya
digunakan dalam bentuk topikal untuk pencegahan dan terapi infeksi kulit
superfisial, telinga dan mata. Dari laporan NACDG, frekuensi sensitisasi
neomisin dalam populasi sebesar 1,1% . Angka sensitisasi tinggi di Amerika
utara karena penggunaan obat OTC. Subgrup yang beresiko tinggi yaitu pasien
dengan statis dermatitis, ulkus tungkai, dermatitis anorektum, dan otitis eksterna
(gambar 9). Karena pada pasien-pasien tersebut kondisi kulit rusak.
Manifestasi DKA karena neomisin dapat berupa dermatitis persisten
(perburukan dermatitis). Selain itu, manifestasi alergi pada neomisin dapat
berupa selulitis yang terasa gatal. Pada penggunaan neomisin topikal, lesi
semakin luas dan terasa gatal menunjukkan adanya sensitivitas pada neomisin.

Gambar 9. DKA pada keadaan dermatitis stasis dapat dikarenakan obat topikal
atau stoking.

d. Formaldehyde dan bahan preservatif pelepas formaldehyde


Formaldehyde adalah gas yang tak berwarna dengan kemampuan sebagai
preservatif dan disinfektan. Produk yang mengandung formaldehyde yaitu
produk pembersih, lem, dalam fotografi, biosida, dll. Formaldehyde dengan
konsentrasi banyak berpotensi tinggi menyebabkan alergi oleh karena itu
penggunaan formaldehyde diganti dengan bahan preservatif pelepas
formaldehyde, karena hanya melepas sedikit formaldehyde. Terutama untuk
produk yang kontak langsung dengan kulit.

Gambar 10. DKA karena quaternium-15 yaitu formaldehyde releasing


preservative yang tekandung dalam pelembab kulit.
e. Kobalt
Kobalt merupakan metal yang dicampur dengan metal lain agar menjadi
lebih kuat. Contohnya dengan nikel, seperti pada kancing baju, gesper, koin,
kunci dan objek metal lainnya. Selanjutnya dapat ditemukan pada join prostetik,
gigi palsu dari metal, keramik, cat, pewarna tato, semen (di Eropa), dan
multivitamin yang mengandung vitamin B12 (kobalt merupakan komponen
utama Vitamin B12 yaitu Cyanocobalamine).
Manifestasi alergi pada kobalt dapat mirip dengan alergi pada nikel. Hal ini
menjelaskan mengapa wanita yang menderita DKA yang mirip seperti DKA
karena nikel saat uji tempel reaksi pada nikel negatif.
f. Bacitracin
Bacitracin merupakan antibiotik topikal yang sering digunakan untuk luka
post operasi atau luka lainnya. bacitracin dikenal sebagai alergen yang dapat
memicu urtikaria dan anafilaksis selain DKA. Bacitracin dikombinasikan dengan
neomisin tersedia dalam bentuk OTC.
g. Methyldibromoglutaronitrite/ phenoxyethanol (MDGN/ PE)
MDHN/ PE merupakan kombinasi zat preservatif dengan aktivitas anti jamur
dan anti bakteri, yang dikenal dengan Euxyl K400.
Alergi dikarenakan penggunaan produk yang mengandung bahan tersebut seperti
krim, lotion, tisu basah dan sabun cair.

h. para- Phenylenediamine (PPD)


PPD merupakan zat oksidasi yang digunakan sebagai pewarna rambut
permanen. Resiko DKA dapat terjadi pada konsumen atau penata rambut.
Manifestasi DKA yaitu dermatitis pada garis rambut di wajah, kelopak mata,
dan leher (Gambar 11). Sedangkan kulit kepala bisa ya dan tidak terjadi
dermatitis.
Setelah teroksidasi, PPD tidah bersifat alergenik. Oleh karena itu rambut
yang telah diwarnai tidak beresiko menyebabkan alergi. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan rambut yang dikeriting yang mana alergen (glyceryl
monothioglycolate) menetap pada rambut dan mampu menyebabkan dermatitis
bagi yang kontak langsung dengan rambut tersebut. PPD memiliki potensi reaksi
silang dengan para- amino lainya seperti para- aminobenzoic acid (PABA),
sulfonilurea, hidroklorotiazid, benzokain, prokanamid, dan pewarna azo dan
aniline.
Produk lain yang mengandung PPD adalah henna (PPD yang dicampurkan ke
henna membuat henna berwarna hitam).

Gambar 11. A dan B alergi terhadap PPD; C uji tempel menunjukkan PPd
merupakan alergen yang kuat.
i. Kromium
Sumber utama kromium adalah semen, selain itu cat anti karat, korek api, zat
kimia dalam fotografi, sabun, gigi prostatik, bahan preservatif untuk kayu, dll.
Fitur klinis berupa erupsi kering tiba-tiba sehingga menyebabkan fisura, secara
khusus pada tangan. Kadang disertai dengan likenifikasi (gambar 12). Keadaan
dermatitis eczema akut jarang terjadi.
Gambar 12. Eczema karena kromat.

E. Pemeriksaan Penunjang9
Standar baku diagnosis DKA adalah uji tempel.

Gambar 13. Uji tempel; contoh hasil tes ++ pada neomisin (kanan)

1. Persiapan pasien
Diawali dengan inform consent kepada pasien bahwa saat tes ini, kulit pasien
akan ditutupi/ ditempel bahan uji tempel sehingga pasien harus menghindari
olahraga agar kulit tetap kering dan hindari kemungkinan efek samping.
Efek samping karena uji tempel dangat jarang terjadi. Pasien harus diberitahu
bahwa tes positif jika bagian kulit yang ditempeli penguji menjadi merah, gatal dan
kadang melepuh. Keadaan ini dapat menghilang dalam beberapa hari.
Pasien harus diingatkan bahwa beberapa tes yang positif contoh alergi pada
emas, reaksi dapat bertahan sampai 1 bulan. Dan gelaja pada lokasi yang jauh dari
yang diuji. Selain itu pada bagian yang diuji tampak hipopigmen atau hiperpigmen,
dan kemungkinan infeksi atau bekas luka pada bagian yang diuji. Dilaporkan bahwa
pada pasien yang sudah pernah uji tempel, saat melakukan uji tempel alergen yang
sama, tidak ada peningkatan sensitivitas pada hasil uji tempel dibandingkan yang
hanya sekali uji tempel.
Kulit yang akan diuji harus bebas dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Agar
menghindari hasil false positif. Jika pasien menggunakan steroid topikal pada
belakang 2 hari sebelum uji tempel atau minum kortikosteroid oral, meningkatkan
resiko hasil false negatif ataureaksi lemah. Namun dosis per hari prednisolon <
10mg sangat tidak memungkinkan terjadinya supresi hasil tes positif. Reaksi tes
negatif dapat timbul pada pasien yang minum obat imunosupresan atau yang
berjemur di bawah sinar matahari atau mendapat terapi radiasi sinar ultraviolet. Jika
pengobatan imunosupresi tidak bisa dihentikan maka sebaiknya tidak dilakukan uji
tempel karena mempengaruhi hasil tes. Antihistamin perlu dihindari jika tes untuk
reaksi urtikaria atau kontak urtikaria.
Uji tempel ditunda 6 minggu jika terpapar pada matahari dan UV artifisial.
Tidak ada data menunjukkan bahwa uji tempel saat menyusui berbahaya, dan data
keamanan. Oleh karena itu uji tempel hanya dilakukan jika dibutuhkan dan inform
consent disetujui.

2. Uji tempel
Metode standar yaitu menempel antigen pada kulit dengan konsentrasi
standar menggunakan pembawa yang sesuai dan harus tertutup. Sisi belakang tubuh
merupakan lokasi yang paling sering digunakan. Uji tempel ini sensitivitas 70% dan
spesifisitas 80%.
Ada berbagai cara menempel antigen namun yang sering digunakan adalah
Finn chambers. Alergen diletakkan ke atas tes disk yang kemudian di tempelkan
pada plester. Jumlah alergen yang diletakkan pada setiap disk harus sama. Pipet
mikro digunakan untuk menghindari variasi. Waktu kadaluarsa alergen harus
diperhatikan dan disimpan sesuai instruksi,dan dipersiapkan pada waktu mau
digunakan. Hal ini sangat penting terutama untuk aleregen acrylate, pengharum,
isocrynate dan aqueous.
Dua seri tes tempel yang siap pakai yaitu TRUE (oleh Pharmacia, Milton
keynes, UK) dan Epiquick (oleh Hermal, Reinbek, German). Tes yang siap pakai
lebih dipercaya dari pada tes yang disiapkan operator, namun hanya sedikit alergen
yang tersedia bagi tes siap pakai.
3. Waktu untuk baca hasil tes
Waktu paling bagus untuk baca tes adalah hari ke 2, hari ke 4. Jika sampai
hari ke 4 belum ada hasil dapat dilanjutkan hari ke 7 yang biasanya reaksi positif
pada 10 % tes yang hari ke 2 da ke 4 hasilnya negatif. Ini termasuk neomisin dan
tixocortol pivalate.

4. Pembacaan dan hubungan reaksi positif


Hasil tes harus dibaca pada pencahayaan yang biasa dan ditandai posistif,
negatif atau iritan (lihat tabel 2).
Beberapa alergen dapat menyebabkan reaksi iritan sehingga membuat tes
sulit untuk diinterpretasi dan misklasifikasi sebagai reaksi positif. Garam metal
untuk nikel, kobalt dan potassium dikromat, dan parfum biasanya menyebabkan
reaksi iritan dan kadang salah diinterpretasi.
Ratio kepositifan suatu alergen ditentukan sebagai persentase reaksi + dibagi
dengan total semua reaksi positif (+, ++, dan +++) dapat membantu untuk menilai
adanya false positif. Alergen dengan hasil terkecil, jarang menyebabkan false positif.
Contoh: tixocortol pivalate dan campuran sesquiterpene lactone.

Tabel 2. Skor hasil uji tempel

Penilaian harus dibuat berdasarkan hubungan setiap reaksi positif terhadap


manifestasi dermatitis pasien. Cara mudah untuk klasifikasi hubungan reaksi positif
adalah sebagai berikut:
(i) Hubungan keadaan saat ini: pasien yang telah terpapar pada alergen saat
dalam episode dermatitis dan membaik saat paparan dihentikan.
(ii) Hubungan keadaan lampau: episode dermatitis yang lampau karena paparan
pada alergen
(iii)Hubungan yang tidak diketahui: tidak tahu apakah paparan baru atau lama
(iv) Reaksi silang: reaksi positif karena reaksi silang pada alergen lain.

5. Seri uji tempel


Pendekatan uji tempel biasanya dengan standar dasar seri skrining, yang
mana dapat mendeteksi 80 % alergen. Seri ini bervariasi pada setiap daerah. The
British Society Cutaneous Allergy (BSCA) merevisi seri dasar tes secara regular,
mengurangi alergen yang sudah tidak menyebabkan dermatitis dan menambah
alergen yang penting yang mungkin menyebabkan dermatitis seperti
metilisothiazolinone.
Seri tes suplemen digunakan melengkapi seri tes dasar untuk bagian tubuh
tertentu atau tipe alergen yang mana terpapar pada pasien. Kosmetik, peratalan
mandi, dan obat topikal milik pasien harus dites dengan konsentrasi yang tidak
menyababkan iritasi. Demikian juga dengan produk yang kontak langsung dengan
pasien saat bekerja harus dites pada konsentrasi iritasi. Namun kadang-kadang
produk untuk uji tempel yang dibawa oleh pasien menyebabkan false negatif dan
false positif oleh karena itu prelu diinterpretasi dengan teliti.

6. Uji Photopatch
Jika diduga penyebab DKA karena alergi pada cahaya, lakukan tes
photopatch. Metode yang direkomendasikan untuk tes photopatch yaitu memberikan
seri tes photoallergen dan barang-barang milik pasien pada dua tempat yaitu kedua
punggung atas pasien. Pada hari ke 2 saat mau melepaskan alergen, satu bagian
disinari UVA 5 J cm-2 dan pembacaan dilakukan 2 hari setelah penyinaran.
Insiden true photoalergy sangat rendah <5% walaupun pembacaan setelah hari ke 4
meningkatkan angka deteksi.

7. Uji tempel terbuka


Uji tempel terbuka biasanya digunakan pada kasus penilaian potensi iritan
atau sensitizer. Selain itu berguna dalamdeteksi dermatitis kontak protein dan kontak
urtikaria. Tes ini biasanya dilakukan dengan mengoles agen yang dicurigai pada
kulit lengan bawah. Bagian yang diolesi harus dinilai pada 30-60 menit pertama dan
pembacaan selanjutnya setelah 3-4 hari.
Uji tempel terbuka yang dilakukan berulang, penting dalam menilai produk
kosmetik dan perawatan yang memiliki efek iritan atau kombinasi, yang
kemungkinan dapat mempengaruhi hasil uji tempel standar. Biasanya dilakukan
dengan mengolesi produk 2 kali sehari delama 5 10 hari, dihentikan jika ada
reaksi.

8. Konseling setelah uji tempel


Informasi mengenai alergen, asalnya dan bagaimana menghindari alergen
tersebut harus diberikan kepada pasien. Sangat penting untuk garisbawahi nama
produk yang berbeda namun bahannya sama.

F. Kriteria Diagnosis dan Diagnosis Banding


DKA didiagnosis dengan anamnesis dan temuan klinis (evaluasi lokasi dan distribusi
lesi). Histopatologi mungkin dapat membantu dalam diagnosis, namun verifikasi agen
dengan uji tempel.10
Berikut ini diagnosis banding berdasarkan lokasi dermatitis1:
1. Kepala
a. Eczema atopi: hanya terbatas pada wajah, khususnya disekitar mata. Selain itu,
ada riwayat sebelumnya atau riwayat keluarga eczema pada lipatan kulit, asma,
konjungtiva alergi, hay fever atau reaksi kulit pada hewan dan makanan tertentu.
b. Eczema seborrhoeic: biasanya dimulai disekitar alae nasi disertai ketombe atau
eczema seborrhoeic di kulit kepala dan alis mata, dan blefaritis. Kadang juga
pada area presternal, liang telinga luar dan retroaurikularis. Eczema seborrhoeic
pada lanjut usia biasanya pada lipatan kulit.
c. Psoriasis: mudah dibedakan dari DKA karena psoriasis dapat ditemukan pada
bagian tubuh yang lain. Namun psoriasis disekitar telinga dan dipinggir kulit
kepala dapat menyerupai DKA.
d. Fotosensitivitas dan erupsi obat sulit dibedakan dari DKA akibat alergen di
udara. Selain itu, gejala klinis dan histologi karena lupus sulit dibedakan dari
DKA. Gejala awal dermatomiositis mirip DKA, petunjuk utama gejala
dermatomiositis yaitu warna keunguan kelopak mata, dan lipatan jari, tangan dan
kuku.
e. Angioedema kelopak mata, bengkak seharusnya berkurang dalam 24-28 jam.
f. Selulitis dan erisipelas sulit dibedakan dari DKA akut, namun biasanya disertai
dengan demam dan gejala sistemik lainnya.
g. Herpes simplex dapat distimulasi oleh DKA akibat Primula obconica pada
wajah.
h. Karsinoma sel basal, distimulasi oleh alergi pada nikel.

2. Tangan dan lengan


Dermatitis kontak alergi dan iritan, dan dermatitis atopik dapat dibedakan dengan
anamnesis yang teliti dan uji tempel.
a. Numular eczema: biasanya karena dermatitis atopik namun dapat disebabkan
oleh DKA dan DKI akibat kromat dalam semen.
b. Eczema vesikular rekuren pada telapak tangan mengindikasikan pompholyx
atopik. DKA juga dapat terjadi pompholyx, seperti alergi pada Primula.
c. Tinea pedis dapat menyebabkan palmar pompholyx
d. Skabies: adanya papul dan vesikel pada skabies harus dibedakan dari DKA.
Gejala skabies biasanya gatal dan ruam yang menyeluruh.
e. Psoriasis dan eczema hiperkeratosis: biasanya pada DKA timbul plak
hiperkeratosis pada bagian yang terkontak, sedangkan pada psoriasis pola
hiperkeratosis seperti relief.
f. Tinea manum: unilateral atau asimetris, disertai distrofi kuku.
g. Liken planus: sulit dibedakan dari DKA. Mungkin dapat dibedakan karena lokasi
liken planus terdapat juga pada bagian tubuh lain.
h. Prophyria cutanea tarda menyebabkan terbentuknnya bula dermatitis setelah
kontak dengan tanaman. Formasi bula setelah trauma minor disertai jaringan
parut berwarna putih dan milia mengindikasikan prophyria cutanea tarda.
3. Lipatan kulit dan area genital
a. Seborrhoeic dan psoriasis biasanya melibatkan dermatitis pada bagian lipatan
kulit. Dibedakan dari DKA dari lokasi seborrhoeic dan psoriasis yang juga
terdapat pada bagian tubuh lain.
b. Tinea biasanya asimetris atau unilateral dengan pinggiran lesi aktif.
4. Tungkai dan kaki
a. Eczema varises persisten merupakan indikasi uji tempel, biasanya disebabkan
oleh penggunaan obat topikal dan stoking
b. Tinea pedis menyebabkan vesikel dan vesikobula
c. Skabies: temuan erupsi papul dan vesikel pada kaki.

5. Tubuh
a. Erupsi obat dan skabies kadang susah dibedakan dari alergi pada nikel dan bahan
pakaian.
b. Dermatomiositis dan mikosis

6. Bagian yang terpapar


Dermatitis karena fotosensitivitas dan erupsi obat harus dibedakan dari DKA karena
alergen lewat udara.

7. Generalis
a. DKA jarang menyebabkan eritroderma, namun jika terjadi eritroderma perlu
dipikirkan penyebab lain yaitu eczema atopik, psoriasis, dan DKA sekunder obat
topikal.
b. Skabies: ruam pruritik yang tersebar diseluruh tubuh.
BAB II
TATA LAKSANA

A. EDUKASI PASIEN
Keberhasilan terapi dermatitis membutuhkan kerja sama pasien. Informasi mengenai
penyebab dermatitis, pengobatannya dan cara memproteksi diri berguna bagi pasien baik
dalam pengobatan atau profilaksis.11

B. MENGHINDARI PENYEBAB
Tata laksana yang paling penting yaitu menghindari penyebab kontak alergi. Jika
alergen sepenuhnya tidak dapat dihindari, maka harus memproteksi kulit dari kontak
langsung. Yaitu penggunaan pakaian protektif, sarung tangan protektif, pencegahan di
tempat kerja termasuk modifikasi proses kerja, menghindari kondisi kerja yang basah/
lembab, dan menggunakan extraction system. Selain itu, penggunaan sarung tangan
terlalu lama harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan stratum korneum.11
Selain itu menghindari makanan yang mengandung alergen atau yang mempunyai reaksi
silang dengan alergen.9

C. TERAPI TOPIKAL GEJALA DKA


Pada umumnya cukup dengan penggunaan agen topikal. Penggunaannya harus sesuai
dengan tingkat keparahan dermatitis. Keadaan dermatitis akut biasanya lembab dan
perlu ditangani dengan sediaan hidrofilik (gel, lotion, krim), sedangkan dermatitis kronis
sebaiknya dengan sediaan air dalam minyak (ointment).11
1. Kortikosteroid
Kortikosteroid merupakan pilihan utama dalam mengobati dermatitis kontak. Pilihan
kortikosteroid yang sesuai berdasarkan lokasi lesi di kulit, tingkat keparahan dan
keakutan dermatitis, sedang pertimbangkan therapeutic index. Jika terapi jangka
panjang diindikasikan, sebaiknya pilihan kortikosteroid yang memiliki resiko rendah
atopi (seperti mometasone furoate, methylprednisone acepronate, hydrocortisone
butyrate).
2. Penghambat Kalsineurin
Walaupun kemanjuran kalsineurin lebih rendah dibandingkan kortikosteroid untuk
pengobatan dermatitis kontak, namun kalsineurin tidak menyebabkan atopi. Oleh
karena itu pada pengobatan jangka panjang, kalsineurin topikal lebih dipilih dari
pada kortikosteroid khususnya pada bagian tubuh yang sensitif seperti wajah.
3. Terapi UV
Penggunaan UVB dan PUVA (proralen dan UVA) efektif dalam penanganan
dermatitis kronis khususnya pada tangan. PUVA: psoralen dioles pada kulit agar
dapat meningkatkan efek terapi sinar UVA.
4. Sediaan topikal lainnya
Tar masih digunakan untuk terapi dermatitis kontak karena efek anti inflamsi dan
anti proliferasi. Namun efek sampingnya meliputi iritasi dan perubahan warna kulit,
jerawat, dan fotosensitivitas harus dipertimbangkan. Agen antiseptik (triclosan,
polyhexanidine, oclenidine, dll) membantu dalam eliminasi koloni bakteri.
Iontoforesis dapat membantu dalam terapi dermatitis dishidrosis.

D. TERAPI SISTEMIK
Terapi jangka pendek kortikosteroid ( 3 hari sampai dengan 2 minggu) diindikasikan
khususnya untuk dermatitis kontak yang menyebabr, berat dan akut (dermatitis kontak
sistemis). Aletretinoin sistemis untuk terapi eczema kronis pada tangan. Siklosporin
merupakan obat pilihan utama untuk terapi dermatitis berat dan dermatitis atopi yang
resistan pada terapi untuk orang dewasa. Terapi siklosporin A jangka panjang dapat
mengurangi dermatitis tangan yang resistan pada terapi. Penggunaan imunomodulator
lain (seperti azathioprine, mycophenolate mofetil, atau methotrexate) jika siklosporin
tidak efektif atau dikontraindikasikan.11

E. PROTEKSI KULIT
Penggunaan sediaan pelembab kulit untuk mempromosikan regenerasi kulit dan
melindungi kulit. Regenerasi kulit secara lengkap terjadi beberapa minggu setelah pulih
dari gejala dermatitis kontak.11

F. BUKTI TERAPI EFEKTIF


Banyak data mendukung kemanjuran dalam menggunakan kortikosteroid topikal dan
alitretinoin untuk terapi dermatitis tangan. Namun dalam hal ini, bukan berarti
penggunaan terapi lain tidak efektif.11

Anda mungkin juga menyukai

  • Guideline Stroke 2011
    Guideline Stroke 2011
    Dokumen132 halaman
    Guideline Stroke 2011
    Paijo Suseno
    88% (17)
  • Guideline Stroke 2011
    Guideline Stroke 2011
    Dokumen132 halaman
    Guideline Stroke 2011
    Paijo Suseno
    88% (17)
  • Dka
    Dka
    Dokumen32 halaman
    Dka
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen45 halaman
    Chapter II
    AnnizaAgustina
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Hiperbilirubinemia
    Hiperbilirubinemia
    Dokumen40 halaman
    Hiperbilirubinemia
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Dka
    Dka
    Dokumen32 halaman
    Dka
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Sampling
    Sampling
    Dokumen15 halaman
    Sampling
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Asma Pada Anak
    Asma Pada Anak
    Dokumen19 halaman
    Asma Pada Anak
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Asma Pada Anak
    Asma Pada Anak
    Dokumen19 halaman
    Asma Pada Anak
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen20 halaman
    ANTIHISTAMIN
    yulindaerfa3107
    Belum ada peringkat
  • Sampling
    Sampling
    Dokumen15 halaman
    Sampling
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Hiperbilirubinemia Idai
    Hiperbilirubinemia Idai
    Dokumen17 halaman
    Hiperbilirubinemia Idai
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Ritme Sirkadian Pada Gangguan Mood
    Ritme Sirkadian Pada Gangguan Mood
    Dokumen8 halaman
    Ritme Sirkadian Pada Gangguan Mood
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Asma Bronkial
     Asma Bronkial
    Dokumen13 halaman
    Asma Bronkial
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Dka
    Dka
    Dokumen32 halaman
    Dka
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Myelitis
    Myelitis
    Dokumen21 halaman
    Myelitis
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • ANTIHISTAMIN
    ANTIHISTAMIN
    Dokumen20 halaman
    ANTIHISTAMIN
    yulindaerfa3107
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin
    Antihistamin
    Dokumen12 halaman
    Antihistamin
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Antihistamin 1 (AH1)
    Antihistamin 1 (AH1)
    Dokumen17 halaman
    Antihistamin 1 (AH1)
    Rio Alexander
    0% (1)
  • Asma
    Asma
    Dokumen29 halaman
    Asma
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Cedera Kepala
    Cedera Kepala
    Dokumen17 halaman
    Cedera Kepala
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Cedera Kepala
    Cedera Kepala
    Dokumen17 halaman
    Cedera Kepala
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Stroke Hemorrhagic
    Stroke Hemorrhagic
    Dokumen4 halaman
    Stroke Hemorrhagic
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat
  • Stroke Hemorrhagic
    Stroke Hemorrhagic
    Dokumen13 halaman
    Stroke Hemorrhagic
    Rio Alexander
    Belum ada peringkat