Anda di halaman 1dari 24

“Penanggulangan Cemaran Aflatoksin Pada Jagung (Zea

mays, L.) untuk memperpanjang Masa Simpan dan


Meningkatkan Harga Jual Jagung”

Oleh:
Siti Aisa Liputo

Program Studi Ilmu dan Teknologi Pangan


Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi
Manado, 2012

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jagung merupakan komoditas penting di Indonesia setelah beras. Hal ini disebabkan
karena jagung banyak dimanfaatkan untuk kebutuhan pangan, industri pakan ternak, dan bahan
dasar industri makanan olahan. Jumlah produksi jagung di Indonesia meningkat secara
signifikan pada sepuluh tahun terakhir, dari sekitar 9,7 juta ton pada tahun 2000 menjadi sekitar
17,6 juta ton pada tahun 2009 (Badan Pusat Statistik, 2010).

Provinsi Gorontalo merupakan salah satu daerah penghasil jagung terbesar di Indonesia.
Tahun 2000, produksi jagung di Gorontalo 76.573 ton dan melonjak menjadi 451.094 ton pada
tahun 2005. Penduduk Gorontalo sebagian besar berprofesi sebagai petani jagung. Akan tetapi
dalam pembudidayaan dan pendistribusian jagung, petani sering dihadapkan pada berbagai
masalah. Salah satu masalah utama dalam pembudidayaan jagung adalah adanya serangan
mikotoksin yang disebut aflatoksin, yang sangat beracun jika dikonsumsi oleh manusia dan
ternak.

Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus
flavus dan A. parasiticus.(1,2) Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai
pada hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga
mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama
masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan
makanan (Yenny, 2005). Toksin yang dihasilkan oleh kapang ini bersifat karsinogenik,
hepatotoksik, dan mutagenik bagi manusia ( Hedayati dalam Kusumaningrum dkk, 2010).

Cemaran aflatoksin pada jagung di Indonesia cukup tinggi. Dari sampel jagung yang
ada di pasaran hampir separuhnya tercemari Aspergillus flavus dengan berbagai level
kandungan aflatoksin, bahkan ada yang di atas 1000 ppb. Dibandingkan dengan negara Asia
yang lain (Thailand dan Philippina) angka cemaran aflatoksin pada jagung menduduki peringkat
tertinggi (Anonim, dalam Rahayu dkk, 2003).

2
Dalam bisnis perdagangan jagung beberapa parameter yang menentukan kualitas biji
jagung antara lain bebas bahan kimia, bebas bau busuk, suhu normal, kadar air + 14%, butir
rusak, butir pecah, kotoran, warna lain dan kandungan aflatoksin. Kandungan aflatoksin ini
merupakan kriteria penting untuk menentukan kelayakan jagung untuk dikonsumsi maupun
untuk pakan ternak. FAO menentukan batas maksimum aflatoksin dalam biji jagung yaitu tidak
lebih dari 30 ppb (Beti dalam Tandiabang , 2010), sedang FAO dan USDA memberikan batas 20
ppb untuk sapi perah, anak ternak, anak ayam, 100 ppb untuk hewan muda, 200 ppb untuk babi
potong dewasa dan 300 ppb untuk sapi potong dewasa (Jeff dalam Tandiabang, 2010). Para
pedagang jagung dan pabrik pakan ternak memberikan batas toleransi kandungan aflatoksin
dalam biji jagung yang dapat diterima untuk diolah jadi pakan ternak. Pabrik Pakan JAPFA di
Makassar mentoleransi kandungan aflatoksin pada jagung maksimum 200 ppb (Tandiabang,
2010).

Agar petani memperoleh keuntungan dari usaha tani jagung dan produknya dapat
diterima oleh pasar, maka pengendalian aflatoksin guna perbaikan kualitas biji jagung perlu
dilakukan. Di indonesia data mengenai pencemaran aflatoksin pada jagung jarang dilaporkan,
padahal menjadi sangat penting mengingat jagung merupakan bahan pangan yang cukup
dominan dikonsumsi masyarakat. Khususnya di Gorontalo, publikasi mengenai cemaran dan
upaya pencegahan perlu diadakan untuk meningkatkan produksi jagung serta meningkatkan
kualitas jagung yang dihasilkan terkait dengan efek bagi kesehatan manusia dan hewan. Upaya
pencegahan bisa dilakukan saat pra dan pasca panen, detoksifikasi secara biologi, fisik dan
kimia, serta upaya-upaya yang lainnya yang diperoleh pada penelitian-penelitian sebelumnya.

1.2 Rumusan Masalah

Sejauh mana upaya penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung di Indonesia yang
telah dilakukan pada penelitian-penelitian sebelumnya.

1.3 Tujuan Penulisan


Ulasan ilmiah ini bertujuan untuk membahas upaya-upaya pencegahan dan
penanggulangan cemaran Aflatoksin pada jagung pada tahapan pra dan pasca panen yang
diperoleh dari penelitian-penelitian sebelumnya.
1.4 Manfaat Penulisan
Ulasan ilmiah ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai alternatif yang
bisa digunakan untuk menanggulangi cemaran Aflatoksin pada tanaman Jagung, yang nantinya

3
bisa bermanfaat bagi petani, distributor, serta konsumen jagung dalam upaya mencegah dan
menanggulangi cemaran dan efek negatif aflatoksin bagi manusia dan hewan ternak

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Aflatoksin

Aflatoksin adalah suatu mikotoksin yang merupakan metabolit hasil jamur Aspergillus
flavus dan A. parasiticus. Aflatoksin merupakan kontaminan yang paling sering dijumpai pada
hasil panen pertanian serta bahan makanan pokok di banyak negara berkembang sehingga
mengancam keamanan pangan. Toksin yang dikeluarkan oleh jamur ini dapat dijumpai selama
masa produksi bahan pangan, pada waktu panen, pada saat penyimpanan dan proses pembuatan
makanan.

Sumber : Yenny (2006)

Aflatoksin adalah salah satu dari substansi yang paling toksik yang dapat dijumpai
secara alamiah. Keracunan oleh aflatoksin terjadi oleh karena konsumsi dari racun ini yang
mencemari bahan makanan dan aflatoksikosis pada manusia dilaporkan dijumpai di banyak
tempat di dunia. Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization)
memperkirakan bahwa kontaminasi mikotoksin meliputi sekitar 25% dari hasil pertanian di
seluruh dunia (Lewis dalam Yenny, 2006). Penyakit-penyakit yang disebabkan karena
mengkonsumsi aflatoksin disebut aflatoksikosis.

Aflatoksin mempunyai sifat karsinogenik dan hepatotoksik. Sifat ini tergantung pada
lama dan tingkat paparan terhadap aflatoksin. Konsumsi aflatoksin dosis tinggi dapat

5
menyebabkan terjadinya aflatoksikosis akut yang dapat menimbulkan manifestasi
hepatotoksisitas atau pada kasus-kasus berat dapat terjadi kematian akibat fulminant liver failure
(Banet dalam Yenny, 2006). Manusia dapat terpapar oleh aflatoksin dengan mengkonsumsi
makanan yang terkontaminasi oleh toksin hasil dari pertumbuhan jamur ini. Kadang paparan
sulit dihindari karena pertumbuhan jamur di dalam makanan sulit untuk dicegah. Walaupun
kontaminasi bahan makanan oleh aflatoksin dalam jumlah besar tidak diizinkan di negara
berkembang, namun diperlukan perhatian terhadap kemungkinan timbulnya efek samping pada
paparan aflatoksin kadar rendah dalam bahan makanan.

Gejala awal aflatoksikosis yang dapat dikenali pada konsentrasi rendah antara lain
berupa menurunnya efisiensi makanan, berkurangnya intake makanan, menurunnya kecepatan
pertumbuhan, rambut kasar dan kusam, meningkatnya prevalensi, keparahan atau kegagalan
terapi atau vaksinasi penyakit-penyakit infeksi seperti: bloody dysentery, erisipelas,
salmonellosis, pneumonia (Beasley dalam Yenny, 2006). Bila aflatoksikosis ini berlanjut maka
dapat muncul sindrom penyakit yang ditandai dengan muntah, nyeri perut, edema paru, kejang,
koma, dan kematian akibat edema otak dan perlemakan hati, ginjal dan jantung. Keadaan-
keadaan yang meningkatkan kecenderungan untuk terjadinya aflatoksikosis akut pada manusia
meliputi terbatasnya ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang menguntungkan untuk
berkembangbiaknya jam ur di dalam hasil pertanian dan bahan-bahan dagangan, dan masih
kurangnya sistem yang mengatur monitoring dan kontrol aflatoksin.

2.2. Cemaran Aflatoksin Pada Jagung

Komposisi jagung pada pakan ternak mencapai 60%. Oleh karena itu, penggunaan
jagung yang berkualitas baik sangat penting untuk menghasilkan pakan yang bermutu baik.
Masalah yang sering timbul dalam pemanfaatan jagung sebagai bahan pangan maupun pakan
adalah kontaminasi senyawa aflatoksin. Senyawa ini dihasilkan oleh kapang Aspergilus flavus
yang umumnya tumbuh pada jagung yang berkadar air tinggi (>15%) akibat cara penyimpanan
yang kurang benar (Rachmawati, 2005). Aspergillus flavus adalah kapang dominan yang
ditemukan pada sampel jagung, dan merupakan penyebab utama kerusakan pada jagung baik pra
panen ataupun pascapanen. Mikroorganisme ini biasanya ditemukan pada saat musim kering
atau musim kemarau. Konsentrasi aflatoksin tidak akan berkurang selama penyimpanan, bahkan
akan bertambah atau tetap (Mulyawanti dkk., 2006).

6
Di Indonesia kadar Aflatoksin maksimum pada jagung sebagai bahan pangan telah
ditetapkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan RI sebesar 20 ppb. Hal ini sesuai dengan
ketetapan Food and Drug Administration yang mengeluarkan kadar baku tertinggi total
Aflatoksin yang diizinkan pada pangan dan pakan komersial yaitu sebesar 20 ppb (Brown dalam
Kusumaningrum dkk., 2010).

Hasil penelitian Kusumaningrum dkk. (2010) mendapatkan bahwa sekitar 88% sampel
jagung ditemukan kapang dan sekitar 40% positif tercemar A.flavus . Jenis Pangan yang paling
sering ditemukan kontaminasi A.flavus adalah jagung pipil yaitu sekitar 58,6%. Sedangkan pada
produk setengah jadi (tepung/pati/beras jagung) cemaran A.flavus yang ditemukan adalah 30 %
dan pada jagung manis 7%.

Hasil penelitian Rahayu dkk. (2003) mengenai cemaran Aflatoksin pada produksi
Jagung di daerah Jwa Timur diperoleh data Uji aflatoksin pada 70 sampel jagung yang diambil
di tingkat petani menunjukkan bahwa 30% jumlah sampel tidak terdeteksi aflatoksinnya; 50%
dengan cemaran aflatoksinnya < 20 ppb, 11% dengan 20 – 100 ppb, dan 9% dengan cemaran >
100 ppb. Cemaran tertinggi pada tingkat petani adalah 353 ppb. Dari 45 sampel jagung yang
diambil dari pengumpul dan pedagang, 13% kandungan aflatoksinnya tidak terdeteksi, 29%
dengan konsentrasi < 20 ppb, 40% berkisar antara 20 – 100 ppb, sedang 18% memiliki cemaran
> 100 ppb. Cemaran tertinggi adalah 340 ppb.

Yusrini (2010) melaporkan bahwa Sebanyak 8 sampel dari 28 sampel jagung yang
dianalisis (28,60%) mengandung aflatoksin B1 melebihi standar berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI 2000). Hasil penelitianya dapat dilihat pada tabel 1.

7
Tabel 1. Kadar Aflatoksin B1 (AFB1) Pada Sampel Jagung, Laboratorium Balitvet, Bogor.

Sampel Kadar AFB1(ppb)


J1 tt
J2 2,3
J3 46,8
J4 0,4
J5 1,0
J6 48,9
J7 72,4
J8 56,4
J9 50,2
J10 43,9
J11 34,4
J12 0,7
J13 tt
J14 0,5
J15 0,8
J16 75,7
J17 1,1
J18 0,3
J19 0,2
J20 0,9
J21 > 60
J22 > 60
J23 2,5
J24 0,2
J25 > 60
J26 > 60
J27 > 60
J28 2,5

Sumber:Yusrini (2010)

Menurut Rachmawati (2005), hasil uji banding antar laboratorium dan hasil penelitian
kerjasama dengan Pengujian Mutu Pakan Ternak (BPMPT), Direktorat Jenderal Peternakan
(tahun 2003-2004) juga menunjukkan bahwa 14% pakan ayam dari jumlah 207 sampel pakan
yang dianalisis mengandung aflatoksin melebihi standar mutu berdasarkan Standar Nasional
Indonesia (SNI). Sampel tersebut dikumpulkan dari beberapa sumber termasuk pabrik pakan,
penjual pakan ternak, dan sampel-sampel pakan yang datang ke BPMPT, yang berasal dari
beberapa propinsi di Indonesia. Data kandungan aflatoksin pada sampel-sampel tersebut
disajikan pada Tabel 2. Ternyata jumlah sampel pakan mengandung aflatoksin tinggi (>SNI, >50
ppb) relatif lebih sedikit, karena pabrik-pabrik pakan telah mengantisipasi kadar aflatoksin pada
bahan bakunya, terutama pada jagung .

8
Tabel 2 . Kadar Aflatoksin Pada Pakan yang Diperoleh Dari Beberapa Sumber
Sumber pakan Jumlah sampel Kisaran kadar(ppb) Jumlah sampe *Sumberpustaka
(>standar

PT Behn Meyer Kimia 4 12,0-50,0 0 SUPARTO, 2004


Disnak Prop. Sumut 15 0.3-123,3 2 Idem
PT Altech 1 60 1 Idem
BPMPT* 26 <0,3-123,3 4 RACHMAWATI, 2004a
PT Sinta Prima 11 0.96-175 .1 4 Idem
PT Sierad Tbk 15 0,3-26,0 0 Idem
Toko pakan, Jabotabek 12 2,0-38,0 0 Idem
Toko Pakan, Bogor 20 <0,3-23,9 0 RACHMAWATI, 2004b
BPMPT* (Tahap 1) 30 <0,3-107,3 7 RACHMAWATI, 2004c
BPMPT*(Tahap 2) 53 2,2-105,29 6 Idem
BPMPT*(Tahap 3) 40 1,0-88,9 8 Idem
(Sumber: Rachmawati, 2005)

2.3. Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A. flavus penghasil Aflatoksin

Faktor –faktor yang secara langsung mempengaruhi pertumbuhan kapang A.flavus


pada penanganan pasca panen jagung antara lain kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan
relatif udara, dan lama penyimpanan (FAO dalam Kusumaningrum dkk, 2010).

a. Kadar Air

Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%)
yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai cendawan dapat berkembang, termasuk
cendawan A. flavus. Cendawan ini menurut Pakki dan Muis dalam Talanca dan Mas’ud (2009)
dapat ditemukan pada tanaman jagung fase vegetative dan fase generatif, serta pada pasca panen
jagung, sehingga menjadi sumber inokolum pada biji jagung yang akan disimpan. Hal ini
memungkinkan karena Indonesia sebagai Negara tropik dengan iklim hujan tropis menyebabkan
kondisi kelembaban udara tinggi (RH > 80%), suhu rata-rata 28-33 0C. Kondisi ini sesuai
dengan pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus penghasil aflatoksin.

Di Bulukumba, Sulawesi Selatan petani menanam jagung dua kali, jagung pertama
ditanam awal musim hujan, sedang jagung kedua segera sesudah panen. Hasil panen jagung
umumnya ditumpuk di bawah kolong rumah tanpa alas, selama kurang lebih satu bulan sambil
menyiapkan lahan untuk jagung kedua, selama penumpukan/ penyimpanan ini jagung

9
terkontaminasi oleh aflatoksin, oleh karena kadar air biji yang meningkat dan juga temperature
naik sehingga A. flavus cocok untuk tumbuh dan berkembang (Tabel 3). Di Gorontalo petani
setelah panen langsung memipil jagungnya dengan mesin lalu dijemur + 2 hari langsung dijual
ke pedagang pengumpul. Di pedagang pengumpul disimpan hanya 1 – 2 hari kemudian langsung
ke pedagang ekspor. Di pedagang ekspor diproses, dikeringkan lalu ditumpuk di udang, sebelum
masuk container untuk di ekspor. Oleh karena itu akumulasi kontaminasi aflatoksin terjadi di
pedagang ekspor (Tandiabang, 2010).

Tabel 3. Kadar Aflatoksin Dari Sampel Jagung Ditingkat Petani

Kabupaten Jumlah sampel Kadar air biji Kadar aflatoksin (ppb)


(%)
Bulukumba, Sul-Sel 10 20,5 – 24,3 7,1 – 25,6
• Saat pengupasan tongkol 4 21,3 – 24,5 48,6 – 175,8
• Biji disimpan dalam karung
pupuk
Gorontalo 14 16 – 19 11,7 – 54,2
• Saat penjemuran (petani) 2 19 – 21 35,5 – 78,5
• Penyimpanan (pedagang 5 19 – 22 79,2 – 665,0
pengumpul)
• Pedagang ekspor
Tanah Laut, Kalsel 23 30 – 32 4 – 4,50
• Pada saat panen (petani) 3 28 – 30 22,3 – 27,60
• Setelah dipipil (pedagang
pengumpul)
Sumber : Tandiabang , Firmansyah dalam Tandiabang (2010)

b. Lama Penyimpanan

Di Tanah Laut Kalimantan Selatan tongkol jagung yang telah dipanen langsung di bawah
ke pedagang pengumpul, yang kadang tongkol jagung ditumpuk 1 – 2 hari sebelum dipipil yang
kemudian angsung masuk oven pengeringan (flat bed drier). Oleh karena itu kontaminasi
aflatoksin cukup rendah. Gambaran di atas menunjukkan makin cepat jagung diproses dan
dikeringkan kontaminasi aflatoksin makin rendah.
Menurut hasil penelitian Kusumaningrum dkk (2010) Cemaran A.flavus relatif
meningkat di tingkat pengumpul, yang disebabkan kemungkinan besar karena kondisi
penyimpanan yang kurang memadai (Tabel 4). Di tingkat pengumpul, kadar air jagung juga
relatif meningkat kembali dari 14% di tingkat pemipil menjadi 15%. Menurut Standar Nasional
Indonesia (SNI) 1995, persyaratan jagung pipil mutu I dan II adalah mempunyai kadar air
maksimum 14%. Secara umum, data-data tentang suhu, kelembapan relatif dan lama
penyimpanan jagung menunjukkan bahwa penanganan jagung dari tingkat petani sampai dengan

10
pasar induk atau pengecer, rawan terhadap munculnya cemaran A.flavus, karena kondisi
penyimpanan dapat memacu tumbuhnya kapang tersebut.

Tabel 4. Suhu Dan Kelembapan Relatif Penyimpanan Jagung Pada Tingkat Distribusi
Lokasi Tingkat n Suhu Simpan (0C) Kelembapan Lama Simpan
Dsitribusi Relatif (%)
Bogor Petani 5 27,1 ± 4,3 75,0 ± 5,7 3-5jam
Pengumpul 5 31,0 ± 1,4 72,5 ± 2,1 4-12iam
Pasar Induk 4 30,5 ± 0,7 74,0 ± 1,4 1-2 hari
Pengecer 7 28,5 ± 2,1 70,0 ± 7,1 1-2hari
Boyolali Petani 15 32,6 ± 0,5 64,6 ±2,5 2-5 hari
Pengumpul 9 32,7 ± 0,3 69,9 ± 4,3 3-15hai
Pasar Induk 5 32,3 ± 0,9 63,5 ± 1,3 3-15 hari atau sanpai
terjual
Pengecer 5 33,6 ± 1,2 71,0 ± 8,1 3-7 hari atau sanpai
terjual
Bojonegoro Petani 10 34,5 ± 0,0 51,3 ± 1,3 1-3 hari
Pemipil 10 34,6 ± 0,5 54,6 ± 2,5 1-3 hsri
Pengering 8 34,7 ± 0,9 49,9 ± 4,3 3 hari
Pengumpul 8 34,3± 0,9 53,5 ± 1,3 7-30 hari
Pasar Induk 10 33,6 ± 1,2 52,1 ± 2,8 3-15 hari atau sampai
terjual
Sumber : Kusumaningrum dkk. (2006)

Hasil analisis Bivariat yang dilakukan oleh Kusumanigrum dkk (2010) terhadap faktor
yang mempengaruhi pertumbuhan A.flavus dan terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di
daerah Bojonegoro, yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa tumbuhnya A.flavus tidak
mempunyai korelasi secara signifikan dengan kadar air jagung pipil dan suhu penyimpanan,
tetapi berkorelasi nyata dengan kelembapan relatif dan lama simpan jagung pipil. Hal ini
menunjukkan bahwa upaya untuk menurunkan kadar air jagung pipil sampai dengan 14% secara
umum sudah dapat dicapai oleh para pengelola jagung pipil di daerah Bojonegoro, dan tidak
mempengaruhi tumbuhnya kapang A. flavus. Sebaliknya, hasil penelitian mengindikasikan
bahwa penanganan jagung pipil selama penyimpanan, baik kelembapan relatif lingkungan
penyimpanan maupun lama penyimpanan, berpengaruh secara signifikan terhadap tumbuhnya
kapang A.flavus.

11
Tabel 5. Hasil Analisis Bivariat terhadap faktor yang mempengaruhi pertumbuhan A.flavus dan
Terbentuknya aflatoksin pada jagung pipil di daerah Bojonegoro
Parameter Independen Parameter Dependen N Hasil Uji Korelasi Spearmen
Kadar air A. Falvus 46 0,036 (tidak signifikan)
Kelembapan Relatif A. Falvus 46 0,41 (signifikan pada α =1)
Suhu A. falvus 46 -0,038 (tidaksignifikan)
Lama Simpan A. falvus 36 0,376 (signifikan pada α =0,05)
Sumber : Kusumaningrum, dkk. (2006)

c. Terlambat Panen

Kegiatan panen adalah tahapan sangat menentukan kualitas biji jagung yang dihasilkan.
Panen seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di
lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini
menyebabkan hasil panen terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 6). Sebelum dipipil, tongkol
sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air 14% untuk menghindari
kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan tongkol kupas yang lama
sebelum dikeringkan dan dipipil juga memberi peluang terjadinya infeksi A. Flavus
(Tandiabang, 2010)

Tabel 6. Pengaruh Terlambat Panen Dan Penumpukan Jagung Terhadap Infeksi A. Flavus.
Gorontalo, 2005
Biji terinfeksi % biji % biji tidak
Perlakuan
A. flavus (%) berkecambah berkecambah
Panen terlambat 7 hari 18 82 18
Panen ditumpuk 3 hari 56 44 56
Panen ditumpuk 5 hari 68 32 68
Panen masak fisiologis 9 90 1
tanpa ditumpuk
Perlakuan 1. Panen terlambat 7 hari sesudah masak fisiologis-kupas-dikeringkan dengan alat pengering
hingga k.a 15-17%
Perlakuan 2. Panen pada masak fisiologis-kupas-tumpuk 3 hari-dikeringkan dengan alat pengering hingga k.a
15-17%
Perlakuan 3. Sama dengan perlakuan 2, tumpuk 5 hari
Perlakuan 4. Panen masak fisiologis-kupas-langsung dikeringkan
Sumber : Firmansyah dalam Tandiabang (2010)

12
BAB III
PEMBAHASAN

3.1. Persyaratan Penanganan Yang Tepat Untuk Menanggulangi Aflatoksin


Penanganan aflatoksin hingga ke tingkat kandungan yang aman harus memenuhi beberapa
persyaratan persyaratan sebagai berikut :
(1) Tidak boleh menghasilkan senyawa toksik dalam bentuk struktur aflatoksin lain apapun
atau meninggalkan sisa residu yang membahayakan bagi kesehatan terhadap
produk/komoditas yang diberi perlakuan; terutama jika dilakukan penanganan dengan
bahan kimia, diupayakan bahan kimia tersebut tidak akan bereaksi dengan aflatoksin
membentuk senyawa lain yng bersifat toksik ataupun yang dapat menganggu kesehatan,
misalnya bersifat karsinogenik.
(2) Mutu dan kandungan gizi produk yang diproses tidak mengalami penurunan yang serius;
dalam hal ini biji jagung yang dihasilkan seteleh melalui tahapan penanganan baik secara
fisik, kimia dan biologis tidak akan mengalami penurunan mutu, , apalagi sampai terjadi
perubahan kandungan gizinya, seperti kandungan protein, karbohidrat, minyak serta
kandungan-kandungan mikro yang terkandung dalam biji jagung.
(3) Tidak boleh merusak sifat fisik dan organoleptik produk; penanganan yang dilakukan
terhadap biji jagung khususnya yang bertujuan mengurangi cemaran aflatoksin, diharapkan
tidak merusak sifat fisik biji jagung tersebut seperti penurunan bobot, perubahan warna,
perubahan rasa yang aka mempengaruhi mutu dan harga jual dari biji jagung tersebut
(4) Perlakuan yang diterapkan harus layak secara ekonomis dan secara teknis dapat dilakukan;
dimaksudkan agar harga jual jagung tidak akan melambung tinggi untuk menyesuaikan
biaya pada proses penanganan aflatoksin, oleh sebab itu cara yang dilakukan sebaiknya yang
ekonomis sehingga efesien bagi petani, distributor dan konsumen jagung
(5) Mempunyai kemampuan merusak spora dan miselia jamur penghasil aflatoksin, karena
aflatoksin bisa dihasilkan dari spora dan miselia dari jamur penghasil aflatoksin
(Aspergillus) yang tahan terhadap berbagai perlakuan, oleh sebab itu perlakuan yang
dilakukan diupayakan bisa memusnahkan spora dan miselia dari jamur tersebut.

13
3.1. Upaya Yang Telah Dilakukan Untuk Menekan Perkembangan A. Flavus

a. Kontrol Lingkungan

Pertumbuhan dan perkembangan cendawan A. flavus sangat tergantung pada


lingkungannya seperti suhu (25-35 0C), pH (4-6), aktivitas air (80%), dan kondisi atmosfir
aerobik, serta kadar air (18 %). Suhu merupakan salah satu faktor penentu dalam pertumbuhan
dan perkembangan cendawan A. flavus, sehingga pada kondisi diluar suhu optimal maka
cendawan itu susah akan berkembang. Dengan demikian penggunaan suhu (temperatur) untuk
pengeringan tongkol jagung sampai kadar air dibawah 18% dapat menghambat pertumbuhan
cendawan. Pengeringan jagung dapat pula menurunkan aktifitas air (< 80%), begitu pula
terhadap penurunan kadar air (< 18%), maka kondisi ini cendawan A. Flavus pertumbuhannya
akan terganggu, bahkan pada kondisi yang ekstrim dapat mematikan (Talanca dan Mas’ud,
2009).

b. Upaya Biologis

Penggunaan mikoroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan cendawan A. flavus,


sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin (Garber dan Cotty; Pitt dalam Talanca dan Mas’ud,
2009). Selanjutnya Van Veen et al ; Muhilal et al dalam Talanca dan Mas’ud (2009)
melaporkan bahwa cendawan Neurospora sp. Dan Rhizopus sp. dapat menurunkan kandungan
aflatoksin masing-masing 50 – 79%. Marth dan Doyle dalam Talanca dan Mas’ud (2009)
menunjukkan bahwa sebagian besar mikroorganisme yang diketahui dapat merusak aflatoksin
adalah jenis cendawan dan hanya satu jenis bakteri, serta satu jenis protozoa (Tabel 7).

14
Tabel 7. Daftar Mikroorganisme yang dapat merusak Aflatoksin

Jenis Cendawan Pengaruh


Penicellium raistrickii NRRL 2053
Aspergillus niger Mengubah sebagian aflatoksin B1, menjadi
A.parasiticus (spora) senyawa Fluoresensi lain.
A.terreus (spora)
A. luchuensis NRRL 2053 (spora)
Flavobacterium auranticum NRRL B-184 Metabolisme aflatoksin B1, G1, dan M1
Nocardia asteroids IFM8 mempunyai kemampuan metabolism
Scopularis brevicaulis aflatoksin.
Rhizopus oryzae
Corynrbacrerium rubrum
Aspergillus niger
Trichoderma viride Merubah aflatoksin menjadi aflatoksikol
Mucor ambiguous dalam waktu inkubasi 3-4 hari
Dactyliumdendroides NRRL 2575
Dactylium dendroides NRRL
Mucor griseocyanys NRRL 3359 Merubah 60% aflatoksin menjadi
Helminhtosporium sativum NRRL 3356 aflatoksikol (aflatoksin Ro)
Absidia repens NRRL 3356
Mucor alterans NRRL 3358
Rhizopus arrhizus NRRL 1582
R. stolernifer NRRL 1477
R. oryzae NRRL 359 Mengubah aflatoksin B1 menjadi
Tetrahymens pyriformis W parasitikol (aflatoksin B2)
Sumber :Talanca dan Mas’ud, 2009

c. Tindakan Fisik

Radiasi sinar matahari sangat membantu dalam upaya menekan perkembangan


cendawan A. flavus pada tongkol dan biji jagung. Waktu panen jagung yang tepat saat
terbentuknya black layer lebih 50 %, dan bila cuaca memungkinkan, maka pengeringan tongkol
diatas tegakan batang jagung beberapa hari sebelum panen sebaiknya dilakukan. Untuk itu
sangat dianjurkan agar setelah panen jagung, maka segera tongkol jagung dikeringkan dengan
bantuan sinar matahari sampai kadar air 17%, kemudian dilakukan pemipilan dengan
menggunakan mesin pemipil (tresser), yang selanjutnya dijemur sampai kadar air 11-12% lalu
dimasukkan dalam karung plastik dan disimpan ditempat penyimpanan.

Namun apabila kondisi cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan pengeringan


dengan sinar matahari, maka dapat pula dilakukan pengasapan atau pemberian hembusan hawa
panas dengan alat mesin. Penundaan pengeringan tongkol jagung dengan kadar air 26-35%
selama 4 hari, maka kandungan aflatoksin bisa mencapai 37 ppb (Paz et al. dalam Talanca dan
Mas’ud, 2009). Secara tradisional beberapa petani masih menggunakan pengasapan tongkol

15
jagung diatas dapur mereka, lalu dipipil dan dikeringkan lagi sampai kadar air 12%, kemudian
dikarungkan lalu disimpan (Talanca dan Mas’ud, 2009).

d. Penggunaan bahan Kimia

Penggunaan bahan kimia dapat pula dipakai untuk menghambat pertumbuhan dan
perkembangan cendawan A. flavus pada jagung. Sebagai contoh adalah ammonia dan asam
propionat yang bersifat asam pada tanaman jagung, yang diduga dapat berpengaruh kontak
terhadap A. flavus pada permukaan tanaman, sehingga siklus hidupnya terganggu. Hasil
penelitian Pakki (2009) menunjukkan bahwa penyemprotan ammonia atau asam propionat dosis
1,5-2 ml/air pada fase vegetative tanaman jagung, maka dapat mengurangi jumlah spora A.
flavus yang menempel pada jambul jagung. Selanjutnya penggunaan asam ammonia pada jagung
di Thailand dapat berpengaruh terhadap penurunan kadar aflatoksin dari 1000 ppb menjadi 10
ppb (Ingalantileke dalam Talanca dan Mas’ud, 2009). Efek perlakuan kimiawi terhadap sisa biji
jagung yang terinfeksi Aflatoksin disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Persentase Infeksi A. Flavus Pada Biji Jagung Dengan Perlakuan Kimiawi

Perlakuan % biji terinfeksi


Propianic acid (2 ml/l) 5,67 c
Ammonia (2 ml/l) 11,0 b
Ekstrak daun cengkeh (14 mg/l) 27,33 a
Kontrol 20,73 a
Sumber : Pakki dalam Tandiabang (2010)

e. Penggunaan Varietas tahan A.flavus


Penggunaan varietas tahan merupakan cara yang terbaik untuk mengendalikan A. flavus.
Meskipun mekanisme ketahanan terhadap A. flavus telah diketahui yaitu biokimia dalam
kelompok waxis (bersifat seperti lilin) pada lapisan luar biji yang bersifat antibiosis, tetapi
hingga kini belum ada varietas komersial yang tahan. Hasil penelitian Brooks et al. Tandiabang
(2010) telah menemukan dua QTL (quantitative Trait Loci) yang memberikan kontribusi dalam
resistensi terhadap akumulasi aflatoksin yaitu Locus afl 3 yang ditandai dengan marker bn lg 371
dan lokus afl 5 yang ditandai dengan marker bnlg 2291. QTL ini dapat digunakan secara cepat
dalam menyaring plasma nutfah untuk program perbaikan ketahanan A. flavus kedepan. Hasil
penelitian di Kabupaten Pangkep dan Sidrap menunjukkan perbedaan ketahanan varietas unggul
(Bisma, Bima-1, Sukmaraga, Lamuru, Srikandi Putih, Srikandi Kuning, Pioneer-7, Pioneer-11)
lebih toleran terhadap A. flavus dibanding varietas Lokal Pulut Takalar dan jagung manis .

16
Varietas yang tahan kekeringan relatif konsentrasi aflatoksinya rendah (Larson, dalam
Tandiabang, 2010), demikian pula varietas dengan penutupan klobot yang baik.

3.3. Penanganan Dalam Tiap Tahap Pertumbuhan Jagung

Pendeteksian awal adanya pertumbuhan kapang pada jagung adalah kunci pencegahan
pertumbuhan dan produksi aflatoksin dari kapang tersebut. Beberapa cara dapat dilakukan untuk
mencegah produksi aflatoksin pada biji jagung adalah mengontrol serangga di kebun dan
mendeteksi kerusakan awal yang disebabkan oleh serangga serta ada tidaknya spora Aspergillus.
Selain pendeteksian pertumbuhan dan spora jamur semenjak prapanen, sanitasi peralatan
penanganan jagung juga harus diperhatikan, termasuk sortasi dan pembersihan jagung dari
cemaran-cemaran lainnya.
Pengurangan kadar racun aflatoksin yang dihasilkan oleh kapang Aspergillus dapat
dilakukan sebelum dan sesudah panen. Penerapan Good Agricultural Practice (GAP) merupakan
perlakuan yang dapat dilakukan sebelum panen, sedangkan perlakuan yang dilakukan setelah
panen adalah dengan meminimalisasi aflatoksin, yaitu dapat dilakukan dengan cara curing,
pengeringan, sortasi dan prosedur penyimpanan yang tepat (Sudibyo,dalam Mulyawanti dkk,
2006).

a. Tahap Pra panen


Penanganan pra panen untuk mencegah tumbuhnya aflatoksin dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti :
1. Tanaman sebaiknya merupakan hasil cangkok dan sesuai untuk masing-masing daerah
2. Untuk memperoleh hasil panen yang optimum, dianjurkan untuk menggunakan pupuk
3. Waktu tanam disesuaikan untuk masingmasing lahan
4. Kerusakan butir oleh serangga dapat dikurangi dengan mengikuti rekomendasi management
practice
5. Pedoman irigasi selalu diterapkan untuk menyediakan air yang cukup bagi tanaman
6. Mesin dibuat dengan kombinasi antara pemipil dan perontok
7. Jika terjadi kekeringan, usahakan jagung segera dipanen
8. Pemanenan jagung dilakukan pada saat kadar air 24% kemudian segera dikeringkan hingga
mencapai 15% dalam waktu 24 jam (Wrather, dalam Mulyawanti dkk, 2006)

17
b. Tahap Panen
Kegiatan pada tahapan sangat menentukan kualitas biji jagung yang dihasilkan. Panen
seyogyanya dilakukan segera sesudah tanaman mencapai masak fisiologis. Kenyataan di
lapangan, petani memanen jagung pada umur lebih 3 bulan hingga 4 bulan. Hal ini menyebabkan
hasil panen terinfeksi oleh A. flavus (Tabel 4). Oleh karena itu perlu dihindari panen pada saat
hujan. Sebelum dipipil, tongkol sebaiknya segera dikeringkan sesudah panen hingga kadar air
14% untuk menghindari kontaminasi aflatoksin dan biji rusak akibat pemipilan. Penumpukan
tongkol kupas yang lama sebelum dikeringkan dan dipipil juga ember peluang terjadinya infeksi
A. flavus.

c. Tahap Pasca penen


Petani umumnya mengeringkan jagung dengan sinar matahari, terutama yang dipanen
pada musim kemarau, yakni jagung kedua yang ditanam di lahan kering atau jagung yang
ditanam di lahan sawah sesudah padi. Pengeringan jagung di lantai jemur tanpa alas, dan tidak
cukup kering, kadar air air diatas 15% disimpan di gudang, cenderung untuk terinfeksi A. flavus,
karena A. flavus dan spora paling banyak dijumpai di tanah dan udara sekitar lantai jemur dan
gudang. Selama penyimpanan sementara yang masih akan diproses atau dikeringkan hingga
kadar air kurang dari 14% dapat digunakan bahan kimia yang dapat menekan perkembangan A.
flavus. Hasil penelitian Nesci et al. dalam Mulyawanti et.al (2006) menunjukkan bahwa
antioksidan Propyparaben dan butylated hidroxy anisole dapat menghambat produksi aflatoksin
B1 pada banyak strain A. flavus, sehingga dapat dipertimbangkan sebagai fungitoksikan untuk
A. flavus dan A. parasiticus. Fumigasi dengan CO2 dengan cara memasukkan biji jagung ke
dalam wadah plastik atau terpal plastik yang tertutup rapat, udara di dalamnya dikeluarkan
dengan “vacuum blower”, kemudian difumigasi dengan CO2 pada takaran 0,3 – 0,5 kg/ton. Jika
petani atau pedagang ingin menunggu harga yang lebih baik, biji jagung sebaiknya disimpan
dalam wadah kedap udara sesudah ikeringkan dengan kadar air < 14%. Penyimpanan diatas 14%
dapat menyebabkan berkembangnya A. flavus.

Pada saat penyimpanan, beberapa hal yang perlu diperhatikan meliputi:


1. Tempat penyimpanan harus selalu dibersihkan, lingkungan sekitar dan peralatan penanganan
pascapanen sebelum penyimpanan harus dibersihkan
2. Sebelum dilakukan penyimpanan, jagung harus dibersihkan dari rambut, biji pecah dan benda-
benda asing

18
3. Jagung harus segera dikeringkan kurang lebih 24 jam hingga kadar air mencapai 15%,
sedangkan penyimpanan dalam jangka waktu lama dapat dikeringkan sampai kadar air
mencapai 13%.
4. Aerasi biji jagung untuk menjaga dan menstabilkan suhu
5. Penyimpanan biji harus selalu dicek secara teratur untuk menjaga kadar air tetap rendah dan
suhu sesuai
Menutur hasil penelitian dari Miskiyah dan Widaningsih (2008), cemaran Aflatoksin
pada jagung dapat dikendalikan melalui metode HACCP pada tahapan-tahapan yang dianggap
kritis mempengaruhi pertumbuhan Aflatoksin pada biji jagung (Tabel 9). HACCP merupakan
alat yang tepat untuk menetapkan sistem pengendalian karena berokus pada pencegahan bukan
pada produk akhir.

Tabel. 9. Lembaran HACCP Penanggulangan Pascapanen jagung Untuk Mengendalikan


Aflatoksin

Tahapan Deskripsi Kemungkinan untuk Prosedur monitoring Tindakan


proses bahaya mengontrol koreksi
Pemanasan Jamur/kontamin Panen tepat waktu - Melihat jadwal tanam Pisahkan tongkol
asi aflatoksin - Batang, daun, kelobot buah, jagung yang
jagung berubah menjadi kuning terinfeksi
atau mulai mengering serangga/jamur
- Bila jagung dikupas biji jagung
nampak keras, bernas dan
mengkilap
- Bila ditekan dengan kuku tangan
pada biji jagung tidak tampak
bekas tekanan

pengupasan Jamur, Meminimalkan - Pengupasan dilakukan secepat Dibersihkan


serangga, pengupasan mungkin, hindari serangga yang kembali
kotoran rambut Sanitasi lingkungan dapat mengakibatkan biji rentan
jagung, ranting, Higiene pekerja terhdap serangan jamur
debu - Bersihkan kotoran yang terikut
ketika pengupasan jagung,
pekerja menggunakan sandal/alas
Sortasi Jamur, Sortasi dilakuakn oleh - Cek secara visual Sortasi ulang
serangga, batu, pekerja yang terlatih
ranting, rambut dan teliti
jagung, dll
Pengeringan Jamur, Keringkan tongkol - Bila antar biji jagung digesek- Dilanjutkan
serangga, batu, jagung sampai AW gesek akan terdengar bunyi pengeringan
ranting, rambut yang aman (0,82) kresek yang nyarign dan atau
jagung, dll hindarkan rewetting - Uji kadar air
(lembab kembali)
dengan ventilasi
penyimpanan yang
maksimal
Keringkan bijian pada
KA yang aman
Pemipilan Jamur, Minimalkan bijian - Cek secara visual sortasi

19
serangga, yang pecah melalui
kerusakan pemipilan
karena
pemipilan
dengan mesin,
adanya kotoran,
rambut jagung,
raning, dll
pembersihan Jamur, Higiene pekerja dan Kotoran maksimal 5% Sortasi ulang
serangga, sanitasi lingkungan dan
bakteri peralatan
Pekerja yang terampil
Adanya kotoran, Insektisida, hindari
rambut jagung, debu atau bahan
ranting, dll organik lain
Sortasi mutu Jamur, Sortasi dilakukan Cek secara visual Sortasi ulang
serangga, dengan teliti dengan Cek dengan indera
bakteri menggunakan
pengemas yang bersih
Adanya kotoran, dan kuat
rambut jagung,
ranting, dll
pengemasan Jamur, Pengemasan dilakukan Cek secara visual Gunakan
serangga, dengan teliti dan Penimbangan pengemas yang
bakteri menggunakan bersih
pengemas yang bersih Timbang ulang
Adanya kotoran, dan kuat
rambut jagung,
ranting, dll
Penyimpanan Jamur, Sanitasi lingkungan Cek sanitasi Pembersihan
serangga, dan higienan pekerja
bakteri Hindarkan rewtting
(lembab kembali)
Adanya kotoran, dengan ventilasi
rambut jagung, penyimpanan yang
ranting, dll maksimal
Keringkan bijian pada
KA yang aman
Sumber : Miskiyah dan Widaningrum (2008)

Berdasarkan hasil penelitian tersebut kita dapat mengetahui beberapa titik kritis selama
proses pasca panen jagung. Dapat dilihat bahwa semua tahapan proses dalam pasca panen rentan
terhadap bahaya serangan jamur, serangga dan bakteri. Oleh sebab itu perlu ditentukan tindakan
monitoring dan tindakan koreksi pada setiap tahap tersebut. Menurut saya, semua tahapan dalam
pasca panen ini cukup penting dalam mengantisipasi cemaran jamur A.flavus yang akan
menghasilkan aflatoksin, jika semua tahapan ini dilakukan dengan baik beserta koreksi yang
disarankan, maka kemungkinan besar kita bisa meminimalisir cemaran aflaoksin dari tahap ke
tahap.

Dengan demikian gabungan dari semua tindakan yang dipaparkan di atas, baik pada
tahap pra panen, panen dan pasca panen dapat berpeluang besar meminimalisir cemaran
Aflatoksin, bahkan meniadakan kadar aflatoksin pada jagung. Jagung dengan cemaran aflatoksin

20
yang minimal, secara otomatis akan menghasilkan nilai jual yang tinggi, yang tentunya dapat
meningkatkan pendapatan petani. Konsumen pun akan merasa aman, karena jagung yang
dikonsums sudah bebas dari cemaran Aflatoksin.

21
BAB IV

PENUTUP

4.1. Kesimpulan

 Kadar air, suhu penyimpanan, kelembapan relatif udara, dan lama penyimpanan serta
keterlambatan panen dapat meningkatkan cemaran Aflatoksin pada Jagung
 Upaya yang dilakukan untuk mengurangi cemaran Aflatoksin antara lain kontrol
lingkungan (suhu, pH, aktivitas air dan kondisi atmosfir aerobik), tindakan fisik
(dikeringkan dengan sinar matahari), penggunaan bahan kimia dan penggunaan varietas
tahan.
 Pengendalian pertumbuhan kapang A.flavus penghasil Aflatoksin dapat dilakukan pada
proses mulai dari pra panen sampai pada tahapan pasca panen.

4.2. Saran

Sebaiknya dilakukan penelitian lebih lanjut terhadap penggunaan pestisida alami


(biopestisida) untuk membunuh kapang Aspergillus flavus, agar penggunaannya aman bagi
lingkungan dan aman bagi konsumen jagung lebih khususnya.

22
DAFTAR PUSTAKA

Kusumaningrum, H.et al. 2010. Cemaran Aspergillus Flavus Dan Aflatoksin Pada Rantai
Distribusi Produk Pangan Berbasis Jagung Dan Faktor Yang Mempengaruhinya.
Departemen Ilmu Dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut
Pertanian Bogor. Jurnal Teknologi Dan Industri Pangan, Vol XXI No.2.

Mulyawanti, et al. 2006. Aflatoksin Pada Jagung Dan Cara Pencegahannya. Buletin Teknologi
Pascapanen Pertanian: Vol.2.

Rachmawati, S. 2005. Aflatoksin Dalam Pakan Ternak Di Indonesia : Persyaratan Kadar Dan
Pengembangan Teknik Deteksi-Nya. Balai Penelitian Veteriner. Wartazoa Vol. 15 No. I.

Talanca, H. dan S, Mas’ud. 2009. Pengelolaan Cendawan Aspergillus Flavus Pada Jagung.
Prosiding Seminar Nasional Serealia. ISBN :978-979-8940-27-9 Balai Penelitian
Tanaman Serealia

Tandiabang, J. 2010. Pengendalian Aflatoksin Untukperbaikan Kualitas Biji Jagung. Prosiding


Seminar Ilmiah Dan Pertemuan Tahunan PEI Dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi
Selatan. Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros

Widaningrum dan Miskiah. 2008. Pengendalian Aflatoksin Pada Jagung Melalui Penerapan
HACCP. Jurnal Standarisasi Vol. 10 , No.1:1-10

Yenni. 2006. Aflatoksin Dan Aflatoksikosis Pada Manusia. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti. Universa Medicina Januari-Maret. Vol.25 No.1

Yusrini, H. 2010. Teknik Pengujian Kadar Aflatoksin B1 Pada Jagung Menggunakan Kit Elisa.
Buletin Teknik Pertanian Vol. 15, No. 1: 28-32.

23
24

Anda mungkin juga menyukai