DISUSUN OLEH
Kelas : TEP - A
I. Pendahuluan
Indonesia, sebuah bangsa yang memiliki sejarah tradisi dan regional yang sangat
banyak dan beraneka ragam, juga menghadapi masalah ini. Kekhawatiran bahwa
nilai-nilai bangsa mungkin akan disamakan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh
etnis mayoritas, yakni etnis Jawa, sampai saat ini dapat ditemui dalam lingkungan
etnis-etnis lainnya di Indonesia. Etnis-etnis minoritas yang besar, seperti Batak,
Minangkabau, dan Bali, sangat sadar akan eksistensi mereka dan memiliki
kesanggupan untuk mempertahankan posisi mereka. Tidak demikian halnya
dengan etnis-etnis yang lebih kecil, yang seringkali memiliki tradisi yang arkais.
Hal ini menyebabkan mereka menempati suatu posisi dengan tekanan berganda.
Mereka bukan saja menghadapi masalah mengenai bagaimana agar mereka dapat
tampil dalam panggung tradisi-tradisi kebudayaan Indonesia, tetapi juga
dihadapkan pada suatu pertanyaan yang sangat mendasar mengenai apakah
dewasa ini masih ada tempat bagi tradisi-tradisi arkais seperti yang mereka miliki.
Kepulauan ini terdiri dari 72 buah pulau-pulau besar dan kecil yang keseluruhan
luasnya mencapai 6.549 km2. Di antara pulau-pulau yang besar adalah Pulau
Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Secara administratif pula, wilayah
kepulauan ini dibagi atas empat kecamatan, yaitu: (1) Kec. Siberut Utara dengan
luas 2.137 km2, (2) Kec. Siberut Selatan dengan luas 1.763 km2, (3) Kec. Sipora
dengan luas 916 km2, dan (4) Kec. Pagai Utara-Selatan dengan luas 1.733
km2 (Abidin, 1997).
Keterkaitan secara ekonomi antara penduduk satu pulau dengan penduduk pulau
lainnya dalam gugusan Kepulauan Mentawai dapat dikatakan tidak ada oleh
karena kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada masing-masing pulau
itu, kebutuhan pangannya sebagian besar mereka hasilkan sendiri, sedangkan
kelebihan dari kegiatan usahanya, yang berasal dari sektor kehutanan dan
pertanian dipasarkan ke Padang melalui pedagang-pedagang pengumpul yang
umumnya berasal dari masyarakat daratan Sumatera. Begitu juga halnya dengan
kebutuhan-kebutuhan sandang serta kebutuhan lainnya yang tidak dapat
dihasilkan oleh masyarakat itu didatangkan dari Padang.
Hutan lebat yang menutupi lebih dari 90 persen pulau ini merupakan satu-satunya
hal yang dapat melindungi pulau ini dari erosi. Akibat dari isolasi geografis dalam
waktu panjang ada perkiraan yang menyatakan sekitar setengah juta tahun maka
hutan ini kaya akan tumbuh-tumbuhan dan binatang khusus yang hanya hidup di
kawasan ini. Empat jenis monyet besar dri Mentawai sangat menarik perhatian
para ahli zoologi.
III. ORANG MENTAWAI
Akan tetapi, penduduk Pulau Siberut tidak lagi membuat peralatan mereka dari
batu. Sudah sejak banyak generasi yang lalu, mereka telah melakukan
perdagangan sistem barter dengan para nelayan dan pedagang dari Sumatera di
mana mereka mempertukarkan buah kelapa dan rotan dengan parang dan mata
kapak logam. Hanyalah merupakan legenda belaka bahwa terdapat raksasa-
raksasa jahat yang disebut silakonaina yang menggunakan alat-alat yang terbuat
dari batu. Tradisi Neolitik yang sederhana dari orang Mentawai nampak lebih
jelas dalam organisasi kehidupan mereka sehari-hari.
Sistem ekonomi tradisional Siberut berkaitan erat dengan tanahnya yang subur,
luas tanah yang tersedia, dan melimpahnya bahan pangan. Makanan pokok
penduduk Siberut adalah sagu. Tepung yang dihasilkan dari bagian dalam
sebatang pohon sagu yang ditumbuk dapat menopang kehidupan satu keluarga
selama berminggu-minggu. Menanam mengolah sagu merupakan pekerjaan laki-
laki. Sedangkan jenis tanaman lain digarap oleh perempuan. Mereka menanam
talas di kebun-kebun dekat sungai, yang tanahnya menjadi subur berkat lumpur
yang dibawa banjir. Di samping bercocok tanam, orang Mentawai, baik laki-laki
maupun perempuan, juga beternak ayam dan babi.
Selain orang Mentawai, di Pulau Siberut juga terdapat para pendatang yang terdiri
dari berbagai etnis, antara lain orang Minangkabau sebagai kelompok terbesar,
serta etnis-etnis lain seperti orang Jawa, Batak, Aceh, dan Palembang (Swasono,
1997). Para pendatang ini umumnya hidup di tepi pantai, sebagian di antaranya
telah bermukim untuk waktu yang cukup lama, serta memantapkan diri dalam
pekerjaan sebagai pedagang. Sebagian kecil dari mereka bekerja sebagai pegawai
negeri yang bertugas di daerah ini. Masyarakat pendatang ini menyebut diri
sebagai orang tepi, untuk membedakan diri mereka dengan orang Mentawai yang
mereka anggap sebagai orang pedalaman.
Mulai tahun 1987 (31 Januari 1987), Kepulauan Mentawai juga diramaikan
dengan hadirnya transmigran yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur, terutama di kawasan Tuapejat, Pulau Sipora (Abidin, 1997).
Gugusan kepulauan sebelah utara, sejak dahulu telah merupakan tempat
persinggahan penduduk dari Pulau Nias, Pulau Tello, dan kemudian berangsur-
angsur diikuti oleh pendatang dari Tapanuli Utara.
Cara hidup sebagian penduduk asli masih berkelana (nomaden), setengah
berkelana, dan sebagian telah menetap. Mereka biasanya tinggal mengelompok
dengan rasa sosial yang sangat kuat. Program pemukiman resettlement, seringkali
sulit diterapkan, terutama bagi penduduk asli yang masih memiliki kebiasaan
berpindah-pindah itu. Hal ini dapat dipahami, karena ketergantungan mereka pada
alam masih tinggi. Kecuali penduduk asli yang sudah banyak bergaul dengan para
pendatang dan telah mengecap pendidikan modern, pada umumnya mereka tidak
lagi suka berpindah-pindah.
Dilihat dari segi kepercayaan, penduduk asli Mentawai, terutama yang masih di
pedalaman masih erat menganut kepercayaan yang mengagungkan roh nenek
moyang dan percaya kepada benda-benda, batu-batu, dan pohon-pohon yang
dianggap mempunyai kekuatan magis. Kepercayaan tersebut dinamakan Arat
Sabulungan, yang dalam bahasa asli disebut ketsat atau kere.
Agama Islam termasuk agama yang paling dahulu masuk ke kepulauan Mentawai,
yaitu sejak tahun 1621 ketika orang Tiku mulai berhubungan dagang dengan
orang Mentawai. Akan tetapi, perkembangan Islam di Kepulauan Mentawai tidak
sepesat perkembangan agama Kristen Protestan dan Katholik. Penganut Islam
dalam jumlah yang agak banyak terutama terdapat di beberapa desa, seperti
Muara Siberut, Saliguma, Matotonan, Sarausau, Madobak, Taileleu, Sioban,
Berialou Katiet, Tuapejat, Matobek, Muara Sikabaluan, Sigapokan, Simalegi,
Sagistik, Sigapokan, Sikakap, Buriai Baru, dan lain-lain (Abidin, 1997).
Dalam sebuah uma berlaku solidaritas yang sifatnya menyeluruh. Hasil kerja dari
sebuah keluarga adalah milik keluarga yang bersangkutan, namun keluarga
tersebut juga harus siap untuk membantu keluarga lain yang membutuhkan
bantuan. Prinsip solidaritas secara khusus nampak dalam kebiasaan makan.
Misalnya saja, tabu untuk memakan daging seorang diri. Bila seorang
warga uma berhasil dalam perburuan, hasil tersebut harus dibagiakan secara adil,
sehingga setiap keluarga dari uma tersebut menerima jumlah daging yang sama.
Apabila akan diadakan perayaan yang besar, maka sebelumnya seluruh
anggota uma berunding berapa ekor babi yang akan disumbangkan oleh masing-
masing keluarga, tergantung jumlah babi yang mereka miliki. Babi-babi
sumbangan ini diserahkan kepada umauntuk disembelih. Selanjutnya, dibagikan
kembali, sehingga setiap orang yang hadir menerima bagian yang sama
banyaknya.
Sifat hubungan antara uma, tidak jauh berbeda dengan sifat hubungan yang
terdapat di dalam uma. Cara hidup yang ideal bagi warga Siberut adalah hidup
bersama secara damai, dalam arti masing-masing warga tidak saling menggangu
satu ama lain. Namun demikian terdapat juga cita-cita yang bertentangan, yaitu
yang menyangkut kebanggaan dan keinginan dari setiap uma untuk
mengungguli uma-uma lainnya. Setiap uma dengan penuh kewaspadaan akan
menjaga hak-hak serta kedudukannya, dan segera mencurigai uma tetangga,
seakan-akan mereka mempunyai maksud tidak baik. Dalam masyarakat Siberut,
terdapat semacam pola rasa ketidakpercayaan, persaingan, dan ketegangan-
ketegangan yang kadang-kadang dapat menyebabkan timbulnya permusuhan
terbuka. Akan tetapi, kecenderungan yang mengarah pada persaingan yang
demikian dapat diimbangi oleh kebutuhan akan kerjasama antar-
uma. Uma tetangga dapat dimintai bantuannya jika salah sebuah uma tertentu
akan melakukan suatu pekerjaan besar, seperti pembangunan rumah uma yang
memang biaya pembangunannya tidak mungkin ditanggung oleh uma yang
bersangkutan saja.
Suatu uma harus melihat pada uma-uma lainnya untuk kebutuhan mencari istri.
Seluruh keluarga dalam suatu uma di Siberut merupakan keturunan dari satu garis
laki-laki yang sama. Para istri diambil dari masyarakat uma yang lain. Seorang
perempuan, setelah menikah, akan menjadi anggota uma suaminya. Jika dia
menjadi janda, maka ia akan kembali ke uma asalnya di mana ia akan menerima
sebidang tanah dan ikut serta dalam rumahtangga seorang saudara laki-lakinya
atau kerabat laki-lakinya.
Kepercayaan religius orang Mentawai mencerminkan kehidupan sosial mereka.
Keseimbngan dan keserasian dalam hubungan-hubungan yang dicita-citakan di
dalam dan antar-uma juga diterapkan dalam dunia supranatural mereka. Menurut
orang Mentawai, segala yang ada, baik manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan,
maupun benda-benda, masing-masing memiliki jiwa sendiri. Semua roh dan jiwa
ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa campur
tangan manuia, kekuatan-kekuatan ini berada dalam suatu keadaan yang
seimbang. Akan tetapi, karena kegiatan manusia yang berkenaan dengan mata-
pencaharian hidupnya, maka keseimbangan ini menjadi terganggu. Manusia
terpaksa membunuh agar ia tetap dapat hidup.
Konflik yang terjadi antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia
lainnya dapat diperlunak dengan pembentukan persekutuan-persekutuan, dan
dengan saling memperhatikan dan saling memberi secara timbal balik. Prinsip
yang sama diterapkan juga pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Paa orang Mentawai, bila mereka akan pergi berburu,maka ia akan dilarang
memakan makanan tertentu, dilarang mandi di sungai, dan juga dilarang
melakukan hubungan seks. Dengan menahan diri dari kegiatan-kegiatan tersebut,
secara tidak langsung mereka telah memperkecil campur tangan mereka terhadap
lingkungan.
Orang tepi sering merasa aneh cara berpakaian kabit (cawat) pada orang
Mentawai, mengingat di zaman peradaban masa kini, pakaian relatif mudah
diperoleh. Alasan berpakaian kabit yang dikaitkan dengan keperluan bekerja
dalam kondisi lingkungan hutan yang menjadi pertimbangan orang Mentawai,
agaknya masih sulit dibayangkan oleh pendatang yang tidak terbiasa bekerja di
hutan. Begitu pula mereka kurang memahami keterikatan orang Mentawai itu
terhadap hutan dan ladangnya sebagai bagian dari arena kehidupan mereka.
Berkenaan dengan sistem religi, para pendatang yang sebagian besar beragama
Islam, sulit menerima kepercayaan tradisional orang Mentawai yang berisi
pemujaan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur. Para pendatang ini juga
menganggap rendah perilaku orang Mentawai makan hewan mati yang ditemukan
saat berburu di hutan. Alasan orang Mentawai bahwa semua yang diberikan oleh
dewa-dewa mereka harus diterima dan disyukuri, sulit mereka pahami, karena
menurut ajaran Islam, makan bangkai dilarang.
Kurangnya pemahaman terhadap kebudayaan orang Mentawai oleh orang tepi itu
sering diikuti oleh timbulnya sikap yang kurang simpatik dari mereka dari
masyarakat ini. Adanya stereotip dari pihak para pendatang yang umumnya
memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih tinggi dari segi ekonomi dan
pendidikan daripada masyarakat Mentawai itu, sering mengakibatkan respons
yang kurang menyenangkan dari mereka terhadap masyarakat Mentawai itu. Para
pendatang, misalnya, tidak jarang menetapkan harga yang terlalu rendah ketika
membeli hasil-hasil ladng orang Mentawai ini. Keadaan yang sering
menempatkan orang Mentawai dalam posisi tidak memiliki pilihan untuk tawar-
menawar itu, jelas merugikan bagi tujuan membina keserasian hubungan sosial di
antara kelompok-kelompok penduduk di Pulau Siberut itu.
Di pihak lain, keengganan orang Mentawai untuk meninggalkan uma dan ladang
mereka di pedalaman untuk mencari pekerjaan di daerah pesisir tampaknya masih
dilandasi oleh dua hal. Pertama, hal itu menunjukkan masih kuatnya pandangan
budaya mereka mengenai tataruang yang mengatur berbagai aktivitas kehidupan
sepanjang tahunnya menurut penataan wilayah berdasarkan unsur sakral dan
nonsakral, meskipun dalam praktiknya sudah terdapat perubahan dibanding masa
lalu. Kedua, hal itu dipengaruhi oleh sikap masyarakat pendatang di pesisir yang
masih belum sepenuhnya menunjukkan harmoni, melainkan hanya terbatas pada
kepentingan tertentu saja, dan pada posisi yang tidak setara, akibat masih adanya
sikap merendahkan kebudayaan masyarakat terasing ini.
Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sosial-budaya telah makin banyak dialami
oleh orang Mentawai di Pulau Siberut, melalui peningkatan jumlah para
pendatang untuk mengeksploitasi lingkungan alam setempat. Hal ini menyusul
masuknya program-program pembangunan desa yang sudah lebih dahulu
diterapkan melalui aktivitas kepala desa, sebagai jajaran terbawah dalam hirarki
pimpinan dalam sistem pemerintahan nasional, bersama aparatnya. Perubahan ini
tentu saja tak dpat dihindari, dan akan selalu terjadi, antara lain sebagai bentyuk
komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan lingkungan dan
taraf hidup rakyatnya.
Masuknya unsur luar secara bertahap telah mengubah lingkungan pemukiman
masyarakat Mentawai, di antaranya datang dari berbagi pihak seperti:
1. Pihak HPH yang mengekploitasi hutan di kawasan itu selama beberapa tahun
5. Biro wisata
Orang Mentawai tidak begitu siap menghadapi serangan yang demikian gencar
terhadap cara-cara tradisional mereka. Hanya di bagian pedalaman Siberut yang
tidak mudah dicapai, terdapat uma-umabesar yang masih menjalankan tradisi
mereka sampai pada tingkat tertentu. Dari sudut pandang yang obyektif, orang
Mentawai sebenarnya dapat hidup dengan lebih baik dalam sistem mereka sendiri
yang bersifat subsisten daripada harus hidup dengan pendapatan yang sangat
rendah. Lagi pula dalam sistem ekonomi yang bersifat subsisten ini, juga terdapat
kemungkinan-kemungkinan perkembangan secara bertahap, yang tidak perlu
mengikuti garis Barat, dan yang tidak akan menghancurkan taat kehidupan
mereka sendiri.
Namun perbedaan respons semaca, ini perlu ditata kembali, mengingat adanya
perbedaan di antara kepentingan pihak pemerintah danj kepentingan pihak
wisatawan terhadap kehidupan masyarakat Mentawai itu. Para wisatawan yang
bertolak dari kebutuhan mereka untuk menikmati cara hidup dan kebiasaan
masyarakat yang berbeda dengan adat-istiadat mereka sendiri, cenderung lebih
menginginkan dipertahankannya cara-cara hidup lama dari orang Mentawai itu,
termasuk yang sebenarnya menghambat kemajuan masyarakat itu, demi
kepentingan konsumsi wisata untuk dapat mreka nikmati.
Persoon, Gerard & Reimar Schefold. 1985. Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-
Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Penerbit Bhratara
Karya Aksara. Jakarta.