Anda di halaman 1dari 65

LAPORAN KASUS

G1P0A0 HAMIL 27-28 MINGGU IMPENDING EKLAMSIA DENGAN

PROTEINURIA+LEUKOSITOSIS

Disusun Oleh:

Asep Zainuddin Sahir

1102014042

Pembimbing:

dr. Ronny, Sp.OG

KEPANITERAAN ILMU KEBIDANAN DAN KANDUNGAN

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI

Internal
PERIODE 30 AGUSTUS – 9 OKTOBER 2021

Internal
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT, Tuhan Yang

Maha Esa, karena atas rahmat dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan laporan

kasus dengan judul “G1P0A0 27-28 Minggu Impending Eklamsia dengan

proteinuria+leukositosis” sebagai salah satu tugas Kepaniteraan Ilmu Obstetri dan

Ginekologi RSUD Kabupaten Bekasi. Tidak lupa shalawat serta salam saya

sampaikan kepada Nabi Besar Muhammad SAW.

Pada kesempatan ini, saya selaku penulis mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak yang telah membantu saya untuk menyelesaikan makalah laporan kasus,

terima kasih kepada dr. Ronny, Sp.OG selaku pembimbing dan klinisi kepaniteraan

Ilmu Obstetri dan Ginekologi yang telah meluangkan waktu dalam membimbing dan

memberi masukan-masukan kepada penulis, dan juga kepada seluruh dokter, staf

bagian kebidanan dan kandungan, orang tua saya yang telah mendukung secara moril

maupun materil demi terwujudnya, dan teman-teman sejawat lainnya yang turut

membantu penyusun selama kepanitraan di bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang sebesar-besarnya atas bantuan yang

diberikan selama ini.

Saya menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak

terdapat kekurangan. Oleh sebab itu, saya mengharapkan saran serta kritik yang dapat

membangun dalam laporan presentasi kasus ini untuk perbaikan di kemudian hari.

Semoga presentasi kasus ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Internal
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Bekasi,

Penulis

Internal
DAFTAR ISI

Contents
KATA PENGANTAR............................................................................................................2
DAFTAR ISI..........................................................................................................................4
BAB I......................................................................................................................................6
BAB II.....................................................................................................................................8
2.1. Pre Eklamsia Berat.....................................................................................................8
2.1.1. DEFINISI..............................................................................................................8
2.1.2. EPIDEMIOLOGI...............................................................................................10
2.1.3. ETIOLOGI7........................................................................................................11
2.1.4. FAKTOR RISIKO.............................................................................................16
2.1.5. KLASIFIKASI....................................................................................................18
2.1.6. PATOFISIOLOGI.............................................................................................19
2.1.7. DIAGNOSIS1......................................................................................................21
2.1.8. PENATALAKSANAAN....................................................................................27
2.1.9. KOMPLIKASI11.................................................................................................40
2.1.10. PROGNOSIS11..................................................................................................41
2.1.11. PENCEGAHAN...............................................................................................42
BAB III.................................................................................................................................44
3.1. IDENTITAS PASIEN...............................................................................................44
3.2. ANAMNESIS.............................................................................................................44
3.3. PEMERIKSAAN FISIK...........................................................................................47
3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG..............................................................................49
3.5. RESUME...................................................................................................................51
3.6. DIAGNOSIS KERJA................................................................................................51
3.7. RENCANA PENATALAKSANAAN.......................................................................51
3.8. PROGNOSIS.............................................................................................................52
3.9. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI...............................53
BAB IV..................................................................................................................................57

Internal
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................62

Internal
BAB I

PENDAHULUAN

Kematian ibu di Indonesia masih didominasi oleh tiga penyebab utama

kematian yaitu perdarahan, Hipertensi Dalam Kehamilan (HDK) berupa

preeklampsia,eklampsia, dan penyakit infeksi. Lebih dari 25% kematian ibu di

Indonesia pada tahun 2013 disebabkan oleh HDK. Proporsi kejadian HDK tahun

2010 sebesar 21,5%, 2011 sebesar 24,7%, 2012 sebesar 26,9% dan kembali

meningkat pada tahun 2013 sebesar 27,1%. Preeklampsia merupakan kondisi spesifik

pada kehamilan yang ditandai dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal

terhadap adanya inflamasi sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis

preeklampsia ditegakkan berdasarkan adanya hipertensi dan proteinuria yang

ditemukan pada usia kehamilan > 20 minggu. Penyakit yang disebut sebagai “disease

of theories“ ini, masih sulit ditanggulangi. Insidens preeklampsia di Indonesia

berkisar antara 3-10%, dengan 39,5% di antaranya menyebabkan kematian di tahun

2001 dan 55,56% di tahun 2002.

Dalam pengelolaan klinis, preeklampsia dibagi menjadi preeklamsia ‘tanpa

disertai gejala berat’ dan preeklamsia ‘dengan gejala berat’(PEB). Pada preeklampsia

berat dibagi menjadi preeklamsia berat tanpa impending eklampsia dan preeklamsia

dengan impending eklampsia. Disebut impending eklampsia atau imminent eklampsia

jika pada kasus preeklampsia berat dijumpai nyeri kepala hebat gangguan visus dan

serebral, nyeri epigastrium, muntah, kenaikan progresif tekanan darah.

Internal
Impending eklampsia merupakan masalah yang serius dalam kehamilan

karena komplikasi-komplikasi yang dapat timbul baik pada ibu maupun pada janin.

Komplikasi pada ibu antara lain edema paru, gangguan ginjal, perdarahan, solusio

plasenta bahkan kematian ibu. Sedangkan komplikasi pada janin antara lain

prematuritas ekstrem, intrauterine growth retardation (IUGR). Oleh karena itu

dibutuhkan penanganan secara cepat dan tepat apabila dijumpai kasus kehamilan

dengan impending eklampsia.

Internal
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pre Eklamsia Berat

2.1.1. DEFINISI

Preeklampsia merupakan kondisi spesifik pada kehamilan yang ditandai

dengan adanya disfungsi plasenta dan respon maternal terhadap adanya inflamasi

sistemik dengan aktivasi endotel dan koagulasi. Diagnosis preeklampsia ditegakkan

berdasarkan adanya hipertensi spesifik yang disebabkan kehamilan serta disertai

dengan gangguan sistem organ dan proteinuria pada usia kehamilan diatas 20

minggu. Preeklampsia, sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan

proteinuri yang baru terjadi pada kehamilan (new onset hypertension with

proteinuria). Meskipun kedua kriteria ini masih menjadi definisi klasik preeklampsia,

beberapa wanita lain menunjukkan adanya hipertensi disertai gangguan multisistem

lain yang menunjukkan adanya kondisi berat dari preeklampsia meskipun pasien

tidak mengalami proteinuri. Sedangkan untuk edema tidak lagi dipakai sebagai

kriteria diagnostik karena banyak ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

Dapat timbul kapan saja dan dapat berkembang dari preeklampsia yang ringan sampai

preeklampsia yang berat.1,2

Preeklampsia berat adalah ditegakkan bila ditemukan keadaan hipertensi

urgensi yaitu dengan tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg dan tekanan darah diastolik

≥ 110 mmHg disertai proteinuri > 5g/24 jam atau tes urin dipstick ≥ positif 2, atau

disertai dengan keterlibatan organ lain.3,4

Internal
Preeklampsia berat selain didapatkan adanya hipertensi harus didapatkan

gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus

preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin tidak

didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk menegakkan

diagnosis preeklampsia berat yaitu:1

1. Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolikpada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan lengan yang

sama

2. Trombositopenia: trombosit < 100.000 / microliter

3. Gangguan ginjal: kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan kadar

kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

4. Gangguan liver: peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal dan atau

adanya nyeri di daerah epigastrik / regio kanan atas abdomen

5. Edema Paru

6. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

7. Gangguan pertumbuhan janin menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta:Oligohidramnion, Fetal Growth Restriction (FGR) atau didapatkan

absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

10

Internal
2.1.2. EPIDEMIOLOGI

Sekitar delapan juta perempuan per tahun mengalami komplikasi kehamilan

dan lebih dari setengah juta diantaranya meninggal dunia, dimana 99% terjadi di

Negara berkembang. Angka kematian akibat komplikasi kehamilan dan persalinan di

Negara maju yaitu 1 dari 5000 perempuan, dimana angka ini jauh lebih rendah

dibandingkan di Negara berkembang, yaitu 1 dari 11 perempuan meninggal akibat

komplikasi dalam kehamilan dan persalinan.1

Tingginya angka kematian ibu (AKI) masih merupakan masalah kesehatan di

Indonesia dan juga mencerminkan kualitas pelayanan kesehatan selama kehamilan

dan nifas. AKI di Indonesia masih merupakan salah satu yang tertinggi di negara Asia

Tenggara. Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun

2012, AKI di Indonesia sebesar 359 per 100.000 kelahiran hidup.1

Tiga penyebab utama kematian ibu adalah perdarahan (30%), hipertensi

dalam kehamilan (25%), dan infeksi (12%). WHO memperkirakan kasus

preeklampsia tujuh kali lebih tinggi di negara berkembang daripada di negara maju.

Insiden preeklampsia di Indonesia sendiri adalah 128.273/tahun atau sekitar 5,3%.

Kecenderungan yang ada dalam dua dekade terakhir ini tidak terlihat adanya

penurunan yang nyata terhadap insiden preeklampsia, berbeda dengan insiden infeksi

yang semakin menurun sesuai dengan perkembangan temuan antibiotik.1

Prevalensi hipertensi pada wanita usia reproduksi diperkirakan 7,7%.

Gangguan hipertensi kehamilan, istilah umum yang mencakup hipertensi yang sudah

ada sebelumnya dan gestasional, preeklampsia, dan eklampsia, mempersulit hingga

11

Internal
10% kehamilan dan merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas ibu

dan perinatal.6

2.1.3. ETIOLOGI7

Setiap teori mengenai asal-usul preeklamsia harus memperhitungkan

pengamatan bahwa gangguan hipertensi gestasional lebih mungkin berkembang pada

wanita dengan karakteristik sebagai berikut :

1. Terekspos vili korionik untuk pertama kalinya

2. Terekspos vili korionik yang melimpah, seperti pada kembar atau mola hidatidosa

3. Memiliki kondisi yang berkaitan dengan aktivasi atau peradangan sel endotel,

seperti diabetes, obesitas, penyakit kardiovaskular atau ginjal, gangguan

imunologi, atau pengaruh herediter

4. Secara genetik cenderung mengalami hipertensi selama kehamilan

Sejumlah mekanisme telah diajukan untuk menjelaskan penyebab preeklamsia.

Mekanisme yang saat ini dianggap penting meliputi :

1. Invasi Trofoblas Abnormal

Implantasi normal ditandai dengan remodelling ekstensif arteriol spiral di

dalam desidua basalis. Trofoblas endovaskular menggantikan lapisan endotel dan

otot vaskular untuk memperbesar diameter pembuluh. Sedangkan vena hanya

terinvasi secara superfisial.

Secara umum, besarnya invasi trofoblas yang kurang sempurna berkorelasi

dengan tingkat keparahan gangguan hipertensi. Dan yang terpenting, ini lebih

12

Internal
sering terjadi pada wanita dengan preeklamsia onset dini. Mahon dkk (2014)

menemukan bahwa tingkatan faktor pertumbuhan antiangiogenik larut yang lebih

rendah mungkin terlibat dalam remodelling endovaskular yang salah ini.

Dari miskroskop elektron plasenta, perubahan preeklamsia dini meliputi

kerusakan endotel, insudasi konstituen plasma ke dalam dinding pembuluh darah,

proliferasi sel miointimal, dan nekrosis medial.

Gambar 1. Representasi skematis dari implantasi plasenta normal menunjukkan


proliferasi trofoblas ekstravili dari vili penahan. Trofoblas ini menyerang
desidua dan meluas ke dinding arteriol spiral untuk menggantikan endotelium
dan dinding otot untuk membuat pembuluh darah resistansi rendah yang
melebar. Dengan preeklamsia, implantasi yang kurang sempurna ditandai
dengan invasi yang tidak lengkap dari dinding arteriol spiral oleh trofoblas
ekstravili. Ini menghasilkan pembuluh darah kaliber kecil dengan resistansi
tinggi terhadap aliran

2. Faktor Imunologi

Hilangnya toleransi imun ibu terhadap antigen plasenta dan janin yang

diturunkan dari paternal adalah teori lain yang dapat dikutip untuk preeklamsia.

13

Internal
Tentu saja, perubahan histologis pada bagian plasenta ibu menunjukkan

penolakan akut data inferensial juga menunjukkan bahwa preeklamsia adalah

gangguan yang dimediasi oleh imun. Misalnya, risiko preeklamsia sangat

meningkat pada keadaan di mana pembentukan antibodi penghambat ke situs

antigenik plasenta mungkin terganggu.

Redman, dkk (2015) meninjau kemungkinan peran maladaptasi imun dalam

patofisiologi preeklamsia. Pada wanita yang ditakdirkan mengalami preeklamsia,

trofoblas ekstravili di awal kehamilan mengekspresikan penurunan jumlah HLA

G. Wanita kulit hitam lebih umum memiliki alel gen 1597^C yang merupakan

predisposisi preeklamsia. Perubahan ini dapat berkontribusi pada kerusakan

vaskularisasi plasenta pada sindrom preeklamsia stadium 1. Limfosit T- helper

(Th) selama kehamilan normal diproduksi sehingga aktivitas tipe 2 meningkat

sehubungan dengan tipe 1, yang disebut type 2 bias. Sel Th2 meningkatkan

kekebalan humoral, sedangkan sel Th1 merangsang sekresi sitokin inflamatoris.

Dimulai pada awal trimester kedua pada wanita yang mengalami preeklamsia, Th

1 meningkat.

3. Aktivasi Sel Endotel

Perubahan inflamatoris diyakini sebagai kelanjutan dari perubahan tahap 1.

Menanggapi iskemia atau pemicu penyebab lainnya, faktor plasenta dilepaskan

dan memulai serangkaian kaskade. Dengan demikian, faktor antiangiogenik,

metabolik dan mediator leukosit inflamasi lainnya dianggap memicu cedera sel

14

Internal
endotelial sistemik, yang secara sinonim dikaitkan dengan aktivasi atau disfungsi

sel endotelial.

Disfungsi sel endotel dapat terjadi akibat keadaan leukosit yang teraktivasi

secara ekstrim dalam sirkulasi maternal. Secara singkat, sitokin seperti tumor

necrosis factor-a (TNF-a) dan interleukin dapat berkontribusi pada stres oksidatif

sistemik yang berhubungan dengan preeklamsia. Ini ditandai dengan spesies

oksigen reaktif dan radikal bebas yang menyebabkan pembentukan peroksida

lipid yang menyebar dengan sendirinya. Peroksida ini pada gilirannya akan

menghasilkan radikal toksik yang melukai sel endothelial vaskular sistemik,

memodifikasi produksi oksida nitrat oleh sel ini, dan mengganggu

keseimbangan prostaglandin. Konsekuensi lain dari stres oksidatif termasuk

produksi lipid-laden macrophage foam cells yang terlihat pada aterosis plasenta,

aktivasi koagulasi mikrovaskular sistemik yang dimanifestasikan oleh

trombositopenia, dan permeabilitas kapiler sistemik yang lebih besar yang

disebabkan oleh edema dan proteinuria.

4. Faktor Genetik

Preeklamsia tampaknya merupakan kelainan poligenik multifaktorial. Dalam

satu penelitian terhadap hampir 1, 2 juta kelahiran Swedia, hubungan genetik

untuk hipertensi gestasional dan preeklamsia ditemukan. Ward dan Taylor (2015)

mengutip incident risk untuk preeklamsia sebesar 20–40% untuk anak perempuan

dari ibu preeklamsia, 11–37% untuk saudara perempuan dari wanita preeklamsia,

dan 22–47% untuk anak kembar.

15

Internal
Predisposisi herediter untuk preeklamsia kemungkinan besar berasal dari

interaksi ratusan gen yang diwariskan baik dari ibu maupun ayah yang

mengontrol berbagai fungsi enzimatik dan metabolisme di seluruh sistem organ.

Faktor yang diturunkan dari plasma dapat memicu beberapa gen pada

preeklamsia. Dengan demikian, manifestasi klinis pada wanita tertentu dengan

sindrom preeklamsia akan menempati suatu spektrum. Dalam hal ini, ekspresi

fenotipik akan berbeda di antara genotipe yang serupa tergantung pada interaksi

dengan komponen lingkungan.

Beberapa yang mungkin memiliki hubungan signifikan dengan sindrom ini

tercantum di Tabel 40-4. Namun, karena ekspresi fenotipik preeklamsia yang

kompleks, akan sulit untuk menemukan satu gen yang bertanggung jawab.

Bahkan, Majander dkk (2013) telah menghubungkan predisposisi preeklamsia

dengan gen janin pada kromosom 18.

16

Internal
Gambar2. Gen yang berkaitan dengan preeklampsia

2.1.4. FAKTOR RISIKO

Faktor risiko yang dapat dinilai pada kunjungan antenatal pertama :


1. Anamnesis1

a. Umur <20 dan >35 tahun13

b. Nulipara

c. Multipara dengan riwayat preeklampsia sebelumnya

d. Multipara dengan kehamilan oleh pasangan baru

e. Multipara yang jarak kehamilan sebelumnya 10 tahun atau lebih

f. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

g. Kehamilan multiple

h. IDDM (Insulin Dependent Diabetes Melitus)

i. Hipertensi kronik

j. Penyakit ginjal

k. Sindrom antifosfolipid (APS)

l. Kehamilan dengan inseminasi donor sperma, oosit atau embrio

m. Obesitas sebelum hamil

2. Pemeriksaan Fisik

a. Indeks masa tubuh >35

b. Tekanan darah diastolik >80 mmHg

17

Internal
c. Proteinuria (dipstick >+1 pada 2 kali pemeriksaan berjarak 6 jam atau secara

kuantitatif 300 mg/24 jam)

Faktor risiko yang dapat dinilai secara dini sebagai predictor terjadinya preeklampsia

superimposed pada wanita hamil dengan hipertensi kronik, yaitu :

1. Riwayat preeklampsia sebelumnya

2. Penyakit ginjal kronis

3. Merokok

4. Obesitas

5. Diastolik >80 mmHg

6. Sistolik 130 mmHg

Faktor risiko yang telah diidentifikasi dapat membantu dalam melakukan

penilaian risiko kehamilan pada kunjungan awal antenatal. Berdasarkan hasil

penelitian dan panduan Internasional terbaru kami membagi dua bagian besar faktor

risiko yaitu risiko tinggi / mayor dan risiko tambahan / minor, yaitu :

1. Risiko Tinggi

a. Riwayat preeklampsia

b. Kehamilan multiple

c. Hipertensi kronis

d. Diabetes Mellitus tipe 1 atau 2

e. Penyakit ginjal

f. Penyakit autoimun (contoh: systemic lupus erythematous, antiphospholipid

syndrome)

18

Internal
2. Risiko Sedang

a. Nulipara

b. Obesitas (Indeks massa tubuh >30 kg/m2)

c. Riwayat preeklampsia pada ibu atau saudara perempuan

d. Usia ≥ 35 tahun

e. Riwayat khusus pasien (interval kehamilan >10 tahun)

2.1.5. KLASIFIKASI

Preeklamsia adalah bagian dari spektrum hipertensi dalam kehamilan.

Sebagaimana ditentukan oleh NHBPEP (National High Blood Pressure Education

Program), klasifikasinya adalah sebagai berikut:8

1. Hipertensi Gestasional ditandai dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih

untuk pertama kali selama kehamilan, tidak ada proteinuria, tekanan darah

kembali normal kurang dari 12 minggu pascapartum

2. Hipertensi kronis ditandai oleh tekanan darah 140/90 mm Hg atau lebih sebelum

kehamilan atau didiagnosis sebelum usia kehamilan 20 minggu; tidak disebabkan

oleh penyakit trofoblas gestasional atau hipertensi yang pertama kali didiagnosis

setelah usia gestasi 20 minggu dan menetap setelah 12 minggu pascapartum

3. Preeklampsia ditandai dengan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih setelah

kehamilan 20 minggu pada wanita dengan tekanan darah normal sebelumnya dan

yang memiliki proteinuria (≥0,3 g protein dalam spesimen urin 24 jam).

4. Superimposed Preeklamsia (pada hipertensi kronis) ditandai dengan (1)

proteinuria onset baru (≥300 mg / 24 jam) pada wanita dengan hipertensi tetapi

19

Internal
tidak ada proteinuria sebelum usia gestasi 20 minggu dan (2) peningkatan tiba-

tiba proteinuria atau tekanan darah, atau jumlah trombosit kurang dari 100.000 /

mm3, pada wanita dengan hipertensi dan proteinuria sebelum usia gestasi 20

minggu.

Sindrom HELLP (hemolisis, peningkatan enzim hati, trombosit rendah) mungkin

merupakan hasil dari preeklamsia berat, meskipun beberapa penulis percaya

bahwa hal itu memiliki etiologi yang tidak berhubungan. Sindrom ini telah

dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas ibu dan perinatal yang sangat tinggi

dan dapat muncul tanpa hipertensi atau, dalam beberapa kasus, tanpa proteinuria.

2.1.6. PATOFISIOLOGI

Patogenesis preeklamsia tidak sepenuhnya dijelaskan tetapi banyak kemajuan

telah dibuat dalam beberapa dekade terakhir. Dengan demikian, model dua tahap

dikembangkan: renovasi arteri spiralis yang tidak lengkap di rahim yang

berkontribusi terhadap iskemia plasenta (tahap 1) dan pelepasan faktor antiangiogenik

dari plasenta iskemik ke dalam sirkulasi ibu yang berkontribusi pada kerusakan

endotel (tahap 2)9

20

Internal
Gambar 2. Patogenesis preeklamsia: model dua tahap. AT1-AA, autoantibodi
menjadi reseptor angiotensin 1; COMT, katekol-O-metiltransferase; HTN,
hipertensi; LFT, tes fungsi hati; PlGF1, faktor pertumbuhan plasenta 1; PRES,
sindrom ensefalopati posterior reversibel; sEng, endoglin larut; sFlt-1, tirosin kinase
1 seperti fms terlarut; sVEGFR1, reseptor faktor pertumbuhan endotel vaskular
terlarut 1; VEGF, faktor pertumbuhan endotel vaskular.

Selama implantasi, trofoblas plasenta menginvasi uterus dan menyebabkan

pembentukan ulang arteri spiralis, sementara melenyapkan tunika media dari arteri

spiralis miometrium; hal ini memungkinkan arteri untuk mengakomodasi peningkatan

aliran darah terlepas dari perubahan vasomotor ibu

untuk memberi makan janin yang sedang berkembang. Bagian dari renovasi

ini mengharuskan trofoblas mengadopsi fenotipe endotel dan berbagai molekul

adhesi. Jika renovasi ini terganggu, plasenta kemungkinan akan kekurangan oksigen,

yang menyebabkan keadaan iskemia relatif dan peningkatan stres oksidatif selama

keadaan perfusi intermiten. Renovasi arteri spiralis yang abnormal ini terlihat dan

dijelaskan lebih dari lima dekade yang lalu pada wanita hamil yang mengalami

hipertensi. Sejak itu telah terbukti menjadi faktor patogen sentral pada kehamilan

yang dipersulit oleh hambatan pertumbuhan intrauterin, hipertensi gestasional, dan

preeklamsia. Salah satu batasan teori ini, oleh karena itu, bahwa temuan ini tidak

spesifik untuk preeklamsia dan dapat menjelaskan perbedaan manifestasi antara

preeklamsia plasenta dan preeklamsia ibu.9

21

Internal
Gambar 3. Hipotesis penyebab dan Patogenesis Preeklampsia10

(TGF= Transforming growth factor; IFN = Interferon; VEGF = Vascular endothelial

growth factor; PIGF= placental growth factor; ANGIO = angioprotein)

2.1.7. DIAGNOSIS1

Berdasarkan PNPK Diagnosis dan Tatalaksana PreEklampsia tahun 2016,

preeklampsia sebelumnya selalu didefinisikan dengan adanya hipertensi dan

proteinuri yang baru terjadi saat kehamilan. Meskipun kedua kriteria ini masih

menjadi definisi klasik preeklampsia, beberapa wanita lain menunjukkan adanya

22

Internal
hipertensi disertai gangguan multisistem lain yang menunjukkan adanya kondisi berat

dari preeklampsia meskipun pasien tersebut tidak mengalami proteinuria. Sedangkan,

untuk edema tidak lagi dipakai sebagai kriteria diagnostik karena sangat banyak

ditemukan pada wanita dengan kehamilan normal.

1. Penegakkan Diagnosis Hipertensi

Hipertensi adalah tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHg sistolik atau

90 mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama. Definisi hipertensi berat adalah peningkatan tekanan darah

sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg diastolik. Mat

tensimeter sebaiknya menggunakan tensimeter air raksa, namun apabila tidak

tersedia dapat menggunakan tensimeter jarum atau tensimeter otomatis yang

sudah divalidasi. Laporan terbaru menunjukkan pengukuran tekanan darah

menggunakan alat otomatis sering memberikan hasil yang lebih rendah.

Berdasarkan American Society of Hypertension ibu diberi kesempatan duduk

tenang dalam 15 menit sebelum dilakukan pengukuran tekanan darah

pemeriksaan. Pengukuran dilakukan pada posisi duduk posisi manset setingkat

dengan jantung, dan tekanan diastolik diukur dengan mendengar bunyi korotkoff

V (hilangnya bunyi). Ukuran manset yang sesuai dan kalibrasi alat juga

senantiasa diperlukan agar tercapai pengukuran tekanan darah yang tepat.

Pemeriksaan tekanan darah pada wanita dengan hipertensi kronik harus dilakukan

pada kedua tangan, dengan menggunakan hasil pemeriksaan yang tertinggi.

2. Penegakkan Diganosis Proteinuria

23

Internal
Proteinuria ditetapkan bila ekskresi protein di urin melebihi 300 mg dalam 24

jam atau tes urin dipstik > positif 1. Pemeriksaan urin dipstik bukan merupakan

pemeriksaan yang akurat dalam memperkirakan kadar proteinuria. 6,7

Konsentrasi protein pada sampel urin sewaktu bergantung pada beberapa faktor,

termasuk jumlah urin. Kuo melaporkan bahwa pemeriksaan kadar protein

kuantitatif pada hasil dipstik positif 1 berkisar 0-2400 mg/24 jam, dan positif 2

berkisar 700-4000mg/24jam. Pemeriksaan tes urin dipstik memiliki angka positif

palsu yang tinggi, seperti yang dilaporkan oleh Brown, dengan tingkat positif

palsu 67- 83%. Positif palsu dapat disebabkan kontaminasi duh vagina, cairan

pembersih, dan urin yang bersifat basa. Konsensus Australian Society for the

Study of Hypertension in Pregnancy (ASSHP) dan panduan yang dikeluarkan

oleh Royal College of Obstetrics and Gynecology (RCOG) menetapkan bahwa

pemeriksaan proteinuria dipstik hanya dapat digunakan sebagai tes skrining

dengan angka positif palsu yang sangat tinggi, dan harus dikonfirmasi dengan

pemeriksaan protein urin tampung 24 jam atau rasio protein banding rasio protein

banding kreatinin. Pada telaah sistematik yang dilakukan Côte dkk

disimpulkan bahwa pemeriksaan rasio protein banding kreatinin dapat

memprediksi proteinuria dengan lebih baik.

3. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia

Seperti telah disebutkan sebelumnya, bahwa preeklampsia didefinisikan

sebagai hipertensi yang baru terjadi pada kehamilan / diatas usia kehamilan 20

minggu disertai adanya gangguan organ. Jika hanya didapatkan hipertensi saja,

24

Internal
kondisi tersebut tidak dapat disamakan dengan preeklampsia, harus didapatkan

gangguan organ spesifik akibat preeklampsia tersebut. Kebanyakan kasus

preeklampsia ditegakkan dengan adanya protein urin, namun jika protein urin

tidak didapatkan, salah satu gejala dan gangguan lain dapat digunakan untuk

menegakkan diagnosis preeklampsia, yaitu :

a. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 140 mmHgsistolik atau 90

mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama

b. Proteinuria : protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin

dipstick > positif 1

c. Trombositopenia : trombosit <100.000/ microliter

d. Gangguan ginjal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

e. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal atau

adanya nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen

f. Edema paru

g. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

h. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta : oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau

didapatkan adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

i. Penegakkan Diagnosis Preeklampsia Berat

25

Internal
Beberapa gejala klinis meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada

preeklampsia, dan jika gejala tersebut didapatkan, akan dikategorikan menjadi

kondisi pemberatan preeklampsia atau disebut dengan preeklampsia berat. Kriteria

gejala dan kondisi yang menunjukkan kondisi pemberatan preeklampsia atau

preklampsia berat adalah salah satu dibawah ini :

1. Hipertensi : Tekanan darah sekurang-kurangnya 160 mmHg sistolik atau 110

mmHg diastolik pada dua kali pemeriksaan berjarak 15 menit menggunakan

lengan yang sama

2. Proteinuria : Protein di urin melebihi 300 mg dalam 24 jam atau tes urin dipstick

> positif 1

3. Trombositopenia : trombosit <100.000/ microliter

4. Gangguan gin jal : kreatinin serum >1,1 mg/dL atau didapatkan peningkatan

kadar kreatinin serum pada kondisi dimana tidak ada kelainan ginjal lainnya

5. Gangguan liver : peningkatan konsentrasi transaminase 2 kali normal atau adanya

nyeri di daerah epigastrik / region kanan atas abdomen

6. Edema paru

7. Didapatkan gejala neurologis : stroke, nyeri kepala, gangguan visus

8. Gangguan pertumbuhan janin yang menjadi tanda gangguan sirkulasi

uteroplasenta: oligohidramnion, fetal growth restriction (FGR) atau didapatkan

adanya absent or reversed end diastolic velocity (ARDV)

Beberapa penelitian terbaru menunjukkan rendahnya hubungan antara

kuantitas protein urin terhadap luaran preeklampsia, sehiingga kondisi protein urin

26

Internal
masif (lebih dari 5 g) telah dieliminasi dari kriteria pemberatan preeklampsia

(preeklampsia berat). Kriteria terbaru tidak lagi mengkategorikan lagi preeklampsia

ringan, dikarenakan setiap preeklampsia merupakan kondisi yang berbahaya dan

dapat mengakibatkan peningkatan morbiditas dan mortalitas secara signifikan dalam

waktu singkat.

1. Pembagian preeklamsia berat13

Preeklamsia berat dibagi menjadi (a) preeklamsia berat tanpa impending

eclamsia dan (b) preeklamsia dengan impanding eclamsia. Disebut impanding

eclamsia bila preeklamsia berat disertai gejala-gejala subjektif beupa nyeri kepala

hebat,gangguan visus,muntah-muntah,nyeri epigastrium,dan kenaikan progresif

tekanan darah.

2. Kriteria impending eclampsia

Pre Eklampsia berat disertai tanda-tanda

a. Nyeri kepala berat

Nyeri kepala sering terasa pada daerah frontalis dan oksipitalis, dan tidak

sembuh dengan pemberian analgesik biasa. Pada wanita hamil yang

mengalami serangan eklampsia, nyeri kepala hebat hampir selalu mendahului

serangan kejang pertama.

b. Gangguan visus

Gangguan penglihatan yang dapat terjadi di antaranya pandangan yang sedikit

kabur, skotoma, hingga kebutaan sebagian atau total. Keadaan ini disebabkan

oleh vasospasme, iskemia, dan perdarahan petekie pada korteks oksipital

27

Internal
c. Muntah-muntah

d. Nyeri epigastrium

Nyeri epigastrium atau nyeri kuadran kanan atas merupakan keluhan yang

sering ditemukan pada preeklampsia berat dan dapat menjadi presiktor

serangan kejang yang akan terjadi. Keluhan ini mungkin disebabkan oleh

regangan kapsula hepar akibat edema atau perdarahan

e. Kenaikan progresif tekanan darah (sistolis > / = 200 mmHg)

Sebagian dari tanda gejala tersebut di atas sudah termasuk kriteria diagnosis

preeklampsia berat. Seperti gangguan visus dan serebral dan nyeri epigastrium

edema paru-paru dan sianosis juga termasuk tanda / gejala preeklampsia berat

atau “imminent eclampsia”

2.1.8. PENATALAKSANAAN

2.1.8.1. Manajemen Ekspektatif atau Aktif

Tujuan utama dari manajemen ekspektatif adalah untuk memperbaiki luaran

perinatal dengan mengurangi morbiditas neonatal serta memperpanjang usia

kehamilan tanpa membahayakan ibu. Manajemen ekspektatif tidak meningkatkan

kejadian morbiditas maternal seperti gagal ginjal, sindrom HELLP, angka seksio

sesar, atau solusio plasenta. Sebaliknya dapat memperpanjang usia kehamilan, serta

mengurangi morbiditas perinatal seperti penyakit membran hialin, necrotizing

enterocolitis, kebutuhan perawatan intensif dan ventilator serta lama perawatan. Berat

lahir bayi rata – rata lebih besar pada manajemen ekspektatif, namun insiden

pertumbuhan janin terhambat juga lebih banyak.1 Pemberian kortikosteroid

28

Internal
mengurangi kejadian sindrom gawat napas, perdarahan intraventrikular, infeksi

neonatal serta kematian neonatal.1

Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia tanpa gejala berat

berdasarkan PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut :1

1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus preeklampsia tanpa gejala

berat dengan usia kehamilan kurang dari 37 minggu dengan evaluasi maternal dan

janin yang lebih ketat

2. Perawatan poliklinis secara ketat dapat dilakukan pada kasus preeklampsia tanpa

gejala berat

3. Evaluasi ketat yang dilakukan adalah :

a. Evaluasi gejala maternal dan gerakan janin setiap hari oleh pasien

b. Evaluasi tekanan darah 2 kali dalam seminggu secara poliklinis

c. Evaluasi jumlah trombosit dan fungsi liver setiap minggu

d. Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam

seminggu)

e. Evaluasi USG dan kesejahteraan janin secara berkala (dianjurkan 2 kali dalam

seminggu)

f. Jika didapatkan tanda pertumbuhan janin terhambat, evaluasi menggunakan

dopplet velocimetry terhadap arteri umbilical direkomendasikan

29

Internal
Gambar 4. Manajemen Ekspektatif Preeklampsia tanpa Gejala Berat

Rekomendasi perawatan ekspektatif pada preeklampsia berat berdasarkan

PNPK Preeklampsia tahun 2016 adalah sebagai berikut :1

1. Manajemen ekspektatif direkomendasikan pada kasus PEB dengan usia

kehamilan kurang dari 34 minggu dengan syarat kondisi ibu dan janin stabil

2. Manajemen ekspektatif pada PEB juga direkomendasikan untuk melakukan

perawatan di fasilitas kesehatan yang adekuat dengan tersedia perawatan intensif

bagi maternal dan neonatal

30

Internal
3. Bagi wanita yang melakukan perawatan ekspektatif PEB, pemberian

kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin

4. Pasien dengan PEB direkomendasikan untuk melakukan rawat inap selama

melakukan perawatan ekspektatif

Gambar 5. Manajemen Ekspektatif pada Preeklampsia Berat

31

Internal
Berikut merupakan kriteria terminasi kehamilan pada preeklampsia berat berdasarkan

PNPK Preeklampsia tahun 2016 :1

Gambar 6. Kriteria Terminasi Kehamilan pada Preeklampsia Berat

Indikasi untuk dilakukan pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai berikut :

1. Kehamilan > 34 minggu

2. Adanya gejala impending eklamsia

3. Gagal perawatan konservatif

4. Diduga solusio plasenta

5. Adanya fetal distress/ gawat janin

6. IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)

7. Terjadi Oligohidramion

8. Tanda tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit yang cepat.

32

Internal
2.1.8.2. Pemberian Magnesium Sulfat Untuk Mencegah Kejang

Sejak tahun 1920-an, magnesium sulfat sudah digunakan untuk eklampsia di

Eropa dan Amerika Serikat. Tujuan utama pemberian magnesium sulfat pada

preeklampsia adalah untuk mencegah dan mengurangi angka kejadian eklampsia,

serta mengurangi morbiditas dan mortalitas maternal serta perinatal. Cara kerja

magnesium sulfat belum dapat dimengerti sepenuhnya. Salah satu mekanisme

kerjanya adalah menyebabkan vasodilatasi melalui relaksasi dari otot polos, termasuk

pembuluh darah perifer dan uterus, sehingga selain sebagai antikonvulsan,

magnesium sulfat juga berguna sebagai antihipertensi dan tokolitik. Magnesium

sulfat juga berperan dalam menghambat reseptor N-metil- D-aspartat (NMDA) di

otak, yang apabila teraktivasi akibat asfiksia, dapat menyebabkan masuknya kalsium

ke dalam neuron, yang mengakibatkan kerusakan sel dan dapat terjadi kejang.

Efek samping dan toksisitas magnesium sulfat Penggunaan magnesium sulfat

berhubungan dengan efek samping minor yang lebih tinggi seperti rasa hangat,

flushing, nausea atau muntah, kelemahan otot, ngantuk, dan iritasi dari lokasi injeksi.

Dari uji acak dilaporkan kejadian efek samping terjadi pada 15 – 67% kasus. Efek

samping ini merupakan penyebab utama wanita menghentikan pengobatan.

Toksisitas terjadi pada 1% wanita yang mendapat magnesium sulfat

dibandingkan 0,5% pada plasebo, namun tidak ada bukti nyata perbedaan risiko

hilangnya atau berkurangnya refleks tendon. Meskipun depresi napas dan masalah

pernapasan jarang ditemukanr isiko relatif meningkat pada kelompok yang diberikan

33

Internal
magnesium sulfat. Untuk mengatasi terjadinya toksisitas, bisa berikan kalsium

glukonas 10% 1 g (10 ml) dapat diberikan IV secara perlahan selama 10 menit.

Pemberian magnesium sulfat lebih baik dalam mencegah kejang atau kejang berulang

dibandingkan antikonvulsan lainnya. Dosis yang digunakan:

1. Loading Dose: initial dose

4 gram MgSO4: intravena (10cc MgSO4 40% atau 20cc MgSO4 20%) selama 5 –

10 menit.

2. Maintenance Dose:

Diberikan infus 6 gram dalam larutan Ringer Laktat/6 jam atau 1 – 2 gram/jam;

atau diberikan 4 atau 5 gram i.m. Selanjutnya maintenance dose diberikan

4 gram i.m. tiap 4 – 6 jam. Dosis pemeliharaan dilanjutkan selama 24 jam

post partum atau setelah kejang terakhir, kecuali terdapat alasan tertentu untuk

melanjutkan pemberian magnesium sulfat.

Syarat-syarat pemberian MgSO4:

a. Harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu kalsium

glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10cc) diberikan i.v. 10 menit (dalam

keadaan siap pakai)

b. Refleks patella (+) kuat

c. Frekuensi pernafasan > 16 kali/menit, tidak ada tanda-tanda distres napas

d. Produksi urin > 30 cc dalam 1 jam sebelumnya (0.5cc/kgBB/jam)

Magnesium sulfat dihentikan bila:

a. Ada tanda-tanda intoksikasi

34

Internal
b. Setelah 24 jam pasca persalinan atau 24 jam setelah kejang terakhir

c. Dalam 6 jam pasca salin sudah terjadi perbaikan (normotensif)

Belum ada kesepakatan dari penelitian yang telah dipublikasi mengenai waktu

yang optimal untuk memulai magnesium sulfat, dosis (loading dan pemeliharaan),

rute administrasi (intramuskular atau intravena) serta lama terapi.

2.1.8.3. Antihipertensi

Keuntungan dan risiko pemberian antihipertensi pada hipertensi ringan -

sedang (tekanan darah 140 – 169 mmHg/90 – 109 mmHg), masih kontroversial.

European Society of Cardiology (ESC) guidelines 2010 merekomendasikan

pemberian antihipertensi pada tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg atau diastolik ≥ 90

mmHg pada wanita dengan hipertensi gestasional (dengan atau tanpa proteinuria),

hipertensi kronik superimposed, hipertensi gestasional, hipertensi dengan gejala atau

kerusakan organ subklinis pada usia kehamilan berapa pun. Pada keadaan yang lain,

pemberian antihipertensi direkomendasikan bila tekanan darah ≥ 150/95 mmHg.

Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat,

atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolic ≥ 110 mmHg. Target

penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg.

Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,

hidralazine dan labetalol parenteral. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain

adalah nitogliserin, metildopa, labetalol. Dapat diberikan:

1. Calcium Channel Blocker

a. Nifedipine

35

Internal
Nifedipin merupakan salah satu calcium channel blocker yang sudah

digunakan sejak dekade terakhir untuk mencegah persalinan preterm

(tokolisis) dan sebagai antihipertensi. Nifedipin dapat menurunkan perfusi

dari uteroplacental. Selain itu, berperan sebagai vasodilator arteriolar ginjal

yang selektif dan bersifat natriuretik, serta meningkatkan produksi urin.

Regimen yang direkomendasikan adalah 10 mg kapsul oral, diulang tiap 15 –

30 menit, dengan dosis maksimum 30 mg (maksimal 120 mg/24 jam) sampai

terjadi penurunan MABP <20%. Nifedipin tidak boleh diberikan sublingual

karena dapat menyebabkan hipoperfusi pada ibu dan janin

b. Nikardipine

Nikardipin merupakan calcium channel blocker parenteral, yang mulai bekerja

setelah 10 menit pemberian dan menurunkan tekanan darah dengan efektif

dalam 20 menit (lama kerja 4 -6 jam). Merupakan lini kedua yang dapat

diberikan jika pada setelah nifedipine dan methyldopa tidak ada perubahan

atau diberikan bila tekanan darah ≥180/110 mmHg atau pada hipertensi

emergensi Efek samping pemberian nikardipin tersering yang dilaporkan

adalah sakit kepala. Dosis awal nikardipin yang dianjurkan melalui infus yaitu

5 mg/jam, dan dapat dititrasi 2.5 mg/jam tiap 5 menit hingga maksimum 10

mg/jam atau hingga penurunan tekanan arterial rata –rata sebesar sesuai

dengan respon.

2. Methyldopa

36

Internal
Metildopa, agonis reseptor alfa yang bekerja di sistem saraf pusat, adalah obat

antihipertensi yang paling sering digunakan untuk wanita hamil dengan hipertensi

kronis. Digunakan sejak tahun 1960, metildopa mempunyai safety margin yang

luas (paling aman). Walaupun metildopa bekerja terutama pada sistem saraf

pusat, namun juga memiliki sedikit efek perifer yang akan menurunkan tonus

simpatis dan tekanan darah arteri. Frekuensi nadi, cardiac output, dan aliran darah

ginjal relatif tidak terpengaruh. Efek samping pada ibu antara lain letargi, mulut

kering, mengantuk, depresi, hipertensi postural, anemia hemolitik dan drug-

induced hepatitis.

Metildopa biasanya dimulai pada dosis 250-500 mg per oral 2 atau 3 kali sehari,

dengan dosis maksimum 3 g per hari. Efek obat maksimal dicapai 4-6 jam setelah

obat masuk dan menetap selama 10-12 jam sebelum diekskresikan lewat ginjal.

Alternatif lain penggunaan metildopa adalah intra vena 250-500 mg tiap 6 jam

sampai maksimum 1 g tiap 6 jam untuk krisis hipertensi. Metildopa dapat melalui

plasenta pada jumlah tertentu dan disekresikan di ASI.

3. NSAID

NSAID dapat diberikan sebagai analgetic yang baik daripada golongan opioid.

NSAID juga dapat diberikan pada wanita dengan postpartum untuk membantu

menurunkan tekanan darah.

Beberapa rekomendasi dalam menangani preeklampsia ataupun hipertensi dalam

kehamilan:

37

Internal
a. Pemantauan ketat pada pasien hipertensi gestasional atau preeklampsia tanpa

perburukan, dengan penilaian serial gejala ibu dan gerakan janin (setiap hari

oleh pasien), pengukuran serial tekanan darah (dua kali seminggu), serta

penilaian

b. Untuk pasien hipertensi gestasional, pemantauan tekanan darah setidaknya

sekali seminggu dengan penilaian proteinuria

c. Untuk pasien hipertensi gestasional ringan atau preeklampsia dengan tekanan

darah terus-menerus kurang dari 160 mmHg sistolik atau 110 mmHg

diastolik, obat antihipertensi tidak disarankan.

d. Pasien hipertensi gestasional atau preeklamsia tanpa tanda perburukan tidak

perlu tirah baring.

e. Untuk pasien preeklampsia tanpa tanda perburukan, USG disarankan untuk

menilai pertumbuhan janin dan uji antenatal untuk menilai status janin.

f. Jika terdapat tanda bukti pertumbuhan janin terhambat, dianjurkan penilaian

fetoplasenta yang mencakup velocimetry arteri Doppler sebagai uji antenatal

tambahan.

g. Untuk pasien preeklampsia dengan tekanan darah sistolik kurang dari 160

mmHg dan diastolik kurang dari 110 mmHg dan tanpa gejala, magnesium

sulfat untuk pencegahan eklampsia tidak disarankan.

h. Untuk pasien preeklampsia berat pada atau di luar 34 minggu lengkap

kehamilan, dan pada kondisi ibu atau janin tidak stabil terlepas dari usia

kehamilan, dianjurkan persalinan setelah stabilisasi ibu.

38

Internal
i. Untuk pasien preeklampsia berat kurang dari 34 minggu lengkap kehamilan

dengan kondisi ibu dan janin stabil, dianjurkan kehamilan dilanjutkan,

persalinan hanya pada fasilitas perawatan intensif ibu dan bayi yang memadai.

j. Untuk pasien preeklampsia berat, manajemen konservatif kehamilan pada 34

minggu atau kurang dari usia kehamilan, kortikosteroid dianjurkan untuk

kematangan paru janin.

k. Untuk pasien preeklampsia dengan hipertensi berat selama kehamilan (sistolik

tekanan darah minimal 160 mmHg atau terapi antihipertensi.

l. Untuk pasien preeklampsia, keputusan terminasi kehamilan tidak harus

didasarkan pada jumlah proteinuria atau perubahan jumlah proteinuria.

m. Untuk pasien preeklampsia berat dan janin belum viable, terminasi kehamilan

dianjurkan setelah stabilisasi ibu. Manajemen konservatif kehamilan tidak

dianjurkan.

n. Kortikosteroid disarankan diberikan dan terminasi kehamilan ditangguhkan

selama 48 jam jika kondisi ibu dan janin tetap stabil pada pasien preeklamsia

berat dan janin viable di usia kehamilan kurang dari 34 minggu lengkap

dengan salah satu dari berikut:

a) Ketuban pecah dini preterm

b) In partu

c) Jumlah trombosit rendah (<100.000)

d) Kadar enzim hati abnormal terus-menerus (dua kali atau lebih dari

nilai normal)

39

Internal
e) Pertumbuhan janin terganggu (kurang dari persentil lima)

f) Oligohidramnion berat (AFI <5 cm)

g) Reverse end diastolic pada studi Doppler arteri umbilikalis

h) Onset baru disfungsi ginjal

o. Kortikosteroid disarankan diberikan jika janin viable dan pada usia kehamilan

kurang dari 34 minggu lengkap, tetapi terminasi kehamilan tidak dapat

ditunda setelah kondisi ibu stabil tanpa memandang usia kehamilan atau untuk

pasien preeklampsia berat yang disertai:

a) Hipertensi berat tak terkendali

b) Eklampsia

c) Edema paru

d) Solusio plasenta

e) Disseminated intravascular coagulation

f) Kematian janin intrapartum

p. Untuk pasien preeklampsia, cara persalinan disarankan tidak perlu sesar. Cara

terminasi kehamilan harus ditentukan oleh usia kehamilan, presentasi janin,

status serviks, dan kondisi janin dan ibu.

q. Untuk pasien preeklampsia berat, dianjurkan administrasi magnesium sulfat

intra- dan post-partum untuk mencegah eklampsia.

r. Untuk pasien preeklampsia yang menjalani sesar, dianjurkan administrasi

intraoperatif magnesium sulfat secara parenteral untuk mencegah eklampsia.

40

Internal
s. Untuk pasien hipertensi gestasional, preeklampsia, atau preeklampsia

superimposed, tekanan darah disarankan dipantau di rumah sakit atau

pengawasan rawat jalan dilakukan minimal 72 jam post-partum, hingga 10

hari pada pasien yang bergejala.

2.1.9. KOMPLIKASI11

Pada kasus preeklampsia yang segera ditangani

1. Ibu

a. Selama kehamilan: (a) Eklampsia (2%) - lebih banyak pada kasus akut

dibandingkan pada kasus subakut, (b) Perdarahan tidak disengaja, (c)

Oliguria dan anuria, (d) Penglihatan kabur dan bahkan kebutaan, (e)

Persalinan prematur, (f) sindrom HELLP,(g) Perdarahan otak, (h) Sindrom

gangguan pernapasan akut (ARDS)

b. Selama persalinan: (a) Eklampsia, (b) Perdarahan

postpartum - mungkin terkait dengan kegagalan koagulasi

c. Puerperium: (a) Eklampsia - biasanya terjadi dalam waktu 48 jam, (b)

Syok–kolaps vasomotor nifas dikaitkan dengan penurunan konsentrasi

natrium dan klorida karena penurunan tiba-tiba tingkat kortikosteroid (c)

Sepsis– karena peningkatan insiden induksi, gangguan operasi, dan

vitalitas rendah.

2. Janin : Risiko janin berhubungan dengan beratnya

preeklamsia, durasi penyakit dan derajat proteinuria. Bahaya berikut mungkin

terjadi. (a) Kematian intrauterin—akibat spasme sirkulasi uteroplasenta yang

41

Internal
menyebabkan perdarahan tak disengaja atau infark merah akut, (b) hambatan

pertumbuhan intrauterin—karena insufisiensi plasenta kronis,Asfiksia, (d)

Prematuritas—baik karena onset prematur spontan persalinan atau karena induksi

prematur. Pada kasus preeklampsia yang terpencil

a. Hipertensi residual: Mungkin menetap bahkan setelah 6 bulan setelah

melahirkan pada sekitar 50% kasus. Hal ini lebih terkait dengan diatesis

keluarga dan trombofilia yang mendasari (protein C, defisiensi protein S,

sindrom antifosfolipid). Disfungsi mikrovaskuler akibat resistensi insulin juga

ada.

b. Pre-eklamsia rekuren: Ada 25% kemungkinan preeklamsia kambuh pada

kehamilan berikutnya. Ini juga terkait dengan diatesis familial, kecenderungan

pribadi dengan trombofilia yang mendasari.

c. Penyakit ginjal kronis: Ada insiden tinggi glomerulonefritis pada wanita

dengan preeklamsia jauh dari cukup bulan. Hal ini lebih mungkin terjadi

karena penyakit ginjal yang sudah ada sebelumnya.

d. Risiko solusio plasenta pada wanita dengan preeklamsia berkisar antara 5-20

persen dan wanita dengan sindrom HELLP, risiko preeklamsia pada

kehamilan berikutnya adalah sekitar 20 persen.

2.1.10. PROGNOSIS11

Prognosis preeklamsia tergantung pada masa gestasi, keparahan penyakit dan

respon terhadap pengobatan. Jika preeklamsia terdeteksi dini, dengan pengobatan

yang tepat dan efektif, fitur preeklamsia mereda sepenuhnya dan prognosisnya tidak

42

Internal
buruk, prognosis baik untuk ibu maupun bayinya. Namun, jika kasus dibiarkan tanpa

perawatan atau dengan kasus onset akut, kemungkinan besar akan terjadi komplikasi

serius. Dalam kondisi seperti itu, ibu dan bayinya berada dalam bahaya.

1. Kematian Ibu : Peningkatan kematian ibu terutama terkait dengan eklamsia,

perdarahan tidak disengaja, gagal ginjal akut, edema paru, koagulopati

intravaskular diseminata, dan sindrom HELLP. Meskipun angka kematian telah

berkurang secara signifikan di negara-negara maju, angka itu masih tetap tinggi di

negara berkembang.

2. Kematian Perinatal: Meskipun kematian ibu telah berkurang secara signifikan,

kematian perinatal masih tetap sangat tinggi bahkan di negara maju (7- 10%). Di

negara berkembang, kematian perinatal tetap sekitar 20%, sekitar 50% di

antaranya lahir mati.

2.1.11. PENCEGAHAN

Pencegahan yang direkomendasikan pada PNPK Preeklampsia 2016, yaitu:1

1. Perlu dilakukan skrining risiko terjadinya preeklampsia untuk setiap wanita hamil

sejak awal kehamilannya

2. Penggunaan aspirin dosis rendah (75 mg/hari) direkomendasikan untuk prevensi

preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi. Aspirin dosis rendah sebaiknya

mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20 minggu.Suplementasi kalsium

minimal 1 g/hari direkomendasikan terutama pada wanita dengan asupan kalsium

yang rendah sebagai prevensi preeklampsia pada wanita dengan risiko tinggi

terjadinya preeklampsiaPemberian antioksidan vitamin C dan E dianggap tidak

43

Internal
efektif serta tirah baring dan pembatasan garam terbukti tidak bermanfaat dalam

pencegahan terjadinya preeklampsia. Wanita dengan faktor risiko tinggi

preeklamsia seperti memiliki riwayat preeklamsia sebelumnya, kehamilan lebih

dari 1, penyakit ginjal, autoimmune, DM type 1 dan 2, serta hipertensi kronis dan

wanita dengan faktor risiko sedang serperti kehamilan pertama, hamil > 35 tahun,

BMI >30 dan lain – lain dapat diberikan aspirin low dose 81mg/hari sebagai

profilaksis dari preeklamsia diantara kehamilan 12 – 28 minggu dan hasil optimal

di kehamilan 16 minggu. Pemberian MgSO4 untuk pencegahan kejang.

44

Internal
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1. IDENTITAS PASIEN

Nama : Ny. F

Umur : 27 tahun

Pendidikan : S1

Agama : Islam

Alamat : Tambun

Pekerjaan : Karyawan Swasta

Tanggal Masuk Rumah Sakit : 31-08-2021

Nama Suami : Tn. I

Umur : 34 tahun

Pendidikan : S1

Agama : Islam

Alamat : Tambun

Pekerjaan : karyawan swasta

3.2. ANAMNESIS

Dilakukan secara autonamnesis kepada pasien pada tanggal 31 Agustus 2021 jam 09.15 di

IGD Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi.

1. Keluhan Utama

Nyeri kepala sejak 1 hari SMRS

2. Keluhan Tambahan

Pasien mengatakan mual, pandangan buram dan kaki bengkak

45

Internal
3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dengan Gravida 1 Partus 0 Abortus 0 (G1P0A0) hamil 28-29 minggu datang ke

Ruang IGD Kebidanan RSUD Kabupaten Bekasi pukul 20.45 WIB diantar oleh suami

pasien dengan keluhan nyeri kepala sejak 1 hari SMRS.Pasien juga mengeluhkan mual,

pandangan buram dan kaki bengkak. Pasien mengatakan merasakan keluhan mual, nyeri

kepala, kaki bengkak saat usia kehamilan 6 bulan, keluhan mata buram saat usia

kehamilan 7 bulan.

Sebelum datang ke RSUD Kabupaten Bekasi pasien dibawa oleh suami ke puskesmas.

pada saat di puskesmas pasien mengatakan tekanan darahnya 280, lalu pasien diarahkan

oleh puskesmas untuk di bawa ke rs cibitung medika.pada saat di RS cibitung medika

tekanan darah pasien 190, lalu pihak RS megarahkan kembali untuk pasien dibawa ke

RSUD Kabupaten Bekasi.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat Hipertensi(-), DM(-), alergi(-), penyakit ginjal(-), dan riwayat kejang sebelumnya

disangkal.

5. Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga pasien ada yang memiliki riwayat penyakit, nenek pasien memiliki riwayat

Hipertensi, ayah pasien memiliki riwayat DM, alergi, penyakit ginjal, dan riwayat kejang

disangkal.

6. Riwayat Pengobatan dan Masuk Rumah Sakit

Pasien tidak memiliki riwayat meminum obat rutin, maupun riwayat operasi sebelumnya.

7. Riwayat Kebiasaan

Selama kehamilan Pasien jarang berolahraga. Kebiasaan merokok, meminum alkohol dan

ketergantungan obat disangkal.


46

Internal
8. Riwayat Menstruasi

Menarche : 13 tahun

Siklus : 30 hari, teratur, tiap 1 bulan sekali

Lama : 7 hari

Keluhan saat Haid : Nyeri saat hari pertama

Jumlah : 3 pembalut/hari

9. Riwayat Pernikahan

Pasien menikah pertama kali saat berumur 27 tahun, menikah 1 kali.

10. Riwayat KB

Jenis KB : Tidak pernah menggunakan KB

Lama pemakaian : -

Keluhan :-

11. Riwayat Obstetri

G1P0A0

Anak Hidup (AH) :-

HPHT : 19 Februari 2021

HPL : 26 November 2021

Usia Kehamilan : 28-29 minggu

12. Riwayat Persalinan

Belum memiliki riwayat persalinan.

47

Internal
13. Antenatal Care

Pasien melakukan kontrol secara rutin. UK 1-4 bulan kontrol ke rumah sakit sebanyak 2x,

UK 5-6 bulan ke bidan sebanyak 1x. Pasien mengatakan terakhir kontrol pada tanggal 7

agustus 2021.

3.3. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan dilakukan pada 31 Agustus 2021

1. Pemeriksaan Umum

a. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

b. Kesadaran : Compos Mentis (GCS : E4M6V5)

c. Antropometri

Berat Badan (BB) : 97 kg

Tinggi Badan (TB) : 158 cm

IMT : 39 (Obesitas II)

d. Tekanan Darah : 190/120 mmHg

Nadi : 88 x/menit

Suhu : 36.7°C

Sp02 : 97 %

Pernafasan : 20 x/menit

2. Status Generalis

a. Kepala dan Leher : Normocephal, pembesaran KGB (-)

b. Wajah : Kloasma Gravidarum (-)

c. Mata : Konjungtiva anemis (-), Sklera Ikterik (-)

48

Internal
d. Thorax

Paru : Suara nafas vesikuler di seluruh lapang paru, suara

tambahan Rhonki -/-. Wheezing -/-

Jantung : BJ I/BJ II reguler murni, suara BJ tambahan murmur ()

gallop (-)

e. Abdomen : Status Obstretikus

f. Genitalia : Status Obstretikus

g. Ekstremitas : Akral hangat, edema (+), capillary refill time <2 detik

3. Status Obstetri

a. Pemeriksaan Luar

a) Inspeksi

Wajah : Chloasma gravidarum (-), edema (-)

Abdomen : Cembung, linea nigra (+), striae gravidarum (+), luka

bekas operasi (-)

Inspekulo : Tidak dilakukan

b) Palpasi

TFU : 20 cm

TBJ Klinis : (20-11) x 155= 1.395 gram

Leopold I : Teraba bagian lunak, tidak melenting, asimetris, kesan

bokong

Leopold II : Teraba bagian keras memanjang di sebelah kanan,

kesan punggung di kanan

Leopold III : Teraba bagian keras, bulat, simetris, melenting, kesan

kepala
49

Internal
Leopold IV : belum dapat dinilai

His : Tidak dilakukan

DJJ : 120 x/menit

4. Pemeriksaan dalam

V/V : Tidak dilakukan

Portio : Tidak dilakukan

∅ : Tidak dilakukan

Ketuban : Tidak dilakukan

Presentasi : Tidak dilakukan

3.4. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pada tanggal 31 Agustus 2021


Jenis Hasil Nilai Rujukan
Pemeriksaan
Darah Lengkap
Hemoglobin 13.4 gr/dL 12.0-16.0 gr/dL
Hematokrit 38 % 38-47%
Eritrosit 4.76 / mcL 4.20-5.40 x 106 /
mcL
MCV 80 fL 80-96 fL
MCH 28 pg/mL 28-33 fL
MCHC 35 gr/dL 33-36 gr/dL
Trombosit 149 /mcL 150-450 x 103 / mcL
Leukosit 16.7 /mcL 5-10 x 103 / mcL
Hitung Jenis
Basofil 0% 0.0-1.0%
Eosinofil 0% 1-6%
Neutrofil 94 % 50-70%
Limfosit 5% 20-40%
50

Internal
NLR 18.80 <= 5.80

51

Internal
Monosit 1% 2-9%
LED 57 mm/jam <15 mm/jam
Golongan A, rhesus (+)
Darah/Rhesus
Kimia Klinik
Glukosa 90 mg/dL 80-170 mg/dL
Sewaktu
SGOT/AST 48 U/L <32 U/L
SGPT/ALT 22 U/L <31 U/L
Ureum
Kreatnin
Ureum 50 mg/dL 15-40 mg/dL
Kreatinin 1.3 mg/dL 0.51-0.95 mg/dL
GFR 56.4 ml/min/1.73m2 >60
ml/min/1.73m2
Urinalisa
Protein Urin Positif 3 Negatif
mg/dL
Serologi
HIV reagen 1 Non reaktif Non reaktif
HBsAg Non reaktif Non reaktif
Hemostasis
BT 1.00
CT 4.30

52

Internal
3.5. RESUME

Ny. F berusia 27 tahun (G1P0A0) hamil 28-29 minggu dengan keluhan nyeri kepala,

mual, pandangan kabur dan kaki bengkak datang ke Ruang IGD Kebidanan RSUD Kabupaten

Bekasi pukul 20.45 WIB diantar oleh suami.

Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran

compos mentis, tekanan darah 190/120 mmHg, nadi 88x/menit, suhu 36.7°C, Pernafasan

20x/menit, SpO2 97%. Pada status generalis terdapat pitting edema pada kedua tungkai. Pada

pemeriksaan penunjang didapatkan leukosit (16.7/mcL), peningkatan LED (57 mm/jam), dan

protein urin positif 3.

3.6. DIAGNOSIS KERJA

Ibu : G1P0A0 Hamil 28-29 Minggu Impending Eklamsia dengan proteinuria+leukositosis

Janin : janin tunggal hidup intra uterin,persentasi kepala, DJJ : 120 x/menit

3.7. RENCANA PENATALAKSANAAN

1. Observasi TTV Ibu

2. Edukasi terkait penyakit ibu

3. Pemasangan Kateter Urin untuk memantau urin output

4. IVFD Ringer Laktat 500 cc

5. Injeksi 4 gr IV bolus MgSO4 20% 20 cc selama 5 – 10 menit

6. Nifedipine 3 x 10 mg (PO)

7. Metildopa 3 x 500 mg (PO)

8. Dexamethason 2amp/Jam

53

Internal
3.8. PROGNOSIS

1. Quo ad vitam : Dubia ad bonam

2. Quo ad functionam : Dubia ad bonam

3. Quo ad sanactionam : Dubia ad bonam

54

Internal
3.9. CATATAN PERKEMBANGAN PASIEN TERINTEGRASI

Tanggal, Temuan Klinis dan Penatalaksanaan


jam
pemeriksaan

31/08/2021 S : Pasien datang rujukan dari RS cibitung medika hamil


anak pertama,tidak pernah keguguran,usia kehamilan 7
09.15 WIB di
bulan, mengeluh mual,pandangan kabur,HT dan kaki
VK
bengkak.
KU : Tampak sakit sedang
KES : Compos mentis (GCS: E4M6V4)
O
TD : 190/120
RR : 20x/menit
N : 88x/menit
S : 36.7°C
Status Generalis
Ekstremitas : Pitting Edema (+)
Abdomen
TFU : 20 cm
HIS : 2x10x15’’
DJJ : 120x/menit
Pemeriksaan Penunjang
Hb : 13.4
Ht 38
MCV 80
MCH 28
MCHC 35
Leukosit : 16.7
NLR : 18.80
LED 57

55

Internal
SGOT 48
SGPT 22
Protein Urin Kualitatif : Positif 3
BT : 1.00
CT : 4.00
: G1P0A0 hamil 27-28 minggu dengan impending
A eklamsia
- IVFD RL 500 ml + 8 gr MgSO4 40% 25 tpm
P
- MgSO4 20% 4 gr IV
- Dopamet 3x250 mg PO
- Amlodipine 2x10 mg

1/09/2021 S : Pasien post-op SC mengeluhkan nyeri di luka operasi


O KU : Baik
16.00 di
KES : Composmentis (GCS)
Camelia
TD : 120/80 mmHg
RR : 20 x/menit
N : 88 x/menit
S : 36,5
Status Generalis
Abdomen : luka post op tertutup kasa verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Pemeriksaan Penunjang
Hb : 13.4 g/dL
Lekosit : 16.7
Protein urine : +3
: P1A0 post SC a/i Impending Eklampsia
A

56

Internal
P - IVFD terpasang RL 20 tpm
- Manjemen nyeri
- Manajemen nutrisi
- Manajemen personal hygine

2/09/2021 S : kepala pusing dan masih terasa nyeri pada luka


post op
08.00 di
KU : Baik
Camelia
O
KES : Composmentis (GCS: E4M6V5)
TD : 140/92 mmHg
RR : 23x/menit
N : 90 x/ menit
S : 36,5
Status Generalis
Abdomen : luka post op tertutup kasa verband
TFU : 2 jari dibawah pusat

A : P1A0 post SC a/i Impending Eklampsia


- IVFD RL
P
- Mgso4 40% 8 gr
- Manajemen nyeri

3/09/2021 S : Nyeri luka post op sudah berkurang


13.15 di O KU : Baik
Camelia KES : Composmentis (GCS: E4M6V5)

57

Internal
TD : 164/104 mmHg
RR : 20x/menit
N : 80 x/menit
S : 36,6
Status Generalis
Abdomen : luka pos top tertutup kasa verband
TFU : 2 jari dibawah pusat
Pemeriksaan Penunjang
Protein Urin Kualitatif : Positif 2
Hb : 11,1 gr/dl
Leukosit : 23.1
A : P1A0 post SC a/i Impending Eklampsia
P
- Manajemen nyeri

58

Internal
BAB IV

PEMBAHASAN

1. Bagaimana Penegakkan Diagnosis pada Kasus Ini?

G1PoA0 Gravida 28 – 29 Minggu dengan impending eklampsia

G1P0A0 Gravida 28 – 29 Minggu

Dari anamnesis didapatkan pasien mengatakan hamil anak kesatu tanpa riwayat

keguguran. Pasien mengaku HPHT nya 19 Februari 2021 sehingga pada saat

pasien datang ke RS tanggal 31 Agustus 2021, maka usia kehamilannya adalah 28

– 29 minggu.

a. Impending Eklampsia

Dari anamnesis didapatkan pasien memiliki riwayat darah tinggi selama

kehamilan 1 bulan terakhir ini dan mengeluh nyeri kepala,mual, pandangan

buram dan kaki bengkak sejak 1 hari SMRS. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan tekanan darah 190/120 mmHg dan dari hasil pemeriksaan urin

didapatkan proteinuria positif 3. Pada pasien ini tidak terdapat riwayat kejang

yang disertai dengan peningkatan tekanan darah (menyingkirkan

kemungkinan diagnosis eclampsia). Namun pada pasien ini didapatkan

keluhan seperti gangguan pengelihatan,mual, dan nyeri kepala sehingga

ditemukan tanda – tanda impending eclampsia pada pasien ini.

2. Pengelolaan Preeklampsia Berat di RSUD Kabupaten Bekasi

Pada pasien ini pengelolaan preeklampsia dimulai dengan memberikan

MgSO4 yang bertujuan untuk mencegah terjadinya kejang/ kejadian eclampsia

59

Internal
serta sebagai neuroprotector. Sebelumnya, syarat pemberian MgSO4 harus

terpenuhi, yaitu harus tersedia antidotum MgSO4, bila terjadi intoksikasi yaitu

kalsium glukonas 10% = 1 gram (10% dalam 10cc) diberikan i.v. 3 menit (dalam

keadaan siap pakai), refleks patella (+) kuat, frekuensi pernafasan >16 kali/menit

(tidak ada tanda-tanda distres napas) dan produksi urin >30 cc dalam 1 jam

sebelumnya (0.5cc/kgBB/jam).13 Setelah semua syarat terpenuhi kemudian

diberikan loading dose 4 gr MgSO4 20% 20 cc i.v. selama 5 – 10 menit dan

dilanjutkan dengan drip 6 gr MgSO4 40% dalam RL500cc 28 tpm sesuai dengan

teori pemberian MgSO4. Apabila drip MgSO4 telah selesai maka kita observasi

kembali. Dilakukan pemasangan kateter urin untuk memantau urin output pasien.

Tatalaksana pada kasus ini sesuai dengan teori, pasien diberikan infus RL 500

cc, kemudian syarat pemberian MgSO4 pada pasien ini telah terpenuhi sehingga

pasien diberikan injeksi bolus 4 gr MgSO4 20% 20 cc selama 5 – 10 menit, dan

pasien dipasang kateter urin untuk memantau urin output pasien.

Antihipertensi direkomendasikan pada preeklampsia dengan hipertensi berat,

atau tekanan darah sistolik ≥ 160 mmHg atau diastolik ≥ 110 mmHg. Target

penurunan tekanan darah adalah sistolik < 160 mmHg dan diastolik < 110 mmHg.

Pemberian antihipertensi pilihan pertama adalah nifedipin oral short acting,

hidralazine dan labetalol parenteral. Alternatif pemberian antihipertensi yang lain

adalah nitogliserin, metildopa, labetalol.

Sesuai dengan teori tersebut, pasien ini yang memiliki tekanan darah 190/120

mmHg diberikan antihipertensi oral, yaitu metildopa 3 x 250 mg dan nifedipine 3

60

Internal
x 10 mg untuk menurunkan tekanan darah dan diharapkan dapat mencapai

<160/110 mmHg.

Untuk melakukan perawatan ekspektatif preekklamsia berat, pemberian

kortikosteroid direkomendasikan untuk membantu pematangan paru janin.

Kortikosteroid diberikan pada usia kehamilan ≤ 34 minggu untuk menurunkan

risiko RDS dan mortalitas janin serta neonatal. Deksametason secara umum

tersedia dalam bentuk deksametason sodium phosphate solution dengan waktu

paruh 36-72 jam. Regimen yang sering digunakan adalah 2 kali dosis 12 mg

betametason intramuskular dengan interval 24 jam dan 4 kali dosis 6 mg

deksametason dengan interval 12 jam intramuskular. Betametasone injeksi sulit

ditemukan di Indonesia dan sangat mahal sehingga deksametason lebih sering

digunakan karena lebih murah dan lebih mudah ditemukan. Pemberian

deksametason antara dosis 4 mg dan 6 mg setiap 12 jam selama 2 hari pada ibu

hamil dengan resiko persalinan preterm. Pada pasien ini diberikan kortikosteroid,

yaitu dexamethasone 2ampul/6jam.

3. Penyebab dan Penanganan Impanding eklampsia pada Pasien Ini

Disebut impending eklampsia atau imminent eklampsia jika pada kasus

preeklampsia berat dijumpai nyeri kepala hebat gangguan visus dan serebral,

nyeri epigastrium, muntah, kenaikan progresif tekanan darah. Impending eklamsi

merupakan preeklamsi yang memberat

Pasien yang telah mengetahui bahwa dirinya memiliki tekanan darah tinggi

sejak 1 bulan sebelumnya juga seharusnya minum obat antihipertensi secara rutin,

61

Internal
namun pasien hanya meminumnya apabila terdapat keluhan saja. Indikasi untuk

dilakukan pengelolaan aktif adalah salah satu sebagai berikut :

a. Kehamilan > 34 minggu

b. Adanya gejala impending eklamsia

c. Gagal perawatan konservatif

d. Diduga solusio plasenta

e. Adanya fetal distress/ gawat janin

f. IUGR (Intra Uterine Growth Restriction)

g. Terjadi Oligohidramion

h. Tanda tanda HELLP Syndrome khususnya penurunan trombosit yang cepat.

Pada kasus ini pasien dilakukan terminasi kehamilan secara section caesarea atas

indikasi adanya gejala impending eklamsia sesuai teori.

4. Apakah kejadian Impanding eklampsia pada pasien ini dapat dihindari

Kejadian Impanding eklampsia pada pasien ini seharusnya dapat dihindari

dimulai dengan memberikan edukasi kepada pasien mengenai perilaku pencarian

pengobatan, seperti ANC rutin dan datang ke dokter ataupun bidan terdekat

sesegera mungkin saat memiliki suatu keluhan.

ANC yang biasa dilalukan pemeriksaan tanda vital seperti tekanan

darah,pemeriksaan abdomen seperti pemeriksaan tinggi fundus,presentasi bayi

dan menilai kesejahteraan janin seperti penghitungan denyut jantung bayi.

Memberikan edukasi mengenai nutrisi yang adekuat kepada pasien juga dapat

memenuhi nutrisi yang dibutuhkan pada ibu hamil.

62

Internal
Upaya pencegahan kejadian PEB adalah dengan penggunaan aspirin dosis

rendah (75 mg/hari) yang sebaiknya mulai digunakan sebelum usia kehamilan 20

minggu serta suplementasi kalsium minimal 1 g/hari.

63

Internal
DAFTAR PUSTAKA

1. POGI. 2016 Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran: Diagnosis dan Tata

Laksana Pre-eklampsia. Perkumpulan Obstetri dan Ginekologi Indonesia

Himpunan Kedokteran Fetomaternal. Diakses pada tgl 9 september 2021

https://pogi.or.id/publish/download/pnpk-dan-ppk/

2. Syafrullah SC., Zulkarnaen., Lisiswanti R., Trestyawaty. 2016. Preeklampsia

Berat dengan parsial HELLP sindrom. J Medula Unila Vol 6 No 1 Des 2016 160-

164

3. Sumampouw CM., Tendean HMM., Wagey FW. 2019. Gambaran Preeklampsia

Berat dan Eklampsia ditinjau dari Faktor Risiko di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou

Manado. J Medik dan Rehabilitasi (JMR), Vol. 1, No. 3 Jan 2019.

4. Putra YAPS., Abimanyu B., Andayani P. 2019. Preeklampsia Berat, Sindrom

HELLP, dan Eklampsia Terhadap Luaran Janin (Fetal Outcome) di RSUD Ulin

Banjarmasin. Obgynia, Vol 2 No 2 September 2019

5. World Health Organization. 2011. Recommendation for Prevention and

Treatment of Pre-Eclampsia and Eclampsia

6. Braunthal, S., & Brateanu, A. 2019. Hypertension in

pregnancy: Pathophysiology and treatment. SAGE open medicine, 7,

2050312119843700

7. Cunningham FG, et al. 2018 Williams Obstetrics, 25th Edition. New York:

McGraw-Hill Education

64

Internal
8. Lim Kee Hak. 2018. Preeclampsia. Medscape. [cited 2021 Feb

15].Availablefrom: https://emedicine.medscape.com/article/1476919-

overview#a2

9. Phipps E, Prasanna D, Brima W. 2016. Preeclampsia: Updates In Pathogenesis,

Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol 2016 Jun 6; 11 (6): 1102 -

1113 Diakses pada tgl 9 september 2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4891761/

10. Sumulyo G., Iswari WA., Pardede TU., Darus F., et al. 2017. Diagnosis dan

Tatalaksana Preeklampsia Berat Tidak Tergantung Proteinuria. CDK-255/ Vol. 44

No. 8 th. 2017

11. Dutta D. 2015. DC Dutta’s Textbook of Obstetrics 8th Edition. New Delhi:

Jaypee Brothers Medical Publishers (P) LTD.

12. Phipps E, Prasanna D, Brima W. 2016. Preeclampsia: Updates In Pathogenesis,

Definitions, and Guidelines. Clin J Am Soc Nephrol 2016 Jun 6; 11 (6): 1102 -

1113 Diakses pada tgl 11 september 2021

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4891761/

13. Prawirohardjo S. 2020. Ilmu Kebidanan Sarwono Edisi Keempat. Jakarta: PT

Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo

65

Internal

Anda mungkin juga menyukai