Anda di halaman 1dari 45

Laporan Studi Pustaka (KPM 403)

DAMPAK PELARANGAN CANTRANG BAGI NELAYAN

MAYA RESTY ANDRYANA

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT


FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2016
ii

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Pelarangan
Cantrang Bagi Nelayan” benar-benar hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan
pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Saya juga menyatakan bahwa sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh
pihak lain sebagai bahan rujukan yang dinyatakan dalam naskah dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir proposal penelitian ini.. Demikian pernyataan ini saya buat
dengan sesungguhnya dan saya bersedia mempertanggungjawabkankan pernyataan ini.

Bogor, Januari 2016

Maya Resty Andryana


I34120076
iii
ABSTRAK

MAYA RESTY ANDRYANA. Dampak Pelarangan Cantrang Bagi Nelayan. Dibawah


bimbingan ARIF SATRIA

Alat penangkapan ikan sebagai salah satu input usaha perikanan memiliki peranan yang
penting dalam pengelolaan perikanan. Kementrian kelautan dan perikanan menerbitkan
peraturan nomor 2/PERMEN-KP/2015, dimana cantrang merupakan salah satu alat
tangkap yang dilarang. Pelarangan cantrang dilakukan karena pengoperasiannya
mengancam ekosistem dan sumberdaya ikan. Di sisi lain, cantrang merupakan alat
penangkapan ikan tradisional yang sebagian besar digunakan oleh nelayan Pantai Utara
Pulau Jawa, sehingga pelarangan cantrang akan menimbulkan dampak bagi kehidupan
nelayan. Dampak ekologis pelarangan cantrang akan menimbulkan dampak positif bagi
kondisi lingkungan, namun kenyataan tersebut akan berbanding terbalik dengan dampak
ekonomi dan sosial yang ditimbulkan. Pada aspek ekonomi, pelarangan cantrang akan
memengaruhi tingkat pendapatan, jumlah hasil tangkapan, dan diferensiasi alat tangkap.
Dampak sosial yang ditimbulkan pelarangan yaitu berubahnya hubungan sosial dalam
kehidupan nelayan, tingkat kesejahteraan yang menurun, dan tingkat kemampuan nelayan
untuk mengoperasikan alat tangkap selain cantrang.

Kata Kunci : cantrang, alat penangkapan ikan, dampak pelarangan cantrang,


peraturan

ABSTRACT

MAYA RESTY ANDRYANA. Impact of Cantrang Prohibition to Fishermen.


Supervised by ARIF SATRIA

Fishing gear as one of the fishery inputs has became an important point of fishery
management. Marine and fishery ministry issued a regulation number 2 / PERMEN-KP
/ 2015 stated that cantrang is one of the prohibited fishing gear. Cantrang prohibition
was issued because its operation threatened ecosystems and fish resources. On the other
side, cantrang is a traditional fishing tool which fishermen most used in the North Coast
of Java. The cantrang prohibition will result certain impacts to the fishermen’s living.
The ecological impact of cantrang prohibition will cause a positive impact to the
environment in spite of the reality will be inversely proportionate to the economic and
social impact. To the economic aspect, cantrang prohibition will affect the income level,
number of catches, and fishing gear differentiation. The social impacts of cantrang
prohibition were the changing of social relationships among the fishermen, the
decreasing of welfare level, and the level of fishermen’s ability to operate fishing gear
except cantrang.

Keyword : cantrang, fishing gear, impact of profibition, regulation


iv
Dampak Pelarangan Cantrang Bagi Nelayan

Oleh

MAYA RESTY ANDRYANA

I34120076

Laporan Studi Pustaka

Sebagai syarat kelulusan mata kuliah Studi Pustaka (KPM 403)

Pada

Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Departemen Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia

Institut Pertanian Bogor

2016
v
LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini menyatakan bahwa Studi Pustaka yang ditulis oleh :

Nama : Maya Resty Andryana

Nomor Mahasiswa : I34120076

Judul : Dampak Pelarangan Cantrang Bagi Nelayan

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan Mata Kuliah Studi Pustaka (KPM 403) pada
Mayor Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Departemen Sains
Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut
Pertanian Bogor.

Menyetujui,

Dosen Pembimbing

Dr. Arif Satria, SP, MSi


NIP : 19710917 199702 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Siti Amanah, Msc


NIP.19670903 199212 2 001

Tanggal Pengesahan:________________________
vi
PRAKATA

Puji syukur penulis ucapkan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan
Studi Pustaka yang berjudul “Dampak Pelarangan Cantrang Bagi Nelayan” ini dengan
baik. Laporan Studi Pustaka ini ditujukan untuk memenuhi syarat kelulusan MK Studi
Pustaka (KPM 403) pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Dr. Arif Satria, SP, MSi. Selaku dosen
pembimbing yang telah memberikan kritik dan saran yang membangun selama proses
penulisan hingga penyelesaian proposal penelitian ini, serta Dr. Anna Fatchiya selaku
pembimbing akademik penulis. Penulis juga menyampaikan hormat dan terimakasih
kepada orangtua tercinta penulis Bapak Sudjud Muljadi dan Ibu Nurmawan, serta saudara
tersayang Citta Octaviana Adekayanti. Tidak lupa juga penulis sampaikan terimakasih
kepada teman-teman satu perjuangan di Departemen SKPM 49, untuk Desyta, Oryza,
Meilinda, teman – teman pengurus HIMASIERA 2015. Kemudian ucapan terimakasih
penulis sampaikan juga kepada seluruh anggota UKM Lises Gentra Kaheman IPB
sebagai teman berkarya selama di bangku perkuliahan. Dan kepada semua pihak yang
selama ini mendukung penulis. Semoga laporan Studi Pustaka ini bermanfaat bagi semua
pihak.
Semoga proposal penelitian ini dapat bermanfaat bagi bagi semua pihak yang
membutuhkan. Kritik dan saran yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan.

Bogor, Januari 2016

Maya Resty Andryana


I34120076

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL.................................................................................................... vi
vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................................vii
PENDAHULUAN .................................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................................... 1
Tujuan ............................................................................................................ 2
Metode Penulisan ........................................................................................... 2
RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA........................................................... 3
Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Tingkat Keberlanjutan
Sumberdaya Perikanan (Studi Kasus di Kawasan Pangandaran, Kabupaten
Ciamis). .......................................................................................................... 3
Kajian Hasil Tangkapan dan Tingkat Kesejahteraan Nelayan di Desa Aromarea
Distrik Kosiwo, Kabupaten Sarui, Kepulauan Yapen, Papua........................ 5
Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologi ............................... 6
Analisis Faktor Produksi Hasil Tangkapan Alat Tangkap Cantrang di Pangkalan
Pendaratan Ikan Bulu Kabupaten Tuban ........................................................ 8
Dampak Sosial dan Ekonomi atas Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
Nomor 2/PERMEN-KP/2015 (Studi Kasus Kecamatan Juwana Kabupaten Pati) ..
10
Implementasi Permen Kelautan dan Perikanan Nomor Per.12/MEN/2010 Tentang
Minapolitan dalam Rangka Mengembangkan Kawasan Minapolitan sebagai Pusat
Pertumbuhan Ekonomi. (Studi di Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten
Sidoarjo dan petani tambak di Desa Kedung Peluk Kecamatan Candi Kabupaten
Sidoarjo)......................................................................................................... 11
Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus Nelayan Dusun
Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat
....................................................................................................................... 13
Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh di Kalangan
Nelayan Pantai Utara Jawa Barat (Studi tentang Simbiosis antara Juragan dengan
Nelayan Buruh di Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon Kabupaten Subang) ......
15
Socio-Economic Status of Fishermen and Different Fishing Gear Used in Beki
River, Barpeta, Assam ................................................................................... 17
Socio-Economics Status and Adaptations of Purse Seine Fishermen in Bali
Coastal Village, Indonesia ............................................................................. 19
RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN .................................................................. 22
Pelarangan Penggunaan Cantrang ................................................................. 22
Peraturan ............................................................................................................... 22
Alat Penangkapan Ikan ......................................................................................... 24
Karakteristik Nelayan .................................................................................... 25
Karakteristik sosial-ekonomi nelayan ................................................................... 26
Dampak Pelarangan Penggunaan Cantrang ................................................... 28
SIMPULAN .............................................................................................................. 30
Hasil Pembahasan dan Rangkuman .............................................................. 31
viii
Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi ............................... 32
Usulan Kerangka Penelitian untuk Penelitian .............................................. 32
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 33
RIWAYAT HIDUP ................................................................................................. 35
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Analisis Keadaan Unit Penangkapan Ikan Cantrang PPI Bulu ....... 8
Tabel 2 Strategi yang Dilakukan oleh Aktor Usaha Perikanan .................... 21
Tabel 3 Peraturan Perundangan Tentang Usaha Perikanan dan Alat Penangkapan
Ikan ............................................................................................................... 23
Tabel 4 Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang dalam Peraturan Menteri Perikanan
dan Kelautan Nomor 2/PERMEN KP/2015 ................................................. 25
Tabel 5 Klasifikasi Nelayan Berdasarkan Waktu Melakukan Pekerjaan Operasi
Penangkapan/Pemeliharaan .......................................................................... 26
Tabel 6 Tingkatan Nelayan Berdasarkan Kapasitas Teknologi, Orientasi Pasar,
dan Karakteristik Hubungan Produksi .......... Error! Bookmark not defined.
Tabel 7 Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan.................................................... 28
Tabel 8 Dampak Pelarangan Cantrang Berdasarkan Aspek Sosial, Ekonomi, dan
Ekologis ........................................................................................................ 30

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Analisis ........................................................................ 33
1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia memiliki letak yang strategis yaitu berada diantara dua benua dan dua
samudera serta beriklim tropis, membuat sebagian besar wilayahnya memiliki
keanekaragaman hayati , khususnya sumberdaya hayati pesisir dalam sektor perikanan
tangkap. Kekayaan sumberdaya perikanan Indonesia sangat berpotensi tinggi dalam
pembangunan perekonomian baik dalam negeri maupun di luar negeri (Dahuri 2003).
Namun, sumberdaya yang melimpah di laut Indonesia belum dapat mengurangi tingkat
kemiskinan di wilayah pesisir (Satria 2015; Sudarmo et al 2015; Sukmawati 2008; Dahuri
2003). Alat tangkap yang digunakan nelayan memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan
(Yapanani et al 2013). Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwa alat tangkap yang
digunakan nelayan memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan tersebut (Satria 2015,
Sukmawati 2008; Yapanani et al 2013; Kalita et al 2015; Zamron 2015; Ermawati dan
Zuliyati 2015; Aji et al 2013 )
Sejak PERMEN No. 2 Tahun 2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan
ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan
negara Republik Indonesia oleh Menteri Kelautan dan Perikanan diterbitkan, peraturan
tersebut menuai pro-kontra di kalangan masyarakat nelayan, khususnya nelayan yang
menggunakan alat tangkap pukat untuk penangkapan ikan. Peraturan tersebut dianggap
menurunkan penghasilan nelayan, dimana alat tangkap tersebut menjadi andalan bagi
nelayan dan kesejahteraan nelayan yang notabene bergantung kepada hasil tangkapan
ikan sehari-hari menjadi menurun (Ermawati dan Zuliyati 2015; Satria 2015; Kalita et al
2015). Namun, sebelumnya pemerintah telah mengeluarkan peraturan penghapusan
jaring Trawl pada tahun 1980 yaitu Keppres No 39 Tahun 1980. Peraturan tersebut
menjelaskan bahwa penghapusan jaring trawl dilakukan secara bertahap dengan
mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl terhitung mulai tanggal 1 juli 19801. Upaya
tersebut dilakukan untuk membatasi jumlah keseluruhan kapal trawl yang beroperasi di
perairan Indonesia. Saat keputusan dikeluarkan sampai akhir September 1980, secara
bertahap dilakukan penghapusan seluruh kapal trawl yang berasal dan beroperasi di
sekitar jawa dan bali. Semua kegiatan yang menggunakan jaring trawl mulai dilarang
pada tanggal 1 Oktober 1980. Para pemilik kapal diberikan hak memilih untuk mengganti
alat tangkap selain jaring trawl untuk mengatur jumlah kapal.
Pengaturan tersebut diatur oleh Menteri Pertanian dan menteri-menteri yang
bersangkutan yang mengatur pengalihan kapal trawl dan penyerahan kepada kelompok
nelayan. Hal itu menunjukkan belum adanya kementerian yang berfokus pada persoalan
perikanan dan kelautan masa kepemerintahan saat itu. Selain itu, dalam keputusan tidak
disertakan sanksi yang jelas bagi para pemilik kapal jaring trawl yang masih tetap
menggunakan jaring trawl di perairan yang telah dilarang sehingga bertambahnya jumlah
kapal trawl tidak bisa dihindari. Jumlah kapal trawl yang bertambah setiap tahunnya
membuktikan bahwa Keppres No 39 Tahun 1980 belum terlaksana dengan baik dalam
mengurangi kapal trawl yang beroperasi di perairan Indonesia khususnya sekitar jawa
dan Bali. Kerjasama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dengan para pemilik
kapal dan kelompok nelayan sangat diperlukan untuk memperlancar pelaksanaannya
(Nurhayati 2012). Penetapan sanksi yang tegas bagi para pemilik kapal dan perizinan
yang diberikan harus sesuai dengan poin-pon pasal yang telah diputuskan. Hal tersebut
1
Keputusan Presiden Nomor 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl
2

untuk mengurangi konflik yang terjadi antar nelayan. Penetapan PERMEN No. 2 Tahun
2015 didasarkan oleh kesepakatan bersama antara pemerintah dengan kelompok nelayan
yang dilakukan sejak tahun 2009 untuk menindaklanjuti kebijakan sebelumnya.
Penetapan kebijakan pelarangan alat tangkap tersebut juga didasarkan oleh kondisi
perikanan Indonesia yang mulai menurun setiap tahun. Turunnya hasil produksi
perikanan diakibatkan adanya kerusakan ekosistem laut seperti padang lamun maupun
terumbu karang. Kerusakan ekologi yang terjadi disebabkan oleh penggunaan alat
tangkap perikanan yang tidak ramah lingkungan. Sisi lain, penetapan kebijakan tersebut
memengaruhi struktur kehidupan sosial-ekonomi nelayan. Hasil tangkapan ikan nelayan
dapat menurun akibat alat tangkap yang kurang memadai. Nelayan yang terbiasa
menggunakan alat tangkap pukat, salah satunya cantrang,, harus beralih ke alat tangkap
lain yang lebih ramah lingkungan namun dapat menghasilkan ikan yang sama banyaknya
untuk mencukupi kebutuhan hidup. Dikeluarkannya kebijakan larangan penggunaan alat
tangkap, khususnya cantrang berpengaruh terhadap kehidupan sosial-ekonomi nelayan.
Implementasi kebijakan yang menuai pro dan kontra, membuat hal tersebut perlu
dijelaskan terkait bagaimana dampak pelarangan cantrang bagi nelayan.

Tujuan
Penulisan studi pustaka ini bertujuan untuk menganalisis dampak pelarangan
cantrang yang memengaruhi kehidupan sosial-ekonomi nelayan yang menggunakan alat
tangkap perikanan cantrang dalam kegiatan penangkapan ikan di laut.

Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan studi pustaka ini antara lain
mengumpulkan, meringkas, menganalisis dan melakukan sintesis data sekunder berupa
hasil penelitian, seperti jurnal penelitian, skripsi, maupun buku yang berkaitan dengan
topik studi pustaka ini, yaitu dampak pelarangan cantrang bagi nelayan. Hasil dari
ringkasan tersebut akan digunakan sebagai landasan teori dan juga konsep mengenai
peraturan terkait usaha perikanan serta karakteristik sosial-ekonomi masyarakat pesisir
dan dampak pelarangan cantrang bagi nelayan. Penarikan hubungan antara ketiga konsep
tersebut dilakukan untuk memunculkan sebuah kerangka teoritis yang menjadi dasar
perusmusan masalah bagi penelitian yang akan dilakukan.
3

RINGKASAN DAN ANALISIS PUSTAKA

1. Judul : Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah


dalam Mendukung Tingkat
Keberlanjutan Sumberdaya Perikanan
(Studi Kasus di Kawasan Pangandaran,
Kabupaten Ciamis).
Tahun : 2012
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Atikah Nurhayati
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi dan
Perikanan
Volume (edisi) : hal : Vol. 2, No. 2 : 163-173
Alamat URL : www.bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/j
bijak/jurbijak_2012_v2_no2_(7)
Tanggal Unduh : 15 September 2015

Ringkasan
Penelitian ini dilakukan di kawasan Pangandaran, salah satunya Pantai
Bojongslawe Kecamatan Parigi, Kabupaten Ciamis dikarenakan terjadi eksploitasi
sumberdaya yang tidak terkontrol serta abrasi pantai yang pernah dialaminya. Selain itu,
kerusakan akibat bencana alam seperti gempa yang mendatangkan tsunami pernah
dialami di kawasan tersebut. Rumusan masalah dari penelitian ini yaitu sejauhmana
kebijakan pemerintah daerah dalam mendukung tingkat keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan dengan tujuan menganalisis kebijakan pemerintah daerah dalam
mendukung tingkat pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap melalui moder sinergitas
perilaku ekonomi nelayan.
Berdasarkan hasil penelitian, alternatif kebijakan pemerintah melalui co-
management akan memeberikan pengaruh sebesar 44,6 persen terhadap tingkat
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. Peneliti menjelaskan bahwa sistem
pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap kawasan Pangandaran melibatkan
masyarakat lokal dalam proses pengelolaan sumberdaya yang dimilikinya secara aktif.
Pola pengelolaan yang bersifat top down sudah mulai bergeser seiring dengan keterlibatan
masyarakat. Pendekatan yang dilakukan dalam strategi pengembangan masyarakat pesisir
di kawasan tersebut bersifat strukturan dan non struktural. Dalam pendekatan yang
bersifat struktural, peneliti menemukan bahwa peranan instansi yang berwenang atau
organisasi yang dibentuk untuk pengelolaan wilayah pesisir diutamakan dan peranan
masyarakat dianggap kurang kuat.
Penelitian ini mengukur nilai bobot parsial pengendalian upaya penangkapan,
dimana skornya sebesar 0,336, yang berarti alternatif kebijakan melalui pengendalian
upaya penangkapan memiliki pengaruh sebesar 33,6 persen terhadap tingkat
keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. Beberapa hal yang menurut peneliti
perlu diperhatikan dalam pelaksanaan tersebut yaitu pembatasan jumlah unit jenis alat
penangkapan tertentu, serta membatasi jumlah upaya penangkapan atau mengurangi
mortalitas penangkapan. Upaya penangkapan sebagai input control memiliki kesulitan
untuk mementukan berapa sebenarnya jumlah upaya masing-masing unit penangkapan
4

yang ada. Hasil observasi menunjukkan kurangnya pengawasan terhadap input maupun
output sumberdaya perikanan seperti pembatasan jumlah hasil tangkapan sampai pada
tingkat pemanfaatan yang diperbolehkan, menimbulkan terjadinya overfishing.
Hasil penelitian dengan memperhatikan sinergitas perilaku ekonomi nelayan
menemukan bahwa alternatif kebijakan pemerintah memiliki pengaruh sebesar 13,1
persen terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan. Menurut
peneliti, penggalangan partisipasi masyarakat dapat dilakukan melalui pembinaan
perilaku ekonomi nelayan dan kelembagaan sosial, sehingga terbukanya peluang bagi
nelayan untuk berpartisispasi sebagai subjek. Hal itu dikarenakan keberhasilan
pembangunan berkelanjutan ditentukan oleh keterlibatan nelayan dengan sumberdaya
perikanan tangkap. Kesadaran akan pentingnya tanggungjawab untuk memanfaatkan
sumberdaya secara optimal dan berkelanjutan mendorong tingkat partisipasi masyarakat
pesisir. Dalam penelitian ini, peneliti menemukan keterlibatan nelayan dalam usaha
penangkapan ikan secara berkelompok merupakan tradisi mereka, serta kerjasama yang
serasi terjalin dalam kelompok nelayan oemilik motor tempel.
Tujuan dilakukannya co-management dalam kebijakan pemerintah dengan nelayan,
antara lain: peningkatan produksi, diversifikasi produk, diversifikasi pekerjaan dengan
membina dan mengelola nelayan dalam suatu kelembagaan, serta meningkatkan
pendapatan nelayan dan mengentaskan kemiskinan dengan memperhatikan keberlanjutan
sumberdaya perikanan tangkap. Menurut peneliti, pendidikan, pelatihan dan penyuluhan
tentang teknik penangkapan ikan, manajemen keuangan, manajemen lingkungan hidup,
dan etos kerja sangat penting dalam meningkatkan kualitas SDM nelayan agar bersaing
secara sehat. Mina marga merupakan KUB yang manajemen keorganisasian yang sudah
mumpuni dan memiliki anggota yang tersebar tidak hanya di dusun Bojongslawe.
Penelitian ini juga membahas pengaruh penegakan hukum dari setiap kebijakan
pemerintah serta kelembagaannya terhadap tingkat keberlanjutan pengelolaan
sumberdaya perikanan. Dalm hal ini, nelayan mempunyai keinginan untuk mematuhi
peraturan yang telah diberlakukan oleh pemerintah. Namun, berdasarkan hasil
wawancara dengan aparat daerah, keberadaan bagan dan tindakan tegas dari pihak
pemerintah tidak bisa diterapkan karena semakin menurunnya hasil tangkapan serta
timbulnya gejolak terkait dengan pengaruh kekuasaan pemilik bagan memengaruhi
keterpurukan kondisi nelayan. Hal tersebut menunjukkan kurangnya keberanian
pemerintah dalam menerapkan peraturan. Padahal, menurut peneliti, sosialisasi dan
penyuluhan secara bertahap akan mampu mengubah perilaku nelayan dan
memengaruhinya untuk mengikuti peraturan yang ditetapkan. Sekali lagi, peneliti
menegaskan bahwa partsisipasi aktif komunitas perlu dilakukan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakan terhadap pentingnya konservasi sumberdaya ikan.

Analisis
Peneliti sudah sangat baik menjelaskan rumusan masalah terkait sejauhmana kebijakan
pemerintah dalam mendukung tingkat keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan
yang dilihat berdasarkan keterlibatan masyarakat nelayan, pengendalian upaya
penangkapan, perilaku ekonomi nelayan serta penegakan hukum dan kelembagaan.
Analisis data dengan analisis proses hirarki berdasarkan data hasil wawancara dan
kuesioner serta laporan-laporan tahunan tertulis dari lembaga yang terkait sudah
dijabarkan dengan baik dalam pembahasan. Namun, dalam metodologi peneliti tidak
menuliskan apakah penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-kualitatif atau
salah satu pendekatan tersebut.
5

2. Judul : Kajian Hasil Tangkapan dan Tingkat


Kesejahteraan Nelayan di Desa
Aromarea Distrik Kosiwo, Kabupaten
Sarui, Kepulauan Yapen, Papua.
Tahun : 2013
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Ethan Yapanani, Anhar Solichin,
Bambang Argo W
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Journal of Management of Aquatic
Resources
Volume (edisi) : hal : Vol. 2, No. 3 : 197-202
Alamat URL : http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/maquares
Tanggal Unduh : 15 September 2015

Ringkasan
Penelitian ini membahas terkait tingkat kesejahteraan nelayan di desa Aromarea
yang dipengaruhi oleh hasil tangkapan. Dalam jurnal, diketahui bahwa sumber daya
manusia serta teknologi yang dimiliki masyarakat Yapen masih tergolong rendah
sehingga perlunya pemahaman untuk mengatasi masalah sosial di sekitarnya. Nelayan
yang dijadikan sample adalah nelayan tradisional yang umumnya menggunakan jaring
gillnet sebagai alat tangkap. Penulis mengutip Ayodhya (1981) terkait jaring gillnet, yang
mana merupakan jaring yang berbentuk empat persegi panjang, mempunyai ukuran mata
jaring yang sama pada seluruh bagian jaring agar ikan lebih mudah terjerat (gilled) pada
mata jaring ataupun terbelit (entangled) pada badan jaring.
Penelitian ini menemukan bahwa alat tangkap yang digunakan nelayan
memengaruhi tingkat kesejahteraan nelayan tersebut. Hal tersebut dilihat dari hasil
analisis R/C ratio dalam penelitian ini menunjukkan bahwa R/C ratio pada usaha
penangkapan ikan dengan alat tangkap jaring gillnet adalah lebih dari 1 (>1), yaitu 1,7
yang berarti usaha penangkapan layak dilakukan dansudah menguntungkan bagi nelayan.
Selain itu, perhitungan rentabilitas yang ditemukan dalam penelitian ini sebesar 62,
dimana besarnya nilai rentabilitas tersebut menunjukkan nilai rentabilitas Desa Aromarea
masih rendah dalam usaha penangkapan jaring gillnet. Namun, dari penghitungan rasio
rentabilitas usaha penangkapan diperoleh rata–rata rasio rentabilitas sebesar 62% yang
artinya usaha tersebut dapat dikatakan sudah menguntungkan, efisien dan layak dalam
beroperasi. Pada usaha perikanan dengan alat tangkap jaring gillnet di Desa Aromarea
diperoleh payback period rata–rata 1,6 per bulan. Hal ini berarti nelayan dapat
mengembalikan modal usaha dalam waktu kurang dari 2 bulan modal sudah kembali.
Pada penelitian ini, tingkat kesejahteraan tidak hanya dinilai melalui Nilai Tukar
Nelayan (NTS) saja, melainkan melalui tiga rumus diatas yang kemudian dianalisis oleh
penulis untuk menginterpretasikan kondisi sosial-ekonomi masyarakat. Sealin itu,
penelitian ini menunjukkan faktor-faktor yang memengaruhi besarnya pendapatan antara
lain faktor alam, (musim, cuaca, kondisi geografis), faktor teknis (skala usaha dan
faktor/sarana produksi) dan faktor non teknis yaitu kondisi sosial budaya masyarakat
nelayan.
6

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa NTN nelayan jaring gillnet di


Desa Aromarea selama bulan Juli sebesar 1,4. Nilai tersebut diperoleh dari perbandingan
pendapatan total (Yt) yang terdiri atas pendapatan usaha perikanan (YFt) dan pendapatan
usaha non perikanan (YNFt) dengan pengeluaran total (Et) yang terdiri atas pengeluaran
usaha perikanan (EFt) dan pengeluaran konsumsi rumah tangga (EKt). Sedangkan
pengeluaran usaha perikanan (EFt), pengeluaran konsumsi rumah tangga (EKt), dan
pengeluaran bercocok tanam serta menokok sagu. Pengeluaran total dari usaha perikanan
dan konsumsi rumah tangga dikurangi pengeluaran menunjukkan bahwa kehidupan
nelayan jaring gillnet mempunyai tingkat kesejahteraan cukup baik untuk memenuhi
kebutuhan subsistensinya dan mempunyai potensi untuk mengkonsumsi kebutuhan
sekunder atau tersiernya, atau bahkan menabung (saving) dengan sisa pendapatan dan
pengeluaran per bulan.

Analisis
Penulis sudah baik dalam menginterpretasikan data berdasarkan analisis rasio penerimaan
biaya, rentabilitas dan periode pengembalian investasi. Tingkat kesejahteraan nelayan
Yapen dapat dinilai menggunakan tiga alat ukur tersebut. Berdasarkan hasil penelitian
menunjukkan bahwa sumberdaya manusia dan teknologi yang digunakan masyarakat
Yapen masih tergolong rendah. Namun, peneliti belum menjelaskan hubungan sosial
masyarakat dengan alat tangkap yang digunakan tersebut secara lengkap dalam
pembahasan.

3. Judul : Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap


Perubahan Ekologi
Tahun : 2012
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Alfian Helmi, Arif Satria
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Makara, Sosial Humaniora
Volume (edisi) : hal : Vol 16 No 1 (Juli): 68-78
Alamat URL : http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsas
ia/article/download/1494/38
Tanggal Unduh : 25 September 2015

Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauhmana dampak perubahan ekologis
terhadap nelayan, serta mengetahui strategi adaptasi yang dilakukan nelayan dalam
menghadapi perubahan ekologis tersebut. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa
perubahan ekologis terjadi tidak hanya dikarenakan teknis pengelolaan, melainkan
masalah sosial-politi yang akhirnya mengganggu perekonomian masyarakat di
sekitarnya. Beberapa peraturan yang ditetapkan, baik oleh pemerintah pusat maupun
daerah bertentangan dengan SK Menteri Kehutanan nomor 329/Kpts-II/1987 yang telah
diperbaharui terkait penetapan pulau panjang sebagai kawasan suaka alam. Undang-
undang nomor 5 tahun 1990 menjelaskan pelarangan dilakukannya kegiatan-kegiatan
yang dapat mengubah ekosistem baik fungsi maupun fisiknya di kawasan konservasi.
Namun, pemerintah pusat maupun daerah tetap mengeluarkan surat izin kepada
7

perusahaan tambang untuk usaha dan membangun pelabuhan sebagai jalur laut
perusahaan tambang tersebut.
Proses adaptasi dalam penelitian ini dibahas dalam unit analisis rumah tangga
nelayan. Penelitian ini membahas bagaimana rumah tangga nelayan di Pulau Panjang
melakukan tindakan sosial-ekonomi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan
ekologis yang ada di wilayahnya. Terdapat strategi adaptasi yang dilakukan nelayan
Pulau Panjang terhadap perubahan ekologis, antara lain:
1. Penganekaragaman pendapatan, dimana masyarakat Pulau Panjang tidak hanya
bermatapencaharian tunggal sebagai nelayan, melainkan juga berkebun, tambak
udang, budidaya rumput laut, maupun bekerja sebagai buruh bangunan serta
mencari sumberdaya-sumberdaya ekonomi lainnya. Pekerjaan non-perikanan
menjadi salah satu pilihan dimana fluktuasinya hasil tangkapan ikan dan cuaca yang
tidak menentu.
2. Penganekaragaman alat tangkap. Perubahan ekologis yang terjadi di kawasan Pulau
Panjang membuat nelayan harus memiliki lebih dari satu alat tangkap. Hal tersebut
dikarenakan alat pancing yang biasa digunakan, sudah sulit untuk menangkap ikan.
Kondisi tersebut mengakibatkan pengeluaran perikanan oleh nelayan, lebih tinggi
sebelum terjadinya perubahan ekologis. Namun, alat tangkap yang beragam pun
tidak dapat digunakan di setiap musim, hanya berlaku untuk musim tertentu.
3. Perubahan daerah tangkapan. Kondisi ekologis yang berubah akan menyebabkan
perubahan daerah tangkap yang semakin jauh, sehingga pengeluaran perikanan
nelayan semakin tinggi. Keterbatasan teknologi dan kurangnya pengetahuan
geogafi yang dimiliki oleh nelayan Pualau Panjang mengakibatkan daerah
tangkapan baru hanya dideteksi berdasarkan naluri dan perkiraan serta berdasarkan
tanda-tanda alam. Hal itu mengakibatkan inefisiensi energi (bahan bakar dan
tenaga), pemborosan waktu, dan hasil tangkapan yang relatif rendah.
4. Memanfaatkan hubungan sosial. Masyarakat Pulau Panjang menjalin hubungan
satu dengan yang lain berdasarkan kekeluargaan, kekerabatan, dan pertetanggaan.
Hal itu dilakukan untuk mempertahankan keberadaannya. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa masyarakat Pulau Panjang mempunyai jaringan sosial yang
bersifat informal. Hal itu menunjukkan adanya kepercayaan dan hubungan timbal
balik secara personal dan membuat hubungan sosial menjadi lebih dekat.
5. Mobilisasi anggota rumah tangga. Kegiatan ini mengikutsertakan anggota rumah
tangga nelayan untuk bekerja, baik disektor perikanan maupun diluar sektor
perikanan. Setiap anggota keluarga meliliki peran masing-masing untuk membantu
perekonomian keluarga.
Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa menurunnya keanekaragam ikan,
memengaruhi mata pencaharian masyarakat serta menurunnya kesempatan berusaha.
Strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat Pulau Panjang lebih didominasi pola-pola
adaptasi yang bersifat reaktif, meliputi penganekaragaman mata pencaharian,
penganekaragaman alat tangkap, perubahan daerah tangkapan, memanfaatkan hubungan
sosial, dan memobilisasi anggota rumahtangga.

Analisis
Hasil penelitian ini menambah pengetahuan terkait perubahan ekologis yang
terjadi di daerah pesisir serta berbagai macam strategi adaptasi yang dilakukan nelayan
untuk menghadapi kondisi tersebut. Selain itu, penelitian ini memberikan informasi
terkait masih rendahnya pengetahuan geografis nelayan sehingga nelayan cenderung
menggunakan naluri dan tanda-tanda alam untuk mengetahui keberadaan ikan sebagai
penentuan daerah tangkapan. Penelitian ini juga memberikan strategi lain yang dapat
8

dilakukan nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya seperti penebangan mangrove


dan retribusi kapal. Penelitian ini tidak menggunakan metode penelitian kuantitatif,
sehingga jumlah nelayan yang melakukan strategi adaptasi tersebut belum terukur.

4. Judul : Analisis Faktor Produksi Hasil


Tangkapan Alat Tangkap Cantrang di
Pangkalan Pendaratan Ikan Bulu
Kabupaten Tuban
Tahun : 2013
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Ismail Nugroho Aji, Bambang Argo
Wibowo,Asriyanto
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Journal of Fisheries Resources Utilization
Management And Technology
Volume (edisi) : hal : 2 (4) : 50-58
Alamat URL : http://www.ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jfrumt
Tanggal Unduh : 29 September 2015

Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis aspek teknis alat tangkap cantrang di
wilayah Bulu dan menganalisis faktor-faktor produksi yang berpengaruh langsung
terhadap hasil tangkapan pada alat tangkap cantrang di wilayah Bulu. Penelitian ini
dilakukan di Pangkalan Pendaratan Ikan Bulu terletak di Desa Bulumeduro Kecamatan
Bancar Kabupaten Tuban. Tuban dipilih menjadi lokasi penelitian karena merupakan
salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Timur yang memiliki potensi
perikanan laut yang potensial serta mayoritas nelayan melaut menggunakan kapal
cantrang.
Penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan analisis deskriptif. Kasus
yang diangkat dalam penelitian ini adalah faktor internal pada hasil produksi tangkapan
ikan kapal yang menggunakan alat tangkap cantrang. Pengumpulan data dilakukan
dengan cara observasi dan wawancara langsung dengan nelayan. Metode Pengumpulan
sampel dalam penelitian menggunakan metode sensus, semua nelayan yang dalam
operasi penangkapan menggunakan alat tangkap cantrang. Analisis data yang digunakan
adalah regresi linear berganda dan uji T. Lokasi penelitian berada di jalan Pantura yang
strategis untuk pengembangan kegiatan perikanan. Akses yang tersedia memudahkan
pemasaran ikan hasil tangkapan ke daerah luar kota.
Berdasarkan data dalam penelitian, sekitar 48 unit armada alat tangkap cantrang
mendarat di pangkalan pendaratan ikan Bulu. Berikut adalah hasil pembahasan penelitian
dalam menganalisis analisis keadaan unit penangkapan ikan cantrang ppi bulu.

Tabel 1 Analisis Keadaan Unit Penangkapan Ikan Cantrang PPI Bulu


Karakteristik
Penjelasan
Cantrang
9

Deskripsi  terbuat dari bahan jaring, seperti kantong besar berbentuk


seperti kerucut dan semakin kebelakang ukuranya semakin
mengerucut.
 Cantrang tidak dilengkapi alat pembuka mulut jaring, berupa
gawang (beam) atau papan (otter board) dan untuk penarikan
tali selambar menggunakan winch kapstan dari atas kapal yang
dikutip dari BPPI (1999)
Konstruksi  Sayap, penggiring ikan
 Badan jaring, penghubung antara kantong dan sayap
Kantong, pengumpul ikan hasil tangkapan
 tali ris, tempat mengikatkan bagian badan jaring, sayap, serta
pelampung
 tali selamabar, tali penarik jaring pada saat towing
 pelampung, tali penarik jaring pada saat towing
 pemberat, tali penarik jaring pada saat towing
Alat Bantu  gardan (winch), menarik jaring ketika towing berlangsung
Penangkapan  roller, memperingan penarikan tali selambar menggunakan
gardan
 katrol, penarik jaring dari perairan ke dalam kapal pada saat
hauling.
Metode  Persiapan, dimulai dengan pemilihan lokasi fishing ground
Penangkapan sebagai lokasi untuk melakukan tebar jaring pada perairan.
 Setting, pelemparan pelampung tanda akan diikuti dengan
gerakan kapal bergerak menurunkan salah satu sisi tali
selambar membentuk setengah lingkaran, kemudian jaring
diturunkan. Proses setting memerlukan waktu sekitar 10-15
menit.
 Towing/penarik, mesin utama kapal dimatikan dan mesin bantu
untuk gardan dinyalahkan. Proses towing memerlukan waktu
sekitar 25-40 menit. Lama towing tergantung kekuatan mesin
bantu serta panjang tali selambar yang digunakan.
 Hauling/ Pengangkatan jaring, proses pengangkatan jaring dari
permukaan ke dalam jaring dibantu dengan katrol yang telah
dipasang di bagian tengah atas kapal.
Daerah  daerah fishing ground yang bersubstrat dan tidak terdapat
Penangkapan karang pada dasar perairandan target penangkapan pun
ditujukan untuk ikan demersal
 Fishing kapal cantrang, yaitu perairan pantai dengan kondisi
dasar perairan adalah tanah/pasir.
 Wilayah penangkapan berkisar antara 15-20 Mil antara fishing
ground dengan fishing base.
 Penentuan lokasi fishing ground lebih mengandalkan
pengalaman dan feeling karena tidak mempunyai alat bantu
seperti fish finder maupun GPS.

Berdasarkan hasil analisis data regresi linear berganda dalam penelitian


menunjukkan adanya korelasi sempurna antara jumlah tangkapan ikan sekali melaut
dengan variabel bebas yang meliputi panjang jaring, panjang tali selambar, ukuran kapal,
jumlah ABK, kebutuhan BBM, jumlah setting, dan lama towing sebagai variabel bebas,
10

sehingga setiap peningkatan variabel bebas akan memengaruhi hasil tangkapan.


Penelitian ini juga menemukan faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap hasil
tangkapan alat tangkap cantrang di wilayah Bulu melalui uji T adalah panjang jaring,
panjang tali selambar, jumlah BBM, jumlah setting dan lama towing. Sedangkan ukuran
kapal dan jumlah ABK tidak berpengaruh terhadap hasil tangkapan. Besar kecil GT kapal
tidak berpengaruh secara nyata. Pada saat proses penangkapan, kapal dalam posisi diam
sehingga tidak berpengaruh dalam operasi penangkapan. Berdasarkan hasil penelitian,
penulis menemukan bahwa kapal dengan GT lebih kecil juga dapat memperoleh hasil
tangkapan yang lebih banyak dari kapal GT Besar.

Analisis
Penelitian ini menjelaskan deskripsi alat tangkap cantrang dengan baik. Selain itu, hasil
analisis data yang disajikan dalam tabel regresi linear berganda dan uji T, sudah
dijelaskan dengan baik. Analisis regresi linear berganda bertujuan untuk menghitung
besarnya pengaruh antara jaring, tali selambar, kapal, ABK, BBM, Setting dan lama
towing terhadap hasil tangkapan ikan. Sedangkan, uji T digunakan untuk mengetahui
apakah variabel independen (X) berpengaruh secara signifikan terhadap variabel
dependen (Y). Kedua analisis tersebut, sangat membantu dalam menentukan hubungan
antara alat tangkap dengan faktor produksi yang dilakukan nelayan kapal cantrang.

5. Judul : Dampak Sosial dan Ekonomi atas Peraturan


Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor
2/PERMEN-KP/2015 (Studi Kasus
Kecamatan Juwana Kabupaten Pati)
Tahun : 2015
Jenis Pustaka : Prosiding
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Nanik Ermawati, Zuliyati
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Journal of Management of Aquatic
Resources
Volume (edisi) : hal : Vol. 2, No. 3 : 197-202
Alamat URL : http://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/se
ndi_u/article/viewFile/3287/894
Tanggal Unduh : 1 Oktober 2015

Ringkasan
Penelitian ini membahas alasan dasar dikeluarkannya peraturan menteri kelautan
dan perikanan no 2 tahun 2015 yaitu adanya penurunan sumberdaya ikan yang
keberlanjutannya perlu diperhatikan dengan memberlakukan pelarangan penggunaan alat
penangkapan pukat hela dan pukat tarik. Selain itu, sebagian wilayah Indonesia yang
termasuk wilayah pengelolaan perikanan sudah mengalami over fishing atau over
exploted. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dampak yang timbul dari
Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.2 tahun 2015, dan dampak ekonomi bagi
nelayan yang menggunakan cantrang.
Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif untuk menganalisis dampak sosial
dan dampak ekonomi dari peraturan melalui pengumpulan data dengan memanfaatkan
diri peneliti sebagai instrumen kunci. Penelitian menjelaskan bahwa dalam UU perikanan
11

sudah tertulis pelarangan penggunaan alat penangkapan ikan yang merugikan kelestarian
sumberdaya ikan dan lingkungannya. Hal itu diberlakukan karena WPP Indonesia sangat
rentan terhadap penggunaan alat penangkapan ikan yang tidak sesuai dengan keunikan
alam Indonesia, serta untuk menghindari tertangkapnya jenis ikan yang bukan target
penangkapan. Sebelum peraturan ini, pemerintah telah menerbitkan Keppres Nomor 39
Tahun 1980 tentang penghapusan Trawl. Namun, pertauran tersebut tidak berjalan
efektif. Jumlah trawl semakin meningkat setiap tahunnya dan pPada tahun 2007, jumlah
kapal yang menggunakan alat penangkapan ikan cantrang di Jateng mencapai 5.100 dari
3.209 pada tahun 2004.
Peneliti menjelaskan bahwa sebelumnya ada kesepakatan antara jajaran
kementerian kelautan dan perikanan dengan nelayan terkait larangan mengenai
penggunaan jaring cantrang tahun 2009. Namun, ketidaktegasan yang cukup lama dari
pihak KKP, membuat pemilik kapal tidak menaati kesepakatan tersebut dan menganggap
peraturan tersebut mendadak, sehingga sejak dikeluarkannya peraturan tersebut, nelayan
di beberapa wilayah seperti jawa tengah, melakukan protes karena mayoritas nelayannya
menggunakan cantrang.
Penelitian ini menemukan beberapa alasan terkait cantrang baik dari pemerintah
maupun nelayan. Pemerintah menerapkan pelarangan penggunaan cantrang karena alat
tangkap cantrang dan pukat merusak ekosistem terumbu karang di perairan beradius 4-12
mil dari pantai dan mata jaring pukat yang rapat dapat menangkap seluruh jenis ikan baik
target maupun yang bukan target penangkapan. Namun, dalam penelitian ini ditemukan
juga pendapat nelayan yang mengatakan alat tangkap cantrang tidak mengganggu
terumbu karang di dasar laut karena berbeda dengan pukat harimau atau trawl. Nelayan
menganggap cara kerja cantrang lebih pasif daripadi trawl, dimana saat jaring disebar,
posisi mesin kapal dalam keadaan mati dan posisi jaring ikan hanya mengambang di
permukaan. Penggunaan cantrang dianggap lebih efektif karena sangat menguntungkan
dari segi kuantitas tangkapan. Studi kasus yang dilakukan peneliti menemukan beberapa
dampak yang ditimbulkan dari PERMEN-KP No 2 tahun 2015 antara lain dampak sosial
meliputi pengangguran, kesejahteraan nelayan menurun, dan kejahatan; penghasilan
nelayan menurun; hasil tangkapan menurun; serta SPBN akan mengalami penurunan
pendapatan.

Analisis:
Hasil penelitian ini menambah wawasan terkait arti cantrang bagi nelayan dan alasan
pemerintah melarang penggunaannya., dimana nelayan pengguna cantrang menganggap
bahwa cantrang tidak merusak ekosistem dan lebih efektif bagi kegiatan melaut, serta
pemerintah yang mengganggap cantrang dapat merukas ekosistem dasar laut dan
mencoba menghentikan penggunaan agar SDI tidak punah dan kondisi SDI yang
menurun dapat pulih kembali dan dapat dimanfaatkan kembali secara optimal. Namun,
penelitian ini belum menjelaskan landasan teori terkait kebijakan, karakteristik sosial-
ekonomi masyarakat pesisir, serta alat penangkapan ikan. Landasan teori yang digunakan
hanya PERMEN-KP No. 2/2015 dan dampak ekonomi fisik dan sosial. Selain itu, tujuan
penelitian kurang dijelaskan dalam pembahasan, serta ada pengulangan materi atau
penjelasan pada sub bab yang disajikan oleh peneliti.

6. Judul : Implementasi Permen Kelautan dan


Perikanan Nomor Per.12/MEN/2010
Tentang Minapolitan dalam Rangka
Mengembangkan Kawasan Minapolitan
12

sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi.


(Studi di Dinas Kelautan dan Perikanan
Kabupaten Sidoarjo dan petani tambak
di Desa Kedung Peluk Kecamatan Candi
Kabupaten Sidoarjo)
Tahun : 2014
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Lailiyul Ansoriyah, Agus Suryono,
Abdullah Sid
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Jurnal Administrasi Public
Volume (edisi) : hal : 2 (2) : 230-235
Alamat URL : http://administrasipublik.studentjournal
.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/362/
250
Tanggal Unduh : 5 Oktober 2015

Ringkasan
Penelitian ini membahas implementasi kebijakan pengembangan kawasan
minapolitan di Kabupaten Sidoarjo yang meliputi organisasi pelaksana, dimana rapat
koordinasi menjadi penting dalam pelaksanaan kegiatan yang akan dilakukan. Peneliti
menemukan bahwa tim pokja masih kurang maksimal dalam melaksanakan fungsinya.
Seperti yang diatur dalam peraturan implementasi kebijakan akan berhasil jika mendapat
dukungan baik dari aparatur pemerintah maupun masyarakat sendiri. Salah satu upaya
pengutan secara internal yang dilakukan adalah dengan pembentukan tim pokja sebagai
wujud dari pengembangan kelembagaan. Adapun fngsi pokja yang sangat penting
dilakukan yaitu melakukan sosialisasi, koordinasi, dan sinkronisasi baik perencanaan,
pelatihan, maupun pelaksanaan program penyusunan master plan pembangunan ekonomi
daerah.
Selain pokja yang masih kurang kinerjanya, hasil penelitian ini juga menemukan
belum adanya Standard Operating Procedures (SOP) yang menjadikan implementasi
kebijakan menjadi tidak ideal dan akan berpengaruh pada proses pelaksanaan dari
kebijakan itu sendiri yang memungkinkan terjadinya tumpang tindih program. Kemudian,
koordinasi antar aktor pelaksana ditemukan masih kurang, akibatnya terjadi minim
komunikasi antar SKPD. Padahal seperti yang diketahi bahwa komunikasi menjadi salah
satu isu agar implementasi kebijakan menjadi efektif.
Dalam implementasi kebijakan, realisasi kegiatan program-program
pengembangan kawasan minapolitan Kabupaten Sidoarjo sudah tersedia dengan baik. Hal
tersebut dilihat dari adanya akses jalan yang mudah menuju kawasan minapolitan yang
dijadikan sebagai parameter keberhasilan, serta adanya depo pemasaran ikan yang
dibangun dengan tujuan meningkatkan produktivitas, kualitas produk kelautan,
meningkatkan pendapatan nelayan, pembudidaya ikan dan pengolah ikan yang adil dan
merata.
Implementasi kebijakan juga diteliti melalui alokasi sumberdaya dalam
pelaksanaannya. Realisasi anggara kegiatan mengalami peningkatan biaya dari instansi
pada tahun 2012, dan menerima lebih sedikit pada tahun 2013. Pada pembahasan ini,
peneliti menemukan belum sesuainya antara realisasi anggoran dengan realisasi kegiatan
karena perkembangan kegiatan masih banyak yang belum terlaksana dengan baik.
13

Selain berdasarkan implementasi, peneliti melakukan penelitian berdasarkan


respon masyarakat terhadap kebijakan tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa
mayoritas penduduk sudah mengetahui kebijakan pengembangan kawasan minapolitan,
namun penerapan atau pelaksanaan kegiatan belum dijalankan atau dilaksanakan dengan
baik oleh pemerintah. Respon masyarakat masih kurang dan hanya melaksanakan
kegiatan pertambakan saja tanpa melakukan upaya yang berarti. Namun agar
implementasi kebijakan berjalan sesuai dengan yang diharapkan, perlu adanya program-
program khusus agar pengembangan kawasan minapolitan berjalan maksimal.
Dampak kebijakan pengembangan kawasan minapolitan di Kabupaten Sidoarjo
berdasarkan penelitian yaitu pendapatan masyarakat dan keluarga pembudidaya
meningkat, minimal lima persen di kawasan minapolitan, produktivitas hasil perikanan
meningkat minimal lima persen di kawasan minapolitan lokasi program, investasi
masyarakat meningkat minimal 10 persen di kawasan minapolitan lokasi kegiatan, serta
kegiatan berlangsung secara berkelanjutan. Peneliti menyimpulkan bahwa implementasi
kebijakan belum memberikan dampak yang signifikan karena pengimplementasiaannya
kurang maksimal dan msih banyak kegiatan yang belum terealisasikan dengan baik.

Analisis
Penelitian ini sudah menjelaskan dengan baik implemenntasi kebijakan pengembangan
kawasan minapolitan serta respon masyarakat maupun dampaknya, namun peneliti tidak
menjelaskan tujuan penelitian. Penelitian ini juga menambah wawasan terkait teori model
implementasi kebijakan, dimana terdapat empat isu pokok agar implementasi kebijakan
menjadi efekti, yaitu komunikasi, sumberdaya, disposisi/perilaku, dan struktur birokrasi
(Edward dalam nugroho 2011). Keempat isu tersebut mempunyai ketergantungan satu
dengan yang lain dan mempunyai peranan penting untuk mencapai suatu tujuan dan
kesepakatan bersama. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan penelitian
deskriptif, sehingga tiap sub bab dalam pembahasan dapat disampaikan dengan jelas.
Meskipun, dalam data tidak dilengkapi dengan tabel atau grafik yang menunjukkan
respon masuarakat terhadap implementasi kebijakan.

7. Judul : Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan


Iklim: Studi Kasus Nelayan Dusun
Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan
Kalipucang, Kabupaten Ciamis, Jawa Barat
Tahun : 2013
Jenis Pustaka : Jurnal
14

Bentuk Pustaka : Elektronik


Nama Penulis : Ratna Patriana, Arif Satria
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : Jakarta-Balai Besar Penelitian Sosial
Ekonomi Kelatan dan Perikanan
Nama Jurnal : Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan
Perikanan
Volume (edisi) : hal : 8 (1) : 11-23
Alamat URL : http://bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/do
wnload-new/send/21-vol-8-no-1-tahun-
2013/66-pola-adaptasi-nelayan-terhadap-
perubahan-iklim-studi-kasus-nelayan-
dusun-ciawitali-desa-pamotan-kecamatan-
kalipucang-kabupaten-ciamis-jawa-barat
Tanggal Unduh : 13 Oktober 2015

Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan dampak perubahan iklim pada
aktivitas perikanan tangkap dan menganalisis pola adpatasi dan strategi ekonomi yang
dilakukan oleh nelayan untuk mengatasi dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh
perubahan iklim. Lokasi penelitian ditentukan secara purposive (sengaja) karena Dusun
Ciawitali didominasi oleh nelayan tradisional. Populasinya adalah nelayan di Dusun
Ciawitali yang melakukan kegiatan penangkapan di lautan dan bukan di sekitar muara
Sungai Citanduy atau Segara Anak. Jumlah populasi nelayan Ciawitali sebanyak 90 orang
dan informan kunci dari penelitian ini sebanyak 8 orang.
Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa perubahan ekologi memengaruhi aktivitas
penangkapan ikan yang disebabkan oleh adanya perubahan musim ikan dan kekacauan
angin. Perubahan musim ikan memengaruhi penghasilan nelayan, dimana terjadi
perubahan periode musim ikan serta jumlah ikan yang didapatkan semakin sedikit. Selain
itu, kekacauan musim angin menyebabkan nelayan sulit menyusun kalender musim untuk
kegiatan melaut. Dampak sosial ekonomi yang yang terjadi antara lain kesehatan
lingkungan dan pemukiman masyarakat, dimana sumber air bersih menjadi terganggu dan
angin puting beliung yang melanda wilayah pemukiman.Selain itu, dampak sosial
ekonomi yang terjadi adalah aktivitas perikanan tangkap, dimana sulitnya menentukan
wilayah tangkapan ikan, musim penangkapan ikan, meningkatnya resiko melaut, dan
terganggunya akses kegiatan melaut.
Dalam penelitian ini ditemukan adaptasi yang dilakukan nelayan dalam
menghadapi perubahan iklim, diantaranya adaptasi iklim. Adaptasi iklim dilakukan
dengan “strategi mengejar musim ikan”, yaitu nelayan melakukan kegiatan penangkapan
di wilayah terjadinya musim ikan. Wilayah yang mengalami musim ikan tak jarang
berada jauh seperti berada di Pacitan maupun Ujung Kulon. Nelayan juga melakukan
strategi ekonomi terhadap perubahan iklim meliputi :
1. Adaptasi sumberdaya pesisir, dimana nelayan memanfaatkan sumberdaya pesisir
untuk menambah penghasilan ketika tidak pergi melaut. Wilayah mangrove
menjadi tempat alternatif bagi nelayan untuk mencari komoditas selain ikan yang
bernilai ekonomi, seperti kepiting bakau sebagai komoditas pengganti ikan, serta
ikan belanak dan kerang atau totok yang dibuat menjadi sate kerang lalu dijual
untuk menutupi kebutuhan hidup keluarga nelayan ketika terhalang cuaca untuk
melaut.
15

2. Adaptasi alokasi sumberdaya manusia dalam rumahtangga. Adaptasi ini dilakukan


melalui optimalisasi tenaga kerja rumahtangga, dimana anak-anak nelayan ikut
mencari tangkapan di wilayah mangrove setelah pulang sekolah. Istri-istri nelayan
pun melakukan usaha seperti pengolahan totok. Selain itu, migrasi, bekerja ke kota
atau menjadi TKI ke luar negeri merupakan optimalisasi tenaga kerja yang
menghasilkan, terlihat dari bentuk rumah dari keluarga nelayan yang salah satu
anggotanya menjadi TKI. Pola nafkah ganda tani-nelayan juga dilakukan, seperti
menjadi buruh pada lahan padi sawah maupun menggarap lahan milik sendiri.
Perahu yang biasanya dipakai melaut pun dapat digunakan untuk jasa pengangkutan
hasil kayu maupun komoditas pertanian yang dihasilkan pulau terdekat. Hal itu
dikenal sebagai pola nafkah ganda jasa pengangkutan. Adaptasi melalui keluar
dari kegiatan perikanan atau alih profesi menjadi pilihan alternatif saat
penghasilan dari laut dirasa tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
nelayan. Profesi yang banyak diminati adalah buruh pabrik dan petani, dimana
penghasilan yang diperolah itu pasti.
Penelitian ini menemukan beberapa faktor yang berpengaruh pada pilihan adaptasi
dan strategi ekonomi nelayan, yaitu karakteristik individu nelayan, yang meliputi
klasifikasi nelayan, luasnya jejaring sosial nelayan tersebut, kepemilikan sarana produksi
perikanan, status sosial nelayan, jumlah anggota keluarga nelayan, serta kedekatan
nelayan dengan budaya pekerjaan tertentu.

Analisis:
Hasil penelitian sudah sesuai dengan tujuan penelitan yang dilakukan, yaitu menjelaskan
dampak perubahan iklim dan strategi adaptasi-ekonomi yang dilakukan nelayan.
Penelitian ini pun dilengkapi dengan jumlah responden dan informan, tidak hanya
populasi penelitian. Hasil dari penelitian ini memberikan tambahan pengetahuan terkait
adaptasi serta strategi ekonomi yang dilakukan nelayan saat tidak dapat melaut akibat
perubahan iklim. Penelitian ini didominasi dengan penelitian kualitatif, sehingga data
kuantitatif yang mungkin ditemukan saat penelitian tidak terlalu menonjol karena hasil
yang diinterpretasikan cenderung berdasarkan pendapat responden/informan dan studi
literatur.

8. Judul : Struktur dan Pola Hubungan Sosial


Ekonomi Juragan dengan Buruh di
Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa
Barat (Studi tentang Simbiosis antara
Juragan dengan Nelayan Buruh di
Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon
Kabupaten Subang)
16

Tahun : 2008
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Dety Sukmawati
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Jurnal Kependudukan Padjadjaran
Volume (edisi) : hal : 10 (1) : 50-63
Alamat URL : http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/
article/download/doc5/2438
Tanggal Unduh : 15 November 2015

Ringkasan
Menurut Mubyarto (1992), kondisi sosial ekonomi akan berdampak pada
perubahan pendapatan, kesempatan kerja, pola tenaga kerja dan sebagainya. Sebelum
membahas hasil penelitian, peneliti membagi jenis nelayan berdasarkan kedudukannya
menjadi dua yaitu juragan yang merupakan nelayan yang mempunyai alat - atat produksi
untuk menangkap ikan seperti perahu, serta nelayan buruh yaitu nelayan yang hanya
memiliki sumber daya jasa tenaga dan dimanfaatkan untuk bekerja sebagai buruh pada
pemilik perahu (juragan). Tujuan dari penelitian ini antara lain untuk mengidentifikasi
gambaran struktur sosial masyarakat nelayan di Daerah Pantura, jenis simbiosis yang
terjadi dalam hubungan sosial ekonomi juragan dengan nelayan buruh, jumlah
pendapatan rumah tangga nelayan buruh dan juragan, serta faktor-faktor apa saja yang
mendorong dan menarik nelayan buruh untuk bekerja pada juragan nelayan.
Berdasarkan analisis secara deskriptif, hasil penelitian mengategorikan kelompok
juragan menjadi juragan pengusaha, juragan kuli, juragan sebagai mata pencaharian
pokok dan juragan sebagai sambilan. Sedangkan struktur pekerja saat melaut dibagi
menjadi nahkoda, motoris, orang tengah dan koki. Setiap struktur pekerja tersebut
memiliki hak dan tanggungjawab masing-masing. Juragan berhak untuk memperoleh
hasil dari pekerjaan dengan kewajiban membayar upah dan memberikan ikatan pinjaman
kepada petani buruh. Petani buruh memperoleh haknya dan berkewajiban melakukan
pekerjaan sesuai arahan juragan. Dalam struktur stratifikasi sosial pada masyarakat
nelayan, juragan menempati posisi paling tinggi dan memegang peranan penting dalam
mengendalikan perekonomian nelayan.
Struktur stratifikasi masyarakat nelayan dibagi berdasarkan ciri-ciri yang
menggambarkan lapisan-lapisan tersebut. Pertama adalah juragan (lapisan 1 sampai 4)
yang merupakan lapisan elit yang memiliki cadangan pangan dan modal pengembangan
usaha. Lapisan ini mempunyai kesempatan berpendapat dan menyampaikan inisiatif.
Kedua adalah lapisan 5 dan 6 yang merupakan sekelompok orang dengan kemampuan
profesional dan hanya memiliki cadangan pangan saja. Penyampaian pendapat dan
inisiatif masih mudah dilakukan oleh lapisan ini sesuai kepentingan dan kesempatannya.
Terakhir, nelayan Buruh (lapisan 7) yaitu mereka yang tidak memiliki baik modal,
cadangan pangan serta pengembangan usaha. Mayoritas lapisan ini berada di bawah garis
kemiskinan. Status sosial yang berbeda tidak menimbulkan jarak sosial antar lapisan,
namun terkadang memengaruhi interaksi sosial mereka. Hasil identifikasi struktur sosial
masyarakat nelayan di daerah Pantura menunjukkan bahwa pada dasarnya, juragan dan
petani nelayan mempunyai hubungan yang saling membutuhkan dan melengkapi satu
dengan yang lain yaitu simbiosis mutualisme. Namun, jumlah nelayan buruh lebih besar
17

dan tingkat ketergantungan kepada juragan yang tinggi, maka jenis simbiosis yang terjadi
dalam hubungan sosial keduanya lebih mengarah pada simbiosis mutualisma yang lebih
lemah pada posisi nelayan buruh.
Berdasarkan penelitian, pendapatan yang diperoleh sebagian besar digunakan untuk
konsumsi. Terdapat kecenderungan dalam rumah tangga nelayan. Semakin tinggi
pendapatan suatu rumah tangga, maka semakin besar tingkat pengeluaran untuk
konsumsi. Namun, dalam penelitian menemukan fakta bahwa tidak semua masyarakat
nelayan dikatakan sebagai lapisan masyarakat yang miskin atau lapisan bawah. Rata-rata
nelayan yang dijadikan responden mempunyai tingkat pendapatan di atas Rp. 100.000,00
dalam satu kali waktu melaut hingga jutaan rupiah saat musim ikan. Namun, hasil
tangkapan yang tidak tetap serta mengandalkan keberuntungan, memengaruhi
pendapatan rumahtangga nelayan.
Hasil analisis secara deskriptif menjelaskan bahwa faktor pendorong meliputi
keberadaan status sosial yang dimiliki oleh petani nelayan. Kebutuhan hidup dan
sumberdaya manusia yang rendah menjadi faktor pendorong hubungan soisal keduanya.
Sistem kerabatan, baik saudara maupun sebagai anak buah dan keahlian yang dimiliki
oleh nelayan buruh juga menjadi faktor pendorong. Sebaliknya, faktor penarik meliputi
kesempatan kerja yang diberikan oleh juragan nelayan kepada nelayan buruh. Nelayan
buruh mempunyai motif ekonomi dengan melakukan pekerjaan dibawah perintah juragan
untuk memperoleh pendapatan guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Faktor penarik
nelayan buruh untuk bekerja pada juragan nelayan yang paling banyak adalah faktor
sistem upah, ikatan pinjaman dan pembagian hasil. Faktor penarik sistem upah, ikatan
pinjaman dan pembagian hasil tersebut merupakan aspek ekonomi yang mendasari
terjadinya hubungan sosial ekonomi juragan dengan nelayan buruh. Penelitian ini juga
menemukan beberapa alasan lain nelayan buruh bekerja pada juragan yaitu :
1. Adanya hak untuk ABK jika ada bantuan dari KUD, seperti dana paceklik.
2. Karena sudah lama bekeja dan telah diberi kepercayaan maka akan ada
kemungkinan untuk dapat memperoleh kedudukan yang lebih baik pada saat melaut
yaitu dari ABK menjadi nahkoda.
3. Masih mempunyai hutang pada juragan dan adanya kebutuhan bersama.

Analisis
Hasil penelitian sudah sesuai dengan tujuan penelitian. Identifikasi setiap tujuan
dijelaskan dengan sangat baik berdasarkan hasil wawancara dan observasi terhadap
aktivitas nelayan buruh dan juragan nelayan, serta literatur studi yang digunakan. Hasil
dari penelitian ini juga menemukan ciri-ciri yang menggambarkan lapisan-lapisan dalam
struktur stratifikasi masyarakat nelayan serta hubungan sosial yang terjalin antara juragan
dan nelayan burur, dan alasan-alasan nelayan buruh bekerja pada juragan selain faktor
pendorong dan faktor penarik yang memengaruhi hubungan keduanya.

9. Judul : Socio-economic status of fishermen and


different fishing gear used in Beki River,
Barpeta, Assam
Tahun : 2015
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
18

Nama Penulis : Gaurab Jyoti Kalita, Pradip Kumar


Sarma, Priyanuz Goswami, Srustidhar
Rout
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : Journal of entomology dan zoology studies
Volume (edisi) : hal : 3 (1) : 193-198
Alamat URL : http://www.entomoljournal.com/vol3Issu
e1/pdf/3-1-42.1.pdf
Tanggal Unduh : 29 November 2015

Ringkasan
Penelitian ini menjelaskan tentang kondisi sosial ekonomi nelayan di daerah sungai
Beki yang berkaitan dengan pendidikan, jenis nelayan, agama, usia jenis kelamin, jenis
alat tangkap yang digunakan, kondisi rumah tangga, serta hasil tangkapan ikan rata-rata
per hari. Berdasarkan hasil wawancara dengan 276 responden, peneliti menemukan
kualifikasi pendidikan nelayan di sungai Beki didominasi oleh nelayan yang tidak
berpendidikan sekitar 199 responden (72,10 persen) dan 71 responden (25,73 persen)
berpendidikan SD. Responden nelayan yang berada di sungai Beki 90,22 persen memiliki
status perkawinan. Berdasarkan studi profilistik,ditemukan bahwa komunitas muslim
mendominasi usaha perikanan di daerah sungai Beki sekitar 68,48 persen, sisanya
beragama hindu.Mayoritas nelayan berjenis kelamin laki-laki dan sekitar 2,90 persen
berjenis kelamin perempuan.
Dalam penelitian, nelayan dibagi menjadi dua jenis, yaitu mereka yang menangkap
ikan untuk konsumsi sehari-hari mereka sendiri dan orang yang tergabung dalam non-
masyarakat nelayan, tetapi bergantung pada bidang perikanan untuk mata pencaharian
mereka. Sebagian besar nelayan di sungai beki termasuk kategori jenis non-masyarakat
nelayan dengan persentasi 88,73 persen. Melalui survei profilistik ditemukan distribusi
usia nelayan dari sungai Beki antara lain 26,81 % responden kelompok usia antara 20-30
tahun , 49,28 % responden kelompok usia antara 31-40 tahun dan sisanya 23,91 % dari
responden kelompok usia antara 41-50 tahun, sehingga bisa dilihat bahwa distribusi usia
nelayan yang mendominasi di Sungai Beki termasuk kelompok usia 31-40 tahun.
Berdasarkan hasil survei dalam penelitian tersebut diketahui sumber pendapatan
lain di sungai Beki meliputi 52,17 % responden bekerja sebagai petani untuk
mendapatkan pendapatan di luar melaut, dan 47,83 % responden bekerja sebagai tenaga
kerja di bisnis penambangan pasir dan batu dari sungai Beki. Petani dan buruh penambang
pasir dan batu menjadi pilihan alternatif yang paling umum untuk nelayan dari daerah
sungai Beki. Sedangkan kondisi rumahtangga nelayan ditemukan bahwa 96,74 persen
responden memiliki kaccha ghar dan hanya 3,26 persen responden memiliki Pakka ghar.
Hal ini mencerminkan rumah tangga nelayan di daerah sungai Beki dalam kondisi sangat
miskin dan tidak mampu memenuhi kebutuhan hidup minimum seperti rumah yang baik
, air minum bersih, dll.
Rata-rata hasil tangkapan ikan harian nelayan sungai Beki 44,57 persen responden
menangkap sekitar 3-5 Kg ikan secara individu setiap hari, 47,83 persen responden
menangkap sekitar 6-8 Kg secara individu setiap hari dan sisanya menangkap sekitar 9-
10 Kg ikan secara individu setiap hari. Jenis alat tangkap yang digunakan nelayan sungai
Beki pun beragam. Sekitar 26.81% responden menggunakan cast nets, 24.28% responden
menggunakan scoop nets, 32.61% responden menggunakan gill nets, 6.15% responden
menggunakan berbagai jenis perangkap bambu tradisional dan 10,14 % responden
19

menggunakan berbagai jenis alat pancing, sehingga disimpulkan bahwa sebagian besar
nelayan menggunakan jaring untuk menangkap ikan di laut.
Data terkait alat tangkap yang digunakan nelayan sungai Beki diperoleh melalui
survei profilistik lapangan bersama nelayan setempat serta penjelasan terkait alat tangkap
tersebut dicatat dalam kuesioner yang relevan. Alat tangkap yang digunakan oleh nelayan
di sekitar sungai Beki terdiri dari dua jenis yaitu jaring, fishing lines dan perangkap bambu
tradisional. Jaring yang paling sering digunakan adalah cast net, scoop nets, dan gill nets.
Fishing lines dan perangkap bambu tradisional merupakan alat tangkap tradisional yang
biasa digunakan dalam perikanan tradisional. Fishing lines yang biasa digunakan adalah
nal boroshi dan sip boroshi. Sedangkan berbagai perangkap bambu tradisional yang
sering digunakan yaitu Chepa, Dingora, Polo, dan Kuk atau Khaloi.

Analisis
Penelitian ini memberikan informasi terkait kehidupan sosial-ekonomi nelayan sekitar
sungai Beki yang sebelumnya belum pernah didokumentasikan. Metodologi penelitian
yang digunakan berhasil menganalisis kasus yaitu metode deskriptif dan analisis. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekonomi nelayan di sekitar Sungai Beki termasuk
kategori rumah tangga miskin bahkan mereka tidak sepenuhnya terlibat dalam usaha
penangkapan ikan. Data terkait kondisi sosial ekonomi nelayan meliputi pendidikan, jenis
nelayan, agama, usia dan jenis kelamin, jenis alat tangkap yang digunakan, kondisi
rumahtangga, serta hasil tangkapan ikan rata-rata per hari dengan menggunakan
wawancara dan observasi lapang serta menggunakan pertanyaan struktur dan tidak
terstruktur yang ditujukan kepada kepala rumah tangga nelayan dianalisis dengan baik
oleh peneliti melalui tabel-tabel persentase yang disajikan secara kuantitatif.

10. Judul : Socio-economics status and adaptations of


purse seine fishermen in Bali coastal
village, Indonesia
Tahun : 2015
Jenis Pustaka : Jurnal
Bentuk Pustaka : Elektronik
Nama Penulis : Achmad Zamron
Nama Editor : -
Kota dan Nama Penerbit : -
Nama Jurnal : International Journal of Marine Science
Volume (edisi) : hal : 5, (20): 1-16
20

Alamat URL : http://biopublisher.ca/index.php/ijms/art


icle/viewFile/1671/1546
Tanggal Unduh : 17 Desember 2015

Ringkasan
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi sosial - ekonomi nelayan dan
strategi adaptasi mereka selama krisis ekonomi, mengidentifikasi masalah dalam
pengelolaan sumber daya ikan di Selat Bali dan mengevaluasi kebijakan pengelolaan
perikanan untuk manajemen Selat Bali. Penelitian ini menjelaskan status kondidi
sumberdaya di Selat Bali. Merta et al (2000) menyatakan bahwa kegiatan perikanan S.
Lemuru, spesies yang ditangkap di daerah pengambengan, berkembang pesat setelah
teknologi persue seine diperkenalkan pada tahun 1974 kepada nelayan di Selat Bali,
khususnya nelayan Banyuwangi (Jawa) dan Pengambengan (Bali). Produsen terbesar S.
lemuru berada di kabupaten Jembrana dan kabupaten Muncar dengan produksi rata-rata
49% (13,576.91 ton) dan 47% (13,099.65 ton), masing-masing dari total tangkapan di
Indonesia periode tahun 1999-2004.
Hasil penelitian berupa grafik menyajikan fluktuasi produksi ikan lemuru di
Jembrana yang mengalami penurunan drastis tahun 2009-2010 hingga 10.000 ton-15.000
ton. Stok ikan lemuru mengalami penurunan drastis hingga diasumsikan pertengahan
tahun 2011. Harga ikan lemuru di area produksi pun berbeda-beda dan relatif rendah
dikarenakan ada dua musim penangkapan ikan di Selat Bali. Rata-rata hasil tangkapan
pada musim timur adalah antara 10 sampai 50 ton. Sebaliknya rata-rata hasil tangkapan
hanya 5 sampai 10 ton pada musim hujan barat. Begitu pun, harga ikan lemuru yang dijual
ke pabrik-pabrik pengolahan ikan.
Dalam pembahasan, nelayan Pengambengan yang bekerja di kapal purse seine
dibagi menjadi beberapa tingkat, yaitu Kapten, tekniksi, dan awak kapal. Anggota kru
yang membawa ikan ke pasar pelelangan ikan dengan tangki ikan termasuk nelayan di
dalam kapal tersebut. Sedangkan nelayan Jembrana dibagi menjadi tiga jenis yaitu
nelayan full-time, nelayan paruh waktu (mayor) dan nelayan paruh waktu (minor). Grafik
menunjukkan bahwa nelayan full-time lebih sedikit jumlahnya daripadi nelayan paruh
waktu mayor dan paruh waktu minor.
Struktur perikanan purse seine sangat dipengaruhi oleh sistem bagi hasil.
Berdasarkan hasil wawancara dengan pemilik kapal dan manajer, biaya operasional
dikurangkan dari penghasilan nyata hasil tangkapan ikan (produksi) dan sisanya dibagi
menjadi dua bagian yang sama. Bagian pertama diberikan kepada pemilik kapal, dan
sisanya diberikan kepada kru termasuk kapten. Hasil tangkapan dibagi kepada semua
anggota awak. Pembagian dihitung menggunakan sistem poin saham berdasarkan tingkat
pekerjaan mereka atau posisi. Secara otomatis, hal itu menentukan pendapatan untuk
setiap anggota kru. Para nelayan biasanya tidak membawa pulang semua ikan, dan ada
beberapa orang yang menjual ikan ke pedagang atau kolektor. Selain itu sistem bagi hasil,
musim juga memengaruhi jumlah pendapatan nelayan.
Kehadiran jaring purse seine sejak tahun 1974 meningkatkan jumlah kepemilikan
kapal, serta penggunaan purse seine itu sendiri. Penggunaan jaring purse seine di
Pengambengan pun dilakukan dengan dua teknik. Teknik pertama, 'aktif' (lokal nama:
gadangan) ,melibatkan kapal nelayan yang secara aktif mencari kumpulan ikan dan teknik
kedua, 'pasif' (lokal nama: tangkauan), memancing menggunakan alat penerang (obor)
untuk menarik atau mengagregat ikan. Hilangnya kemampuan produksi perikanan utama
mungkin dikarenakan penggunaan teknologi tinggi, seperti pukat tas yang tidak mudah
untuk mengatur dan dianggap sumber daya mengancam (Garcia et al., 1999). Varjopuro
dkk. (2008) menyatakan bahwa krisis stok ikan dan kondisi yang merugikan dalam
21

ekosistem telah mendorong masyarakat untuk menunjukkan perhatian lebih bagi


ekosistem. Berikut analisis adaptasi nelayan kapal purse seine di pesisir Indonesia hingga
pertengahan tahun 2011 saat 80 persen nelayan tidak lagi menggunakan kapal purse seine
untuk melaut.

Tabel 2 Strategi yang Dilakukan oleh Aktor Usaha Perikanan


Aktor Bentuk Strategi
Istri  bekerja sebagai pengumpul ikan atau tengkulak untuk nelayan
Nelayan atau awak kapal purse seine, dan beberapa pekerjaan di pabrik
pengolahan ikan.
Nelayan kru  melakukan diversifikasi kegiatan mata pencaharian, namun tetap
Kapal tinggal berdekatan dengan daerah perikanan dan pesisir (Zamroni
Purse seine dan Masahiro, 2011a)
 pergi ke kota-kota besar seperti Denpasar atau daerah perkotaan
lainnya dan bekerja di industri konstruksi untuk penghasilan
tambahan guna memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.
 memasok bahan baku untuk pabrik ikan rebus dan pabrik
pengolahan ikan
 mengandalkan upah minimal (upah harian + upah tambahan
(nama lokal: gacokan) + uang makan (nama lokal: lawuhan) =
total pendapatan per orang)
 menjual aset seperti sepeda motor atau emas
Pedagang  membeli ikan dari daerah lain di Jawa dan kemudian menjualnya
ikan di Bali
 menjual aset seperti sepeda motor atau emas
Pabrik  mempertahankan produksi dengan mengimpor bahan baku dari
pengolahan luar negeri seperti India
ikan
Pemilik  menjual barang-barang berharga, seperti sepeda motor, mobil,
kapal kapal atau emas, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Berdasarkan hasil penelitian, masalah dan tantangan dalam mengendalikan dan


mengelola sumber daya ikan di Selat Bali antara lain:
1. Jaringan pemerintahan yang cenderung mengikis komando dan kontrol tradisional
otoritas pemerintah formal dan meningkatkan biaya transaksi (Gibbs, 2008;
Grafton, 2007).
2. Pemerintah menghentikan atau melarang pembangunan kapal baru dan tidak
mengeluarkan izin baru untuk pengoperasian kapal nelayan dan alat tangkap purse
seine.
3. Para nelayan masih menggunakan kapal purse seine dan menyimpang dari
peraturan.
4. Seharusnya Propinsi Bali dan Jawa Timur secara bersama-sama bertanggung jawab
untuk pengelolaan stok ikan lemuru S. untuk mengatur penggunaan dan eksploitasi
di Selat Bali.
5. Lembaga-lembaga yang terlibat dalam pengelolaan perikanan di Selat Bali telah
ditetapkan dan masyarakat bersedia mengawasi untuk membantu pemantauan dan
pencegahan konflik
Peneliti mengutip Suárez de Viveroa dkk. (2008) yang memperingatkan bahwa
efektivitas yang lebih besar, kapasitas dan legitimasi dalam pelaksanaan keputusan yang
memengaruhi sektor dan mata pencaharian yang bergantung pada sektor perikanan tetap
22

ingin dicapai. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perjanjian antara dua provinsi selama
33 tahun terakhir tidak efektif mendukung untuk pengelolaan perikanan di Selat Bali.
Selain itu, penegakan hukum terhadap pelanggaran dianggap sebagai salah satu faktor
utama yang membuat miskinnya pengelolaan perikanan di Selat Bali.

Analisis
Hasil penelitian sudah berkorelasi dengan tujuan penelitian. Data-data yang didapatkan
dari 30 nelayan menggunakan kuesioner terstruktur dan semi-terstruktur, serta data
statistik dan laporan dari studi sebelumnya, cukup menjelaskan poin-poin sub bab
pembahasan. Penggunaan analisis deskriptif, analisis komparatif dan analisis isi kualitatif
melengkapi interpretasi hasil penelitian yang dilakukan. Selain itu, hasil penelitian
menambah wawasan terkait pendapatan antara nelayan yang sangat bervariasi, meskipun
nelayan melakukan strategi nafkah non perikanan, serta fakta bahwa pengelolaan
perikanan tidak memberikan kontribusi pada sumber daya perikanan yang berkelanjutan
dan menguntungkan nelayan terutama di dua provinsi dalam penelitian tersebut.

RANGKUMAN DAN PEMBAHASAN

Pelarangan Penggunaan Cantrang


Peraturan
Sektor perikanan yang bersifat sumberdaya terbarukan sering dihadapkan dengan
permalahan atas hak kepemilikan. Berbeda dengan sawah pertanian, zonasi atau batas-
batas wilayah perairan laut Indonesia tidak dapat dengan mudah dibedakan kecuali
menggunakan sistem navigasi yang lengkap. Ketidakjelasan batas-batas wilayah yang
menimbulkan fenomena akses terbuka yang tidak dapat dihindari. Sebelumnya,
pemerintah dalam pasal 1 Peraturan menteri kelautan dan perikanan No 57/PERMEN
KP/2014 menjelaskan bahwa usaha perikanan merupakan kegiatan yang dilaksanakan
dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi praproduksi, produksi, pengolahan, dan
pemasaran. Sementara, usaha perikanan tangkap adalah usaha perikanan yang berbasis
23

pada kegiatan penangkapan ikan dan/atau kegiatan pengangkutan ikan. Pihak-pihak yang
terkait dalam kegiatan tersebut sering kali melakukan ekstrasi sumberdaya ikan yang
berlebihan dan melebihi kapasitas, sehingga menyebabkan penurunan kemampuan
produksi sumberdaya tersebut. Penurunan kemampuan produksi ikan atau krisis
perikanan bersumber pada buruknya pengelolaan perikanan dilihat dari kejadian
overcapacity dan destruksi habitat.
Sejarah perkembangan sektor perikanan dimulai sejak tahun 1970, dimana armada
perikanan dunia berkembang pesat daripada produksi perikanan dan mengakibatkan
penurunan produksi sumberdaya ikan, seperti pada kasus ikan lemuru di selat Bali (Fauzi
2005; Zamron 2015). Terlihat bahwa semakin banyak jumlah armada perikanan, tingkat
kompetisi mengalami peningkatan dan semakin tinggi laju ekstraksi sumberdaya ikan.
Hal tersebut membuat semakin rendahnya kemampuan produksi perikanan yang dapat
dihasilkan. Fauzi (2005) menyatakan bahwa permasalahan perikanan dan
penyelesaiaannya di Indonesia dapat dilihat melalui dua faktor umum, yaitu bagaimana
penanganan sumberdaya seperti pendugaan stok, penilai terhadap stok dan bagaimana
penanganan “input” yang digunakan untuk memperoleh atau mengelola sumberdaya,
dalam hal ini sistem kapital, nelayan dan pendukkung lainnya. Masalah sumberdaya ikan
merupakan masalah manusia meliputi konteks politik, sosial, dan sistem ekonomi yang
berbeda dan selalu timbul terus-menerus di berbagai tempat (Ludwig et. al., 1993 dalam
Fauzi 2005).
Permasalahan sektor perikanan seperti rusaknya ekosistem perairan, terjadi di
negara-negara berkembang, khususnya Asia Tenggara, seperti Indonesia dan Thailand.
Hal tersebut dikarenakan masih lemahnya pengawasan terhadap praktik-praktik
penangkapan ikan dan tingkat kemiskinan yang relatif tinggi di wilayah pesisir (Fauzi
2005). Namun, melihat kondisi dan permasalahan sektor perikanan yang terjadi,
pemerintah Indonesia telah mengeluarkan beberapa peraturan dalam upaya kelestarian
dan ketersediaan sumberdaya ikan yang berada di wilayah perairan negara republik
Indonesia, serta pelarangan-pelarangan praktik penangkapan ikan yang dapat merusak
ekosistem laut. Kerusakan ekosistem dan ancaman sumberdaya ikan lestari yang terjadi
pada tahun 1980, mendorong pemerintah untuk mengeluarkan peraturan terkait
penghapusan jaring trawl dan PERMEN Nomor 2 tahun 2015 tentang larangan
penggunaan alat penangkapan pukat hela dan pukat tarik,

Tabel 3 Peraturan Perundangan Tentang Usaha Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan
Peraturan Bahasan
Keputusan presiden No 39 Penghapusan jaring trawl dilakukan secara bertahap
tahun 1980 dengan mengurangi jumlah penggunaan jaring trawl
dalam upaya meningkatkan produksi nelayan kecil
dengan meminimalisasi kerusakan ekosistem dan
mengurangi konflik nelayan yang terjadi saat itu.
UU 31 tahun 2004 tentang Penentuan input maupun output untuk mendukung
perikanan pengelolaan perikanan dijabarkan seperti jumlah
tangkapan yang diperbolehkan dan jumlah, jenis,
dan ukuran alat tangkap. Pihak yang melakukan
kegiatan perikanan di wilayah perairan Indonesia
dilarang menggunakan alat tangkap yang dilarang
24

dan dapat merusak ekosistem serta mengancam


sumberdaya ikan.
UU 45 tahun 2009 junto UU Revisi untuk mengantisipasi perkenbangan teknologi
31 tahun 2004 tentang dan hukum yang diterapkan dalam pengelolaan
perikanan sumberdaya ikan.
PP No 60 tahun 2007 tentang Konservasi sumberdaya ikan dikaji dan dilihat
Konservasi Sumberdaya Ikan berdasarkan ketentuan-ketentuan terkait konservasi
ekosistem dan konservasi jenis ikan.
Permen KP No 57 tahun 2014 Ketentuan terkait jenis usaha perikanan tangkap,
junto Permen KP No 30 tahun perizinan yang berlaku, pemeriksaan fisik kapal
2012 tentang Usaha perikanan penangkapan dan pengangkutan ikan, daerah
tangkap di wilayah penangkapan dan pelabuhan pangkalan, serta
pengelolaan perikanan negara pengawasan dan pelaporan kegiatan usaha perikanan
republik Indonesia yang dilakukan di wilayah perairan RI dengan
beberapa pasal yang direvisi untuk mewujudkan
pengelolaan yang bertanggung jawab dan
menanggulangi IUU-Fishing.
Permen KP No 2 tahun 2015 Penjelasan Untuk mengatasi permasalahan terkait
tentang larangan penggunaan kerusakan ekosistem laut yang mengakibatkan
alat penangkapan ikan pukat jumlah produksi sumberdaya ikan menurun, serta
hela (trawls) dan pukat tarik konflik yang terjadi antara nelayn tradisional dan
(seine nets) di wilayah nelayan kecil terkait perebutan daerah penangkapan
pengelolaan perikanan Negara serta penggunaan alat tangkap yang merugikan salah
Republik Indonesia satu pihak, pemerintah menetapkan larangan
penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela
(trawls) dan pukat tarik (seine nets) di wilayah
pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia
disertakan jenis-jenis berdasarkan nama lokal yang
dikenal masyarakat.

Alat Penangkapan Ikan


Penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak
dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang
menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan,
menangani, mengolah, dan/atau mengawetkannya (Pasal 1 Permen KP No 57 tahun
2014). Kegiatan ini dilakukan dengan menggunakan alat tangkap yang merupakan sarana
dan perlengkapan atau benda-benda lainnya yang digunakan untuk menangkap ikan
(Pasal 1 Permen KP No 57 tahun 2014). Ada berbagai jenis alat penangkapan ikan baik
yang masih tradisional maupun yang sudah mengalami modifikasi (modernisasi) (Kalita
et al 2015; Yapanani et al 2013; Aji et al 2013; Ermawati dan Zuliyati 2015).
Nelayan menggunakan berbagai alat tangkap untuk meningkatkan produktivitasnya
(Yapanani et al 2013, Zamron 2015, Kalita et al 2015, Sukmawati 2008). Salah satu alat
tangkap yang dilarang dalam permen KP No 2 tahun 2015 adalah alat penangkapan ikan
Cantrang. Mayoritas nelayan di pantai utara Jawa menggunakan cantrang yang
merupakan alat tangkap tradisional di beberapa wilayah pantai utara Jawa. Kredit dan
subsidi yang diberikan pemerintah membuat motorisasi sektor perikanan oleh nelayan
berkembang pesat dengan bertambahnya jumlah armada serta alat tangkap perikanan
(Fauzi 2005; Aji et al 2013; Zamron 2015). Hal tersebut terjadi di Selat Bali, dimana
sebagian besar nelayannya menggunakan kapal purse seine untuk melakukan kegiatan
penangkapan ikan lemuru. Teknologi yang berkembang pesat mulai dari tahun 1970-an,
25

mengakibatkan penurunan produksi ikan lemuru secara drastis di Selat Bali pada tahun
2009-2011. Hilangnya kemampuan produksi perikanan utama tersebut dikarenakan
penggunaan teknologi tinggi mengancam ekosistem (Garzia et al 1999 dalam Zamron
2015; fauzi 2005).

Tabel 4 Alat Penangkapan Ikan yang Dilarang dalam Peraturan Menteri Perikanan dan
Kelautan Nomor 2/PERMEN KP/2015
Pukat Hela Pukat Tarik
Pukat hela dasar (bottom trawls) Pukat tarik pantai (beach
a. pukat hela dasar berpalang (beam trawls); seines)
b. pukat hela dasar berpapan (otter trawls); Pukat tarik berkapal, terdiri
c. pukat hela dasar dua kapal (pair trawls); atas:
a. dogol (danish seines);
d. nephrops trawls;
b. scottish seines;
e. pukat hela dasar udang (shrimp trawls),
c. pair seines;
berupa pukat udang.
d. payang;
Pukat hela pertengahan (midwater trawls) e. cantrang;
a. pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), f. lampara dasar
berupa pukat ikan;
b. pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls);
c. pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls).

Pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls)


Pukat dorong

Karakteristik Nelayan
Indonesia terdiri lebih dari 17.500 pulau-pulau dan garis pantai sepanjang 82.600
kilometer. Luasnya wilayah laut Indonesia menjadi sumber utama mata pencaharian bagi
masyarakat pesisir. Masyarakat pesisir adalah sekumpulan masyarakat yang hidup
bersama-sama mendiami wilayah pesisir membentuk dan memiliki kebudayaan yang
khas terkait dengan ketergantungannya pada pemanfaatan sumberdaya pesisir (Satria
2009). Masyarakat pesisir tidak hanya nelayan, melainkan pembudidaya ikan, pengolah
ikan, bahkan pedagang ikan. Berdasarkan UU No 31 tahun 2004 Pasal 1 nelayan dibagi
menjadi dua, yaitu nelayan dan nelayan kecil. Nelayan adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan. (Pasal 1 UU No 31 tahun 2004)
Sedangkan, nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan
penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari (Pasal 1 UU No 31 tahun
2004). Pembudidaya ikan, pengolah ikan, pedagang ikan, pembuat jaring, pengangkut
alat perlengkapan ke kapal tidak termasuk dalam kategori nelayan. Nelayan adalah orang
yang secara aktif melakukan pekerjaan dalam penangkapan ikan (Ditjen Perikanan 2000
dalam Satria 2015). Zamron (2015) dalam penelitiannya terkait kehidupan sosial ekonomi
nelayan kapal purse seine menemukan tiga jenis nelayan di Jembrana yaitu nelayan
penuh, nelayan paruh waktu (mayor) dan nelayan paruh waktu (minor). Tingkatan
nelayan kapal purse seine Pengambengan pun dibagi menjadi tiga, yaitu nahkoda,
motoris, dan awak kapal (ABK). Berikut klasifikasi nelayan berdasarkan waktu
melakukan pekerjaan operasi penangkapan menurut Ditjen Perikanan (2000) dalam Satria
(2015).
26

Tabel 5 Klasifikasi Nelayan Berdasarkan Waktu Melakukan Pekerjaan Operasi


Penangkapan/Pemeliharaan
Klasifikasi Nelayan Penjelasan
Nelayan/petani ikan penuh Nelayan/petani ikan yang seluruh waktu kerjanya
digunakan untuk melakukan pekerjaan operasi
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air
Nelayan/petani ikan sambilan Nelayan/petani ikan yang sebagian besar waktu
utama (mayor) kerjanya digunakan untuk melakukan pekerjaan
operasi penangkapan/pemeliharaan ikanbinatang air
lainnya/tanaman air, namun memiliki pekerjaan lain
Nelayan/petani ikan sambilan Nelayan/petani ikan yang sebagian kecil waktu
tambahan (minor) kerjanya digunakan untuk melakukan
penangkapan/pemeliharaan ikan/binatang air
lainnya/tanaman air

Sumber: Ditjen Perikanan (2000) dalam Satria (2015), Zamron (2015)

Nelayan kecil berdasarkan UU No 45 tahun 2009 junto UU No 31 tahun 2004,


diperjelas sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk
memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari yang menggunakan kapal perikanan berukuran
paling besar 5 (lima) gross ton (GT). Pollnac (1998) dalam Satria (2015) membedakan
nelayan menjadi dua kelompok antara lain nelayan besar (large scala fisherman) dan
nelayan kecil. Kemudian dikembangkan menjadi empat tingkatan golongan nelayan
berdasarkan kapasitas teknologi, orientasi pasar, dan karakteristik hubungan produksi
(Satria 2015).

Tabel 6 Tingkatan Nelayan Berdasarkan Kapasitas Teknologi, Orientasi Pasar, dan


Karakteristik Hubungan Produksi
Kapasitas Orientasi Karakteristik Hubungan
Tingkatan
Teknologi Pasar Produksi
Peasant-fisher kecil, masih Pemenuhan masih menggunakan
menggunakan alat kebutuhan anggota keluarga sebagai
tangkap sendiri tenaga kerja utama
tradisional (subsistensi)
dayung/sampan
tidak bermotor
Post-peasant Sedang, sudah Subsistensi, Tenaga kerja/ABK tidak
fisher
Lanjutan Tabel 6 Tingkatan Nelayan Berdasarkan Kapasitas Teknologi, Orientasi Pasar,
dan Karakteristik Hubungan Produksi
Kapasitas Orientasi Karakteristik Hubungan
Tingkatan
Teknologi Pasar Produksi
menggunakan mulai bergantung lagi pada
motor berorientasi anggota keluarga
tempel/kapal pasar
motor (memperoleh
surplus)
Commercial fisher besar, teknologi Surplus, Ada status yang berbeda
lebih modern pasar (buruh hingga manajemen)
27

(membutuhkan domestik,
keahlian dalam ekspor
pengoperasian (Satria 2001
kapal/alat dalam Satria
tangkap) 2015)
Industrial fisher besar Profit Buruh nelayan sebagai
oriented, ABK, pemilik kapal, awak
ekspor perahu.

Sumber: Satria (2015)

Karakteristik sosial-ekonomi nelayan


Masyarakat pesisir sering disebut sebagai kelompok yang marjinal, dikarenakan
kondisi masyarakatnya yang miskin di tengah kawasan sumberdaya yang melimpah.
Kemiskinan yang membelenggu masyarakat pesisir diakibatkan kondisi struktural yang
tidak kondusif baik struktur sosial, struktur ekonomi, dan struktur politik seperti
missmanagement dalam pengelolaan sumberdaya perikanan (Satria 2004, Fauzi 2005).
Masyarakat nelayan merupakan salah satu golongan masyarakat yang dianggap miskin
secara absolut, bahkan paling miskin diantara penduduk miskin, seperti dalam kasus
nelayan artisanal di pantai Utara Jawa Barat. (Mukflihati 2010 dalam Prihandoko et al
2011; Prihandoko et al 2011). Karakteristik masyarakat pesisir berdasarkan Satria (2015)
dan Satria (2002) dalam Pranata (2014) direpresentasikan melalui beberapa aspek, antara
lain:
1. Sistem Pengetahuan: pengetahuan tentang teknik penangkapan ikan ayng diperoleh
secara turun-temurun berdasarkan pengalaman empiris. Terjaminnya kelangsungan
hidup disebabkan oleh kuatnya pengetahuan lokal tersebut.
2. Sistem kepercayaan: kepercayaan bahwa laut memiliki kekuatan magis masih
dimiliki oleh nelayan secara teologis, sehingga ritual khusus sering dilakukan dalam
melakukan kegiatan penangkapan ikan untuk menjamin keselamatan dan hasil
tangkapan.
3. Peran perempuan: istri nelayan tidak hanya mengerjakan urusan rumah tangga,
melainkan ikut serta dalam kegiatan ekonomi perikanan seperti kegiatan
penangkapan di perairan dangkal, pengolahan ikan, serta kegiatan jasa dan
perdagangan.
4. Posisi Sosial Nelayan: secara kultural dan struktural, nelayan memiliki status yang
relatif rendah. Hal tersebut dikarenakan keterasingan nelayan, dimana masayrakat
non nelayan tidak mengetahui dunia nelayan yang sebenarnya, serta sedikitnya
waktu interaksi sosial yang dimiliki nelayan. Alokasi waktu lebih banyak
digunakan untuk kegiatan penangkapan ikan daripada bersosialisasi dengan
masyarakat nonnelayan.
5. Stratifikasi sosial: bentuk stratifikasi sosial masyarakat pesisir ditunjukkan dengan
semakin bertambahnya jumlah posisi sosial atau jenis pekerjaan yang bersifat
horizontal maupun vertikal dan berjenjang berdasarkan ukuran ekonomi, prestise
dan kekuasaan.
6. Struktur sosial: struktur yang terbentuk dalam hubungan produksi pada usaha
perikanan, perikanan tangkap maupun budidaya dicirikan dengan kuatnya ikatan
patron-klien.
Berbagai penelitian pun dilakukan untuk mengetahui kondisi sosial-ekonomi yang
dialami oleh masyarakat nelayan di wilayah pesisir seperti penelitian yang dilakukan di
Desa Aromarea Distrik Kosiwo, Kabupaten Sarui, Kepulauan Yapen, Papua. Pada hasil
28

penelitian yang dilakukan Yapanani et al (2013) ditemukan bahwa hasil tangkapan ikan
menguntungkan nelayan dan berpengaruh pada tingkat kesejahteraan nelayan, seperti
nelayan dapat mengembalikan modal usaha dalam waktu kurang dari 2 bulan. Namun,
tingkat teknologi serta tingkat pendidikan yang dimiliki masih tergolong rendah. Tingkat
pendidikan yang rendah tidak menyulitkan nelayan dalam penguasaan teknik-teknik
kegiatan penangkapan ikan, sehingga tidak menghambat berjalannya kegiatan tersebut,
seperti penelitian terkait nelayan di pantai utara Jawa Barat dan nelayan kota Tegal
(Prihandoko et al 2011; Yapanani et al 2013;Sudarmo et al 2015). Kondisi sosial-
ekonomi nelayan dapat dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 7 Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan


Aspek Bentuk Penjelasan
Sosial  Hubungan sosial  Ikatan patron-klien yang kuat,
contohnya hubungan yang saling
membutuhkan dan melengkapi satu
dengan yang lain antara juragan dan
nelayan buruh (Satria 2015;
Sukmawati 2008)
 Peminjaman uang kepada lembaga
keuangan formal atau informal
(kerabat), berhutang ke warung
terdekat, pemanfaatan program anti
kemiskinan, dan peminjaman ke
rentenir atau bank (Sunarti 2009
dalam Pranata 2014; Nongmaithem
dan Ngangbam 2014)
 Organisasi kerja  Nelayan juragan yang mempunyai alat
- atat produksi untuk menangkap ikan
dan dikerjakan orang lain, nelayan
buruh yang bekerja dengan alat
produksi milik orang lain, nelayan
perorangan yang memiliki alat
produksi sendiri dan mengoperasikan
sendiri (Mulyadi 2007 dalam pranata
2014; Sukmawati 2008)
 Spesifikasi kerja meliputi nahkoda,
motoris, dan awak kapal (ABK)
(Satria 2015; Zamron 2015)

Lanjutan Tabel 7 Kondisi Sosial-Ekonomi Nelayan


Aspek Bentuk Penjelasan
 Migrasi  Keputusan untuk pindah dilakukan bila
lokasi memengaruhi pendapatan rumah
tangga (Sudarmo et al 2015)
 Migrasi permanen tidak terjadi bila
sumberdaya cukup untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya dan keluarga
(Sudarmo et al 2015)
29

 Tingkat pendidikan  Tingkat pendidikan masih rendah,


didominasi oleh nelayan yang tidak
tamat sekolah maupun hanya tamat SD
(Kalita et al 2015; Sudarmo et al 2015;
Yapanani et al 2013)
 Tingkat kemampuan rendah (Sudarmo et
al 2015)
 Strategi nafkah  Diversifikasi kerja (penganekaragaman
pendapatan) saat tidak musim ikan
(Zamron 2015; Patriana dan Satria 2013;
Helmi dan Satria 2012)
 Peran serta istri nelayan dan anak-
anaknya dalam kegiatan usaha perikanan
(Zamron 2015; Helmi dan Satria 2012)
Ekonomi  Pendapatan  Pendapatan nelayan rata-rata di bawah
upah minimum regional (UMR)
(Sudarmo et al 2015; Sukmawati 2008)
 Pendapatan dipengaruhi hasil perikanan
maupun non perikanan (Kalita et al
2015; Sudarmo et al 2015; Zamron 2015;
Ermawati dan Zuliyati 2015; ; Yapanani
et al 2013; Sukmawati 2008)
 Alat produksi  Alat produksi modern digunakan untuk
meningkatkan hasil tangkapan (Zamron
2015; Satria 2015; Herdian 2003 dalam
Pranata 2014)
 Modifikasi alat tangkap sesuai kondisi
perairan (Kalita et al 2015; Ermawati dan
Zuliyati 2015; Sihombing 2003 dalam
Pranata 2014; Nongmaithem dan
Ngangbam 2014; Helmi dan Satria 2012)
 Proporsi  Pengeluaran digunakan lebih banyak
pengeluaran untuk konsumsi makanan (Sudarmo et al
2015; Pancasasti 2008 dalam Pranata
2014; Nongmaithem 2014 )

Dampak Pelarangan Penggunaan Cantrang


Pelarangan penggunaan alat tangkap trawl oleh nelayan, khususnya alat tangkap
cantrang, berdampak bagi kehidupan nelayan sehari-hari dalam melakukan kegiatan
penangkapan ikan mulai dari aspek ekologis, sosial, maupun ekonomi (Ermawati dan
Zuliyati 2015; Yapanani et al 2013; Aji et al 2013; Kalita et al 2015). Sejak diperkenalkan
kepada nelayan-nelayan pesisir Indonesia, khususnya wilayah Pantai Utara Jawa dan
Selat Bali pada tahun 1970-an, trawl mulai berkembang pesat dan memengaruhi
kehidupan sosial-ekonomi nelayan tradisional.hingga saat ini (Satria 2015, Zamron
2015). Hal itu merupakan salah satu modernisasi perikanan untuk meningkatkan produksi
perikanan (Satria 2015). Akibat penggunaan trawl, kompetisi antara nelayan tradisional
30

dengan nelayan modern tidak dapat dihindari dan akhirnya menimbulkan konflik antar
nelayan (Satria 2015; Annisa et al 2009; Dahuri 2003). Konflik terjadi dikarenakan
perebutan wilayah penangkapan ikan maupun penggunaan alat tangkap yang merugikan
pihak lain. Perebutan wilayan penangkapan ikan terjadi karena nelayan pengguna
cantrang cenderung memperluas daerah tangkapan apabila hasil tangkapan yang
diperoleh masih rendah dan mengambil sumberdaya ikan di daerah penangkapan nelayan
tradisional. Kegiatan penangkapan ikan dengan alat tangkap trawl mengakibatkan
rusaknya ekosistem terumbu karang yang merupakan tempat pemijahan ikan akibat
penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan (Dahuri 2003; Satria 2015;
Zamron 2015) dan berdampak pada rendahnya hasil produksi ikan yang didapatkan oleh
nelayan.
Kerusakan sumberdaya hayati pesisir terjadi pada tahun 1980, yang membuat
pemerintah mengeluarkan Keppres No 39 Tahun 1980 tentang penghapusan jaring trawl.
Namun, penghapusan trawl serta pelarangannya, membuat nelayan pengguna trawl
mengubah teknologi penangkapan menjadi kapal purse seine (Satria 2015). Nelayan pun
banyak melakukan modifikasi pada alat penangkapan ikan guna memperlancar kegiatan
penangkapan ikan (Sihombing 2003 dalam Pranata 2014; Nongmaithem 2014; Kalita et
al 2015; Ermawati dan Zuliyati 2015), sehingga banyak jaring-jaring penangkapan ikan
dengan nama lokal yang telah dimodifikasi agar tidak seperti trawl, namun memiliki
fungsi dan cara kerja yang tidak jauh berbeda. Mayoritas nelayan di pantai utara jawa
menggunakan alat tangkap cantrang sebagai alat tangkap tradisional yang tidak merusak
ekosistem dan tidak bersifat eksploitati (Satria 2001 dalam Satria 2015; Ermawati dan
Zuliyati 2015). Tidak berbeda dengan penggunaan trawl, penggunaan cantrang juga
menimbulkan konflik antar nelayan dan kerusakan ekosistem. Oleh karena itu,
dikerularkan peraturan dari kementrian kelautan dan perikanan PERMEN Nomor 2 tahun
2015 tentang larangan penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat
tarik (seine nets) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Pemerintah menerapkan
pelarangan penggunaan cantrang karena alat tangkap cantrang dan pukat merusak
ekosistem terumbu karang di perairan beradius 4-12 mil dari pantai dan mata jaring pukat
yang rapat dapat menangkap seluruh jenis ikan baik target maupun yang bukan target
penangkapan
Beberapa penelitian telah menunjukkan dampak yang terjadi akibat penggunaan
alat tangkap ikan, khususnya cantrang. Pelarangan penggunaan cantrang akan berdampak
negatif bagi nelayan pengguna cantrang. Sebaliknya, nelayan tradisional yang tidak
menggunakan cantrang akan merasakan dampak positif dari pelarangan tersebut. Dampak
pelarangan cantrang dikategorikan berdasarkan aspek ekonomi, sosial, dan ekologi.
Pengkategorian tersebut dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 8 Dampak Pelarangan Cantrang Berdasarkan Aspek Sosial, Ekonomi, dan Ekologis
Aspek Dampak yang ditimbulkan
Ekonomi  Hasil tangkapan ikan nelayan cantrang menurun (Satria
2015; Zamron 2015; Kalita et al 2015; Aji et al 2013;
Yapanani et al 2013)
 Hasil tangkapan ikan nelayan non cantrang meningkat
(Kalita et al 2015; Zamron 2015; Nurhayati 2012)
 Pendapatan nelayan cantrang menurun (Satria 2015;
Kalita et al 2015; Sudarmo et al 2015; Zamron 2015;
31

Ermawati dan Zuliyati 2015; Yapanani et al 2013;


Sukmawati 2008)
 Pendapatan nelayan non cantrang meningkat (Kalita et
al 2015; Zamron 2015; Nurhayati 2012)
 Alat tangkap cantrang diganti menjadi alat tangkap ikan
yang ramah lingkungan (Nurhayati 2012)
Sosial  Hubungan sosial nelayan pengguna cantrang dengan
masyarakat sekitarnya berubah (Sukmawati 2008; Helmi
dan Satria 2012)
 Tingkat kesejahteraan nelayan cantrang menurun (Kalita
et al 2015; Yapanani et al 2013)
 Kemampuan menggunakan teknologi alat penangkapan
ramah lingkungan rendah (Kalita et al 2015; Sudarmo et
al 2015; Yapanani et al 2013)
 Organisasi kerja dalam usaha penangkapan ikan dengan
cantrang berubah (Satria 2015, Kusumawati et al 2010)
 Strategi nafkah rumah tangga nelayan cantrang berubah
(Zamron 2015, Helmi dan Satria 2012)
 Sistem pola bagi hasil nelayan cantrang berubah (Satria
2015; Sukmawati 2008)
 Konflik antar kelas maupun inter kelas nelayan terkait
penggunaan cantrang berkurang(Satria 2015; Annisa et
al 2009)
Ekologi  Sumberdaya hayati pesisir seperti ekosistem terumbu
karang sebagai spouning ground ikan serta ekosistem
laut dan pesisir lainnya dapat diminimalisasi
kerusakannya (Satria 2015; Zamron 2015; Budiastuti
2011)
 Degradasi fisik ekosistem perairan yang lebih parah
dapat dicegah (Dahuri 2003)
 Jumlah produksi ikan dapat dikontrol (Zamron 2015;
Satria 2015)

SIMPULAN

Hasil Pembahasan dan Rangkuman

Berdasarkan pemaparan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa


penggunaan alat penangkapan ikan sangat berpengaruh bagi kesejahteraan nelayan
disebabkan pengoperasian alat tangkap memengaruhi hasil tangkapan ikan yang
diperoleh nelayan. Pemerintah telah mengeluarkan beberapa peraturan yang mengatur
penggunaan alat tangkap ikan sebagai input usaha perikanan, salah satunya penerbitan
PERMEN Nomor 2 Tahun 2015 oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tentang larangan
penggunaan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan pukat tarik (seine nets) di
32

wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia yang menuai pro kontra di
kalangan nelayan pengguna cantrang. Sebelumnya, pemerintah pernah mengeluarkan
peraturan terkait penghapusan trawls tahun 1980. Namun, peraturan tersebut tidak
berjalan dengan efektif karena kurang ketegasan dari pemerintah untuk mencabut
perizinan usaha perikanan dan pengoperasian kapal yang menggunakan alat penangkapan
ikan yang dilarang. Adanya peraturan PERMEN Nomor 2 Tahun 2015 menimbulkan
dampak bagi kehidupan sosial-ekonomi nelayan cantrang serta dampak ekologis apabila
pelarangan cantrang berlaku dengan efektif.
Pada aspek ekonomi, pelarangan cantrang berdampak negatif terhadap kehidupan
nelayan pengguna cantrang. Pelarangan cantrang akan mengakibatkan penurunan tingkat
pendapatan nelayan cantrang. Tingkat pendapatan yang rendah akan memengaruhi
tingkat kesejahteraan nelayan yang sebagian besar memiliki pendapatan di bawah UMR.
Selain tingkat pendapatan, dampak pelarangan cantrang akan menimbulkan perubahan
alat penangkapan ikan sehingga hasil tangkapan ikan nelayan cantrang tidak dapat
diprediksikan dan cenderung mengalami penurunan. Sebaliknya, nelayan yang tidak
menggunakan cantrang akan diuntungkan dengan adanya peraturan pelarangan tersebut.
Tingkat pendapatan dan hasil tangkapan ikan akan meningkat bagi nelayan non cantrang,
dikarenakan kegiatan perikanan mereka tidak terganggu oleh aktibitas nelayang
pengguna cantrang.
Dampak sosial pelarangan cantrang akan memengaruhi perubahan hubungan sosial
nelayan pengguna cantrang dengan pihak-pihak yang terkait dalam usaha perikanan.
Penggantian alat tangkap selain cantrang akan memengaruhi tingkat kemampuan nelayan
untuk mengadopsi maupun menggunakannya dalam praktek penangkapan ikan
dikarenakan tingkat pendidikan yang rendah, serta pesifikasi kerja dalam upaya
penangkapan dengan cantrang pun akan berubah.Namun, adanya pelarang cantrang akan
berdampak positif terhadap konflik nelayan yang sering terjadi, dimana konflik nelayan
akan berkurang seiring dengan perkenalan alat tangkap baru yang bersifat ramah
lingkungan. Sedangkan dalam aspek ekologis, dampak pelarangan cantrang bersifat
positif karena kerusakan sumberdaya hayati pesisir dapat diminimalisasikan serta
mencegah terjadinya degradasi fisik ekosistem perairan yang lebih parah dan jumlah
produksi ikan dapat dikontrol.

Perumusan Masalah dan Pertanyaan Penelitian Skripsi


Pelarangan penggunaan alat tangkap cantrang di perairan Indonesia merupakan
peraturan yang memiliki dampak positif bagi aspek ekologis dan dampak negatif bagi
aspek sosial-ekonomi kehidupan nelayan. Tidak sedikit penggunaannya merugikan
nelayan lain dan mengancam kelestarian ekosistem dan sumberdaya ikan. Berdasarkan
permasalahan yang telah dipaparkan diatas, maka pertanyaan penelitian yang diajukan
adalah:
1. Bagaimana karasteristik masyarakat nelayan pengguna cantrang?
2. Bagaimana respon masyarakat nelayan pengguna cantrang terhadap peraturan
pelarangan cantrang?
3. Bagaimana dampak pelarangan cantrang terhadap kondisi sosial-ekonomi nelayan
cantrang?

Usulan Kerangka Penelitian untuk Penelitian

Peraturan pelarangan
cantrang
33

Dampak pelarangan cantrang


-Ekonomi : Hasil tangkapan ikan
Pendapatan
Alat tangkap Kondisi sosial
Lapangan kerja ekonomi
-Sosial : Hubungan sosial nelayan setelah
Organisasi kerja peraturan
Tingkat kemampuan diimplementasi
Strategi nafkah kan
-Ekologi Sumberdaya ikan
Ekosistem pesisir dan laut

Keterangan :

: Berhubungan
: Saling berhubungan

Gambar 1 Kerangka Analisis

DAFTAR PUSTAKA

Aji NI, Wibowo BA, Asriyanto. 2013. Analisis Faktor Produksi Hasil Tangkapan Alat
Tangkap Cantrang di Pangkalan Pendaratan Ikan Bulu Kabupaten Tuban
[jurnal].Journal of Fisheries Resources Utilization Management And Technology
2 (4) : 50-58. Diunduh dari http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/jfrumt
Annisa L, Satria A, Kinseng R A. 2009. Konflik Nelayan di Jawa Timur: Studi Kasus
Peruabahan Struktur Agraria dan Diferensiasi Kesejahteraan Komunitas Pekebun
di Lebak, Banten. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi, dan
Ekologi Manusia Vol 03 (01) Hal 113-124
Ansoriyah L, Suryono A, Said A. 2014. Implementasi Permen Kelautan dan Perikanan
Nomor Per.12/MEN/2010 Tentang Minapolitan dalam Rangka Mengembangkan
Kawasan Minapolitan sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi. (Studi di Dinas
Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sidoarjo dan petani tambak di Desa Kedung
Peluk Kecamatan Candi Kabupaten Sidoarjo. Jurnal Administrasi Public Vol 2
34

(2) : 230-235. Diunduh di


http://administrasipublik.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jap/article/view/362/
250
Dahuri R. Paradigma Baru. Pembangunan Indonesia Berbasis Kelautan. Bogor: Institut
Pertanian Bogor.
Darmawan, Wahyu R I. 2003. Reorientasi Kebijakan Trawl, Peluang, Tantangan dan
Pengembangannya di Indonesia. Bogor: Diskusi Nasional Pengelolaan Trawl
Ermawati N, Zuliyati. 2015. Dampak Sosial dan Ekonomi atas Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 2/PERMEN-KP/2015 (Studi Kasus Kecamatan
Juwana Kabupaten Pati). Journal of Management of Aquatic Resources Vol. 2,
No. 3 : 197-202 [prosiding]. Diunduh di
http://www.unisbank.ac.id/ojs/index.php/sendi_u/article/viewFile/3287/894
Fauzi A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan Issue, Sintesis, dan Gagasan. Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Helmi A, Satria A. 2012. Strategi Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologi.
Makara, Sosial Humaniora Vol 16 No 1 (Juli): 68-78. Diunduh di
http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/1494/38
Kalita G J, Sarma P K, Goswami P, Rout S. 2015.Socio-economic status of fishermen
and different fishing gear used in Beki River, Barpeta, Assam.Journal of
entomology dan zoology studies Vol. 3 (1) : 193-198. Diunduh di
http://www.entomoljournal.com/vol3Issue1/pdf/3-1-42.1.pdf
Kusumawati P, Rosyid A, Kohar A. 2010. Upaya Peningkatan Kinerja Usaha Perikanan
Melalui Peningkatan Lingkungan Usaha pada Alat Tangkap Cantrang (Boat
Seine) dan Kebijakan Pemerintah Daerah di Kabupaten Rembang. [jurnal].
Jurnal Saintek Perikanan 6 (01): 36-45. Diunduh di
http://ejournal.undip.ac.id/index.php/saintek/article/viewFile/2061/1812
Nongmaithem B D, Ngangbam A K. 2014. Socioeconomic conditions and cultural profile
of the fishers in India- a review. Volume 7, Issue 9 Ver. I. IOSR Journal of
Agriculture and Veterinary Science (IOSR-JAVS). Diunduh di
http://www.iosrjournals.org/iosr-javs/papers/vol7-issue9/Version-
1/H07914248.pdf
Nurhayati A. 2012. Analisis Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Mendukung Tingkat
KeberlanjutanSumberdaya Perikanan (Studi Kasus di Kawasan Pangandaran,
Kabupaten Ciamis). Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi dan Perikanan Vol. 2, No.
2 : 163-173. Diundud di
www.bbpse.litbang.kkp.go.id/publikasi/jbijak/jurbijak_2012_v2_no2_(7)
Patriana R, Satria A. 2013. Pola Adaptasi Nelayan terhadap Perubahan Iklim: Studi Kasus
Nelayan Dusun Ciawitali, Desa Pamotan, Kecamatan Kalipucang, Kabupaten
Ciamis, Jawa Barat. Jurnal Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan Vol 8 (1) :
11-23. Diunduh di http://bbpse.litbang.kkp.go.id/index.php/download-
new/send/21-vol-8-no-1-tahun-2013/66-pola-adaptasi-nelayan-terhadap-
perubahan-iklim-studi-kasus-nelayan-dusun-ciawitali-desa-pamotan-
kecamatan-kalipucang-kabupaten-ciamis-jawa-barat
Prihandoko, Jahi A, Gani DS, Purnaba IGP, Adrianto L, dan Tjitradjaja I. 2011. Faktor-
Faktor yang Memengaruhi Perilaku Nelayan Artisanal dalam Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan di Pantai Utara Provinsi Jawa Barat. MAKARA,
SOSIAL HUMANIORA, VOL. 15 (2) 117-126. Diunduh di
http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/download/1418/29
Satria A. 2009. Pesisir dan Laut untuk Rakyat. Bogor: IPB Press
35

Satria A, Anggraini E, Solihin A. 2009. Globalisasi Perikanan: Reposisi Indonesia?.


Bogor: PT Penerbit IPB Press
Satria A. 2015. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia
Sudarmo AP, Baskoro MS, Wiryawan B, Wiyono ES, Monintja DR. 2015. Social
Economics Characteristics Of Coastal Small-Scale Fisheries In Tegal City,
Indonesia. International Journal Of Scientific & Technology Research Volume
4 (1) : 85-88. Diunduh di http://www.ijstr.org/final-print/jan2015/Social-
Economics-Characteristics-Of-Coastal-Small-scale-Fisheries-In-Tegal-City-
Indonesia.pdf
Sukmawati D. 2008. Struktur dan Pola Hubungan Sosial Ekonomi Juragan dengan Buruh
di Kalangan Nelayan Pantai Utara Jawa Barat (Studi tentang Simbiosis antara
Juragan dengan Nelayan Buruh di Pondok Bali Kecamatan Legon Kulon
Kabupaten Subang). Jurnal Kependudukan Padjadjaran Vol 10 (1) : 50-63.
Diunduh di http://jurnal.unpad.ac.id/kependudukan/article/download/doc5/2438
Yapanani E, Solichin A, Bambang Argo W. 2013. Kajian Hasil Tangkapan dan Tingkat
Kesejahteraan Nelayan di Desa Aromarea Distrik Kosiwo, Kabupaten Sarui,
Kepulauan Yapen, Papua. Journal of Management of Aquatic Resources Vol. 2,
No. 3 : 197-202. Diunduh di http://ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/maquares
Zamron A. 2015. Socio-economics status and adaptations of purse seine fishermen in Bali
coastal village, Indonesia. International Journal of Marine Science 2015Vol 5
(20): 1-16. Diunduh di
http://biopublisher.ca/index.php/ijms/article/viewFile/1671/1546

RIWAYAT HIDUP
Maya Resty Andryana dilahirkan di Badung pada tanggal 15 Agustus 1994. Penulis
merupakan anak kedua dari dua bersaudara yang terlahir dari pasangan Sudjud Muljadi
dan Nurmawan. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Wipara Tuban
pada tahun 1998-2000, kemudian melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya di
Sekolah Dasar Negeri 4 Tuban pada tahun 2000-2006, Sekolah Menengah Pertama
Negeri 1 Kuta Tengah pada tahun 2006-2009, dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5
Denpasar ada tahun 2009-2012. Pada tahun 2012, penulis melanjutkan studi di Institut
Pertanian Bogor melalui Seleksi Nasional Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN
Undangan) dan diterima di Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia.
Selama penulis menimba ilmu di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di berbagai
organisasi dan kepanitiaan. Penulis bergabung pada Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)
Lingkung Seni Sunda Gentra Kaheman IPB dan menjabat sebagai Anggota Pengurus
fasilitas dan properti periode 2014-2015. Penulis juga tergabung ke dalam kepengurusan
Himasiera periode 2013-2015 pada divisi Community Development dan menjabat sebagai
Direktur Community Development periode 2015. Penulis juga aktif mengikuti berbagai
kepanitiaan beberapa acara yang diselenggarakan oleh Lembaga Kemahasiswaan (LK)
Fakultas Ekologi Manusia maupun IPB diantaranya sebagai panitia OPEN HOUSE 50,
36

Gebyar Nusantara 2013, Ki Sunda Midang X, XI dan XII, Gerakan Kampus Bersih
Narkoba 2014, Masa Perkenalan Fakultas (MPF) Ekologi Manusia, KPM Garang 50, 2nd
Connection, dan pelatihan softskil untuk KPM 50 dan KPM 51.

Anda mungkin juga menyukai