Anda di halaman 1dari 76

LAPORAN KASUS

PENGELOLAAN WANITA HAMIL 28 – 29 MINGGU


DENGAN IMPENDING EKLAMPSIA

Pembimbing :

Dr. Nandi Nurhandi, Sp.OG

Disusun oleh:

Laras Oktaviani

1102015118

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRI DAN


GINEKOLOGI PERIODE
1 FEBUARI – 13 MARET 2021
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
YARSI RSUD KABUPATEN BEKASI
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang
Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan
kasus dengan judul “Pengelolaan Wanita Hamil 28 – 29 Minggu Dengan
Impending Eklampsia” sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu Obstetri dan
Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi. Tidak lupa shalawat serta salam saya
sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah membantu kami untuk menyelesaikan makalah referat,
terima- kasih kepada dr. Nandi Nurhandi, Sp.OG selaku pembimbing dan klinisi
kepaniteraan Ilmu Obstetri dan Ginekologi yang telah meluangkan waktu dalam
membimbing dan memberi masukan-masukan kepada penulis, dan juga kepada
seluruh dokter, staf bagian kebidanan dan kandungan, orang tua saya yang telah
mendukung secara moril maupun materil demi terwujudnya, dan teman-teman
sejawat lainnya yang turut membantu penyusun selama kepanitraan di bagian
Ilmu Obstetri dan Ginekologi. Semoga Allah SWT memberikan balasan yang
sebesar- besarnya atas bantuan yang diberikan selama ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran serta kritik yang
dapat membangun dalam laporan presentasi kasus ini untuk perbaikan di
kemudian hari. Semoga presentasi kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi
kita semua. Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi, Febuari 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

COVER………………………………………………………………………………………………………….0
KATA PENGANTAR..........................................................................................................................................2
DAFTAR ISI………………………………………………………………………………………………….3
BAB I PENDAHULUAN.....................................................................................................................................5
BAB II……………………………………………………………………………………………………………6
TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................................................................................6
1.1.PRE-EKLAMSIA BERAT......................................................................................................6
1.1.1 DEFINISI.......................................................................................................................6
2.1.1. EPIDEMIOLOGI..........................................................................................................7
2.1.3 ETIOLOGI7....................................................................................................................4
2.1.4 FAKTOR RISIKO.........................................................................................................9
2.1.5. KLASIFIKASI.............................................................................................................11
2.1.6. PATOFISIOLOGI......................................................................................................12
2.1.7. DIAGNOSIS1...............................................................................................................14
2.1.8. PENATALAKSANAAN.............................................................................................18
2.1.9 KOMPLIKASI11...........................................................................................................28
2.1.10 PROGNOSIS11............................................................................................................30
2.1.11 PENCEGAHAN.........................................................................................................30
2.2 ANTENATAL CARE / ANC..................................................................................................31
2.2.1 DEFINISI......................................................................................................................31
2.2.2 KUNJUNGAN JADWAL ASUHAN ANTENATAL................................................33
2.2.3 FAKTOR RESIKO DAN PENGELOLAAN.............................................................41
BAB III ……………………………………………………………………………………………………47
LAPORAN KASUS............................................................................................................................................47
3.1 DENTITAS PASIEN...............................................................................................................47
3.2.ANAMNESIS...........................................................................................................................47
3.3. PEMERIKSAAN FISIK........................................................................................................50
3.4. EMERIKSAAN PENUNJANG.............................................................................................51
3.5. DIAGNOSIS KERJA.............................................................................................................53
3.6. RENCANA PENATALAKSANAAN...................................................................................53
3.7.FOLLOW UP PASIEN...........................................................................................................54
3.8.PROGNOSIS ..........................................................................................................................60
BAB IV ANALISA KASUS...............................................................................................................................61
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................................................................................65
BAB I
PENDAHULUAN

Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama


kematian yaitu perdarahan, Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) berupa
preeklampsia,eklampsia, dan penyakit infeksi. Lebih dari 25% kematian ibu di
Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK. Proporsi kejadian HDK tahun
2010 sebesar 21,5%, 2011 sebesar 24,7%, 2012 sebesar 26,9% dan kembali
meningkat pada tahun 2013 sebesar 27,1%. Preeklampsia merupakan kondisi
spesifik pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan
respon maternal terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan
koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan
proteinuria yang ditemukan pada usia kehamilan > 20 minggu. Penyakit yang
disebut sebagai “disease of theories“ ini, masih sulit ditanggulangi. Insidens
preeklampsia di Indonesia berkisar antara 3-10%, dengan 39,5% di antaranya
menyebabkan kematian di tahun 2001 dan 55,56% di tahun 2002.
Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi menjadi preeklamsia ‘tanpa
disertai gejala berat’ dan preeklamsia ‘dengan gejala berat’(PEB). Pada
preeklampsia berat dibagi menjadi preeklamsia berat tanpa impending eklampsia
dan preeklamsia dengan impending eklampsia. Disebut impending eklampsia atau
imminent eklampsia jika pada kasus preeklampsia berat dijumpai nyeri kepala
hebat gangguan visus dan serebral, nyeri epigastrium, muntah, kenaikan progresif
tekanan darah.
Impending eklampsia merupakan masalah yang serius dalam kehamilan
karena komplikasi-komplikasi yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada
janin. Komplikasi pada ibu antara lain edema paru, gangguan ginjal, perdarahan,
solusio plasenta bahkan kematian ibu. Sedangkan komplikasi pada janin antara
lain prematuritas ekstrem, intrauterine growth retardation (IUGR). Oleh karena itu
dibutuhkan penanganan secara cepat dan tepat apabila dijumpai kasus kehamilan
dengan impending eklampsia.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pre Eklamsia Berat


1.1.1 DEFINISI
Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai
dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi
sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia
ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan
serta disertai dengan gangguan sistem organ dan proteinuria pada usia kehamilan
diatas 20 minggu. Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya
hipertensi dan proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset
hypertension with proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi
definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi
disertai gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tidak mengalami proteinuri. Sedangkan untuk
edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena banyak ditemukan
pada wanita dengan kehamilan normal. Dapat timbul kapan saja dan dapat
berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai preeklampsia yang berat.1,2
Preeklampsia berat adalah ditegakkan bila ditemukan keadaan hipertensi
urgensi yaitu dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah
diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuri > 5g/24 jam atau tes urin dipstick ≥
positif 2, atau disertai dengan keterlibatan organ lain.3,4
Preeklampsia berat selain didapatkan adanya hipertensi harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia berat yaitu: 1
1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg
diastolikpada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan
yang sama
2. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / mikroliter
3. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan
kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya
4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen
5. Edema Paru
6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta:Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau
didapatkan absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
2.1.1. EPIDEMIOLOGI

Sekitar delapan juta perempuan per tahun mengalami komplikasi


kehamilan dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana
99% terjadi di Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi
kehamilan dan persalinan di Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana
angka ini jauh lebih rendah dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari
11 perempuan meninggal akibat komplikasi dalam kehamilan dan persalinan.5
Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan
di Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama
kehamilan dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang
tertinggi di negara Asia Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan
Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per
100.000 kelahiran hidup. Tren AKI di Indonesia menurun sejak tahun 1991
hingga 2007, yaitu dari 390 menjadi 228 per 100.000 kelahiran hidup. Jika
dibandingkan kawasan ASEAN, AKI pada tahun 2007 masih cukup tinggi,
AKI di Singapura hanya 6 per 100.000 kelahiran hidup, Brunei 33 per 100.000
kelahiran hidup, Filipina 112 per 100.000 kelahiran hidup, serta Malaysia dan
Vietnam sama-sama mencapai 160 per 100.000 kelahiran hidup.5
Pada tahun 2012 SDKI mencatat kenaikan AKI yang signifikan yaitu dari
228 menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Peningkatan
jumlah penduduk dan jumlah kehamilan berisiko turut mempengaruhi sulitnya
pencapaian target ini. Berdasarkan prediksi Biro Sensus Kependudukan
Amerika, penduduk Indonesia akan mencapai 255 juta pada tahun 2015 dengan
jumlah kehamilan berisiko sebesar 15 -20 % dari seluruh kehamilan.5
Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi
dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus
preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara
maju.Prevalensi preeklampsia di Negara maju adalah 1,3% - 6%, sedangkan di
Negara berkembang adalah 1,8% - 18%. Insiden preeklampsia di Indonesia
sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%. Kecenderungan yang ada
dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya penurunan yang nyata
terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi yang semakin
menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.5
Gangguan hipertensi kehamilan mempengaruhi sekitar 10% dari semua
wanita hamil di seluruh dunia. Kelompok penyakit dan kondisi ini termasuk
pre-eklampsia dan eklampsia, hipertensi gestasional dan hipertensi kronis.
Gangguan hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab penting morbiditas
akut yang parah, kecacatan jangka panjang dan kematian pada ibu dan bayi. Di
Asia dan Afrika, hampir sepersepuluh dari semua kematian ibu berhubungan
dengan gangguan hipertensi kehamilan, sedangkan seperempat dari semua
kematian ibu di Amerika Latin telah dikaitkan dengan komplikasi tersebut.
Mayoritas kematian terkait dengan gangguan hipertensi dapat dihindari dengan
memberikan perawatan yang tepat waktu dan efektif untuk wanita yang
mengalami komplikasi tersebut.
Prevalensi hipertensi pada wanita usia reproduksi diperkirakan
7,7%. Gangguan hipertensi kehamilan, istilah umum yang mencakup hipertensi
yang sudah ada sebelumnya dan gestasional, preeklampsia, dan eklampsia,
mempersulit hingga 10% kehamilan dan merupakan penyebab signifikan
morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal.6

3
2.1.3 ETIOLOGI7
Setiap teori mengenai asal-usul preeklamsia harus memperhitungkan
pengamatan bahwa gangguan hipertensi gestasional lebih mungkin berkembang
pada wanita dengan karakteristik sebagai berikut:
a. Terekspos vili korionik untuk pertama kalinya
b. Terekspos vili korionik yang melimpah, seperti pada
kembar atau mola hidatidosa
c. Memiliki kondisi yang berkaitan dengan aktivasi atau
peradangan sel endotel, seperti diabetes, obesitas, penyakit
kardiovaskular atau ginjal, gangguan imunologi, atau
pengaruh herediter
d. Secara genetik cenderung mengalami hipertensi selama kehamilan

Janin bukanlah syarat untuk berkembangnya preeklamsia. Dan,


meskipun vili korionik penting, mereka tidak perlu berada di intrauterine.
Misalnya, preeklamsia dapat berkembang dengan adanya kehamilan
abdominal. Terlepas dari penyebab utama, rangkaian kejadian yang mengarah
ke sindrom preeklamsia ditandai oleh kelainan yang mengakibatkan
kerusakan endotel vaskular sistemik yang mengakibatkan vasospasme,
transudasi plasma, dan gejala sisa iskemik dan trombotik

Sejumlah mekanisme telah diajukan untuk


menjelaskan penyebab preeklamsia. Mekanisme
yang saat ini dianggap penting meliputi :
1. Invasi Trofoblas Abnormal

Implantasi normal ditandai dengan


remodelling ekstensif arteriol spiral di dalam
desidua basalis. Trofoblas endovaskular
menggantikan lapisan endotel dan otot vaskular
untuk memperbesar diameter pembuluh.
Sedangkan vena hanya terinvasi secara
superfisial.

Dalam beberapa kasus preeklamsia,

4
bagaimanapun, invasi trofoblas mungkin tidak
lengkap. Dengan ini, pembuluh darah desidua,
tetapi bukan pembuluh darah miometrium, akan
dilapisi dengan trofoblas endovaskular. Dengan
demikian, arteriol miometrium yang lebih dalam
tidak kehilangan lapisan endotel dan jaringan
muskuloelastik, dan diameter luarnya rata-rata
hanya setengah dari pembuluh darah yang ada di
plasenta normal. Secara umum, besarnya invasi
trofoblas yang kurang sempurna berkorelasi
dengan tingkat keparahan gangguan hipertensi.
Dan yang terpenting, ini lebih sering terjadi pada
wanita dengan preeklamsia onset dini. Mahon dkk
(2014) menemukan bahwa tingkatan faktor
pertumbuhan antiangiogenik larut yang lebih
rendah mungkin terlibat dalam remodelling
endovaskular yang salah ini.

Dari miskroskop elektron plasenta, perubahan


preeklamsia dini meliputi kerusakan endotel,
insudasi konstituen plasma ke dalam dinding
pembuluh darah, proliferasi sel miointimal, dan
nekrosis medial. Hertig (1945) menyebut
akumulasi lipid di sel miointimal dan makrofag
sebagai aterosis. Temuan ini lebih sering terjadi
pada plasenta dari wanita yang didiagnosis
dengan preeklamsia sebelum usia kehamilan 34
minggu. Atherosis vaskular plasenta akut juga
dapat mengidentifikasi sekelompok wanita yang
berisiko lebih besar mengalami aterosklerosis di
kemudian hari dan penyakit kardiovaskular. Pada
kehamilan, lumen arteriol spiral yang menyempit
secara tidak normal kemungkinan besar

5
mengganggu aliran darah plasenta. Perfusi
berkurang dan lingkungan sekitar yang hipoksia
akhirnya menyebabkan pelepasan debris plasenta
atau mikropartikel.Pada titik ini, perubahan ini
memicu respons inflamasi sistemik, yang
merupakan tahap 2 dari sindrom preeklamsia.
Plasenta yang kurang baik diduga dapat
menyebabkan wanita yang rentan akan mengalami
hipertensi gestasional, sindrom preeklamsia,
persalinan prematur, janin dengan hambatan
pertumbuhan, dan/atau solusio plasenta di
kemudian hari.

Gambar 1. Representasi skematis dari implantasi


plasenta normal menunjukkan proliferasi trofoblas
ekstravili dari vili penahan. Trofoblas ini
menyerang desidua dan meluas ke dinding arteriol
spiral untuk menggantikan endotelium dan
dinding otot untuk membuat pembuluh darah
resistansi rendah yang melebar. Dengan
preeklamsia, implantasi yang kurang sempurna
ditandai dengan invasi yang tidak lengkap dari
dinding arteriol spiral oleh trofoblas ekstravili. Ini
menghasilkan pembuluh darah kaliber kecil
dengan resistansi tinggi terhadap aliran

6
2. Faktor Imunologi

Hilangnya toleransi imun ibu terhadap antigen


plasenta dan janin yang lditurunkan dari paternal
adalah teori lain yang dapat dikutip untuk
preeklamsia. Tentu saja, perubahan histologis
pada bagian plasenta ibu menunjukkan penolakan
akut Data inferensial juga menunjukkan bahwa
preeklamsia adalah gangguan yang dimediasi oleh
imun. Misalnya, risiko preeklamsia sangat
meningkat pada keadaan di mana pembentukan
antibodi penghambat ke situs antigenik plasenta
mungkin terganggu. Dalam skenario ini,
kehamilan pertama berisiko lebih tinggi.
Disregulasi toleransi mungkin juga dapat
menjelaskan risiko yang meningkat ketika beban
antigenik paternal meningkat, yaitu dengan dua
set kromosom paternal- sebuah "dosis ganda".
Yakni, wanita dengan kehamilan mola memiliki
kejadian preeklamsia onset dini yang tinggi.
Wanita dengan janin yang memiliki trisomi 13
juga memiliki 30 hingga 40 persen insidensi
preeklamsia. Wanita-wanita ini memiliki tingkat
serum faktor antiangiogenik yang meningkat. Gen
untuk salah satu faktor ini, soluble fms-like
tyrosin kinase 1, berada pada kromosom 13.
Sebaliknya, wanita yang sebelumnya terpapar
antigen paternal seperti kehamilan sebelumnya
dengan pasangan yang sama, akan seperti
"diimunisasi" terhadap preeklamsia. Fenomena ini
tidak terlihat pada wanita yang pernah mengalami
abortus sebelumnya. Multipara yang hamil
dengan pasangan baru memiliki risiko lebih besar

7
mengalami preeklamsia.
Redman, dkk (2015) meninjau
kemungkinan peran maladaptasi imun dalam
patofisiologi preeklamsia. Pada wanita yang
ditakdirkan mengalami preeklamsia, trofoblas
ekstravili di awal kehamilan mengekspresikan
penurunan jumlah HLA G. Wanita kulit hitam
lebih umum memiliki alel gen 1597^C yang
merupakan predisposisi preeklamsia. Perubahan
ini dapat berkontribusi pada kerusakan
vaskularisasi plasenta pada sindrom preeklamsia
stadium 1. Limfosit T- helper (Th) selama
kehamilan normal diproduksi sehingga aktivitas
tipe 2 meningkat sehubungan dengan tipe 1, yang
disebut type 2 bias. Sel Th2 meningkatkan
kekebalan humoral, sedangkan sel Th1
merangsang sekresi sitokin inflamatoris. Dimulai
pada awal trimester kedua pada wanita yang
mengalami preeklamsia, Th 1 meningkat

3. Aktivasi Sel Endotel

Perubahan inflamatoris diyakini sebagai


kelanjutan dari perubahan tahap 1. Menanggapi
iskemia atau pemicu penyebab lainnya, faktor
plasenta dilepaskan dan memulai serangkaian
kaskade. Dengan demikian, faktor antiangiogenik,
metabolik dan mediator leukosit inflamasi lainnya
dianggap memicu cedera sel endotelial sistemik,
yang secara sinonim dikaitkan dengan aktivasi
atau disfungsi sel endotelial.
Disfungsi sel endotel dapat terjadi akibat
keadaan leukosit yang teraktivasi secara ekstrim

8
dalam sirkulasi maternal. Secara singkat, sitokin
seperti tumor necrosis factor-a (TNF-a) dan
interleukin dapat berkontribusi pada stres
oksidatif sistemik yang berhubungan dengan
preeklamsia. Ini ditandai dengan spesies oksigen
reaktif dan radikal bebas yang menyebabkan
pembentukan peroksida lipid yang menyebar
dengan sendirinya. Peroksida ini pada gilirannya
akan menghasilkan radikal toksik yang melukai
sel endothelial vaskular sistemik, memodifikasi
produksi oksida nitrat oleh sel ini, dan
mengganggu keseimbangan prostaglandin.
Konsekuensi lain dari stres oksidatif termasuk
produksi lipid-laden macrophage foam cells yang
terlihat pada aterosis plasenta, aktivasi koagulasi
mikrovaskular sistemik yang dimanifestasikan
oleh trombositopenia, dan permeabilitas kapiler
sistemik yang lebih besar yang disebabkan oleh
edema dan proteinuria.

4. Faktor Genetik
Preeklamsia tampaknya merupakan kelainan
poligenik multifaktorial. Dalam satu penelitian
terhadap hampir 1, 2 juta kelahiran Swedia,
hubungan genetik untuk hipertensi gestasional dan
preeklamsia ditemukan. Ward dan Taylor (2015)
mengutip incident risk untuk preeklamsia sebesar
20–40% untuk anak perempuan dari ibu
preeklamsia, 11–37% untuk saudara perempuan
dari wanita preeklamsia, dan 22–47% untuk anak
kembar. Faktor etnorasial sangatlah penting,
terbukti dengan tingginya kejadian preeklamsia
pada wanita Afrika- Amerika. Mungkin saja

9
wanita Latin memiliki insiden yang lebih rendah
karena interaksi Gen ras Indian dan kulit putih
Amerika.

Predisposisi herediter untuk preeklamsia


kemungkinan besar berasal dari interaksi ratusan
gen yang diwariskan baik dari ibu maupun ayah -
yang mengontrol berbagai fungsi enzimatik dan
metabolisme di seluruh sistem organ. Faktor yang
diturunkan dari plasma dapat memicu beberapa
gen pada preeklamsia. Dengan demikian,
manifestasi klinis pada wanita tertentu dengan
sindrom preeklamsia akan menempati suatu
spektrum. Dalam hal ini, ekspresi fenotipik akan
berbeda di antara genotipe yang serupa tergantung
pada interaksi dengan komponen lingkungan.

Ratusan gen telah dipelajari untuk


kemungkinan asosiasinya dengan preeklamsia.
Beberapa yang mungkin memiliki hubungan
signifikan dengan sindrom ini tercantum di Tabel
40-4. Namun, karena ekspresi fenotipik
preeklamsia yang kompleks, akan sulit untuk
menemukan satu gen yang bertanggung jawab.
Bahkan, Majander dkk (2013) telah
menghubungkan predisposisi preeklamsia dengan
gen janin pada kromosom 18

10
Gambar2. Gen yang berkaitan dengan preeklampsia

2.1.4 FAKTOR RISIKO


Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal
pertama :
e. Anamnesis1
1) Umur <20 dan >35 tahun13
2) Nulipara
3) Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya
4) Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru
5) Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun
atau lebih
6) Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara
perempuan
7) Kehamilan multiple
8) IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)
9) Hipertensi kronik
10) Penyakit ginjal
11) Sindrom antifosfolipid (APS)
12) Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit
atau embrio

11
13) Obesitas sebelum hamil

f. Pemeriksaan Fisik
1) Indeks masa tubuh >35
2) Tekanan darah diastolik >80 mmHg
3) Proteinuria (dipstick >+1 pada 2 kali
pemeriksaan berjarak 6 jam atau
secara kuantitatif 300 mg/24 jam)
Faktor risiko yang dapat dinilai secara
dini sebagai predictor terjadinya preeklampsia
superimposed pada wanita hamil dengan
hipertensi kronik, yaitu :
a. Riwayat preeklampsia sebelumnya
b. Penyakit ginjal kronis
c. Merokok
d. Obesitas
e. Diastolik >80 mmHg
f. Sistolik 130 mmHg

Faktor risiko yang telah diidentifikasi


dapat membantu dalam melakukan penilaian
risiko kehamilan pada kunjungan awal
antenatal. Berdasarkan hasil penelitian dan
panduan Internasional terbaru kami membagi
dua bagian besar faktor risiko yaitu risiko
tinggi / mayor dan risiko tambahan / minor,
yaitu :
a. Risiko Tinggi
1) Riwayat preeklampsia
2) Kehamilan multiple

12
3) Hipertensi kronis
4) Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2
5) Penyakit ginjal
6) Penyakit autoimun (contoh:
systemic lupus
erythematous,
antiphospholipid syndrome)
b. Risiko Sedang
1) Nulipara
2) Obesitas (Indeks massa tubuh >30 kg/m2)
3) Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara
perempuan
4) Usia ≥ 35 tahun
5) Riwayat khusus pasien (interval kehamilan >10 tahun)

2.1.5. KLASIFIKASI
Preeklamsia adalah bagian dari spektrum
hipertensi dalam kehamilan. Sebagaimana
ditentukan oleh NHBPEP (National High
Blood Pressure Education Program),
klasifikasinya adalah sebagai berikut:8

1) Hipertensi Gestasional ditandai dengan


tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih
untuk pertama kali selama kehamilan,
tidak ada proteinuria, tekanan darah
kembali normal kurang dari 12 minggu
pascapartum
2) Hipertensi kronis ditandai oleh (1) tekanan
darah 140/90 mm Hg atau lebih sebelum
kehamilan atau didiagnosis sebelum usia
kehamilan 20 minggu; tidak disebabkan
oleh penyakit trofoblas gestasional atau
hipertensi yang pertama kali didiagnosis

13
setelah usia gestasi 20 minggu dan
menetap setelah 12 minggu pascapartum
3) Preeklampsia ditandai dengan tekanan
darah 140/90 mmHg atau lebih setelah
kehamilan 20 minggu pada wanita dengan
tekanan darah normal sebelumnya dan
yang memiliki proteinuria (≥0,3 g protein
dalam spesimen urin 24 jam).
4) Superimposed Preeklamsia (pada
hipertensi kronis) ditandai dengan (1)
proteinuria onset baru (≥300 mg / 24 jam)
pada wanita dengan hipertensi tetapi tidak
ada proteinuria sebelum usia gestasi 20
minggu dan (2) peningkatan tiba-tiba
proteinuria atau tekanan darah, atau jumlah
trombosit kurang dari 100.000 / mm3, pada
wanita dengan hipertensi dan proteinuria
sebelum usia gestasi 20 minggu.
Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan
enzim hati, trombosit rendah) mungkin
merupakan hasil dari preeklamsia berat,
meskipun beberapa penulis percaya bahwa
hal itu memiliki etiologi yang tidak
berhubungan. Sindrom ini telah dikaitkan
dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan
perinatal yang sangat tinggi dan dapat
muncul tanpa hipertensi atau, dalam
beberapa kasus, tanpa proteinuria.
2.1.6. PATOFISIOLOGI
Patogenesis preeklamsia tidak sepenuhnya
dijelaskan tetapi banyak kemajuan telah dibuat dalam
beberapa dekade terakhir. Plasenta selalu menjadi

14
tokoh sentral dalam etiologi preeklamsia karena
pengangkatan plasenta diperlukan agar gejala
berkurang. Pemeriksaan patologis plasenta dari
kehamilan dengan preeklamsia lanjut sering
mengungkapkan banyak infark plasenta dan
penyempitan arteriol sklerotik. Hipotesis bahwa
invasi trofoblas yang rusak dengan hipoperfusi
uteroplasenta terkait dapat menyebabkan preeklamsia
didukung oleh penelitian pada hewan dan manusia.
Dengan demikian, model dua tahap dikembangkan:
renovasi arteri spiralis yang tidak lengkap di rahim
yang berkontribusi terhadap iskemia plasenta (tahap
1) dan pelepasan faktor antiangiogenik dari plasenta
iskemik ke dalam sirkulasi ibu yang berkontribusi
pada kerusakan endotel (tahap 2) 9

Gambar 3. Patogenesis preeklamsia: model


dua tahap. AT1-AA, autoantibodi menjadi reseptor
angiotensin 1; COMT, katekol-O-metiltransferase;
HTN, hipertensi; LFT, tes fungsi hati; PlGF1, faktor
pertumbuhan plasenta 1; PRES, sindrom
ensefalopati posterior reversibel; sEng, endoglin
larut; sFlt-1, tirosin kinase 1 seperti fms terlarut;
sVEGFR1, reseptor faktor pertumbuhan endotel
vaskular terlarut 1; VEGF, faktor pertumbuhan
endotel vaskular.
Selama implantasi, trofoblas plasenta
menginvasi uterus dan menyebabkan pembentukan
ulang arteri spiralis, sementara melenyapkan tunika
media dari arteri spiralis miometrium; hal ini
memungkinkan arteri untuk mengakomodasi
peningkatan aliran darah terlepas dari perubahan
vasomotor ibu untuk memberi makan janin yang
sedang berkembang. Bagian dari renovasi ini
mengharuskan trofoblas mengadopsi fenotipe
15
endotel dan berbagai molekul adhesi. Jika renovasi
ini terganggu, plasenta kemungkinan akan
kekurangan oksigen, yang menyebabkan keadaan
iskemia relatif dan peningkatan stres oksidatif
selama keadaan perfusi intermiten. Renovasi arteri
spiralis yang abnormal ini terlihat dan dijelaskan
lebih dari lima dekade yang lalu pada wanita hamil
yang mengalami hipertensi. Sejak itu telah terbukti
menjadi faktor patogen sentral pada kehamilan yang
dipersulit oleh hambatan pertumbuhan intrauterin,
hipertensi gestasional, dan preeklamsia. Salah satu
batasan teori ini, oleh karena itu, bahwa temuan ini

tidak spesifik untuk preeklamsia dan dapat


menjelaskan perbedaan manifestasi antara
preeklamsia plasenta dan preeklamsia ibu. 9
16
Gambar 4. Hipotesis penyebab dan Patogenesis Preeklampsia10

(TGF= Transforming growth factor; IFN =


Interferon; VEGF = Vascular endothelial growth
factor; PIGF= placental growth factor; ANGIO =
angioprotein)
2.1.7. DIAGNOSIS1
Berdasarkan PNPK Diagnosis dan
Tatalaksana PreEklampsia tahun 2016,
preeklampsia sebelumnya selalu didefinisikan
dengan adanya hipertensi dan proteinuri yang baru
terjadi saat kehamilan. Meskipun kedua kriteria ini
masih menjadi definisi klasik preeklampsia,
beberapa wanita lain menunjukkan adanya
hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang
menunjukkan adanya kondisi berat dari
preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak
mengalami proteinuria. Sedangkan, untuk edema
tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena
sangat banyak ditemukan pada wanita dengan
kehamilan normal.

A. Penegakkan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-


kurangnya 140 mmHg sistolik atau 90 mmHg
diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15
menit menggunakan lengan yang sama. Definisi
hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah
sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110
mmHg diastolik. Mat tensimeter sebaiknya
menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila
tidak tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum

17
atau tensimeter otomatis yang sudah divalidasi.
Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan
darah menggunakan alat otomatis sering memberikan
hasil yang lebih rendah.
Berdasarkan American Society of
Hypertension ibu diberi kesempatan duduk tenang
dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran
tekanan darah pemeriksaan. Pengukuran dilakukan
pada posisi duduk posisi manset setingkat dengan
jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan
mendengar bunyi korotkoff V (hilangnya bunyi).
Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga
senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran
tekanan darah yang tepat. Pemeriksaan tekanan darah
pada wanita dengan hipertensi kronik harus
dilakukan pada kedua tangan, dengan menggunakan
hasil pemeriksaan yang tertinggi.

18
B. Penegakkan Diganosis Proteinuria

Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam


24 jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan
merupakan pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria.
6,7 Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa
faktor, termasuk jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein
kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2
berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka
positif palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat
positif palsu 67- 83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina,
cairan pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for
the Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang
dikeluarkan oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG)
menetapkan bahwa pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan
sebagai tes skrining dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus
dikonfirmasi dengan pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio
protein banding rasio protein banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang
dilakukan Côte dkk disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding
kreatinin dapat memprediksi proteinuria dengan lebih baik.

C. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan


sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20
minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan
gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus
preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin
tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk
menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu :
a. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik
atau 90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
b. Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstick > positif 1
c. Trombositopenia : trombosit <100.000/ microliter
d. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
e. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal atau adanya nyeri
di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen Edema paru
f. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
g. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)
h. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada
preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi
kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat.
Kriteria gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia
atau preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :
i. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau
110 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit
menggunakan lengan yang sama
j. Proteinuria : Protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin
dipstick > positif 1
k. Trombositopenia : trombosit <100.000/ microliter
l. Gangguan gin jal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan
peningkatan kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada
kelainan ginjal lainnya
m. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal
atau adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen
n. Edema paru
o. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus
p. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi
uteroplasenta : oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau
didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara


kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehiingga kondisi protein
urin masif (lebih dari 5 g) telah dieliminasi dari kriteria pemberatan
preeklampsia (preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan
lagi

preeklampsia ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi


yang berbahaya dan dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas
secara signifikan dalam waktu singkat.

Pembagian preeklamsia berat 13

Preeklamsia berat dibagi menjadi (a) preeklamsia berat tanpa


impending eclamsia dan (b) preeklamsia dengan impanding eclamsia. Disebut
impanding eclamsia bila preeklamsia berat disertai gejala-gejala subjektif beupa
nyeri kepala hebat,gangguan visus,muntah-muntah,nyeri epigastrium,dan
kenaikan progresif tekanan darah.

Kriteria impending eklampsia


Pre Eklampsia berat disertai tanda-tanda
1. Nyeri kepala berat
Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak
sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang mengalami
serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului serangan kejang
pertama.
2. Gangguan visus
Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan yang sedikit
kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini disebabkan oleh
vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks oksipital
3. Muntah-muntah
4. Nyeri epigastrium
Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang sering
ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi presiktor serangan kejang
yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh regangan kapsula hepar
akibat edema atau perdarahan
5. Kenaikan progresif tekanan darah (sistolis > / = 200 mmHg)
Sebagian dari tanda gejala tersebut di atas sudah termasuk kriteria diagnosis
preeklampsia berat. Seperti gangguan visus dan serebral dan nyeri epigastrium
edema paru-paru dan sianosis juga termasuk tanda / gejala preeklampsia berat atau
“imminent eclampsia”

2.1.8. PENATALAKSANAAN

2.1.8.1 Manajemen Ekspektatif atau Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran


perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia
kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan
kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio
sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan,
serta mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin,
necrotizing enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama
perawatan. Berat lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif,
namun insiden pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak.1 Pemberian
kortikosteroid mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan
intraventrikular, infeksi neonatal serta kematian neonatal.1
Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa gejala berat
berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut : 1
a) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa
gejala berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi
maternal dan janin yang lebih ketat
b) Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia
tanpa gejala berat
c) Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :
1) Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien
2) Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis

3) Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu


4) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
5) Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali
dalam seminggu)
6) Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan
dopplet velocimetry terhadap arteri umbilical direkomendasikan

Gambar 4. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala Berat

Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat berdasarkan


PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut :1
a) Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus PEB dengan usia
kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil
b) Manajemen ekspektatif pada PEB juga direkomendasikan untuk melakukan
perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif
bagi maternal dan neonatal
c) Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif PEB, pemberian
kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin
d) Pasien dengan PEB direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama
melakukan perawatan ekspektatif

Gambar 5. Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia Berat


Berikut merupakan kriteria terminasi kehamilan pada preeklampsia berat
berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 :1

Gambar 6. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat

Indikasi untuk dilakukan pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai berikut :
a) Kehamilan > 34 minggu
b) Adanya gejala impending eklamsia
c) Gagal perawatan konservatif
d) Diduga solusio plasenta
e) Adanya fetal distress/ gawat janin
f) IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
g) Terjadi Oligohidramion
h) Tanda tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit
yang cepat.

2.1.8.1. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang


Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia
di Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat
pada preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian
eklampsia, serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta
perinatal. Cara kerja magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya.
Salah satu mekanisme kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui
relaksasi dari otot polos, termasuk pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga
selain sebagai antikonvulsan, magnesium sulfat juga berguna sebagai
antihipertensi dan tokolitik. Magnesium sulfat juga berperan dalam
menghambat reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA) di otak, yang apabila
teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium ke dalam
neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.
Efek samping dan toksisitas magnesium sulfat Penggunaan magnesium
sulfat berhubungan dengan efek samping minor yang lebih tinggi seperti rasa
hangat, flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari
lokasi injeksi. Dari uji acak dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 –
67% kasus. Efek samping ini merupakan penyebab utama wanita
menghentikan pengobatan.
Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat magnesium sulfat
dibandingkan 0,5% pada plasebo, namun tidak ada bukti nyata perbedaan
risiko hilangnya atau berkurangnya refleks tendon. Meskipun depresi napas
dan masalah pernapasan jarang ditemukanr isiko relatif meningkat pada
kelompok yang diberikan magnesium sulfat. Untuk mengatasi terjadinya
toksisitas, bisa berikan kalsium glukonas 10% 1 g (10 ml) dapat diberikan IV
secara perlahan selama 10 menit.
Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang atau
kejang berulang dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis yang digunakan:
1) Loading Dose: initial dose
4 gram MgSO4: intravena (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%)

selama 5 – 10 menit.
2) Maintenance Dose:
Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer Laktat/6 jam atau 1 –
2 gram/jam; atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya
maintenance dose diberikan 4 gram i.m. tiap 4 – 6 jam. Dosis
pemeliharaan dilanjutkan selama 24 jam post partum atau setelah
kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk melanjutkan
pemberian magnesium sulfat.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:

1) Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu


kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10cc) diberikan i.v.
10 menit (dalam keadaan siap pakai)
2) Refleks patella (+) kuat
3) Frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda
distres napas
4) Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0.5cc/kgBB/jam)

Magnesium sulfat dihentikan bila:


1) Ada tanda-tanda intoksikasi
2) Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir
3) Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi


mengenai waktu yang optimal untuk memulai magnesium sulfat,
dosis (loading dan pemeliharaan), rute administrasi (intramuskular
atau intravena) serta lama terapi.
2.1.8.2. Antihipertensi
Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi
ringan - sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg),
masih kontroversial. European Society of Cardiology (ESC)
guidelines 2010 merekomendasikan pemberian antihipertensi pada
tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90 mmHg pada
wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria),
hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi
dengan gejala atau kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan
berapa pun. Pada keadaan yang lain, pemberian antihipertensi
direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau
diastolik
≥ 110 mmHg. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160
mmHg dan diastolik < 110 mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan
pertama adalah nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol
parenteral. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah
nitogliserin, metildopa, labetalol. Dapat diberikan:
a) Calcium Channel Blocker
1) Nifedipine
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang
sudah digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah
persalinan preterm (tokolisis) dan sebagai antihipertensi.
Nifedipin dapat menurunkan perfusi dari uteroplacental. Selain
itu, berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal yang selektif
dan bersifat natriuretik, serta meningkatkan produksi urin.
Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral,
diulang tiap 15 – 30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg
(maksimal 120 mg/24 jam) sampai terjadi penurunan MABP
<20%. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual karena dapat
menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin
2) Nikardipine

Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral,


yang mulai bekerja setelah 10 menit pemberian dan
menurunkan tekanan darah dengan efektif dalam 20 menit
(lama kerja 4 -6 jam). Merupakan lini kedua yang dapat
diberikan jika pada setelah nifedipine dan methyldopa tidak ada
perubahan atau diberikan bila tekanan darah ≥180/110 mmHg
atau pada hipertensi emergensi Efek samping pemberian
nikardipin tersering yang dilaporkan adalah sakit kepala. Dosis
awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu 5 mg/jam,
dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum
10 mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial rata –rata
sebesar 25% tercapai. Kemudian dosis dapat dikurangi dan
disesuaikan sesuai dengan respon.

b) Methyldopa

Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem


saraf pusat, adalah obat antihipertensi yang paling sering
digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi kronis.
Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety
margin yang luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja
terutama pada sistem saraf pusat, namun juga memiliki sedikit
efek perifer yang akan menurunkan tonus simpatis dan tekanan
darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah
ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara
lain letargi, mulut kering, mengantuk, depresi, hipertensi
postural, anemia hemolitik dan drug-induced hepatitis.

Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per


oral 2 atau 3 kali sehari, dengan dosis maksimum 3 g per hari.
Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah obat masuk dan
menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.
Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500
mg tiap 6 jam sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis
hipertensi. Metildopa dapat melalui plasenta pada jumlah
tertentu dan disekresikan di ASI.

c. NSAID
NSAID dapat diberikan sebagai analgetic yang baik daripada
golongan opioid. NSAID juga dapat diberikan pada wanita dengan
postpartum untuk membantu menurunkan tekanan darah.1
Beberapa rekomendasi dalam menangani preeklampsia
ataupun hipertensi dalam kehamilan:1
1. Pemantauan ketat pada pasien hipertensi gestasional atau
preeklampsia tanpa perburukan, dengan penilaian serial
gejala ibu dan gerakan janin (setiap hari oleh pasien),
pengukuran serial tekanan darah (dua kali seminggu), serta
penilaian jumlah trombosit dan enzim hati (mingguan)
2. Untuk pasien hipertensi gestasional, pemantauan tekanan
darah setidaknya sekali seminggu dengan penilaian
proteinuria
3. Untuk pasien hipertensi gestasional ringan atau preeklampsia
dengan tekanan darah terus-menerus kurang dari 160 mmHg
sistolik atau 110 mmHg diastolik, obat antihipertensi tidak
disarankan.
4. Pasien hipertensi gestasional atau preeklamsia tanpa tanda
perburukan tidak perlu tirah baring.
5. Untuk pasien preeklampsia tanpa tanda perburukan, USG
disarankan untuk menilai pertumbuhan janin dan uji
antenatal untuk menilai status janin.
6. Jika terdapat tanda bukti pertumbuhan janin terhambat,
dianjurkan penilaian fetoplasenta yang mencakup
velocimetry arteri Doppler sebagai uji antenatal tambahan.
7. Untuk pasien preeklampsia dengan tekanan darah sistolik
kurang dari 160 mmHg dan diastolik kurang dari 110 mmHg
dan tanpa gejala, magnesium sulfat untuk pencegahan
eklampsia tidak disarankan.
8. Untuk pasien preeklampsia berat pada atau di luar 34 minggu
lengkap kehamilan, dan pada kondisi ibu atau janin tidak
stabil terlepas dari usia kehamilan, dianjurkan persalinan
setelah stabilisasi ibu.

9. Untuk pasien preeklampsia berat kurang dari 34 minggu


lengkap kehamilan dengan kondisi ibu dan janin stabil,
dianjurkan kehamilan dilanjutkan, persalinan hanya pada
fasilitas perawatan intensif ibu dan bayi yang memadai.
10. Untuk pasien preeklampsia berat, manajemen konservatif
kehamilan pada 34 minggu atau kurang dari usia kehamilan,
kortikosteroid dianjurkan untuk kematangan paru janin.
11. Untuk pasien preeklampsia dengan hipertensi berat selama
kehamilan (sistolik tekanan darah minimal 160 mmHg atau
diastolik minimal 110 mmHg berkelanjutan), dianjurkan
terapi antihipertensi.
12. Untuk pasien preeklampsia, keputusan terminasi kehamilan
tidak harus didasarkan pada jumlah proteinuria atau
perubahan jumlah proteinuria.
13. Untuk pasien preeklampsia berat dan janin belum viable,
terminasi kehamilan dianjurkan setelah stabilisasi ibu.
Manajemen konservatif kehamilan tidak dianjurkan.
14. Kortikosteroid disarankan diberikan dan terminasi kehamilan
ditangguhkan selama 48 jam jika kondisi ibu dan janin tetap
stabil pada pasien preeklamsia berat dan janin viable di usia
kehamilan kurang dari 34 minggu lengkap dengan salah satu
dari berikut:
a. Ketuban pecah dini preterm
b. In partu
c. Jumlah trombosit rendah (<100.000)
d. Kadar enzim hati abnormal terus-menerus (dua kali atau
lebih dari nilai normal)
e. Pertumbuhan janin terganggu (kurang dari persentil lima)
f. Oligohidramnion berat (AFI <5 cm)
g. Reverse end diastolic pada studi Doppler arteri umbilikalis
h. Onset baru disfungsi ginjal

15. Kortikosteroid disarankan diberikan jika janin viable dan pada


usia kehamilan kurang dari 34 minggu lengkap, tetapi
terminasi kehamilan tidak dapat ditunda setelah kondisi ibu
stabil tanpa memandang usia kehamilan atau untuk pasien
preeklampsia berat yang disertai:
a. Hipertensi berat tak terkendali
b. Eklampsia
c. Edema paru
d. Solusio plasenta
e. Disseminated intravascular coagulation
f. Kematian janin intrapartum

16. Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak


perlu sesar. Cara terminasi kehamilan harus ditentukan oleh
usia kehamilan, presentasi janin, status serviks, dan kondisi
janin dan ibu.
17. Untuk pasien preeklampsia berat, dianjurkan administrasi
magnesium sulfat intra- dan post-partum untuk mencegah
eklampsia.
18. Untuk pasien preeklampsia yang menjalani sesar, dianjurkan
administrasi intraoperatif magnesium sulfat secara parenteral
untuk mencegah eklampsia.
19. Untuk pasien hipertensi gestasional, preeklampsia, atau
preeklampsia superimposed, tekanan darah disarankan
dipantau di rumah sakit atau pengawasan rawat jalan
dilakukan minimal 72 jam post-partum, hingga 10 hari pada
pasien yang bergejala.

2.1.9 KOMPLIKASI11
Pada kasus preeklampsia yang segera ditangani
• Ibu
i) Selama kehamilan: (a) Eklampsia (2%) - lebih banyak pada
kasus akut dibandingkan pada kasus subakut, (b) Perdarahan
tidak disengaja, (c) Oliguria dan anuria, (d) Penglihatan kabur
dan bahkan kebutaan, (e) Persalinan prematur, (f) sindrom
HELLP, (g) Perdarahan otak, (h) Sindrom gangguan pernapasan
akut (ARDS)

ii) Selama persalinan: (a) Eklampsia, (b) Perdarahan


postpartum - mungkin terkait dengan kegagalan
koagulasi
iii) Puerperium: (a) Eklampsia - biasanya terjadi dalam waktu 48 jam,
(b) Syok–kolaps vasomotor nifas dikaitkan dengan
penurunan konsentrasi natrium dan klorida karena
penurunan tiba-tiba tingkat kortikosteroid (c) Sepsis–
karena peningkatan insiden induksi, gangguan operasi,
dan vitalitas rendah.
(c) Janin: Risiko janin berhubungan dengan beratnya
preeklamsia, durasi penyakit dan derajat proteinuria. Bahaya
berikut mungkin terjadi. (a) Kematian intrauterin—akibat
spasme sirkulasi uteroplasenta yang menyebabkan
perdarahan tak disengaja atau infark merah akut, (b)
hambatan pertumbuhan intrauterin—karena insufisiensi
plasenta kronis,Asfiksia, (d) Prematuritas—baik karena onset
prematur spontan persalinan atau karena induksi prematur.
Pada kasus preeklampsia yang terpencil
a. Hipertensi residual: Mungkin menetap bahkan setelah 6 bulan
setelah melahirkan pada sekitar 50% kasus. Hal ini lebih
terkait dengan diatesis keluarga dan trombofilia yang
mendasari (protein C, defisiensi protein S, sindrom
antifosfolipid). Disfungsi mikrovaskuler akibat resistensi
insulin juga ada.
b. Pre-eklamsia rekuren: Ada 25% kemungkinan preeklamsia
kambuh pada kehamilan berikutnya. Ini juga terkait dengan
diatesis familial, kecenderungan pribadi dengan trombofilia
yang mendasari.
c. Penyakit ginjal kronis: Ada insiden tinggi glomerulonefritis
pada wanita dengan preeklamsia jauh dari cukup bulan. Hal
ini lebih mungkin terjadi karena penyakit ginjal yang sudah
ada sebelumnya.
d. Risiko solusio plasenta pada wanita dengan preeklamsia
berkisar antara 5-20 persen dan wanita dengan sindrom
HELLP, risiko preeklamsia pada kehamilan berikutnya adalah
sekitar 20 persen.
2.1.10 PROGNOSIS11
Prognosis preeklamsia tergantung pada masa gestasi, keparahan penyakit dan
respon terhadap pengobatan.

Jika preeklamsia terdeteksi dini, dengan pengobatan yang tepat dan efektif,
fitur preeklamsia mereda sepenuhnya dan prognosisnya tidak buruk, prognosis
baik untuk ibu maupun bayinya. Namun, jika kasus dibiarkan tanpa perawatan
atau dengan kasus onset akut, kemungkinan besar akan terjadi komplikasi serius.
Dalam kondisi seperti itu, ibu dan bayinya berada dalam bahaya.

• Kematian Ibu : Peningkatan kematian ibu terutama terkait dengan


eklamsia, perdarahan tidak disengaja, gagal ginjal akut, edema paru, koagulopati
intravaskular diseminata, dan sindrom HELLP. Meskipun angka kematian telah
berkurang secara signifikan di negara-negara maju, angka itu masih tetap tinggi
di negara berkembang.
• Kematian Perinatal: Meskipun kematian ibu telah berkurang secara
signifikan, kematian perinatal masih tetap sangat tinggi bahkan di negara maju
(7-10%). Di negara berkembang, kematian perinatal tetap sekitar 20%, sekitar
50% di antaranya lahir mati.
2.1.11 PENCEGAHAN
Pencegahan yang direkomendasikan pada PNPK Preeklampsia 2016, yaitu:1
• Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita
hamil sejak awal kehamilannya

• Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan untuk


prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis
rendah sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20
minggu.Suplementasi kalsium minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama
pada wanita dengan asupan kalsium yang rendah sebagai prevensi
preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi terjadinya
preeklampsiaPemberian antioksidan vitamin C dan E dianggap tidak efektif
serta tirah baring dan pembatasan garam terbukti tidak bermanfaat dalam
pencegahan terjadinya preeklampsia. Wanita dengan faktor risiko tinggi
preeklamsia seperti memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, kehamilan
lebih dari 1, penyakit ginjal, autoimmune, DM type 1 dan 2, serta hipertensi
kronis

dan wanita dengan faktor risiko sedang serperti kehamilan pertama, hamil >
35 tahun, BMI >30 dan lain – lain dapat diberikan aspirin low dose
81mg/hari sebagai profilaksis dari preeklamsia diantara kehamilan 12 – 28
minggu dan hasil optimal di kehamilan 16 minggu. Pemberian MgSO4
untuk pencegahan kejang.

2.2 Antenatal care / ANC


2.2.1 DEFINISI
Antenatal care (ANC) merupakan suatu pelayanan yang diberikan kepada wanita
selama hamil , misalnya dengan pemantauan kesehatan fisik,psikologis,termasuk
pertumbuhan dan perkembangan janin serta mempersiapkan proses persalinan dan
kelahiran agar ibu siap. 15

ANC adalah upaya preventif program pelayanan kesehatan obstetrik untuk


optimalisasi kesehatan maternal dan neonatal melalui serangkaian kegiatan
pemantauan rutin selama kehamilan. ANC juga dapat di definisikan sebagai
pengawasan sebelum persalinan terutama ditujukan pada pertumbuhan dan
perkembangan janin dalam rahim.16

Jenis Pemeriksaan Pelayanan Antenatal Terpadu17


Table . Penggunaan Alat pelindung diri21
Gambar Alur Pelayanan Antenatal di RS21

2.2.2 KUNJUNGAN JADWAL ASUHAN ANTENATAL


Semua ibu hamil dan suami/keluarga diharapkan ikut serta minimal 1 kali
pertemuan. Untuk mendapatkan pelayanan terpadu dan komprehensif sesuai standar
minimal 4 kali selama kehamilan. Kontak 4 kali dilakukan sebagai

berikut. 17

1) 1 kali pada trimester pertama, yaitu sebelum usia kehamilan 14 minggu

2) 1 kali pada trimester kedua, yaitu selama umur kehamilan 14–28 minggu

3) 2 kali pada trimester ketiga, yaitu selama kehamilan 28–36 minggu dan

setelah umur kehamilan 36 minggu

Pelayanan antenatal bisa lebih dari 4 kali bergantung pada kondisi ibu dan janin yang
dikandungnya.
Ibu hamil akan mendapatkan serangkaian pelayanan yang terkait dengan upaya
memastikan ada tidaknya kehamilan dan penelusuran berbagai kemungkinan adanya
penyulit atau gangguan kesehatan selama kehamilan yang mungkin dapat mengganggu
kualitas kehamilan. Identifikasi kehamilan kehamilan melalui pengenalan perubahan
anatomik dan fisiologik kehamilan. Bila diperlukan, dapat melakukan uji kehamilan
dengan menggunakan berbagai metode yang tersedia.

Pemeriksaan Rutin dan penelusuran penyulit selama kehamilan, dilakukan pula


pencatatan data pasien dan keluarga serta pemeriksaan fisik dan obstetrik seperti di
bawah ini.

1. Identifikasi dan Riwayat Kesehatan6


• Data Umum Pribadi
- Nama
- Usia
- Alamat
- Pekerjaan Ibu / Suami
- Lamanya menikah
- Kebiasaan yang dapat merugikan kesehatan

• Keluhan Saat
- Jenis dan sifat gangguan yang dirasakan ibu
- Lamanya mengalami gangguan tersebut
• Riwayat Haid
- Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT)
- Usia Kehamilan dan Taksiran Persalinan (Rumus Naegele: tanggal HPHT
ditambah 7 dan bulan dikurangi 3)
 Riwayat Kehamilan dan Persalinan
- Asuhan antenatal, persalinan, dan nifas sebelumnya kehamilan
- Cara persalinan
- Jumlah dan jenis kelamin anak hidup
- Berat badan lahir
- Cara pemberian asupan bagi bayi yang dilahirkan
- Informasi dan saat persalinan atau keguguran terakhir
 Riwayat Kehamilan Saat Ini
- Identifikasi kehamilan
- Identifikasi penyulit (preeklampsia atau hipertensi dalam kehamilan)
- Penyakit lain yang diderita
- Gerakan bayi dalm kandungan
 Riwayat Penyakit dalam Keluarga
- Diabetes Mellitus, Hipertensi atau Hamil Kembar
- Kelainan Bawaan
 Riwayat Penyakit Ibu
- Penyakit yang pernah diderita
- DM, HDK, Infeksi Saluran Kemih
- Penyakit Jantung
- Infeksi Virus Berbahaya
- Alergi obat atau makanan tertentu
- Pernah mendapat transfusi darah dan indikasi tindakan tersebut

- Inkompatibilitas Rhesus
- Paparan sinar-X/Röntgen
 Riwayat Penyakit yang Memerlukan Tindakan Pembedahan
- Dilatasi dan Kuretase
- Reparasi vagina
- Sesarea sesarea
- Serviks Inkompeten
- Operasi non-ginekologi
 Riwayat Mengikuti Program Keluarga Berencana
 Riwayat Imunisasi
 Riwayat Menyusul
2. Pemeriksaan
 Keadaan Umum
- Tanda vital
- Pemeriksaan jantung dan paru
- Pemeriksaan payudara
- Kelainan otot dan rangka serta neurologik .
 Pemeriksaan Abdomen
- Inspeksi
- Bentuk dan ukuran abdomen .
- Parut bekas operasi .
- Tanda-tanda kehamilan
- Gerakan janin
- Varises atau pelebaran vena .
- Hernia Edema
 Palpasi
- Tinggi fundus .
- Punggung bayi .
- Presentasi .
- Sejauh mana bagian terbawah bayi masuk pintu atas panggul
 Auskultasi .
- 10 minggu dengan Doppler .
- 20 minggu dengan fetoskop Pinard
 Inspekulo vagina untuk identifikasi vaginitis pada Trimester I/II

3. Laboratorium
 Pemeriksaan

- Analisis urin rutin


- Analisis tinja rutin
- Hb, MCV
- Golongan darah Hitung jenis sel darah
- Gula darah Antigen
- Hepatitis B Virus
- Antibodi Rubela
- HIV/VDRL
 ultrasonografi – Rutin pada kehamilan 18 – 22 minggu untuk identifikasi
kelainan janin.

4. Menilai Kesejahteraan Janin

Untuk menilai kesejahteraan janin pada kehamilan risiko tinggi dapat dilakukan
berbagai jenis pemeriksaan atau pengumpulan informasi, baik yang diperoleh
dari ibu hamil maupun pemeriksaan oleh petugas kesehatan.

Berbagai jenis pemeriksaan tersebut adalah:

• Pengukuran tinggi fundus uteri terutama > 20 minggu yang akan disesuaikan
dengan usia kehamilan saat pemeriksaan dilakukan. Tinggi fundus yang
normal sama dengan usia kehamilan
• Gerakan menendang atau tendangan janin (10 gerakan/12 jam) .
• Gerakan janin
• Gerakan janin yang menghilang dalam waktu 48 jam dikaitkan dengan
hipoksia berat atau janin meninggal
• Denyut jantung janin
• Ultrasonografi
Bila usia kehamilan memasuki 34 minggu, selain pemeriksaan di atas, juga
dilakukan pula pemeriksaan tentang:
• Penilaian besar janin, letak dan presentasi
LEOPOLD I :

- Kedua telapak tangan pemeriksa diletakkan pada puncak fundus uteri.


- Tentukan tinggi fundus uteri untuk menentukan usia kehamilan.
- Rasakan bagian janin yang berada pada bagian fundus (bokong, kepala atau
kosong).
LEOPOLD II

- Kedua telapak tangan pemeriksa bergeser turun ke bawah sampai di samping kiri
dan kanan umbilikus.
- Tentukan bagian punggung janin untuk menentukan lokasi auskultasi denyut
jantung janin nantinya.
- Tentukan bagian-bagian kecil janin.
LEOPOLD III

- Pemeriksaan ini dilakukan dengan hati-hati oleh karena dapat menyebabkan


perasaan tak nyaman bagi pasien.
- Bagian terendah janin dipegang di antara ibu jari dan telunjuk tangan kanan
- Ditentukan apa yang menjadi bagian terendah janin dan ditentukan apakah sudah
mengalami engagement atau belum.

LEOPOLD IV

- Pemeriksa merubah posisinya sehingga menghadap ke arah kaki pasien.


- Kedua telapak tangan ditempatkan disisi kiri dan kanan bagian terendah janin.
- Digunakan untuk menentukan sampai berapa jauh derajat desensus janin.
5. Edukasi Kesehatan janin
Kunjungan antenatal memberi kesempatan bagi petugas kesehatan untuk memberikan
informasi kesehatan esensial bagi ibu hamil dan keluarganya termasuk rencana persalinan
(di mana, penolong, dana, Pendamping, dan sebagainya) dan cara merawat bayi.
Beberapa informasi penting tersebut adalah sebagai berikut.

Nutrisi yang adekuat :


• Kalori
Jumlah kalori yang diperlukan bagi ibu hamil untuk setiap harinya adalah 2.500 kalori.
Pengetahuan tentang berbagai jenis makanan yang dapat memberikan kecukupan kalori
tersebut sebaiknya dapat dijelaskan secara rinci dan bahasa yang dimengerti oleh para ibu
hamil dan keluarganya. Jumlah kalori yang berlebih dapat menyebabkan obesitas dan hal
ini merupakan faktor predisposisi untuk terjadinya preeklampsia. Jumlah pertambahan
berat badan sebaiknya tidak melebihi 10 – 12 kg selama hamil.

• Protein

Jumlah protein yang diperlukan oleh ibu hamil adalah 85 gram per hari. Sumber
protein tersebut dapat diperoleh dari tumbuh-tumbuhan (kacang-kacangan) atau
hewani (ikan, ayam, keju, susu, telur). Defisiensi protein dapat menyebabkan
kelahiran prematur, anemia, dan edema.

• Kalsium

Kebutuhan kalsium ibu hamil adalah 1,5 gram per hari. Kalsium dibutuhkan untuk
pertumbuhan janin, terutama bagi pengembangan otot dan rangka. Sumber kalsium
yang mudah diperoleh adalah susu, keju, yogurt, dan kalsium karbonat. Defisiensi
kalsium dapat menyebabkan riketsia pada bayi atau osteomalasia pada ibu.

• Zat besi

Metabolisme yang tinggi pada ibu hamil memerlukan kecukupan oksigenasi jaringan
yang diperoleh dari pengikatan dan pengantaran oksigen melalui hemoglobin di dalam
sel-sel darah merah. Untuk menjaga konsentrasi hemoglobin yang normal, diperlukan
seperti zat besi bagi ibu hamil dengan jumlah 30 mg/hari terutama setelah trimester
kedua, Bila tidak ditemukan anemia pemberian besi per minggu cukup adekuat. Zat
besi yang diberikan dapat berupa ferrous gluconate, ferrous fumarate, atau ferrous
sulphate. Kekurangan zat besi pada ibu hamil dapat menyebabkan anemia defisiensi
zat besi.

• Asam folat
Selain zat besi, sel-sel darah merah juga memerlukan asam folat bagi pematangan sel.
Jumlah asam folat yang dibutuhkan oleh ibu hamil adalah 400 mikrogram per hari.
Kekurangan asam folat dapat menyebabkan anemia megaloblastik pada ibu hamil.

Beberapa Gejala dan Tanda Bahaya Selama Kehamilan

 Perdarahan

Perdarahan pada kehamilan muda atau usia kehamilan di bawah 20 minggu,


umumnya disebabkan oleh keguguran. Keguguran yang pada umumnya (60 – 80 %)
disebabkan oleh kelainan kromosom yang ditemui pada spermatozoa ataupun ovum.

Penyebab yang sama dan menimbulkan gejala perdarahan pada kehamilan


muda dan ukuran pembesaran uterus yang di atas normal, pada umumnya
disebabkan oleh mola hidatidosa. Perdarahan pada kehamilan muda dengan uji
kehamilan yang tidak jelas, pembesaran uterus yang tidak sesuai (lebih kecil) dari
usia kehamilan, dan adanya massa di adneksa biasanya disebabkan oleh kehamilan
ektopik. Perdarahan pada kehamilan lanjut atau di atas 20 minggu pada umumnya
disebabkan oleh plasenta previa. Perdarahan yang terjadi sangat terkait dengan luas
plasenta dan kondisi segmen bawah rahim yang menjadi tempat implementasi
plasenta tersebut. Pada plasenta yang tipis dan menutupi sebagian jalan lahir, maka
umumnya terjadi perdarahan bercak berulang dan apabila segmen bawah rahim
mulai terbentuk disertai dengan sedikit penurunan bagian terbawah janin, maka
perdarahan mulai meningkat hingga tingkatan yang dapat membahayakan
keselamatan ibu. Plasenta yang tebal yang menutupi seluruh jalan lahir dapat
menimbulkan perdarahan hebat tanpa didahului oleh perdarahan bercak atau
berulang sebelumnya.

 Preeklampsia
Pada umumnya ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu disertai dengan
peningkatan tekanan darah di atas normal sering diasosiasikan dengan preeklampsia.
informasi awal terkait dengan tekanan darah sebelum hamil akan sangat membantu
petugas kesehatan untuk membedakan hipertensi kronis (yang sudah ada belumnya) dengan
preeklampsia.
 Nyeri Hebat di Daerah Abdominopelvikum
- Trauma abdomen
- Preeclampsia
- Tinggi fundus uteri lebih besar dari usia kehamilan
- Bagian-bagian janin sulit diraba
- Uterus tegang dan nyeri
- Janin mati dalam Rahim
2.2.3 FAKTOR RESIKO DAN PENGELOLAAN
Kelompok faktor resiko merupakan suatu keadaan atau ciri tertentu pada
seseorang atau suatu kelompok ibu hamil yang dapat menyebabkan risiko/bahaya
kemungkinan terjadinya komplikasi persalinan. Pembagian kelompok faktor
resiko ini dapat merupakan suatu mata rantai dalam proses yang merugikan,
mengakibatkan kematian/kesakitan/ketidaknyamanan/ketidakpuasan pada ibu
ataupun janin.18,19,20.

 Kelompok Faktor Resiko I:


Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO) dengan 7 Terlalu dan 3 Pernah. 7 Terlalu:

- Usia pertama hamil terlalu muda (≤16 tahun)


Wanita berumur terlalu muda meningkatkan risiko bayi premature, perdarahan
antepartum, dan perdarahan postpartum. Pada usia ini juga berisiko mengalami
penyulit pada saat hamil dan melahrikan. Karena kurangnya pengalaman dan
informasi serta alat reproduksi yang belum matang angka morbiditas dan
mortalitas ibu hamil remaja 2-4 kali lebih tinggi daripada ibu hamil berusia 20-
35 tahun. Bahaya yang terjadi pada ibu hamil berusia terlalu muda antara lain
anemia, hipertensi pada 9 kehamilan, prematur, fetal distress, asfiksia
neonatorum, berat badan bay lahir rendah, abortus spontan, tindakan ekstraksi
vakum, dan plasenta previa.

- Kehamilan pertama terlalu tua


Pada beberapa penelitian menemukan primigravida berusia ≥35 tahun jumlah
komplikasi keluaran maternal meningkat bila dibandingkan primigravida
berusia 20-35 tahun yaitu pada kejadian perdarah postpartum, persalinan dan
bedah sesar. Bahaya yang terjadi pada primi tua dapat menimbulkan masalah
selama hamil misalnya preeklamsi, dan masalah persalinan tidak lancar yang
memerlukan intervensi atau tindakan dalam persalinan.
- Usia hamil terlalu tua (≥35 tahun)
Ada beberapa teori tentang kehamilan usia tua antara lain:
 Wanita umumnya mengalami penurunan kesuburan mulai dari umur 30 tahun
 Muncul masalah kesehatan kronnis (hipertensi, tumor, degenerative
tulang
belakang dan panggul)

 Diabetes mellitus gestational pada ibu usia tua, karena kerusakan endotel

vaskular progresif yang berhubungan dengan proses penuaan


 Preeklamsia, peningkatan angka kejadian pada kelompok usia > 40 tahun
dibandingkan kelompok usia
- Jarak kehamilan terlalu dekat (≤2 tahun)
Menurut BKKBN, jarak kehamilan yang paling tepat adalah 2 tahun atau
lebih. Jarak kehamilan yang pendek akan mengakibatkan belum pulihnya
kondisi tubuh ibu setelah melahirkan. Sehingga meningkatkan risiko
kelemahan dan kehamatian ibu.

- Jarak kehamilan terlalu jauh (≥10 tahun)


Ibu dalam kehamilan dan persalinan ini seolah-olah menghadapi persalinan
yang pertama lagi. Bahaya yang dapat terjadi antara lain persalinan dapat
berjalan tidak lancar, perdarahan pasca persalinan, penyakit ibu seperti
hipertensi, diabetes, dan lain-lain.

- Jumlah anak terlalu banyak (≥4 anak)


Bila jumlah anak ibu telah empat atau lebih perlu diwaspadai karena
semakin lama uterus semakin lemah sehingga memunkginkan untuk
terjadinya persalinan lama, sebagai indikasi untuk persalinan dengan forcep
dan vakum.

- Ibu dengan tinggi badan 145 cm atau kurang


Tinggi badan ibu mencerminkan ukuran pelvis yang berhubungan dengan
distosia. Ibu dengan tinggi badan 145 cm atau kurang meningkatkan risiko
untuk mengalami penylit dalam persalinan

3 Pernah:
- Riwayat Obstetrik Buruk
1) Persalinan dengan Tindakan
a. Induksi Persalinan
b. Seksio sesarea
c. Ekstraksi forcep dan vakum
2) Abortus
Abortus merupakan berakhirnya kehamilan sebelum usia 20 minggu
atau janin tidak dapat hidup di luar kandungan. Komplikasi abortus

adalah perdarahan atau infeksi. Perdarahan dapat menyebabkan


anemia dan infeksi dapat menyebabkan sepsis.

3) Uri manual
Uri manual yaitu tindakan pengeluaran plasenta dari rongga rahim
dengan menggunakan tangan. Tindakan ini dilakukan bila plasenta
tidak dapat lahir sendiri setelah ditunggu setengah jam atau setelah
bayi lahir plasenta belum lahir dan telah terjadi perdarahan >500 cc.

- Tindakan Pervaginam
- Bekas Operasi Sesar
Wanita yang memiliki riwayat operasi ssesar pasti memiliki jaringan
parut. Jaringan parut merupakan kontraindikasi untuk melahirkan karena
akan terjadi rupture uteri. Wanita yang memiliki riwayat operasi sesar
sebelumnya meningkatkan risiko terjadinya rupture uteri, plasenta previa,
pleeklamsia dan persalinan preterm. Sehingga cenderung akan mengalami
persalinan dengan operasi sesar ulang pada persalinan selanjutnya.

Ibu Resiko Tinggi dengan kelompok Faktor Resiko I ini selama hamil sehat,
membutuhkan KIE pada tiap kontak berulang kali mengenai kemungkinan
terjadinya komplikasi persalinan.

 Kelompok Faktor Resiko II:


Ada Gawat Obstetrik (AGO) seperti penyakit ibu, preeklamsia ringan, hamil
kembar, hidramnion, hamil serotinus, IUFD, letak sungsang, dan letak lintang.
Ibu AGO dengan Faktor Resiko yang kebanyakan timbul pada umur kehamilan
lebih lanjut, resiko terjadi komplikasi persalinan lebih besar, membutuhkan
KIE berulang kali agar peduli sepakat melakukan rujukan terencana ke pusat
rujukan.
 Kelompok Faktor Resiko III:
Ada Gawat Darurat Obstetrik (AGDO) seperti perdarahan antepartum dan
preeklamsia berat atau eklamsia. Ibu AGDO dalam kondisi yang langsung
dapat mengancam nyawa ibu atau janin, harus segera dirujuk tepat waktu
(RTW) ke RS dalam upaya menyelamatkan ibu/bayi baru lahir.

Batasan Pengisian Skrining Antenatal Deteksi dini Ibu Hamil Risiko Tinggi
Dengan Menggunakan Kartu Skor Poedji Rochjati

Berupa kartu skor untuk digunakan sebagai alat skrening ANTENATAL


berbasis keluarga guna menemukan faktor risiko ibu hamil, yang selanjutnya
dilakukan upaya terpadu untuk menghindari dan mencegah kemungkinan
terjadinya upaya komplikasi obtetrik pada saat persalinan → dengan Kartu Skor
Poedji Rachjati.

Manfaat KSPR untuk :

1.      Menemukan faktor resiko Bumil

2.      Menentukan Kelompok Resiko Bumil

3.      Alat pencatat Kondisi Bumil

Setiap ibu hamil mempunyai :

1.      Satu Kartu Skor / Buku KIA

Alat Skrining Ibu Hamil18

Kartu Skor “ Poedji Rochjati” ( KSPR)

Kartu skor mempunyai fungsi:

 Skrining antenatal / deteksi dini faktor risiko pada ibu hamil Risiko Tinggi
 Pemantauan dan pengendalian ibu hamil selama kehamilan
 Pencatatan kondisi ibu selama kehamilan, persalinan, nifas mengenai ibu / bayi
 Pedoman untuk memberikan penyuluhan
 Validasi data  kehamilan, persalinan, nifuc8as dan perencanaan KB.
Sistem SKOR

Cara Pemberian SKOR:

1.      Skor 2: Kehamilan Risiko Rendah (KRR)

Untuk umur dan paritas pada semua ibu hamil sebagai skor awal

2.      Skor 4: Kehamilan Risiko Tinggi (KRT)

Untuk tiap faktor risiko

3.      Skor 8: Kehamilan Risiko Sangat Tinggi (KRST)

Untuk bekas operasi sesar, letak sungsang, letak lintang, perdarahan antepartum dan

pre-eklamsia berat / eklamsia

Alat untuk melakukan skrining adalah Kartu Skor Poedji Rochjati


Kartu Skor Poedji Rochajti (KSPR) adalah alat untuk mendeteksi dini
kehamilan berisiko dengan menggunakan skoring.18

1. Kehamilan Resiko Rendah/KRR: jumlah skor 2 dengan kode warna hijau,


selama hamil tanpa FR
2. Kehamilan Resiko Tinggi/KRT: jumlah skor 6 – 10 dengan kode warna
kuning dapat dengan FR tunggal dari kelompok FR I, II, atau III, dengan
FR ganda 2 dari kelompok FR I dan II.
3. Kehamilan Resiko Sangat Tinggi/KRST: ibu dengan jumlah skor 12
dengan kode warna merah, ibu hamil dengan Faktor Resiko ganda dua atau
tiga dan lebih.

Gambar 2.1. Pedoman Rujukan

Program “Kehamilan dan Persalinan Aman” dengan 6 komponen utama


1. Deteksi dini masalah
2. Prediksi kemungkinan komplikasi persalinan
3. KIE kepada ibu hamil, suami, dan keluarga. Pelan-pelan menjadi
tahu- peduli-sepakat-gerak (TaPeSeGar), berkembang perilaku
kebutuhan persiapan dan perencanaan Persalinan Aman/Rujukan
Terencana. Dekat persalinan (near term) belum inpartu, ibu dapat
berjalan sendiri naik kendaraan umum berangkat ke RS
4. Prevensi proaktif komplikasi persalinan
5. Antisipasi sampai 38 minggu melakukan persiapan/perencanaan
persalinan aman
6. Interv
ensi,
penan
ganan
adeku
at di
pusat
rujuka
n
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 DENTITAS PASIEN

Istri Suami
Nama : Ny. S Nama : Tn. S
Umur : 36 tahun Umur : 39 tahun
Pendidikan : SMP Pendidikan : SMA
Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Buruh
Agama : Islam Agama : Islam
Suku : Sunda Suku : Sunda

Alamat : Kp. Kamurang RT 002/001, Kedungwaringin,


Bekasi
No.RM : 199**
Tanggal Masuk : 7 Febuari 2021

3.2. ANAMNESIS
Dilakukan autoanamnesis pada 7 Febuari 2021 pada pukul 17:00 WIB
A. Keluhan Utama
Nyeri Kepala sejak 2 hari SMRS
B. Keluhan Tambahan
Nyeri ulu hati , pandangan kabur
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien G4P3A0 datang ke IGD Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi dengan keluhan Nyeri
kepala sejak 2 hari SMRS. Pasien juga mengeluhkan terkadang nyeri pada ulu hati disertai
dengan pandangan kabur dan merasa perutnya tidak sebesar perut ibu lain yang usia
kehamilannya sama. Pasien mengaku belum merasakan mules-mules seperti mau melahirkan
dan tidak keluar lendir darah ataupun air-air dari jalan lahir.Saat BAK frekuensi nya jadi lebih
jarang dan lebih sedikit dari biasanya, tidak terdapat keluhan nyeri maupun darah saat BAK.
Keluhan lain seperti lemahnya sebagian tubuh, nyeri pinggang, sesak napas dan demam
disangkal oleh pasien. BAB pasien dalam batas normal.

52
1 minggu yang lalu, pasien pernah dirawat selama 2 hari di RS cikarang medika dengan
tekanan darah tinggi dan proteinuria +3, kemudian diberikan obat darah tinggi yang
diletakkan di bawah lidah, obat darah tinggi lain dan obat anti nyeri untuk nyeri kepalanya.
Namun pasien pulang atas permintaan sendiri. Pasien tidak melanjutkan konsumsi obat darah
tinggi tersebut kemudian keluhan nyeri kepala muncul kembali. Pasien akhirnya pasien
kontrol 1 hari sebelumnya ke bidan terdekat dan didapatkan, tekanan darah 165/100 mmHg
bidan menyarankan pasien langsung ke RSUD Kabupaten Bekasi untuk penanganan lebih
lanjut.
Pasien telah mengetahui dirinya memiliki tekanan darah tinggi sejak 1 bulan yang lalu saat
memeriksakan dirinya ke bidan. Pasien mengaku tidak pernah memiliki riwayat darah tinggi
sebelum kehamilan yang sekarang. Riwayat trauma, demam tinggi, alergi, minum alkohol,
merokok, makan makanan setengah matang, keputihan serta minum obat-obatan lama atau
jamu selama kehamilan disangkal oleh pasien.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengatakan belum pernah mengalami keluhan yang sama pada kehamilan sebelumnya
Riwayat hipertensi di luar kehamilan disangkal
Riwayat diabetes mellitus disangkal
Riwayat asma disangkal
Riwayat alergi disangkal
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Terdapat riwayat hipertensi pada keluarganya, yaitu ibu pasien
Riwayat diabetes mellitus dalam keluarga disangkal
Riwayat asma dalam keluarga disangkal
Riwayat alergi dalam keluarga disangkal
F. Riwayat Kebiasaan
Pasien mengeluhkan lemas, mual dan muntah sejak awal kehamilan sehingga nafsu makan
pasien berkurang. Pasien mengaku makan buah tiap hari dan sering memakan makanan asin.
Kebiasaan merokok dan meminum minuman beralkohol disangkal oleh pasien.
G. Riwayat Menstruasi
Menarche : 14 tahun
Siklus Haid : 28 hari, teratur
Lama Haid : 7 hari
Volume rata-rata: Ganti pembalut 3 kali dalam sehari
Keluhan : Terasa kram perut dan mual saat sedang mensturasi
53
Tahun Tempat Usia Jenis Anak Keadaan
No Penolong Penyulit Nifas
Partus Partus Kehamilan Persalinan JK BB PB Anak

Tidak
Rumah 9 bulan
1. 2004 Normal Bidan - Pr 3200gr 48cm Ada Sehat
Bidan
Kelainan

Tidak
Rumah 9 bulan
2. 2008 Normal Bidan - Pr 2900gr 48cm Ada Sehat
Bidan
Kelainan

Tidak
3. 2013 Rumah 8 Bulan SC Dokter Ketuan Pr 3000gr 45cm Sehat
ada
Sakit pecah
kelainan

4. Hamil Saat Ini


.

H. Riwayat Pernikahan
Pasien menikah pertama kali pada tahun 2000 saat berusia 17 tahun, pernikahan yang pertama
dan sudah 21 tahun.
I. Riwayat KB
Jenis KB : IUD/AKDR
Lama Pemakaian : 8 tahun
Keluhan : Haid jadi lebih lama

J. Riwayat Obstetri
Paritas : G4P3A0
Hari Pertama Haid Terakhir (HPHT) : 22 Juli 2020
Hari Perkiraan Lahir (HPL) : 29 April 2021
Usia Kehamilan : 28 - 29 Minggu

54
K. Antenatal Care

Pasien kontrol kehamilan ke bidan dekat rumahnya, yaitu:


Trimester 1: 1 kali kontrol
Trimester 2: 1 kali kontrol

3.3. PEMERIKSAAN FISIK


A. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum : Baik


Kesadaran : Composmentis
Tekanan darah : 171/109 mmHg
Nadi : 83x/menit
Suhu : 36,8 oC
Pernafasan : 20x/menit
TB : 147 cm
BB : 67 kg
IMT : 31 kg/m2

B. Status Generalis

Kepala : Normocephal
Mata : Pupil bulat isokor, refleks cahaya langsung (+/+),
konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
edema palpebral (-/-)
Leher : Deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-), nyeri tekan (-)
Thoraks : Mammae tampak simetris, membesar dan aerola
hiperpigmentasi
Paru : Suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru,
suara tambahan (-), Rhonki -/-, Wheezing -/-
Jantung : BJ I/BJ II reguler murni, suara BJ tambahan (-), gallop (-),
murmur (-)

55
Abdomen : Pembesaran perut (+) simetris, bising usus (+), striae
gravidarum (+), nyeri tekan epigastrium (+), nyeri tekan
regio kanan atas (-), nyeri ketok CVA (-)
Ekstremitas : Akral hangat, CRT <2s, edema (-/-), refleks patella (+)

C. Status Obstetri
a) Pemeriksaan Luar
TFU : 16 cm
TBJ klinis : (16 – 12) x 155 = 620 gram
Leopold I : Teraba bagian lunak, tidak melenting, asimetris,
kesan bokong
Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah kiri,
kesan punggung di kiri
Leopold III :Teraba bagian keras, bulat, simetris, melenting,
kesan kepala
Leopold IV :Bagian terbawah janin belum memasuki PAP
His : Tidak ada
DJJ : 135x/menit
b) Pemeriksaan Dalam
V/V : Tidak ada kelainan
Portio : Teraba tebal lunak
∅ : Tidak ada pembukaan
Ketuban :+

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG


07-02-2021 (17:29) 08-02-2021 (08:36) 09-02-2021
(14:47)
di RSUD Kab Bekasi di RSUD Kab Bekasi
Di RSUD Kab
Bekasi
HEMATOLOGI
Hemoglobin 12,9 gr/dL 12,2 gr/dL
Hematokrit 37% (L) 35% (L)
Eritrosit 4,46 x 106 /µL 4,14 x 106 /µL (L)

56
Trombosit 255.000/mm3 312.000/mm3
Leukosit 13.700/mm3 17.900/m
(H) m3
(H)
MCV 84 fL 85 fL
MCH 29pg/mL 30pg/mL
MCHC 35g/dL 35g/dL
Hitung Jenis
Basofil 0% 0%
Eosinofil 1% 0% (L)
Neutrofil 73% (H) 87%(H)
Limfosit 20% 10%(L)
NLR 3,65 8,70 (H)
Monosit 6% 3%
LED 20 (H) 50 (H)
KIMIA KLINIK
SGOT (AST) 30 U/L 25 U/L
SGPT (ALT) 13 U/L 12 U/L
Gula darah 145 mg/dL
sewaktu
Ureum Kreatinin
Ureum 24 mg/dL 34 mg/dL
Kreatinin 0,7 mg/dL 0,7 mg/dL
eGFR 112.6 112.6
URINALISIS
Protein Urin Positif 2 Positif 3 Positif 3
SEROLOGI
HIV Reagen 1 Non reaktif
HBsAg Non reaktif
HEMOSTASIS

Waktu Pendarahan 1.30 menit

57
Waktu Pembekuan 4.00 menit
PT(Pasien) 8.9 detik (L)
PT (Kontrol) 10.9
APPT (Pasien) 27.2 detik
APPT (Kontrol) 24.8 detik

3.5. DIAGNOSIS KERJA


• Ibu : G4P3A0 Gravida 28-29 Minggu dengan impanding eklamsia riwayat SC
• Janin : Janin tunggal hidup intra uterin, presentasi kepala, DJJ: 135 x/menit.
3.6. RENCANA PENATALAKSANAAN
• Observasi TTV Ibu
• Edukasi terkait penyakit ibu
• Pemasangan Kateter Urin untuk memantau urin output
• IVFD Ringer Laktat 500 cc
• Injeksi 4 gr IV bolus MgSO4 20% 20 cc selama 5 – 10 menit
• Nifedipine 3 x 10 mg (PO)
• Metildopa 3 x 500 mg (PO)
• Dexamethason 2amp/Jam

58
3.7. FOLLOW UP PASIEN
Tanggal,
Temuan Klinis dan Penatalaksanaan
Jam Pemeriksaan

S : Pasien datang dengan keluhan nyeri kepala sejak 2 hari SMRS.


Pasien juga mengeluhkan terkadang nyeri pada ulu hati disertai
dengan pandangan kabur serta merasa perutnya tidak sebesar perut
ibu yang lain yang usia kehamilannya sama. Pasien sedang hamil
anak ke-4. Pasien pernah dirawat dengan tekanan darah tinggi dan
07-02-2021
terdapat proteinuria pada pemeriksaan di RS Cibitung Medika 1
09.30 WIB minggu yang lalu. Belum pernah keguguran sebelumnya. Usia
di VK (Dahlia) kehamilan 28 – 29 minggu. Sesak Napas (-),Demam (-),Nyeri
Perut Kanan Atas (-) Nyeri Pinggang (-) Demam (-) Mual dan
Muntah
(-) Saat BAK frekuensi nya jadi lebih jarang dan lebih sedikit dari
biasanya, darah (-), susah BAK (-), nyeri saat BAK (-). BAB
normal.

O : KU baik, kesadaran composmentis


TD : 171/109 mmHg
N : 83X/Menit
S: 36,8⁰C
RR : 20X/Menit

Status Generalis : dalam batas normal

Status Obstetri

TFU : 16 cm
His : Tidak ada
DJJ : 135x/menit

Pemeriksaan Dalam :
V/V : Tidak ada kelainan

59
Portio : Teraba tebal lunak
∅ : Tidak ada pembukaan
Ketuban: (+)
A : G4P3A0 Gravida 28-29 Minggu dengan impanding eklamsia
riwayat SC

P: Observasi TTV Ibu


a. Edukasi terkait penyakit ibu
b. Pemasangan Kateter Urin untuk memantau urin output
c. IVFD Ringer Laktat 500 cc
d. Injeksi 4 gr IV bolus MgSO4 20% 20 cc selama 5 – 10 menit
e. Nifedipine 3 x 10 mg (PO)
f. Metildopa 3 x 500 mg (PO)
g. Dexamethason 2amp/12Jam

60
S : Pasien juga mengeluhkan lemas dan sakit kepala berkurang
namun terasa pusing berputar saat berdiri. Nyeri ulu hati (+) ,
pandangan kabur (+) , Demam (-), Mual dan Muntah (-), Sesak
Napas (-),BAK (+), BAB (+), Flatus (+).

O : KU baik, kesadaran

composmentis TD : 149/89

mmHg

N : 89x/menit
08-02-2021
RR : 20x/menit, teratur
08.30 WIB
S : 36,5⁰C
di Ruang Rawat
Status Generalis : dalam batas normal
Inap (Camelia)
Status Obstetri

Status Obstetri

TFU : 16 cm
His : Tidak ada
DJJ : 145x/menit

Hasil Lab 08-02-2021 jam 08:36

Protein Urin. : Positif 2

61
A : G4P3A0 Gravida 28-29 Minggu dengan impanding eklamsia riwayat

SC
P: - IVFD RL + MgSO4 40% 8 gr
- Nifedipine 3 x 10 mg (PO)
- Metildopa 3 x 250 mg (PO)
- Dexamethason 2amp/6Jam

S : nyeri kepala berkurang dan cenderung lebih banyak tidur


dibanding sebelumnya.Nyeri ulu hati (+) Demam (-), Mual dan
Muntah (-), Sesak Napas (-), Penglihatan Kabur (-), Nyeri Ulu hati
(-) , BAK (+), BAB (+), Flatus (+).

O : KU baik, kesadaran

09-02-2021 composmentis TD : 152/95

10.30 WIB mmHg

di Ruang Rawat N : 80x/menit


Inap (Camelia)
RR : 20x/menit, teratur

S : 36,5⁰C

Status Generalis : dalam batas normal

Status Obstetri

TFU : 16 cm
His : Tidak ada
DJJ : 152x/menit

62
Hasil Lab 09-02-2021 jam 08.47

Leukosit : 17.900/mm3(H)
LED : 50 (H)
Protein Urin. : Positif 3

A : G4P3A0 Gravida 28-29 Minggu dengan impanding eklamsia riwayat

SC

P : - Nifedipine 3 x 10 mg (PO)
- Dopamet 3 x 250 mg (PO)
- Dexamethason 2amp/6Jam

S : nyeri kepala berkurang namun masih nyeri ulu hati.


Demam (-), Mual dan Muntah (-), Sesak Napas (-),
Penglihatan Kabur (-), Nyeri Ulu hati (-) , BAK (+), BAB (+),
Flatus (+).
O : KU baik, kesadaran composmentis
TD : 140/90 mmHg
10-02-2021
N : 92x/menit
08:00 WIB RR : 20h hx/menit, teratur
di Ruang Rawat S: 37⁰C
Inap (Camelia)

63
Hasil Lab 10-02-2021 jam 08.12
Protein Urin. : Positif 2

A : G4P3A0 Gravida 28-29 Minggu dengan impanding eklamsia

riwayat SC
P : - Ceftriaxone 1gr drip
-
Dilakukan sectio caesarea pada pukul 10.00
- Bayi lahir pada 10 Febuari 2021 Pukul 10.35 WIB

- Apgar Score 8/9

- Jenis Kelamin : Laki – Laki

- BBL : 660gr

- PB : 30 cm

- LK : 25cm

- LD : 18 cm

- LP : 16 cm

- Lila :5 cm

- Liki : 5 cm

64
3.8.Prognosis
h. Quo ad Vitam : Dubia ad Bonam

i. Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam

j. Quo ad Sanactionam : Dubia ad Bonam

65
BAB IV
ANALISA KASUS

A. Bagaimana Penegakkan Diagnosis pada Kasus Ini?


G4P3A0 Gravida 28 – 29 Minggu dengan impending eklampsia

G3P2A0 Gravida 28 – 29 Minggu

Dari anamnesis didapatkan pasien mengaku hamil anak keempat


dengan riwayat sudah melahirkan 3 kali sebelumnya tanpa riwayat
keguguran. Pasien mengaku HPHT nya 22 Juli 2020 sehingga pada
saat pasien datang ke RS tanggal 7 Febuari 2021, maka usia
kehamilannya adalah 28 – 29 minggu.
Impending Eklampsia
Dari anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat darah tinggi
selama 1 bulan terakhir ini dan mengeluh sakit kepala sejak 2 hari
SMRS. Pasien mengatakan sebelum 1 bulan ini ia tidak pernah
memiliki riwayat darah tinggi. Dari pemeriksaan fisik didapatkan
tekanan darah 170/109 mmHg dan dari hasil pemeriksaan urin
didapatkan proteinuria positif 2. Pada pasien ini tidak terdapat riwayat
kejang yang disertai dengan peningkatan tekanan darah
(menyingkirkan kemungkinan diagnosis eclampsia). Namun pada
pasien ini didapatkan keluhan seperti gangguan pengelihatan dan nyeri
epigastirum sehingga ditemukan tanda – tanda impending eclampsia
pada pasien ini.
B. Pengelolaan Preeklampsia Berat di RSUD Kabupaten Bekasi
Pada pasien ini pengelolaan preeklampsia dimulai dengan
memberikan MgSO4 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang/
kejadian eclampsia serta sebagai neuroprotector. Sebelumnya, syarat
pemberian MgSO4 harus terpenuhi, yaitu harus tersedia antidotum MgSO4,
bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam
10cc) diberikan i.v. 3 menit (dalam keadaan siap pakai), refleks patella (+)

66
kuat, frekuensi pernafasan >16 kali/menit (tidak ada tanda-tanda distres
napas) dan produksi urin >30 cc dalam 1 jam sebelumnya
(0.5cc/kgBB/jam).13 Setelah semua syarat terpenuhi kemudian diberikan
loading dose 4 gr MgSO4 20% 20 cc i.v. selama 5 – 10 menit dan
dilanjutkan dengan drip 6 gr MgSO4 40% dalam RL500cc 28 tpm sesuai
dengan teori pemberian MgSO4. Apabila drip MgSO4 telah selesai maka
kita observasi kembali. Dilakukan pemasangan kateter urin untuk
memantau urin output pasien.

Tatalaksana pada kasus ini sesuai dengan teori, pasien diberikan


infus RL 500 cc, kemudian syarat pemberian MgSO4 pada pasien ini telah
terpenuhi sehingga pasien diberikan injeksi bolus 4 gr MgSO4 20% 20 cc
selama 5 – 10 menit, dan pasien dipasang kateter urin untuk memantau
urin output pasien.
Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan
hipertensi berat, atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥
110 mmHg. Target penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg
dan diastolik < 110 mmHg. Pemberian antihipertensi pilihan pertama
adalah nifedipin oral short acting, hidralazine dan labetalol parenteral.
Alternatif pemberian antihipertensi yang lain adalah nitogliserin,
metildopa, labetalol.
1

Sesuai dengan teori tersebut, pasien ini yang memiliki tekanan


darah 170/109 mmHg diberikan antihipertensi oral, yaitu metildopa 3 x
250 mg dan nifedipine 3 x 10 mg untuk menurunkan tekanan darah dan
diharapkan dapat mencapai <160/110 mmHg.

Untuk melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat,


pemberian kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan
paru janin. Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤ 34 minggu
untuk menurunkan risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal.
Deksametason secara umum tersedia dalam bentuk deksametason sodium
phosphate solution dengan waktu paruh 36-72 jam. Regimen yang sering
digunakan adalah 2 kali dosis 12 mg betametason intramuskular dengan interval
67
24 jam dan 4 kali dosis 6 mg deksametason dengan interval 12 jam
intramuskular. Betametasone injeksi sulit ditemukan di Indonesia dan sangat
mahal sehingga deksametason lebih sering digunakan karena lebih murah dan
lebih mudah ditemukan. Pemberian deksametason antara dosis 4 mg dan 6 mg
setiap 12 jam selama 2 hari pada ibu hamil dengan resiko persalinan preterm.

Pada pasien ini diberikan kortikosteroid, yaitu dexamethasone


2ampul/6jam.

C. Penyebab dan Penanganan Impanding eklampsia pada Pasien Ini

Disebut impending eklampsia atau imminent eklampsia jika pada


kasus preeklampsia berat dijumpai nyeri kepala hebat gangguan visus dan
serebral, nyeri epigastrium, muntah, kenaikan progresif tekanan darah.
Impending eklamsi merupakan preeklamsi yang memberat
Pasien yang telah mengetahui bahwa dirinya memiliki tekanan darah
tinggi sejak 1 bulan sebelumnya juga seharusnya minum obat
antihipertensi secara rutin, namun pasien hanya meminumnya apabila
terdapat keluhan saja.
Indikasi untuk dilakukan pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai
berikut :
i) Kehamilan > 34 minggu
j) Adanya gejala impending eklamsia
k) Gagal perawatan konservatif
l) Diduga solusio plasenta
m) Adanya fetal distress/ gawat janin
n) IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)
o) Terjadi Oligohidramion
p) Tanda tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit
yang cepat.

Pada kasus ini pasien dilakukan terminasi kehamilan secara section caesarea
atas indikasi adanya gejala impending eklamsia sesuai teori.

68
D. Apakah kejadian Impanding eklampsia pada pasien ini dapat dihindari
Kejadian Impanding eklampsia pada pasien ini seharusnya dapat
dihindari dimulai dengan memberikan edukasi kepada pasien mengenai
perilaku pencarian pengobatan, seperti ANC rutin dan datang ke dokter
ataupun bidan terdekat sesegera mungkin saat memiliki suatu keluhan.

ANC yang biasa dilalukan pemeriksaan tanda vital seperti tekanan


darah,pemeriksaan abdomen seperti pemeriksaan tinggi fundus,presentasi
bayi dan menilai kesejahteraan janin seperti penghitungan denyut jantung
bayi. Memberikan edukasi mengenai nutrisi yang adekuat kepada pasien
juga dapat memenuhi nutrisi yang dibutuhkan pada ibu hami.
Upaya pencegahan kejadian PEB adalah dengan penggunaan
aspirin dosis rendah (75 mg/hari) yang sebaiknya mulai digunakan
sebelum usia kehamilan 20 minggu serta suplementasi kalsium minimal 1
g/hari.

69
DAFTAR PUSTAKA
1. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata Laksana Pre-
eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran
Fetomaternal. Diakses pada tgl 15 Januari 2021 https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-
ppk/
2. Syafrullah SC., Zulkarnaen., Lisiswanti R., Trestyawaty. 2016. Preeklampsia Berat dengan
parsial HELLP sindrom. J Medula Unila Vol 6 No 1 Des 2016 160-164
3. Sumampouw CM., Tendean HMM., Wagey FW. 2019. Gambaran Preeklampsia Berat dan
Eklampsia ditinjau dari Faktor Risiko di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. J Medik dan
Rehabilitasi (JMR), Vol. 1, No. 3 Jan 2019.
4. Putra YAPS., Abimanyu B., Andayani P. 2019. Preeklampsia Berat, Sindrom HELLP, dan
Eklampsia Terhadap Luaran Janin (Fetal Outcome) di RSUD Ulin Banjarmasin. Obgynia, Vol
2 No 2 September 2019
5. Wibowo, N. et al. 2016. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Diagnosis Dan Tatalaksana Pre-Eklamsia. Jakarta: Perhimpunan Obstetri
dan Ginekologi Indonesia Himpunan Kedokteran Feto Maternal

6. Braunthal, S., & Brateanu, A. 2019. Hypertension in pregnancy: Pathophysiology and


treatment. SAGE open medicine, 7, 2050312119843700
7. Cunningham FG, et al. 2018 Williams Obstetrics, 25th Edition. New York: McGraw-Hill
Education
8. Lim Kee Hak. 2018. Preeclampsia. Medscape. [cited 2021 Feb
15].Availablefrom:https://emedicine.medscape.com/article/1476919-overview#a2
9. Phipps E, Prasanna D, Brima W. 2016. Preeclampsia: Updates In Pathogenesis, Definitions,
and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol 2016 Jun 6; 11 (6): 1102 - 1113 Diakses pada tgl 21
Febuari 2021 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4891761/
10. Sumulyo G., Iswari WA., Pardede TU., Darus F., et al. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana
Preeklampsia Berat Tidak Tergantung Proteinuria. CDK-255/ Vol. 44 No. 8 th. 2017
11. Dutta D. 2015. DC Dutta’s Textbook of Obstetrics 8th Edition. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers (P) LTD.

70
12. Phipps E, Prasanna D, Brima W. 2016. Preeclampsia: Updates In Pathogenesis, Definitions,
and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol 2016 Jun 6; 11 (6): 1102 - 1113 Diakses pada tgl 22
Febuari 2021 https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4891761/
13. Prawirohardjo S. 2020. Ilmu Kebidanan Sarwono Edisi Keempat. Jakarta: PT Bina Pustaka
Sarwono Prawirohardjo
14. Fatmawati lilis dkk,2017. PENGARUH STATUS KESEHATAN IBU TERHADAP
DERAJAT PREEKLAMPSIA/EKLAMPSIA DI KABUPATEN GRESIK. Program Magister
Ilmu Kesehatam Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga Surabaya.
15. Wagiyo&Putrono.(2016).Asuhan Antenatal ,Intranatal dan bayi baru lahir fisiologis &
patologis. Yogyakarta. C.V ANDI OFFSET
16. Saifuddin AB, Adriaansz G, Wiknjosastro GH, Waspodo D. 2014. Ilmu Kebidanan. Edisi
Keempat. Jakarta :Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo
17. Kemenkes.2015.Buku ajar Kesehatan Ibu dan Anak.Jakarta. Pusat Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kesehatan
18. Rochati, Poedji. 2020. Pelayanan Kebidanan di Indonesia. Ilmu Kebidanan Sarwono Edisi
Keempat. Jakarta
19. Rochjati, P., 2018. Buku Rujukan Terencana dalam Sistem Rujukan Paripurna. Surabaya.
Airlangga University Press
20. Pribadi, A., Mose, J.C., Anwar, A.D. 2015. Kehamilan Risiko Tinggi. Jakarta: CV Sagung
Seto
21. Kemenkes.2020. Pedoman Pelayanan Antenatal, Persalinan, Nifas, Dan Bayi Baru
Lahir.Germas.

71

Anda mungkin juga menyukai