Anda di halaman 1dari 21

31

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. FUNGSI KOGNITIF

II.1.1. Definisi

Fungsi Kognitif merupakan aktifitas mental secara sadar seperti

berpikir, mengingat, belajar dan kemampuan berbahasa. Fungsi kognitif

meliputi kemampuan atensi serta kemampuan eksekutif seperti

merencanakan sesuatu, menilai, mengawasi dan melakukan evaluasi

(Strub dkk. 2000).

II.1.2. Domain Fungsi Kognitif

Fungsi kognitif terdiri dari: (Modul Neurobehaviour PERDOSSI,

2008)

a. Atensi

Atensi merupakan kemampuan untuk bereaksi terhadap satu

stimulus dengan mampu mengabaikan stimulus lain yang tidak

dibutuhkan sehingga mampu untuk fokus pada stimulus spesifik

dan mengabaikan stimulus lain yang tidak relevan. Konsentrasi

merupakan kemampuan untuk mempertahankan atensi dalam

periode yang lebih lama. Gangguan atensi dan konsentrasi akan

mempengaruhi fungsi kognitif lain seperti memori dan bahasa.


32

b. Bahasa

Bahasa merupakan perangkat dasar komunikasi dan modalitas

dasar yang membangun kemampuan fungsi kognitif. Bila dijumpai

adanya gangguan bahasa, pemeriksaan kognitif seperti memori

verbal dan fungsi eksekutif akan mengalami kesulitan atau tidak

dapat dilakukan. Fungsi bahasa meliputi 4 parameter:

1. Kelancaran yang mengacu pada kemampuan untuk

menghasilkan kalimat dengan panjang, ritme dan melodi

yang normal.

2. Pemahaman yang mengacu pada kemampuan untuk

memahami suatu perkataan atau perintah, dibuktikan dengan

kemampuan seseorang untuk melakukan perintah tersebut.

3. Pengulangan yang merupakan kemampuan seseorang untuk

mengulangi suatu pernyataan atau kalimat yang diucapkan

seseorang.

4. Penamaan yang merujuk pada kemampuan seseorang untuk

menamai suatu objek beserta bagian-bagiannya.

Gangguan bahasa sering terlihat pada lesi otak baik lesi fokal

maupun lesi difus, sehingga gangguan bahasa merupakan gejala

patognomonik dari suatu disfungsi otak. Penting bagi klinisi untuk

mengenal gangguan bahasa karena gangguan berbahasa memiliki

hubungan yang spesifik antara sindroma afasia dengan lokasi lesi.


33

c. Memori

Fungsi memori terdiri dari proses penerimaan dan

penyandian informasi, proses penyimpanan serta proses mengingat

yang berpengaruh pada fungsi memori. Fungsi memori dibagi

dalam tiga tingkatan bergantung pada lamanya rentang waktu

antara stimulus dengan recall, yaitu:

1. Memori segera (immediate memory), rentang waktu antara

stimulus dengan recall hanya beberapa detik. Disini hanya

dibutuhkan pemusatan perhatian untuk mengingat (attention)

2. Memori baru (recent memory), rentang waktu lebih lama

yaitu beberapa menit, jam, bulan bahkan tahun.

3. Memori lama (remote memory), rentang waktunya bertahun-

tahun bahkan selama hidup.

Gangguan memori merupakan gejala yang paling sering

dikeluhkan pasien. Amnesia secara umum merupakan efek fungsi

memori. Ketidakmampuan mempelajari materi baru setelah cedera

otak disebut amnesia anterogard. Amnesia retrogard merujuk pada

amnesia pada apa yang terjadi sebelum cedera otak. Hampir

semua pasien demensia menunjukkan masalah memori pada awal

perjalanan penyakitnya. Tidak semua gangguan memori

merupakan gangguan organik. Pasien depresi dan ansietas sering

mengalami gangguan memori.


34

d. Visuospasial

Kemampuan visuospasial merupakan kemampuan

konstruksional seperti menggambar atau meniru berbagai macam

gambar dan menyusun balok-balok. Semua lobus berperan dalam

kemampuan konstruksi dengan lobus parietal hemisfer kanan

berperan paling dominan. Menggambar jam sering digunakan untuk

screening kemampuan visuospasial dan fungsi eksekutif dimana

berkaitan dengan gangguan di lobus frontal dan parietal.

e. Fungsi eksekutif

Fungsi eksekutif dari otak dapat didefinisikan sebagai suatu proses

kompleks seseorang dalam memecahkan masalah/persoalan baru.

Proses ini meliputi kesadaran akan keberadaan suatu masalah,

mengevaluasinya, menganalisa serta memecahkan/mencari jalan

keluar suatu persoalan.

II.1.3. Anatomi Fungsi Kognitif

Masing-masing omain kognitif tidak bekerja sendiritetapi sebagai

satu kesatuan, yang disebut sistem limbik. Sistem limbik terdiri dari

amygdala, hipokampus, nukleus talamik anterior, girus subkalosus, girus

cinguli, girus parahipokampus, formasio hipokampus dan korpus

mamilare. Alveus, fimbria, forniks, traktus mammilotalmikus dan striae

terminalis berperan dalam memori, pembelajaran, emosi, dan motivasi


35

(Waxman 2007). Struktur otak berikut ini merupakan bagian dari sistem

limbik (Markam, 2003; Devisnsky dkk. 2004) :

1. Amygdala terlibat dalam pengaturan emosi, dengan hemisfer

kanan predominan dalam keadaan tidak sadar dan hemisfer kiri

predominan pada saat sadar.

2. Hipokampus berperan dalam pembentukan memori jangka

panjang dan pemeliharaan kognitif (proses pembelajaran).

3. Girus parahipokampus, berperan dalam pembentukan memori

spasial.

4. Girus cinguli, berperan dalam salah satu domain fungsi kognitif

yaitu atensi.

5. Forniks berperan dalam memori dan pembelajaran.

6. Hipothalamus, berfungsi mengatur perubahan memori baru

menjadi memori jangka panjang.

7. Thalamus merupakan pusat pengaturan fungsi kognitif di

otak/sebagai stasiun relay ke korteks serebri.

8. Mammillary bodies, berperan dalam pembentukan memori dan

pembelajaran.

9. Girus dentatus, berperan dalam memori baru.

10. Korteks enthorinal, penting dalam memori dan merupakan

komponen asosiasi.

Sedangkan lobus otak yang berperan dalam fungsi kognitif antara

lain (Markam, 2003) :


36

1. Lobus frontalis mengatur motorik, perilaku, kepribadian, bahasa,

memori, orientasi spasial, belajar asosiatif, daya analisa dan

sintesis.

2. Lobus parietalis berfungsi dalam membaca, persepsi, memori

dan visuospasial. Korteks ini menerima stimuli sensorik dari

berbagai modalitas (input visual, auditori, taktil) dari area

asosiasi sekunder dan sering disebut korteks heteromodal.

3. Lobus temporalis berfungsi mengatur pendengaran,

penglihatan, emosi, memori, kategorisasi benda-benda dan

seleksi rangsangan auditorik dan visual.

4. Lobus oksipitalis berfungsi mengatur penglihatan primer,

visuospasial, memori dan bahasa.

II.2. TEST UNTUK MENILAI FUNGSI KOGNITIF

Penilaian fungsi kognitif umumnya digunakan dalam screening

gangguan fungsi kognitif, menilai derajat keparahan dari gangguan fungsi

kognitif dan atau memantau perjalanan penyakitnya (Woodford, 2007).

Ada banyak instrumen yang dapat digunakan dalam menilai fungsi

kognitif. Instrumen-instrumen ini bervariasi dalam hal waktu pemeriksaan.

Beberapa diantaranya dapat dilakukan dalam waktu singkat (kurang dari 1

menit) dan yang lain merupakan suatu penilaian neurofisiologi formal yang

dapat memakan waktu hingga beberapa jam. Penggunaan keduanya


37

bergantung pada waktu pemeriksaan yang tersedia dan tujuan dari

dilakukannya pemeriksaan (Woodford, 2007).

Mild Cognitive Impairment (MCI) merupakan fenomena yang sering

dijumpai dan berbeda dengan demensia. Keluhan dari MCI yang utama

adalah gangguan fungsi memori. Evaluasi fungsi kognitif pada pasien-

pasien dengan MCI seringkali terbatas dengan menggunakan screening

untuk demensia dan tidak tepat untuk mendeteksi MCI. Menurut Lonie

dkk. ada beberapa instrumen yang dapat digunakan untuk menilai MCI,

demensia Alzheimer dan bentuk demensia lainnya pada fase dini

diantaranya seperti Six Item Cognitive Impairment Test (6CIT) atau

Abbreviated Mental Test (AMT), namun sering kali instrumen-instrumen

tersebut tidak dapat membedakan penyebab dan outcome dari MCI (Lonie

dkk. 2009).

Sebagai satu penilaian awal, pemeriksaan MMSE adalah tes yang

paling banyak dipakai. Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah

tes yang paling sering dipakai saat ini. Penilaian dengan nilai maksimal

30, cukup baik dalam mendeteksi gangguan kognitif, menetapkan data

dasar dan memantau penurunan kognitif dalam kurun waktu tertentu. Skor

MMSE normal 24 – 30. Bila skor kurang dari 24 mengindikasikan

gangguan fungsi kognitif (Folstein dkk. 1975; Asosiasi Alzheimer

Indonesia, 2003). Pemeriksaan Mini Mental State Examination (MMSE) ini

awalnya dikembangkan untuk screening demensia, namun sekarang

digunakan secara luas untuk pengukuran fungsi kogntif secara umum.


38

Pemeriksaan MMSE kini adalah instrumen screening yang paling luas

digunakan untuk menilai status kognitif dan status mental pada usia lanjut

(Kochhann dkk. 2009; Burns dkk. 2002).

Selain MMSE, instrumen lain yang sering digunakan adalah

Montreal Cognitive Assessment (MoCA) yang merupakan instrumen yang

dikatakan baik untuk mendeteksi demensia. MoCA memiliki komponen

penilaian beberapa domain fungsi kognitif seperti atensi, konsentrasi,

memori, fungsi eksekutif dan reasoning. Seperti pada MMSE, instrumen

ini memiliki komponen CDT untuk penilaian fungsi visual dan spasial.

Sebagai tambahan, MoCA memiliki komponen trail-making test yang

berfungsi untuk menilai fungsi eksekutif (Valcour, 2011).

Untuk menilai demensia vaskular, dikenal satu instrumen yang

disebut dengan Hachinski Ischemic Score (HIS). HIS dikenal sebagai

suatu instrumen klinis yang sederhana yang digunakan untuk

membedakan jenis-jenis mayor dari demensia, khususnya demensia

vaskular dengan demensia lainnya. HIS berhubungan dengan penyakit

serebrovaskular dan faktor-faktor penyebabnya. Komponen informasi

yang dikumpulkan meliputi riwayat hipertensi dan stroke serta gejala-

gejala yang mengindikasikan suatu penyakit serebrovaskular. Pada

pasien dengan demensia, nilai HIS yang tinggi mengindikasikan suatu

kemungkinan demensia vaskular (Kim, 2014). HIS memiliki nilai cut-off

point ≤ 4 untuk demensia Alzheimer dan nilai ≥ 7 untuk demensia

vaskular dengan sensitifitas 89% dan spesifisitas 90%. Namun, HIS tidak
39

dapat membedakan demensia campuran dengan jenis demensia lainnya

(Moroney, 1997).

Selain itu, ada 3 instrumen yang dikatakan sebagai instrumen yang

paling ideal dalam fungsinya sebagai instrumen untuk screening dari

poststroke dementia (Brodaty, 2006):

II.2.1. Mini-Cog

Mini-Cog merupakan suatu cara dalam screening untuk ada atau

tidaknya suatu gangguan kognitif pada orang dewasa. Mini-Cog

dikatakan lebih efektif, bahkan lebih baik untuk melakukan screening

untuk suatu gangguan kognitif pada orang tua. Pada suatu test komparasi

antara Mini-Cog dengan MMSE pada pasien demensia dijumpai

pemeriksaan dengan Mini-Cog dapat dilakukan lebih cepat dibandingkan

dengan menggunakan MMSE dan tidak dipengaruhi oleh etnis, bahasa

dan tingkat pendidikan. Mini-Cog menggunakan 3 metode dalam recall

serta melakukan CDT, dimana CDT berperan sebagai penentu bila

dijumpai hasil Mini-Cog yang intermediate (Woodford, 2007).

Mini-Cog diciptakan sebagai suatu instrumen untuk screening awal

demensia. Mini-Cog bisa dilakukan dalam waktu kurang dari 5 menit (rata-

rata 3.2 menit). Pemeriksaan dilakukan dengan suatu uji fungsi memori

dengan mengulang 3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan,

mengingat gangguan memori merupakan ciri utama dari demensia. CDT

dilakukan sebagai pengalihan perhatian subjek dari perintah mengingat

sebelumnya (Lorentz, 2002).


40

Mini-Cog dilakukan dengan cara meminta pasien untuk mengulang

3 kata yang berbeda dan tidak berhubungan satu sama lain seperti

“kapten”, “kebun” dan “gambar”. Perintah dapat diulang 3 kali. Selanjutnya

dilakukan pemeriksaan CDT dimana pasien diminta untuk menggambar

jam mulai dari lingkaran, angka dan jarum jam yang menunjukkan waktu

tertentu (11:10). Penilaian CDT adalah 2 untuk gambar yang utuh dan

benar dan 0 untuk gambar yang tidak lengkap atau salah atau pada

pasien yang menolak untuk menggambar. Kemudian minta pasien untuk

mengulangi kata-kata yang sudah disebutkan sebelumnya. Skor 1 untuk

setiap kata yang dapat diulang pasien. Skor untuk penilaian hasilnya

adalah sebagai berikut: (Doerflinger, 2013)

- Mampu mengulang 3 kata dengan benar dikatakan negative screen

for cognitive impairment.

- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar dan CDT yang normal

(2) dikatakan negative screen for cognitive impairment.

- Mampu mengulang 1-2 kata dengan benar CDT yang abnormal (0)

dikatakan positive screen for cognitive impairment.

- Sama sekali tidak mampu mengulang kata dikatakan positive

screen for cognitive impairment.

II.2.2. General Practitioner Assessment of Cognition (GPCOG)

Pemeriksaan GPCOG merupakan salah satu bentuk dari

Cambridge Cognitive (CAMCOG). Pemeriksaan CAMCOG merupakan


41

instrumen yang digunakan untuk menilai tingkat keparahan demensia dan

gangguan kognitif. Pengukuran ini dilakukan dengan menilai fungsi

orientasi, bahasa, memori, atensi, kemampuan berpikir abstrak, persepsi

dan kalkulasi. Kelebihan GPCOG adalah kemampuannya untuk

mendeteksi suatu gangguan kognitif ringan (Burns dkk. 2002).

Pemeriksaan GPCOG terdiri atas pemeriksaan terhadap 9 soal

untuk fungsi kognitif dan 6 soal untuk informasi. Pemeriksaan ini

membutuhkan waktu kurang dari 5 menit untuk dilakukan dan memiliki

nilai akurasi yang relatif sama dengan MMSE dalam menilai demensia

(Brodaty dkk. 2002). Dalam 9 soal yang diberikan untuk menilai fungsi

kognitif termasuk dengan melakukan CDT dengan skor maksimum 9. Bila

pada tahap ini pasien mendapat skor 9 berarti tidak dijumpai ada

gangguan kognitif dan pemeriksaan tidak perlu dilanjutkan. Bila pasien

mendapat skor 0-4 mengindikasikan suatu gangguan kognitif dan

pemeriksaan juga tidak perlu dilanjutkan. Pemeriksaan dilanjutkan ke

tahap untuk memperoleh informasi tambahan bila skor pasien 5-8 dimana

pasien diberikan 6 pertanyaan tambahan dengan skor maksimal >6. Skor

0-3 mengindikasikan adanya gangguan kognitif (Brodaty dkk. 2002).

II.2.3. Memory Impairment Screen

Memory Impairment Screen merupakan suatu pemeriksaan

gangguan memori pada demensia yang dapat dilakukan dengan cepat,

mudah dan valid. Memory Impairment Screen memiliki nilai akurasi yang
42

cukup tinggi pada screening demensia. Untuk moderate dementia, MIS

memilki 92% sensitifitas untuk semua jenis demensia dan 95% (PPV

≥0.69 dan NPV 0.95) untuk demensia Alzheimer (Buschke dkk. 1999).

Memory Impairment Screen dilakukan dengan meminta pasien

mengulang 4 kata yang berbeda dan tidak berhubungan. Pasien diminta

untuk mengelompokkan kata sesuai dengan kategori yang ditentukan.

Dalam penilaiannya, MIS memiliki komponen free recall dan cued recall.

Free recall adalah kemampuan untuk mengingat 4 kata yang diberikan

dalam waktu kurang dari 5 detik (untuk masing-masing kata) dan cued

recall adalah kemampuan pasien untuk mengingat sisa kata yang belum

disebutkan setelah diberi petunjuk. Skor maksimum MIS adalah 8 dengan

interpretasi nilai 5-8 dianggap normal atau tidak memilki gangguan kognitif

dan skor ≤4 dikatakan sebagai possible cognitive impairment (Modrego,

2012).

Pasien-pasien usia tua yang tidak memiliki gangguan memori bisa

tetap memiliki kesulitan dalam mengingat satu atau dua kata. Cued recall

berfungsi sebagai bantuan bagi pasien-pasien tersebut. Pasien-pasien

dengan gangguan fungsi kognitif seperti demensia akan menunjukkan

skor yang jelek baik pada free recall maupun cued recall (Ivanoiu 2005).

Kelebihan pemeriksaan dengan MIS adalah aplikasinya yang mudah,

pemeriksaan dapat dilakukan dalam waktu yang singkat (kurang dari 5

menit) dan tingkat sensitifitas yang tinggi (Buschke dkk. 1999).


43

II.3. STROKE

II.3.1. Definisi

Stroke adalah suatu episode disfungsi neurologi akut yang

disebabkan oleh iskemik ataupun perdarahan yang berlangsung selama

24 jam atau meninggal dan tidak memiliki bukti yang cukup untuk di

klasifikasikan (Sacco, 2013).

II.3.2. Epidemiologi

Stroke menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian

setelah penyakit jantung dan kanker di Amerika Serikat. Di Indonesia, data

nasional stroke menunjukkan angka kematian tertinggi sebesar 15.4%

(Misbach, 2011).

II.3.3. Patofisiologi

Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Pada iskemik global,

aliran otak secara keseluruhan menurun akibat tekanan perfusi, misalnya

karena perdarahan sistemik yang masif, fibrilasi atrial berat dan lain-lain.

Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat menurunnya perfusi otak regional

yang disebabkan oleh sumbatan yang menutup aliran darah sebagian

atau seluruh lumen pembuluh darah otak menyebabkan kerusakan pada

fungsi, integritas fisik, dan susunan sel dan akan berakhir dengan

kematian neuron. Aktifitas listrik otak akan terhenti bila aliran darah otak

berkurang dan kematian neuron akan terjadi apabila aliran darah otak
44

kurang dari 10 cc/100 g otak/menit. Kematian sel akan terjadi beberapa

jam setelah keadaan iskemik (Misbach, 2011). Penyebab paling sering

dari stroke hemoragik adalah hipertensi arterial, dimana meningkatnya

tekanan darah mengakibatkan kerusakan pada dinding sel arteri dan

menyebabkan mikroaneurisma yang dapat ruptur secara spontan. Lokasi

yang sering untuk terjadinya perdarahan adalah pada daerah ganglia

basalis, talamus dan pons. Perdarahan lebih jarang terjadi pada daerah

deep white matter (Baehr dkk. 2005).

II.4. DEMENSIA

II.4.1. Definisi

Demensia adalah suatu sindroma penurunan kemampuan

intelektual yang menyebabkan deteriorasi kognisi dan fungsional,

sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sosial, pekerjaan dan aktifitas

sehari-hari yang dibuktikan dengan pemeriksaan klinis dan tes

neuropsikologi (Asosiasi Alzheimer Indonesia, 2003).

II.4.2. Epidemiologi

Dari WHO diperkirakan bahwa pada tahun 2050, populasi manusia

berusia 60 tahun keatas akan berjumlah sekitar 2 milyar. Efek negatif dari

peningkatan jumlah populasi ini adalah meningkatnya angka penderita

demensia. Sekitar 2 hingga 10% dari seluruh kasus demensia dimulai

pada usia 65 tahun. Jumlah ini akan meningkat setiap lima tahun dan
45

studi epidemiologi mengindikasikan bahwa jumlah ini akan meningkat

setiap 20 tahun hingga diperkirakan akan mencapai 65.7 juta pada tahun

2030 dan 115.4 juta orang pada tahun 2050 di negara berkembang

(WHO, 2012).

Sebuah studi meta analisa yang dilakukan di negara-negara maju

menjumpai bahwa angka kematian meningkat 2.5 kali pada pasien

demensia (RR 2.63 95% ci 2.17-3.21). Studi lain menjumpai angka

kematian pada penderita demensia Alzheimer mencapai 7.1% per tahun

(95% CI 6.7-7.5 tahun) dan untuk demensia vaskular sebesar 3.9 tahun

(3.5-4.2 tahun) (Saz, 2011; Fitzpatrick, 2005).

II.4.3. Klasifikasi Demensia

WHO mengklasifikasikan demensia dalam kategori gangguan

mental organik simptomatik kedalam 4 bentuk (ICD 10-WHO, 1993):

1. Demensia Alzheimer (DA)

• DA dengan early onset

• DA dengan late onset

• DA atipikal atau bentuk campuran

• Unspecified Alzheimer’s Dementia

2. Demensia Vaskular (DVa)

• Demensia vaskular pada onset akut

• Demensia multi infark

• Demensia vaskular subkortikal


46

• Demensia vaskular campuran kortikal dan subkortikal

• Demensia vaskular lainnya

• Unspecified vascular dementia

3. Demensia pada penyakit-penyakit lain

• Demensia pada Pick’s disease

• Demensia pada Creutzfeldt-Jacob disease

• Demensia pada Huntington’s disease

• Demensia pada Parkinson’s disease

• Demensia pada HIV

• Demensia pada penyakit-penyakit lain

4. Unspecified dementia

II.5. POSTSTROKE DEMENTIA

II.5.1. Definisi

Poststroke dementia didefinisikan sebagai demensia yang timbul

setelah serangan stroke terlepas dari apakah penyebabnya adalah

demensia vaskular, degeneratif ataupun campuran (Pasi dkk. 2012).

Diagnosis poststroke dementia ditegakkan setelah 3 bulan pasca

serangan stroke (Misbach, 2011).

II.5.2. Epidemiologi

Insidensi poststroke dementia adalah 6.7% pada penderita usia 60-

64 tahun dan 26.5% pada pasien-pasien dengan usia diatas 85 tahun


47

(Ballard, 2003). Poststroke dementia dikatakan memiliki angka prevalensi

yang lebih tinggi dibandingkan angka kekambuhan stroke. Vascular

poststroke dementia terjadi pada 30% pasien dan insidensi demensia ini

meningkat 7% setelah 1 tahun setelah stroke dan meningkat 48% setelah

25 tahun (Alvarez-Sabin dkk. 2011)

Pasien stroke yang tidak mengalami demensia ataupun gangguan

fungsi kognitif lain memiliki kemungkinan untuk mengalami poststroke

dementia dan dapat terjadi pada 50% dari semua pasien stroke dan hal ini

juga berhubungan dengan outcome (Gemmel dkk. 2012).

Prevalensi dari poststroke dementia telah dilaporkan pada banyak

penelitian. Pada 73 artikel yang mengumpulkan data kohort dari 21 rumah

sakit dan 8 populasi (7511 pasien), dijumpai kejadian demensia dalam 1

tahun setelah stroke sebesar 7% hingga 41% (Douiri dkk. 2013).

II.5.3. Patofisiologi

Etiologi poststroke dementia yang paling sering adalah demensia

vaskular, demensia Alzheimer dan campuran (Leys, 2005).

Demensia vaskular meliputi semua kasus demensia yang

disebabkan oleh gangguan serebrovaskuler dengan penurunan fungsi

kognitif mulai dari yang ringan sampai yang paling berat dan tidak harus

prominen gangguan memori serta bisa dengan atau tanpa disertai

gangguan perilaku sehingga menimbulkan gangguan aktivitas harian yang


48

bukan disebabkan oleh gangguan fisik karena stroke (Modul

Neurobehaviour PERDOSSI, 2008).

Demensia vaskular timbul sebagai konsekuensi dari kerusakan

jaringan otak. Untuk dapat bekerja dengan baik, otak membutuhkan

asupan darah yang cukup. Darah dialirkan ke otak melalui suatu sistem

perdarahan yang dibentuk oleh kumpulan pembuluh darah yang mana bila

terjadi gangguan atau perubahan akan dapat menyebabkan kerusakan

pada sel-sel neuron otak (Misbach, 2011). Kerusakan pembuluh darah

kecil berhubungan dengan terjadinya infark lakunar dan perubahan pada

white matter yang terjadi di daerah subkorteks dan dapat menimbulkan

gangguan kognitif. Penyakit-penyakit pada arteri kecil yang sering

menyebabkan kerusakan pembuluh darah adalah arteriosklerosis,

lipohialinosis, cerebral amyloid angiopathy, dan kalsifikasi pada basal

ganglia. Kerusakan pembuluh darah dapat terjadi akibat proses iskemik

yang dan menyebabkan nekrosis fokal pada jaringan saraf. Dikatakan

bahwa nekrosis fokal ini akan meluas melibatkan sel saraf lain (Iemolo

dkk. 2009).

Sinaps dan neuron pada regio otak yang berperan dalam proses

belajar dan memori seperti di hipokampus, korteks, dan basal ganglia

dijumpai mengalami degenerasi pada pasien-pasien demensia Alzheimer.

Perubahan histologi yang dijumpai pada demensia Alzheimer meliputi

deposit amiloid ß-peptida (Aß) di ekstraselular dan degenerasi neuron.

Deposit Aß dan neurofibrillary tangles (NTFs) pada ekstraseluler ini


49

membentuk suatu plaque neuritik menyebabkan disfungsi mitokondria

(Mattson, 2001).

II.5.4. Gejala Klinis

Demensia merupakan suatu sindroma klinis yang bersifat progresif.

Gangguan memori yang dijumpai dalam proses belajar, menyimpan dan

mengingat kembali suatu bentuk informasi merupakan penanda utama

dari demensia. Selain itu juga dijumpai gejala seperti penurunan daya

berpikir, daya pertimbangan, kemampuan berkomunikasi, gangguan

orientasi dan perubahan kepribadian (Pasi dkk. 2012).

Gejala klinisnya dapat serupa dengan demensia lain (demensia

Alzheimer, demensia vaskular atau campuran). Gejala demensia

poststroke dapat berupa gangguan daya pikir, konsentrasi dan komunikasi

serta gangguan memori dengan gejala depresi dan ansietas yang

mengikuti gejala stroke seperti kelemahan pada ekstremitas dan parese

nervus kranialis (Pasi dkk. 2012).

Gejala perilaku pada demensia dapat berupa disinhibisi dengan

berperilaku impulsif, agitasi, wandering (seperti mengikuti, berjalan bolak-

balik), ledakan amarah. Sementara gejala psikologis pada demensia bisa

berupa mood depresi, apati dan ansietas serta dapat diikuti dengan atau

tanpa gejala psikotik seperti disinhibisi, halusinasi, delusi, dan waham

(Cilag, 2002). Gejala perilaku pada demensia bersifat kronik progresif

karena merupakan manifestasi klinis dari perjalanan demensia dan harus


50

dibedakan dengan gangguan psikiatri yang bersifat akut yang timbul dan

berkembang dalam waktu singkat (DSM-IV, 2000).

II.6. KERANGKA TEORI

Pasien Stroke

Lipton dkk. 2003 menunjukkan MIS


memiliki sensitifitas 78% dan spesifisitas
Brodaty dkk. tahun 2002 didapatkan bahwa 93% (P<0.05) bila dibandingkan dengan
GPCOG reliable dan superior terhadap MMSE CFT dan TICS.
dengan 85% sensitifitas dan 86% spesifitas.
Verghese dkk. 2012 menunjukkan MIS
Burns dkk 2002. Kelebihan GPCOG adalah memiliki nilai sensitifitas (95.4% 95%CI)
kemampuannya untuk mendeteksi suatu dan spesifisitas (99.2% 95% CI) yang
gangguan kognitif ringan. lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE
terutama pada pasien usia tua dengan
latar belakang pendidikan yang rendah.

GPCOG
Brodaty 2006. Menunjukkan Mini-Cog
merupakan salah satu pilihan yang terbaik
untuk screening dementia dengan nilai
MIS
spesifisitas >80% dengan 95% CI. Angka ini Millian dkk 2013 Mini-Cog
lebih tinggi dibandingkan dengan MMSE memiliki 79.6% spesifisitas pada
yang lebih sering digunakan. pasien dengan depresi dan
100% pada pasien sehat. Angka
ini tidak dipengaruhi oleh
Ebbel dkk. 2009 Mini-Cog memiliki keparahan depresi. Ini
sensitifitas 99% dan spesifisitas 93% (LR+ menjadikan Mini-Cog lebih
14.1 dan LR- 0.01). Mini-Cog lebih superior superior daripada MMSE yang
dalam hal waktu pemeriksaan, kemudahan nilai spesitifitasnya dipengaruhi
aplikasi dan tingkat akurasi yang tinggi. oleh derajat keparahan depresi.

Mini-Cog

POSTSTROKE DEMENTIA
51

II.7. KERANGKA KONSEP

Pasien Stroke

GPCOG Mini-Cog MIS

Poststroke Dementia

Anda mungkin juga menyukai