PENDAHULUAN
A. Sejarah
Istilah alergi pertama kali disebutkan oleh seorang ahli sains von Pirquet pada
tahun 1906. Kata alergi berasal dari bahasa Yunani allos dan ergon yang berarti lain atau
kerja yang berbeda. Namun reaksi ini sudah dikenal sejak abad ke 17. Pada tahun 1829,
Dakin mengamati kasus dermatitis disebabkan tanaman genus Rhus dan pada tahun
1840 Fuchs menyarankan bahwa dermatitis venenata merupakan dasar dari ekspresi
reaksi tersebut.
Sensitisasi alergen pada kulit pertama kali dibuktikan oleh Bloch dan Steiner-
Woerlich dengan eksperimen menggunakan tanaman bunga genus Primula pada
manusia. Landsteiner dan Jacobs menyatakan ada zat kimiawi yang dikombinasikan
dengan protein supaya terjadi sensitisasi menyebabkan dermatitis kontak. Sampai tahun
1940 masih belum diketahui asal faktor yang menyebabkan sensitisasi, namun pada
tahun 1942 Landsteiner dan Chase berhasil menyebarkan sensitivitas dari 1 tikus
belanda ke tikus belanda lainnya dengan menggunakan cairan eksudat dari peritoneum
tikus belanda yang telah tersensitisasi. Di tahun yang sama, percobaan transplantasi oleh
Haxthausen akhirnya membukatikan bahwa alergi diesebabkan oleh faktor yang
tersuplaikan ke kulit dari dalam tubuh.
Uji tempel (patchtesting) merupakan alat diagnosis dermatitis alergi, Josef Jadassohn
adalah penemu teknik Uji tempel tersebut pada tahun 1895. Teknik Jadassohn tersebut
dikembangkan dengan cara menciptakan sistem penggolongan reaksi pada uji tempel
oleh seorang pelopor ahli dermatologi Bruno Bloch pada tahun 1911. Kemudian Bloch
menyusun ide-ide penting tentang sensitisasi silang(cross-sensitization) dan dermatitis
kontak alergi sistemik. Marion Sulzberger, asisten Bloch dan Jadassohn, menganjurkan
penggunaan uji tempel untuk diagnosis DKA. Asisten lainnya, Paul Bonnevie
mengembangkan standar seri tersebut yang sekarang dipakai sebagai prototipe uji
tempel saat ini.1
B. Definisi dan Epidemiologi
Dermatitis kontak alergi (DKA) merupakan reaksi eczema yang terjadi sebagai
respon imun terhadap paparan pada sebuah zat kimia yang bersifat alergen yang mana
awalnya telah terjadi sensitisasi pada paparan pertama. Reaksi ini dapat disamakan
dengan respon hipersensitivitas tipe lambat (tipe IV).1,2,3
Prevalensi DKA bervariasi pada berbagai tempat. Di Amerika prevalensi DKA 1,5-
5,4 %, dan mencapai 28% di spanyol.4Pada tahun 2007, Thyssen dkk mengadakan
penelitian retrospektif dengan meninjau kembali penelitian epidemiologi yang pernah
diterbitkan antara tahun 1966-2007 mengenai kontak alergi pada populasi umum
termasuk semua usia dan paling banyak data didapat dari Amerika utara dan Eropa
barat. Berdasarkan data tersebut prevalensi rata-rata kontak alergi pada populasi umum
paling tidak sensitif pada 1 alergen adalah 21,2%. Selain itu, dari penelitian tersebut
didapatkan alergen yang paling sering menyebabkan kontak alergi yaitu nikel,
thimerosal dan parfum.7Penelitian di Denmark pada 1500 anak berusia 12-16 tahun,
penelitian termasuk kuisioner, interview, pemeriksaan fisis dan uji tempel, didapati
prevalensi dermatitis tangan debanyak 9,2%.1Pada tahun 1982 sebuah penelitian di
Inggris menemukan penyebab terbanyak adalah antibakteri (20%), rubber accelerator
(15%), pengharum dan balsam (13%) dan nikel (5%). Namun pada tahun 1997, hasil
yang ditemukan berbeda yakni pengharu dan blasam (37%), rubber accelerator (10%),
antibakteri topikal(9%) dan nikel (9%).5
Belum ada data yang cukup mengenai DKA di Indonesia.Penelitian epidemiologi
retropektif yang dilakukan di RSUP MH Palembang periode 1 Januari 2009- 30 Juni
2012, dengan meneliti sampel pasien DKA sebanyak 861 didapatkan kejadian DKA
sebesar 3,1%. Dengan persentase alergen penyebab tertinggi adalah detergen sebesar
33,2%, diikuti kosmetik sebesar 21,7%, perhiasan sebesar 9,2%, bahan yang terbuat dari
kulit sebesar 8,4%, jam logam 5,9%, salep kulit sebesar 4,7%, adukan semen sebesar
4,4%, minyak rambut sebesar 2,5%, makanan laut sebesar 2,5%, balsam dan minyak
kayu putih sebesar 2,2%, karet sebesar 1,4%, asam salisilat sebesar 0,7%, sampo sebesar
0,7%, danminyak tawon, kunyit yang dicampur minyak, daging ayam, rumput, lipstick
serta akibat tersiram asam masing-masing sebesar 0,3%.5 Penelitian retrospektif pasien
DKA di RSUP Dr. Kariadi periode 1 Januari 31 Desember 2013 berjumlah 174 pasien
menunjukan distribusi kejadian DKA lebih banyak pada perempuan daripada laki-laki.
Dengan penyebab yang tidak diketahui (89,1%), kosmetik (3,4%), sandal jepit (2,9%),
detergen (2,3%), karet celana dan plester (1,1%) dan semen dan elektroda (0,6%).
Penyebab yang tidak diketahui dikarena pencatatan rekam medis yang kurang lengkap.6
1. Berdasarkan usia
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dermatitis kontak merupakan penyebab
tersering dermatitis pada anak-anak dan diagnosis tersering pada anak-anak.7
Alergen paling sering yaitu nikel, parfum, thimerosal, obat, bahan karet, chromate
dan resin pada alas kaki.1 Alergi pada parfum terjadi pada semua usia, beberapa
penelitian seperti penetilian di Augsburg tahun 2001 menyatakan bahwa umur 28-75
tahun terjadi peningkatan sensitivitas pada parfum seiring usia. Hal ini sama dengan
penelitian Magnusson dkk di Sweida menunjukkan bahwa prevalensi 4,7%
sensitisasi pada balsam Peru pada pasien umur 65 tahun. Begitu juga dengan
penelitian baru-baru ini di Denmark menyatakan tingginya prevalensi alergi pada
bahan preservatif pada pasien usia 41-60 tahun.7Orang dewasa muda lebih sering
tersensitisasi karena pekerjaan dan penggunaan produk kosmetik sedangkan orang
lanjut usia ebih karena pengobatan dan riwayat alergi.1
C. Patofisilogi
Dermatitis kontak alergi merupakan sel mediasi respon hipersensitivitas tipe lambat (tipe
VI). Reaksi imun tersebut merupakan hasil dari paparan dan sensitisasi individu yang
rentan pada alergen yang mana saat terpapar lagi pada alergen yang sama dapat
menimbulkan reaksi inflamasi kompleks. Hasil gambaran klinis berupa eritema, edema,
dan papul-vesikel biasanya terdistribusi pada bagian yang terkena kontak, dengan gejala
utama pruritus. Agar timbul reaksi tersebut, paparan pada zat kimia yang menyebabkan
sensitisasi harus cukup, dan selanjutnya terpapar lagi pada zat kimia tersebut. Hal ini
penting karena membedakan DKA dari dermatitik kontak iritan (DKI), yang mana DKI
terjadi tanpa sensitisasi dan intensitas reaksi inflamasi sama dengan banyaknya iritan.
Sedangkan pada DKA, hanya sedikit alergen dapat menyebabkan reaksi alergi berat.7
Ada 2 fase dalam perkembangan dermatitis kontak alergen:
1. Sensitisasi
a. Ikatan alergen pada komponen kulit
Pada dasarnya, zat kimia yang menyebabkan DKA berukuran sangat kecil untuk
dapat dikenali sistem imun. Alergen masuk ke kulit dapat secara kimiawi reaktif
sehingga langsung berikatan kovalen dengan protein kulit atau melalui
metabolisme menjadi produk yang dapat membentuk ikatan. Produk yang
dibentuk berikatan dengan MHC II (MajorHistocompability Complex II)
menginduksi reaksi sensitisasi. Zat kimia juga dapat berikatan langsung pada
MHC II menginduksi sensitisasi. MHC II terdapat pada permukaan sel dendritik
epidermis dan sel Langerhans. Allergen yang dipaparkan ke kulit berasosiasi
dengan MHC II dalam waktu 6 jam.1
b. Pengenalan antigen lengkap atau konjugasi
Andai ikatan MHC-antigen tidak menyebabkan sensitisasi secara langsung,
namun memerlukan stimulator yang diproduksi karena sel stress (keratinosit
rusak). Stimulator yaitu IL-1, TNF- dan GM-CSF dibutuhkan untuk aktivasi,
maturasi dan migrasi sel-sel Langerhans. Pada absensi stimulator-stimulator
tesebut, diasumsikan toleransi dapat terjadi.
Sensitisasi dapat terjadi jika kelenjar getah bening (KGB) setempat utuh. Sel
Langerhansyang membawa alergen melalui limfatik aferen ke parakorteks KGB,
di sana alergen dipresentasikan ke limfosit T naif. Ikatan sel Langerhans ke
limfosit T tidak hanya dibantu oleh faktor fisik (membran sel langerhans yang
berkerut dan bentuk sel dendritik, dan struktur parakoteks KGB yang berbelit-
belit) tapi juga oleh CAM ( Cellular Adhesion Molecules). Contoh , LFA-1
(Leukocyte Functional Antigen-1) pada sel CD4 berinteraksi dengan ICAM-1
(Intercellular Adhesion Molecule-1) pada sel Langerhans. Dengan pengenalan
antigen, banyak sitokin dikeluarkan contohnya IL-1 oleh sel Langerhans dan IL-
2 oleh limfosit T.1
c. Proliferasi dan diseminasi limfosit T yang tersensitisasi
Sitokin menyebabkan pembentukan dan proliferasi limfosit sitotoksik spesifik
antigen CD8+ (Tc1) dan CD4+ (Th1). Tipe limfosit T yang dihasil bergantung
pada alur antigen dipresentasikan: molekul kecil yang larut lemak dapat masuk
sitoplasma dipresentasikan pada MHC kelas I sebagai antigen endogen sehingga
sel T sitotoksik CD8+ dihasilkan, sedangkan hapten yang tidak larut lemak
dipresentasikan pada MHC kelas II sebagai antigen eksogen menghasilkan
limfosit T CD4+.1,8
Gambar 1 contoh sensitisasi nikel pada jam tangan. 8
2. Elisitasi
Pada paparan pertama pada alergen yang kuat, hampir pada semua individu terjadi
reaksi lokal setelah 5-25 hari terpapar. Saat periode ini, sensitisasi telah terjadi dan
sisa alergen di kulit bereaksi dengan limfosit T yang baru terbentuk. Respon ini
disebut reaksi lambat. Ada bukti yang menunjukkan bahwa limfosit T untuk spesifik
alergen yang terbentuk menetap pada bagian yang terpapar untuk beberapa bulan
setelah sensitisasi. Hal ini menjelaskan rekasi yang terjadi saat uji tempel.1
Jika seseorang yang telah tersensitisasi alergen terpapar pada alergen yang sama
dengan konsentras yang cukup, maka reaksi klinis akan muncul dengan cepat
biasanya dalam 24-48 jam. Namun tergantung dari tingkat sensitivitas, penetrasi dan
faktor lain sehingga setiap orang bervariasi dari beberapa jam sampai dengan
beberapa hari. Antigen tidak hanya dipresentasikan ke limfosit T oleh sel
Langerhans tetapi juga keratinosit yang produksi IL-1. Respon yang timbul stelah
antigen dipresentasikan yaitu sitokin dilepaskan oleh sel T (IFN- dan TNF-) yang
kemudian merekrut sel-sel inflamasi. Keadaan proinflamasi lokal menyebabkan
gambaran klinis yang klasik yaitu inflamasi spongiotik (kemerahan, edema, papul
dan vesikel, dan panas).1,7
Reaksi tipe lambat merupakan respon elisitasi yang lambat setelah paparan antigen
spesifik pada individu yang telah tersensitisasi antigen tersebut. istilah ini sering
membingungkan karena tidak hanya dipakai pada timbulnya reaksi setelah 4 hari
tetapi juga setelah 21 hari paparan. Reaksi ini karenakan tingkat rendah sensitivitas
(jumlah sel T memori sedikit), paparan pada jumlah alergen yang sedikit (butuh
waktu untuk menambah respon sel T) dan penetrasi alergen yang terhambat.1
Faktorpredisposisi:
Kulit rusak menyebabkan peningkatan absorpsi alergen meningkat contoh eczema dan
DKI. Eczema predisposisikan DKA karena nikel dan prevalensi sensitivitas chromate,
cobalt dan balsam pada laki-laki dengan eczema. Lamanya eczema meningkatkan
kemungkinan sensitisasi. Pada DKI, sensitisasi mudah terjadi karena peningkatan
absorpsi alergen, respon imun dan rekrutmen sel imunokompeten awal, dan akumulasi
sel-sel mononuklear.1
1. Faktor kimiawi
Protein pada kulit bermuatan negatif sedangkan hampir semua alergen (hapten)
bermolekul sederhana dengan berat molekul rendah (<500- 1000 Da) dan bermuatan
positif. Sehingga keduanya dapat membentuk hapten-protein dengan ikatan kovalen
yang kuat. Hapten dapat dikelompokkan berdasarkan reaktivitas kimia dalam
hubungan dengan protein pembawanya atau berdasarkan grup fungsional (tabel 1).
Tabel 1. Klasifikasi hapten berdasarkan grup fungsional
4. Perkembangan dermatitis
Individu yang sensitif terhadap suatu zat kimia dikatakan memiliki sensitivitas laten
jika dapat toleransi kontak terhadap zat kimia tersebut. Tidak ada perbedaan respon
imun antara sensitivitas yang laten dan terekspresikan/ dimanifestasikan. Sebagian
dipengaruhi oleh ambang sensitivitas, jadi konsentrasi rendah dapat menyebabkan
uji tempel positif namun tidak bermanifestasi. Ambang sensitivitas dapat menjadi
rendah setelah kontak yang berulang.
5. Toleransi imun
Reaksi sensitisasi menginduksi sel T efektor dan sel T supresor, yang kemudian
membatasi respon imun agar reaksi epidermis dapat berkurang. Respon sel T
supresor menimbulkan toleransi. Secara teori, stimulasi sel T supresor menyebabkan
tubuh tidak respon terhadap antigen. Hal ini dapat dicapai dengan administrasi
alergen via intravena, oral atau peritoneal ( rute non kutan), sehingga melewati sel
Langerhans. Reaksi toleransi ini dapat dicapai dengan mengoleskan alergen pada
kulit yang sel Langerhans telah dihambat oleh radiasi ultraviolet atau telah dideplesi
oleh glukokortikoid. Sel T supresor sensitif pada obat sitostatik, seperti
siklofosfamid sehingga dapat membalikkan kondisi torelansi.
Patologi:
Hampir semua eczema menunjukan perubahan patologi yang mirip, DKA dan DKI
tidak dapat dibedakan. Tampaknya cara satu-satunya untuk membedakan DKA dari
DKI adalah dengan anamnesis awal terjadinya proses inflamasi.
Organisme penyebab:
Fauna bukan merupakan penyebab utama kontak alergi, walaupun ada dilaporkan
nelayan Eropa rentan pada dermatitis kontak setelah terpapar pada jaring yang ada
organisme laut (dikenal dengan bryozoans). Kelainan ini disebut Dogger Bank itch
di Inggris. Alergen tersebut teridentifikasi sebagai ion dimetilsulfoksonium.
Genetik:
Faktor genetik mempengaruhi pengambilan antigen, respon sel imun pada spesifik
antigen, dan metabolisme antigen oleh enzim di kulit yakni N-acetyltransferase
(NAT). Penelitian menunjukan pasien dengan dermatitis kontak memilik aktivitas
NAT yang tinggi.
Pada manusia sensitisasi tidak mengikuti pola Mendelian. Hampir setiap individu
dapat tersensitisasi dengan ekstrak Primula dan DNCB. Hasil eksperimen
menunjukkan bahwa hampir semua individu yang rentan tersensitisasi pada alergen
tersebut dengan dosis yang sesuai. Aplikasi yang berulang meningkatkan jumlah
individu yang tersensitisasi. Beberapa individu menjadi resistan terhadap sensitisasi.
Resistan didapat dari paparan berulang pada alergen dengan dosis subsensitisasi atau
paparan terhadapan alergen via rute oral sehingga terbentuknya toleransi terhadap
alergen.1
Hubungan antara atopi dan DKA masih diperdebatkan karena atopi menyebabkan
downregulation sel Th1 (CD4+) yang mana kemungkinan terjadinya DKA pada
individu dengan atopi menurun. Memang benar, pada pasien dengan atopi eczema
berat, kapasitas sensitisasi pada DNCB berkurang. Namun beberapa penelitian
menunjukkan bahwa prevalensi kontak alergi meningkat individu dengan atopi
terutama DKA terhadap obat untuk eczema, kemungkinan karena kulit yang rusak
terpapar terhadap obat atopi. Pasien dengan atopi eczema dapat terjadi reaksi false
positif uji tempel nikel, chromate dan cobalt.
6. Faktor lingkungan
a. Iklim
Paparan pada sinar ultraviolet B (UVB) menurunkan respon imun terhadap
alergen. Sehingga sinar UVB secara temporari mengurangi reaksi alergi. Sinar
ultraviolet A (UVA) tampaknya tidak memiliki efek yang sama dengan sinar
UVB. Sebaliknya kulit yang pecah-pecah sewaktu musim dingin meningkatkan
kemungkinan DKI dan insiden uji tempel false positif terhadap formaldehid dan
propylene glycol. Keringat yang terhambat atau banyak dapat meningkatkan
alergi pada sepatu dan pakaian.
b. Flora dan fauna
Dermatitis karena tanaman seperti Primula obconica menunjukkan pola musim
yang berbeda. Distribusi material alergen dari tanaman difasilitasi oleh iklim
yang kering dan berangin. Papatan pada Toxicodendron hanya terjadi di Amerika
utara. Tanaman yang menyebabkan alergi bervariasi pada berbagai tempat: di
Amerika, penyebab utama ragweed; di Eropa, chryssanthemums dan garden
weeds; di India, rumput liar Parthenium; di Australia, famili Compositae
(Asteraceae).
c. Faktor sosial ekonomi dan kultural
Penelitian dermatitis kontak pada kelompok sosial ekonomi belum didalami
namun kejadian dermatitis kontak karena paparan terhadap metal yang murahan
(nikel) sebagai perhiasan dapat meningkat.
Faktor kultural seperti penggunaan obat herbal traditional dari tanaman dan
balsem. Selain itu pewarna rambut atau bindi yang dipakai pada dahi, adat di
India. Kultural barat seperti penggunaan kosmetik, berjemur pada matahari, tato
atau tindik bagian tubuh.1
D. ManifestasiKlinis1,7
1. Temuan pada kulit
Presentasi klasik DKA adalah pruritus, dermatitis eczema (dermaitis eczema
yaitu papul, vesikel dan pruritus)10 awalnya terlokalisasi pada bagian yang terpapar
alergen. Susunan bergaris-garis DKA pada ekstremitas biasanya menandakan
alergen dari Toxicodendron spp (poison ivy), oak atau sumac. Terkadang zat-zat dari
tanaman tersebut menyebabkan erupsi berat yang menyebar pada bagian tubuh yang
terpapar contohnya seperti pada wajah dan lengan. Zat-zat yang terkandung dalam
tanaman-tanaman itu disebut urushiol yang dapat menyebabkan sensitisasi melalui
kontak langsung dengan tubuh, melalui pakaian, hewan atau menyebar di udara saat
tanaman tersebut dibakar.
Penting untuk diingat bahwa morfologi DKA bermacam-macam tergantung
dari reaksinya. Contohnya pada fase akut, lesi ditandai dengan edema, eritema dan
vesikel (gambar 2). Ketika vesikel pecah, lesi tampak basah(oozing) dan papul serta
plak muncul. Alergen yang lebih kuat biasanya menyebabkan bentuk lesi vesikel
sedangkan yang lebih lemah menyebabkan lesi papul yang disertai eritema dan
edema. Biasanya manifestasi DKA subakut adalah bersisik, fisura, dan likenifikasi.
Gejala terpenting pada alergi adalah pruritus. Yang mana pada kasus kontak alergi
keluhan rasa gatal lebih sering daripada keluhan rasa perih.
Gambar 2. Karakteristik DKA akut yaitu vesikel, papul dan eritema (kiri) dan DKA
kronis yaitu bersisik, kering dengan fisura (kanan)
2. Pendekatan topografi
Distribusi dermatitis biasanya merupakan petunjuk paling penting dalam
diagnosis DKA. Khususnya bagian tubuh yang dengan luar terdapat eczema
dermatitis merupakan bagian yang terpapar pada alergen dengan konsentrasi tinggi.
Lokasi lesi dapat menjadi petunjuk yang berharga dalam menentukan zat yang
menyebabkan DKA pada pasien. Contohnya, dermatitis eczema peri- atau
infraumbilikus menandakan kontak alergi karena kenop atau gasper ikat pinggang
yang terbuat dari metal, sedangkan eczema yang terdistribusi di sekitar garis rambut
dan di belakang telinga menandakan kontak alergi pada produk perawatan rambut
(sampo, pewarna rambut, konditioner, produk penata rambut). Dengan alasan yang
sama eczema pada dorsum kaki berkaitan dengan produk sepatu seperti kulit, karet,
atau pewarna pada bagian sepatu yang kontak langsung dengan dorsum kaki,
kemudian eczema pada telapak kaki menyarankan kontak alergi pada produk alas
kaki seperti karet atau bahan perekat. Perlu dicurigaipenyebab dermatitis pada
wajah, kelopak mata, bibir, dan leher adalah produk kosmetik. Namun untuk
menentukan zat yang menyebabkan DKA harus dilakukan uji tempel. Pola dermatitis
digunakan untuk menentukan apakah perlu untuk dilakukan uji tempel dan tipe
alergen yang akan diuji.
Terkadang pendekatan topografi tidak memberikan informasi yang dibutuhkan
dan distribusi lesi dapat menimbulkan kesalahan dalam diagnosis. Hal ini terutama
ditujukan pada kasus DKA ektopik atau DKA yang ditularkan lewat udara
(airborne). DKA ektopik mengikuti 2 keadaan: autotransfer yaitu alergen pada
tangan pasien secar tidak sadar ditransfer ke bagian tubuh yang lain. Contoh:
dermatitis pada kelopak mata atau leher karena cat kuku yang mengandung
tosylamide formaldehyde resin (TSFR) dan epoxy resin. Heterotransfer yaitu alergen
ditransfer dari 1 orang ke orang lain (suami-istri, orang tua-anak, dll).
a. Wajah
Wajah merupakan bagian tubuh tersering terjadi DKA, wanita leboh sering
dibandingkan laki-laki. Hal ini dikarenakan penggunaan kosmetik yang
mengandung alergen seperti pengharum, PPD (para-Phenylenediamine), zat
preservatif dan alkohol lanolin. Sensitisasi dapat terjadi melalui kontak langsung
ke wajah, melewati udara atau dari tangan ke wajah. Selain zat yang terkandung
dalam konsmetik, benda yang digunakan untuk menata produk kosmetik juga
mengandung alergen yang dapat menyebabkan dermatitis pada wajah , seperti
spons wajah. Keadaan yang sama dijumpai pada pasien yang menggunakan jepit
rambut yang terbuat dari nikel, menyebabkan dermatitis kepala dan wajah pada
pasien yang sensitif pada nikel.
b. Kulit kepala
Alergen yang kontak dengan kulit kepala menyebabkan DKA pada bagian
dahi, lateral wajah, kelopak mata, telinga, leher dan tangan. Sementara pada kulit
kepala tidak terjadi DKA, hal ini menunjukkan kulit kepala resistan pada alergen.
Namun pada pasien yang sangat sensitif pada bahan-bahan tertentu seperti PPD,
dapat menyebabkan reaksi edema dan krusta pada kulit kepala. PPD merupakan
alergen/ hapten yang poten , terkandung dalam pewarna rambut. Manifestas PPD
dapat dilihat pada wajah dan kulit kepala pasien yang mewarnai rambut. Selain
itu GMT (glyceryl thioglycolate) merupakan zat yang terkandung dalam cairan
untung mengkeritingkan rambut. Alergi pada GMT dimanifestasikan sebagai
kulit kepala bersisik, edema, dan krusta.
c. Kelopak mata
Kelopak mata merupakan area kulit yang paling sensitif dan rentan terhadap
alergen atau iritan dikarenakan kulit yang tipis dan lipatan kelopak mata
menyebabkan zat-zat terkumpul. Hanya sedikit alergen dari kulit kepala, wajah,
atau tangan dapat menyebabkan reaksi eczema pada kelopak mata, sementara
lokasi utama tidak terjadi perubahan. Penyebab dermatitis kontak pada kelopak
yaitu kosmetik (maskara, eyeliner, eyeshadow, pelengket bulu mata palsu dan
pelentik bulu mata yang terbuat dari karet atau nikel). Lebih lanjut, edema pada
kelopak mata merupakan fitur dermatitis karena pewarna rambut. Antibiotik
topikal ( seperti bacitracin dan neomisin), parfum, bahan preservatif pada
kosmetik, dan metal (seperti emas) menyebabkan dermatitis pada kelopa mata.
Analisis kontak alergen oleh NACDG tahun 2007 menunjukkan emas merupakan
alergen tersering penyebab dermatitis kelopak mata.
d. Bibir
Berdasarkan penelitian NACDG sekitar 1/3 pasien dengan keilitis pada
dermatitis pada bagian tubuh lain disebabkan oleh alergen. Menurut laporan,
keilitis kontak alergi (KKA) disebabkan oleh kosmetik lip balm, lipstik, lip gloss,
mosturizer, sun screen, produk cat kuku dan produk perawatan mulut ( kumur
mulut, odol, dental floss). KKA dominan pada wanita dengan penelitian
menunjukkan 70,7%- 90%. Dikarenakan penggunaan kosmetik yang sering pada
wanita. Penelitian menunjukkan bahwa zat dalam parfum paling sering
menyebabkan KKA dalah pencampur parfum dan Myroxylon pereirae (balsam
peru). Penyebab yang jarang dilaporkan yaitu benzophenone-3 (komponen utama
sunscreen dan produk kosmetik bibir) dan gallates (antioksidan yang digunakan
pada produk waxy dan berminyak seperti lip balm, lipstik, dan lip gloss).
Gambar 7. DKA subakut pada nikel (kiri); DKA karena metal pada kancing
celana (kanan)
Gambar 9. DKA pada keadaan dermatitis stasis dapat dikarenakan obat topikal
atau stoking.
Gambar 11. A dan B alergi terhadap PPD; C uji tempel menunjukkan PPd
merupakan alergen yang kuat.
i. Kromium
Sumber utama kromium adalah semen, selain itu cat anti karat, korek api, zat
kimia dalam fotografi, sabun, gigi prostatik, bahan preservatif untuk kayu, dll.
Fitur klinis berupa erupsi kering tiba-tiba sehingga menyebabkan fisura, secara
khusus pada tangan. Kadang disertai dengan likenifikasi (gambar 12). Keadaan
dermatitis eczema akut jarang terjadi.
Gambar 12. Eczema karena kromat.
E. Pemeriksaan Penunjang9
Standar baku diagnosis DKA adalah uji tempel.
Gambar 13. Uji tempel; contoh hasil tes ++ pada neomisin (kanan)
1. Persiapan pasien
Diawali dengan inform consent kepada pasien bahwa saat tes ini, kulit pasien
akan ditutupi/ ditempel bahan uji tempel sehingga pasien harus menghindari
olahraga agar kulit tetap kering dan hindari kemungkinan efek samping.
Efek samping karena uji tempel dangat jarang terjadi. Pasien harus diberitahu
bahwa tes positif jika bagian kulit yang ditempeli penguji menjadi merah, gatal dan
kadang melepuh. Keadaan ini dapat menghilang dalam beberapa hari.
Pasien harus diingatkan bahwa beberapa tes yang positif contoh alergi pada
emas, reaksi dapat bertahan sampai 1 bulan. Dan gelaja pada lokasi yang jauh dari
yang diuji. Selain itu pada bagian yang diuji tampak hipopigmen atau hiperpigmen,
dan kemungkinan infeksi atau bekas luka pada bagian yang diuji. Dilaporkan bahwa
pada pasien yang sudah pernah uji tempel, saat melakukan uji tempel alergen yang
sama, tidak ada peningkatan sensitivitas pada hasil uji tempel dibandingkan yang
hanya sekali uji tempel.
Kulit yang akan diuji harus bebas dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Agar
menghindari hasil false positif. Jika pasien menggunakan steroid topikal pada
belakang 2 hari sebelum uji tempel atau minum kortikosteroid oral, meningkatkan
resiko hasil false negatif ataureaksi lemah. Namun dosis per hari prednisolon <
10mg sangat tidak memungkinkan terjadinya supresi hasil tes positif. Reaksi tes
negatif dapat timbul pada pasien yang minum obat imunosupresan atau yang
berjemur di bawah sinar matahari atau mendapat terapi radiasi sinar ultraviolet. Jika
pengobatan imunosupresi tidak bisa dihentikan maka sebaiknya tidak dilakukan uji
tempel karena mempengaruhi hasil tes. Antihistamin perlu dihindari jika tes untuk
reaksi urtikaria atau kontak urtikaria.
Uji tempel ditunda 6 minggu jika terpapar pada matahari dan UV artifisial.
Tidak ada data menunjukkan bahwa uji tempel saat menyusui berbahaya, dan data
keamanan. Oleh karena itu uji tempel hanya dilakukan jika dibutuhkan dan inform
consent disetujui.
2. Uji tempel
Metode standar yaitu menempel antigen pada kulit dengan konsentrasi
standar menggunakan pembawa yang sesuai dan harus tertutup. Sisi belakang tubuh
merupakan lokasi yang paling sering digunakan. Uji tempel ini sensitivitas 70% dan
spesifisitas 80%.
Ada berbagai cara menempel antigen namun yang sering digunakan adalah
Finn chambers. Alergen diletakkan ke atas tes disk yang kemudian di tempelkan
pada plester. Jumlah alergen yang diletakkan pada setiap disk harus sama. Pipet
mikro digunakan untuk menghindari variasi. Waktu kadaluarsa alergen harus
diperhatikan dan disimpan sesuai instruksi,dan dipersiapkan pada waktu mau
digunakan. Hal ini sangat penting terutama untuk aleregen acrylate, pengharum,
isocrynate dan aqueous.
Dua seri tes tempel yang siap pakai yaitu TRUE (oleh Pharmacia, Milton
keynes, UK) dan Epiquick (oleh Hermal, Reinbek, German). Tes yang siap pakai
lebih dipercaya dari pada tes yang disiapkan operator, namun hanya sedikit alergen
yang tersedia bagi tes siap pakai.
3. Waktu untuk baca hasil tes
Waktu paling bagus untuk baca tes adalah hari ke 2, hari ke 4. Jika sampai
hari ke 4 belum ada hasil dapat dilanjutkan hari ke 7 yang biasanya reaksi positif
pada 10 % tes yang hari ke 2 da ke 4 hasilnya negatif. Ini termasuk neomisin dan
tixocortol pivalate.
6. Uji Photopatch
Jika diduga penyebab DKA karena alergi pada cahaya, lakukan tes
photopatch. Metode yang direkomendasikan untuk tes photopatch yaitu memberikan
seri tes photoallergen dan barang-barang milik pasien pada dua tempat yaitu kedua
punggung atas pasien. Pada hari ke 2 saat mau melepaskan alergen, satu bagian
disinari UVA 5 J cm-2 dan pembacaan dilakukan 2 hari setelah penyinaran.
Insiden true photoalergy sangat rendah <5% walaupun pembacaan setelah hari ke 4
meningkatkan angka deteksi.
5. Tubuh
a. Erupsi obat dan skabies kadang susah dibedakan dari alergi pada nikel dan bahan
pakaian.
b. Dermatomiositis dan mikosis
7. Generalis
a. DKA jarang menyebabkan eritroderma, namun jika terjadi eritroderma perlu
dipikirkan penyebab lain yaitu eczema atopik, psoriasis, dan DKA sekunder obat
topikal.
b. Skabies: ruam pruritik yang tersebar diseluruh tubuh.
BAB II
TATA LAKSANA
A. EDUKASI PASIEN
Keberhasilan terapi dermatitis membutuhkan kerja sama pasien. Informasi mengenai
penyebab dermatitis, pengobatannya dan cara memproteksi diri berguna bagi pasien baik
dalam pengobatan atau profilaksis.11
B. MENGHINDARI PENYEBAB
Tata laksana yang paling penting yaitu menghindari penyebab kontak alergi. Jika
alergen sepenuhnya tidak dapat dihindari, maka harus memproteksi kulit dari kontak
langsung. Yaitu penggunaan pakaian protektif, sarung tangan protektif, pencegahan di
tempat kerja termasuk modifikasi proses kerja, menghindari kondisi kerja yang basah/
lembab, dan menggunakan extraction system. Selain itu, penggunaan sarung tangan
terlalu lama harus dihindari karena dapat menyebabkan kerusakan stratum korneum.11
Selain itu menghindari makanan yang mengandung alergen atau yang mempunyai reaksi
silang dengan alergen.9
D. TERAPI SISTEMIK
Terapi jangka pendek kortikosteroid ( 3 hari sampai dengan 2 minggu) diindikasikan
khususnya untuk dermatitis kontak yang menyebabr, berat dan akut (dermatitis kontak
sistemis). Aletretinoin sistemis untuk terapi eczema kronis pada tangan. Siklosporin
merupakan obat pilihan utama untuk terapi dermatitis berat dan dermatitis atopi yang
resistan pada terapi untuk orang dewasa. Terapi siklosporin A jangka panjang dapat
mengurangi dermatitis tangan yang resistan pada terapi. Penggunaan imunomodulator
lain (seperti azathioprine, mycophenolate mofetil, atau methotrexate) jika siklosporin
tidak efektif atau dikontraindikasikan.11
E. PROTEKSI KULIT
Penggunaan sediaan pelembab kulit untuk mempromosikan regenerasi kulit dan
melindungi kulit. Regenerasi kulit secara lengkap terjadi beberapa minggu setelah pulih
dari gejala dermatitis kontak.11