Anda di halaman 1dari 14

TEKNOLOGI KEARIFAN LOKAL MENTAWAI

DALAM MEMPERTAHANKAN KESEIMBANGAN


ALAM

Mata Kuliah : Ilmu Alamiah Dasar

DISUSUN OLEH

Nama : Adinda Muthia Putri ( 170308028 )

Program Studi : Keteknikan Pertanian (TEP)

Kelas : TEP - A

PROGRAM STUDI KETEKNIKAN PERTANIAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
KEARIFAN LOKAL ORANG MENTAWAI DALAM
MEMPERTAHANKAN KESEIMBANGAN ALAM

I. Pendahuluan

Pengalaman pembangunan selama ini makin menyadarkan banyak pihak di


Indonesia akan perlunya perhatian yang besar terhadap aspek-aspek sosial-budaya
dalam mengatasi masalah-masalah pembangunan. Akan tetapi, disadari juga
bahwa kegagalan program-program pembangunan tidak selalu terjadi semata-mata
karena diabaikannya kebudayaan lokal dalam perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan. Sebaliknya, kegagalan itu terjadi karena meskipun aspek sosial-
budaya sudah dipertimbangkan, para perencana pembangunan masih memiliki
persepsi yang keliru mengenai pandangan budaya, falsafah, atau hal-hal yang
bermakna bagi masyarakat sasaran. Dengan kata lain, mereka belum cukup
memperoleh informasi untuk dapat memahami hakekat dari kebudayaan lokal dan
kemampuan budaya masyarakat setempat, sehingga kurang dapat
mengidentifikasikan dan menerjemahkan kebutuhan masyarakat tersebut yang
sebenarnya.

Konsep-konsep identitas kebudayaan dan identitas nasional seringkali mengacu


pada hal-hal yang sangat berbeda satu sama lain. Berbagai tradisi kebudayaan
dapat hidup bersama-sama dalam suatu bangsa, atau sebaliknya suatu tradisi
kebudayaan dapat juga menjadi bagian dari beberapa bangsa. Clifford Geertz,
seorang ahli antropologi Amerika, sejak tahun 1963 sudah menunjukkan bahwa
hal ini seringkali dirasakan sebagai suatu ancaman oleh negara-negara Dunia
Ketiga yang baru lepas dari belenggu penjajahan. Negara-negara seperti ini
khawatir bahwa ikatan-ikatan primordial, yakni ikatan-ikatan dengan tradisi lokal,
akan menjadi lebih kuat daripada perasaan memiliki sebuah negara baru, dan pada
akhirnya mungkin akan menggoyahkan kesatuan dari bangsa yang bersangkutan
(Schefold, 1985).

Indonesia, sebuah bangsa yang memiliki sejarah tradisi dan regional yang sangat
banyak dan beraneka ragam, juga menghadapi masalah ini. Kekhawatiran bahwa
nilai-nilai bangsa mungkin akan disamakan dengan nilai-nilai yang dimiliki oleh
etnis mayoritas, yakni etnis Jawa, sampai saat ini dapat ditemui dalam lingkungan
etnis-etnis lainnya di Indonesia. Etnis-etnis minoritas yang besar, seperti Batak,
Minangkabau, dan Bali, sangat sadar akan eksistensi mereka dan memiliki
kesanggupan untuk mempertahankan posisi mereka. Tidak demikian halnya
dengan etnis-etnis yang lebih kecil, yang seringkali memiliki tradisi yang arkais.
Hal ini menyebabkan mereka menempati suatu posisi dengan tekanan berganda.
Mereka bukan saja menghadapi masalah mengenai bagaimana agar mereka dapat
tampil dalam panggung tradisi-tradisi kebudayaan Indonesia, tetapi juga
dihadapkan pada suatu pertanyaan yang sangat mendasar mengenai apakah
dewasa ini masih ada tempat bagi tradisi-tradisi arkais seperti yang mereka miliki.

Pertanyaan yang muncul mengenai, apakah tradisi-tradisi tersebut dapat


dikembangkan sehingga tetap lestari dalam suatu masyarakat modern tanpa
kehilangan artinya? Apakah etnis-etnis minoritas tersebut dapat diharapkan untuk
mempertimbangkan sendiri kemungkinan-kemungkinan yang dapat dipilih dan
kemudian juga memilih arah perkembangan yang paling bermanfaat bagi mereka
dalam jangka waktu panjang? Makalah ini mencoba untuk mengkaji pertanyaan-
pertanyaan tersebut, dan mengusulkan suatu jawaban yang memungkinkan, dalam
konteks kebudayaan tradisional Mentawai.

II. Gambaran Umum Kepulauan Mentawai

Secara geografis Kepulauan Mentawai merupakan rangkaian gugusan kepulauan


yang membujur dari Utara ke Selatan. Secara administratif Kepulauan Mentawai
yang terletak di wilayah Pantai Barat Pulau Sumatera ini merupakan sebuah
kabupaten dengan ibukota Tuapejat yang terletak di Pulau Sipora. Kabupaten baru
hasil pemekaran dari Kabupaten Padang Pariaman ini termasuk dalam wilayah
Provinsi Sumatera Barat.

Kepulauan ini terdiri dari 72 buah pulau-pulau besar dan kecil yang keseluruhan
luasnya mencapai 6.549 km2. Di antara pulau-pulau yang besar adalah Pulau
Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Secara administratif pula, wilayah
kepulauan ini dibagi atas empat kecamatan, yaitu: (1) Kec. Siberut Utara dengan
luas 2.137 km2, (2) Kec. Siberut Selatan dengan luas 1.763 km2, (3) Kec. Sipora
dengan luas 916 km2, dan (4) Kec. Pagai Utara-Selatan dengan luas 1.733
km2 (Abidin, 1997).

Keterkaitan secara ekonomi antara penduduk satu pulau dengan penduduk pulau
lainnya dalam gugusan Kepulauan Mentawai dapat dikatakan tidak ada oleh
karena kelompok-kelompok masyarakat yang hidup pada masing-masing pulau
itu, kebutuhan pangannya sebagian besar mereka hasilkan sendiri, sedangkan
kelebihan dari kegiatan usahanya, yang berasal dari sektor kehutanan dan
pertanian dipasarkan ke Padang melalui pedagang-pedagang pengumpul yang
umumnya berasal dari masyarakat daratan Sumatera. Begitu juga halnya dengan
kebutuhan-kebutuhan sandang serta kebutuhan lainnya yang tidak dapat
dihasilkan oleh masyarakat itu didatangkan dari Padang.

Dengan demikian, sebagai suatu suatu Wilayah Pembangunan, di Kepulauan


Mentawai antara satu pulau dengan pulau lainnya tidak mempunyai hubungan
ekonomi yang berarti satu sama lainnya. Hubungan antara masyarakat Mentawai
dengan para pndatang, baik para pedagang maupun aparatur pemerintah lebih
berorientasi pada kepentingan dagang dan pelaksanaan tugas secara formal.

Pulau Siberut merupakan pulau terbesar di Kepulauan Mentawai, dan terletak


kira-kira 100 kilometer di sebelah Barat Pulau Sumatera. Pulau ini berbentuk
memanjang dengan luas 4.480 km2, hampir seluas Pulau Bali. Bagian timur pulau
yang berbentuk landai, mudah dicapai dari arah Sumatera. Pada umumnya laut di
sini cukup tenang. Teluk-teluk dan tanjung yang berpantai karang putih nampak
diselingi oleh hutan bakau. Mereka yang berlayar dengan perahu di sepanjang
pantai dapat melihat muara-mura sungai yang berlumpur dan berkelok-kelok
menuju ke laut. Bagian barat pulau tersebut menyajikan pemandangan yang
sangat berbeda dari pemandangan di bagian timur. Bagian ini membentuk suatu
garis pantai yang lurus dan curam yang sesungguhnya merupakan tepi terjauh dari
Benua Asia. Oleh karena letaknya yang demikian, pantai Barat Siberut ini
seringkali dihempas oleh gelombang samudra yang datang dari Afrika. Hanya
pada muara Sungai Sagulubbe, yang terletak di sebelah selatan, dan Sungai
Simalegi, di sebelah utara, terdapat teluk-teluk yang mendapat perlindungan
gosong-gosong karang, tempat kapal-kapal dapat membuang sauh pada saat cuaca
baik.

Bagian pedalaman pulau merupakan daerah berbukit-bukit, dengan ketinggian


maksimum 384 meter. Oleh karena tanah di bukit-bukit ini lunak dan hampir tak
terdapat batu karang, maka dapat dilihat adanya pola-pola erosi yang luar biasa
yang mengakibatkan lereng-lereng yang curam dan punggung bukit yang terjal.
Di antara lereng-lereng bukit ini terdapat anak-anak sungai yang berbelok-belok
menuju ke sungai-sungai yang lebih besar. Sungai-sungai yang lebih besar ini
membawa hasil endaqpan lumpur yang subur, dan mengubah daerah perbukitan
tersebut menjadi daerah dengan lembah-lembah yang lebar. Dapat dikatakan
bahwa di daerah pedalaman tersebut hujan selalu turun sepanjang tahun, yakni
rata-rata setiap dua hari sekali. Pada masa-masa curah hujan yang terbanyak,
yakni pada bulan April dan Oktober, sungai-sungai dapat meluap sampai lebih
dari lima meter dalam waktu beberapa jam saja. Luapan sungai ini bahkan dapat
mengubah seluruh wilayah lembah menjadi sebuah danau yang besar.

Hutan lebat yang menutupi lebih dari 90 persen pulau ini merupakan satu-satunya
hal yang dapat melindungi pulau ini dari erosi. Akibat dari isolasi geografis dalam
waktu panjang ada perkiraan yang menyatakan sekitar setengah juta tahun maka
hutan ini kaya akan tumbuh-tumbuhan dan binatang khusus yang hanya hidup di
kawasan ini. Empat jenis monyet besar dri Mentawai sangat menarik perhatian
para ahli zoologi.
III. ORANG MENTAWAI

Pemukiman orang Mentawai di Pulau Siberut terpusat di sepanjang sungai-sungai


yang terdapat di pulau tersebut. Akar-akar kebudayaan dari penduduk pulau ini
langsung berasal dari zaman Neolitik, yaitu dari akhir zaman batu. Pada zaman
itu, lebih dari 3.000 tahun yang lalu, berbagai bangsa dari Benua Asia bermigrasi
ke wilayah Indonesia, dan lambat laun menetap di berbagai pulau. Walaupun
bukan di Mentawai, kebudayaan Neolitik ini di berbagai pulau di Indonesia
kemudian diubah menjadi kebudayaan permulaan zaman logam (yaitu kebudayan
Dongson), yang antara lain juga meliputi kebudayaan-kebudayaan Batak, Dayak,
dan Toraja. Perubahan-perubahan lain menyusul dengan masuknya kebudayaan
Hindu, yang dewasa ini masih nampak di Bali, dan Islam, agama yang sekarang
ini paing banyak dianut di Indonesia. Saat ini, tradisi zaman Neolitik tidak dapat
ditemukan secara utuh di mana pun di Indonesia, terkecuali di Mentawai (dan
juga di Papua).

Akan tetapi, penduduk Pulau Siberut tidak lagi membuat peralatan mereka dari
batu. Sudah sejak banyak generasi yang lalu, mereka telah melakukan
perdagangan sistem barter dengan para nelayan dan pedagang dari Sumatera di
mana mereka mempertukarkan buah kelapa dan rotan dengan parang dan mata
kapak logam. Hanyalah merupakan legenda belaka bahwa terdapat raksasa-
raksasa jahat yang disebut silakonaina yang menggunakan alat-alat yang terbuat
dari batu. Tradisi Neolitik yang sederhana dari orang Mentawai nampak lebih
jelas dalam organisasi kehidupan mereka sehari-hari.

Sistem ekonomi tradisional Siberut berkaitan erat dengan tanahnya yang subur,
luas tanah yang tersedia, dan melimpahnya bahan pangan. Makanan pokok
penduduk Siberut adalah sagu. Tepung yang dihasilkan dari bagian dalam
sebatang pohon sagu yang ditumbuk dapat menopang kehidupan satu keluarga
selama berminggu-minggu. Menanam mengolah sagu merupakan pekerjaan laki-
laki. Sedangkan jenis tanaman lain digarap oleh perempuan. Mereka menanam
talas di kebun-kebun dekat sungai, yang tanahnya menjadi subur berkat lumpur
yang dibawa banjir. Di samping bercocok tanam, orang Mentawai, baik laki-laki
maupun perempuan, juga beternak ayam dan babi.

Dalam masyarakat Mentawai juga terdapat aktivitas-aktivitas mata-pencaharian


hidup lainnya. Kaum perempuan biasanya menangkap udang dan ikan-ikan kecil
di sungai dengan menggunakan tangguk, sedang kaum laki-laki berburu monyet,
rusa, dan babi hutan dengan panah beracun di hutan. Mereka juga memanfaatkan
hasil-hasil hutan, seperti rotan, kayu bakar, dan batang-batang pohon untuk
membuat perahu dan rumah.

Dalam sistem mata-pencaharian hidup mereka, orang Mentawai membagi


pekerjaan semata-mata berdasarkan jenis kelamin. Selain itu, pembagian kerja
yang ada pada mereka juga didasarkan atas kemampuan fisik. Pembagian kerja
juga mengandung unsur yang berkenaan dengan ruang. Pada umumnya, seorang
laki-laki Mentawai memiliki kebun sagu dan kelapa yang tersebar di seluruh
lembah. Untuk mengurus kebun-kebunnya ini, pada waktu-waktu tertentu ia dapat
meninggalkan rumah selama berhari-hari. Sebaliknya, kaum perempuan mengurus
kebun pisng dan talas yang berada di dekat rumahnya. Begitu juga halnya dengan
masalah wilayah perburuan. Laki-laki pada umumnya berburu sampai jauh ke
dalam hutan rimba, sedang perempuan menangkap ikan hanya di sekitar wilayah
pemukiman.

Kesatuan produksi dalam sistem mata-pencaharian hidup orang Mentawai adalah


keluarga. Akan tetapi, keluarga bukanlah pusat dari kehidupan orang Mentawai,
karena keluarga bukan merupakan kesatuan yang dapat berdiri sendiri. Kesatuan
dalam kehidupan orang Mentawai adalah uma, yaitu kelompok orang yang
berdiam bersama dalam sebuah rumah besar yang dibangun di atas tiang-tiang
kayu, biasanya terdiri dari lima sampai sepuluh keluarga.

Selain orang Mentawai, di Pulau Siberut juga terdapat para pendatang yang terdiri
dari berbagai etnis, antara lain orang Minangkabau sebagai kelompok terbesar,
serta etnis-etnis lain seperti orang Jawa, Batak, Aceh, dan Palembang (Swasono,
1997). Para pendatang ini umumnya hidup di tepi pantai, sebagian di antaranya
telah bermukim untuk waktu yang cukup lama, serta memantapkan diri dalam
pekerjaan sebagai pedagang. Sebagian kecil dari mereka bekerja sebagai pegawai
negeri yang bertugas di daerah ini. Masyarakat pendatang ini menyebut diri
sebagai orang tepi, untuk membedakan diri mereka dengan orang Mentawai yang
mereka anggap sebagai orang pedalaman.

Di antara kedua kelompok ini umumnya masih jarang terdapat hubungan


perkawinan. Penganutan terhadap sistem kepercayaan tradisional masih tampak
menonjol pada orang Mentawai, meskipun mereka telah dirangkul untuk memeluk
agama Kristen dan Islam. Interaksi antarindividu dari kedua pihak (penduduk asli
dan pendatang) biasanya hanyalah sejauh menyangkut kepentingan
matapencaharian. Orang tepi membutuhkan ketrampilan dan keahlian orang
Mentawai untuk mencari hasil hutan, terutama rotan dan gaharu. Untuk diekspor
ke luar daerah dan ke luar negeri. Sebaliknya orang Mentawai membutuhkan
penduduk pesisir terutama untuk membeli hasil ladang mereka.

Mulai tahun 1987 (31 Januari 1987), Kepulauan Mentawai juga diramaikan
dengan hadirnya transmigran yang berasal dari Jawa Barat, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur, terutama di kawasan Tuapejat, Pulau Sipora (Abidin, 1997).
Gugusan kepulauan sebelah utara, sejak dahulu telah merupakan tempat
persinggahan penduduk dari Pulau Nias, Pulau Tello, dan kemudian berangsur-
angsur diikuti oleh pendatang dari Tapanuli Utara.
Cara hidup sebagian penduduk asli masih berkelana (nomaden), setengah
berkelana, dan sebagian telah menetap. Mereka biasanya tinggal mengelompok
dengan rasa sosial yang sangat kuat. Program pemukiman resettlement, seringkali
sulit diterapkan, terutama bagi penduduk asli yang masih memiliki kebiasaan
berpindah-pindah itu. Hal ini dapat dipahami, karena ketergantungan mereka pada
alam masih tinggi. Kecuali penduduk asli yang sudah banyak bergaul dengan para
pendatang dan telah mengecap pendidikan modern, pada umumnya mereka tidak
lagi suka berpindah-pindah.

Dilihat dari segi kepercayaan, penduduk asli Mentawai, terutama yang masih di
pedalaman masih erat menganut kepercayaan yang mengagungkan roh nenek
moyang dan percaya kepada benda-benda, batu-batu, dan pohon-pohon yang
dianggap mempunyai kekuatan magis. Kepercayaan tersebut dinamakan Arat
Sabulungan, yang dalam bahasa asli disebut ketsat atau kere.

Semenjak dihapuskan kepercayaan Arat Sabulungan, jadilah daerah-daerah di


Kepulauan Mentawai sebagai lahan untuk menyebarkan agama-agama resmi.
Zending Kristen Protestan sangat gencar melakukan missinya di kepulauan ini,
dengan cara menitikberatkan pada peningkatan ekonomi, pendidikan, dan
pertukangan. Missionaris Katholik dari Keuskupan Padang, juga tidak kalah
gencarnya menyampaikan missinya, terutama di daerah Pagai Utara-Selatan.
Untuk menarik minat penduduk asli, penyiar agama Kristen mempergunakan
konsep-konsep lama (Arat Sabulungan) untuk menampung konsep baru dalam
agama Kristen. Konsep ketsat dalam agama lama yang diartikan sebagai kesaktian
dari roh nenek moyang, kemudian diartikan sebagai Roh Kudus (Danandjaja &
Koentjaraningrat, 2002).

Agama Islam termasuk agama yang paling dahulu masuk ke kepulauan Mentawai,
yaitu sejak tahun 1621 ketika orang Tiku mulai berhubungan dagang dengan
orang Mentawai. Akan tetapi, perkembangan Islam di Kepulauan Mentawai tidak
sepesat perkembangan agama Kristen Protestan dan Katholik. Penganut Islam
dalam jumlah yang agak banyak terutama terdapat di beberapa desa, seperti
Muara Siberut, Saliguma, Matotonan, Sarausau, Madobak, Taileleu, Sioban,
Berialou Katiet, Tuapejat, Matobek, Muara Sikabaluan, Sigapokan, Simalegi,
Sagistik, Sigapokan, Sikakap, Buriai Baru, dan lain-lain (Abidin, 1997).

IV. Keseimbangan dan Ketakseimbangan dalam Dunia Orang Mentawai

Dunia orang Mentawai bercirikan adanya ketegangan-ketegangan atau konflik-


konflik yang bersifat tetap, dan ditandai dengan usaha-usaha untuk mengurangi
konflik-konflik tersebut dan untuk memelihara keseimbangan. Pertentangan-
pertentangan ini terwujud dalam tiga bidng: (1) hubungan-hubungan
dalam uma; (2) hubungan-hubungan antar-uma; dan (3) hubungan antara manusia
dengan lingkungannya.

Dalam sebuah uma berlaku solidaritas yang sifatnya menyeluruh. Hasil kerja dari
sebuah keluarga adalah milik keluarga yang bersangkutan, namun keluarga
tersebut juga harus siap untuk membantu keluarga lain yang membutuhkan
bantuan. Prinsip solidaritas secara khusus nampak dalam kebiasaan makan.
Misalnya saja, tabu untuk memakan daging seorang diri. Bila seorang
warga uma berhasil dalam perburuan, hasil tersebut harus dibagiakan secara adil,
sehingga setiap keluarga dari uma tersebut menerima jumlah daging yang sama.
Apabila akan diadakan perayaan yang besar, maka sebelumnya seluruh
anggota uma berunding berapa ekor babi yang akan disumbangkan oleh masing-
masing keluarga, tergantung jumlah babi yang mereka miliki. Babi-babi
sumbangan ini diserahkan kepada umauntuk disembelih. Selanjutnya, dibagikan
kembali, sehingga setiap orang yang hadir menerima bagian yang sama
banyaknya.

Sifat hubungan antara uma, tidak jauh berbeda dengan sifat hubungan yang
terdapat di dalam uma. Cara hidup yang ideal bagi warga Siberut adalah hidup
bersama secara damai, dalam arti masing-masing warga tidak saling menggangu
satu ama lain. Namun demikian terdapat juga cita-cita yang bertentangan, yaitu
yang menyangkut kebanggaan dan keinginan dari setiap uma untuk
mengungguli uma-uma lainnya. Setiap uma dengan penuh kewaspadaan akan
menjaga hak-hak serta kedudukannya, dan segera mencurigai uma tetangga,
seakan-akan mereka mempunyai maksud tidak baik. Dalam masyarakat Siberut,
terdapat semacam pola rasa ketidakpercayaan, persaingan, dan ketegangan-
ketegangan yang kadang-kadang dapat menyebabkan timbulnya permusuhan
terbuka. Akan tetapi, kecenderungan yang mengarah pada persaingan yang
demikian dapat diimbangi oleh kebutuhan akan kerjasama antar-
uma. Uma tetangga dapat dimintai bantuannya jika salah sebuah uma tertentu
akan melakukan suatu pekerjaan besar, seperti pembangunan rumah uma yang
memang biaya pembangunannya tidak mungkin ditanggung oleh uma yang
bersangkutan saja.

Suatu uma harus melihat pada uma-uma lainnya untuk kebutuhan mencari istri.
Seluruh keluarga dalam suatu uma di Siberut merupakan keturunan dari satu garis
laki-laki yang sama. Para istri diambil dari masyarakat uma yang lain. Seorang
perempuan, setelah menikah, akan menjadi anggota uma suaminya. Jika dia
menjadi janda, maka ia akan kembali ke uma asalnya di mana ia akan menerima
sebidang tanah dan ikut serta dalam rumahtangga seorang saudara laki-lakinya
atau kerabat laki-lakinya.
Kepercayaan religius orang Mentawai mencerminkan kehidupan sosial mereka.
Keseimbngan dan keserasian dalam hubungan-hubungan yang dicita-citakan di
dalam dan antar-uma juga diterapkan dalam dunia supranatural mereka. Menurut
orang Mentawai, segala yang ada, baik manusia, tumbuh-tumbuhan, hewan,
maupun benda-benda, masing-masing memiliki jiwa sendiri. Semua roh dan jiwa
ini saling berinteraksi dan saling mempengaruhi satu sama lain. Tanpa campur
tangan manuia, kekuatan-kekuatan ini berada dalam suatu keadaan yang
seimbang. Akan tetapi, karena kegiatan manusia yang berkenaan dengan mata-
pencaharian hidupnya, maka keseimbangan ini menjadi terganggu. Manusia
terpaksa membunuh agar ia tetap dapat hidup.

Dengan demikian orang Mentawai menganggap bahwa setiap campur tangan


dalam lingkungan sebagai sesuatu yang menggelisahkan, karena hal itu akan
mengganggu keseimbangan yang terdapat dalam lingkungan. Gangguan ini,
seperti gangguan-gangguan pada tingkat sosial, dapat mengandung bahaya.
Obyek-obyek yang mendapat campur tangan seperti itu, umpamanya pohon yang
ditebang, bisa berontak melawan perlakuan buruk terhadap dirinya tersebut.
Selanjutnya mereka akan membalas perlakuan buruk itu pada diri manusia.
Kemarahan mereka ini dapat membuat manusia menjadi sakit.

Konflik yang terjadi antara satu kelompok manusia dengan kelompok manusia
lainnya dapat diperlunak dengan pembentukan persekutuan-persekutuan, dan
dengan saling memperhatikan dan saling memberi secara timbal balik. Prinsip
yang sama diterapkan juga pada hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Paa orang Mentawai, bila mereka akan pergi berburu,maka ia akan dilarang
memakan makanan tertentu, dilarang mandi di sungai, dan juga dilarang
melakukan hubungan seks. Dengan menahan diri dari kegiatan-kegiatan tersebut,
secara tidak langsung mereka telah memperkecil campur tangan mereka terhadap
lingkungan.

Dalam kehidupan orang Mentawai, konsepsi mengenai penyakit dan kematian


yang tak wajar merupakan hal-hal yang pokok. Hal ini disebabkan oleh tingkat
kematian di antara mereka cukup tinggi. Dari setiap perkawinan, rata-rata hanya
dua orang anak yang dapat hidup terus hingga dewasa. Orang Mentawai percaya
bahwa manusia harus tetap menjaga hubungan baik dengan jiwa agar mereka
terhindar dari segala penyakit dan segla akibatnya. Hubungan baik yang harus
mereka jalin ini sama halnya seperti mereka harus menghormati kebutuhan
kawan-kawan serta tetangga-tetangga mereka.
V. Pemahaman Terhadap Kebudayaan Mentawai

Masyarakat pendatang dan sebagian personil dari aparat pemerintahan setempat


yang bertindak sebagai agen pembaharu, cenderung untuk tidak hanya melihat
melihat kebudayaan orang Mentawai sangat berbeda dengan kebudayaan mereka
sendiri, namun juga menganggap bahwa kebudayaan orang tepi lebih tinggi
daripada kebudayaan orang Mentawai tersebut, karena alasan-alasan tertentu. Ha
ini sering terlontar dari komentar-komentar mereka tentang cara hidup dan
kebiasaan orang Mentawai yang dianggap amat berbeda dengan cara hidup
mereka, dan dinilai lebih terbelakang daripada cara hidup para pendatang itu.

Orang tepi sering merasa aneh cara berpakaian kabit (cawat) pada orang
Mentawai, mengingat di zaman peradaban masa kini, pakaian relatif mudah
diperoleh. Alasan berpakaian kabit yang dikaitkan dengan keperluan bekerja
dalam kondisi lingkungan hutan yang menjadi pertimbangan orang Mentawai,
agaknya masih sulit dibayangkan oleh pendatang yang tidak terbiasa bekerja di
hutan. Begitu pula mereka kurang memahami keterikatan orang Mentawai itu
terhadap hutan dan ladangnya sebagai bagian dari arena kehidupan mereka.

Sama halnya, para pendatang belum dapat memahami tentang masih


dijalankannya masa istirahat punen, pada saat tuntutan dari luar untuk bekerja
rutin dalam memperoleh hasil hutan telah makin meningkat, dan menjadikan
suatu peluang ekonomi bagi masyarakat pedalaman itu. Sikap mental orang
Mentawai yang dianggap kurang responsif terhadap program-program
pembangunan yang diterapkan oleh aparat desa setempat, yang sebenarnya
dilandasi oleh perasaan kedekatan terhadap wilayah dan pentingnya makna satuan
tempat dan satuan-satuan kegiatan di dalamnya, pada satuan-satuan waktu yang
berbeda, nampaknya belum termasuk dalam pemahaman para pelaksana program
pembangunan itu, walaupun menganggap telah mencoba memahami kebudayaan
orang Mentawai dalam melaksanakan program-program pembangunan di wilayah
itu.

Berkenaan dengan sistem religi, para pendatang yang sebagian besar beragama
Islam, sulit menerima kepercayaan tradisional orang Mentawai yang berisi
pemujaan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur. Para pendatang ini juga
menganggap rendah perilaku orang Mentawai makan hewan mati yang ditemukan
saat berburu di hutan. Alasan orang Mentawai bahwa semua yang diberikan oleh
dewa-dewa mereka harus diterima dan disyukuri, sulit mereka pahami, karena
menurut ajaran Islam, makan bangkai dilarang.

Selanjutnya jika terdengar komentar-komentar yang cenderung negatif dari orang


tepi, kadang-kadang juga dari para agen pembaharu, bahwa orang Mentawai
malas, memboroskan uang untuk barang-barang tak berharga, bodoh, terbelakang,
atau pun terbatas kebutuhan pokoknya, maka semua stereotip itu pada dasarnya
terjadi akibat kurangnya pemahaman mereka terhadap kebudayaan masyarakat
terasing itu dan karena etnosentrisme yang dimiliki oleh para pendatang itu.
Nampaknya masih terdapat interpretasi yang keliru terhadap nilai-nilai budaya
dan norma masyarakat terasing ini, serta amat kurangnya pemahaman tentang
konsepsi budaya tentang tataruang orang Mentawai yang melandasi kegiatan
mereka sehari-hari.

Kurangnya pemahaman terhadap kebudayaan orang Mentawai oleh orang tepi itu
sering diikuti oleh timbulnya sikap yang kurang simpatik dari mereka dari
masyarakat ini. Adanya stereotip dari pihak para pendatang yang umumnya
memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih tinggi dari segi ekonomi dan
pendidikan daripada masyarakat Mentawai itu, sering mengakibatkan respons
yang kurang menyenangkan dari mereka terhadap masyarakat Mentawai itu. Para
pendatang, misalnya, tidak jarang menetapkan harga yang terlalu rendah ketika
membeli hasil-hasil ladng orang Mentawai ini. Keadaan yang sering
menempatkan orang Mentawai dalam posisi tidak memiliki pilihan untuk tawar-
menawar itu, jelas merugikan bagi tujuan membina keserasian hubungan sosial di
antara kelompok-kelompok penduduk di Pulau Siberut itu.

Di pihak lain, keengganan orang Mentawai untuk meninggalkan uma dan ladang
mereka di pedalaman untuk mencari pekerjaan di daerah pesisir tampaknya masih
dilandasi oleh dua hal. Pertama, hal itu menunjukkan masih kuatnya pandangan
budaya mereka mengenai tataruang yang mengatur berbagai aktivitas kehidupan
sepanjang tahunnya menurut penataan wilayah berdasarkan unsur sakral dan
nonsakral, meskipun dalam praktiknya sudah terdapat perubahan dibanding masa
lalu. Kedua, hal itu dipengaruhi oleh sikap masyarakat pendatang di pesisir yang
masih belum sepenuhnya menunjukkan harmoni, melainkan hanya terbatas pada
kepentingan tertentu saja, dan pada posisi yang tidak setara, akibat masih adanya
sikap merendahkan kebudayaan masyarakat terasing ini.

VI. Perubahan Sosial-Budaya di Mentawai

Beberapa tahun terakhir ini, perubahan sosial-budaya telah makin banyak dialami
oleh orang Mentawai di Pulau Siberut, melalui peningkatan jumlah para
pendatang untuk mengeksploitasi lingkungan alam setempat. Hal ini menyusul
masuknya program-program pembangunan desa yang sudah lebih dahulu
diterapkan melalui aktivitas kepala desa, sebagai jajaran terbawah dalam hirarki
pimpinan dalam sistem pemerintahan nasional, bersama aparatnya. Perubahan ini
tentu saja tak dpat dihindari, dan akan selalu terjadi, antara lain sebagai bentyuk
komitmen Pemerintah Republik Indonesia untuk meningkatkan lingkungan dan
taraf hidup rakyatnya.
Masuknya unsur luar secara bertahap telah mengubah lingkungan pemukiman
masyarakat Mentawai, di antaranya datang dari berbagi pihak seperti:

1. Pihak HPH yang mengekploitasi hutan di kawasan itu selama beberapa tahun

2. Perusahaan pengolahan sagu yang memperoleh izin mengeksplorasi hutan sagu

3. Para investor swasta yang meningkatkan eksploitasi hasil hutan dengan


mempekerjakan orang Mentawai

4. Masuknya jenis-jenis makanan baru yang dibawa pedagang dari luar

5. Biro wisata

6. Penerapan Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing (PKMT) oleh


Departemen Sosial RI

7. Sejumlah agen perubahan lain dari pemerintah beserta program-program


mereka, di antaranya pranata puskesmas dengan sistem medis modernnya.

Penerapan program-program pembangunan di lingkungan suatu masyarakat yang


merupakan penduduk asli, telah dan akan terus merubah tatanan lingkungan alam
maupun ritme kehidupan masyarakat tersebut dari keadaannya yang semula. Di
lingkungan masyarakat Mentawai di Pulau Siberut, telah terjadi pula perubahan
pada organisasi sosial mereka yang bersifat tradisional. Di beberapa desa
misalnya, tokoh rimata tidak berperan aktif lagi dalam pranata kkerabatan pada
kln-klen orang Mentawai. Kedudukan mereka telah digantikan oleh kepala
kerabat dalam rumahtangga dengan ruang lingkup keanggotaan kerabat yang lebih
kecil, sehingga aktivitas bersama dalam kesatuan klen besar makin jarang
terwujud. Di desa-desa lainnya, peranan rimata digantikan oleh kepala desa yang
merupakan bagian dari sistem pemerintahan nasional.

Peranan sikerei sebagai penyembuh tradisionaldi beberapa tempat juga sudah


semakin berkurang, antara lain dengan masuknya puskesmas dan diperolehnya
berbagai jenis obat-obatan yang dijual bebas di warung. Sementara itu, upacara
ritual pengobatan yang seharusnya bersifat sakral, di beberapa tempat telah
berubah menjadi bagian dari aktraksi wisata bagi para wisatawan asing.

Orang Mentawai tidak begitu siap menghadapi serangan yang demikian gencar
terhadap cara-cara tradisional mereka. Hanya di bagian pedalaman Siberut yang
tidak mudah dicapai, terdapat uma-umabesar yang masih menjalankan tradisi
mereka sampai pada tingkat tertentu. Dari sudut pandang yang obyektif, orang
Mentawai sebenarnya dapat hidup dengan lebih baik dalam sistem mereka sendiri
yang bersifat subsisten daripada harus hidup dengan pendapatan yang sangat
rendah. Lagi pula dalam sistem ekonomi yang bersifat subsisten ini, juga terdapat
kemungkinan-kemungkinan perkembangan secara bertahap, yang tidak perlu
mengikuti garis Barat, dan yang tidak akan menghancurkan taat kehidupan
mereka sendiri.

Program Pemukiman Kembali Masyarakat Terasing oleh Depsos RI tetap


berjalan. Kenyataan bahwa orang Mentawai menerima untuk dimukimkan
kembali di lokasi yang dekat dengan desa mereka yang lama, namun cenderung
menolak bila dimukimkan kembali di lokasi yang jauh dari lokasi uma lama
mereka. Hal ini menunjukkan tentang masih kuatnya makna uma dalam
kehidupan mereka. Jika tempat pemukiman baru yang dibangun oleh PKMT
Depsos RI berada tidak jauh dari uma lama mereka, maka kesempatan untuk
menjalankan ritual dalam memenuhi kebutuhan spiritual mereka secara kontimu
masih tetap ada. Namun apabila PKMT dibangun di lokasi yang jauh dari uma,
masyarakat kehilangan kesempatan atau kemudahan untuk menjalankan
kehidupan spiritual mereka.

Walaupun merupakan hal yang kurang menguntungkan dan perlu diluruskan,


kiranya dapat pula dipahami alasan dari masyarakat Mentawai di Pulau Siberut
untuk menerima dengan baik para wisatawan budya dari luar negeri yang datang
ke uma mereka untuk menikmati cara hidup, kebudayaan materi mereka, serta
keindahan lingkungan alam di sekitar uma dan ladang mereka. Orang Mentawai
menganggap wisatawan asing ini lebih memahami cara hidup mereka
daripada orang tepi yang cenderung melihat kebudayaan orang Mentawai itu
melalui sudut pandang dan ukuran yang berbeda.

Namun perbedaan respons semaca, ini perlu ditata kembali, mengingat adanya
perbedaan di antara kepentingan pihak pemerintah danj kepentingan pihak
wisatawan terhadap kehidupan masyarakat Mentawai itu. Para wisatawan yang
bertolak dari kebutuhan mereka untuk menikmati cara hidup dan kebiasaan
masyarakat yang berbeda dengan adat-istiadat mereka sendiri, cenderung lebih
menginginkan dipertahankannya cara-cara hidup lama dari orang Mentawai itu,
termasuk yang sebenarnya menghambat kemajuan masyarakat itu, demi
kepentingan konsumsi wisata untuk dapat mreka nikmati.

Sebaliknya, berdasarkan kontribusi negara kita yang melihat semua sukubangsa


dalam status yang sama. Pemerintah mempunyai komitmen untuk membangun
seluruh kelompok masyarakat di Indonesia yang taraf hidupnya masih rendah,
untuk secara bertahap ditingkatkan menjadi setara dengan taraf hidup warga suku-
sukubangsa lainnya yang sudah lebih baik. Untuk itu pembangunan yang
menuntut perubahan unsur-unsur kebudayaan tertentu dari masyarakat yang akan
dibina, tidak dapat dihindari.
DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Masoed. 1997. Islam dalam Pelukan Muhtadin Mentawai 30 Tahun


Perjalanan Dawah Ilallah Mentawai Menggapai Cahaya Iman 1967 1997. Dewan
Dahwah Islamiyah Indonesia. Padang.

Danandjaja, James & Koentjaraningrat. 2002. Penduduk Kepulauan Sebelah Barat


Sumatra dalamKoentjaraningrat (ed.). Manusia dan Kebudayaan di
Indonesia. Djambatan. Jakarta.

Geertz, Clifford. 1963. The Integrative Resolution: Primordial Sentiments and


Civil Politics in the New States dalam Clifford Geertz (ed.). Old Societies and
New States: The Quest for Modernity in Asia and Africa. The Free Press.
Glencoe.

Persoon, Gerard & Reimar Schefold. 1985. Pulau Siberut: Pembangunan Sosio-
Ekonomi, Kebudayaan Tradisional dan Lingkungan Hidup. Penerbit Bhratara
Karya Aksara. Jakarta.

Schefold, Reimar. 1985. Keseimbangan Mentawai dan Dunia


Modern dalam Michael R. Dove (ed.). Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia
dalam Modernisasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.

Sunaryo, Astrid S. 1994. Usaha Pemberantasan Kemiskinan dengan Pendekatan


Sosial dan Budaya.Gramedia. Jakarta.

Swasono, Meutia F. 1997. Budaya Mentawai: Konsepsi Tata Ruang dalam M.


Junus Melalatoa (ed.). Sistem Budaya Indonesia. PT. Pamator. Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai