16/41167/KU/19881
UGM – 17203
RINITIS ALERGIKA
I. DEFINISI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi oleh alergen yang sama serta dilepaskan suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut
WHO ARIA (Allergic Rhinitis and it’s Impact on Asthma), 2001, rinitis alergi adalah kelainan
pada gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar
alergen yang diperantai oleh Ig E. Rinitis alergi adalah salah satu reaksi imun yang dimediasi
IgE akibat paparan alergen dengan gejala mayor berupa rinorea, hidung gatal, obstruksi, dan
bersin, yang reversibel dengan atau tanpa pengobatan (WAO, 2016).
II. EPIDEMIOLOGI
Rinitis ditemukan di semua ras manusia, pada anak-anak lebih sering terjadi terutama
anak laki-laki. Memasuki usia dewasa, prevalensi laki-laki dan perempuan sama. Insidensi
tertinggi terdapat pada anak-anak dan dewasa muda dengan rerata pada usia 8-11 tahun,
sekitar 80% kasus rinitis alergi berkembang mulai dari usia 20 tahun. Insidensi rinitis alergi
pada anak-anak 40% dan menurun sejalan dengan usia sehingga pada usia tuarinitis alergi
jarang ditemukan.
Prevalensi rinitis alergi di Eropa berdasarkan European Community Respiratory Health
Survey tahun 2002 bervariasi mulai dari 9,5% hingga 40,9%. Untuk prevalensi penyakit ini di
Amerika Serikat juga bervariasi yaitu 3% hingga 19%. Peningkatan prevalensi
rinokonjungtivitis di kedua kelompok studi International Study of Asthma and Allergies in
Childhood (ISAAC) tahap I dan III terjadi setiap tahun di banyak negara bagian Asia Pasifik.
Salah satu studi besar tentang alergi yang pernah dilakukan adalah the Allergies in Asia-
Pacific Survey pada tahun 2011. Dalam survei tersebut, dilibatkan 1200 subyek penelitian
dari berbagai negara yaitu Australia, Republik Rakyat Cina, Hong Kong, Malaysia, Filipina,
Singapura, Taiwan, dan Vietnam. Data prevalensi rata-rata rinitis alergi yang didapat sekitar
8,7%.
III. PATOFISIOLOGI
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi
dan diikuti dengan reaksi alergi.
Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit
yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen
yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk
fragmen pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek
peptide MHC kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan
pada sel T helper (Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-
1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13 dapat diikat
oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke jaringan dan diikat
oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel
ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka
kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding
sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6,GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut
sebagai Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
4. Rinoskopi anterior:
a. Mukosa edema, basah, berwarna pucat atau kebiruan (livide), disertai adanya sekret
encer, tipis dan banyak. Jika kental dan purulen biasanya berhubungan dengan sinusitis.
b. Pada rinitis alergi kronis atau penyakit granulomatous, dapat terlihat adanya deviasi atau
perforasi septum.
c. Pada rongga hidung dapat ditemukan massa seperti polip dan tumor, atau dapat juga
ditemukan pembesaran konka inferior yang dapat berupa edema atau hipertropik. Dengan
dekongestan topikal, polip dan hipertrofi konka tidak akan menyusut, sedangkan edema
konka akan menyusut.
5. Pada kulit kemungkinan terdapat tanda dermatitis atopi.
Pemeriksaan Penunjang
Bila diperlukan dan dapat dilakukan di layanan primer.
1. Hitung eosinofil dalam darah tepi dan sekret hidung.
2. Pemeriksaan Ig E total serum
Diagnosis Banding
Rinitis vasomotor, Rinitis akut
Komplikasi
Polip hidung, Sinusitis paranasal, Otitis media
Kriteria Rujukan
1. Bila perlu dilakukan Prick Test untuk mengetahui jenis alergen.
2. Bila perlu dilakukan tindakan operatif.
VIII. PROGNOSIS
Ad vitam : Bonam
Ad functionam : Bonam
Ad sanationam : Dubia ad bonam
IX. REFERENSI
Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer. Edisi revisi.
2014.
Asher, M., Montefort, S., Björkstén, B., Lai, C., Strachan, D., Weiland, S. dan Williams, H.
2006. Worldwide time trends in the prevalence of symptoms of asthma, allergic
rhinoconjunctivitis, and eczema in childhood: ISAAC Phases One and Three repeat
multicountry cross-sectional surveys. The Lancet, 368(9537): 733-743.
Pawankar, R., Canonica, G., Holgate, S. dan Lockey, R. 2011. World Allergy Organization
(WAO) white book on allergy. United Kingdom: WAO.
Sin, B. dan Togias, A. 2011. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis.
Proceedings of the American Thoracic Society, 8(1): 106-114.