ASMA BRONKIAL
Disusun oleh:
Hamsyariyah, S.Ked
FAB 117 003
Pembimbing:
dr. Sutopo M.Widodo, Sp.KFR
dr. Tagor Sibarani
1
BAB I
PENDAHULUAN
2
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS
Nama : Tn. M
Usia : 36 tahun
Pekerjaan : Swasta
Agama : Islam
Alamat : Palangkaraya
Tanggal MRS : 16-12-2017, pukul 16.00 WIB
II. ANAMNESIS
Keluhan utama : Sesak nafas
Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan sesak napas yang
disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat pasien sedang tertidur.
Sesak semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti ini sudah
berulang sejak pasien masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan atau
3
udara dingin. Saat sesak pasien tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien
biasanya meminum obat salbutamol bila sesaknya kambuh. Sesak juga diserta
batuk berdahak. Dahak bewarna putih agak kental, keluar sedikit-sedikit kadang
tidak keluar. Keluhan seperti batuk dengan bercak darah (-), nyeri dada (-), mual
muntah (-), sakit kepala (-). Apabila saat pagi hari dengan udara dingin pasien
mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) jika terkena debu.
Riwayat penyakit dahulu : Riwayat asma (+) sejak remaja, riwayat alergi (+),
riwayat alergi obat (-), riwayat hipertensi (-), riwayat DM (-)
Riwayat penyakit keluarga : Ibu dan anak perempuan pasien memiliki penyakit
yang serupa dengan pasien.
V. DIAGNOSIS
Asma bronkial
4
VI. PENATALAKSANAAN
O2 nasal kanul 2-3 lpm
Nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial
Obat oral : Salbutamol 3 x 2 mg
Metilprednisolone 3 x 4 mg
VII. PROGNOSIS
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam
5
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus dengan keluhan sesak napas yang
disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat pasien sedang tertidur. Sesak
semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti ini sudah berulang sejak
pasien masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan atau udara dingin. Saat
sesak pasien tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien biasanya meminum obat
salbutamol bila sesaknya kambuh. Sesak juga diserta batuk berdahak. Dahak bewarna
putih agak kental, keluar sedikit-sedikit kadang tidak keluar. Keluhan seperti batuk dengan
bercak darah (-), nyeri dada (-), mual muntah (-), sakit kepala (-). Apabila saat pagi hari
dengan udara dingin pasien mengeluh sering meler. Bersin-bersin (+) jika terkena debu.
Paien memiliki riwayat asma (+) sejak remaja, riwayat alergi (+), serta ibu dan anak
perempuan pasien memiliki penyakit yang serupa.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital : tekanan darah : 110/70 mmHg,
denyut nadi: 84 x/menit, suhu 36,5oC, RR: 26 kali/menit. Sehingga pada pasien ini
ditemukan adanya takipnea, yaitu pernapasannya 26x/menit. Selain itu juga pada
pemeriksaan fisik ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi intercostal, dan
pada auskultasi ditemukan adanya wheezing pada seluruh lapang paru. Pada pemeriksaan
penunjang pada pasien ini tidak dilakukan.
Pada pasien ini mendapakan tatalaksana awal yaitu dengan diberikan oksigen nasal
canul 2-3 lpm. Kemudian diberikan nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial.
Combivent mengandung salbutamol dan ipratropium bromide. Salbumatol
merupakan obat adrenergic beta-2 yang bekerja merelaksasiakn otot polos saluran nafas
mulai dari trakea hingga bronkiolus. Sedangkan ipratropium bromide memiliki sifat
antikolinergik sehingga memberikan efek bronkodilatasi pada pasien dengan asma.
Flixotide mengandung flutikason propionate, yang berfungsi untuk menghambat
proliferasi sel mast, eusinofil, limfosit, makrofag, neutrofil, mengurangi produksi dan
pelepasan mediator inflamasi. Sehingga dapat mengurangi gejala obstruksi jalan nafas,
seperti pada asma bronkiale.
Definisi Asma
6
Asma adalah penyakit inflamasi kronis saluran pernapasan yang dihubungkan
dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversibel dan gejala pernapasan.1
Asma bronkial adalah salah satu penyakit paru yang termasuk dalam kelompok penyakit
paru alergi dan imunologi yang merupakan suatu penyakit yang ditandai oleh tanggap
reaksi yang meningkat dari trakea dan bronkus terhadap berbagai macam rangsangan
dengan manifestasi berupa kesukaran bernapas yang disebabkan oleh penyempitan yang
menyeluruh dari saluran napas. Penyempitan ini bersifat dinamis dan derajat penyempitan
dapat berubah, baik secara spontan maupun karena pemberian obat.2
Epidemiologi
Asma dapat ditemukan pada laki – laki dan perempuan di segala usia, terutama
pada usia dini. Perbandingan laki – laki dan perempuan pada usia dini adalah 2:1 dan pada
usia remaja menjadi 1:1. Prevalensi asma lebih besar pada wanita usia dewasa. Laki-laki
lebih memungkinkan mengalami penurunan gejala di akhir usia remaja dibandingkan
dengan perempuan.3 Hasil penelitian International Study on Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) pada tahun 2005 menunjukkan bahwa di Indonesia prevalensi
penyakit asma meningkat dari 4,2% menjadi 5,4%. Diperkirakan prevalensi asma di
Indonesia 5% dari seluruh penduduk Indonesia, artinya saat ini ada 12,5 juta pasien asma
di Indonesia.5
8
o Timbulnya gejala cenderung pada saat akhir kehidupan atau
dikemudian hari
b. Intrinsik/idiopatik ( non alergik ) Ditandai dengan adanya reaksi non alergi
yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak spesifik atau tidak diketahui,
seperti udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering
sejalan dengan berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkitis
kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan.
Sifat dari asma intrinsik :
Alergen pencetus sukar ditentukan
Tidak ada alergen ekstrinsik sebagai penyebab dan tes kulit memberi
hasil negatif
Merupakan kelompok yang heterogen, respon untuk terjadi asma
dicetuskan oleh penyebab dan melalui mekanisme yang berbeda-beda.
Sering ditemukan pada penderita dewasa, dimulai pada umur di atas
30 tahun dan disebut juga late onset asma
Serangan sesak pada asma tipe ini dapat berlangsung lama dan
seringkali menimbulkan kemaian bila pengobatan tanpa disertai
kortikosteroid
Perubahan patologi yang terjadi sama dengan asma ekstrinsik, namun
tidak dapaat dibuktikan dengan keterlibatan IgE
Kadar IgE serum normal, tetapi eosinofil dapat meningkat jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan asma ekstrinsik
Selain itu tes serologi dapat menunjukkan adanya faktor rematoid
misalnya sel LE
Riwayat keluarga jauh lebih sediking sekitar 12-48%
Polip hidung dan sensitivitas terhadap aspirin sering dijumpai
c. Asma gabungan Bentuk asma yang paling umum. Asma ini mempunyai
karakteristik dari bentuk alergik dan non-alergik.
2. Berdasarkan Keparahan Penyakit:
a. Asma intermiten. Gejala muncul < 1 dalam 1 minggu, eksaserbasi ringan
dalam bebrapa jam atau hari, gejala asma malam hari terjadi < 2 dalam 1 bulan,
9
fungsi paru normal dan asimtomatik di antara waktu serangan, Peak expiratory
folw ( PEF) dan Forced Expiratory Value in 1 second ( PEVI) > 80%
b. Asma ringan. Gejala muncul > 1 kali dalam 1 minggu tetapi < 1 kali dalam 1
hari, eksaserbasi mengganggu aktifitas atau tidur, gejala asma malam hari
terjadi > 2 kali dalam 1 bulan, PEF dan PEVI > 80%
c. Asma sedang. Gejala muncul tiap hari, eksaserbasi menganggu aktifitas atau
tidur, gejala asma malam hari terjadi > 1 kali dalam seminggu, menggunakan
inhalasi beta 2 agonis kerja cepat dalam keseharian, PEF dan PEVI > 60% dan
< 80%
d. Asma parah. Gejala terus menerus terjadi, eksaserbasi sering terjadi, gejala
asma malam hari sering terjadi, aktivitas fisik terganggu oleh gejala asma, PEF
dan PEVI < 60%.
e. Berdasarkan terkontrol atau tidaknya asma Dibagi menjadi 3 yaitu asma
terkontrol, asma terkontrol sebagian ( partial) dan asma tak terkontrol.1,2
10
tekanan darah dan denyut nadi sampai 110-130/menit, karena peningkatan konsentrasi
kaekolamin dalam darah akibat respon hipoksemia.
Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
laboratorium, dan pemeriksaan penunjang.
a. Anamnesis, meliputi adanya gejala yang episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan dengan cuaca.
11
Faktor – faktor yang mempengaruhi asma, riwayat keluarga dan adanya riwayat
alergi.
b. Pemeriksaan Fisik, pada pasien asma tergantung dari derajat obstruksi saluran
napas. Tekanan darah biasanya meningkat, frekuensi pernapasan dan denyut nadi
juga meningkat, ekspirasi memanjang diserta ronki kering, mengi.
c. Pemeriksaan Laboratorium Darah (terutama eosinofil, Ig E), sputum (eosinofil,
spiral Cursshman, kristal Charcot Leyden).
d. Pemeriksaan Penunjang
Spirometri. Spirometri adalah alat yang dipergunakan untuk mengukur faal
ventilasi paru. Reversibilitas penyempitan saluran napas yang merupakan ciri
khas asma dapat dinilai dengan peningkatan volume ekspirasi paksa detik
pertama (VEP1) dan atau kapasiti vital paksa (FVC) sebanyak 20% atau lebih
sesudah pemberian bronkodilator.
Uji Provokasi. Bronkus Uji provokasi bronkus membantu menegakkan
diagnosis asma. Pada penderita dengan gejala sma dan faal paru normal
sebaiknya dilakukan uji provokasi bronkus. Pemeriksaan uji provokasi
bronkus merupakan cara untuk membuktikan secara objektif hiperreaktivitas
saluran napas pada orang yang diduga asma. Uji provokasi bronkus terdiri
dari tiga jenis yaitu uji provokasi dengan beban kerja (exercise),
hiperventilasi udara dan alergen non-spesifik seperti metakolin dan histamin.
Foto Toraks. Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk menyingkirkan
penyakit lain yang memberikan gejala serupa sepert gagal jantung kiri,
obstruksi saluran nafas, pneumothoraks, pneumomediastinum. Pada serangan
asma yang ringan, gambaran radiologik paru biasanya tidak memperlihatkan
adanya kelainan.
Diagnosis Banding
1. Bronkitis kronik
Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan sputum 3 bulan
dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Gejala utama batuk yang disertai sputum
dan perokok berat. Gejala dimulai dengan batuk pagi, lama kelamaan disertai
mengi dan menurunkan kemampuan jasmani.
2. Emfisema paru
12
Sesak napas merupakan gejala utama emfisema, sedangkan batuk dan mengi jarang
menyertainya.
3. Gagal jantung kiri
Dulu gagal jantung kiri dikenal dengan asma kardial dan timbul pada malam hari
disebut paroxysmal nocturnal dispnea. Penderita tiba-tiba terbangun pada malam
hari karena sesak, tetapi sesak menghilang atau berkurang bila duduk. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kardiomegali dan edema paru.
Penatalaksanaan
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan
aktiviti sehari-hari Tujuan penatalaksanaan asma:4
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma Penatalaksanaan asma bertujuan untuk
mengontrol penyakit, disebut sebagai asma terkontrol. Asma terkontrol adalah
kondisi stabil minimal dalam waktu satu bulan.
13
mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma persisten. Pengontrol
sering disebut pencegah, yang termasuk obat pengontrol :
Kortikosteroid inhalasi. Pengobatan jangka panjang yang paling efektif
untuk mengontrol asma. Penggunaan steroid inhalasi menghasilkan
perbaikan faal paru, menurunkan hiperesponsif jalan napas, mengurangi
gejala, mengurangi frekuensi dan berat serangan dan memperbaiki
kualiti hidup. Steroid inhalasi adalah pilihan bagi pengobatan asma
persisten (ringan sampai berat).
Kortikosteroid sistemik. Cara pemberian melalui oral atau parenteral.
Harus selalu diingat indeks terapi (efek/ efek samping), steroid inhalasi
jangka panjang lebih baik daripada steroid oral jangka panjang.
Sodium kromoglikat dan Nedokromil sodium. Kromolin (sodium
kromoglikat dan nedokromil sodium) Pemberiannya secara inhalasi.
Digunakan sebagai pengontrol pada asma persisten ringan. Dibutuhkan
waktu 4-6 minggu pengobatan untuk menetapkan apakah obat ini
bermanfaat atau tidak.
Metilsantin. Teofilin adalah bronkodilator yang juga mempunyai efek
ekstrapulmoner seperti antiinflamasi. Teofilin atau aminofilin lepas
lambat dapat digunakan sebagai obat pengontrol, berbagai studi
menunjukkan pemberian jangka lama efektif mengontrol gejala dan
memperbaiki faal paru.
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi. Termasuk di dalam agonis beta-2
kerja lama inhalasi adalah salmeterol dan formoterol yang mempunyai
waktu kerja lama (> 12 jam). Seperti lazimnya agonis beta-2
mempunyai efek relaksasi otot polos, meningkatkan pembersihan
mukosilier, menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan memodulasi
penglepasan mediator dari sel mast dan basofil.
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifiers. Obat ini merupakan antiasma yang relatif baru
dan pemberiannya melalui oral. Mekanisme kerja menghasilkan efek
bronkodilator minimal dan menurunkan bronkokonstriksi akibat
alergen, sulfurdioksida dan exercise. Selain bersifat bronkodilator, juga
mempunyai efek antiinflamasi. Kelebihan obat ini adalah preparatnya
14
dalam bentuk tablet (oral) sehingga mudah diberikan. Saat ini yang
beredar di Indonesia adalah zafirlukas (antagonis reseptor leukotrien
sisteinil).
Antihistamin generasi ke dua (antagonis -H1)
b. Pelega (Reliever). Prinsipnya untuk dilatasi jalan napas melalui relaksasi otot
polos, memperbaiki dan atau menghambat bronkostriksi yang berkaitan
dengan gejala akut seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak
memperbaiki inflamasi jalan napas atau menurunkan hiperesponsif jalan
napas. Termasuk pelega adalah :
Agonis beta2 kerja singkat. Agonis beta-2 kerja singkat. Termasuk
golongan ini adalah salbutamol, terbutalin, fenoterol, dan prokaterol
yang telah beredar di Indonesia. Mempunyai waktu mulai kerja (onset)
yang cepat. Mekanisme kerja sebagaimana agonis beta-2 yaitu relaksasi
otot polos saluran napas, meningkatkan bersihan mukosilier,
menurunkan permeabiliti pembuluh darah dan modulasi penglepasan
mediator dari sel mast. Merupakan terapi pilihan pada serangan akut
dan sangat bermanfaat sebagai praterapi pada exerciseinduced asthma.
Kortikosteroid sistemik. Steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega
bila penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil
belum tercapai, penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator
lain).
Antikolinergik. Pemberiannya secara inhalasi. Mekanisme kerjanya
memblok efek penglepasan asetilkolin dari saraf kolinergik pada jalan
napas. Menimbulkan bronkodilatasi dengan menurunkan tonus
kolinergik vagal intrinsik, selain itu juga menghambat refleks
bronkokostriksi yang disebabkan iritan. Termasuk dalam golongan ini
adalah ipratropium bromide dan tiotropium bromide.
Aminofillin
Adrenalin. Dapat sebagai pilihan pada asma eksaserbasi sedang sampai
berat. Pemberian secara subkutan harus dilakukan hati-hati pada
penderita usia lanjut atau dengan gangguan kardiovaskular. Pemberian
intravena dapat diberikan bila dibutuhkan, tetapi harus dengan
pengawasan ketat (bedside monitoring).
15
3. Cara pemberian pengobatan.
Pengobatan asma dapat diberikan melalui berbagai cara yaitu inhalasi, oral dan
parenteral (subkutan, intramuskular, intravena). Kelebihan pemberian pengobatan
langsung ke jalan napas (inhalasi) adalah :
a. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
b. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
c. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorpsi
pada pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator
adalah lebih cepat bila diberikan inhalasi daripada oral.
Komplikasi
Berbagai komplikasi yang mungkin timbul adalah:1
a. Status asmatikus
b. Atelektasis
c. Hipoksemia
d. Pneumothoraks
e. Emfisema
Prognosis
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi beresiko yang berjumlah kira-kira 10
juta. Sebelum dipakai kortikosteroid, secara umum angka kematian penderita asma wanita
dua kali lipat penderita asma pria. Juga kenyataan bahwa angka kematian pada serangan
asma dengan usia tua lebih banyak, kalau serangan asma diketahui dan dimulai sejak
kanak – kanak dan mendapat pengawasan yang cukup kirakira setelah 20 tahun, hanya 1%
yang tidak sembuh dan di dalam pengawasan tersebut kalau sering mengalami serangan
common cold 29% akan mengalami serangan ulang. Pada penderita yang mengalami
serangan intermitten angka kematiannya 2%, sedangkan angka kematian pada penderita.4
16
BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan sebuah kasus pada seorang laki-laki, usia 36 tahun datang dengan
keluhan sesak napas yang disertai bunyi mengi sejak 9 jam SMRS. Sesak muncul saat
pasien sedang tertidur. Sesak semakin meningkat sehingga dibawa ke RS. Keluhan seperti
ini sudah berulang sejak pasien masih muda. Sesak dirasakan apabila pasien kelelahan
atau udara dingin. Saat sesak pasien tidak dapat melakukan aktivitas apapun. Pasien
biasanya meminum obat salbutamol bila sesaknya kambuh. Sesak juga diserta batuk
berdahak. Dahak bewarna putih agak kental, keluar sedikit-sedikit kadang tidak keluar.
Keluhan seperti batuk dengan bercak darah (-), nyeri dada (-), mual muntah (-), sakit
kepala (-). Apabila saat pagi hari dengan udara dingin pasien mengeluh sering meler.
Bersin-bersin (+) jika terkena debu. Paien memiliki riwayat asma (+) sejak remaja, riwayat
alergi (+), serta ibu dan anak perempuan pasien memiliki penyakit yang serupa.
Pada pemeriksaan fisik adanya takipnea, yaitu pernapasannya 26x/menit. Selain itu
juga pada pemeriksaan fisik ditemukan adanya pernapasan cuping hidung, retraksi
intercostal, dan pada auskultasi ditemukan adanya wheezing pada seluruh lapang paru.
Penatalaksanaan awal pada pasien ini adalah diberikan oksigen nasal sebanyak 2-3
lpm, kemudian diberikan nebulizer dengan combivent dan flixotide 1 vial. Setelah
dilakukan nebulizer, sesak napas pada pasien berkurang, dan pada pemeriksaan fisik tidak
ditemukan adanya otot bantu nafas dan wheezing pada auskultasi paru. Sehingga pada
pasien ini boleh rawat jalan, dengan diberikan obat oral Salbutamol 3 x 2 mg dan
Metilprednisolone 3 x 4 mg.
17
DAFTAR PUSTAKA
1. Riyanto BS, Hisyam B. 2006. Obstruksi Saluran Pernafasan Akut In : Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta : EGC 2.
2. Alsagaff H, Mukty A. 2002. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya : Airlangga
University Press
3. Partridge MD. 2007. Examining the unmet need In adults with severe asthma : Eur
Respir Rev
4. Menteri Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Keputusan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 1023 / Menkes/ SK/ XI/2008 tentang pedoman
pengendalian penyakit asma. Jakarta
5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan penyakit asma di indonesia.
6. Mcfadden ER. 2000. Penyakit asma In : Prinsip-prinsip ilmu penyakit Dalam
harrison. Jakarta :EGC
18