Anda di halaman 1dari 34

ARTIKEL KEHAMILAN DENGAN COVID-19

Disusun Oleh :

DODI ISKANDAR H.

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENTERIAN KESEHATAN SURABAYA
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PROFESI NERS
2021-2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas nikmat dan karunia-Nya yang
dicurahkan kepada kita semua, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul
“Tension Pneumotorak”.
Penulisan makalah ini dibuat bertujuan untuk memenuhi tugas mata kuliah Maternitas
yang dibimbing dosen kami di Profesi Ners Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya
Kelancaran penyusunan makalah ini tidak lepas dari budi baik orang-orang yang
dengan sabar membimbing dan memotivasi baik jasmani maupun rohani. Oleh karena itu
tiada kata yang dapat dipilih yang mampu mengungkapkan rasa terimakasih tiada terhingga
kepada para Dosen di mata kuliah Maternitas.
Penulis menyadari bahwa penulisan ini masih jauh dari sempurna. Dengan kebesaran
jiwa, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun untuk menjadi lebih
baik di masa yang akan datang.
Sebagai penutup, semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis
maupun yang berkepentingan dengan materi yang telah disusun ini, serta dapat menjadi
sumbangsih ilmu yang berharga.

Surabaya, Oktober 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR...................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii

BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1


1.1 Latar Belakang ................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan ................................................................................................ 2
BAB 2 TINJAUN PUSTAKA....................................................................... 3
2.1 Konsep Kehamilan ............................................................................. 3
2.1.1 Fisiologi Kehamilan .......................................................................... 3
2.1.1.1 Fertilisasi ......................................................................................... 3
2.1.1.2 Implantasi ........................................................................................ 4
2.1.1.3 Plasenta ........................................................................................... 5
2.2 Konsep Covid ........................................................................................ 6
2.2.1 Virologi .............................................................................................. 6
2.2.2 Transmisi ............................................................................................ 7
2.2.3 Patogenesis ......................................................................................... 10
2.2.4 Manifestasi ......................................................................................... 12
2.2.5 Diagnosis ............................................................................................ 14
2.3 Pengaruh Covid Pada Kehamilan ......................................................... 15
2.4 Penatalaksanaan Covid Pada Ibu Hamil ............................................... 17
2.4.1 Terapi Medis dan Suportif ................................................................. 17
2.4.2 Terapi Suportif Oksigen ..................................................................... 18
2.4.3 Profilaksis Tromboemboli Vena ........................................................ 18
2.4.4 Deksametason .................................................................................... 19
2.4.5 Terapi Anti Viral ................................................................................ 19
2.4.6 Antibiotik ........................................................................................... 21
2.4.7 Immunidulator .................................................................................... 21
BAB 3 PENULUSURAN JURNAL............................................................... 23
BAB 4 PENUTUP .......................................................................................... 27
4.1 Kesimpulan ................................................................................................ 27
4.2 Saran .......................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 28

3
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2020, masyarakat dunia menjadi saksi munculnya virus corona jenis
baru yang menyebabkan penyakit coronavirus disease atau sekarang yang dikenal sebagai
COVID-19. Virus ini pertama kali muncul di kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, pada
akhir 2019 dan dengan cepat menyebar dari satu kota ke daerah wilayah Cina yang lain
hanya dalam waktu 30 hari. Hampir semua negara saat ini terdampak oleh merebaknya
penularan COVID-19. Hal ini yang menjadi beban tersendiri bagi pelayanan kesehatan
dan kesehatan masyarakat. Tantangan untuk mengendalikan COVID-19 meliputi
kecepatan penyebaran dan penularannya yang luas sedangkan pengobatan untuk penyakit
ini masih sedikit diketahui. Menurut sejarah, pandemic tidak akan berlangsung dalam
waktu yang sebentar (Bappenas, 2021)
Di Indonesia, munculnya COVID-19 dikonfirmasi secara resmi oleh Presiden
Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Sejak saat itu, jumlah kasus terkonfirmasi
dilaporkan secara luas setiap hari. Pada pertengahan maret 2020, Presiden mengimbau
seluruh lapisan masyarakat untuk menjaga jarak.
Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya
dengan kehamilan dan janin masih terbatas dan belum ada rekomendasi yang dikeluarkan
oleh WHO secara spesifik untuk penanganan ibu hamil dengan COVID-19. Berdasarkan
data yang terbatas tersebut dan beberapa contoh kasus penanganan SARS-CoV dan
MERS-CoV) dan beberapa kasus, dipercaya bahwa ibu hamil dengan kormorbid memiliki
risiko lebih tinggi untuk terjadinya penyakit berat, morbiditas dan mortalitas
dibandingkan dengan populasi umum.
Sampai saat ini juga masih belum jelas apakah infeksi COVID-19 dapat melewati
rute transplasenta menuju bayi. Meskipun ada beberapa laporan dimana bayi pada
pemeriksaan di dapatkan pemeriksaan positif dengan adanya virus beberapa saat setelah
lahir. Saat ini tidak ada data yang mengarahkan peningkatan risiko keguguran yang
berhubungan dengan COVID-19. Laporan kasus dari studi sebelumnya dengan SARS dan

4
MERS tidak menunjukkan hubungan yang meyakinkan antara infeksi dengan
risiko keguguran atau kematian janin di trismester 2 (Pokja POGI, 2020).
1.2 Rumusan Masalah
Apakah penularan COVID-19 ibu ke bayi lewat plasenta

1.3 Tujuan
1. Mengetahui transmisi penularan ke janin
2. Mengetahui dampak terhadap bayi
3. Mengetahu perawatan persalinan dengan COVID

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Kehamilan

Kehamilan merupakan suatu proses alamiah dan fisiologis, setiap waniya yang
memiliki organ reproduksi sehat, jika telah mengalami menstruasi dan melakukan hubungan
seksual dengan seorang pria yang organ reproduksinya sehat, sangat besar kemungkinannya
terjadi kehamilan.

Menurut Federasi Obstetri Ginekologi Internasional, kehamilan didefinisikan sebagai


fertilisasi atau penyatuan dari spermatozoa dan ovum dan dilajutkan dengan nidasi atau
implantasi. Bila dihitung dari saat fertilisasi hingga lanhirnya bayi, kehamilan normal akan
berlanbgsung dalam waktu 40 minggu atau 10 bulan atau 9 bulan menurut kalender
internasional (Pokja POGI, 2020).

Pembagian kehamilan dibagi dalam 3 trimester : trimester I, dimulai dari konsepsi


sampai tiga bulan (0-12 minggu): trimester II, dimulai dari bulan keempat sampai enam bulan
(13-28 minggu); trimester III dari bulan tujuh sampai Sembilan bulan (29-42minggu).

2.1.1 Fisiologi kehamilan

Menurut (Fatimah,dkk. 2017) fisiologi kehamilan melalui beberapa tahapan :

2.1.1.1 Fertilisasi

Untuk membuahi sebuah ovum, sebuah sperm amula-mula harus melewati


korona radiata dan zona pelusida. Enzim-enzimakrosom, yang terpajan saat membrane
akrosom rusak saat sperma berkontak dengan korona radiata, memungkinkan sperma
membuat terowongan menembus sawar-sawar protektif tersebut. Sperma pertama yang
mencapai ovum itu sendiri berfusi dengan membrane plasma ovum, memicu suatu
perubahan kimiawi di membrane yang mengelilingi ovum sehingga lapisan ini tidak lagi
dapat ditembus sperma lain.

Kepala sperma yang berfusi tertarik dan ekor lenyap. Penetrasi sperma ke dalam
sitoplasma memicu pembelahan meiosis akhir oosit sekunder. Nucleus sperma dan ovum
2

menyatu membentuk zigot lalu menjadi morula dan masuk uterus setelah uterus sudah
bisa

dimasukin oleh morula, lalu menajdi blastokista dan terjadi implantasi di


dinding endometrium.

Fertilisasi berlangsung di oviduktus Ketika telur yang dilepaskan dan sperma


yang diletakkan di vagina bertemu di tempat ini. Ovum yang telah dibuahi mulai
membelah diri secara mitosis. Dalam waktu seminggu ovum tumbuh dan berdiferensiasi
menajdi sebuah blastokista yang dapat melakukan implantasi. Sementara itu,
endometrium telah mengalami peningkatan vaskularisasi dan dipenuhi oleh simpanan
glikogen di bawag pengaruh progesterone fase luteal. Blastokista terbenan di lapisan
yang telah dipersiapkan tersebut melalui kerja enzim-enzim yang dikeluarkan oleh
lapisan luar blastokista. Enzim ini mencernakan jaringan endometrium kaya nutrient,
melaksanakan dua fungsi yaitu membuat lubang di endometrium untuk implantasi
blastokista sementara pada saat yang sama membebaskan nutrient dari sel endometrium
agar dapat digunakan oleh mudigah yang sedang berkembang.

2.1.1.2 Implantasi

Ovum yang sudah dibuahi membelah dengan cepat selamat perjalanannya dalam tuba
falopii. Bila kelompok sel yang disebut sebagai morula mencapai cavum uteri maka
terbentuklah “inner cell mass”. Pada stadium Blastosis, mass tersebut di bungkus dengan
sel trofoblas primitive. Di dalam sel tersebut terjadi produksi hormone secara aktif sejak
awal kehamilan dan juga membentuk EPF (early pregnancy factor) yang mencegah
reaksi hasil konsepsi. Pada stadium, zygote harus mengadakan implantasi untuk
memperoleh nytrisi dan oksigen yang memadai. Terjadi perkembangan “inner cell mass”
kedalam lapisan ectodermal dan endoderma. Diantara kedua lapisan tersebut lapisan
mesodermal yang akan tumbuh keluar untuk membentuk mesoderm ekstra embrionik.
Pada stadium ini terbentuk 2 rongga yaitu “yolk sac” dan cavum amnion. Kantung
amnion berasal dari ectoderm dan yolk sac dari endoderm. Pada stadium ini, cavum
amnion masih amat kecil. 2 rongga yang terbungkus oleh mesoderm bergerak kearah
blastosis. Batang mesodermal akan membentuk talipusat. Area embrionik yang terdiri
dari ectoderm-endoderm dan mesoderm akan membentuk janin. Cavum anion semakin
berkembang sehingga mencapai sampai mencapai dinding blastosis. Bagian dari Yolc

4
2

sac tertutup dalam embrio dan sisanya membentuk tabung yang akan menyatur dengan
tangkai mesodermal.

2.1.1.3 Plasenta

Villi terdapat di seluruh permukaan blastosis. Dengan demikian


membesarnya blastosis, desidua superfisial akan tertekan dan kehamilan akan semakin
mengembang ke arah dalam Cavum uteri.

Perkembangan desidua kapsularis secara bertahap memangkas sirkulasi yang


melaluinya. Hal ini akan menyebabkan atrofi dan hilangnya villi yang bersangkutan.
Permukaan blastosis menjadi halus dan bagian korion ini disebut Chorion Laeve. Pada
sisi yang berlawanan, villi mengalami pertumbuhan dan pembesaran dan disebut sebagai
chorion frondosum. Dengan semakin luasnya ekspanasi blastosis, desidua kapsularis
menempel dengan desidua vera dan cavum uteri menjadi obliterasi.

Trofoblas primitive chorion frondosum melkaukan invasi desidua. Pada


proses ini, kelenjar dan stoma akan rusak dan pembuluh darah maternal yang kecil akan
mengalami dilatasi membentuk sinusoid.

Trofoblas mengembangkan lapisan seluler yang disebut sitotrofoblas dan lapisan


sinsitium yang disebut sinsitiotrofoblas. Struktur yang disebut villi chlorialis ini
terendam dalam darah ibu. Dengan kehamilan yang semakin lanjut, struktur villi
chlorialis menajdi semakin kompleks dan villi membelah dengan cepat untuk
membentuk percabangan-percabangan dimana cabang vasa umbikalis membentuk
percabangan yang berhubungan erat dengan permukaan epitel trofoblas. Sebagian besar
cabang villi chorialis yang disebut sebagai villi terminalis mengapung dengan bebas
dalam darah ibu sehingga memungkinkan terjadinya transfer nutrient dan produk sisa
metabolisme. Sejumlah villi melekat pada jaringan maternal dan disebut sebagai
anchoring villi. Struktur dan hubungan villi terminalis dapat dipelajari dengan melihat
gambar penampangnya. Dengan semakin lajutnya kehamilan, hubungan antara

5
2

vaskularisasi trofoblas dan maternal menjadi semakin erat. Trofoblas mengalami migrasi
kedalam arteri spiralis maternal yang berasal dari ruang intervillous.

Perubahan fisiologi yang berakibat dilatasi arteri maternal 1/3 bagian dalam
miometrium. Perubahan ini berakibat konversi pasokan darah uteroplasenta kedalam
vaskularisasi yang bersifat “ low resistance – high flow vascular bed” yang diperlukan
untuk tumbuh kembang janin intra uterin.

Dengan semakin lanjutnya kehamilan maka transfer nutrien – sisa metabolisme –


hormon dan CO serta O2 plasenta akan semakin meningkat dimana struktur pemisah
antara sirkulasi ibu dan anak menjadi semakin tipis

Tidak ada hubungan langsung antara kedua jenis sirkulasi dan “placental barrier”
pada akhir kehamilan terletak di microvilli sinsitiotrofoblas yang memperluas permukaan
transfer nutrien dan lain lain. Selanjutnya, sinsitiotrofoblas dan mesoderm janin akan
semakin tipis dan vas dalam villus mengalami dilatasi. Plasenta yang sudah terbentuk
sempurna berbentuk cakram yang berwarna merah dengan tebal 2 -3 cm pada daerah
insersi talipusat. Berat saat aterm ± 500 gram.

Talipusat berisi dua arteri dan satu vena dan diantaranya terdapat ‘Wharton
Jelly’yang bertindak sebagai pelindung arteri dan vena sehingga talipusat tidak mudah
tertekan atau terlipat, umumnya berinsersi di bagian parasentral plasenta.

2.2 Konsep Covid

2.2.1 Virologi

Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei di China tengah, adalah provinsi ketujuh terbesar di
negara itu dengan populasi 11 juta orang. Pada awal Desember 2019 seorang pasien
didiagnosis menderita pneumonia yang tidak biasa. Pada 31 Desember, kantor regional
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di Beijing telah menerima pemberitahuan tentang
sekelompok pasien dengan pneumonia yang tidak diketahui penyebabnya dari kota yang
sama.(1) Para peneliti di Institute of Virology di Wuhan telah melakukan analisis
metagenomics untuk mengidentifikasi virus corona baru sebagai etiologi potensial. Mereka
menyebutnya novel coronavirus 2019 (nCoV-2019). (2) Selanjutnya, Pusat Pengendalian dan
Pencegahan Penyakit AS (CDC) menyebut virus corona sebagai 2019 novel coronavirus
(2019-nCoV) dan sekarang penyakitnya populer dengan istilah coronavirus disease-19
(COVID-19).(3) Virus corona termasuk superdomain biota, kingdom virus. Virus corona

6
2

adalah kelompok virus terbesar dalam ordo Nidovirales. Semua virus dalam ordo Nidovirales
adalah non segmented positive-sense RNA viruses. Virus corona termasuk dalam familia
Coronaviridae, sub familia Coronavirinae, genus Betacoronavirus, subgenus Sarbecovirus.
Pengelompokan virus pada awalnya dipilah ke dalam kelompok kelompok berdasarkan
serologi tetapi sekarang berdasar pengelompokan filogenetik. Lebih jauh dijelaskan bahwa
subgenus Sarbecovirus meliputi Bat-SL-CoV, SARS-CoV dan 2019-nCoV. BatSL-CoV
awalnya ditemukan di Zhejiang, Yunan, Guizhou, Guangxi, Shaanxi dan Hubei, China.
Pengelompokan yang lain memperlihatkan

bahwa virus corona grup beta meliputi Bat coronavirus (BcoV), Porcine
hemagglutinating encephalomyelitis virus (HEV), Murine hepatitis virus (MHV), Human
coronavirus 4408 (HCoV4408), Human coronavirus OC43 (HCoV-OC43), Human
coronavirus HKU1 (HCoV-HKU1), Severe acute respiratory syndrome coronavirus
(SARSCoV) dan Middle Eastern respiratory syndrome coronavirus (MERS-CoV). Virus
corona berbentuk bulat dengan diameter sekitar 125 nm seperti yang digambarkan dalam
penelitian menggunakan cryo-electron microscopy. Partikel virus corona mengandung empat
protein struktural utama, yaitu protein S (spike protein) yang berbentuk seperti paku, protein
M (membrane protein), protein E (envelope protein), dan protein N (nucleocapside protein).
Protein S (~150 kDa), protein M (~25– 30 kDa), protein E (~8–12 kDa), sedangkan protein N
terdapat di dalam nukleokapsid.. Analisis filogenetik mengungkapkan bahwa virus corona
termasuk dalam subgenus Sarbecovirus dari genus Betacoronavirus, dengan panjang cabang
yang relatif panjang untuk kerabat terdekat bat-SL-CoVZC45 dan bat-SL-CoVZXC21, dan
secara genetik berbeda dari SARS-CoV. Khususnya, pemodelan homologi mengungkapkan
bahwa virus corona memiliki struktur receptorbinding domain yang sama dengan SARS-
CoV, meskipun terdapat variasi asam amino pada beberapa residu utama. Meskipun virus
corona lebih dekat ke bat-SL-CoVZC45 dan bat-SLCoVZXC21 di tingkat genom
keseluruhan, tetapi melalui analisis filogenetik dari receptor-binding domain ditemukan
bahwa virus corona lebih dekat dengan garis keturunan SARS-CoV. (10) Dewasa ini WHO
memberi nama severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2) yang
menjadi penyebab penyakit COVID-19 (MLE Parwarnto, 2020)

2.2.2 Transmisi

Transmisi corona virus bisa dengan berbagai cara (WHO, 2020), yaitu

1. Transmisi kontak dan droplet

7
2

Transmisi SARS-CoV-2 dapat terjadi melalui kontak langsung, kontak tidak langsung,
atau kontak erat dengan orang yang terinfeksi melalui sekresi seperti air liur dan
sekresi saluran pernapasan atau droplet saluran napas yang keluar saat orang yang
terinfeksi batuk, bersin, berbicara, atau menyanyi. Droplet saluran napas memiliki
ukuran diameter > 5-10 μm sedangkan droplet yang berukuran diameter ≤ 5 μm
disebut sebagai droplet nuclei atau aerosol. Transmisi droplet saluran napas dapat
terjadi ketika seseorang melakukan kontak erat (berada dalam jarak 1 meter) dengan
orang terinfeksi yang mengalami gejala-gejala pernapasan (seperti batuk atau bersin)
atau yang sedang

berbicara atau menyanyi; dalam keadaan-keadaan ini, droplet saluran napas yang
mengandung virus dapat mencapai mulut, hidung, mata orang yang rentan dan dapat
menimbulkan infeksi. Transmisi kontak tidak langsung di mana terjadi kontak antara
inang yang rentan dengan benda atau permukaan yang terkontaminasi (transmisi
fomit) juga dapat terjadi.
2. Transmisi melalui udara
Transmisi melalui udara didefinisikan sebagai penyebaran agen infeksius yang
diakibatkan oleh penyebaran droplet nuclei (aerosol) yang tetap infeksius saat
melayang di udara dan bergerak hingga jarak yang jauh. (11) Transmisi SARS-CoV-2
melalui udara dapat terjadi selama pelaksanaan prosedur medis yang menghasilkan
aerosol (“prosedur yang menghasilkan aerosol”). (12) WHO, bersama dengan
kalangan ilmuwan, terus secara aktif mendiskusikan dan mengevaluasi apakah SARS-
CoV-2 juga dapat menyebar melalui aerosol, di mana prosedur yang menghasilkan
aerosol tidak dilakukan terutama di tempat dalam ruangan dengan ventilasi yang
buruk,
Pemahaman akan fisika embusan udara dan fisika aliran udara telah menghasilkan
hipotesis-hipotesis tentang kemungkinan mekanisme transmisi SARS-CoV-2 melalui
aerosol. (13-16) Hipotesis-hipotesis ini mengindikasikan bahwa sejumlah droplet
saluran napas menghasilkan aerosol (5um) melalui penguapan dan proses normal
bernafas dan berbicara menghasilkan aerosol yang dihembuskan. Karena itu orang
yang rentan dapat menghirup aerosol dan dapat menjadi teinfeksi jika aerosol tersebut
mengandung virus dalam jumlah yang cukup untuk menyebabkan infeksi pada orang
yang menghirupnya. Namunm , proporsi droplet nuclei yang diembuskan atau proporsi
droplet saluran napas yang menguap dan menghasilkan aerosol, serta dosis SARS-

8
2

CoV-2 hidup yang diperlukan untuk menyebabkan infeksi pada orang lain tidak
diketahui, sedangkan untuk kasus virus-virus saluran pernapasan lain proporsi dan
dosis ini telah diteliti.
Suatu penelitian eksperimen mengukur jumlah droplet berbagai ukuran yang tetap
melayang di udara (airborne) selama kegiatan berbicara biasa. Namun, para penulisnya
mengakui bahwa pengukuran ini merupakan hipotesis aksi independen (independent
action hypothesis), yang belum divalidasi untuk manusia dan SARS-CoV-2. (18)
Sebuah model eksperimen lain menemukan bahwa orang yang sehat dapat
menghasilkan aerosol dengan cara batuk dan berbicara, (19), dan sebuah model lain
mengindikasikan angka emisi partikel oleh setiap orang saat berbicara dapat sangat
berbeda-beda, di mana terdapat korelasi antara tingkat emisi yang semakin tinggi
dengan semakin tingginya

amplitudo dalam menghasilkan suara. (20) Sampai sekarang, transmisi SARS-CoV-2


melalui rute aerosol jenis ini belum didemonstrasikan dan perlu lebih diteliti karena
kemungkinan implikasi-implikasi dari rute transmisi ini,
Salah satu penelitian eksperimental yang menghasilkan sampel aerosol infeksius
menggunakan nebulisator jet berdaya tinggi dalam kondisi laboratorium yang
terkontrol menemukan adanya RNA virus SARS-Cov-2 di dalam aerosol pada sampel
udara yang bertahan hingga 3 jam. Penelitian sejenis lain menemukan RNA virus ini
bertahan hingga 16 jam dan menemukan virus bertahan hingga 16 jam dan
menemukan virus hidup yang dapat bereplika. Temuan ini berasal dari aerosol hasil
eksperimen yang tidak mewakili kondisi batuk biasa pada manusia.
3. Transmisi fomit
Sekresi saluran pernapasan atau droplet yang dikeluarkan oleh orang yang terinfeksi
dapat mengontaminasi permukaan dan benda, sehingga terbentuk fomit (permukaan
yang terkontaminasi). Virus dan/atau SARS-CoV-2 yang hidup dan terdeteksi melalui
RTPCR dapat ditemui di permukaan-permukaan tersebut selama berjam-jam hingga
berhari-hari, tergantung lingkungan sekitarnya (termasuk suhu dan kelembapan) dan
jenis permukaan. Konsentrasi virus dan/atau RNA ini lebih tinggi di fasilitas
pelayanan kesehatan di mana pasien COVID-19 diobati. Karena itu, transmisi juga
dapat terjadi secara tidak langsung melalui lingkungan sekitar atau benda-benda yang
terkontaminasi virus dari orang yang terinfeksi (misalnya, stetoskop atau termometer),
yang dilanjutkan dengan sentuhan pada mulut, hidung, atau mata.

9
2

Meskipun terdapat bukti-bukti yang konsisten atas kontaminasi SARS-CoV-2 pada


permukaan dan bertahannya virus ini pada permukaan-permukaan tertentu, tidak ada
laporan spesifik yang secara langsung mendemonstrasikan penularan fomit. Orang
yang berkontak dengan permukaan yang mungkin infeksius sering kali juga berkontak
erat dengan orang yang infeksius, sehingga transmisi droplet saluran napas dan
transmisi fomit sulit dibedakan. Namun, transmisi fomit dipandang sebagai moda
transmisi SARS-CoV-2 yang mungkin karena adanya temuan-temuan yang konsisten
mengenai kontaminasi lingkungan sekitar kasus-kasus yang terinfeksi dan karena
transmisi jenis-jenis coronavirus lain dan virus-virus saluran pernapasan lain dapat
terjadi dengan cara ini.
4. Moda-moda transmisi lain
RNA SARS-CoV-2 juga telah dideteksi di sampel-sampel biologis, termasuk urine dan
feses beberapa pasien. (46-50) Sebuah penelitian menemukan SARS-CoV-2 hidup di

urine seorang pasien. Tiga penelitian mengulturkan SARS-CoV-2 dari spesimen feses.
Namun, hingga saat ini belum ada laporan yang diterbitkan tentang transmisi SARS-
CoV-2 melalui feses atau urine. Beberapa penelitian melaporkan deteksi RNA SARS-
CoV-2 di dalam plasma atau serum darah; virus ini dapat bereplikasi di sel darah.
Namun, peran transmisi melalui darah masih belum dipastikan; dan rendahnya
konsentrasi virus di plasma dan serum mengindikasikan bahwa risiko transmisi
melalui rute ini mungkin rendah. Saat ini, belum ada bukti terjadinya transmisi
intrauterin SARS-CoV-2 dari ibu hamil yang terinfeksi kepada fetusnya, tetapi data
masih terbatas. Baru-baru ini WHO menerbitkan pernyataan keilmuan tentang
menyusui dan COVID-19. Pernyataan ini menjelaskan bahwa fragmen-fragmen RNA
ditemukan melalui tes RT-PCR di sejumlah kecil sampel air susu ibu dari ibu yang
terinfeksi SARS-CoV-2, tetapi penelitian-penelitian yang menyelidiki apakah virus ini
dapat diisolasi tidak menemukan virus yang hidup. Transmisi SARS-CoV-2 dari ibu
ke anak memerlukan virus yang dapat bereplikasi dan infeksius di dalam air susu ibu
yang dapat mencapai situs sasaran pada bayi dan juga mengalahkan sistem pertahanan
bayi. WHO merekomendasikan agar para ibu yang suspek atau terkonfirmasi COVID-
19 didorong untuk mulai atau lanjut menyusui. Bukti sampai saat ini menunjukkan
bahwa SARS-CoV-2 paling mirip dengan betacoronavirus pada kelelawar yang
diketahui; peran inang perantara dalam memfasilitasi transmisi pada kasus-kasus
manusia paling awal yang diketahui masih belum jelas. Selain penelitian tentang

10
2

kemungkinan inang(-inang) perantara SARS-CoV-2, sejumlah penelitian sedang


dilakukan untuk lebih memahami kerentanan mamalia, termasuk anjing , kucing , dan
cerpelai ternak . Namun, masih belum jelas apakah mamalia-mamalia ini jika
terinfeksi memberikan risiko transmisi ke manusia yang signifikan.
2.2.3 Patogenesis
Coronavirus atau Covid-19 termasuk dalam genus betacoronavirus, hasil
anasilis menunjukkan adanya kemiripan dengan SARS. Pada kasus Covid-19,
trenggiling diduga sebagai perantaranya karena genomnya mirip dengan coronavirus
pada kelelawar (90,5%) dan SARS-CoV2 (91%).(10) Coronavirus disease 2019
Covid-19 atau yang sebelumnya disebut SARS-CoV2. Covid-19 pada manusia
menyerang saluran pernapasan khususnya pada sel yang melapisi alveoli. Covid-19
mempunyai glikoprotein pada enveloped spike atau protein S. Untuk dapat meninfeksi
“manusia” protein S virus akan berikatan dengan reseptor ACE2 pada plasma
membrane sel tubuh manusia. Di dalam sel, virus ini akan menduplikasi materi genetik
dan protein yang

dibutuhkan dan akan membentuk virion baru di permukaan sel. Sama halnya
SARS-CoV setelah masuk ke dalam sel selanjutnya virus ini akan mengeluarkan
genom RNA ke dalam sitoplasma dan golgi sel kemudian akan ditranslasikan
membentuk dua lipoprotein dan protein struktural untuk dapat bereplikasi.
Faktor virus dengan respon imun menentukan keparahan dari infeksi Covid-19
ini. Efek sitopatik virus dan kemampuannya dalam mengalahkan respon imun
merupakan faktor keparahan infeksi virus. Sistem imun yang tidak adekuat dalam
merespon infeksi juga menentukan tingkat keparahan, di sisi lain respon imun yang
berlebihan juga ikut andil dalam kerusakan jaringan. Saat virus masuk ke dalam sel
selanjutnya antigen virus akan dipresentasikan ke Antigen Presentation Cell (APC).
Presentasi sel ke APC akan merespon sistem imun humoral dan seluler yang dimediasi
oleh sel T dan sel B. IgM dan IgG terbentuk dari sistem imun humoral. Pada SARS-
CoV IgM akan hilang pada hari ke 12 dan IgG akan bertahan lebih lama. Virus dapat
menghindar dari sistem imun dengan cara menginduksi vesikel membran ganda yang
tidak mempunyai pattern recognition receptors (PRRs) dan dapat bereplikasi di dalam
vesikel tersebut sehingga tidak dapat dikenali oleh sel imun.
Pasien konfirmasi potitif Covid-19 dengan gejala klinis ringan menunjukkan
respon imun didapatkan peningkatan sel T terutama CD8 pada hari ke 7-9, selain itu

11
2

ditemukan T helper folikular dan Antibody Secreting Cells (ASCs). Pada hari ke 7
hingga hari ke 20, ditemukan peningkatan IgM/IgG secara progresif. Jika
dibandingkan dengan kontrol sehat, jumlah monosit CD14+ dan CD16+ mengalami
penurunan. Namun pada orang konfirmasi positif Covid-19 dengan tanda dan gejala
yang ringan tidak ditemukan peningkatan kemokin dan sitokin proinflamasi. Pada
pasien konfirmasi positif Covid19 dengan gejala klinis berat memberikan hasil profil
imunologi yang berbeda dengan klinis ringan. Pada kasus klinis berat ditemukan
hitung limfosit yang rendah, serta hasil monosit, basofil, dan eosinofil lebih rendah
pada pasien Covid-19 dengan klinis berat. Teradapat pula peningkatan mediator
proinflamasi (TNF-α, IL 1, IL6 dan IL 8) namun pada sel T helper, T supresor dan T
regulator mengalami penurunan pada kasus Covid-19 klinis berat. Pasien Covid-19
yang mengalami Acute Distress Respiratory Syndrome (ADRS) juga ditemukan sel T
CD4 dan CD 8 mengalami penurunan, limfosit CD 4 dan CD8 mengalami
hiperaktivasi. ARDS merupakan salah satu penyebab kematian pada kasus Covid-19
yang diakibatkan oleh peningkatan mediator proinflamasi (badai sitokin) yang tidak
terkontrol. Hal itu akan mengakibatkan

kerusakan paru terbentuknya jaringan fibrosis sehingga dapat terjadinya


kegagalan fungsi (Yelvi,dkk 2021).
2.2.4 Manifestasi
Masa inkubasi COVID-19 adalah 1 sampai 14 hari, dan pada umumnya terjadi
di hari ke tiga sampai hari ke tujuh. Demam, kelelahan, dan batuk kering merupakan
tanda-tanda umum infeksi corona disertai dengan gejala seperti hidung tersumbat,
pilek, dan diare pada beberapa pasien. Karena beberapa pasien yang parah tidak
mengalami kesulitan bernapas yang jelas dan datang dengan hipoksemia, sehingga ada
perubahan dalam panduan ini menjadi Dalam kasus yang parah, dispnea dan atau
hipoksemia biasanya terjadi setelah satu minggu setelah onset penyakit, dan yang lebih
buruk dapat dengan cepat berkembang menjadi sindrom gangguan pernapasan akut,
syok sepsis, asidosis metabolik yang sulit ditangani, dan perdarahan dan disfungsi
koagulasi, dan lain-lain. Edisi ini menekankan bahwa pasien dengan kondisi sakit
ringan hanya mengalami demam ringan, kelelahan ringan dan sebagainya, tetap tanpa
manifestasi pneumonia.
Dalam hal pemeriksaan laboratorium, edisi terakhir pedoman mengenai
COVID-19 menambahkan penjelasan sebagai berikut: “Peningkatan kadar enzim hati,

12
2

LDH, enzim otot dan mioglobin dapat terjadi pada beberapa pasien; dan peningkatan
level troponin dapat dilihat pada beberapa pasien kritis” dan “asam nukleat nCoV-
2019 dapat dideteksi dalam spesimen biologis seperti apusan nasofaringeal, dahak,
sekresi saluran pernapasan bagian bawah, darah dan feses”.
Pada tahap awal COVID-19, hasil rontgen menunjukkan bahwa ada beberapa
bayangan polakecil (multiple small patches shadow) dan perubahan interstitial,
terutama di periferal paru. Seiring perkembangan penyakit, hasil rontgen pasien ini
berkembang lebih lanjut menjadi beberapa bayangan tembus pandang/kaca (multiple
ground glass shadow) dan bayangan infltrasi di kedua paru. Pada kasus yang parah
dapat terjadi konsolidasi paru. Pada pasien dengan COVID-19, jarang ditemui adanya
efusi pleura.
Edisi keempat pada Buku Pedoman yang dikeluarkan Pemerintah China
mendefnisikan “3 hingga 7 hari, hingga 14 hari” dalam deskripsi periode masa
inkubasi yang telah dimodifkasi menjadi “1 hingga 14 hari, dan umumnya dalam 3
hingga 7 hari “di edisi kelima sesuai dengan hasil investigasi epidemiologi. Edisi
pertama menggambarkan gejala COVID-19 sebagai “demam, kelelahan, batuk kering,
dan lain- lain.” Dan edisi keempat menambahkan “beberapa pasien dengan gejala
seperti hidung

tersumbat, pilek, dan diare”. Dengan pemahaman patogenesis pasien kritis,


edisi keempat menekankan bahwa kasus yang parah adalah biasanya diperburuk 1
minggu.
setelah timbulnya penyakit, disertai dengan dispnea, dan edisi kelima menambahkan
hipoksemia sebagai manifestasi yang parah. Adapun kasus ringan, edisi kelima
menggambarkannya secara terpisah dan mengubah “kasus kematian lebih umum pada
lansia dan mereka dengan penyakit kronis.” Dalam edisi keempat dengan “lansia dan
penderita penyakit kronis bawaan memiliki prognosis yang buruk.” Studi kasus Li et
al. diterbitkan dalam New England Journal of Medicine (NEJM) pada 29 Januari 2020,
merangkum 425 kasus pertama yang dicatat di Wuhan. Data menunjukkan bahwa usia
rata-rata pasien adalah 59 tahun, dengan kisaran 15 hingga 89 tahun. Dengan
demikian, mereka melaporkan tidak ada kasus klinis pada anak di bawah 15 tahun.
Tidak ada perbedaan gender yang signifkan (56% pria). Data klinis dan epidemiologis
dari CDC China dan mengenai 72.314 catatan kasus (dikonfrmasi, dicurigai,
didiagnosis, dan kasus tanpa gejala) dibagikan dalam Journal of American Medical

13
2

Association (JAMA) (24 Februari 2020), memberikan ilustrasi penting tentang kurva
epidemiologi dari wabah China. Ada 62% kasus yang dikonfrmasi, termasuk 1% dari
kasus yang tidak menunjukkan gejala, tetapi positif laboratorium (tes asam nukleat
virus). Selanjutnya, tingkat fatalitas kasus secara keseluruhan (pada kasus yang
dikonfrmasi) adalah 2,3%. Dari catatan, kasus-kasus fatal terutama adalah pasien usia
lanjut, khususnya mereka yang berusia ≥ 80 tahun (sekitar 15%), dan 70 hingga 79
tahun (8,0%). Sekitar setengah (49,0%) dari pasien kritis dan terkena komorbiditas
yang sudah ada sebelumnya seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, penyakit
pernapasan kronis, dan penyakit onkologi, meninggal. Sementara 1% pasien berusia 9
tahun atau lebih muda, tidak ada kasus fatal yang terjadi pada kelompok ini.
Para penulis laporan CDC China membagi manifestasi klinis penyakit dengan tingkat
keparahan:
1. Penyakit ringan: non-pneumonia dan pneumonia ringan; ini terjadi pada 81% kasus.
2. Penyakit berat: dispnea, frekuensi pernapasan ≥ 30 / menit, saturasi oksigen darah
(SpO2) ≤ 93%, rasio PaO2 / FiO2 [rasio antara tekanan darah oksigen (tekanan parsial
oksigen, PaO2) dan persentase oksigen yang disuplai (fraksi oksigen terinspirasikan,
FiO2)] 50% dalam 24 hingga 48 jam; ini terjadi pada 14% kasus.
3. Penyakit kritis: gagal pernapasan, syok septik, dan / atau disfungsi organ multipel
(MOD) atau kegagalan (MOF); ini terjadi pada 5% kasus.

Saat ini, diyakini bahwa penularan melalui tetesan pernapasan dan kontak adalah rute
utama, tetapi ada risiko penularan fecaloral. Penularan aerosol, penularan dari ibu ke
anak dan rute lainnya belum dikonfrmasi. Transmisi tetesan pernapasan: Ini adalah
mode utama transmisi kontak langsung. Virus ditularkan melalui tetesan yang
dihasilkan ketika pasien batuk, bersin atau berbicara, dan orang yang rentan dapat
terinfeksi setelah menghirup tetesan (Kemendagri, 2020).
2.2.5 Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis terutama gambaran riwayat perjalanan atau riwayat kontak erat
dengan kasus terkonfirmasi atau bekerja di fasyankes yang merawat pasien infeksi
COVID-19 atau berada dalam satu rumah atau lingkungan dengan pasien
terkonfirmasi COVID-19 disertai gejala klinis dan komorbid. Gejala klinis bervariasi
tergantung derajat penyakit tetapi gejala yang utama adalah demam, batuk, mialgia,

14
2

sesak, sakit kepala, diare, mual dan nyeri abdomen. Gejala yang paling sering ditemui
hingga saat ini adalah demam (98%), batuk dan myalgia (PDPI, 2020).

Pemeriksaan penunjang lain sesuai dengan derajat morbiditas. Pada pneumonia


dilakukan foto toraks, bisa dilanjutkan dengan computed tomography scan (CT scan)
toraks dengan kontras. Gambaran foto toraks pneumonia yang disebabkan oleh infeksi
COVID-19 mulai dari normal hingga ground glass opacity, konsolidasi. CT scan
toraks dapat dilakukan untuk melihat lebih detail kelainan, seperti gambaran ground
glass opacity, konsolidasi, efusi pleura dan gambaran pneumonia lainnya. Pemeriksaan
laboratorium dapat dilakukan untuk membantu membedakan infeksi virus. Evaluasi 99
kasus pertama menunjukkan gambaran limfopenia, peningkatan c-reactive protein

(CRP) meningkat, kadang disertai anemia, leukopenia seperti pada infeksi


virus.15,18-20 Pemeriksaan prokalsitonin (PCT) menunjukkan hasil normal kecuali
bila dicurigai terjadinya infeksi bakteri maka PCT akan meningkat. Pemeriksaan lain
dilakukan untuk melihat komorbid dan evaluasi kemungkinan komplikasi pneumonia
yaitu fungsi ginjal, fungsi hati, albumin serta analisis gas darah (AGD), elektrolit, gula
darah dan biakan kuman dan uji kepekaan untuk melihat kemungkinan penyebab
bakteri atau bila dicurigai terjadi infeksi ganda dengan infeksi bakteri. Diagnosis pasti
atau kasus terkonfirmasi ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan ekstraksi RNA
virus severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS-CoV-2). COVID-19
menggunakan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk
mengekstraksi 2 gen SARS-CoV-2. Contoh uji yang dapat digunakan adalah dari
sampel berupa swab tenggorok. Swab nasofaring baik untuk evaluasi influenza tetapi

15
2

untuk virus corona lain swab nasofaring yang diambil menggunakan swab dari dacron
atau rayon bukan kapas.
Contoh uji dari saluran napas bawah lebih baik dari pada yang diambil dari
saluran napas atas terutama pada pasien dengan pneumonia, berupa sputum, aspirat
trakea dan bronchoalveolar lavage (BAL) dengan memperhatikan pengendalian infeksi
dan APD. Bila pasien menggunakan ventilasi mekanis dianjurkan untuk
memprioritaskan contoh uji dari saluran napas bawah. Kelebihan contoh uji dari
saluran napas bawah dapat digunakan juga untuk memeriksa biakan mikroorganisme
dan jamur yang mungkin menyertai atau diagnosis banding. Identifikasi COVID-19
yang dilakukan pertama adalah pemeriksaan pan corona, yaitu termasuk HCoV-229E,
HCoV-NL63, HCoV-HKU1 dan HCoV-OC43, kemudian dilakukan pemeriksaan
spesifik SARS-CoV-2.
Pemeriksaan ulang perlu dilakukan untuk menentukan respons terapi seiring
proses perbaikan klinis. Bila didapatkan perbaikan klinis dan hasil RTPCR negatif 2
kali berturut turut dalam 2-4 hari negatif pasien dinyatakan sembuh.
2.3 Pengaruh Covid pada Kehamilan
Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya
dengan kehamilan dan janin masih terbatas dan belum ada rekomendasi yang
dikeluarkan oleh WHO secara spesifik untuk penanganan ibu hamil dengan COVID-
19. Berdasarkan data yang terbatas tersebut dan beberapa contoh kasus pada
penanganan Coronavirus sebelumnya (SARS-CoV dan MERS-CoV) dan beberapa
kasus COVID-19, dipercaya bahwa ibu hamil dengan komorbid memiliki risiko lebih
tinggi untuk terjadinya penyakit berat, morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan
populasi

umum. Efek samping pada janin berupa persalinan preterm juga dilaporkan
pada ibu hamil dengan infeksi COVID-19. Akan tetapi informasi ini sangat terbatas
dan belum jelas apakah komplikasi ini mempunyai hubungan dengan infeksi pada ibu.
Dalam dua laporan yang menguraikan 18 kehamilan dengan COVID-19, semua
terinfeksi pada trimester ketiga didapatkan temuan klinis pada ibu hamil mirip dengan
orang dewasa yang tidak hamil.
Gawat janin dan persalinan prematur ditemukan pada beberapa kasus. Pada
dua kasus dilakukan persalinan sesar dan pengujian untuk SARS-CoV-2 ditemukan
negatif pada semua bayi yang diperiksa. Sampai saat ini juga masih belum jelas

16
2

apakah infeksi COVID-19 dapat melewati rute transplasenta menuju bayi. Meskipun
ada beberapa laporan dimana bayi pada pemeriksaan didapatkan pemeriksaan positif
dengan adanya virus beberapa saat setelah lahir, tetapi penelitian ini perlu validasi
lebih lanjut tentang transmisi ini apakah terjadi di dalam kandungan atau di post natal.
Saat ini tidak ada data yang mengarahkan untuk peningkatan risiko keguguran yang
berhubungan dengan COVID-19. Laporan kasus dari studi sebelumnya dengan SARS
dan MERS tidak menunjukkan hubungan yang meyakinkan antara infeksi dengan
risiko keguguran atau kematian janin di trimester dua. Oleh karena tidak adanya bukti
akan terjadinya kematian janin intra uterin akibat infeksi COVID-19, maka kecil
kemungkinan akan adanya infeksi kongenital virus terhadap perkembangan janin.
Terdapat laporan kasus pada persalinan prematur pada wanita dengan COVID-19,
namun tidak jelas apakah persalinan prematur ini iatrogenik atau spontan. Persalinan
iatrogenik disebabkan persalinan karena indikasi maternal yang berhubungan dengan
infeksi virus, meskipun terdapat bukti adanya perburukan janin dan KPD preterm pada
satu laporan kasus (POGI, 2020).
Ibu hamil dengan defisiensi Vitamin D, BMI >25 Kg/m2, Diabete Melitus
berhubungan dengan tingginya kejadian infeksi Covid-19, oleh karena itu, semua ibu
hamil dianjurkan untuk melakukan latihan olahraga yang teratur, diet sehat yang
seimbang dan suplementasi vitamin D untuk mencegah kegemukan, DM tipe 2 dan
defisiensi vitamin D.17,18 Sampai saat ini belum ditemukan data yang bermakna
tentang hubungan infeksi Covid-19 dengan kejadian keguguran atau IUFD pada
trimester II, namun 2/3 dari kehamilan dengan Covid-19 disertai dengan kejadian PJT

dan persalinan preterm ( Mose, 2020)


Perusahaan berlomba untuk menghasilkan vaksin yang aman untuk ibu hamil
dan janin,. Penemuan terbaru vaksin dapat diberikan untuk ibu hamil dan ibu
menyusui. Hal ini untuk memproteksi mereka (Walensky, 2021).
Dari hasil penelitian terhadap 2500 ibu hamil, tidak ditemukan adanya
peningkatan resiko keguguran pada ibu hamil yang menerima jenis vaksin mRNA
vaksin 20 minggu sebelum proses kehamilan. Keguguran terjadi sekitar 11-16% dari
sampel penelitian.
Dari data di atas, ditemukan bahwa vaksin tidak menjamin ibu hamil dan janin
terbebas dari covid. Ada beberapa manfaat dalam pemberian vaksin pada ibu hamil
dan ada resiko juga.

17
2

Sumber (Hinonaung, 2021)


2.4 Penatalaksanaan COVID pada Ibu Hamil
2.4.1 Terapi Medis dan Suportif
Ibu hamil dengan penyakit ringan namun mempunyai komorbiditas (misalnya,
hipertensi yang tidak terkontrol atau diabetes gestasional atau pregestasional, penyakit
ginjal kronis, penyakit kardiopulmoner kronis, keadaan imunosupresif) atau penyakit
sedang sampai kritis harus dirawat di rumah sakit. Pasien rawat inap yang hamil
dengan penyakit berat, yang mendapat terapi oksigen disertai komorbiditas, atau
dalam kondisi kritis harus dirawat oleh tim multi disiplin di rumah sakit rujukan
tingkat lanjut tipe B atau A dengan layanan obstetri dan unit perawatan intensif orang
dewasa (ICU). Status COVID-19 saja tidak selalu menjadi alasan untuk memindahkan
wanita hamil yang tidak kritis dengan dugaan atau konfirmasi COVID-19. Klasifikasi
keparahan penyakit

menurut US National Institutes of Health, adalah sebagai berikut. Ringan –


setiap tanda dan gejala (misalnya, demam, batuk, sakit tenggorokan, malaise, sakit
kepala, nyeri otot) tanpa sesak napas, dyspnea, atau foto thoraks abnormal. Sedang –
adanya bukti gangguan saluran napas bawah dengan penilaian klinis atau pencitraan
dan saturasi oksigen (SpO2) > 93 % pada suhu kamar. Berat frekuensi pernapasan >
30 kali per menit, SpO2 ≤ 93 persen pada suhu kamar, rasio PaO2/FiO2 < 300, atau
infiltrasi paru > 50 %.  Penyakit kritis – kegagalan pernafasan, syok sepsis, dan/atau
beberapa disfungsi organ. Definisi lain dari keparahan (misalnya, berat = saturasi

18
2

oksigen periferal ibu [SpO2] ≤ 94 persen pada suhu, memerlukan oksigen tambahan,
ventilasi mekanis, atau oksigenasi membran ekstrorporeal)
2.4.2 Terapi Suportif Oksigen
Selama kehamilan, saturasi oksigen perifer ibu (SpO2) harus dijaga pada ≥95
persen, yang melebihi kebutuhan pengiriman oksigen ibu, untuk kebutuhan janin. Jika
SpO2 turun di bawah 95 persen, analisis gas darah arteri (AGD) diperlukan untuk
mengukur tekanan parsial oksigen (PaO2): Maternal PaO2 > 70 mmHg diperlukan
untuk mempertahankan gradien difusi oksigen dari ibu ke sisi janin dari plasenta.
2.4.3 Profilaksis Tromboemboli Vena
Data tentang risiko tromboemboli pada COVID-19 walaupun masih terbatas
namun menunjukkan peningkatan risiko. American Society of Hematology, Society of
Critical Care Medicine, dan International Society of Thrombosis and Haemostasis
merekomendasikan terapi profilaksis tromboemboli vena secara rutin pada pasien
yang dirawat di RS dengan COVID19 kecuali ada kontraindikasi (misalnya,
perdarahan, trombositopenia berat).1 Semua ibu hamil dengan COVID-19, harus
dilakukan penilaian kemungkinan terjadinya tromboemboli vena (VTE).3 Pemberian
profilaksis VTE antepartum untuk yang tidak sakit parah atau kritis dan akan segera
melahirkan dapat diberikan unfractioned heparin 5000 unit secara subkutan setiap 12
jam.1 Low molecular weight heparin 40 mg per hari untuk yang belum melahirkan
atau yang postpartum. Semua wanita hamil yang telah dirawat di rumah sakit dan
telah terkonfirmasi COVID-19 diberikan tromboprofilaksis selama 10 hari setelah
keluar dari rumah sakit. Untuk wanita dengan morbiditas persisten, pertimbangkan
durasi tromboprofilaksis yang lebih lama. Pertimbangkan untuk memperpanjang ini
sampai 6 minggu pascapersalinan untuk wanita dengan morbiditas berkelanjutan yang
signifikan.

2.4.4 Deksametason
Deksametason 6 mg setiap hari selama 10 hari atau sampai keluar dari RS
direkomendasikan untuk pasien tidak hamil yang sakit parah yang menggunakan
oksigen tambahan atau dukungan ventilasi. Glukokortikoid juga dapat berperan dalam
manajemen syok refraktori pada pasien sakit kritis dengan COVID-19.1 Pada ibu
hamil yang memenuhi kriteria untuk penggunaan glukokortikoid untuk perawatan ibu
COVID-19 (seperti yang disebutkan di atas), dan berisiko lebih tinggi untuk kelahiran

19
2

preterm dalam tujuh hari, direkomendasikan memulai terapi dengan dosis biasa
dexamethasone (empat dosis 6 mg yang diberikan secara intramuskuler 12 jam
terpisah) atau betametason (dua dosis 12 mg yang diberikan secara intramuskuler 24
jam terpisah) untuk menginduksi pematangan paru janin diikuti oleh prednisolon (40
mg per hari secara oral) ) atau hidrokortison (80 mg intravena dua kali sehari) untuk
menyelesaikan pemberin steroid ibu. Hal ini untuk menghindari paparan
deksametason atau betametason yang berkepanjangan terhadap janin, yang melalui
sawar plasenta dalam bentuk aktif secara metabolik dan mungkin memiliki efek buruk
(misalnya, peningkatan risiko kelahiran prematur, gangguan perkembangan saraf
jangka panjang).
2.4.5 Terapi Anti Viral
Remdesivir adalah analog nukleotida yang memiliki aktivitas melawan SARS-
CoV-2 secara in vitro dan coronaviruses terkait (termasuk sindrom pernapasan akut
parah [SARS] dan Timur Tengah terkait sindrom pernapasan coronavirus [MERS-
CoV]) baik secara in vitro dan dalam penelitian hewan. Remdesivir mengikat RNA-
dependent RNA polymerase virus, menghambat replikasi virus melalui terminasi dini
proses transkripsi RNA. Remdesivir belum mendapat persetujuan dari Food and Drug
Administration (FDA). Namun dapat digunakan dengan aturan khusus FDA
(emergency use authorization) untuk penanganan orang dewasa, anak-anak, dan ibu
hamil yang terinfeksi Covid-19 dan saat ini sedang dalam uji klinis. Beberapa data
pendahuluan dari studi RCT multinasional (Adaptive COVID-19 Treatment Trial
[ACTT]) menunjukkan bahwa pasien Covid-19 yang mendapat remdezivir memiliki
waktu pulih secara klinis lebih pendek dibandingkan yang mendapat plasebo. Namun
data uji klinis untuk menilai efektifitas remdesivir pada pasien dengan gejala ringan
dan sedang masih sangat terbatas. Obat ini telah digunakan tanpa laporan tentang
toksisitas janin pada wanita hamil dengan Ebola dan infeksi virus Margburg. Hampir
semua uji acak dari obat selama pandemi COVID-19 telah mengecualikan wanita
hamil dan menyusui. Karena persediaan remdesivir terbatas, direkomendasikan agar
remdesivir

diprioritaskan untuk digunakan pada pasien yang dirawat di rumah sakit dengan
COVID-19 yang membutuhkan oksigen tambahan tetapi yang tidak menggunakan
oksigen aliran tinggi, ventilasi noninvasif, ventilasi mekanis, atau oksigenasi
membran ekstrakriloreal (ECMO). Penggunaan selama 5 hari atau sampai keluar

20
2

rumah sakit (AI). Jika pasien yang menggunakan oksigen tambahan saat menerima
remdesivir berkembang hingga membutuhkan oksigen aliran tinggi, ventilasi mekanis
noninvasif atau invasif, atau ECMO, maka pemberian remdesivir harus dihentikan.
Lopinavir / Ritonavir adalah terapi kombinasi antiprotease dan merupakan rejimen
obat yang disukai karena diketahui relatif aman dalam kehamilan. Obat ini adalah
inhibitor SARS-CoV 3CLpro in vitro, dan protease ini juga memiliki ikatan kuat
terhadap SARS-CoV 2. Dosis yang dianjurkan adalah dua kapsul Lopinavir /Ritonavir
(200 mg / 50 mg per kapsul) secara oral bersama dengan nebulisasi inhalasi
interferon-α (5 juta IU dalam 2 mL air steril untuk injeksi) dua kali sehari. Obat ini
sudah banyak digunakan dalam terapi ibu hamil dengan HIV, dan tidak ada bukti
teratogenesitas karena transfer plasentanya rendah. Namun data yang menunjukkan 40
efikasi leponavir/ritonavir pada pasien dengan Covid-19 sangat terbatas, dan
kemungkinan dosis yang lebih tinggi dibandingkan terapi HIV diperlukan untuk
tatalaksana SARS-CoV 2. Chloroquine dan hydroxychloroquine telah dievaluasi
untuk pengobatan COVID-19 dalam uji klinis acak kecil, seri kasus, dan studi
observasi. Hydrochloroquine (HCQ) adalah analog chloroquine yang digunakan untuk
terapi penyakit autoimun, seperti Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Rheumatoid Arthritis (RA). Hydrochloroquine memiliki keuntungan dengan efek
toksisitas berat yang lebih ringan dan interaksi obat yang lebih sedikit dibandingkan
chloroquine. Hydrochloroquine adalah obat yang sedang dalam penelitian untuk terapi
Covid-19 dan sampai saat ini belum terbukti efektif pada kehamilan. HCQ teramsuk
aman dalam kehamilan, sudah dibuktikan melalui terapi SLE dan penyakit rematik
pada kehamilan. Selain itu HCQ juga aman pada ibu menyusui karena kadar yang
terdeteksi di air susu ibu sangat sedikit. Direkomendasikan untuk tidak menggunakan
klorokuin atau hydroxychloroquine untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji
klinis (AII). Panel merekomendasikan untuk tidak menggunakan klorokuin dosis
tinggi (600 mg dua kali sehari selama 10 hari) untuk pengobatan COVID-19 (AI).
Direkomendasikan pula untuk tidak menggunakan hydroxychloroquine plus
azithromycin untuk pengobatan COVID-19, kecuali dalam uji klinis (AIII).2
Beberapa penelitian menunjukkan kejadian aritmia pada pasien covid-19 yang
mendapat terapi HCQ atau chloroquine, sering pada kombinasi dengan

azithromycin dan obat lain yang memperpanjang interval QTc, karena itu FDA
merekomendasikan untuk tidak menggunakan HCQ atau chloroquine untuk terapi

21
2

covid-19 di luar rumah sakit atau uji klinis.


2.4.6 Antibiotik
Kerusakan paru-paru yang luas oleh virus secara substansial meningkatkan
risiko pneumonia bakteri sekunder. Antibiotik diindikasikan hanya jika ada bukti
infeksi bakteri sekunder. Namun, antibiotik harus diberikan tanpa penundaan jika sepsis
bakteri dicurigai. Ceftriaxone intravena dapat diberikan pada awalnya sambil
menunggu hasil kultur dan sensitivitas.
2.4.7 Imunomodulator
Mengikuti protokol transfusi plasma konvalesens. Sampai saat ini belum cukup
data untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak dari terapi ini untuk tatalaksana
Covid-19.
Interleukin-1 dan Interleukin-6 Inhibitor sampai saat ini belum cukup data
untuk merekomendasikan penggunaan atau tidak Interleukin 1 inhibitor (seperti
anakinra) dan Interleukin-6 inhibitor (seperti sarilumab, siltuximab, tocilizumab) untuk
tatalaksana Covid-19. Sehingga pemakaiannya secara rutin untuk penanganan Covid-
19 pada kehamilan tidak dianjurkan, melainkan hanya untuk uji klinis. Dari beberapa
obat ini, hanya Tocilizumab yang digunakan sebagai obat off-label untuk ibu hamil
dengan gejala berat atau kritis dengan kecurigaan adanya sindroma aktivasi sitokin
(cytokine storm) dengan peningkatan kadar IL-6 sebagai upaya terakhir atau berdasar
protokol penelitian.

22
2

Sumber ( POGI, 2020)

23
2

BAB III

PENELUSURAN JURNAL

1. Jurnal 1
Judul jurnal : Obstetric management in Maternal with Covid-19
Penulis jurnal : Asoly Giovani Departemen of Obstetrics and Ginecology,
Faculty of Medicine, Sriwijaya University, Palembang
Indonesia
Tahun Jurnal : 2021
Abstrak Jurnal : Coronavirus disease-19 (COVID-19) is caused by severe
acute respiratory syndrome coronavirus-2 (SARS- CoV-2).
Covid-19 pandemic began in the end of 2019 and spread all
over the world in a short duration of time. Like two other
notable beta coronaviruses, severe acute respiratory syndrome
coronavirus-1 (SARS-CoV-1) and Middle East respiratory
syndrome coronavirus (MERS-CoV), SARS-CoV-2 can lead to
severe contagious respiratory disease. Due to impaired cellular
immunity and physiological changes, pregnant women are
susceptible to respiratory disease and are more likely to develop
severe pneumoni.
Sumber Jurnal : https://jurnalkedokteranunsri.id/index.php/OAIJMR

2. Jurnal 2
Judul jurnal : Dampak COVID-19 pada Kesehatan Ibu Hamil
Penulis jurnal : Chahya Kharin Herbawani1, Salshabiyla Naura Almamira
Cukarso1 , Intan Muzdhalifa Maulana1 , Flavia Stefanie
Ananda Utami1
Tahun Jurnal : 2020
Abstrak Jurnal : Coronavirus merupakan keluarga besar virus yang dapat
mengakibatkan penyakit dari gejala ringan sampai gejala berat. COVID-19
menyerang semua usia termasuk kelompok rentan, salah satunya ibu hamil.
Sejumlah penelitian mengenai coronavirus sebelumnya, (SARS-CoV dan MERS-
CoV), menyebutkan bahwa ibu hamil berisiko lebih tinggi terhadap penyakit

24
2

parah, morbiditas, dan mortalitas dibandingkan dengan populasi umum. Tujuan:


Saat ini

masih sedikit penelitian mengenai COVID-19 hubungannya dengan kehamilan


dan persalinan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko dan dampak dari
COVID-19 terhadap kehamilan dan persalinan. Metode: Penelitian ini
menggunakan metode systematic review. Sumber data literatur diperoleh dari
Google Scholar, PubMed, dan Proquest yang diambil dari tahun 2019-2020. Hasil:
Hasil penelitian berdasarkan 13 artikel dengan total 363 ibu hamil menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan tanda dan gejala yang dialami oleh ibu hamil
dengan infeksi Covid-19 bila dibandingkan dengan populasi umum. Hingga saat
ini sejumlah studi telah dilakukan untuk mengetahui adanya transmisi vertikal
COVID-19 dari ibu ke janin. Sejumlah sampel seperti darah tali pusat, cairan
ketuban, swab tenggorokan neonatal, ASI, dan sekresi vagina telah diambil untuk
dilakukan pemeriksaan dan menunjukkan hasil negatif. Simpulan: Penularan ibu-
janin dari COVID-19 tidak terdeteksi pada sebagian besar kasus yang dilaporkan.
Namun pemantauan kehamilan yang cermat dengan COVID-19 dan langkah-
langkah untuk mencegah infeksi neonatal tetap diperlukan. Ibu yang terinfeksi
berisiko lebih tinggi memiliki komplikasi pernapasan berat.
Sumber Jurnal : https://ejurnal.poltekkes-tjk.ac.id/index.php/JKM

3. Jurnal 3
Judul jurnal : Respirologi
Penulis jurnal : Perhimpunan Dokter Paru Indonesia
Tahun Jurnal : 2020
Abstrak Jurnal :
Penyakit virus corona 2019 (corona virus disease/COVID-19) sebuah nama baru
yang diberikan oleh Wolrd Health Organization (WHO) bagi pasien dengan
infeksi virus novel corona 2019 yang pertama kali dilaporkan dari kota Wuhan,
Cina pada akhir 2019. Penyebaran terjadi secara cepat dan membuat ancaman
pandemi baru. Pada tanggal 10 Januari 2020, etiologi penyakit ini diketahui pasti
yaitu termasuk dalam virus ribonucleid acid (RNA) yaitu virus corona jenis baru,
betacorona virus dan satu kelompok dengan virus corona penyebab severe acute
respiratory syndrome (SARS) dan middle east respiratory syndrome (MERS

25
2

CoV). Diagnosis ditegakkan dengan risiko perjalanan dari Wuhan atau negara
terjangkit dalam kurun waktu 14 hari disertai gejala infeksi saluran napas atas atau
bawah, disertai bukti laboratorium pemeriksaan real time polymerase chain
reaction (RT-PCR) COVID-

19. Wolrd Health Organization membagi penyakit COVID-19 atas kasus terduga
(suspect), probable dan confirmed, sedangkan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia (Kemenkes RI) mengklasifikasikan menjadi orang dalam pemantauan
(ODP), pasien dalam pengawasan (PDP), orang tanpa gejala (OTG) dan pasien
terkonfirmasi bila didapatkan hasil RT PCR COVID-19 positif dengan gejala
apapun. Bahan pemeriksaan dapat berupa swab tenggorok, sputum dan
bronchoalveolar lavage (BAL). Hingga saat ini belum ada antivirus dan vaksin
spesifik sehingga diberikan terapi suportif sesuai dengan derajat penyakit.
Penyebaran penyakit diketahui melalui droplet dan kontak dengan droplet.
Prognosis pasien sesuai derajat penyakit, derajat ringan berupa infeksi saluran
napas atas umumnya prognosis baik, tetapi bila terdapat acute respiratory distress
syndrome (ARDS) prognosis menjadi buruk terutama bila disertai komorbid, usia
lanjut dan mempunyai riwayat penyakit paru sebelumnya. Pencegahan utama
sekaligus tata laksana adalah isolasi kasus untuk pengendalian penyebaran. Masih
diperlukan berbagai riset untuk mengatasi ancaman pandemi virus baru ini. (J
Respir Indo. 2020; 40(2): 119-29)

4. Judul jurnal : Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Patogenesis,


Manifestasi Klinis dan Pilihan Terapi
Penulis jurnal : Yelvi Levani, Aldo Dwi Prastya, Siska Mawaddatunnadila
Tahun Jurnal : 2021
Abstrak Jurnal :
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) ditemukan pada akhir tahun 2019
tepatnya bulan Desember di Kota Wuhan, Provinsi Huebei, China dan kemudian
menyebar ke hampir seluruh dunia. Covid-19 disebabkan oleh betacoronavirus
jenis baru yang cenderung mirip SARS-CoV dan MERS-CoV. Tujuan penulisan
ini untuk memberikan telaah mengenai patofisiologi, manifestasi klinis, dan
perkembangan penelitian tatalaksana Covid-19. Jenis review yang digunakan
dalam artikel ini berbentuk literature review terhadap 41 artikel Covid-19 dengan

26
2

menggunakan database PubMed dan Google Scholar. Covid-19 termasuk dalam


genus betacoronavirus, hasil anasilis menunjukkan adanya kemiripan dengan
SARS. Gejala umum di awal penyakit adalah demam, kelelahan atau myalgia,
batuk kering. Serta beberapa organ yang terlibat seperti pernapasan,
gastrointestinal, dan neurologis. Sampai saat ini, WHO dan beberapa Negara
sedang melaksanakan uji

klinis untuk menemukan obat yang tepat untuk Covid19, studi ini bernama
SOLIDARITY. Terdapat 4 kelompok dalam studi ini, yaitu kelompok LPV/r dan
Interferon-beta, Remdesivir, Klorokuin dan Hidroksiklorokuin. Faktor virus
dengan respon imun menentukan keparahan dari infeksi Covid-19. Gejala umum
di awal penyakit adalah demam (83-98%), kelelahan atau myalgia, batuk kering
(76-82%) dan sesak napas (31-55%). Dari telaah terhadap studi yang ada
didapatkan bahwa sampai saat ini Remdesivir adalah obat yang paling berpotensi
efektif terhadap Covid-19, walaupun begitu, masih dibutuhkan penelitian lebih
lanjut dengan melakukan uji klinis yang lebih luas.

27
2

28
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Sampai saat ini, pengetahuan tentang infeksi COVID-19 dalam hubungannya dengan
kehamilan dan janin masih terbatas dan belum ada rekomendasi yang dikeluarkan oleh
WHO secara spesifik untuk penanganan ibu hamil dengan COVID-19. Berdasarkan
data yang terbatas tersebut dan beberapa contoh kasus pada penanganan Coronavirus
sebelumnya (SARS-CoV dan MERS-CoV) dan beberapa kasus COVID-19, dipercaya
bahwa ibu hamil dengan komorbid memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya
penyakit berat, morbiditas dan mortalitas dibandingkan dengan populasi

umum. Efek samping pada janin berupa persalinan preterm juga dilaporkan pada ibu
hamil dengan infeksi COVID-19. Ada beberapa kasus, ibu hamil yang mengalami
COVID-19 ada gangguang perkembangan janin, tapi sampai saat ini tidak ditemukan
penularan melaui plasenta.

4.2 Saran
1. Meningkatkan penyuluhan terhadap ibu hamil mengenai covid
2. Mengedukasi ibu hamil untuk selalu rutin periksa kehamilan ke petugas.
3. Mempercepat vaksinasi ibu hamil

27
DAFTAR PUSTAKA

Bappenas, 2021. Proyeksi COVID-19 di Indonesia. Jakarta. Direktorat Kesehatan dan Gizi
Masyarakat, Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan.
Fatimah, dkk. 2017. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta. : Fakultas Kedokteran dan
Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta.
Giovano, A. 2021. Open Access Indonesia Journal of Medical Review. Palembang. OAIJMR
Hinonaung1, dkk. 2021. Tinjauan Literatur: COVID-19 Pada Ibu Hamil. Kabupaten
Kepulauan Sangihe. Jurnal Ilmiah Kebidanan Indonesia
Kemendagri, 2020. Pedoman Umum Menghadapi Pandemi COVID-19 Bagi Pemerintah
Daerah Pencegahan, Pengendalian, Diagnosis dan Manajemen. Jakarta.
Mose. 2020. Infeksi Covid Dalam Kehamilan. Bandung. Indonesian Journal of Obstetrics &
Gynecology Science. eISSN 2615-496X
Parwanto,MLE. 2020. Virus Corona (2019-nCoV) penyebab COVID-19. Jakarta. Jurnal
Biomedika dan Kesehatan. DOI:
http://dx.doi.org/10.18051/JBiomedKes.2020.v3.1-2

PDPI, 2020. Respirologi. Jakarta. Majalah Resmi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. p-
ISSN 0853-7704, e-ISSN 2620-3162.
POKJA Infeksi Saluran Reproduksi. 2021. Rekomendasi Penanganan Virus Corona Pada
Maternal. Jakarta. POGI
Walensky. 2021. COVID-19 For Pregnant People. Amerika. Center for Disease Control dan
Prevention.
WHO, 2020. Transmisi SARS-CoV-2 implikasi terhadap kewaspadaan pencegahan infeksi.

27
Yelvi, 2021. Coronavirus Disease 2019 (COVID-19): Patogenesis, Manifestasi Klinis dan
Pilihan Terapi. Surabaya. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. ISSN : 0216 –
3942, e-ISSN : 2549 – 6883

27

Anda mungkin juga menyukai