Anda di halaman 1dari 21

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Istilah hipertrofi sebenarnya kurang tepat karena yang terjadi adalah


hiperplasia kelenjar periuretra yang mendesak jaringan prostat yang asli ke perifer
dan menjadi kapsul bedah. (Anonim FK UI 1995).

Prostat adalah jaringan fibromuskuler dan jaringan kelenjar yang terlihat


persis di inferior dari kandung kencing. Prostat normal beratnya + 20 gr,
didalamnya berjalan uretra posterior + 2,5 cm.

Pada bagian anterior difiksasi oleh ligamentum puboprostatikum dan


sebelah inferior oleh diafragma urogenitale. Pada prostat bagian posterior
bermuara duktus ejakulatoris yang berjalan miring dan berakhir pada
verumontanum pada dasar uretra prostatika tepat proksimal dari spingter uretra
eksterna

Proses pembesaran prostat terjadi secara perlahan-lahan sehingga


perubahan pada saluran kemih juga terjadi secara perlahan-lahan. Pada tahap awal
setelah terjadinya pembesaran prostat, resistensi pada leher buli-buli dan daerah
prostat meningkat, serta otot destrusor menebal dan merenggang sehingga timbul
sakulasi atau divertikel. Fase penebalan destrusor ini disebut fase kompensasi.
Apabila keadaan berlanjut, maka destrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami
dekompensasi dan tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensio
urin yang selanjutnya dapat menyebabkan hidronefrosis dan disfungsi saluran
kemih atas. Oleh karena itu penting bagi perawat untuk mempelajari patofisiologi,
manifestasi klinis, prosedur diagnostik dan asuhan keperawatan yang
komprehensif pada klien Benigna Prostat Hiperplasia (BPH) beserta keluarganya.
1.2 Tujuan Penulisan

1. Tujuan Umum
Mengaplikasikan ilmu yang sudah didapat secara nyata dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan BPH secara komprehensif.
2. Tujuan khusus
a. Mampu melaksanakan pengkajian secara menyeluruh pada klien BPH
b. Mampu menganalisa dan menentukan masalah keperawatan pada klien
BPH
c. Mampu melakukan intervensi dan implementasi untuk mengatasi
masalah keperawatan yang timbul pada klien BPH
d. Mampu mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan
pada klien BPH
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian BPH (BENIGNA PROSTATE HYPERPLASI)


1. Hiperplasia prostat jinak (BPH) adalah penyakit yang disebabkan oleh penuaan.
Price&Wilson (2005)
2. Hiperplasia prostat jinak adalah pembesaran kelenjar prostat nonkanker,
(Corwin, 2000)
3. BPH adalah suatu keadaan dimana prostat mengalami pembesaran memanjang
keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan cara
menutupi orifisium uretra. (Smeltzer dan Bare, 2002)
4. Hiperplasi prostat adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara
umum pada pria > 50 tahun) yang menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretra
dan pembiasan aliran urinarius. (Doenges, 1999)
5. Menurut Doenges (1999) dan Engram (1998) untuk mengatasi BPH, tindakan
infasif medikal yang sering digunakan oleh Rumah Sakit adalah prostatektomy,
yaitu tindakan pembedahan bagian prostat (sebagian/seluruh) yang memotong
uretra bertujuan untuk memperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi
urinaria akut.
6. Kesimpulan BPH (benign prostatic hyperplasia) adalah suatu penyakit yang
disebabkan oleh faktor penuaan, dimana prostat mengalami pembesaran
memanjang keatas kedalam kandung kemih dan menyumbat aliran urin dengan
cara menutupi orifisium uretra. Prostatektomy merupakan tindakan pembedahan
bagian prostate (sebagian/seluruh) yang memotong uretra, bertujuan untuk
memeperbaiki aliran urin dan menghilangkan retensi urinaria akut.
2.2 Etiologi
Penyebab hiperplasia prostat belum diketahui dengan pasti, ada beberapa
pendapat dan fakta yang menunjukan, ini berasal dan proses yang rumit dari
androgen dan estrogen. Dehidrotestosteron yang berasal dan testosteron dengan
bantuan enzim 5-α reduktase diperkirakan sebagai mediator utama pertumbuhan
prostat. Dalam sitoplasma sel prostat ditemukan reseptor untuk dehidrotestosteron
(DHT). Reseptor ini jumlahnya akan meningkat dengan bantuan estrogen. DHT
yang dibentuk kemudian akan berikatan dengan reseptor membentuk DHT-Reseptor
komplek. Kemudian masuk ke inti sel dan mempengaruhi RNA untuk menyebabkan
sintesis protein sehingga terjadi protiferasi sel. Adanya anggapan bahwa sebagai
dasar adanya gangguan keseimbangan hormon androgen dan estrogen, dengan
bertambahnya umur diketahui bahwa jumlah androgen berkurang sehingga terjadi
peninggian estrogen secara retatif. Diketahui estrogen mempengaruhi prostat bagian
dalam (bagian tengah, lobus lateralis dan lobus medius) hingga pada hiperestrinism,
bagian inilah yang mengalami hiperplasia

Menurut Purnomo (2000), hingga sekarang belum diketahui secara pasti


penyebab prostat hiperplasi, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa
hiperplasi prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron
(DHT) dan proses penuaan. Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab
timbulnya hiperplasi prostat adalah :
a) Adanya perubahan keseimbangan antara hormon testosteron dan
estrogen pada usia lanjut.
b) Peranan dari growth factor (faktor pertumbuhan) sebagai pemicu
pertumbuhan stroma kelenjar prostat.
c) Meningkatnya lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel
yang mati.
d) Teori sel stem, menerangkan bahwa terjadi proliferasi abnormal sel
stem sehingga menyebabkan produksi sel stroma dan sel epitel
kelenjar prostat menjadi berlebihan.
Pada umumnya dikemukakan beberapa teori :
1. Teori Sel Stem, sel baru biasanya tumbuh dari sel srem. Oleh karena
suatu sebab seperti faktor usia, gangguan keseimbangan hormon atau
faktor pencetus lain. Maka sel stem dapat berproliferasi dengan cepat,
sehingga terjadi hiperplasi kelenjar periuretral.
2. Teori kedua adalah teori Reawekering (Neal, 1978) menyebutkan
bahwa jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat
embriologi sehingga jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari
jaringan sekitarnya.
3. Teori lain adalah teori keseimbangan hormonal yang menyebutkan
bahwa dengan bertanbahnya umur menyebabkan terjadinya produksi
testoteron dan terjadinya konversi testoteron menjadi setrogen. (
Kahardjo, 1995).
2.3 Patofisiologi
Kelenjar prostat adalah salah satu organ genetalia pria yang terletak di
sebelah inferior buli-buli, dan membungkus uretra posterior. Bentuknya sebesar
buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa ± 20 gram. Menurut Mc Neal
(1976) yang dikutip dan bukunya Purnomo (2000), membagi kelenjar prostat dalam
beberapa zona, antara lain zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona
fibromuskuler anterior dan periuretra (Purnomo, 2000). Sjamsuhidajat (2005),
menyebutkan bahwa pada usia lanjut akan terjadi perubahan keseimbangan
testosteron estrogen karena produksi testosteron menurun dan terjadi konversi
tertosteron menjadi estrogen pada jaringan adipose di perifer. Purnomo (2000)
menjelaskan bahwa pertumbuhan kelenjar ini sangat tergantung pada hormon
testosteron, yang di dalam sel-sel kelenjar prostat hormon ini akan diubah menjadi
dehidrotestosteron (DHT) dengan bantuan enzim alfa reduktase. Dehidrotestosteron
inilah yang secara langsung memacu m-RNA di dalam sel-sel kelenjar prostat untuk
mensintesis protein sehingga terjadi pertumbuhan kelenjar prostat.
Oleh karena pembesaran prostat terjadi perlahan, maka efek terjadinya
perubahan pada traktus urinarius juga terjadi perlahan-lahan. Perubahan
patofisiologi yang disebabkan pembesaran prostat sebenarnya disebabkan oleh
kombinasi resistensi uretra daerah prostat, tonus trigonum dan leher vesika dan
kekuatan kontraksi detrusor. Secara garis besar, detrusor dipersarafi oleh sistem
parasimpatis, sedang trigonum, leher vesika dan prostat oleh sistem simpatis. Pada
tahap awal setelah terjadinya pembesaran prostat akan terjadi resistensi yang
bertambah pada leher vesika dan daerah prostat. Kemudian detrusor akan mencoba
mengatasi keadaan ini dengan jalan kontraksi lebih kuat dan detrusor menjadi lebih
tebal. Penonjolan serat detrusor ke dalam kandung kemih dengan sistoskopi akan
terlihat seperti balok yang disebut trahekulasi (buli-buli balok). Mukosa dapat
menerobos keluar diantara serat aetrisor. Tonjolan mukosa yang kecil dinamakan
sakula sedangkan yang besar disebut divertikel. Fase penebalan detrusor ini disebut
Fase kompensasi otot dinding kandung kemih. Apabila keadaan berlanjut maka
detrusor menjadi lelah dan akhirnya mengalami dekompensasi dan tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin.Pada hiperplasi prostat
digolongkan dua tanda gejala yaitu obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi
disebabkan detrusor gagal berkontraksi dengan cukup lama dan kuat sehingga
kontraksi terputus-putus (mengganggu permulaan miksi), miksi terputus, menetes
pada akhir miksi, pancaran lemah, rasa belum puas setelah miksi. Gejala iritasi
terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran prostat akan
merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun belum penuh
atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor (frekuensi miksi meningkat,
nokturia, miksi sulit ditahan/urgency, disuria).
Karena produksi urin terus terjadi, maka suatu saat vesiko urinaria tidak
mampu lagi menampung urin, sehingga tekanan intravesikel lebih tinggi dari
tekanan sfingter dan obstruksi sehingga terjadi inkontinensia paradox (overflow
incontinence). Retensi kronik menyebabkan refluks vesiko ureter dan dilatasi. ureter
dan ginjal, maka ginjal akan rusak dan terjadi gagal ginjal. Kerusakan traktus
urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan penderita harus
mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan intraabdomen yang
akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam vesiko urinaria akan
membentuk batu endapan yang menambal. Keluhan iritasi dan hematuria. Selain itu,
stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media pertumbuhan mikroorganisme,
yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi refluks menyebabkan pyelonefritis
(Sjamsuhidajat, 2005) .
2.4 Pathway
2.5 Manifestasi klinis
Gambaran klinis pada hiperplasi prostat digolongkan dua tanda gejala yaitu
obstruksi dan iritasi. Gejala obstruksi disebabkan detrusor gagal berkontraksi
dengan cukup lama dan kuat sehingga mengakibatkan: pancaran miksi melemah,
rasa tidak puas sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy),
harus mengejan (straining) kencing terputus-putus (intermittency), dan waktu miksi
memanjang yang akhirnya menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow.
Gejala iritasi, terjadi karena pengosongan yang tidak sempurna atau pembesaran
prostat akan merangsang kandung kemih, sehingga sering berkontraksi walaupun
belum penuh atau dikatakan sebagai hipersenitivitas otot detrusor dengan tanda dan
gejala antara lain: sering miksi (frekwensi), terbangun untuk miksi pada malam hari
(nokturia), perasaan ingin miksi yang mendesak (urgensi), dan nyeri pada saat miksi
(disuria) (Mansjoer, 2000)
Derajat berat BPH menurut Sjamsuhidajat (2005) dibedakan menjadi 4 stadium
:
1. Stadium I
Ada obstruktif tapi kandung kemih masih mampu mengeluarkan urine sampai
habis.
2. Stadium II
Ada retensi urine tetapi kandung kemih mampu mengeluarkan urine walaupun
tidak sampai habis, masih tersisa kira-kira 60-150 cc. Ada rasa tidak enak
BAK atau disuria dan menjadi nokturia.
3. Stadium III
Setiap BAK urine tersisa kira-kira 150 cc.
4. Stadium IV
Retensi urine total, buli-buli penuh pasien tampak kesakitan, urine menetes
secara periodik (over flow inkontinen).

Menurut Brunner and Suddarth (2002) menyebutkan bahwa :


Manifestasi dari BPH adalah peningkatan frekuensi penuh, nokturia,
dorongan ingin berkemih, anyang-anyangan, abdomen tegang, volume urine yang
turun dan harus mengejan saat berkemih, aliran urine tak lancar, dribbing (urine
terus menerus setelah berkemih), retensi urine akut.
Adapun pemeriksaan kelenjar prostat melalui pemeriksaan di bawah ini :
1. Rectal Gradding
Dilakukan pada waktu vesika urinaria kosong :
a. Grade 0 : Penonjolan prostate 0-1 cm ke dalam rektum.
b. Grade 1 : Penonjolan prostate 1-2 cm ke dalam rektum.
c. Grade 2 : Penonjolan prostate 2-3 cm ke dalam rektum.
d. Grade 3 : Penonjolan prostate 3-4 cm ke dalam rektum.
e. Grade 4 : Penonjolan prostate 4-5 cm ke dalam rektum.
2. Clinical Gradding
Banyaknya sisa urine diukur tiap pagi hari setelah bangun tidur, disuruh
kencing dahulu kemudian dipasang kateter.
a. Normal : Tidak ada sisa
b. Grade I : sisa 0-50 cc
c. Grade II : sisa 50-150 cc
d. Grade III : sisa > 150 cc
e. Grade IV : pasien sama sekali tidak bisa kencing.
2.6 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada pasien BPH antara lain: sering dengan semakin
beratnya BPH, dapat terjadi obstruksi saluran kemih, karena urin tidak mampu
melewati prostat. Hal ini dapat menyebabkan infeksi saluran kemih dan apabila
tidak diobati, dapat mengakibatkan gagal ginjal. (Corwin, 2000)
Kerusakan traktus urinarius bagian atas akibat dari obstruksi kronik mengakibatkan
penderita harus mengejan pada miksi yang menyebabkan peningkatan tekanan
intraabdomen yang akan menimbulkan hernia dan hemoroid. Stasis urin dalam
vesiko urinaria akan membentuk batu endapan yang menambah keluhan iritasi dan
hematuria. Selain itu, stasis urin dalam vesika urinaria menjadikan media
pertumbuhan mikroorganisme, yang dapat menyebabkan sistitis dan bila terjadi
refluks menyebabkan pyelonefritis (Sjamsuhidajat, 2005).
1. Perdarahan
2. Inkotinensia
3. Batu kandung kemih
4. Retensi urine
5. Impotensi
6. Epididimitis
7. Haemorhoid, hernia, prolaps rectum akibat mengedan
8. Infeksi saluran kemih disebabkan karena catheterisasi
9. Hydronefrosis
2.7 Penatalaksanaan
Menurut Sjamsuhidjat (2005) dalam penatalaksanaan pasien dengan BPH
tergantung pada stadium-stadium dari gambaran klinis
(a) Stadium I
Pada stadium ini biasanya belum memerlukan tindakan bedah,
diberikan pengobatan konservatif, misalnya menghambat adrenoresptor alfa
seperti alfazosin dan terazosin. Keuntungan obat ini adalah efek positif segera
terhadap keluhan, tetapi tidak mempengaruhi proses hiperplasi prostat.
Sedikitpun kekurangannya adalah obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian
lama.
(b) Stadium II
Pada stadium II merupakan indikasi untuk melakukan pembedahan
biasanya dianjurkan reseksi endoskopi melalui uretra (trans uretra)
(c) Stadium III
Pada stadium II reseksi endoskopi dapat dikerjakan dan apabila
diperkirakan prostat sudah cukup besar, sehinga reseksi tidak akan selesai
dalam 1 jam. Sebaiknya dilakukan pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka
dapat dilakukan melalui trans vesika, retropubik dan perineal.
(d) Stadium IV
Pada stadium IV yang harus dilakukan adalah membebaskan penderita
dari retensi urin total dengan memasang kateter atau sistotomi. Setelah itu,
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut amok melengkapi diagnosis, kemudian
terapi definitive dengan TUR atau pembedahan terbuka.
Pada penderita yang keadaan umumnya tidak memungkinkan
dilakukan pembedahan dapat dilakukan pengobatan konservatif dengan
memberikan obat penghambat adrenoreseptor alfa. Pengobatan konservatif
adalah dengan memberikan obat anti androgen yang menekan produksi LH.
Menurut Mansjoer (2000) dan Purnomo (2000), penatalaksanaan pada BPH
dapat dilakukan dengan:
a. Observasi
Kurangi minum setelah makan malam, hindari obat
dekongestan, kurangi kopi, hindari alkohol, tiap 3 bulan kontrol
keluhan, sisa kencing dan colok dubur.
b. Medikamentosa
1. Penghambat alfa (alpha blocker)

Prostat dan dasar buli-buli manusia mengandung


adrenoreseptor-α1, dan prostat memperlihatkan respon mengecil
terhadap agonis. Komponen yang berperan dalam mengecilnya prostat
dan leher buli-buli secara primer diperantarai oleh reseptor α1a.
Penghambatan terhadap alfa telah memperlihatkan hasil berupa
perbaikan subjektif dan objektif terhadap gejala dan tanda (sing and
symptom) BPH pada beberapa pasien. Penghambat alfa dapat
diklasifikasikan berdasarkan selektifitas reseptor dan waktu paruhnya

2. Penghambat 5α-Reduktase (5α-Reductase inhibitors)

Finasteride adalah penghambat 5α-Reduktase yang


menghambat perubahan testosteron menjadi dihydratestosteron. Obat
ini mempengaruhi komponen epitel prostat, yang menghasilkan
pengurangan ukuran kelenjar dan memperbaiki gejala. Dianjurkan
pemberian terapi ini selama 6 bulan, guna melihat efek maksimal
terhadap ukuran prostat (reduksi 20%) dan perbaikan gejala-gejala

3. Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi antara penghambat alfa dan penghambat 5α-


Reduktase memperlihatkan bahwa penurunan symptom score dan
peningkatan aliran urin hanya ditemukan pada pasien yang
mendapatkan hanya Terazosin. Penelitian terapi kombinasi tambahan
sedang berlangsung

4. Fitoterapi

Fitoterapi adalah penggunaan tumbuh-tumbuhan dan ekstrak


tumbuh-tumbuhan untuk tujuan medis. Penggunaan fitoterapi pada
BPH telah popular di Eropa selama beberapa tahun. Mekanisme kerja
fitoterapi tidak diketahui, efektifitas dan keamanan fitoterapi belum
banyak diuji

c. Terapi Bedah
Indikasinya adalah bila retensi urin berulang, hematuria,
penurunan fungsi ginjal, infeksi saluran kemih berulang, divertikel
batu saluran kemih, hidroureter, hidronefrosis jenis pembedahan:
(1) TURP (Trans Uretral Resection Prostatectomy)
Yaitu pengangkatan sebagian atau keseluruhan kelenjar prostat
melalui sitoskopi atau resektoskop yang dimasukkan malalui
uretra.
(2) Prostatektomi Suprapubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi yang dibuat
pada kandung kemih.
(3) Prostatektomi retropubis
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat melalui insisi pada
abdomen bagian bawah melalui fosa prostat anterior tanpa
memasuki kandung kemih.
(4) Prostatektomi Peritoneal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat radikal melalui sebuah
insisi diantara skrotum dan rektum.
(5) Prostatektomi retropubis radikal
Yaitu pengangkatan kelenjar prostat termasuk kapsula,
vesikula seminalis dan jaringan yang berdekatan melalui sebuah
insisi pada abdomen bagian bawah, uretra dianastomosiskan ke
leher kandung kemih pada kanker prostat.
d. Terapi Invasif Minimal
1). Trans Uretral Mikrowave Thermotherapy (TUMT)
Yaitu pemasangan prostat dengan gelombang mikro yang
disalurkan ke kelenjar prostat melalui antena yang dipasang
melalui/pada ujung kateter.
2). Trans Uretral Ultrasound Guided Laser Induced Prostatectomy
(TULIP)
3). Trans Uretral Ballon Dilatation (TUBD)
2.8 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar
gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien.
b. Pemeriksaan urin lengkap dan kultur.
c. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai
kewaspadaan adanya keganasan.
2. Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara
obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan
penilaian :
a. Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b. Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c. Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
3. Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a. BOF (Buik Overzich ) :Untuk melihat adanya batu dan metastase
pada tulang.
b. USG (Ultrasonografi), digunakan untuk memeriksa konsistensi,
volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk
residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal,
transuretral dan supra pubik.
c. IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi ekskresi ginjal dan adanya
hidronefrosis.
4. Pemeriksaan Panendoskop : untuk mengetahui keadaan uretra dan buli –
buli.
5. Pemeriksaan CT- Scan dan MRI
Computed Tomography Scanning (CT-Scan) dapat memberikan
gambaran adanya pembesaran prostat, sedangkan Magnetic Resonance
Imaging (MRI) dapat memberikan gambaran prostat pada bidang transversal
maupun sagital pada berbagai bidang irisan, namun pameriksaan ini jarang
dilakukan karena mahal biayanya.
6. Pemeriksaan sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. pemeriksaan ini dapat
memberi gambaran kemungkinan tumor di dalam kandung kemih atau sumber
perdarahan dari atas apabila darah datang dari muara ureter atau batu
radiolusen di dalam vesica. Selain itu sistoscopi dapat juga memberi
keterangan mengenai besar prostat dengan mengukur panjang urethra pars
prostatica dan melihat penonjolan prostat ke dalam urethra.
2.9 Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan BPH
1. Pengkajian Fokus
a. Eliminasi
Gejala : Penurunan kekuatan/dorongan aliaran urin, tetes,
ragu-ragu berkemih, nokturia, disuria, hematuria.

Tanda : Massa padat dibawah abdomen bawah


(Distensi Kandung kemih, nyeri tekan kandung kemih ).
b. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri suprapubis, panggul,punggung bawah
c. Sirkulasi : Peninggian tekanan darah
d. Psikososial : Ekspresi takut akibat inkontinensia, gangguan
Seksualitas
e. Pemeriksaan Diagnostik
1) Urinalisa : Warna kuning,coklat gelap,merah gelap atau terang (
berdarah ),PH 7 atau lebih.
2) Kultur urin : Ada staphylococcus Aureus, E.Colly, Proteus,
Pseudomonas.
3) BUN / Kreatinin: Meningkat pada gangguan ginjal
4) SDP : Lebih dari 11.000
5) Ultrasonografi transrektal dan suprapubic untuk mengetahui ukuran
prostat.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada pasien dengan Benigna
Prostate Hyperplasi (BPH), antara lain :
a. Retensi Urin ( Akut/kronik ) b.d. obstruksi mekanik, pembesaran prostat,
dekompensasi otot detrusor, ketidakmampuan kandung kemih untuk
berkontraksi dengan adekuat.
Data pendukung : Frekuensi, keragu-raguan, ketidakmampuan
mengosongkan kandung kemih dengan lengkap, inkontinensia/menetes,
distensi kandung kemih dan residu urin lebih dari 50 cc.

Hasil yang diharapkan :


Pasien menunjukan :
- Peningkatan pola BAK
- Tidak teraba distensi abdomen
- Menunjukan residu setelah berkemih kurang dari 50 ml, tidak adanya
tetesan/kelebihan aliran.
Intervensi/tindakan:
1) Dorong pasien untuk berkemih tiap 2 – 4 jam atau bila pasien tiba-tiba
merasa untuk berkemih.
Rasional : Meminimalkan terjadinya retensi urin yang berlebihan
pada kandung kemih.
2) Awasi dan catat waktu, jumlah setiap berkemih, perhatikan penurunan
haluaran urin.
Rasional : Untuk mengetahui kemampuan ginjal untuk berfungsi
secara normal
3) Palpasi area supra pubik.
Rasional : Retensi urin dapat diketahui dengan palpasi daerah
suprapubik, yaitu teraba adanya masa pada daerah abdomen bawah.
4) Anjurkan pasien untuk mengintake cairan 3000 ml/hari ( 10 – 15
gelas perhari.
Rasional : Peningkatan intake cairan dapat mempertahankan perfusi ke
ginjal dan kandung kemih dari pertumbuh bakteri
5) Observasi tanda-tanda vital setiap jam.Awasi terjadinya hipertensi,
edema perifer, perubahan mental.Timbang berat badan setiap hari,ukur
intake dan output cairan setiap hari.
Rasional : Kehilangan fungsi ginjal menyebabkan penurunan eliminasi
cairan dan akumulasi sisa toksik ; dapat berlanjut pada terjadinya
gagal ginjal total.
6) Lakukan kompres hangat atau rendam duduk.
Rasional : Untuk meningkatkan relaksasi otot, menurunkan edema dan
merangsang untuk berkemih.
7) Tindakan kateterisasi menggunakan Kateter coude
Rasional : Mengurangi dan mencegah retensi urin. Kateter Coude
diperlukan karena ujungnya lengkung sehingga memudahkan
masuknya selang melalui uretra prostat.
8) Kolaborasi pemberian antispasmodik misalnya oksibutinin klorida
(Ditropan).
Rasional : Menghilangkan spasme kandung kemih sehubungan dengan
iritasi kateter.
9) Memberiakan antibiotik
Rasional : Untuk melawan infeksi.
10) Siapkan untuk drainase urin, misalnya sistostomy.
Rasional : untuk mengalirkan urin selama episode akut dengan
azotemia.
11) Lakukan hipertermi transuretral ( pemanasan bagian sentral prostat
dengan memasukan elemen pemanas melalui uretra)
Rasional : Mengecilkan prostat ( 1 - 2 kali/ minggu )
b. Nyeri Akut b.d. iritasi mukosa ; distensi kandung kemih, kolik ginjal;
infeksi urinaria; terapi radiasi.
Data Pendukung :
Keluhan nyeri,penyempitan ureter; perubahan tonus otot, meringis,
gelisah, respon otonomik.
Kriteria evaluasi / hasil yang diharapkan :
Pasien akan :
- Memberitahukan nyeri hilang/ terkontrol
- Tampak rileks
- Istirahat dengan tenang.
Intervensi :
1) Kaji dan catat kualitas, lokasi dan durasi nyeri. Gunakan skala nyeri
(0-10) 0 (tidak ada nyeri) 10 (nyeri yang paling hebat).
2) Jelaskan penyebab rasa sakit dan cara menguranginya
3) Kolaborasi terapi dengan pemberian Analgesik sesuai program.
4) Ajarkan teknik mengatasi rasa nyeri : napas dalam untuk menurunkan
stress dan membantu rilaks otot yang tegang
5) Kompres es pada daerah yang sakit untuk mengurangi nyeri
6) Ciptakan lingkungan yang tenang
c. Risiko tinggi terhadap kekurangan volume cairan b.d. pasca obstruksi
diuresis dari drainase cepat, kandung kemih yang terlalu distensi secara
kronis ; Endokrin, ketidakseimbangan elektrolit ( disfungsi ginjal )
Data pendukung : (Tidak dapat diterapkan ; adanya tanda-tanda dan
gejala-gejala membuat diagnosa aktual ).
Hasil yang diharapkan / kriteria evaluasi :
Pasien akan mempertahankan hidrasi yang adekuat yang dibuktikan
dengan tanda-tanda vital dalam batas normal, pengisian kapiler baik, dan
membran mukosa lembab.
Intervensi / rencana tindakan :
1) Monitor pengeluaran urin tiap jam.
Rasional : Diuresis dapat meneyababkan kekurangan volume cairan,
karena natrium tidak cukup diabsorbsi dalam tubulus ginjal.
2) Monitor tanda-tanda vital : nadi, tekanan darah; evaluasi pengisian
kapiler dan membran mukosa oral
Rasional : untuk mendeteksi terjadinya hipovolemik.
3) Motivasi pasien untuk meningkatkan intake cairan peroral
Rasional : untuk mengimbangi cairan yang keluar akibat diuresis
4) Berikan posisi semi fowler kepala pasien
Rasional : Menurunkan kerja jantung, memudahkan homeostasis
sirkulasi.
5) Berikan cairan IV
Rasional : Menggantikan cairan yang hilang.
d. Ketakutan / ansietas b.d perubahan status kesehatan : kemungkinan
prosedur/ malignansi
Data pendukung : Perut tegang
Hasil yang diharapkan :
Rasa takut dan tegang berkurang, pasien tampak rileks.
Intervensi :
1) Selalu bersama – sama dengan pasien bina hubungan saling percaya
Rasional : Menunjukan perhatian dan keinginan untuk membantu
2) Berikan informasi tentang tanda / prosedur dan tes khusus seperti
pemasangan kateter, urin berdarah, iritasi pada kandung kemih.
Rasional : Meningkatkan pemahaman pasien tentang tujuan dari apa
yang dilakukan, sehingga dapat mengurangi rasa takut dan kecemasan
3) Anjurkan kepada pasien untuk mengungkapkan perasaannya kepada
orang terdekat
Rasional : mengurangi kecemasan
e. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan
pengobatan b.d kurang terpapar terhadap informasi, tidak mengenal
sumber informasi
Data pendukung :
Pasien sering bertanya tentang penyakit, pasien tidak melakukan
intervensi sesuai instruksi.
Hasil yang diharapkan / Kriteria evaluasi :
- Pasien akan memahami tentang proses penyakit
- Pasien akan dapat mengidentifikasi tentang tanda dan gejala proses
penyakit
- Pasien akan berpartisipasi dalam program pengobatan.
Tindakan/Intervensi : Pendidikan Kesehatan
1) Berikan informasi tentang penyakit : pengertian,etiologi, tanda dan
gejala penyakit.
2) Berikan informasi kepada pasien bahwa penyakit ini tidak ditularkan
secara seksual atau melalui hubungan seksual.
3) Anjurkan pasien untuk menghindari makanan berbumbu, kopi,
alkohol, mengemudikan dalam waktu yang lama, karena dapat
menyebabkan iritasi dan meningkatkan produksi urin sehingga terjadi
distensi otot bladder.
4) Berikan latihan berkemih kepada pasien post pemasangan kateter.
5) Anjurkan kepada pasien untuk melakukan kunjungan ulang selama 6
bulan sampai 1 tahun.

Anda mungkin juga menyukai