Sebuah Makalah
Diajukan sebagai tugas mata kuliah Filsafat Ilmu Fakultas Teknik Geologi
Universitas Padjajaran
Disusun oleh
Stephen
270110140141
Kelas E
Program Studi Teknik Geologi
Makna perkembangan pada manusia adalah terjadinya perubahan yang besifat terus
nenerus dari keadaan sederhana ke keadaan yang lebih lengkap, lebih komleks dan
lebih berdiferensiasi. Jadi berbicara soal perkembangan manusia yang dibicarakan
adalah perubahan. Pertanyaannya adalah perubahan apa saja yang terjadi pada diri
seorang anak dalam proses perkembangan ? Untuk menjawab pertanyaan itu maka
perlu dipahami tentang aspek-aspek perkembangan.
Pelopor teori ini adalah Athur Schopenhauer. Teori ini menyatakan bahwa
perkembangan manusia dipengaruhi oleh nativus atau faktor-faktor bawaan
manusia sejak dilahirkan. Teori ini menegaskan bahwa manusia memiliki
sifat-sifat tertentu sejak dilahirkan yang mempengaruhi dan menentukan
keadaan individu yang bersangkutan. Faktor lingkungan dan pendidikan
diabaikan dan dikatakan tidak berpengaruh terhadap perkembangan manusia.
Teori ini memiliki pandangan seolah-olah sifat-sifat manusia tidak bisa diubah
karena telah ditentukan oleh sifat –sifat turunannya. Bila dari keturunan baik
maka akan baik dan bila dari keturunan jahat maka akan menjadi jahat. Jadi
sifat manusia bersifat permanen tidak bisa diubah. Teori ini memandang
pendidikan sebagai suatu yang pesimistis serta mendeskreditkan golongan
manusia yang “kebetulan” memiliki keturunan yang tidak baik.
Teori ini merupakan gabungan dari kedua teori di atas yang menyatakan
bahwa pembawaan dan pengalaman memiliki peranan dalam mempengaruhi
dan menentukan perkembangan individu. Asumsi teori ini berdasar
eksperimen dari William Stern terhadap dua anak kembar. Anak kembar
memiliki sifat keturunan yang sama, namun setelah dipisahkan dalam
lingkungan yang berbeda anak kembar tersebut ternyata memiliki sifat yang
berbeda. Dari sinilah maka teori ini menyimpulkan bahwa sifat keturunan atau
pembawaan bukanlah faktor mayor yang menentukan perkembangan individu
tapi turut juga disokong oleh faktor lingkungan.
Faktor pembawaan manusia dalam teori ini disebut sebagai faktor endogen
yang meliputi faktor kejasmanian seperti kulit putih, rambut keriting, rambut
warna hitam. Selain faktor kejasmanian faktor ada juga faktor pembawaan
psikologis yang disebut dengan temperamen. Temperamen berbeda dengan
karakter atau watak. Karakter atau watak adalah keseluruhan ari sifat manusia
yang namapak dalam perilaku sehari-hari sebagai hasil dari pembawaan dan
lingkungan dan bersifat tidak konstan. Jika watak atau karakter bersifat tidak
konstan maka temperamen bersifat konstan. Selain temperamen dan sifat
jasmani, faktor endogen lainnya yang ada pada diri manusia adalah faktor
bakat (aptitude). Aptitude adalah potensi-potensi yang memungkinkan
individu berkembang ke satu arah.
Untuk faktor lingkungan yang dimaksud dalam teori ini disebut sebagai faktor
eksogen yaitu faktor yang datang dari luar diri manusia berupa pengalaman,
alam sekitar, pendidikan dan sebagainya yang populer disebut sebagai milieu.
Perbedaan antara lingkungan dengan pendidikan adalah terletak pada
keaktifan proses yang dijalankan. Bila lingkungan bersifat pasif tidak
memaksa bergantung pada individu apakah mau menggunakan kesempatan
dan manfaat yang ada atau tidak. Sedangkan pendidikan bersifat aktif dan
sistematis serta dijalankan penuh kesadaran.
Periode ini disebut juga dengan tahapan sensorik oral, karena orang biasa
melihat bayi memasukkan segala sesuatu ke dalam mulutnya. Sosok Ibu
memainkan peranan terpenting untuk memberikan perhatian positif dan penuh
kasih kepada anak, dengan penekanan pada kontak visual dan sentuhan. Jika
periode ini dilalui dengan baik, bayi akan menumbuhkan perasaan trust
(percaya) pada lingkungan dan melihat bahwa kehidupan ini pada dasarnya
baik. Sebaliknya, bila gagal di periode ini, individu memiliki perasaan mistrust
(tidak percaya) dan akan melihat bahwa dunia ini adalah tempat yang
mengecewakan dan penuh frustrasi. Banyak studi tentang bunuh diri dan usaha
bunuh diri yang menunjukkan betapa pentingnya pembentukan keyakinan di
tahun-tahun awal kehidupan ini. Di awal kehidupan ini begitu penting
meletakkan dasar perasaan percaya dan keyakinan bahwa tiap manusia
memiliki hak untuk hidup di muka bumi, dan hal itu hanya bisa dilakukan oleh
sosok Ibu, atau siapapun yang dianggap signifikan dalam memberikan kasih
sayang secara tetap.
Sesuai dengan konsep Freudian, di masa ini anak (khususnya laki-laki) juga
sedang berjuang dalam identitas gender-nya yang disebut “oedipal struggle”.
Kita sering melihat anak laki-laki yang bermain dengan alat kelaminnya,
saling menunjukkan pada sesama anak laki-laki, atau bahkan menunjukkan
pada anak perempuan sebaya. Kegagalan melalui fase ini menimbulkan
perasaan bersalah. Hubungan yang signifikan di periode ini adalah dengan
keluarga inti (ayah, ibu, dan saudara).
Periode ini sering disebut juga dengan periode laten, karena individu sepintas
hanya menunjukkan pertumbuhan fisik tanpa perkembangan aspek mental
yang berarti, berbeda dengan fase-fase sebelumnya. Kita bisa simak, dalam
periode sebelumnya pertumbuhan dan perkembangan berbilang bulan saja
untuk manusia agar bisa tumbuh dan berkembang.
Ketrampilan baru yang dikembangkan selama periode ini mengarah pada sikap
industri (ketekunan belajar, aktivitas, produktivitas, semangat, kerajinan, dsb),
serta berada di dalam konteks sosial. Bila individu gagal menempatkan diri
secara normal dalam konteks sosial, ia akan merasakan ketidak mampuan dan
rendah diri. Sekolah dan lingkungan sosial menjadi figur yang berperan
penting dalam pembentukan ego ini, sementara orang tua sekalipun masih
penting namun bukan lagi sebagai otoritas tunggal.
Bila sebelumnya perkembangan lebih berkisar pada apa yang dilakukan untuk
saya, sejak stage perkembangan ini perkembangan tergantung pada apa yang
saya kerjakan. Karena di periode ini individu bukan lagi anak tetapi belum
menjadi dewasa, hidup berubah sangat kompleks karena individu berusaha
mencari identitasnya, berjuang dalam interaksi sosial, dan bergulat dengan
persoalan-persoalan moral. Tugas perkembangan di fase ini adalah
menemukan jati diri sebagai individu yang terpisah dari keularga asal dan
menjadi bagian dari lingkup sosial yang lebih luas.
Bila stage ini tidak lancara diselesaikan, orang akan mengalami kebingungan
dan kekacauan peran. Hal utama yang perlu dikembangkan di sini adalah
filosofi kehidupan. Di masa ini, seseorang bersifat idealis dan mengharapkan
bebas konflik, yang pada kenyataannya tidak demikian. Wajar bila di periode
ada kesetiaan dan ketergantungan pada teman.
Langkah awal menjadi dewasa adalah mencari teman dan cinta. Hubungan
yang saling memberikan rasa senang dan puas, utamanya melalui perkawinan
dan persahabatan. Keberhasilan di stage ini memberikan keintiman di level
yang dalam. Kegagalan di level ini menjadikan orang mengisolasi diri,
menjauh dari orang lain, dunia terasa sempit, bahkan hingga bersikap superior
kepada orang lain sebagai bentuk pertahanan ego. Hubungan yang signifikan
adalah melalui perkawinan dan persahabatan.
Masa ini dianggap penting karena dalam periode inilah individu cenderung
penuh dengan pekerjaan yang kreatif dan bermakna, serta berbagai
permasalahan di seputar keluarga. Selain itu adalah masa “berwenang” yang
diidamkan sejak lama. Tugas yang penting di sini adalah mengejawantahkan
budaya dan meneruskan nilai budaya pada keluarga (membentuk karakter
anak) serta memantapkan lingkungan yang stabil. Kekuatan timbul melalui
perhatian orang lain, dan karya yang memberikan sumbangan pada kebaikan
masyarakat, yang disebut dengan generativitas.
Jadi di masa ini, kita takut akan ketidak aktifan dan ketidak bermaknaan diri.
Sementara itu, ketika anak-anak mulai keluar dari rumah, hubungan
interpersonal tujuan berubah, ada kehidupan yang berubah drastic, individu
harus menetapkan makna dan tujuan hidup yang baru. Bila tidak berhasil di
stage ini, timbullah self-absorpsi atau stagnasi. Yang memainkan peranan di
sini adalh komunitas dan keluarga.
Orang berusia lanjut yang bisa melihat kembali masa-masa yang telah
dilaluinya dengan bahagia, merasa tercukupi, dan merasa telah memberikan
kontribusi pada kehidupan, ia akan merasakan integritas. Kebijaksanaannya
yang tumbuh menerima keluasan dunia dan menjelang kematian sebagai
kelengkapan kehidupan.
Manusia sebagai makhluk berpikir dibekali hasrat ingin tahu terhadap benda dan
semua peristiwa yang terjadi di sekitarnya, bahkan juga ingin tahu terhaap dirinya
sendiri. Pada hakikatnya, perkembamgan pikiran manusia didasari dari dorongan
rasa ingin tahu dan ingin memahami serta memacahkan masalah yang dihadapi.
Berawal dari hal inilah, akhirnya manusia dapat mengumpulkan pengetahuan.
Rasa ingin tahu pada manusia tidak sama. Rasa ingin tahu manusia terus
berkembang seakan tidak ada batasnya. Hal ini mengakibatkan perbendaharaan
pengetahuan manusia semakin bertambah, tidak saja meliputi kebutuhan-
kebutuhan praktis dalam hidunya sehari-hari, tetapi pengetahuan manusia juga
berkembang sampai kepada hal-hal yang menyangkut keindahan.
Rasa ingin tahu pada manusia ternyata belum dapat menjawab atas dasar
pengamatan dan pengalaman saja. Sehingga untuk memuaskan jawabannya, maka
timbullah rekaan. Pada zaman dahulu ( zaman purba manusia ) sudah menghadapi
berbagai masalah, yang mendorong untuk mereka menyelidiki apa penyebab dan
mengapa terjadi masalah tersebut dan apa akibatnya. Karena keterbatasan ilmu
pengetahuan zaman tersebut mereka memberi jawaban sendiri dan timbullah
rekaan. Misalnya terjadinya gerhana bulan. Karena tidak mendapatkan jawaban
mereka menyangka terjadinya gerhana bulan karena dimakan raksasa, menurut
mitosnya raksasa takut pada bunyi-bunyian, maka pada waktu gerhana bulan
manusia memukul-mukul benda apa saja yang dapat menimbulkan bunyi, supaya
raksasa itu takut dan memuntahkan kembali bulan purnama. Contoh lain adanya
bunyi guntur dikira ditimbulkan oleh roda kereta yang dikendarai dewa melintas
langit.
Dari peristiwa tersebut dan adanya jawaban yang direka-reka, pada waktu itu
jawaban tersebut masih dapat diterima dan sangat berpengaruh bahkan sampai saat
ini kepercayaan mitos tersebut masih belum sepenuhnya hilang. Mencari jawaban
atas masalah tersebut jika dihubungkan dengan makhluk gaib disebut berpikir
secara irasional. Tentu saja pengetahuan yang diperoleh secara irasional belum
dapat dipertanggung jawabkan kebenaranya. Demikianlah manusia pada zaman
dahulu atau pada mitos menjawab keinginan tahuannya dengan menciptakan
dongeng-dongeng atau mitos, karena alam pikirnya masih terbatas pada imajinasi
atau intuisi.
Perkembangan alam pikiran dapat juga disebabkan oleh ransangan dari luar, tanpa
dorongan dari dalam yang berupa rasa ingin tahu misalnya : orang-orang yang
tinggal dekat hutan menyaksikan kebakaran hutan, orang yang sebenarnya tidak
berminat dipaksa untuk mendengarkan ceramah. Sebab ekstrem semacam itu
memang dapat menimbulkan perkembangan alam pikir manusia, tetapi hasil itu
biasanya tidak mendalam dan tidak tahan lama. Tidak seperti perkembangan yang
disebabkan oleh rasa ingin tahu. Jadi alam pikiran manusia berkembang terutama
karena ada dorongan dari dalam, yaitu rasa ingin tahu.
Jadi, rasa ingin tahu yang ,terus berkembang akan menimbulkan perbendaharaan
pengetahuan pada manusia. Dan rasa ingin tahu yang terdapat pada manusia
menyebabkan pengetahuan mereka menjadi berkembang. Setiap hari mereka
berhubungan dan mengamati benda-benda dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di
dalam sekitarnya. Pengamatan-pengamatan yang ditangkap melalui panca
inderanya merupakan objek rasa ingin tahunya. Dan manusia tidak akan merasa
puas jika belum memperoleh jawaban mengenai hal-hal yang diamatinya. Manusia
juga akan berusaha mencari jawabannya dan untuk itu mereka harus berpikir. Rasa
ingin tahunya terus terlanjut. Bukan hanya apanya saja yang ingin di ketahui
jawabannya, tetapi juga jawaban dari bagaimana dan kemudian berlanjut mengapa
tentang hal-hal yang bersangkutan dengan benda-benda dan peristiwa-peristiwa
yang diamatinya.
Agama Kristen dalam bentuk Katoliknyalah yang bertanggung jawab terhadap apa
yang kemudian dikenal sebagai abad pertengahan ketika beberapa lembaga paling
penting di Barat termasuk juga pola-pola pemikirannya dirumuskan dan
dikristalisasikan, juga menjadi periode yang menandai masa keemasan seni suci di
Barat. Protestanisme dan katolikisme tidak harus dibandingkan dengan mahzab
Sunni dan Syi’ah dalam konteks Islam seperti yang dilakukan oleh para sarjana
tertentu. Berbeda dengan katolikisme yang mempertahankan struktur terpadu dan
monolitknya melalui kepausan dan hierarki yang menjadi dasar gereja,
Protestanisme segera terjadi menjadi beberapa aliran.
Katolikisme terus menekan pada aspek ritual agama dan mempunyai dimensi
tertentu yang berdekatan dengan penekanan ritual dalam Islam, sementara
Protestanisme biasanya memberi penekanan lebih besar kepada aksi sosial dan juga
tanggung jawab individu, gambaran yang juga mempunyai persamaan tertentu
dengan ajaran sosial islam dan penekanan Islam terhadap hubumgan langsung
setiap individu dengan Tuhan. Sejak renaisans hingga hari ini, agama Kristen dan
juga dalam beberapa hal agama Yahudi di Barat, telah terlibat dalam pertempuran
terus-menerus melawan berbagai ideologi, filsafat, lembaga dan praktek yang
bersifat sekuler dan yang menentang otoritas agama dan kenyataan hal itu sangat
valid serta terlegitimasi.
Saat ini peran agama di Barat sangat berbeda dibandingkan perannya dalam dunia
Islam. Seluruh masyarakat Barat mengklaim dirinya sekuler dan memberlakukan
hukum bukan dari agama tetapi dari pemungutan suara setidaknya di negara-negara
demokrasi. Dalam matriks kekuatan serta pola yang rumit inilah peran agama di
Barat harus dipahami saat ini. Dan juga kita harus memahami peran Islam di Barat
saat ini dalam cahaya sekulerisasi agama tradisonal sekaligus pencarian terhadap
makna dan penemuan kembali agama sebagai fondasi kehidupan manusia di Barat.
Saat ini Islam merupakan agama yang perkembangannya sangat cepat di Barat
seperti halnya juga di Afrika dan beberapa wilayah tertentu belahan dunia lainnya.
Islam adalah agama terbesar kedua di Eropa dan menjelamg tahun 2000 mungkin
akan menyamai agama yahudi sebagai agama kedua dalam jumlah penganutnya di
Amerika
Islam bukan hanya sebuah agama, tetapi juga basis peradaban yang sangat luas
menyebar dari Atlantik ke Pasifik dan mencakup banyak kelompok etnis termasuk
Arab, Persia, Indo-Pakistan, Malaysia Cina, Afrika, dan lain-lain. Peradaban yang
luar biasa ini telah menghasilkan sejumlah gerakan spiritual. Aliran, teologi, filsafat
dan sains ; yang berada di antara peradaban besar terkaya lainnya dalam wilayah
kegiatan intelektual. Persoalan spiritualitas Islam tentu saja berhubungan langsung
engan Al-Qur’an dan sunah Nabi. Dalam sejarah Islam aspek tradisi Islam ini
dikenal sebagai althariqah ila’llahlah, yang makna literalnya berarti jalan menuju
Tuhan, dan kemudian pada suatu waktu dalam kurun kedua abad Islam, dikenal
dengan nama tasawuf.
Pentingnya thuruq (bentuk jamak dari thariqah) dalam sejarah Islam tidak dapat
dilebih-lebihkan. Denyut masyarakat Islam dalam selama berabad-abad biasanya
dicapai oleh orang-orang yang mengikuti jalan spiritual, oleh para sufi besar seperti
Syekh ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani atau Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali atau
yang menyusul kemudian Syekh Ahmad Sirhindi di India dan masih banyak yang
lainnya. Para pengikut jalan spiritual juga memainkan peran penting dalam
penyebaran Islam. Islam menyebar ke Persia, melintasi Afrika Utara dan masuk ke
Spanyol melalui angkatan bersenjata Arab. Lebih jauh lagi, thuruq memainkan
peran sangat penting dalam berbagai aspek kehidupan selama periode
‘Ustmaniyyah.
Para pengikut jalan ini juga memberi sumbangan penting dalam pertahanan
intelektual Islam, karena mereka mempunyai akses terhadap kebenara metafisika
tertinggi tradisi Islam. Hingga abad kedua sejarah Islam, para pengikuti tarekat
yang beranagsur-angsur dikenal sebutan sufi itu menampilkan tokoh-tokoh
individu tertentu sebagai guru spiritual. Secara bertahap perkumpulan ajaran
tarekat menjadi lebih terorganisasi dan pada abad ketiga islam, di kota Baghdad
yang dipimpin wali Al-Junayd, seorang sufi terkenal waktu itu, perkumpulan sufi
menjadi lebih diformalkan. Dua abad kemudian perkumpulan-perkumpulan ini
ditransformasikan menjadi paguyuban-paguyuban sufi atau thuruq, biasanya
berdasarkan nama pendirinya seperti ‘Abd Al-Qadir Al-Jailani yang namanya
dipakai tarekat Qadiriyyah, yang pengikutnya masih eksis sampai hari ini mulai
dari selatan Filiphina sampai Maroko, atau Syekh Ahmad Al-Rifa’i, pendiri tarekat
Rifa’iyyah.
Arasjid, Chainur. Suatu Pemikiran Tentang Sikologi Kriminil. Medan : USU Pers.
1997
Aly, Abdullah, dkk. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta : Bumi Aksara, 1993.
Jasin, Makoeri. Ilmu Alamiah Dasar. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Mas`ud, Ibnu, dkk. Ilmu Alamiah Dasar. Bandung : CV Pustaka Setia, 1998.