Anda di halaman 1dari 19

HERNIA INGUINALIS

Hernia merupakan penonjolan isi abdomen melalui suatu daerah yang

lemah. Sekitar 75% hernia abdominal terjadi pada daerah inguinal. Hernia

inguinal lebih banyak ditemukan pada pria, walau juga dapat ditemukan pada

wanita. Abramson menemukan insiden hernia inguinalis berdasarkan umum

sebagai berikut: usia 25-34 tahun sebesar 1%, sementara 75 tahun sebesar lebih

dari 47%. Terdapat dua subtipe hernia inguinalis, yaitu direk dan indirek, dengan

prevalensi terbanyak adalah hernia inguinal indirek.1,2

ANATOMI

Kanalis inguinalis adalah suatu regio berbentuk kerucut sebesar 4-6 cm

pada porsi anterior pelvis. Kanal bermula dari dinding abdomen posterior, dimana

korda spermatikus berjalan melewati cincin inguinal (internal), sebuah hiatus pada

fascia transversalis. Kanal tertutup medial pada cincin inguinal superfisial

(eksternal), dimana korda spermatikus melalui sebuah defek pada aponeurosis

oblique eksternal. Daerah kanalis inguinalis dibatasi oleh aponeurosis oblique

eksternal pada bagian anterior, muskulus oblique internal pada bagian lateral,

fascia transversal dan muskulus transversus abdominis pada bagian posteroir,

muskulus oblique interna pada superior, dan ligamentum inguinal (Poupart’s)

pada daerah inferior. Korda spermatikus melalui kanalis inguinalis dan terdiri atas

tiga arteri, tiga vena, dua nervus, pleksus vena pampiniformis, dan vas deferens.

Keseluruhannya dilapisi oleh tiga lapis fascia spermatika.1


Struktur penting tambahan kanal inguinalis meliputi traktus iliopubik,

ligamen lakunar, ligamen Cooper’s, dan tendon conjoined. Traktus iliopubik

adalah suatu aponeurosis yang bermula dari spina iliaka anterior superior dan

memasuki ligamen Cooper’s dari atas. Kemudian membentuk margin inferior

dalam dari fascia transversalis dan abdominis transversus. Tepi ligamen inguinalis

adalah struktur yang menghubungkan traktus iliopubik dengan ligamentum

inguinalis. Ligamentum lakunar, atau ligamentum Gimbernat, adalah formasi

segitiga dari ligamentum linguinal saat memasuki tuberkel pubis. Ligamentum

Cooper’s (pektineal) adalah porsi lateral dari ligamentum lakunar yang bergabung

dengan periosteum dari tuberkel pubis. Conjoined tendon adalah fusi dari serat

inferior muskulus oblique internal dan aponeurosis transversus abdominis pada

titik dimana mereka memasuki tuberkel pubis.1

Gambar 1. Kanalis Inguinalis1

Hernia inguinalis diklasifikasikan atas tiga tipe, yaitu indirek, direk, dan

femoral berdasarkan daerah hernia berhubungan dengan struktur sekitarnya.


Hernia indirek menonjol lateral terhadap pembuluh epigastrik inferior, melalui

cincin inguinal dalam. Hernia direk menonjol medial terhadap pembuluh

epigastrik inferior, melalui segitiga Hesselbach. Segitiga ini dibentuk oleh

ligamnetum inguinal pada inferior, pinggir lateral muskulus rektus pada medial,

dan pembuluh epigastrik inferior pada superolateral. Hernia femoralis menonjol

melalui cincin femoral kecil dan tidak fleksibel. Pinggir cincin meliputi traktus

iliopubik dan ligamentum inguinal pada anterior, ligamentum Cooper’s pada

posterior, ligamentum lakunar pada medial, dan bena femoralis pada lateral.1

Gambar 2. Ligamentum yang Berkontribusi pada Kanalis Inguinalis1

KLASIFIKASI

Berdasarkan tipenya hernia inguinalis dibagi dua, yaitu lateral (oblique,

indirek) dan medial (direk). Menurut asalnya, dibagi dua yaitu kongenital dan

didapat. Untuk menyimpulkannya, Eropian Hernia Society membuat sistem

klasifikasi sebagai berikut:2

1) Primer atau rekuren (P atau R)


2) Lateral, medial, atau femoral (L, M, F)

3) Ukuran defek dalam perkiraan, sebesar jari yaitu 1,5 cm2

Misalnya hernia primer, indirek, inguinal dengan defek sebesar 2 cm

disebut PL3.2

PATOFISIOLOGI

Hernia inguinal dapat terjadi kongenital ataupun didapat. Kebanyakan

hernia pada orang dewasa diasumsikan sebagai hernia didapat walaupun studi

kolagen menunjukkan adanya predisposisi herediter. Sejumlah studi telah

menggambarkan penyebab pasti dari hernia inguinal, namun faktor resiko yang

paling dapat diterima adalah kelemahan pada dinding otot-otot abdomen. Hernia

kongenital, yang mengisi mayoritas hernia pada anak-anak, dapat

dipertimbangkan sebagai impedans dari perkembangan normal, bukan sebagai

kelemahan didapat. Selama perkembangan normal, testis turun dari ruang

intraabdomen ke skrotum pada kehamilan trimester ketiga. Penurunan ini

didahului oleh gubernakulum dan divertikulum peritoneum, yang menonjol

melalui kanalis inguinalis dan menjadi prosesus vaginalis. Pada sekitar usia 36-40

minggu kehamilan, prosesus vaginalis menutup dan melenyapkan pembukaan

peritoneum pada cincin inguinal interna. Kegagalan penutupan peritoneum akan

menyebabkan Patent Processus Vaginalis (PPV), yang akan menyebabkan hernia

inguinalis indirek kongenital pada bayi prematur. Anak dengan hernia inguinalis

indirek kongenital umumnya ditemukan PPV, namun PPV tidak selalu

mengindikasikan terjadinya hernia inguinalis. Pada studi dengan 600 orang


dewasa dilakukan laparoskopi, inspeksi bilateral menunjukkan bahwa 12% dari

mereka memiliki PPV, namun tidak mengalami hernia inguinalis.1

Adanya PPV merupakan suatu predisposisi pada pasien untuk

perkembangan hernia inguinal. Namun hal ini juga bergantung pada faktor resiko

lain, seperti kelemahan jaringan, riwayat keluarga, dan aktivitas berat. Beberapa

studi menunjukkan bahwa faktor resiko terbesar terhadap perkembangan hernia

inguinal adalah aktivitas berat. Aktivitas berat yang berulang akan meningkatkan

tekanan intra abdomen, namun, apakah proses ini terjadi atas kombinasi dengan

PPV atau kelemahan otot dinding abdomen karena faktor usia masih belum

diketahui. Studi kasus kontrol pada lebih dari 1400 pasien laki-laki dengan hernia

inguinal menemukan bahwa riwayat keluarga beresiko delapan kali terhadap

insiden hernia inguinal. PPOK juga meningkatkan resiko terjadinya hernia

inguinal direk, dikarenakan kekerapan peningkatan tekanan intra abdomen.1

Studi epidemiologi telah mengidentifikasi faktor resiko yang dapat mejadi

predisposisi hernia. Pemeriksaan mikroskopik pada kulit pasien hernia inguinal

menunjukkan penurunan signifikan rasio kolagen tipe I hingga tipe III. Kolagen

tipe III tidak berkontribusi terhadap kekuatan daerah, tidak seperti kolagen tipe I.

Analisis lanjut menjelaskan bahwa ditemukannya penurunan densitas serat

kolagen pada kulit pasien hernia. Kelainan kolagen seperti sindroma Ehlers-

Danlos berhubungan dengan peningkatan insiden formasi hernia. Studi lain

menunjukkan adanya hubungan antara konsentrasi elemen matriks ekstraseluler

dengan pembentukan hernia. Walaupun studi definitif masih belum memberikan

hasil pasti, bukti-bukti kasus menunjukkan bahwa etiologi hernia adalah

multifaktorial, baik dari segi lingkungan maupun herediter.1


DIAGNOSIS

Pasien akan datang dengan keluhan benjolan pada daerah inguinal yang

hilang timbul. Umumnya keluhan pasien cukup spesifik, yaitu benjolan hilang

saat berbaring, namun muncul kembali saat berdiri atau mengejan. Jika hernia

sudah tahap lanjut, dapat menekan nervus sekitarnya sehingga akan menimbulkan

tekanan general, nyeri tajam terlokalisir, dan referred pain. Tekanan atau rasa

berat pada paha, terutama setelah beraktivitas seharian. Perubahan bowel habit

atau gejala urinarius dapat mengindikasikan hernia sliding berisi organ intestin

atau keterlibatan kandung urin pada kantong hernia. Kemudian jika usus yang

menjadi isi hernia sudah terjepit, akan muncul gejala inkarserata atau strangulata.

Pemeriksaan harus dilakukan pada saat pasien berdiri dan berbaring. Posisi

berdiri bertujuan untuk meningkatkan tekanan intra abdomen sehingga hernia

dapat tampak dan diraba. Palpasi dilakukan dari kantong hernia menggunakan

telunjuk dan menelusuri cincin inguinal. Hal ini akan mempermudah eksplorasi

kanalis inguinalis. Pasien diminta melakukan manuver Valsava’s untuk membuat

isi hernia menonjol. Manuver ini akan memungkinkan klinisi memperhatikan

penonjolan abnormal dengan mudah dan menentukan apakah hernia tersebut

dapat dioperasi atau tidak. Pemeriksaan sebaiknya juga dilakukan pada sisi

kontralateral, untuk mengecek apakah insiden hernia terjadi bilateral ataupun

untuk memperbandingkan ukuran keduanya.1

Teknik pemeriksaan telah digunakan untuk membedakan hernia direk dan

indirek. Inguinal occlusion test memerlukan pemeriksa untuk memblok cincin

inguina interna dengan jari sementara pasien diminta untuk batuk. Impuls
terkontrol menunjukkan hernia indirek, sementara hernia persisten menunjukkan

hernia direk.1

Pada kasus ambigu, pemeriksaan radiologi dapat dilakukan untuk

memperkuat anamnesis dan pemeriksaan fisik. Pencitraan pada kasus yang jelas

tidak diperlukan dan membuang dana. Pemeriksaan radiologi yang dapat

dilakukan adalah USG, MRI, dan CT-Scan. USG merupakan teknik minimal

invasif dengan tidak memberikan paparan radiologis ke pasien sedikitpun.

Struktur anatomi dapat dengan mudah ditemukan dengan menggunakan landmark

tulang, struktur lain seperti pembuluh epigastrik inferior digunakan untuk mencari

anatomi paha (groin). Tekanan intraabdomen positif digunakan untuk menemukan

herniasi dari isi abdomen. Pergerakan isi abdomen ini ke dalam kanal penting

dalam penegakkan diagnosis dengan USG, dan kurangnya pergerakan ini akan

menyebabkan hasil negatif palsu. Dari studi meta-analisis ditemukan bahwa USG

dapat mendeteksi hernia inguinal dengan sensitivitas sebesar 86% dan spesifisitas

sebesar 77%.1

CT-scan dan MRI memberikan gambaran statis yang dapat menunjukkan

anatomi groin, mendeteksi hernia inguinal, dan membantu diagnosis diferensial.

Dari studi metaanalisis menunjukkan sensitivitas pemeriksaan CT-scan untuk

diagnosis hernia inguinalis sebesar 80% dengan spesifisitas sebesar 65%.

Walaupun herniografi direk memiliki sensitivitas dan spesifisitas lebih beasr dari

CT, namun tingkat invasif dan ketersediaannya membuat pemeriksaan ini jarang

digunakan. MRI digunakan pada kasus pembesaran daerah inguinal namun hasil
USG nya inkonklusif. MRI cukup akurat dalam menemukan hernia inguinal,

namun mahal. 1

Gambar 3. CT-scan menunjukkan hernia inguinal kanan yang besar (panah).


Hernia inguinal yang lebih kecil di sebelah kiri juga tampak.1

TERAPI

Pembedahan merupakan terapi definitif pada pasien hernia inguinal;

namun terkadang operasi tidak diperlukan pada sebagian pasien. Manajemen

nonoperatif merupakan suatu pilihan pada pasien dengan minim simptom. Studi

prospektif dan metaanalisis menunjukkan tidak ada perbedaan outcome pasien,

kualitas hidup, atau efektivitas antara manajemen operatif dan nonoperatif.

Strategi nonoperatif aman digunakan pada pasien dengan minim simptom dan

tidak meningkatkan resiko terjadinya komplikasi. 1

Target manajemen nonoperatif adalah nyeri, tekanan, dan penonjolan isi

abdomen pada populasi simptomatis. Posisi berbaring telentang membantu

reduksi hernia dengan efek gravitasi dan dinding abdomen yang rileks. Tiang

penopang eksternal membantu reduksi hernia dan meredakan gejala secara


intermitten hingga 65% pasien, namun teknik ini tidak mencegah komplikasi dan

ditemukan berhubungan dengan peningkatan insiden inkarserata. Resiko

inkarserata dan strangulata ditemukan menurun setelah tahun pertama, karena

pembesaran dinding abdomen pada defek secara bertahap turut membantu reduksi

spontan.1

Hernia inguinal femoral dan yang simptomatis memiliki resiko yang lebih

tinggi terhadap timbulnya komplikasi, dan pembedahan diperlukan pada pasien

ini, kapanpun dapat dilakukan. Pasien dengan peningkatan ukuran hernia dan

menjadi simptomatis juga dianjurkan untuk melakukan pembedahan.1,2

Pembedahan elektif pada hernia merupakan prosedur simpel, dapat

dilakukan dengan anastesi lokal, regional, maupun umum, tergantung kondisi

pasien.2

Herniotomy

Pada anak-anak penderita hernia lateral dengan prosesus persiten,

mengeluarkan isi hernia dan menutup kantongnya cukup dilakukan. Tindakan ini

disebut herniotomi. Pada pembedahan pasien dewasa, tindakan herniotomi saja

memiliki tingkat kekambuhan tinggi sehingga tindakan memperkuat otot juga

dilakukan (herniorrhapy).2

Open Suture Repair

Tindakan ini merupakan dasar open repair yang dilakukan selama lebih

dari 100 tahun. Dokter bedah memasuki kanal inguinal dengan membuka dinding

anterior, aponeurosis oblique eksternal. Korda spermatikus dipotong dan

dilakukan identifikasi hernia lateral/medial yang ditemukan. Kantong hernia


dipisahkan dari korda, dibuka, dan isinya dikeluarkan. Kantong tersebut dijahit

hingga tertutup pada bagian lehernya dan ujung kantong yang berlebih dibuang.

Jahitan kemudian dilakukan antara conjoint tendon pada bagian atas dan

ligamnetum inguinal pada bagian bawah, meluas dari tuberkulum pubis ke cincin

inguinal. Dinding kanal bagian posterior lalu diperkuat. 2

Gambar 4. Diagram Bassini. A, lemak subkutan; B, onlique eksternal; C, vena


iliaka; E, korda spermatikus; F, nervus pada kanal inguinalis; G, fascia
transversal.2
Gambar 5. Bassini repair. A. Membuka fascia transalis. B. Rekonstruksi dinding
posterior dengan menjahitkan fascia transversalis (TF), muskulus
abdominis transversus (TA), dan muskulus internal oblique (IO)
terhadap ligamentum inguinal (IL).
EO = aponeurosis oblique external1

Lebih dari 150 modifikasi operasi Bassini telah dilakukan dengan manfaat

sedikit atau tidak ada sama sekali, kecuali modifikasi Shouldice. Pada operasi ini,

fascia transversalis dibuka dengan insisi sentral dari cincin inguinal ke tuberkel

pubis dan kemudian ditutup untuk mengasilkan dinding posterior ketebalan ganda

dan dua lapis (double breasting). Obliqu eksternal ditutup dengan teknik serupa.2
Gambar 6. Shouldice repair. A. Traktus iliopubik dijahitkan kepada flap medial
dari fascia transversalis dan oblique internal dan muskulus abdominis
transversus. B. Empat garis jahitan yang kedua, berlawanan dengan
tuberkel pubis, mengaitkan oblique internal dan muskulus transversus
ke ligamentum inguinal. Dua jahitan lagi ditambahkan secara medial
pada oblique internal dan muskulus transversus.1

Kini, ketika melakukan operasi Bassini, kebanyakan dokter bedah

menggunakan jahitan nilon atau polipropilen continuous non-absorbent di antara

conjoint tendon dan ligamentum inguinal. Operasi ini digambarkan oleh Maloney,

yang menghasilkan outcome yang lebih baik dibandingkan teknik mesh menurut

beberapa studi belakangan ini. Operasi ini paling sering digunakan di dunia

sementara teknik mesh terlalu mahal.2

Jahitan perbaikan masih dalam pengembangan, dan baru-baru ini, Desarda

telah menggambarkan operasi dimana 1-2 cm strip aponeurosis oblique eksternus

di atas kanalis inguinalis diisolasi dari otot utama namun tetap dihubungkan baik

medial maupun lateral. Kemudian dijahitkan ke conjoint tendon dan ligamentum


inguinal, untuk menguatkan dinding kanalis inguinalis posterior. Saat otot

abdomen kontak, strip aponeurosis semakin ketat untuk menambah suport

fisiologis pada kekuatan dinding posterior. Teknik operasi ini hingga kini masih

dievaluasi.2

Gambar 7. A. Lapisan (layer) dinding abdomen pada open surgery hernia


inguinalis. B. Identifikasi kantong hernia direk dan indirek dengan
retraksi korda spermatikus dan nervus ilioinguinal; Ex. External; SQ.
subcutaneus1
Open Flat Mesh Repair

Mesh sintetis telah digunakan sejak 1950 untuk menguatkan perbaikan

hernia, dan pada 1980 Lichtenstein menggambarkan teknik mesh polipropilen

bebas tekanan, simpel, flat untuk hernia inguinal. Permulaan operasi ini identik

dengan operasi Bassini. Setelah kantong hernia dikeluarkan dan defek medial

ditutup, selapis mesh, ukuran 8x15 cm, diletakkan pada dinding posterior, di
belakang korda spermatika pada cincin inguinal. Jahitan longgar menahan mesh

terhadap conjoint tendon dan ligamentum inguinal. Dua keuntungan teknik ini

adalah tingkat kekambuhan rendah dan penyembuhan postoperatif meningkat.

Studi random menunjukkan kekambuhan hernia pada dua tahun pertama menurun

namun skor nyeri akut ditemukan sama. Penelitian memperbandingkan teknik

Lichtenstein dan dengan teknik laparoskopik menunjukkan nyeri kronik sebagai

komplikasi paling banyak dari open flat mesh repair yaitu sebesar 20%. Maka,

hingga kini, teknik Lichtenstein adalah yang paling banyak digunakan untuk

operasi hernia inguinalis di dunia.2

Gambar 8. Lichtenstein Repair2

Open/Plug/Device/Complex Mesh Pair

Dokter bedah dan teknologi semakin kreatif dan maju untuk

mengimprovisasi teknik mesh simpel. Mesh dengan bentuk tertentu banyak

digunakan untuk menutupi defek dan membutuhkan sedikit fiksasi. Namun, mesh

ini dapat menjadi solid (meshoma) dan juga dapat mengalami regresi. Mesh telah

didesain untuk diletakkan di bawah fascia transversalis. Teknik ini

memperkenalkan satu jari melewati cincin inguinal dan buka ruang peritoneal
hingga ke kanalis inguinalis dan di sanalah mesh diletakkan. Mesh dua lapis

dimana lapisan dalam diletakkan pada fascia transversa dan lapisan luar

diletakkan di bagian superfisial juga cukup banyak dipilih. Telah ada studi yang

menunjukkan bahwa teknik ini lebih superior daripada teknik Lichtenstein.2

Open Preperitoneal Repair

Pendekatan ini pertama kali dikenalkan oleh Annandale pada 1880, namun

telah lama ditinggalkan hingga pada era 1950 saat Stoppa, seorang dokter bedah

Perancis menggambarkannya dengan rekonstruksi mesh. Teknik ini saat berguna

saat banyak teknik pada open surgery gagal dan hernia tetap mengalami

kekambuhan. Teknik ini mungkin digantikan kini oleh pendekatan laparoskopik

ekstraperitoneal dengan model operasi Stoppa dan pertama kali dikenalkan oleh

seorang dokter bedah Perancis pula, yaitu Ger.

Laparoscopic Inguinal Hernia Repair

Terdapat dua teknik yang telah diuji pada berbagai studi random, yaitu

Totally Extraperitoneal (TEP) yang lebih sering digunakan daripada pendekatan

Transabdominal Preperitoneal (TAPP). Kedua teknik ini bertujuan untuk

mengecilkan hernia dan kantong hernia dalam abdomen kemudian meletakkan

mesh berukuran 10x15 cm pada dinding abdomen, meluas melewati garis tengah

hingga ruang retropubik dan 5 cm lateral dari cincin inguinal. Mesh ini menutupi

segitiga Hasselbach, cincin inguinal, dan kanalis femoralis. Pada TEP, dokter

bedah dapat membuat ruangan cukup dalam hingga otot abdomen tanpa harus

memasukikavitas peritoneal, sementara pada TAPP dokter bedah memasuki

kavitas peritoneal kemudian melakukan insisi pada peritoneum di atas defek

hernia dan secara umum memasuki ruang yang sama pada teknik TEP. Saat hernia
telah mengecil, mesh serupa dimasukkan lagi, lalu peritoneum ditutup di atas

mesh. Lebih dari 60 percobaan telah memperbandingkan teknik laparoskopik

dengan Lichtenstein. Studi menunjukkan walaupun teknik laparoskopik

membutuhkan pengerjaan yang lebih lama, ditemukan bahwa teknik ini memiliki

resiko nyeri yang lebih rendah baik selama post-op maupun hingga lima tahun

setelahnya, lebih cepat dalam pengembalian ke aktivitas semula dan menurunkan

insiden komplikasi infeksi pada luka, perdarahan, dan seroma. Teknik

laparoskopik merupakan teknik yang cocok pada kasus bilateral dan kekambuhan

setelah open surgery.2

Emergency Inguinal Hernia Surgery

95% pasien hernia inguinalis datang ke klinik dan 5% lainnya merupakan

kasus gawat darurat, dengan nyeri pada hernia yang tidak bisa dimasukkan lagi

(irreducible) yang umumnya telah berlanjut menjadi strangulata dan dapat terjadi

infark bowel. Morbiditas dan mortalitas pada kasus ini cukup tinggi sehingga

dokter bedah harus melakukan operasi segera dengan postoperative care

maksimal atau intensive care jika dirasa perlu. Prinsip pengerjaan sama dengan

operasi hernia elektif. Open surgery dilakukan jika hernia sudah memasuki fase

irredducible atau jika ada kemungkinan infark bowel. Infeksi dapat menjadi

komplikasi kasus ini, namun kebanyakan dokter bedah tetap melakukan

pemasangan mesh dengan diiringi dengan antibiotik yang adekuat.2

KOMPLIKASI

Walaupun prosedur ini sudah sering dilakukan, komplikasi post operatif

tidak jarang pula ditemukan. Komplikas segera mencakup perdarahan (yang


kemungkinan karena kerusakan tidak sengaja pada pembuluh gastrik inferior atau

iliaka) dan retensi urin yang akan memerlukan kateterisasi. Anesetik lokal

berlebihan dapat menimbulkan blokade nervus femur, dimana pasien tidak dapat

menggerakkan sebelah kaki. Kejadian ini umumnya membaik setelah 12 jam

namun harus tetap diwaspadai.2

Setelah satu minggu, dapat terbentuk seroma dan infeksi luka. Seroma

terbentuk karena respon inflamasi berlebihan terhadap jahitan atau mesh dan tidak

dapat dicegah. Pada banyak kasus, cairan dapat menghilang secara spontan,

namun terkadang aspirasi tetap diperlukan. Setelah pembedahan laparoskopik,

dapat terjadi misdiagnosis seroma dengan kekambuhan. Banyak dokter bedah

menggunakan antibiotik profilaksis namun studi menunjukkan hanya sedikit

manfaat yang timbul saat mesh digunakan.2

Pada jangka panjang, hal yang dikuatirkan adalah kekambuhan hernia dan

nyeri kronik. Tidak ada operasi yang dapat menjamin bebash kekambuhan. Bukti

menunjukkan bahwa penggunaan mesh memiliki resiko kekambuhan lebih rendah

daripada jahitan saja, namun tidak ada perbedaan pada variasi tipe mesh dan tidak

ada perbedaan pada open surgery dan teknik laparoskopik.2

Nyeri kronik, didefinisikan sebagai nyeri yang timbul tiga bulan setelag

operasi, sangat umum ditemukan pada jenis pembedahan apapun. Nyeri ini lebih

jarang dan lebih ringan ditemukan pada teknik laparoskopik. Berbagai tipe nyeri

telah dipaparkan namun yang paling berat adalah nyeri neuralgik karena iritasi

nervus. Nyeri ini dapat timbul karena trauma nervus saat operasi atau iritasi kronis

pada nervus oleh bahan jahitan atau mesh. Identifikasi dan proteksi yang teliti

terhadap tiga nervus yang melewati kanalis inguinalis mengurangi insiden nyeri
neuralgik. Nyeri tipe ini sangat jarang ditemukan pada operasi laparoskopik yang

dilakukan jauh lebih profunda daripada nervus tersebut. Mesh juga dapat

mengalami reaksi kolagen yang akan menyebabkan tegangnya dan kakunya

jaringan sehingga muncullah nyeri tersebut.2

Kerusakan pada arteri testikuler (sangat jarang terjadi) dapat menimbulkan

infark testis, yang dapat menjadi komplikasi paling serius pada operasi hernia

inguinalis.2
DAFTAR PUSTAKA

1. Wagner, JP, et al. Inguinal Hernias. In Brunicardi, FC, et al. Schwartz’s

Principles of Surgery. 10th ed. New York: McGraw Hill Education; 2014

2. Nixon, SJ, Tulloh B. Abdominal Wall, Hernia, and Umbilicus. In Williams

NS, et al. Bailey and Love’s Short Practice of Surgery. 26th ed. Boca Raton:

Taylor and Francis Group; 2013

Anda mungkin juga menyukai