Anda di halaman 1dari 50

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Era moderen seperti saat ini telah memberikan banyak perubahan besar yang
buruk bagi kondisi kesehatan masyarakat pada umumnya. Semakin hari justru
terlihat berbagai macam penyakit semakin berkembang pesat di kalangan
masyarakat, salah satunya penyakit degeneratif yang sejauh ini tidak banyak yang
dapat disembuhkan atau bahkan berujung pada kematian.
Penyakit degeneratif ini disebabkan oleh berbagai faktor tertentu yang salah
satunya tanpa disadari terjadi akibat gaya hidup yang kurang sehat (unhealthy
lifestyle) dalam masyarakat itu sendiri. Aplikasi sehari-hari, sering terjadi
pemenuhan kebutuhan nutrisi yang kurat tepat. Tanpa disadari kita mengalami
kekurangan atau kelebihan nutrisi, sebagai contoh pada kondisi tubuh yang
mengalami kelebihan asupan karbohidrat menyebabkan suatu penyakit gangguan
metabolik yang kita kenal dengan penyakit diabetes melitus. Selain itu, dengan
konsumsi lemak secara berlebihan dapat memicu kenaikan berat badan atau
obesitas. Dimana obesitas juga mempengaruhi metabolisme tubuh manusia yang
sangat sering terjadi adalah hubungan langsung antara obesitas dengan penyakit
diabetes melitus. Di Amerika, telah dilaporkan bahwa penderita obesitas yang
umurnya 20-45 tahun mempunyai kecenderungan menderita penyakit diabetes
melitus 3,5 kali lebih sering bila dibandingkan dengan penderita yang berat
badannya normal (Hermawan, 1991).
Diabetes melitus atau yang lebih kita kenal dengan sebutan penyakit
kencing manis adalah gangguan metabolisme yang ditandai dengan meningkatnya
kadar gula dalam darah (hiperglikemia) yang berhubungan dengan abnormalitas
metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein yang disebabkan oleh penurunan
sekresi insulin relatif (IDDM atau tipe I) yaitu tergantung insulin atau absolut
(NIDDM atau tipe II) tidak tergantung insulin yang menyebabkan komplikasi
kronis mikrovaskular, makrovaskular dan neuropati (Sukandar dkk., 2009).
Diabetes melitus merupakan salah satu penyakit yang jumlah penderitanya
terus meningkat dari tahun ke tahun, ini dibuktikan dengan hasil survey yakni

1
Indonesia menempati urutan keempat dengan jumlah penderita DM terbesar di
dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Pada tahun 2006 diperkirakan
jumlah penderita diabetes di Indonesia meningkat tajam menjadi 14 juta orang,
dimana masih sedikit diantara mereka yang menjalani pengobatan secara teratur
(Widiawati, 2013 dalam Toluhula, 2015). Selain itu, menurut data yang diperoleh
dari Dinas Kesehatan Provinsi Gorontalo, diperoleh bahwa di Provinsi Gorontalo
pasien yang memiliki riwayat penyakit Diabetes Melitus pada tahun 2014
sebanyak 3254 pasien dan 71 diantaranya telah meninggal dunia (Dinas
Kesehatan Prov. Gorontalo, 2014).
Penyakit diabetes melitus bisa dicegah dan diobati yakni dengan terapi, baik
secara farmakologi (medis atau alami) maupun nonfarmakologi. Pengobatan
diabetes melitus dapat dilakukan secara medis dengan obat-obatan modern dan
suntikan tetapi karena tingginya biaya pengobatan cara medis ini terkadang sulit
dipenuhi. Diabetes melitus juga dapat diatasi dengan pengobatan alami dengan
memanfaatkan tanaman berkhasiat obat. Tanaman berkhasiat obat dapat diperoleh
dengan mudah, dapat dipetik langsung untuk pemakaian segar atau dapat
dikeringkan. Obat tradisional telah dikembangkan oleh para ahli untuk
menghindari efek samping yang banyak ditimbulkan obat antidiabetik oral dan
salah satu cara yang dapat ditempuh jika pada kondisi tertentu pasien diabetes
melitus memiliki alergi terhdapa insulin dan obat antidiabetik oral. Oleh karena
itu, pengobatan tradisional dengan tanaman obat menjadi langkah alternatif untuk
mengatasinya (Agoes, 1991; Wijayakusuma, 2004).
Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati terbesar kedua
setelah Brazil dimana memiliki tanaman-tanaman yang berkhasiat sebagai obat
khususnya obat antidiabetes, dua di antaranya yang banyak dikonsumsi oleh
masyarakat adalah daun salam (Syzygium polyanthum) dan sambiloto
(Andrographis paniculata). Daun salam merupakan salah satu dari 9 jenis
tanaman yang siap menjadi fitofarmaka sebagai antidiabetes, dimana dalam
pengembangannya diperlukan pembuktian secara pre-klinik dan klinik melalui
penelitian-penelitian oleh seluruh rekan kerja dalam dunia kesehatan agar
memenuhi persyaratan untuk menjadi salah satu fitofarmaka (Sarmoko, 2009

2
dalam Indradmojo, 2014). Di Indonesia, daun salam banyak ditanam orang untuk
pelengkap bumbu masak atau dimanfaatkan sebagai tempat berteduh. Selain itu,
daun salam juga dikenal memiliki khasiat untuk menyembuhkan diare, sakit
maag, mabuk akibat alkohol, dan kencing manis atau diabetes melitus (Hembing,
1996; Aliadi, 1996 dalam Studiawan dan Santoso, 2005). Salah satu tanaman obat
yang banyak dibutuhkan dalam industri obat tradisional dan juga banyak
digunakan masyarakat adalah sambiloto. Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) telah menetapkan sambiloto sebagai salah satu tanaman obat unggulan
dan saat ini sedang dikembangkan oleh Badan POM sebagai bahan industri obat
fitofarmaka. Khasiatnya yang begitu banyak disebabkan sambiloto memiliki
kandungan yang lengkap (Suryawati, 2007). Sambiloto telah lama dikenal dan
penggunaannya telah terbukti efektif dan berkhasiat baik untuk pencegahan
maupun pengobatan. Efek farmakologi sambiloto menurut Niranjan dkk. (2010)
antara lain: antiinflamasi, anti HIV, antibakteri, antioksidan, antiparasit,
antispasmodik, antidiabetes, antikarsinogenik, antipiretik, hepatoprotektif,
nematosida, dan aktivitas lainnya.
Penelitian terkait untuk melihat potensi daun salam sebagai antidiabetes,
salah satunya dibuktikan dengan penelitian menurut (Dewi, 2003) yakni
berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa ekstrak
etanol daun salam (Eugenia polyantha) dengan dosis 312,5 mg/kg BB,625
mg/kg BB dan 1250 mg/kg BB dapat menurunkan kadar glukosa darah
terhadap tikus galur wistar yang diinduksi aloksan. Penelitian lainnya mengenai
herba sambiloto oleh (Yulinah dkk, 2001) yang memperoleh hasil yakni ekstrak
etanol herba sambiloto mempunyai efek menurunkan glukosa darah pada uji
toleransi glukosa dengan efek yang meningkat dengan peningkatan dosis pada
kisar dosis yang diberikan (0,5-2,0/kg bb). Ekstrak ini menunjukkan aktivitas
yang lebih bermakna (P=0,05) pada mencit diabetes yang diinduksi dengan
aloksan. Daun salam berpotensi sebagai antidiabetes juga dibuktikan oleh
penelitian dari (Studiawan dan Santoso, 2005) menunjukkan bahwa ekstrak etanol
daun salam dengan dosis 2,62 mg/20 g BB dan 5,24 mg/20 g BB dapat menurun-
kan secara bermakna kadar glukosa darah mencit jantan yang diinduksi dengan

3
aloksan (p<0,05). Penelitian lainnya yang terkait adalah menurut (Widyawati dkk,
2015) dimana efek antihiperglikemik dari ekstrak metanol S. polyanthumleaf
dapat dikaitkan dengan kehadiran flavonoid, glikosida dan squalene. Efeknya
mungkin diberikan oleh jalur ekstra pankreas melalui penghambatan penyerapan
glukosa usus dan peningkatan penyerapan glukosa oleh otot-otot. Penelitian
lainnya oleh (Premanath dan Nanjaiah, 2015) menunjukkan potensi herba
sambiloto (Andrographis paniculata) sebagai antidiabetes dimana ekstrak etanol
daun A. paniculata memiliki potensi antidiabetes yang signifikan seperti yang
terlihat oleh penurunan kadar glukosa darah pada tikus diabetes. Ekstrak etanol
efektif dalam menurunkan kreatinin dan urea tingkat pada tikus diabetes sehingga
meningkatkan fungsi ginjal. Selain aktivitas antihiperglikemiknya ekstrak ini juga
menunjukkan aktivitas antioksidan yang signifikan seperti yang terlihat oleh
peningkatan status antioksidan pada tikus diabetes. Selain itu, ekstrak etanol tidak
ditemukan untuk mengerahkan efek samping toksik pada ginjal dan hati dalam
ekstrak tikus normal yang diberi. Hasil dari penelitian ini membuktikan
antihiperglikemik signifikan, antioksidan, regeneratif sel islet dan alam non
beracun dari daun A. paniculata yang dapat digunakan dalam pengelolaan
diabetes.
Pasien diabetes banyak dalam proses pengobatannya, berinisiatif ingin
mengkombinasikan kedua jenis tanaman tersebut dimana memiliki khasiat yang
sama, karena terkadang pada kondisi tertentu diduga pasien merasa bosan dengan
penggunaan satu macam obat tradisional saja yang dirasa masih kurang efektif
menyembuhkan dengan cepat. Selain itu, diduga adanya perbedaan pendapat dari
beberapa pasien terhadap obat tradisional yang dianggap mampu menurunkan
kadar gula dalam darah manusia, sehingga atas dasar ketidakpuasan masyarakat
terhadap pendapat masing-masing maka tak sedikit dari mereka yang ingin
mencoba kombinasi keduanya. Di samping itu, menurut (Devehat dkk, 2002
dalam BPOM RI, 2010) dimana penggunaan herba sambiloto dalam kombinasi
dengan daun salam menurut data etnofarmakologi dapat memberikan hasil lebih
baik berupa penurunan kadar gula darah yang lebih stabil.

4
Berdasarkan hal-hal di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian ilmiah untuk menguji efektifitas kombinasi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap
penurunan kadar gula darah pada mencit jantan yang diinduksi glukosa.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah pemberian kombinasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium
polyanthum) dan ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis paniculata) dapat
menurunkan kadar gula darah pada mencit jantan yang diinduksi glukosa?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui efektifitas kombinasi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) terhadap
penurunan kadar gula darah pada mencit jantan yang diinduksi glukosa.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui efektifitas kombinasi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata)
terhadap penurunan kadar gula darah pada mencit jantan yang diinduksi
glukosa.
2. Untuk mengetahui pada konsentrasi berapa kombinasi ekstrak etanol daun
salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis
paniculata) terhadap penurunan kadar gula darah pada mencit jantan yang
diinduksi glukosa.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diperoleh yaitu:
1. Instansi
Diharapkan agar hasil penelitian ini mampu mendorong instansi Farmasi
terkait, agar memanfaatkan bagian tanaman tertentu yang sering dianggap tidak
berkhasiat misalnya daun salam dan herba sambiloto untuk dijadikan obat salah
satu penyakit gangguan metabolik yaitu diabetes melitus.

5
2. Masyarakat
Manfaat lainnya untuk masyarakat yaitu diharapkan hasil penelitian ini
mampu menjadi sumber informasi yang penting mengenai khasiat kombinasi daun
salam dan herba sambiloto dalam pengobatan secara alami penyakit diabetes
melitus sehingga dapat memanfaatkan bahan alami yakni kedua bahan alam
tersebut yang sebelumnya hanya merupakan bahan masakan dan pemanfaatan
obat lainnya.
3. Peneliti
Diharapkan agar dengan penelitian ini mampu membuat peneliti mengetahui
bahwa dua tanaman diantaranya seperti daun salam yang hanya sering digunakan
sebagai salah satu bahan masakan dan sambiloto yang belum banyak diketahui
manfaatnya ternyata memiliki senyawa yang dapat digunakan sebagai salah satu
obat antidiabetes yang memiliki efek samping yang rendah atau bahkan tidak
memiliki efek samping.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tanaman Salam (Syzygium polyanthum)


2.1.1 Sejarah dan Definisi
Salam (Syzygium polyanthum (Wight.) Walp.), daunnya digunakan sebagai
rempah dalam masakan. Daun salam ini memberikan aroma yang khas namun
tidak keras. Kayunya berwarna coklat jingga kemerahan dan berkualitas
menengah dan dapat dipergunakan sebagai bahan bangunan dan perabot rumah
tangga. Kulit batang salam mengandung tanin, kerap dimanfaatkan untuk
mewarnai dan mengawetkan jala, bahan anyaman dari bambu dan lain-lain. Pohon
salam tumbuh tersebar di Asia Tenggara, mulai dari Burma, Indochina,
Semenanjung Malaya, Kalimantan dan Jawa. Di samping itu, salam ditanam di
kebun-kebun pekarangan dan lahan-lahan lain, terutama untuk diambil daunnya
(Agoes, 2010).
Salam merupakan tumbuhan tingkat tinggi yang mudah tumbuh pada
daerah tropis. Salam adalah nama tumbuhan yang merupakan penghasil rempah
dan merupakan salah satu tanaman obat di Indonesia (Agoes, 2010).
2.1.2 Klasifikasi

Gambar 2.1 Tanaman Salam (Syzygium polyanthum)

7
Kedudukan tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight.) dalam
sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut
(Tjitrosoepomo, 1988):
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermatophyta
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Sub Kelas : Dialypetalae
Bangsa : Myrtales
Suku : Myrtaceae
Marga : Syzygium
Jenis : Syzygium polyanthum Wight
2.1.3 Morfologi
Tumbuhan salam tumbuh di ketinggian 5 m sampai 1.000 m di atas
permukaan laut. Pohon salam dapat tumbuh di dataran rendah sampai pegunungan
dengan ketinggian 1.800 m (Dalimartha, 2000). Tumbuhan salam termasuk dalam
tumbuhan menahun atau tumbuhan keras karena dapat mencapai umur bertahun-
tahun (Sumono dan Wulan, 2009).
Tumbuhan salam merupakan pohon atau perdu dengan tinggi berkisar
antara 18 m hingga 27 m dan biasanya tumbuh liar di hutan. Arah tumbuh batang
tegak lurus dengan bentuk bulat dan permukaan yang beralur, batangnya berkayu
biasanya keras dan kuat. Cara percabangan batangnya monopodial, batang pokok
selalu tampak jelas, memiliki arah tumbuh cabang yang tegak (Sumono dan
Wulan, 2009).
Bunga tumbuhan salam kebanyakan adalah bunga banci dengan kelopak
dan mahkota masing-masing terdiri atas 4-5 daun kelopak dan jumlah daun
mahkota yang sama, kadang-kadang berlekatan. Bunganya memiliki banyak
benang sari, kadang-kadang berkelopak berhadapan dengan daun-daun mahkota.
Tangkai sari berwarna cerah, yang kadang-kadang menjadi bagian bunga. Bakal
buah tenggelam dan mempunyai 1 tangkai putik, beruang 1 sampai banyak,

8
dengan 1-8 bakal biji dalam tiap ruang. Biji memiliki sedikit atau tanpa
endosperm, lembaga lurus, bengkok atau melingkar (van Steenis, 2003).
Daun salam memiliki bentuk daun yang lonjong sampai elip atau bundar
telur sungsang dengan pangkal lancip, sedangkan ujungnya lancip sampai tumpul
dengan panjang 50 mm sampai 150 mm, lebar 35 mm sampai 65 mm, dan
terdapat 6 sampai 10 urat daun lateral. Panjang tangkai daun 5 mm sampai 12
mm (Dirjen POM, 1980). Daun salam merupakan daun tunggal yang letaknya
berhadapan. Permukaan daunnya licin dan berwarna hijau muda dan jika diremas
berbau harum (Dalimartha, 2000).
Tumbuhan salam memiliki bunga majemuk yang tersusun dalam malai
yang keluar dari ujung ranting, berwarna putih dan baunya harum. Buahnya
termasuk buah buni dengan diameter 8-9 mm. Buah yang masih muda berwarna
hijau dan setelah masak menjadi merah gelap, memiliki rasa agak sepat
(Dalimartha, 2000).
2.1.4 Kandungan
Tanaman salam (Syzygium polyanthum Wight.) mengandung banyak
senyawa. Bagian tanaman salam yang paling banyak dimanfaatkan adalah bagian
daunnya. Kandungan kimia yang terdapat pada daun salam adalah tannin,
flavonoid, minyak atsiri, sitral, eugenol, seskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid,
lakton, saponin, dan karbohidrat. Selain itu daun salam juga mengandung
beberapa vitamin, di antaranya vitamin C, vitamin A, thiamin, riboflavin, niacin,
vitamin B6, vitamin B12, dan folat. Bahkan mineral seperti selenium terdapat di
dalam kandungan daun salam. Uji fitokimia dari daun salam menunjukkan
adanya beberapa senyawa metabolit sekunder yaitu fenolik dan kumarin
(Hariana, 2011).
2.2 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)
2.2.1 Sejarah dan Definisi
Tanaman sambiloto (Andrographis paniculata Nees) merupakan salah satu
tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional. Penggunaan obat tradisional
merupakan warisan turun temurun dari nenek moyang kita dari generasi satu
ke generasi berikutnya. Herba sambiloto merupakan salah satu bahan obat

9
tradisional yang paling banyak dipakai di Indonesia dan telah terkenal sejak
abad 18. Sambiloto banyak dijumpai hampir diseluruh kepulauan nusantara
(Dalimartha, 2009).
2.2.2 Klasifikasi

Gambar 2.2 Tanaman Sambiloto (Andrographis paniculata)

Kedudukan tanaman sambiloto (Andrographis paniculata) dalam


sistematika (taksonomi) tumbuhan diklasifikasikan sebagai berikut (Dalimartha,
2009):
Kerajaan : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
Kelas : Dycotyledoneae
Subkelas : Gamapetalae
Ordo : Personales
Famili : Acanthaceae
Genus : Andrographis
Species : Andrographis paniculata Ness.

10
2.2.3 Morfologi
Sambiloto atau dikenal juga dengan sebutan Kalmegh, Kalafath, Kan-jang,
Alui, Charita, Sambilata, Andrograpidis banyak ditemukan dan dibudidayakan di
daerah tropis dan subtropis Asia, Asia Tenggara dan India. Tanaman sambiloto
memiliki tinggi 40 cm sampai 90 cm, percabangan banyak dengan letak yang
berlawanan, cabang berbentuk segi empat dan tidak berambut. Bentuk daun
lanset, ujung daun dan pangkal daun tajam atau tegak tajam, tepi daun rata,
panjang daun 3 cm sampai 12 cm dan lebar 1 cm sampai 3 cm, panjang tangkai
daun 5 mm sampai 25 mm; daun bagian atas bentuknya seperti daun pelindung.
Perbungaan tegak bercabang-cabang, gagang bunga 3 mm sampai 7 mm, panjang
kelopak bunga 3 mm sampai 4 mm. Bunga bibir bentuk tabung, panjang 6 mm,
bibir bunga bagian atas berwarna putih dengan warna kuning di bagian atasnya,
bibir bunga bawah lebar, berwarna ungu. Bentuk buah jorong dengan ujung yang
tajam, bila tua akan pecah menjadi 4 bagian (DepKes RI, 2000).
2.2.4 Kandungan
Daun tumbuhan sambiloto yang memiliki sifat kimiawi berasa pahit,
dingin, memiliki kandungan kimia sebagai berikut: daun dan percabangannya
mengandung lakton yang terdiri dari deoksiandrografolid, andrografolid (zat
pahit), neoandrografolid, 14-deoksi-11-12-didehidroandrografolid dan
homoandrografolid. Terdapat juga flavonoid, alkane, keton, aldehid, mineral
(kalium, akarnya mengandung flavotioid, dimana hasil isolasi terbanyaknya
adalah polimetoksiflavon, andrografin, panikulin, mono-0-metilwithin dan
apigenin -7,4-dimetileter ( Yuniarti, 2008).
Daun dan batang tumbuhan ini rasanya sangat pahit karena mengandung
senyawa yang disebut andrographolid yang merupakan senyawa keton diterpena.
Kadarnya dalam daun antara 2,5 – 4,8 % dari berat kering. Senyawa ini diduga
merupakan salah satu zat aktif dari daun sambiloto yang juga banyak mengandung
unsur-unsur mineral seperti kalium, natrium dan asam kersik (Wijayakusuma, et
al., 1994).

11
Daun Andrographis paniculata mengandung saponin, flavonoid, dan
tannin juga mengandung zat pahit andrografolida yang merupakan golongan
diterpenoid (Brooke et al., 2003).

HO
O

Me

HO

Me CH 2OH

Gambar 2.3 Struktur Senyawa Andrografolida


2.3 Ekstraksi dan Ekstrak
2.3.1 Definisi
Ekstraksi adalah penyarian zat-zat berkhasiat atau zat-zat aktif dari bagian
tanaman obat, hewan, dan beberapa jenis ikan termasuk biota laut. Zat-zat aktif
terdapat di dalam sel, namun sel tanaman dan hewan berbeda demikian pula
ketebalannya, sehingga diperlukan metode ekstraksi dengan pelarut tertentu dalam
mengekstraksinya. Jenis ekstraksi bahan alam yang sering dilakukan adalah
ekstraksi secara panas dengan cara refuks dan penyulingan uap air dan ekstraksi
secara dingin dengan maserasi, perkolasi, dan alat soxhlet (Dirjen POM, 1986).
Ekstrak adalah sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat
aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian hingga memenuhi bahan baku yang
telah ditetapkan. Ekstrak biasa potensinya 2 sampai 6 kali dari berat bahan mentah
obat yang dipakai sebagai bahan pada permulaan pembuatannya. Kandungannya
terutama dari bahan mentah obat, dengan bagian terbesar adalah zat yang tidak
aktif dan komponen yang menyusun bahan mentah obat dihilangkan. Fungsinya

12
untuk menyediakan sejumlah kecil dan dalam kesesuaian bagi bentuk fisik yang
mantap, aktivitas obat dan sifat dari bahan baku tumbuh-tumbuhan yang
ditunjukkan oleh ekstrak. Demikian ekstrak berguna dalam campuran resep atau
pembuatan produk (Dirjen POM, 1995; Ansel, 2008).
Tujuan ekstraksi bahan alam adalah untuk menarik komponen kimia yang
terdapat pada bahan alam. Ekstraksi ini didasarkan pada prinsip perpindahan
massa komponen zat ke dalam pelarut, dimana perpindahan mulai terjadi pada
lapisan antar muka kemudian berdifusi masuk ke dalam pelarut (Harbone, 1987).
Pada saat melakukan ekstraksi, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan
yaitu (Dirjen POM, 1995):
1. Jumlah simplisia yang akan diekstraksi
2. Derajat kehalusan simplisia
3. Jenis pelarut yang dipakai
4. Suhu ekstraksi
5. Lama waktu ekstraksi
2.3.2 Prinsip Kerja
Prinsip kerja ekstraksi terdiri atas 2 fase yakni Fase pembilasan: pada saat
cairan ekstraksi kontak dengan material simplisia maka sel-sel yang rusak atau
tidak utuh lagi akibat operasi penghalusan langsung bersentuhan dengan bahan
pelarut. Dengan demikian komponen sel yang terdapat di dalamnya lebih mudah
diambil atau dibilas. Oleh karena itu, dalam fase pertama ekstraksi ini, sebagian
bahan aktif telah berpindah ke dalam pelarut. Semakin halus serbuk simplisia,
akan semakin optimal pembilasannya (Voight, 2010).
Fase ekstraksi: yang lebih kompleks adalah proses selanjutnya, oleh
karena bahan pelarut untuk melarutkan komponen dalam sel yang tidak terluka
harus mampu mendesak lebih dulu ke dalamnya. Membran sel yang mengering,
mengkerut di dalam simplisia mula-mula harus diubah kondisinya sehingga
memungkinkan bahan pelarut masuk ke bagian dalam sel. Hal itu terjadi melalui
pembengkakkan, dimana membran mengalami pembesaran volume akibat
masuknya sejumlah molekul bahan pelarut. Kemampuan zat perancah selulosa
untuk mengikat molekul cairan, menyebabkan longgarnya struktur perancah

13
tersebut sehingga terbentuk ruang antar miselar, yang memungkinkan bahan
ekstraksi masuk ke ruang dalam sel. Proses pembengkakkan ini dalam skala tinggi
dapat disebabkan oleh air. Campuran alkohol-air, yang banyak digunakan untuk
membuat sediaan farmasetika, terbukti pula dapat menyebabkan hal serupa
(Voight, 2010).
2.3.3 Jenis-jenis Ekstraksi
Proses ekstraksi membutuhkan pelarut yang sesuai dan cara yang tepat,
dengan jenis ekstraksi terbagi atas dua yakni (Voight, 2010):
1. Cara Dingin
a) Maserasi
Maserasi merupakan suatu prosedur atau proses ekstraksi simplisia dengan
cara menggunakan pelarut dengan melakukan pengocokan atau pengadukan
beberapa kali pada suhu kamar.
b) Perkolasi
Perkolasi merupakan suatu prosedur atau proses ekstraksi simplisia dengan
menggunakan pelarut yang selalu baru dan ini dilakukan sampai terjadi
ekstraksi yang sempurna serta umumnya perkolasi dilakukan pada suhu
kamar. Perkolasi terdiri dari beberapa tahapan, yaitu tahapan pengembangan
bahan, tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi sebenarnya.
2. Cara Panas
a) Refluks
Refluks merupakan suatu prosedur atau proses ekstraksi dengan
menggunakan pelarut yang berada pada suhu titik didihnya, jumlah pelarut
terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik, dan refluks ini
sendiri dilakukan dalam jangka waktu tertentu.
b) Soxhlet
Soxhlet merupakan suatu prosedur atau proses ekstraksi dengan
menggunakan suatu alat khusus dan juga menggunakan pelarut yang selalu
baru sehingga akan terjadi ekstraksi yang terus-menerus serta jumlah pelarut
yang digunakan relatif konstan dengan adanya pendingin balik.

14
c) Digesti
Digesti merupakan suatu proses maserasi kinetik atau suatu proses atau
prosedur pengadukan yang terus-menerus pada suhu yang lebih tinggi dari
suhu kamar, yaitu suhunya secara umum berkisar pada suhu antara 40-500C.
d) Infus
Infus merupakan suatu proses atau prosedur ektraksi dengan menggunakan
pelarut air pada suhu penangas air dimana bejana infus yang digunakan
tercelup dalam penangas air yang mendidih dengan suhu antara 96-980C
dalam waktu tertentu antara 15-20 menit.
e) Dekok
Dekok merupakan suatu proses atau prosedur infus yang dilakukan dalam
jangka waktu yang lebih lama (≥300C) dan pada suhu titik didih air.
2.3.4 Maserasi
Istilah maceration berasal dari bahasa latin macerare, yang artinya
“merendam”. Merupakan proses paling tepat di mana obat yang sudah halus
memungkinkan untuk direndam dalam menstrum sampai meresap dan
melunakkan susunan sel, sehingga zat-zat yang mudah larut akan melarut. Dalam
proses maserasi, obat yang akan diekstraksi biasanya ditempatkan pada wadah
atau bejana yang bermulut lebar, bersama menstrum yang telah ditetapkan, bejana
ditutup rapat, dan isinya dikocok berulang-ulang lamanya biasanya berkisar dari
2-14 hari. Pengocokan memungkinkan pelarut segar mengalir berulang-ulang
masuk ke seluruh permukaan dari obat yang sudah halus (Ansel, 1989).
Waktu lamanya maserasi berbeda-beda, masing-masing farmakope
mencantumkan 4-10 hari. Setelah selesai waktu maserasi, artinya keseimbangan
antara bahan yang diekstraksi pada bagian dalam sel dengan yang masuk kedalam
cairan, telah tercapai maka proses difusi segera berakhir. Persyaratannya adalah
bahwa rendaman tadi harus dikocok berulang-ulang (kira-kira 3 kali sehari).
Melalui upaya ini dapat dijamin keseimbangan konsentrasi bahan ekstraktif yang
lebih cepat didalam cairan. Keadaan diam selama maserasi menyebabkan
turunnya perpindahan bahan aktif. Secara teoritis pada suatu maserasi tidak
memungkinkan terjadinya ekstraksi absolut. Semakin besar perbandingan

15
simplisia terhadap cairan pengekstraksi, akan semakin banyak hasil yang
diperoleh. Setelah maserasi, rendaman diperas (kain pemeras) dan sisanya juga
diperas lagi. Untuk ini digunakan apa yang dinamakan pemeras tinktur (pemeras
kincir) atau pemeras hidraulik. Cairan maserasi dan cairan yang diperoleh melalui
perasan disatukan, selanjutnya diatur sampai mencapai kadar dan jumlah yang
diinginkan dengan cairan hasil pencucian sisa perasan menggunakan bahan
pengekstraksi. Proses pencucian tersebut dilakukan untuk memperoleh sisa
kandungan akibat penguapan yang terjadi pada saat penyarian dan pengepresan.
Hasil ekstraksi disimpan dalam kondisi dingin selama beberapa hari, lalu
cairannya dituang dan disaring (Voigt, 1984).
Menurut (Istiqomah, 2013), metode ekstraksi secara maserasi memiliki
keuntungan yaitu peralatan dam teknik/prosedur yang sederhana, dimana dalam
maserasi tidak melibatkan adanya pemanasan, sehingga bahan alam yang
diekstraksi, senyawanya tidak akan mudah terurai. Selain itu, jika menggunakan
ekstraksi dingin, maka dapat memungkinkan banyaknya senyawa yang akan
diperoleh.
2.3.5 Cairan Penyari
Menurut (Kemenkes RI, 2000), pemilihan cairan penyari untuk ekstraksi,
haruslah mempertimbangkan berbagai faktor. Dimana cairan penyari yang
digunakan, memiliki kriteria seperti selektivitas, proses dengan cairan tersebut,
kemudahan bekerja, ramah lingkungan, ekonomis, serta keamanan dalam
penggunaan.
Menurut (Kemenkes RI, 1986), penggunaan etanol digunakan sebagai
cairan penyari dikarenakan etanol lebih selektif, sulit ditumbuhi oleh kuman dan
kapang. Selain itu, tidak beracun, memiliki absorpsi baik, netral, serta dapat
bercampur dengan air pada berbagai perbandingan. Dimana perbandingan jumlah
air dan etanol tergantung pada bahan yang akan disari. Jika dikaitkan dengan
senyawa yang akan disari, penggunaan etanol dapat melarutkan alkaloid basa,
tannin, glikosida, peroksidase, vitamin A dan B.

16
2.4 Glukosa dan Insulin
2.4.1 Glukosa
Gula merupakan bahan bakar utama untuk pembentukan energi di dalam
tubuh. Di dalam sel, gula akan diolah menjadi energi atau tenaga untuk kebutuhan
mendadak, juga sebagian akan disimpan agar dapat dipakai pada suatu waktu
nanti. Jadi, tubuh bergantung pada makanan untuk memenuhi kebutuhan energi,
yaitu untuk segala aktivitas mulai dari memompakan darah ke seluruh tubuh,
berbicara hingga berpikir (Kariadi, 2009).

Gambar 2.4 Rumus Struktur Glukosa

Kadar gula darah meningkat seiring dengan pencernaan dan penyerapan


glukosa dari makanan. Pada individu normal, kadar tersebut tidak melebihi sekitar
140 mg/dL karena jaringan akan menyerap glukosa dari darah, menyimpannya
untuk digunakan kemudian atau mengoksidasinya untuk menghasilkan energi.
Setelah makanan dicerna dan diserap, kadar gula darah menurun karena sel
memetabolis glukosa (Marks dkk, 2000).
Makanan yang dimakan akan dicerna di dalam saluran cerna (usus) dan
kemudian akan diubah menjadi suatu bentuk gula yang disebut glukosa.
Selanjutnya gula ini diserap oleh dinding usus dan kemudian beredar di dalam
aliran darah. Di dalam tubuh selain akan berperan sebagai bahan bakar bagi proses
metabolisme, glukosa juga akan berperan sebagai sumber energi utama bagi kerja
otak. Selain itu, glukosa juga akan tersimpan dalam bentuk glikogen di dalam otot
dan hati namun juga dapat tersimpan pada plasma darah dalam bentuk glukosa

17
darah (blood glucose). Untuk mencapai keadaan ini, glukosa membutuhkan
insulin (Kariadi, 2009; Irawan, 2007).
Kadar glukosa darah dipengaruhi oleh hormon insulin. Insulin mengangkut
glukosa dari darah ke dalam sel tubuh agar sel dapat menggunakan glukosa
sebagai energi atau makanannya. Tanpa adanya insulin, sel-sel tubuh tidak bisa
memanfaatkan glukosa yang ada dalam darah (Triana, 2014).
2.4.2 Insulin
Insulin adalah suatu hormon polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
yang tersusun dalam 2 rantai, rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B
mempunyai 30 asam amino (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
Insulin diproduksi oleh sel beta (sel-β) di pankreas, suatu organ kecil yang terletak
di sebelah belakang lambung. Makin tinggi gula di dalam darah, makin tinggi pula
insulin yang akan diproduksi. Selanjutnya, insulin akan ikut aliran darah menuju
sel-sel (Kariadi, 2009).
Insulin merupakan hormon pada tubuh manusia yang diproduksi oleh
pankreas ketika kita mencerna makanan dan pada saat glukosa dalam darah
meningkat. Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki fungsi
utama yakni untuk menghasilkan enzim pencernaan serta beberapa hormon
penting seperti insulin (Triana, 2014).
Kelenjar pankreas terletak pada bagian belakang lambung dan
berhubungan erat dengan duodenum (usu dua belas jari). Di dalamnya terdapat
kumpulan sel yang terbentuk seperti pulau pada peta, karena itu seringkali disebut
pulau langerhans. Setiap pulau berisikan sel beta yang berfungsi mengeluarkan
hormon insulin. Dimana hormon insulin memegang peran penting dalam
mengatur kadar glukosa darah. Di samping sel beta ada juga sel alfa yang
memproduksi glukagon yang bekerja sebaiknya dari insulin yaitu meningkatkan
kadar glukosa darah (Triana, 2014).
Pada orang normal, pankreas mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan jumlah insulin yang dihasilkan, tetapi pada penderita diabetes
fungsi pengaturan ini berkurang atau bahkan hilang sama sekali. Bila insulin tidak
bekerja sebagaimana mestinya, kadar glukosa darah akan meningkat yang

18
akhirnya bisa lolos dari proses di ginjal sehingga ikut terbawa dalam urin. Hal ini
dapar mengakibatkan munculnya gejala diabetes seperti sering buang air kecil dan
penurunan berat badan karena tubuh tidak dapat menggunakan energi dari
makanan (Triana, 2014).
2.5 Diabetes Melitus
2.5.1 Sejarah
Penyakit kencing manis telah dikenal sejak lama. Catatan mengenai DM
sudah ditemukan pada Papyrus Ebers kurang lebih 500 SM. Papyrus Ebers
adalah kumpulan catatan arkeologis bangsa Mesir kuno tahun 1550 SM yang
ditemukan di Thebes terletak pada tepi sungai Nil. Catatan ini terdiri dari 876
preskripsi medis 500 jenis substansi obat. Dalam papirus tersebut, DM
digambarkan sebagai pe nyakit yang gejalanya adalah kencing manis (Tapan,
2005).
2.5.2 Definisi
Istilah diabetes melitus diperoleh dari bahasa latin yang berasal dari kata
Yunani, yaitu diabetes yang berarti pancuran dan melitus yang berarti madu. Jika
diterjemahkan, diabetes melitus adalah pancuran madu. Istilah pancuran madu
berkaitan dengan kondisi penderita yang mengeluarkan sejumlah besar urin
dengan kadar gula yang tinggi. Selanjutnya, di Indonesia dikenal dengan nama
penyakit kencing gula/ kencing manis karena urin (kencing) penderita sering
dikerumuni semut karena tingginya kadar gula dalam urin (Wijayakusuma, 2004).
Menurut American Diabetes Assosciation (ADA) 2005, diabetes melitus
atau kencing manis merupakan suatu kelompok penyakit metabolik yang ditandai
dengan karakteristik hiperglikemia, dimana terjadi karena adanya kelainan sekresi
insulin, atau kerja dari insulin. Selain itu, menurut WHO (1980) diabetes melitus
adalah kumpulan problema anatomik dan kimiawi yang diakibatkan oleh sejumlah
faktor baik defisiensi insulin absolut atau relatif serta adanya gangguan pada
fungsi insulin dalam tubuh (PERKENI, 2006 dalam Toluhula, 2015).
Dilihat dari segi ilmiah, diabetes melitus (DM) adalah suatu sindroma
klinik yang ditandai oleh poliuri, polidipsi dan polifagi, disertai peningkatan kadar
gula darah atau hiperglikemia, gejala klasik DM+ kadar gula darah sewaktu >200

19
mg/dL, gejala klasik DM+ kadar gula darah puasa >126 mg/dL, atau kadar gula
darah 2 jam pada TTGO >200 mg/dL (Purnamasari dan Poerwanto, 2011).
2.5.3 Tipe-tipe
Dokumen consensus tahun 1997 oleh American Diabetes Association’s
Expert Committe on The Diagnosis and Classification of Diabetes Melitus
menjabarkan empat kategori utama diabetes: tipe 1, dengan karakteristik
ketiadaan insulin absolut; tipe 2, ditandai dengan resistensi insulin disertai defek
sekresi insulin; tipe 3, spesifik lainnya; tipe 4 akan dibahas selanjutnya. Tipe
spesifik diabetes lainnya (tipe 3) termasuk yang disebabkan trauma pankreatik,
neoplasma, atau penyakit dengan karakteristik gangguan endokrin, sebagai
contoh, penyakit cushing (Corwin, 2009).
1. Diabetes Tipe 1
Diabetes melitus tipe 1 adalah penyakit hiperglikemia akibat ketiadaan
absolut insulin. Sebelumnya tipe diabetes ini disebut sebagai diabetes melitus
dependen insulin (IDDM), karena individu pengidap penyakit ini harus mendapat
insulin pengganti. Diabetes tipe 1 biasanya dijumpai pada individu yang tidak
gemuk berusia kurang dari 30 tahun, dengan perbandingan laki-laki sedikit lebih
banyak dari pada wanita. Karena insiden diabetes tipe 1 memuncak pada usia
remaja dini, pada masa dahulu bentuk ini disebut sebagai diabetes juvenilis. Akan
tetapi, diabetes tipe 1 dapat timbul pada semua kelompok usia. Diabetes tipe 1
diperkirakan terjadi akibat destruksi otoimun sel-sel beta langerhans. Individu
yang memiliki kecenderungan genetik, penyakit ini nampaknya menerima faktor
pemicu dari lingkungan yang menginisiasi proses otoimun (Corwin, 2009).
Pada saat diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, biasanya pankreas tidak
atau sedikit mengeluarkan insulin, dan lebih dari 80% sel beta pankreas telah
dihancurkan. Kadar glukosa darah meningkat karena tanpa insulin glukosa tidak
dapat masuk ke sel. Pada saat yang sama, hati mulai melakukan glukoneogenesis
(sintesis glukosa baru) menggunakan substrat yang tersedia berupa asam amino,
asam lemak, dan glikogen. Substrat-substrat ini mempunyai konsentrasi yang
tinggi dalam sirkulasi karena efek katabolik glukagon tidak dilawan oleh insulin.
Hal ini menyebabkan sel-sel mengalami kelaparan walaupun kadar glukosa darah

20
sangat tinggi. Hanya sel otak dan sel darah merah yang tidak kekurangan glukosa
karena keduanya tidak memerlukan insulin untuk memasukkan glukosa (Corwin,
2009).
2. Diabetes Tipe 2
Hiperglikemia yang disebabkan insensitivitas seluler terhadap insulin
disebut diabetes melitus tipe 2. Selain itu, terjadi defek sekresi insulin
ketidakmampuan pankreas untuk menghasilkan insulin yang cukup untuk
mempertahankan glukosa plasma yang normal. Meskipun kadar insulin mungkin
sedikit menurun atau berada dalam rentang normal, jumlah insulin tetap rendah
sehingga kadar glukosa plasma meningkat. Karena insulin tetap dihasilkan oleh
sel-sel beta pankreas, diabetes melitus tipe 2 yang sebelumnya disebut diabetes
melitus tidak tergantung insulin atau NIDDM (noninsulin dependent diabetes
melitus), sebenarnya kurang tepat karena banyak individu yang mengidap diabetes
tipe 2 dapat ditangani dengan insulin. Pada diabetes melitus tipe 2, lebih banyak
wanita yang mengidap penyakit ini dibandingkan pria. Predisposisi genetik yang
kuat dan faktor lingkungan yang nyata dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2
(Corwin, 2009).
Individu yang mengidap diabetes tipe 2 tetap menghasilkan insulin. Akan
tetapi, sering terjadi keterlambatan awal dalam sekresi dan penurun jumlah total
insulin yang dilepaskan. Hal ini cenderung semakin parah seiring dengan
pertambahan usia pasien. Selain itu, sel-sel tubuh terutama sel otot dan adiposa
memperlihatkan resistensi terhadap insulin yang bersirkulasi dalam darah.
Akibatnya, pembawa glukosa (transporter glukosa glut-4) yang ada di sel tidak
dapat digunakan untuk sel. Karena sel kekurangan glukosa, hati memulai proses
glukoneogenesis yang selanjutnya makin meningkatkan kadar glukosa darah serta
menstimulasi penguraian simpanan trigliserida, protein, dan glikogen untuk
menghasilkan sumber bahan alternatif, sehingga meningkatkan zat-zat ini di
dalam darah. Hanya sel-sel otak dan sel darah merah yang terus menggunakan
glukosa sebagai sumber energi yang efektif. Karena masih terdapat insulin,
individu dengan diabetes tipe 2 jarang hanya mengandalkan asam lemak untuk
menghasilkan energi dan tidak rentan terhadap ketosis (Corwin, 2009).

21
3. Diabetes Gestasional
Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada wanita hamil yang
sebelumnya tidak mengidap diabetes. Meskipun diabetes tipe ini sering membaik
setelah persalinan, sekitar 50% wanita pengidap kelainan ini tidak akan kembali
ke status nondiabetes setelah kehamilan berakhir. Bahkan, jika membaik setelah
persalinan, risiko untuk mengalami diabetes tipe II setelah sekitar 5 tahun pada
waktu mendatang lebih besar dari pada normal (Corwin, 2009).
2.5.4 Etiologi
Pada pasien-pasien dengan diabetes melitus tipe II, penyakitnya
mempunyai pola familial yang kuat. Indeks untuk diabetes melitus tipe II pada
kembar monozigot hampir 100%. Resiko berkembangnya DM tipe II pada saudara
kandung mendekati 40% dan 33% untuk anak cucunya. Transmisi genetik adalah
paling kuat dan contoh terbaik terdapat dalam diabetes awitan dewasa muda
(MODY), yaitu subtipe penyakit diabetes yang diturunkan dengan pola autosomal
dominan. Jika orang tua menderita diabetes tipe II, rasio diabetes dan nondiabetes
pada anak adalah 1:1, dan sekitar 90% pasti membawa (carrier) diabetes tipe II
(Schteingart, 2006).
2.5.5 Epidemiologi
Menurut IDF, Indonesia menempati peringkat 10 negara yang memiliki
penderita diabetes terbanyak, yaitu 7,3 juta penderita dan diperkirakan di tahun
2030 naik satu peringkat melejit menjadi 11,8 juta penderita. Jumlah ini masih
diluar dari penderita DM tipe 2 yang tidak terdiagnosis karena ada beberapa gejala
tidak terdeteksi pada fase awal penyakit. Di Indonesia saat ini penyakit DM belum
menempati skala prioritas utama pelayanan kesehatan walaupun sudah jelas
dampak negatifnya, yaitu berupa penurunan kualitas SDM, terutama akibat
penyakit menahun yang ditimbulkannya (Sicree dkk., 2012).
Dari berbagai penelitian epidemiologis di Indonesia didapatkan prevalensi
DM sebesar 1,5 – 2,3 % pada penduduk usia lebih dari 15 tahun, bahkan pada
suatu penelitian epidemiologis di Manado didapatkan prevalensi DM 6,1 %.
Penelitian yang dilakukan di Jakarta, Surabaya, Makasar dan kota-kota lain di
Indonesia membuktikan adanya kenaikan prevalensi dari tahun ketahun.

22
Berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun 2020 nanti
akan ada sejumlah 178 juta penduduk berusia diatas 20 tahun dan dengan asumsi
prevalensi DM sebesar 4 % akan didapatkan 7 juta pasien DM, suatu jumlah yang
sangat besar untuk dapat ditangani oleh dokter spesialis/ subspesialis/
endokrinologis (Selamet dkk., 2007).
2.5.6 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis DM dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi
insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan
kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa setelah makan
karbohidrat. Jika hiperglikeminya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini,
maka timbulnya glikosuria. Glikosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic
yang meningkatkan pengeluaran urin (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia).
Karena glukosa hilang bersama urin, maka pasien mengalami keseimbangan
kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar (polifagia) mungkin akan
timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk
(Schteingart, 2006).
Pada pasien DM tipe II mungkin sama sekali tidak memperlihatkan gejala
apapun, dan diagnosis dibuat berdasarkan pemeriksaan darah di laboratorium dan
melakukan tes toleransi glukosa. Pada hiperglikemia yang lebih berat, pasien
tersebut mungkin menderita polidipsia, poliuria, lemah dan somnolen. Biasanya
mereka tidak mengalami ketoasidosis karena pasien ini tidak defisiensi insulin
secara absolut namun hanya relatif. Sejumlah insulin tetap disekresi dan masih
cukup untuk menghambat ketoasidosis. Kalau hiperglikemia berat dan pasien
tidak berespons terhadap terapi diet, atau terhadap obat-obat hipoglikemi oral
mungkin diperlukan terapi insulin untuk menormalkan kadar glukosanya. Pasien
ini biasanya memperlihatkan kehilangan sensitivitas perifer terhadap insulin.
Kadar insulin pasien sendiri mungkin berkurang, normal atau malahan tinggi,
tetapi tidak memadai untuk mempertahankan kadar glukosa normal. Penderita
juga resisten terhadap insulin eksogen (Schteingart, 2006).

23
2.5.7 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Peningkatan jumlah kasus DM terjadi karena kurangnya tenaga kesehatan,
kurangnya obat-obatan dan kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetes
mellitus dan cara penggunaan obat. Faktor –faktor diabetes mellitus:
1. Umur
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi diabetes melitus
maupun Gangguan Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan
pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya menurun. Dari data WHO
didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik
1-2 mg% /tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg% /tahun pada 2
jam setelah makan. Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami
kemunduran fisik dan mental yang menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu,
kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang memerlukan perhatian antara
lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun mikrovaskular dari
DM dan adanya sindrom geriatri (Indra, 2010).
2. Faktor keturunan
Diabetes Melitus Tipe 2 berasal dari interaksi genetik dan berbagai faktor
mental. Penyakit ini sudah lama dianggap berhubungan dengan agregasi
familial.18 Penelitian di Jepang yang melibatkan 359 penderita DM tipe 2 dari
159 keluarga, mendukung bahwa penyakit ini berhubungan dengan kromosom 3q,
15q, dan 20q, serta mengidentifikasi 2 loci potensial, yaitu 7p dan 11p yang
mungkin merupakan risiko genetik bagi DM tipe 2 pada masyarakat jepang.
Dalam penelitian ini, orang yang memiliki riwayat keluarga menderita DM lebih
berisiko daripada orang yang tidak memiliki riwayat keluarga menderita DM. Hal
ini selaras dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan terjadinya
DM tipe 2 akan meningkat dua sampai enam kali lipat jika orang tua atau saudara
kandung mengalami penyakit ini (Radio, 2011).
3. Obesitas
Berdasarkan beberapa teori menyebutkan bahwa obesitas merupakan
faktor predisposisi terjadinya resistensi insulin. Semakin banyak jaringan lemak
pada tubuh, maka tubuh semakin resisten terhadap kerja insulin, terutama bila

24
lemak tubuh atau kelebihan berat badan terkumpul didaerah sentral atau perut
(central obesity). Lemak dapat memblokir kerja insulin sehingga glukosa tidak
dapat diangkut kedalam sel dan menumpuk dalam pembuluh darah, sehingga
terjadi peningkatan kadar glukosa darah. Obesitas merupakan faktor risiko
terjadinya diabetes mellitus tipe 2 dimana sekitar 80- 90% penderita mengalami
obesitas (Radio, 2011).
4. Jenis kelamin
Berdasarkan analisis antara jenis kelamin dengan kejadian DM Tipe 2,
prevalensi kejadian DM Tipe 2 pada wanita lebih tinggi daripada laki-laki.Wanita
lebih berisiko mengidap diabetes karena secara fisik wanita memiliki peluang
peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar. Sindroma siklus bulanan
(premenstrual syndrome), pasca-menopouse yang membuat distribusi lemak
tubuh menjadi mudah terakumulasi akibat proses hormonal tersebut sehingga
wanita berisiko menderita diabetes mellitus tipe 2 (Irawan, 2010)
5. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik dapat mengontrol gula darah. Glukosa akan diubah menjadi
energi pada saat beraktivitas fisik. Aktivitas fisik mengakibatkan insulin semakin
meningkat sehingga kadar gula dalam darah akan berkurang. Pada orang yang
jarang berolahraga, zat makanan yang masuk ke dalam tubuh tidak dibakar tetapi
ditimbun dalam tubuh sebagai lemak dan gula. Jika insulin tidak mencukupi untuk
mengubah glukosa menjadi energi maka akan timbul DM (Kemenkes, 2010).
Orang yang aktivitas fisik sehari-harinya berat memiliki risiko lebih rendah untuk
menderita DM Tipe 2 dibandingkan dengan orang yang aktifitas fisik sehari-
harinya ringan.
6. Stres
Berdasarkan analisis hubungan antara stres dengan kejadian DM Tipe 2
didapatkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara stres dengan kejadian DM
Tipe 2. Adanya peningkatan risiko diabetes pada kondisi stres disebabkan oleh
produksi hormone kortisol secara berlebihan saat seseorang mengalami stres.
Produksi kortisol yang berlebih ini akan mengakibatkan sulit tidur, depresi,
tekanan darah merosot, yang kemudian akan membuat individu tersebut menjadi

25
lemas, dan nafsu makan berlebih. Oleh karena itu, ahli nutrisi biologis Shawn
Talbott menjelaskan bahwa pada umumnya orang yang mengalami stres panjang
juga akan mempunyai kecenderungan berat badan yang berlebih, yang merupakan
salah satu faktor risiko diabetes melitus (Shara dkk, 2012).
7. Pengetahuan
Tingkat pendidikan memiliki pengaruh terhadap kejadian penyakit
Diabetes Melitus Tipe 2. Orang yang tingkat pendidikannya tinggi biasanya akan
memiliki banyak pengetahuan tentang kesehatan. Dengan adanya pengetahuan
tersebut oarang akan memiliki kesadaran dalam menjaga kesehatannya (Irawan,
2010). penelitian Kasmiyetti, dkk (2002) dimana jumlah penderita diabetes yang
berpengetahuan rendah/kurang lebih banyak daripada yang berpengetahuan
tinggi/baik. Pengetahuan pasien tentang penyakit diabetes melitus akan
mempengaruhi terbentuknya perilaku seseorang. Pengetahuan yang baik
mendukung pasien dalam melakukan kontrol gula darah dengan patuh
2.5.8 Pencegahan
Faktor yang berpengaruh pada terjadinya diabetes adalah faktor keturunan,
faktor kegiatan jasmani yang kurang, faktor kegemukan, faktor nutrisi berlebih,
dan faktor lain kurangnya pengetahuan tentang penyakit diabetes mellitus. Faktor
keturunan jelas berpengaruh pada terjadinya diabetes mellitus. Keturunan orang
yang mengidap diabetes (apalagi kalau kedua orangtuanya mengidap diabetes,
jelas lebih besar kemungkinannya untuk mengidap diabetes daripada orang
normal). Demikian pula saudara kembar identik pengidap diabetes hampir 100%
dapat dipastikan akan juga mengidap diabetes pada nantinya (Sidartawan, 2001).
Faktor keturunan merupakan faktor yang tidak dapat diubah, tetapi faktor
lingkungan (kegemukan, kegiatan jasmani kurang, nutrisi berlebih) dan juga
kurangnya pengetahuan dikalangan masyarakat tentang penyakit diabetes mellitus
merupakan faktor yang dapat diubah dan diperbaiki. Usaha pencegahan ini
dilakukan menyeluruh pada masyarakat tapi diutamakan dan ditekankan untuk
dilaksanakan dengan baik pada mereka yang beresiko tinggi untuk kemudian
mengidap diabetes. Orang-orang yang mempunyai resiko tinggi untuk mengidap
diabetes adalah orang-orang yang pernah terganggu toleransi glukosanya, yang

26
mengalami perubahan perilaku/gaya hidup ke arah kegiatan jasmani yang kurang,
yang juga mengidap penyakit yang sering timbul bersamaan dengan diabetes,
seperti tekanan darah tinggi dan kegemukan. Tindakan yang dilakukan untuk
pencegahan primer meliputi penyuluhan mengenai perlunya pengaturan gaya
hidup sehat sedini mungkin dengan cara memberikan pedoman:
1. Mempertahankan perilaku makan sehari-hari yang sehat dan seimbang
dengan meningkatkan konsumsi sayuran dan buah, membatasi makanan
tinggi lemak dan karbohidrat sederhana.
2. Mempertahankan berat badan normal sesuai dengan umur dan tinggi
badan.
3. Melakukan kegiatan jasmani yang cukup sesuai dengan umur dan
kemampuan (Hasna, 2009).
Upaya pencegahan selanjutnya dimulai dengan mendeteksi dini pengidap
diabetes. Karena itu dianjurkan untuk pada setiap kesempatan, terutama untuk
mereka yang beresiko tinggi agar dilakukan pemeriksaan penyaringan glukosa
darah. Dengan demikian, mereka yang memiliki resiko tinggi diabetes dapat
terjaring untuk diperiksa dan kemudian yang dicurigai diabetes akan dapat
ditindaklanjuti, sampai diyakinkan benar mereka mengidap diabetes. Bagi mereka
dapat ditegakkan diagnosis dini diabetes kemudian dapat dikelola dengan baik,
guna mencegah penyakit lebih lanjut (Sidartawan, 2001).
2.5.9 Terapi Pengobatan
2.5.9.1 Tujuan Terapi
Terapi diabetes melitus pada prinsipnya bertujuan sebagai berikut (Haeria,
2009; Lanywaty, 2001; Wijayakusuma, 2009):
1. Menjaga agar kadar glukosa plasma dalam keadaan kisaran normal.
Menurut (PERKENI, 2006 dalam Toluhula, 2015), kadar gula darah puasa
yang berkisar 110-125 mg/dL dinyatakan normal.
2. Mencegah atau meminimalkan kemungkinan terjadinya komplikasi
diabetes seperti resiko serangan jantung, stroke, gagal ginjal, serta
komplikasi lain. Selain itu, efek jangka panjangnya adalah terjadinya

27
kerusakan retina yang mengakibatkan gangguan penglihatan bahkan
kebutaan.
3. Mendidik penderita dalam pengetahuan dan motivasi agar dapat merawat
sendiri penyakitnya.
2.5.9.2 Terapi Non Farmakologi
1. Diet Diabetes Melitus
Sejak dulu, diet diabetes melitus adalah berupa pantangan atau larangan
keras untuk mengkonsumsi gula dan karbohidrat lainnya, misalnya nasi dan roti,
tetapi tanpa adanya pembatasan jumlah konsumsi protein dan lemak. Berdasarkan
para ahli kedokteran, diet semacam itu akhirnya diubah dengan diet baru yang
berprinsip pada pembatasan kalori total. Dengan demikian, makanan yang
dikonsumsi boleh mengandung relatif banyak karbohidrat dan serat-serat gizi,
dengan jumlah protein normal dan relatif sedikit lemak.
Tujuan utama dari diet adalah mengendalikan kadar gula darah agar tetap
berada diantara nilai-nilai normal, yaitu terletak antara nilai 60 mg% - 130 mg%.
Oleh karena itu, pemasukan karbohidrat dan produksi insulin dari pankreas harus
diselaraskan dengan baik, sehingga pola kadar gula dan insulin dapat mendekati
keadaan faali orang normal/sehat. Pada orang sehat (tidak menderita diabetes
melitus), kadar gula darah sesudah makan akan naik banyak, namun 2 jam
sesudah makan, kadar gula dalam darah akan turun lagi hingga mencapai nilai
semula. Kadar gula darah orang normal/ sehat akan berfluktuasi antara 60 mg% -
160 mg% (Lanywaty, 2001).

a : makan pagi
b : makan siang
c : jajan
d : makan malam

Gambar 2.5 Fluktuasi kadar gula (glukosa) darah dan insulin darah
sepanjang hari, pada orang sehat

28
Selain itu, untuk melaksanakan program diet untuk membatasi terjadinya
resiko diabetes perlunya memahami indeks glikemik di setiap makanan yang
dikonsumsi. Pada tahun 1981, Jenkins memperkenalkan konsep indeks glikemik
(IG) yang mengelompokkan karbohidrat berdasarkan efeknya terhadap glukosa
darah setelah pangan di konsumsi. Indeks glikemik pangan adalah nilai yang
menunjukkan bagaimana efek makanan (khususnya karbohidrat) terhadap glukosa
darah setelah makan (Widowati, 2006).
Jika indeks glikemik glukosa 100, maka indeks glikemik rendah adalah
<55, indeks glikemik sedang adalah 55-70 dan indeks glikemik tinggi adalah >70
(Rimbawan dan Siagian, 2004 dalam Daud 2014). Berdasarkan hasil penelitian
(Harini dkk, 2013) diketahui bahwa nilai indeks glikemik pada nasi dari beras
hitam adalah 19,04 (rendah), nasi dari beras merah adalah 43,30 (rendah), nasi
dari beras putih adalah 97,58 (tinggi), dari hasil tersebut diketahui terdapat
perbedaan nilai indeks glikemik pada nasi dari beras hitam, nasi dari beras merah,
dan nasi dari beras putih. Hal ini yang menjadi tolak ukur masyarakat Indonesia
yang umumnya mengkonsumsi nasi dari beras putih yang merupakan salah satu
faktor yang memacu adanya peningkatan kadar gula darah dalam tubuh menjadi
meningkat dan kurang stabil serta dipicu oleh berbagai macam makanan tambahan
lainnya.
2. Olah Raga
Berolah raga secara teratur dapat menurunkan dan menjaga kadar gula
darah tetap normal. Olah raga yang disarankan adalah yang bersifat CRIPE
(continuous, rhythmical, interval, progressive, endurance training). Olah raga
yang dilakukan sedapat mungkin mencapai zona sasaran 75% - 85% denyut nadi
maksimal. Olah raga akan memperbanyak jumlah dan meningkatkan aktivitas
reseptor insulin dalam tubuh dan juga meningkatkan penggunaan glukosa (Haeria,
2009).
2.5.9.3 Terapi Farmakologi
1. Insulin
Insulin merupakan hormon polipeptida yang terdiri dari 51 asam amino
yang tersusun dalam 2 rantai: rantai A terdiri dari 21 asam amino dan rantai B

29
mempunyai 30 asam amino. Antara rantai A dan rantai B terdapat 2 gugus
disulfida yaitu antara A-7 dengan B-7 dan A-20 dengan B-19. Selain itu masih
terdapat gugus disulfida antara asam amino ke-6 dan ke-11 pada rantai A
(Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
Biasanya insulin ini digunakan pada DM tipe 1, DM tipe 2 yang gula
darahnya tidak dapat dikendalikan dengan diet dan antidiabetik oral, DM dengan
berat badan yang menurun lebih cepat, DM dengan komplikasi akut, DM
paskabedah pankreas, ketoasidosis dan koma hiperosmolar, DM dengan
kehamilan (Sukandar dkk., 2009).
Macam-macam sediaan insulin (Tjay, 2010):
1) Insulin kerja singkat
Sediaan ini terdiri dari insulin tunggal biasa, mulai kerjanya baru sesudah
setengah jam (injeksi subkutan), contoh: Actrapid, Velosulin, Humulin
Regular.
2) Insulin kerja panjang (long-acting)
Sediaan insulin ini bekerja dengan cara mempersulit daya larutnya di
cairan jaringan dan menghambat resopsinya dari tempat injeksi ke dalam
darah, contoh: Monotard Human.
3) Insulin kerja sedang (medium-acting)
Sediaan insulin ini jangka waktu efeknya dapat divariasikan dengan
mencampurkan beberapa bentuk insulin dengan lama kerja berlainan,
contoh: Mixtard 30 HM.
2. Obat Antidiabetik Oral
Ada 5 golongan antidiabetik oral yang digunakan untuk diabetes melitus
yang telah dipasarkan di Indonesia yakni golongan: Sulfonilurea, meglitinid,
biguanid, tiazolidinedion dan acarbosa. Kelima golongan obat ini dapat diberikan
pada diabetes melitus tipe 2 yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan
latihan fisik saja (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
a. Sulfonilurea
Golongan obat ini sering disebut insulin secretagogues yang bekerja
merangsang sekresi insulin pada pankreas sehingga hanya efektif bila sel beta

30
pankreas masih dapat berproduksi (Sukandar dkk., 2009). Rangsangannya melalui
interaksinya dengan ATP-sensitif K channel pada membran sel-sel β yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca.
Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk ke sel- β, merangsang
granula yang berisi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C.
Obat golongan sulfonilurea generasi I terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asetoheksimid, dan klorpropamid. Sedangkan generasi II yang potensi
hipoglikemik lebih besar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid
dan glimepiridin (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
b. Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid yang
mekanisme kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi strukturnya sangat berbeda.
Golongan ADO ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-
independent di sel β pankreas (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
c. Biguanid
Salah satu obat golongan Biguanid yaitu Metformin. Metformin
menurunkan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan
otot dan adipose terhadap insulin. Efek ini terjadi karena adanya aktivitas kinase
di sel (AMP-activated protein kinase) (Departemen Farmakologi dan Terapi
FKUI, 2007).
d. Troglitazon
Senyawa tiazolidinedion ini (1997) memperbaiki sensitivitas-insulin di
antara lain jaringan lemak, otot kerangka dan dalam hati. Juga penyerapan glukosa
perifer. Zat ini tidak mendorong pankreas meningkatkan pelepasan insulin, seperti
sulfonilurea. Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ,
mengaktifkan PPARγ membentuk kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah
GLUT baru, GLUT merupakan alat transport oleh glukosa untuk masuk ke setiap
sel (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
e. Penghambat Enzim a-glikosidase
Akarbose dan miglitol termasuk dalam golongan obat ini. Mekanisme
kerjanya yaitu menghambat penguraian dipolisakarida menjadi monosakarida,

31
maka glukosa dilepaskan lebih lambat dan absorpsinya ke dalam darah juga
kurang cepat, lebih rendah dan merata sehingga memuncaknya kadar gula darah
dihindarkan. Efek samping yang bersifat dose-dependent antara lain; malabsorpsi,
flatule, diare dan abdominal bloating (Tjay dan Rahardja, 2010).
2.6 Glibenklamid
Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea generasi II yang
potensi hipoglikemiknya lebih besar. Golongan obat ini sering disebut sebagai
Sescretagogues. Glibenklamid bekerja dengan merangsang sekresi insulin dari
granul sel-sel β Langerhans pankreas. Rangsangannya melalui interaksinya
dengan ATP-sensitiv K channel pada membran sel-sel β yang menimbulkan
depolarisasi membran sehingga membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca
maka ion Ca++ akan masuk ke sel β, merangsang granula yang berisi insulin dan
akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C,
kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. Pada
penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemik (Departemen Farmakologi dan Terapi FKUI, 2007).
Glibenklamid merupakan obat golongan sulfonilurea dengan pemeriannya
berupa serbuk kristalin putih dengan berat molekul 493,99. Glibenklamid di
indikasi untuk diabetes melitus tipe 2 ringan-sedang. Terapi obat hiperglikemik
oral (OHO) selalu dimulai dari dosis rendah 1 kali pemberian per hari, setelah itu
dosis dapat dinaikkan sesuai dengan respons terhadap obat. Dosis awal 2,5 mg
bersama sarapan, maksimal 15 mg per hari.

Gambar 2.6 Proses tahapan obat glibenklamid yang diberikan secara oral
(Siregar dan Wikarsa, 2010)

32
Farmakologi glibenklamid memiliki efek hipoglikemik yang poten (200
kali lebih kuat daripada tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk
melakukan jadwal makan yang ketat. Mula kerjanya (onset) dengan menaikkan
kadar insulin serum mulai 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar
puncak dalam darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24
jam setelah pemberian dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. Masa kerja sekitar
15-24 jam. Waktu paruh eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang
apabila terdapat kerusakan hati atau ginjal. Bila pemberian dihentikan, obat akan
bersih keluar dari serum setelah 36 jam.
Kontraindikasi terhadap hipersensitif atau senyawa OHO golongan
sulfonilurea lainnya. Penggunaan OHO golongan sulfonilurea pada penderita
gangguan fungsi hati dan ginjal merupakan kontraindikasi, namun glibenklamid
dalam batas-batas tertentu masih dapat diberikan pada beberapa pasien dengan
kelainan fungsi hati dan ginjal ringan.
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan
frekuensinya rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan
syaraf pusat. Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan
hipersekresi asam lambung. Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit kepala,
vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya. Mekanisme aksinya merangsang
sekresi insulin dari sel-sel β-Langerhans, menurunkan keluaran glukosa dari hati
dan meningkatkan sensitivitas sel-sel sasaran perifer terhadap insulin (Depkes RI,
2009).
2.7 Interaksi Obat (Setiawati, 2007 dalam Ratimanjari, 2011)
Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi respon tubuh terhadap
pengobatan, terdapat faktor interaksi obat. Obat dapat berinteraksi dengan
makanan, zat kimia, atau dengan obat lain. Interaksi ini dapat menguntungkan
atau merugikan, namun interaksi dianggap penting secara klinik apabila berakibat
meningkatkan toksisitas dan/atau mengurangi efektivitas obat yang berinteraksi,
terutama jika menyangkut obat dengan batas keamanan yang sempit. Semakin
banyak jenis obat yang dikonsumsi, maka kemungkinan terjadinya interaksi akan
meningkat. Namun adanya interaksi ini sulit diperkirakan karena sering dianggap

33
sebagai reaksi idiosinkrasi atau bertambahnya keparahan penyakit dan karena
adanya faktor variasi individu. Selain itu, interaksi obat juga sulit diperkirakan
karena tidak selalu terjadi pada semua dosis namun hanya terjadi pada dosis
tertentu.
Mekanisme terjadinya interaksi obat terdiri dari berbagai proses dan suatu
interaksi belum tentu hanya dihasilkan dari satu mekanisme saja. Interaksi
obat yang terjadi bisa saja merupakan gabungan dari berbagai mekanisme. Secara
garis besar, mekanisme terjadinya interaksi obat dapat dibedakan atas 3
mekanisme, yaitu interaksi farmasetika, farmakokinetika, dan farmakodinamika.
Interaksi farmasetika terjadi antara obat yang tidak dapat dicampur
(inkompatibel). Pencampuran obat yang inkompatibel menyebabkan terjadinya
interaksi langsung secara fisik atau kimiawi.
Interaksi farmakokinetika melibatkan proses absorbsi, distribusi,
metabolisme, dan ekskresi. Adanya gangguan pada proses tersebut dapat
mengakibatkan perubahan kadar obat dalam darah. Pada proses absorbsi, hal yang
dapat menyebabkan interaksi adalah interaksi secara langsung antar obat
dalam lumen saluran cerna, pH saluran cerna, waktu pengosongan lambung,
waktu transit di usus, kompetisi pada proses absorbsi aktif, perubahan flora
usus, dan efek toksik pada saluran cerna. Pada proses distribusi, hal yang
dapat menyebabkan interaksi adalah ikatan protein plasma dan ikatan
jaringan. Perubahan pada ikatan protein dan jaringan akan merubah kadar obat
bebas dalam darah. Pada proses metabolisme, hal yang dapat menyebabkan
interaksi adalah adanya induksi atau inhibisi enzim metabolisme, adanya
polimorfisme sitokrom P450, dan perubahan aliran darah ke hati. Pada proses
ekskresi, hal yang dapat menyebabkan interaksi adalah perubahan pH urin,
gangguan empedu dan siklus enterohepatik, gangguan sekresi pada tubuli ginjal,
dan perubahan aliran darah ke ginjal.
Interaksi farmakodinamika adalah interaksi antara obat yang bekerja pada
sistem reseptor, tempat kerja, atau sistem fisiologis yang sama sehingga
terjadi efek aditif, sinergis, atau antagonis. Selain itu, interaksi ini juga

34
dapat terjadi akibat adanya perubahan kesetimbangan elektrolit dan transport
obat.
Dalam hal ini, interaksi yang ditimbulkan pada penggunaan herba
sambiloto jika dikombinasikan dengan daun salam menurut data etnofarmakologi
dapat memberikan hasil lebih baik berupa penurunan kadar gula darah yang
lebih stabil. Ekstrak herba sambiloto kemungkinan memiliki efek sinergis dengan
isoniazid (Devehat dkk, 2002 dalam BPOM RI, 2010).
2.8 Mencit (Mus musculus)
Mencit (Mus musculus) merupakan salah satu hewan coba laboratorium
yang berkembangbiak dengan cepat dan menghasilkan jumlah peranakan yang
banyak (Riskana, 1999 dalam Karim, 2015). Mencit ini dapat dikelompokkan
dalam jenis hewan pengerat (Rodentia), dimana dapat berkembangbiak dengan
cepat, mudah dalam pemeliharaan meski dalam jumlah yang banyak, memiliki
variasi genetik yang besar, serta memiliki anatomi dan fisiologi tubuh yang baik
(Smith dkk, 1997 dalam Karim, 2015).
Adapun klasifikasi mencit (Mus musculus) menurut (Yasin, 1986 dalam
Karim, 2015) adalah:
Sub Kerajaan : Metazoa
Filum : Chordata
Sub Kelas : Tetrapoda
Kelas : Mammalia
Bangsa : Rodentia
Keluarga : Muridae
Marga : Mus
Jenis : Mus musculus

35
Gambar 2.7 Mencit (Mus musculus)

Mencit (Mus musculus) termasuk dalam anggota Muridae (tikus-tikusan)


yang berukuran kecil. Hewan coba ini mudah dijumpai dan umumnya sering
dikenal sebagai hewan pengganggu. Mencit (Mus musculus) diprediksi sebagai
mammalia terbanyak kedua setelah manusia. Hewan ini dapat menyesuaikan diri
dengan mudah terhadap perubahan apapun yang terjadi yang dibuat oleh manusia
(Anonymous, 2008 dalam Karim, 2015).
Setiap harinya, mencit (Mus musculus) membutuhkan sekitar 3-5 gram
makanan. Sehingga hal tersebut perlu diperhatikan terutama dalam hal kualitas
makanan yang diberikan yang berkaitan dengan daya cerna dan patabilitas.
Karena hal tersebut dapat mempengaruhi kondisi mencit tersebut secara
keseluruhan, termasuk tumbuh kembang, maupun untuk pengobatan (Smith dkk,
1987 dalam Karim, 2015).
Mencit (Mus musculus) mempunyai banyak keuntungan jika digunakan
sebagai hewan coba yaitu memiliki siklus hidup yang relatif pendek, jumlah anak
yang dihasilkan banyak, serta mudah dalam penanganan (Moriwaki, 1994). Selain
itu, jika dikaitkan dengan penggunaan voume darah yang diambil hanya sedikit
dalam hal pengukuran kadar glukosa darah, maka lebih efektif jika menggunakan
hewan coba mencit (Mus musculus) dibandingkan hewan lainnya seperti tikus dan
kelinci (Malole dan Pramono, 1989). Untuk penggunaan mencit jantan lebih baik
dibanding mencit betina, karena mencit jantan mempunyai sistem hormonal yang
lebih baik dan stabil dibanding mencit betina. Menurut (Utami dkk, 2009 dalam
Karim, 2015), mencit betina memiliki hormon estrogen yang akan berpengaruh
pada kadar glukosa darah dalam tubuh. Sehingga tidak efektif jika menggunakan
hewan coba mencit betina. Selain itu, mencit memiliki harga yang murah, mudah
diperoleh serta biaya ransum yang relatif rendah (Peter,1976 dalam Karim, 2015).
Ukuran tubuh mencit (Mus musculus) demikian kecil, selain itu hewan ini
mempunyai kecenderungan tidur dan istirahat di ujung kandang yang gelap. Sifat
anatomis mencit antara lain: susunan gigi: seri 1/1, tidak ada taring, tidak ada

36
premolar, gerahamnya 3/3. Terdapat dua pasang mammae di bagian dada dan dua
pasang mammae di daerah inguinal (Malole dan Pramono, 1989).
Kriteria Nilai Normal
Berat Badan Dewasa
Mencit Jantan 20-40 gram
Mencit Betina 24-45 gram
Suhu Tubuh 36,6-380C
Volume Darah 76-80 mL/Kg BB
Tekanan Darah 113-147/81-106 mmHg
Glukosa dalam Darah 62-175 mg/dL

Tabel 2.8 Data Biologis Mencit (Mus musculus) (Malole dan Pramono, 1989)

Berdasarkan data tersebut, kadar glukosa dalam darah normal adalah 62-
175 mg/dL, apabila kadar glukosa dalam darah melebihi angka tersebut maka
mencit dalam keadaan hiperglikemik (Malole dan Pramono, 1989).
2.9 Metode Tes Toleransi Glukosa Oral
Dalam pengujian efek antidiabetes, metode tes toleransi glukosa (TTGO)
sering digunakan. Menurut (Depkes RI, 2000) TTGO merupakan kemampuan
tubuh dalam hal penggunaan glukosa yang ada di dalam tubuh. Dimana kadar
glukosa akan mengalami peningkatan dengan pemberian glukosa 1 g/kg BB
secara oral, dan akan tetap dalam keadaan normal, serta tidak pernah melebihi 10
sampai 170 mg/100 mL. Puncak kadar glukosa dalam 1⁄ atau 1 jam dan kembali
2

normal setelah 2-3 jam. Prinsip toleransi glukosa adalah hewan uji dipuasakan ±3-
4 jam, kemudian diambil darahnya melalui vena ekor dari masing-masing hewan
coba sebanyak 0,5 mL sebagai kadar glukosa awal lalu diberikan larutan glukosa
peroral dan bahan uji obat antidiabetes. Pengambilan darah vena ekor diulangi
dengan interval waktu 30 menit hingga 2 jam (Sari, 2010).
Menurut (Malole dan Pramono, 1989), kadar glukosa darah normal mencit
yaitu 62-175 mg/dL, dimana mencit dikatakan hiperglikemik jika kadar glukosa

37
darahnya di atas dari kadar normal. Selain itu, mencit dikatakan hipoglikemik jika
kadar glukosa darahnya berada di bawah kadar normal yang telah ditetapkan.
Menurut (Kurniawan, 2005; Lumbantobing, 2003), keadaan hiperglikemik
akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme lemak, protein, dan
karbohidrat, sehingga menyebabkan kegagalan pada berbagai organ dalam tubuh.
Kegagalan tersebut biasanya terjadinya pada jantung, mata, saraf, ginjal dan pada
organ reproduksi.
2.10 Kajian yang Relevan

Penulis Jurnal Tahun


Subyek Penelitian Hasil Penelitian
Penelitian Jurnal
Ita Lutfiana 2013 Dua puluh lima ekor tikus Penelitian ini menunjukkan
Dewi, EM dibagi menjadi 5 ekstrak etanol daun salam
Sutrisna, Tanti kelompok perlakuan. dapat menurunkan kadar
Azizah Kelompok I (kontrol glukosa darah. Dosis 312,5
negatif) diberi aquadest, mg/kg BB dapat
kelompok II (kontrol menurunkan sampai kadar
positif) diberi rata-rata 77±9,92,
glibenklamid 0,45 mg/kg sedangkan dosis 625 mg/kg
BB, kelompok III, IV, dan BB adalah 64,4±4,15 dan
V diberi ekstrak etanol dosis 1250 mg/kg BB
daun salam dengan dosis adalah 71,2±17,71 mg/dL.
312,5 ; 625 ; dan 1250 mg
/kg BB. Sebelum diberi
perlakuan, tikus diinduksi
aloksan dengan dosis 150
mg/kg BB secara
intraperitonial.
Elin Yulinah, 2001 Herba sambiloto Ekstrak etanol herba
Sukrasno, diperoleh dari darerah sambiloto mempunyai efek
Muna Anom Klaten (Jawa Tengah) dan menurunkan glukosa darah

38
Fitri diidentifikasi sebagai pada uji toleransi glukosa
Andrographis paniculata dengan efek yang
Nees (Acanthaceae) di meningkat dengan
Herbarium Bandungense, peningkatan dosis pada
Jurusan Biologi, FMIPA kisar dosis yang diberikan
ITB. Herba yang telah (0,5-2,0/kg bb). Ekstrak ini
dikeringkan digiling menunjukkan aktivitas yang
untuk menghasilkan lebih bermakna (P = 0,05)
serbuk. pada mencit diabetes yang
diinduksi dengan aloksan.
Herra 2015 Bahan yang digunakan Ekstrak etanol daun
Studiawan dan dalam penelitian ini Eugenia polyantha dengan
Mulja Hadi adalah daun tanaman dosis 2,62 mg/20 g BB dan
Santosa Eugenia polyantha 5,24 mg/20 g BB dapat
Weight yang diperoleh menurun-kan secara
dari Materia Medika, bermakna kadar glukosa
Batu,Malang. Determinasi darah mencit jantan yang
tanaman dilakukan di diinduksi dengan aloksan
Balai Penelitian Kebun (p<0,05).
Raya Purwodadi,Pasuruan
Suharmiati, 2012 Sampel yang diterapi Pemberian Metformin
Betty sampai dengan selesai kombinasi dengan terapi
Roosihermiatie sebanyak 30 penderita herbal, ekstrak herbal
DM yang terbagi dibagi campuran Andrographis
dalam 2 kelompok paniculata (sambiloto) dan
masing-masing 15 orang Syzygium polyanthum
mendapat intervensi (salam) (1:1) seberat 700
dengan terapi metformin mg dapat menurunkan gula
dan ekstrak herbal darah puasa secara
campuran Andrographis signifikan. Tidak terdapat

39
paniculata dan Syzygium efek samping terhadap hati
polyanthum (1:1) seberat dan ginjal dalam terapi
700 mg, sedangkan herbal, ekstrak herbal
sebagai kontrol (15 orang) campuran Andrographis
hanya mendapatkan terapi paniculata dan Syzygium
konvensional metformin polyanthum selama 4
dan placebo. (empat) minggu, hasil ini
menunjukkan ekstrak herbal
campuran cukup aman
dikonsumsi.
Steffi Liem, 2015 Bahan yang digunakan Kombinasi glibenklamid
Yuliet, dalam penelitian ini dan ekstrak daun salam
Akhmad adalah daun tanaman memiliki aktivitas sebagai
Khumaidi salam (Syzygium antidiabetes terhadap mencit
polyanthum Wight.) yang diinduksi aloksan
yang diperoleh dari dengan dosis kombinasi
Kabupaten Sigi, yang paling optimal adalah
Biromaru, Palu. dosis kombinasi
Determinasi tanaman glibenklamid dan ekstrak
dilakukan di UPT. daun salam 500 mg/kg BB.
Sumber Daya Hayati
Sulawesi, Universitas
Tadulako, Palu.
Diandra 2011 Tanaman segar sambiloto Pemberian infusa herba
Andina berumur kurang lebih 3 sambiloto 100 mg/200 g
Ratimanjari bulan diperoleh dari Balai bb berpengaruh secara
Penelitian Tanaman Obat signifikan terhadap
dan Aromatika, Bogor. glibenklamid dalam
Determinasi herba menurunkan kadar glukosa
sambiloto dilakukan di darah tikus putih jantan

40
Pusat Penelitian Biologi diabetes setelah satu minggu
Lembaga Ilmu pemberian.
Pengetahuan Indonesia
(LIPI) Bogor, kemudian
dilakukan penyiapan
bahan uji dari tanaman
segar menjadi serbuk
simplisia herba sambiloto
(Andrographidis Herba).
Bahan uji lainnya yaitu
glibenklamid (PT. Mersi
Farma Tirmaku
Mercusuana).
Tri Widyawati, 2015 Glibenklamid (Clamide®) Efek antihiperglikemik dari
Nor Adlin 10 mg, Acarbose ekstrak metanol S.
Yusoff, Mohd (Glucobay®) 50 mg, dan polyanthum leaf dapat
Zaini Asmawi Metformin HCl B ritish dikaitkan dengan kehadiran
dan Mariam Pharmacopoeia (BP) 500 flavonoid, glikosida dan
Ahmad mg, sebagai kontrol squalene. Efeknya mungkin
positif s untuk tujuan diberikan oleh jalur ekstra
perbandingan. Selain itu, pankreas melalui
Insulin (NOVO RAPID penghambatan penyerapan
Flex Pen®) 100 IU / mL, glukosa usus dan
dan glukosa (R & M peningkatan penyerapan
Kimia s, Essx, UK) yang glukosa oleh otot-otot.
digunakan. Streptozotocin
dibeli dari Sigma-Aldrih
Chemical Company, St.
Louis, MO, USA. Serta
Syzygium polyanthum

41
(Wight.) Daun
dikumpulkan dari Titi
Kuning, Medan,
Indonesia dan
diidentifikasi di School of
Biological Sciences,
University of Sumatera
Utara, Medan, Indonesia
Ramya 2015 Daun segar dan sehat dari Streptozotocin diabetes
Premanath dan A. paniculata diperoleh diinduksi menghasilkan
Lakshmidevi dari petani lokal dari peningkatan yang signifikan
Nanjaiah Mysore. Sampel spesimen dalam kadar glukosa darah
telah dikonfirmasi di pada tikus diabetes. Pada
Botanical Herbarium, tikus diabetes diobati
Departemen Botani, dengan ekstrak daun A.
Universitas Mysore, paniculata, ada penurunan
Mysore dengan nomor lebih besar pada tingkat
aksesi 535. Serta Tikus glukosa darah pada
Wistar dan konsentrasi 500 mg/kg bila
Streptozotosin. dibandingkan dengan 250
mg/kg.
Sutrisna Em, 2015 E. polyantha wight, 96% Eeep dapat
Tanti Azizah S, aloksan (sigma) dan tikus menurunkan kadar glukosa
Lutfiana Dewi Wistar jantan. E. darah pada tikus Wister
Ita polyantha wight diperoleh laki-laki. Dalam penelitian
dari desa Bebel, ini, Eeep pada dosis 312,5,
Wonokerto, Pekalongan, 625, dan 1250 mg / kg bb
Jawa Tengah, Indonesia dapat menurunkan kadar
dan dipanen pada Maret glukosa darah pada tikus
2013. Tikus-tikus Wistar jantan Wistar ketegangan.

42
jantan diperoleh dari Ini linier penelitian dengan
Farmakologi beberapa penelitian
Laboratorium, Fakultas sebelumnya, antara lain:
Farmasi, Universitas Eeep daun pada dosis 2,62
Muhammadiyah, mg / 20 g bb dan 5,24 mg /
Surakarta. Tikus-tikus 20 g bb dapat menurunkan
berusia 2-3 bulan, berat kadar glukosa darah pada
150-200 g. tikus yang diinduksi oleh
aloksan
Ratna 2015 Andrographis paniculata Data-data juga
Megawati dan Syzygium polyanthum menunjukkan bahwa
Widharna, dikumpulkan di daerah pemberian oral campuran
Ferawati, Pandaan, Jawa Timur, ekstrak mengakibatkan
Wahyu Dewi Indonesia pada musim penurunan yang signifikan
Tamayanti, panas 2010. Delapan pada tingkat glukosa darah
Lucia puluh - empat sehat tikus pada aloksan imbas tikus
Hendriati, Iwan Wistar jantan, dengan Wistar diabetes
Sahrial Hamid berat antara 100 dan 150 dibandingkan dengan
and Elisabeth gram yang obtaine d dari kelompok perlakuan dengan
Catherina UD Wistar, Yogyakarta ekstrak tunggal.
Widjajakusuma dan disertifikasi oleh drh.
Slamet Rahardjo, MP dari
Universitas Gajah Mada

43
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Ruang Lingkup Penelitian


Ruang lingkup dari penelitian ini yaitu ilmu fitokimia dan ilmu
farmakologi.
3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di Laboratorium Fitokimia dan
Farmakologi Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan, Universitas
Negeri Gorontalo pada bulan Agustus 2017 sampai dengan selesai.
3.3 Desain Penelitian
Desain penelitian yang digunakan yaitu true eksperimental dengan Post-
test Only Control Group Design untuk menguji efek antihiperglikemia dari
kombinasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto
(Andrographis paniculata) terhadap penurunan kadar gula darah pada mencit
jantan yang diinduksi glukosa.
3.4 Alat dan Bahan
3.4.1 Alat
Rotary evaporator (Heidolf®), satu set alat cek darah otomatis (Easy
Touch GCU: NESCO multicheck), NGT 3.5, dispo 1 cc, timbangan analitik
(Precisa®), timbangan hewan (Ohaus®).
3.4.2 Bahan
Alkohol 70% (pelarut), aluminum foil, aquadest, ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum), ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis
paniculata), tablet Glibenklamid®, glukosa, kapas, kertas perkamen, mencit
jantan (Mus musculus), natrium kaboksil metil selulosa (Na-CMC).
3.5 Prosedur Kerja
3.5.1 Pengambilan Sampel
Sampel daun salam (Syzygium polyanthum) diambil di daerah Gorontalo
tepatnya di kelurahan Liluwo, kecamatan Kota Utara, dimana waktu pengambilan
sampel dilakukan pada pagi hari yaitu pukul 08.00 s/d selesai WITA. Sementara
herba sambiloto (Andrographis paniculata) diambil di daerah Gorontalo tepatnya

44
di desa Iloheluma, kecamatan Boliyohuto dan waktu pengambilan sampel tersebut
dilakukan pada pagi hari juga yakni pukul 09.00 s/d selesai WITA.
3.5.2 Pengolahan Serbuk Daun Salam (Syzygium polyanthum) dan Herba
Sambiloto (Andrographis paniculata)
Daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis
paniculata) yang telah diperoleh kemudian diolah menjadi simplisia dengan cara
yakni sortasi basah (pemilihan daun salam dan herba sambiloto layak pakai
setelah pengambilan sampel) selanjutnya pencucian sampel menggunakan air
yang mengalir untuk membersihkan sampel dari debu dan kotoran lainnya yang
menempel dan sampel dirajang untuk mempercepat proses pengeringan.
Kemudian sampel dikeringkan dengan cara dijemur di bawah sinar matahari
secara tidak langsung atau dengan menggunakan oven, selanjutnya sampel
disortasi kering yaitu untuk memisahkan bagian yang rusak pada saat pengeringan
dan dilanjutkan dengan pengubahan bentuk sampel menjadi lebih kecil lagi dalam
bentuk serbuk dengan bantuan blender, sampai diperoleh serbuk daun salam
(Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) yang
halus.
3.5.3 Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Salam (Syzygium polyanthum) dan
Herba Sambiloto (Andrographis paniculata)
Serbuk daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto
(Andrographis paniculata) masing-masing ditimbang sebanyak 500 g, kemudian
diekstraksi dengan metode maserasi (perendaman) pada wadah yang berbeda.
Sampel yang telah ditimbang selanjutnya dimasukkan ke dalam bejana maserasi,
ditambahkan etanol 96% sampai semua serbuk terendam sempurna dan dimaserasi
selama 3 hari (Ansel, 2008). Kemudian bejana maserasi ditutup rapat dan
campuran serbuk dan pelarut diaduk setiap 15 menit sekali selama 24 jam pada
suhu kamar. Setelah itu, disaring menggunakan kertas saring dan hasil saringan
ditempatkan pada suatu wadah yang kemudian disebut sebagai filtrat I,
selanjutnya ampas atau residu yang diperoleh dimaserasi kembali (remaserasi)
dengan pelarut yang baru sebanyak 2 kali (sampai diperoleh 3 filtrat).

45
Setelah itu, filtrat yang didapatkan kemudian dikumpulkan dan dipekatkan
menggunakan rotary evaporator sampai terbentuk ekstrak kental. Ekstrak kental
yang didapatkan kemudian dihitung persen rendemen dengan rumus:

Berat ekstrak yang diperoleh


Rendemen = x 100%
Berat simplisia awal

3.5.4 Skrining Fitokimia


Sebanyak 1 gram ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dan
herba sambiloto (Andrographis paniculata) dimasukkan dalam tabung reaksi yang
berbeda, diencerkan dengan beberapa tetes pelarut yang digunakan dalam proses
ektraksi yakni alkohol 96%, kemudian masing-masing sampel dibagi dalam 2
tabung reaksi dimana satu tabung reaksi sebagai kontrol dan tabung reaksi lainnya
sebagai larutan uji. Tabung reaksi yang berisi larutan uji, ditambahkan beberapa
tetes NaOH 10%. Hasil positif senyawa flavonoid ditunjukkan dengan adanya
warna merah yang konstan.
3.5.5 Pembuatan Suspensi Na-CMC 1% b/v
Untuk membuat larutan Na-CMC 1%, ditimbang Na-CMC sebanyak 1
gram dan kemudian dimasukkan sedikit demi sedikit ke dalam 50 mL aquades
panas sambil diaduk dengan pengaduk hingga terbentuk larutan koloidal dan
dicukupkan volume hingga 100 mL dengan aquades dalam gelas kimia 100 mL.
3.5.6 Pembuatan Suspensi Glibenkamid 0,00195% b/v
Untuk pembuatan suspensi glibenklamid, dibuat dengan menimbang bobot
tablet glibenklamid dan kemudian dirata-ratakan. Selanjutnya dimasukkan 5 tablet
tersebut ke dalam lumpang, digerus hingga menjadi serbuk. Sebanyak 0,066 gram
serbuk glibenklamid yang telah ditimbang selanjutnya disuspensikan dengan Na-
CMC 1% dan diaduk hingga homogen, kemudian dicukupkan volumenya hingga
100 mL.

46
3.5.7 Pembuatan Suspensi Kombinasi Ekstrak Etanol Daun Salam
(Syzygium polyanthum) dan Herba Sambiloto (Andrographis
paniculata)
Pada penelitian ini, konsentrasi kombinasi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) yang
digunakan yaitu kombinasi dengan dosis perbandingan 1:3. Pembuatan suspensi
ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dengan dosis 10 mg/20 g BB
yaitu dengan menimbang ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum)
sebanyak 1000 mg dan, dan disuspensikan dengan Na-CMC 1%, kemudian
digerus hingga homogen dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL. Sementara
untuk suspensi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dengan dosis 15
mg/20 g BB yaitu dengan menimbang ekstrak etanol daun salam (Syzygium
polyanthum) sebanyak 1500 mg dan, dan disuspensikan dengan Na-CMC 1%,
kemudian digerus hingga homogen dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL.
Untuk pembuatan suspensi ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis
paniculata) dengan dosis 30 mg/20 g BB yaitu dengan menimbang ekstrak etanol
herba sambiloto (Andrographis paniculata) sebanyak 3000 mg dan, dan
disuspensikan dengan Na-CMC 1%, kemudian digerus hingga homogen dan
dicukupkan volumenya hingga 100 mL. Sementara untuk suspensi ekstrak etanol
herba sambiloto (Andrographis paniculata) dengan dosis 45 mg/20 g BB yaitu
dengan menimbang ekstrak etanol herba sambiloto (Andrographis paniculata)
sebanyak 4500 mg dan, dan disuspensikan dengan Na-CMC 1%, kemudian
digerus hingga homogen dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL. Untuk
kombinasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto
(Andrographis paniculata) dosis 10 mg/20 g BB : 30 mg/20 g BB yaitu dengan
menimbang ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) sebanyak 1000 mg
dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) sebanyak 3000 mg, dan
disuspensikan dengan Na-CMC 1%, kemudian digerus hingga homogen dan
dicukupkan volumenya hingga 100 mL. Begitu pula untuk membuat suspensi
kombinasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto
(Andrographis paniculata) dosis 15 mg/20 g BB : 45 mg/20 g BB yaitu dengan

47
menimbang ekstrak etanol daun salam (Syzygium polyanthum) sebanyak 1500 mg
dan herba sambiloto (Andrographis paniculata) sebanyak 4500 mg, dan
disuspensikan dengan Na-CMC 1%, kemudian digerus hingga homogen dan
dicukupkan volumenya hingga 100 mL. Olehnya diperoleh kombinasi ekstrak
etanol daun salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis
paniculata) dengan dosis 5 mg/20 g BB: 15 mg/20 g BB, 10 mg/20 g BB:30
mg/20 g BB, dan 15 mg/20 g BB: 45 mg/20 gmBB.
3.5.6 Pembuatan Suspensi Glukosa 29,25% b/v
Untuk membuat suspensi glukosa 29,25% b/v, ditimbang 29,25 gram
glukosa kemudian dimasukkan ke dalam lumpang dan digerus sampai halus.
Selanjutnya ditambahkan suspensi Na-CMC 1% b/v sebanyak 50 mL sedikit demi
sedikit hingga homogen. Sediaan yang homogen kemudian dimasukkan ke dalam
labu ukur dan dicukupkan volumenya hingga 100 mL dengan suspensi Na-CMC
1% b/v.
3.6 Rancangan Percobaan
Mencit jantan (Mus musculus) yang digunakan dalam penelitian ini
sebanyak 25 ekor. Mencit diaklimatisasi terlebih dahulu di Laboratorium
Fitokimia dan Farmakologi, Jurusan Farmasi, Fakultas Olahraga dan Kesehatan,
Universitas Negeri Gorontalo dan diberikan pakan standar selama 1 minggu.
Mencit yang mati atau menjadi sakit selama adaptasi tidak digunakan dalam
penelitian.
Pada hari ke-8, mencit yang sehat dipuasakan selama 3-4 jam dan diukur
kadar glukosa darah puasa (dicatat sebagai kadar glukosa darah awal). Kemudian
mencit dibuat hiperglikemia dengan cara diinduksi dengan glukosa. Pada menit
ke-15 setelah pemberian glukosa, diukur kadar glukosa darah mencit (dicatat
sebagai kadar glukosa darah setelah induksi). Apabila kadar glukosa darah mencit
telah melebihi batas normal yakni di atas 62-175 mg/dL maka mencit telah
mengalami kondisi hiperglikemik (Malole dan Pramono, 1989).
Kemudian mencit dibagi menjadi 8 kelompok, yaitu: kelompok I (kontrol
negatif), kelompok II (kontrol positif), kelompok III (kontrol daun salam I),
kelompok IV (kontrol daun salam II), kelompok V (kontrol sambiloto I),

48
kelompok VI (kontrol sambiloto II), kelompok VII (kombinasi I), kelompok VIII
(kombinasi II), masing-masing kelompok terdiri atas 3 ekor mencit. Pembagian
jumlah mencit tiap kelompok tersebut didasarkan pada rumus Federer yaitu: (n-1)
(t-1) > 15, t menyatakan jumlah kelompok perlakuan dan n menyatakan jumlah
hewan coba pada masing-masing kelompok (Sari, 2010).
(n-1) (t-1) > 15
(n-1) (8-1) > 15
8n-n-8+1 > 15
7n – 7 > 15
7n > 22
n > 3,1
Adapun pembagian perlakuan masing-masing kelompok sebagai berikut:
a. Kelompok I, mencit diberikan suspensi Na-CMC 1% b/v
b. Kelompok II, mencit diberikan suspensi glibenklamid 0,00195% b/v
c. Kelompok III, mencit diberikan suspensi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dosis 10 mg/20 g BB
d. Kelompok IV, mencit diberikan suspensi ekstrak etanol daun salam
(Syzygium polyanthum) dosis 15 mg/20 g BB
e. Kelompok V, mencit diberikan suspensi ekstrak etanol herba sambiloto
(Andrographis paniculata) dosis 30 mg/20 g BB
f. Kelompok VI, mencit diberikan suspensi ekstrak etanol herba sambiloto
(Andrographis paniculata) dosis 45 mg/20 g BB
g. Kelompok VII, mencit diberikan suspensi kombinasi ekstrak etanol daun
salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis
paniculata) dosis 10 mg/20 g BB : 30 mg/20 g BB
h. Kelompok VIII, mencit diberikan suspensi kombinasi ekstrak etanol daun
salam (Syzygium polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis
paniculata) dosis 15 mg/20 g BB : 45 mg/20 g BB
Pemberian dilakukan secara oral dalam dosis tunggal dengan volume
pemberian yang dihitung berdasarkan berat badan. Setelah dilakukan perlakuan,

49
diukur kadar glukosa darah mencit pada menit 30, 60, 90, dan 120 menggunakan
glucometer dan dicatat sebagai kadar glukosa darah setelah perlakuan.
3.7 Pengumpulan Data
Pengumpulan data untuk tes toleransi glukosa oral (TTGO) didasarkan
pada data kadar glukosa darah yang diperoleh baik kadar glukosa darah pada
mencit puasa, kadar glukosa darah setelah mencit diinduksi glukosa, maupun
kadar glukosa darah setelah perlakuan pada menit 30, 60, 90, dan 120.
3.8 Analisis Data
Untuk mengetahui perbedaan bermakna diantara semua kelompok
perlakuan, data yang diperoleh akan diuji menggunakan uji statistik ONE WAY
ANOVA (analisis ragam satu arah). Menurut (Siregar, 2014) ONE WAY
ANOVA digunakan untuk menguji sampel rata-rata atau pengaruh perlakuan dari
suatu percobaan yang menggunakan 1 faktor, dimana 1 faktor tersebut memiliki 3
atau lebih kelompok.
Dalam penelitian ini, uji ONE WAY ANOVA digunakan untuk melihat
apakah terdapat perbedaan yang bermakna (signifikan) pada penurunan kadar
glukosa darah antara kelompok kontrol positif, kontrol negatif, maupun kelompok
perlakuan yang dipengaruhi oleh kombinasi ekstrak etanol daun salam (Syzygium
polyanthum) dan herba sambiloto (Andrographis paniculata).

50

Anda mungkin juga menyukai