Anda di halaman 1dari 37

Laporan Kasus Bedah

URETEROLITHIASIS DAN HIPERPLASIA PROSTAT

Pembimbing :
dr. Isdiyanto S, Sp.U

Disusun oleh :
Reiny Mayawati / 07120100032

Fakultas Kedokteran Universitas Pelita Harapan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Bedah
Rumah Sakit Marinir Cilandak
Periode 23 Maret 2015 – 30 Mei 2015

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 1


LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Tn.S
Jenis Kelamin : Laki-laki
No. rekam medis : 32 78 **
Tempat/Tanggal lahir : Aceh, 01/11/1965
Usia : 50 tahun
Alamat : Jatim Padang No. 25
Pekerjaan : Supir
Agama : Islam
Status : Menikah
Tanggal Masuk RS : 7 April 2015
Tanggal Pemeriksaan : 10 April 2015

II. Pemeriksaan Subjektif (Anamnesis)


Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada tanggal 10 April 2015

II.1 Keluhan Utama


Kesulitan dan nyeri saat buang air kecil sejak 3 bulan smrs.

II.2 Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang dengan keluhan kesulitan dan nyeri ketika ingin buang air kecil sejak 3 bulan smrs.
Nyeri yang dirasakan pasien awalnya hilang timbul dari bagian pinggang kanan dan kiri menjalar
hingga ke daerah kemaluan diikuti proses buang air kecil yang sulit terkadang perlu menunggu
hingga mengejan sampai air seni keluar. Nyeri juga kemudian dirasakan pasien sepanjang
berkemih, terasa seperti perih. Selain itu pasien juga sering merasa tidak puas dan merasa tindak
tuntas dalam buang air kecil. Pancaran urin saat buang air menurut pasien melemah, terkadang
tersendat atau terputus dan menetes-netes di akhir buang air. Pasien juga mengeluhkan menjadi
sering merasa ingin buang air kecil yang terkadang tidak dapat ditahan baik saat siang hari ataupun
malam hari. Namun pasien menyangkal sering terbangun malam hari untuk buang air kecil.
Keluhan ini diakui pasien bersifat progresif tanpa adanya perbaikan sejak onset. Pasien
menyangkal adanya buang air kecil berpasir, perubahan warna air seni, maupun keluar batu dan
darah saat buang air kecil.

Pasien menyatakan telah berobat ke RS Kecamatan dan diberikan Urispas 2x1, dan biasanya
kontrol 1-2 kali dalam sebulan, namun keluhan tidak kunjung membaik maka pasien berobat ke
RS Marinir Cilandak.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 2


Dari penuturan pasien di dapatkan keterangan bahwa dirinya telah memiliki keluhan berkemih
sejak lama. Pada tahun 1989 pasien menyatakan pernah mengalami keluhan nyeri dan sulit
berkemih dan keluarnya batu saat buang air kecil sebesar biji jagung, pasien tidak ingat ciri
batunya. Namun pasien mengatakan keluhan berkemihnya kemudian hilang setelah batu tersebut
keluar. Pada tahun 2013 pasien menyatakan sering menahan buang air akibat pekerjaannya sebagai
supir, kemudian pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman saat buang air kecil, terasa seperti sangat
ingin buang air kecil namun hanya sedikit yang keluar dan terasa perih. Pasien juga sering merasa
tidak puas dan tuntas setelah buang air kecil.Tahun lalu (2014) pasien mengatakan frekuensi buang
air kecilnya bertambah bisa sampai 10 kali sehari dan terkadang terasa tak tertahankan, disertai
nyeri saat berkemih dan perasaan tidak puas. Pasien juga mengatakan terkadang kedua pinggang
dan perut bawah terasa tidak nyaman hingga menjadi nyeri yang hilang timbul hingga menjalar ke
daerah kemaluan saat ingin buang air kecil.

II.3 Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat hipertensi, dikontrol dengan Amlodipine 5 mg 1x1. (Pasien menyatakan dirinya tidak
rutin berobat untuk darah tingginya, hanya bila mengalami keluhan sakit kepala saja.)
- Riwayat Fraktur Femur (tahun 1980), dioperasi dan dirawat.
- Riwayat diabetes mellitus, serta tinggi kadar kolesterol disangkal

II.4 Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat hipertensi,menurut pasien ada pada Ayah pasien.
- Riwayat diabetes mellitus, dan tinggi kadar kolesterol pada keluarga disangkal
- Riwayat penyakit ginjal pada keluarga disangkal

II.5 Riwayat Sosial, Ekonomi, dan Lingkungan


Kesan: ekonomi menengah, hygiene dan sanitasi lingkungan diakui cukup baik

II.6 Riwayat Kebiasaan


Pasien mengaku tidak memiliki kebiasaan merokok maupun mengkonsumsi minuman beralkohol.
Riwayat penggunaan obat rutin lain kecuali Amlodipine disangkal oleh pasien. Alergi terhadap zat
makanan maupun obat-obatan disangkal oleh pasien. Pasien mengaku banyak minum air putih (±
3 liter) namun terbiasa mengkonsumsi teh setiap harinya terkadang sebagai pengganti air putih.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 3


III. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan Fisik dilakukan pada tanggal 9 April 2015

Keadaan Umum : Sakit Sedang


Kesadaran : Compos Mentis (GCS15 E4V5M6)

Tanda – Tanda Vital


Tekanan darah : 140/80 mmHg
Nadi : 80x /menit
Laju nafas : 20x /menit
Suhu : 36,5oC
Antopometri
BB : 90 kg
TB : 175 cm
BMI : 29,41 (Overweight)

III.1 Status Generalisata


Kepala dan Leher
Normocephali, tidak tampak adanya lesi, rambut tidak
Kepala
mudah dicabut
Sklera tidak ikterik -/-,
Konjungtiva tidak anemis -/-,
Mata
Refleks cahaya langsung +/+,
Refleks cahaya tidak langsung +/+
Leher Pembesaran KGB (-)
THT
Telinga Dalam batas normal
Hidung Mukosa hidung dalam batas normal, sekret (-), darah (-)
Tenggorokan Tonsil T1/T1, mukosa faring tidak hiperemis
Thorax
- Inspeksi: gerak nafas simetris kanan dan kiri, lesi (-),
retraksi (-)
- Palpasi: suara nafas / tactile fremitus simetris kanan
Paru dan kiri
- Perkusi: sonor pada kedua lapang paru
- Auskultasi: suara nafas vesikuler +/+, ronchi -/-,
wheezing -/-
- Inspeksi: tidak tampak iktus kordis
Jantung
- Palpasi: iktus kordis tidak teraba

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 4


- Perkusi: batas jantung normal
- Auskultasi: S1 S2 regular, murmur (-), gallop (-)
- Inspeksi: datar dan tidak tampak lesi
- Palpasi: supel, hepar dan lien tidak teraba, nyeri tekan
Abdomen (-),
- Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
- Auskultasi: bising usus (+)
Ekstrimitas
Akral hangat, tidak tampak edema (-), tidak tampak
Ekstrimitas Atas
cyanosis, capillary refill < 2 detik
Akral hangat, tidak tampak edema (-), tidak tampak
Ekstrimitas Bawah
cyanosis, capillary refill < 2 detik

III.2 Status Urologi

III.2.1 Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) dextra:


Inspeksi : Bulging (-) Jejas (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Ballotement (-)
Nyeri Ketok (-)

III.2.2 Regio Costo Vertebrae Angle (CVA) sinistra:


Inspeksi : Bulging (-) Jejas (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Ballotement (-)
Nyeri Ketok (-)

III.2.3 Regio Suprapubik


Inspeksi : Bulging (-) Jejas (-)
Palpasi : Nyeri Tekan (-)
Massa berkonsistensi padat teraba (-)

III.2.4 Regio Genitalia


Inspeksi : Luka (-) Bengkak (-) Kemerahan (-) Discharge (-) OUE letak normal
Palpasi : Nyeri tekan (-) Hernia (-)

III.2.5 Pemeriksaan Rectal Touche


(Tidak dilakukan pada 9 April 2015. Didapatkan data pada tanggal 20 April 2015)

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 5


RT : Tonus sfingter ani baik, ampula tidak kolaps, prostat teraba membesar
(konsistensi kenyal, permukaan licin, batas tidak teraba), nyeri tekan (-), darah (-),
feses (-).

III.2.6 Skoring IPSS


Skor IPSS: 20  termasuk kategori berat (20 – 35)

4. Seberapa sering anda


tidak dapat menahan
pipis?

IV. Pemeriksaan Penunjang

Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Pemeriksaan 8/4/2015 9/4/2015 Nilai Normal

Hemoglobin 15,0 13,9 Pria: 13-17 gr/dl


Wanita: 12 -16 gr/dl
Hematokrit 44 40,1 37-54%
Leukosit 14,8 7,7 5ribu-10ribu/ul

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 6


Trombosit 283 rb 289 rb 150ribu – 400ribu/ul
Clotting Time 4’ 2-6 menit
Bleeding Time 2’ 1-3 menit
Golongan Darah O/+
GDS 109 <200 mg/dl

Pemeriksaan Foto BNO (Tanggal 24 Maret 2015)

Preperitoneal fat line baik


Distribusi udara usus normal sampai ke distal di cavum pelvis
Hepar dan lien tidak membesar
Kontur ginjal kanan dan kiri tampak jelas
Osteofit pada VL 3, 4, 5
Tampak bayangan radiopaque setinggi VL 2 kiri

Kesan : Suspek Ureterolitiasis Proksimal Kiri dd/ Nephrolitiasis Kiri

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 7


USG Abdomen (Ginjal dan Buli) pada tanggal 18 Februari 2015

- Ginjal Kanan : ukuran normal, tampak dilatasi berat sistem pelviocalyceal, echogenisitas
cortex baik, cortex menipis, tak tampak batu/kista.
- Ginjal Kiri : ukuran normal, tampak dilatasi sedang sistem pelviocalyceal,
echogenisitas cortex baik, tampak batu di pelvis renalis uk. 1,7 cm.
- Buli : ukuran normal, dinding tak menebal, terdesak prostat di bagian posterior,
tak tampak batu.
- Prostat : Membesar dengan vol. 63,3 cm3, echoparenkim homogen, lesi fokal (-),
tak tampak ascites

Kesan : Hydronephrosis berat kanan suspek ureterolithiasis kanan.


Hydronephosis sedang kiri karena batu di pelvis renalis kiri.
BPH

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 8


Hasil Urinalisa Lengkap pada tanggal 20 April 2015

V. Resume

Tn.S datang dengan keluhan kesulitan dan nyeri ketika ingin buang air kecil sejak 3 bulan smrs.
Nyeri yang dirasakan pasien awalnya hilang timbul dari bagian pinggang kanan dan kiri menjalar
hingga ke daerah kemaluan diikuti proses buang air kecil yang sulit terkadang perlu menunggu
hingga mengejan sampai air seni keluar. Nyeri juga kemudian dirasakan pasien sepanjang
berkemih, terasa seperti perih. Selain itu pasien juga sering merasa tidak puas dan merasa tindak
tuntas dalam buang air kecil. Pancaran urin saat buang air menurut pasien melemah, terkadang
tersendat atau terputus dan menetes-netes di akhir buang air. Pasien juga mengeluhkan menjadi
sering merasa ingin buang air kecil yang terkadang tidak dapat ditahan baik saat siang hari ataupun
malam hari. Namun pasien menyangkal sering terbangun malam hari untuk buang air kecil.
Keluhan ini diakui pasien bersifat progresif tanpa adanya perbaikan sejak onset. Pasien
menyangkal adanya buang air kecil berpasir, perubahan warna air seni, keluar batu dan darah saat
buang air kecil.

Pada pemeriksaan fisik ditemukan pembesaran kelenjar prostat pada pemeriksaan RT (dengan
permukaan licin, konsistensi kenyal, batas tidak teraba, dan tidak nyeri). Pada hasil pemeriksaan
foto BNO didapatkan kesan suspek ureterolitiasis proksimal kiri dd/ nephrolitiasis kiri dan pada
USG ditemukan hidronefrosis ginjal kanan dan kiri, batu pada pelvis renal kiri, dan pembesaran
prostat dengan volume 63,3 cm3 .

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 9


VI. Diagnosis
Diagnosis Kerja :
- Ureterolitiasis Proksimal Sinistra
- Hiperplasia Prostat Jinak

VII. Pemeriksaan Anjuran


 Pemeriksaan ureum, kreatinin, laju filtrasi glomerulus
 Kadar kalsium, fosfat dan asam urat dalam urin 24 jam
 Pemeriksaan jaringan prostat
 Pemeriksaan kadar PSA

VIII. Penatalaksanaan
 Konsul Bedah Urologi
 Persiapan Operasi : Diet = Puasa 8 jam
IVFD RL 30 tpm
Ceftriaxone 2 x 1 gram IV drip dalam NaCl 0,9%
100cc
Katapres 1 Amp IV diencerkan 3 cc IV pelan (per 15
menit hingga tensi normal.)
Tramadol 3 x 50 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
Kalnex 3 x 500 mg IV

 Dilakukan tindakan pembedahan Ureterolitotomi pada tanggal 9 April 2015 pukul 14:00 –
16:00 di OK RS Marinir Cilandak :
(Berikut adalah dokumentasi selama proses operasi dilaksanakan.)

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 10


Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 11
 Persiapan Operasi : Diet = Puasa 8 jam
IVFD RL 30 tpm
Ceftriaxone 2 x 1 gram IV drip dalam NaCl 0,9%
100cc
Tramadol 3 x 50 mg IV
Ranitidin 2 x 50 mg IV
Kalnex 3 x 500 mg IV

 Dilakukan operasi TURP (Reseksi Prostat Transuretra) pada tanggal 7 Mei 2015 pukul 15:00
– 17:00 di OK RS Marinir Cilandak :
(Berikut adalah dokumentasi selama proses operasi dilaksanakan.)

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 12


Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 13
IX. Prognosis
Quo ad Vitam : dubia at bonam
Quo ad Functionam : dubia at bonam
Quo ad Sanationam : dubia at bonam

X. Follow Up
Tanggal Jam Follow-up
10/04/2015 10:00 S: Pasien masih merasakan nyeri pada luka bekas operasi. Mual (-),
muntah (-)Kepala terasa berat (-), pusing berputar (-), buang angin
(-), BAB belum, BAK (terpasang selang kateter, prod.(+))

O:
KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
TTV:
- TD: 130/80 mmHg
- HR: 80 x/min
- RR: 18 x/min
- Suhu: 37 C
Kepala : normocephali
Mata: CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+
THT, leher: faring dan tonsil tenang
Dada/Thorax: gerak nafas simetris, retraksi (-)
Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru: suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (-), NT (-)
Ekstrimitas: akral hangat, edema (-), CRT<2”

IVFD baik, terpasang DC & Drain baik, terpasang Kateter produksi


urine (+) kuning 1000 cc

St. Lokalis Regio Suprapubik


Tampak luka operasi tertutup kasa, rembesan darah (-)
Drain : Cairan darah 20 cc

A: Post-Op Urolitotomi Hari-1


Gangguan rasa nyaman nyeri.

P:

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 14


- Puasa
- IVFD RL 30tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV drip dalam NaCl 0,9%
100cc
- Inj. Tramadol 3 x 1 Amp IV
- Inj. Ranitidin 2 x 1 Amp IV
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg IV

10/04/2015 22:00 S: Pasien masih merasakan nyeri pada luka bekas operasi. Mual (-),
muntah (-)Kepala terasa berat (-), pusing berputar (-), buang angin
(+), BAB belum, BAK (terpasang selang kateter, prod.(+))

O:
KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
TTV:
- TD: 140/90 mmHg
- HR: 80 x/min
- RR: 20 x/min
- Suhu: 36 C
Kepala : normocephali
Mata: CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+
THT, leher: faring dan tonsil tenang
Dada/Thorax: gerak nafas simetris, retraksi (-)
Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru: suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+), NT (-)
Ekstrimitas: akral hangat, edema (-), CRT<2”

IVFD baik, terpasang DC & Drain baik, terpasang Kateter produksi


urine (+) kuning 2000 cc

St. Lokalis Regio Suprapubik


Tampak luka operasi tertutup kasa, rembesan darah (-)
Drain : Cairan darah 20 cc

A: Post-Op Urolitotomi Hari-1


Gangguan rasa nyaman nyeri.

P:

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 15


- Diet bertahap (biasa)
- IVFD RL 20 tpm
- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV drip dalam NaCl 0,9%
100cc
- Inj. Tramadol 3 x 1 Amp IV
- Inj. Ranitidin 2 x 1 Amp IV
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg IV
- Rencana pulang besok jika tidak ada keluhan

8 Mei 2015 11:00 S: Pasien tidak menyatakan adanya keluhan. Mual (-), muntah (-
)Kepala terasa berat (-), pusing berputar (-), buang angin (+), BAB
belum, BAK (terpasang selang kateter, prod.(+))

O:
KU: tampak sakit ringan
Kesadaran: compos mentis
TTV:
- TD: 130/90 mmHg
- HR: 88 x/min
- RR: 20 x/min
- Suhu: 36 C
Kepala : normocephali
Mata: CA -/-, SI -/-, RCL +/+, RCTL +/+
THT, leher: faring dan tonsil tenang
Dada/Thorax: gerak nafas simetris, retraksi (-)
Jantung: S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
Paru: suara nafas vesikuler +/+, wheezing -/-, ronchi -/-
Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak teraba, BU (+), NT (-)
Ekstrimitas: akral hangat, edema (-), CRT<2”

IVFD baik, terpasang DC, terpasang Kateter produksi urine (+)


kuning 1000 cc

St. Lokalis Regio Genitourinaria

A: Post-Op TURP Hari-1

P:
- IVFD RL 20 tpm

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 16


- Inj. Ceftriaxone 2 x 1 gram IV drip dalam NaCl 0,9%
100cc
- Inj. Tramadol 3 x 1 Amp IV
- Inj. Ranitidin 2 x 1 Amp IV
- Inj. Kalnex 3 x 500 mg IV
- Rencana pulang besok jika tidak ada keluhan

XI. Tinjauan Pustaka

UROLITHIASIS

A. Definisi

Urolithiasis adalah adanya batu (kalkuli) di traktus urinarius (Brunner and Suddarth, 2002, hal.
1460). Urolithiasis adalah kalsifikasi dengan sistem urinari kalkuli, seringkali disebut batu ginjal. Batu
dapat berpindah ke ureter dan kandung kemih (Black, Joyce, 1997, hal. 1595).

B. Klasifikasi

Tanda dan gejala penyakit batu saluran kemih ditentukan oleh letaknya, besarnya dan
morfologinya. Walaupun demikian penyakit ini mempunyai tanda umum yaitu hematuria, baik
hematuria makroskopik atau mikroskopik. Selain itu, bila disertai infeksi saluran kemih dapat juga
ditemukan kelainan endapan urin bahkan mungkin demam atau tanda sistemik lain

Berdasarkan jenisnya batu dibagi dalam :

2.1 Batu Pelvis Ginjal

Batu pielum didapatkan dalam bentuk yang sederhana sehingga hanya menempati bagian
pelvis, tetapi dapat juga tumbuh mengikuti bentuk susunan pelviokaliks, sehingga bercabang
menyerupai tanduk rusa. Kadang batu hanya terdapat di suatu kaliks. Batu pelvis ginjal dapat
bermanifestasi tanpa gejala sampai dengan gejala berat. Umumnya gejala batu saluran kemih
merupakan akibat dari obstruksi aliran kemih atau infeksi

Nyeri di daerah pinggang dapat dalam bentuk pegal hingga kolik atau nyeri yang terus
menerus dan hebat karena adanya pionefrosis.Pada pemeriksaan fisik mungkin kelainan sama sekali
tidak ada, sampai mungkin terabanya ginjal yang membesar akibat adanya hidronefrosis.Nyeri dapat
berupa nyeri tekan atau ketok pada daerah arkus costa pada sisi ginjal yang terkena. Sesuai dengan
gangguan yang terjadi, batu ginjal yang terletak di pelvis dapat menyebabkan terjadinya hidronefrosis,
sedangkan batu kaliks pada umumnya tidak memberikan kelainan fisik.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 17


2.2 Batu Ureter

Anatomi ureter menunjukkan beberapa tempat penyempitan yang memungkinkan batu ureter
dapat terhenti, karena adanya peristaltis maka akan terjadi gejala kolik yaitu nyeri yang hilang timbul
disertai perasaan mual dengan atau tanpa muntah dengan nyeri alih khas. Selama batu bertahan di
tempat yang menyumbat, selama itu kolik akan datang sampai batu bergeser dan memberi kesempatan
pada air kemih untuk lewat.

Batu ureter mungkin dapat lewat sampai ke kandung kemih dan kemudian keluar bersama
kemih. Batu ureter juga bisa sampai ke kandung kemih dan kemudian berupa nidus menjadi batu
kandung kemih yang besar. Batu juga bisa tetap tinggal di ureter sambil menyumbat dan menyebabkan
obstruksi kronik dengan hidroureter yang mungkin asimptomatik. Tidak jarang terjadi hematuria yang
didahului oleh serangan kolik. Bila keadaan obstruksi terus berlangsung, lanjutan dari kelainan yang
terjadi dapat berupa hidronefrosis dengan atau tanpa pielonefritis, sehingga menimbulkan gambaran
infeksi umum

2.3 Batu Vesika Urinaria

Karena batu menghalangi aliran air kemih akibat penutupan leher kandung kemih, maka aliran
yang mula-mula lancar secara tiba-tiba akan terhenti dan menetes disertai dengan rasa nyeri. Pada
anak, menyebabkan anak yang bersangkutan menarik penisnya sehingga tidak jarang dilihat penis yang
agak panjang. Bila pada saat sakit tersebut penderita berubah posisi maka suatu saat air kemih akan
dapat keluar karena letak batu yang berpindah. Bila selanjutnya terjadi infeksi yang sekunder, maka
nyeri menetap di suprapubik

2.4 Batu Prostat

Pada umunya batu prostat juga berasal dari air kemih yang secara retrograde terdorong ke
dalam saluran prostat dan mengendap, yang akhirnya berupa batu yang kecil. Pada umumnya batu ini
tidak memberikan gejala sama sekali karena tidak menyebabkan gangguan pasase air kemih

2.5 Batu Uretra

Batu uretra umumnya merupakan batu yang berasal dari ureter atau vesika urinaria yang oleh
aliran kemih sewaktu miksi terbawa ke uretra, tetapi menyangkut di tempat yang agak lebar. Tempat
uretra yang agak lebar ini adalah di pars bulbosa dan di fossa navikular. Bukan tidak mungkin dapat
ditemukan di tempat lain. Gejala yang ditimbulkan umumnya sewaktu miksi tiba-tiba terhenti, menjadi
menetes dan terasa nyeri. Penyulit dapat berupa terjadinya divertikel, abses, fistel proksimal, dan
uremia karena obstruksi urin

2.6 Batu kalsium

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 18


Terutama dibentuk oleh pria pada usia rata-rata timbulnya batu adalah dekade ketiga.
Kebanyakan orang yang membentuk batu lagi dan interval antara batu-batu yang berturutan memendek
atau tetap konstan. Kandungan dari batu jenis ini terdiri atas kalsium oksalat, kalsium fosfat atau
campuran dari kedua jenis batu tersebut.

Faktor yang menyebabkan terjadinya batu kalsium adalah :

Hiperkalsiuria

Dapat disebabkan oleh pembuangan kalsium ginjal primer atau sekunder terhadap absorbsi
traktus gastrointestinal yang berlebihan. Hiperkalsiuria absorptif dapat juga disebabkan oleh
hipofosfatemia yang merangsang produksi vitamin D3.

Tipe yang kurang sering adalah penurunan primer pada reabsorbsi kalsium di tubulus ginjal, yang
mengakibatkan hiperkalsiuria di ginjal.

Hipositraturia

Sitrat dalam urin menaikkan kelarutan kalsium dan memperlambat perkembangan batu
kalsium oxalat. Hipositraturia dapat terjadi akibat asidosis tubulus distal ginjal, diare kronik atau
diuretik tiazid.

Hiperoksalouria

Terdapat pada 15% pasien dengan penyakit batu berulang (> 60 mg/hari). Hiperoksaluria
primer jarang terjadi, kelainana metabolisme kongenital yang merupakan autosan resesif yang secara
bermakna meningkatkan ekskresi oksalat dalam urin, pembentukan batu yang berulang dan gagal ginjal
pada anak.

2.7 Batu asam urat

Batu asam urat merupakan penyebab yang paling banyak dari batu-batu radiolusen di ginjal.
Batu-batu tersebut dapat terbentuk jika terdapat hiperurikosuria dan urin asam yang menetap.

2.8 Batu struvit


Sering ditemukan dan potensial berbahaya. Batu ini terutama pada wanita, diakibatkan oleh
infeksi saluran kemih oleh bakteri-bakteri yang memiliki urease, biasanya dari psesies proteus. Batu ini
dapat tumbuh menjadi besar dan mengisi pelvis ginjal dan kalises untuk menimbulkan suatu
penampilan seperti “tanduk rusa jantan”. Dalam urin, kristal struvit berbentuk prisma bersegi empat
yang menyerupai tutup peti mati.

C. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis adanya batu dalam traktus urinarius bergantung pada adanya obstruksi, infeksi dan
edema.

- Ketika batu menghambat aliran urin, terjadi obstruksi, menyebabkan peningkatan tekanan
hidrostatik dan distensi piala ginjal serta ureter proksimal.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 19


- Infeksi (pielonefritis dan sistitis yang disertai menggigil, demam dan disuria) dapat terjadi
dari iritasi batu yang terus menerus. Beberapa batu menyebabkan sedikit gejala namun secara perlahan
merusak unit fungsional (nefron) ginjal.

- Nyeri yang luar biasa dan ketidak nyamanan.

a. Batu di ginjal

- Nyeri dalam dan terus-menerus di area kostovertebral.

- Hematuria dan piuria.

- Nyeri berasal dari area renal menyebar secara anterior dan pada wanita nyeri ke bawah
mendekati kandung kemih sedangkan pada pria mendekati testis.

- Mual dan muntah.

- Diare.

b. Batu di ureter

- Nyeri menyebar ke paha dan genitalia.

- Rasa ingin berkemih namun hanya sedikit urine yang keluar.

- Hematuria akibat aksi abrasi batu.

- Biasanya batu bisa keluar secara spontan dengan diameter batu 0,5-1 cm.

c. Batu di kandung kemih

- Biasanya menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan
hematuria.

- Jika batu menyebabkan obstruksi pada leher kandung kemih akan terjadi retensi urine.

D. Patofisiologi

Mekanisme terbentuknya batu pada saluran kemih atau dikenal dengan urolitiasis belum
diketahui secara pasti. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya batu antara lain :
Peningkatan konsentrasi larutan urin akibat dari intake cairan yang kurang dan juga peningkatan
bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih atau stasis urin menyajikan sarang untuk
pembentukan batu.

Supersaturasi elemen urin seperti kalsium, fosfat, oxalat, dan faktor lain mendukung
pembentukan batu meliputi : pH urin yang berubah menjadi asam, jumlah solute dalam urin dan jumlah
cairan urin. Masalah-masalah dengan metabolisme purin mempengaruhi pembentukan batu asam urat.
pH urin juga mendukung pembentukan batu. Batu asam urat dan batu cystine dapat mengendap dalam
urin yang asam. Batu kalsium fosfat dan batu struvite biasa terdapat dalam urin yang alkalin. Batu
oxalat tidak dipengaruhi oleh pH urin.

Imobilisasi yang lama akan menyebabkan pergerakan kalsium menuju tulang akan terhambat.
Peningkatan serum kalsium akan menambah cairan yang akan diekskresikan. Jika cairan masuk tidak

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 20


adekuat maka penumpukan atau pengendapan semakin bertambah dan pengendapan ini semakin
kompleks sehingga terjadi batu.

Batu yang terbentuk dalam saluran kemih sangat bervariasi, ada batu yang kecil dan batu yang
besar. Batu yang kecil dapat keluar lewat urin dan akan menimbulkan rasa nyeri, trauma pada saluran
kemih dan akan tampak darah dalam urin. Sedangkan batu yang besar dapat menyebabkan obstruksi
saluran kemih yang menimbulkan dilatasi struktur, akibat dari dilatasi akan terjadi refluks urin dan
akibat yang fatal dapat timbul hidronefrosis karena dilatasi ginjal.

Kerusakan pada struktur ginjal yang lama akan mengakibatkan kerusakan pada organ-organ
dalam ginjal sehingga terjadi gagal ginjal kronis karena ginjal tidak mampu melakukan fungsinya
secara normal. Maka dapat terjadi penyakit GGK yang dapat menyebabkan kematian

E. Penatalaksanaan

1. Terapi Konservatif
Sebagian besar batu ureter mempunyai diameter <5 mm. Seperti disebutkan sebelumnya, batu
ureter <5 mm bisa keluar spontan. Terapi bertujuan untuk mengurangi nyeri, memperlancar aliran
urin dengan pemberian diuretikum, berupa :
b. Minum sehingga diuresis 2 liter/ hari
c. α - blocker
d. NSAID
Batas lama terapi konservatif adalah 6 minggu. Di samping ukuran batu syarat lain untuk
observasi adalah berat ringannya keluhan pasien, ada tidaknya infeksi dan obstruksi. Adanya kolik
berulang atau ISK menyebabkan observasi bukan merupakan pilihan. Begitu juga dengan adanya
obstruksi, apalagi pada pasien-pasien tertentu (misalnya ginjal tunggal, ginjal trasplan dan
penurunan fungsi ginjal ) tidak ada toleransi terhadap obstruksi. Pasien seperti ini harus segera
dilakukan intervensi.

2. ESWL (Extracorporeal Shockwave Lithotripsy)


Berbagai tipe mesin ESWL bisa didapatkan saat ini. Walau prinsip kerjanya semua sama,
terdapat perbedaan yang nyata antara mesin generasi lama dan baru, dalam terapi batu ureter. Pada
generasi baru titik fokusnya lebih sempit dan sudah dilengkapi dengan flouroskopi, sehingga
memudahkan dalam pengaturan target/posisi tembak untuk batu ureter. Hal ini yang tidak terdapat
pada mesin generasi lama, sehingga pemanfaatannya untuk terapi batu ureter sangat terbatas.
Meskipun demikian mesin generasi baru ini juga punya kelemahan yaitu kekuatan tembaknya
tidak sekuat yang lama, sehingga untuk batu yang keras perlu beberapa kali tindakan. 9

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 21


Dengan ESWL sebagian besar pasien tidak perlu dibius, hanya diberi obat penangkal nyeri.
Pasien akan berbaring di suatu alat dan akan dikenakan gelombang kejut untuk memecahkan
batunya Bahkan pada ESWL generasi terakhir pasien bisa dioperasi dari ruangan terpisah. Jadi,
begitu lokasi ginjal sudah ditemukan, dokter hanya menekan tombol dan ESWL di ruang operasi
akan bergerak. Posisi pasien sendiri bisa telentang atau telungkup sesuai posisi batu ginjal. Batu
ginjal yang sudah pecah akan keluar bersama air seni. Biasanya pasien tidak perlu dirawat dan
dapat langsung pulang.
ESWL ditemukan di Jerman dan dikembangkan di Perancis. Pada Tahun 1971, Haeusler dan
Kiefer memulai uji coba secara in-vitro penghancuran batu ginjal menggunakan gelombang kejut.
Tahun 1974, secara resmi pemerintah Jerman memulai proyek penelitian dan aplikasi ESWL.
Kemudian pada awal tahun 1980, pasien pertama batu ginjal diterapi dengan ESWL di kota
Munich menggunakan mesin Dornier Lithotripter HMI. Kemudian berbagai penelitian lanjutan
dilakukan secara intensif dengan in-vivo maupun in-vitro. Barulah mulai tahun 1983, ESWL
secara resmi diterapkan di Rumah Sakit di Jerman. Di Indonesia, sejarah ESWL dimulai tahun
1987 oleh Prof.Djoko Raharjo di Rumah Sakit Pertamina, Jakarta. Sekarang, alat generasi terbaru
Perancis ini sudah dimiliki beberapa rumah sakit besar di Indonesia seperti Rumah Sakit Advent
Bandung dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo.
Pembangkit (generator) gelombang kejut dalam ESWL ada tiga jenis yaitu elektrohidrolik,
piezoelektrik dan elektromagnetik. Masing-masing generator mempunyai cara kerja yang berbeda,
tapi sama-sama menggunakan air atau gelatin sebagai medium untuk merambatkan gelombang
kejut. Air dan gelatin mempunyai sifat akustik paling mendekati sifat akustik tubuh sehingga tidak
akan menimbulkan rasa sakit pada saat gelombang kejut masuk tubuh.
ESWL merupakan alat pemecah batu ginjal dengan menggunakan gelombang kejut antara 15-
22 kilowatt. Meskipun hampir semua jenis dan ukuran batu ginjal dapat dipecahkan oleh ESWL,
masih harus ditinjau efektivitas dan efisiensi dari alat ini. ESWL hanya sesuai untuk
menghancurkan batu ginjal dengan ukuran kurang dari 3 cm serta terletak di ginjal atau saluran
kemih antara ginjal dan kandung kemih (kecuali yang terhalang oleh tulang panggul). Hal laim
yang perlu diperhatikan adalah jenis batu apakah bisa dipecahkan oleh ESWL atau tidak. Batu
yang keras (misalnya kalsium oksalat monohidrat) sulit pecah dan perlu beberapa kali tindakan.
ESWL tidak boleh digunakan oleh penderita darah tinggi, kencing manis, gangguan pembekuan
darah dan fungsi ginjal, wanita hamil dan anak-anak, serta berat badan berlebih (obesitas).
Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita dan anak-anak juga harus
dipertimbangkan dengan serius. Sebab ada kemungkinan terjadi kerusakan pada ovarium.
Meskipun belum ada data yang valid, untuk wanita di bawah 40 tahun sebaiknya diinformasikan
sejelas-jelasnya

3. Endourologi
Tindakan Endourologi adalah tindakan invasif minimal untuk mengeluarkan batu saluran
kemih yang terdiri atas memecah batu, dan kemudian mengeluarkannya dari saluran kemih melalui

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 22


alat yang dimasukkan langsung ke dalam saluran kemih. Alat itu dimasukkan melalui uretra atau
melalui insisi kecil pada kulit (perkutan). Proses pemecahan batu dapat dilakukan secara mekanik,
dengan memakai energi hidraulik, energi gelombang suara, atau dengan energi laser.
Beberapa tindakan endourologi antara lain:
a. PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy) yaitu mengeluarkan batu yang berada
di dalam saluran ginjal dengan cara memasukkan alat endoskopi ke sistem
kalises melalui insisi pada kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah
terlebih dahulu menjadi fragmen-fragmen kecil.
PNL yang berkembang sejak dekade 1980-an secara teoritis dapat
digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Tapi dalam prakteknya sebagian
besar telah diambil alih oleh URS dan ESWL. Meskipun demikian untuk batu
ureter proksimal yang besar dan melekat masih ada tempat untuk PNL. Prinsip
dari PNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara perkutan. Kemudian
melalui akses tersebut kita masukkan nefroskop rigid atau fleksibel, atau
ureteroskop, untuk selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah dulu.
Keuntungan dari PNL, bila batu kelihatan, hampir pasti dapat diambil
atau dihancurkan; fragmen dapat diambil semua karena ureter bisa dilihat
dengan jelas. Prosesnya berlangsung cepat dan dengan segera dapat diketahui
berhasil atau tidak. Kelemahannya adalah PNL perlu keterampilan khusus bagi
ahli urologi. Sebagian besar pusat pendidikan lebih banyak menekankan pada
URS dan ESWL dibanding PNL.
b. Litotripsi (untuk memecah batu buli-buli atau batu uretra dengan memasukkan
alat pemecah batu/litotriptor ke dalam buli-buli),
c. Ureteroskopi atau uretero-renoskopi. Keterbatasan URS adalah tidak bisa untuk
ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga perlu alat pemecah batu
seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis pemecah batu
tertentu, tergantung pada pengalaman masing-masing operator dan ketersediaan
alat tersebut.
d. Ekstraksi Dormia (mengeluarkan batu ureter dengan menjaringnya melalui alat
keranjang Dormia).
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980 an telah mengubah secara
dramatis terapi batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound,
EHL, laser dan pneumatik telah sukses dalam memecah batu ureter. Juga batu ureter
dapat diekstraksi langsung dengan tuntunan URS. Dikembangkannya semirigid URS
dan fleksibel URS telah menambah cakupan penggunaan URS untuk terapi batu
ureter.

4. Bedah Terbuka
Di klinik-klinik yang belum mempunyai fasilitas yang memadai untuk tindakan-tindakan
endourologi, laparoskopi, maupun ESWL, pengambilan batu masih dilakukan melalui

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 23


pembedahan terbuka. Pembedahan terbuka itu antara lain adalah: pielolitotomi atau nefrolitotomi
untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan ureterolitotomi untuk batu di ureter. Tidak jarang
pasien harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena ginjalnya sudah tidak
berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis), korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami
pengkerutan akibat batu saluran kemih yang menimbulkan obstruksi atau infeksi yang menahun.
Beberapa variasi operasi terbuka untuk batu ureter mungkin masih dilakukan. Tergantung
pada anatomi dan posisi batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau
anterior. Meskipun demikian dewasa ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2
persen saja, terutama pada penderita-penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter
yang besar.

5. Pemasangan Stent
Meskipun bukan pilihan terapi utama, pemasangan stent ureter terkadang memegang peranan
penting sebagai tindakan tambahan dalam penanganan batu ureter. Misalnya pada penderita sepsis
yang disertai tanda-tanda obstruksi, pemakaian stent sangat perlu. Juga pada batu ureter yang
melekat (impacted).11
Setelah batu dikeluarkan dari saluran kemih, tindakan selanjutnya yang tidak kalah pentingnya
adalah upaya menghindari timbulnya kekambuhan. Angka kekambuhan batu saluran kemih rata-
rata 7% per tahun atau kurang lebih 50% dalam 10 tahun.

F. Komplikasi

Dibedakan komplikasi akut dan komplikasi jangka panjang. Komplikasi akut


yang sangat diperhatikan oleh penderita adalah kematian, kehilangan ginjal, kebutuhan
transfusi dan tambahan intervensi sekunder yang tidak direncanakan. Data kematian,
kehilangan ginjal dan kebutuhan transfusi pada tindakan batu ureter memiliki risiko sangat
rendah. Komplikasi akut dapat dibagi menjadi yang signifikan dan kurang signifikan. Yang
termasuk komplikasi signifikan adalah avulsi ureter, trauma organ pencernaan, sepsis,
trauma vaskuler, hidro atau pneumotorak, emboli paru dan urinoma. Sedang yang termasuk
kurang signifikan perforasi ureter, hematom perirenal, ileus, stein strasse, infeksi luka
operasi, ISK dan migrasi stent.
Komplikasi jangka panjang adalah striktur ureter. Striktur tidak hanya
disebabkan oleh intervensi, tetapi juga dipicu oleh reaksi inflamasi dari batu, terutama yang
melekat. Angka kejadian striktur kemungkinan lebih besar dari yang ditemukan karena
secara klinis tidak tampak dan sebagian besar penderita tidak dilakukan evaluasi radiografi
(IVP) pasca operasi.
Obstruksi adalah komplikasi dari batu ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya
hidronefrosis dan kemudian berlanjut dengan atau tanpa pionefrosis yang berakhir dengan
kegagalan faal ginjal yang terkena. Komplikasi lainnya dapat terjadi saat penanganan batu
dilakukan. Infeksi, termasuk didalamnya adalah pielonefritis dan sepsis yang dapat terjadi

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 24


melalui pembedahan terbuka maupun noninvasif seperti ESWL. Biasanya infeksi terjadi
sesaat setelah dilakukannya PNL, atau pada beberapa saat setelah dilakukannya ESWL saat
pecahan batu lewat dan obstruksi terjadi. Cidera pada organ-organ terdekat seperti lien,
hepar, kolon dan paru serta perforasi pelvis renalis juga dapat terjadi saat dilakukan PNL,
visualisasi yang adekuat, penanganan yang hati-hati, irigasi serta drainase yang cukup dapat
menurunkan resiko terjadinya komplikasi ini.
Pada batu ginjal nonstaghorn, komplikasi berupa kehilangan darah, demam, dan
terapi nyeri yang diperlukan selama dan sesudah prosedur lebih sedikit dan berbeda secara
bermakna pada ESWL dibandingkan dengan PNL. Demikian pula ESWL dapat dilakukan
dengan rawat jalan atau perawatan yang lebih singkat dibandingkan PNL.
Komplikasi akut meliputi transfusi, kematian, dan komplikasi keseluruhan. Dari
meta-analisis, kebutuhan transfusi pada PNL dan kombinasi terapi sama (< 20%).
Kebutuhan transfusi pada ESWL sangat rendah kecuali pada hematom perirenal yang besar.
Kebutuhan transfusi pada operasi terbuka mencapai 25-50%. Mortalitas akibat tindakan
jarang, namun dapat dijumpai, khususnya pada pasien dengan komorbiditas atau mengalami
sepsis dan komplikasi akut lainnya. Dari data yang ada di pusat urologi di Indonesia, risiko
kematian pada operasi terbuka kurang dari 1%.15
Komplikasi ESWL meliputi kolik renal (10,1%), demam (8,5%), urosepsis
(1,1%) dan steinstrasse (1,1%). Hematom ginjal terjadi akibat trauma parietal dan viseral.
Hasil studi pada hewan tidak menunjukkan adanya kelainan lanjut yang berarti. Dalam
evaluasi jangka pendek pada anak pasca ESWL, dijumpai adanya perubahan fungsi tubular
yang bersifat sementara yang kembali normal setelah 15 hari. Belum ada data mengenai
efek jangka panjang pasca ESWL pada anak.
Komplikasi pasca PNL meliputi demam (46,8%) dan hematuria yang
memerlukan transfusi (21%). Konversi ke operasi terbuka pada 4,8% kasus akibat
perdarahan intraoperatif, dan 6,4% mengalami ekstravasasi urin. Pada satu kasus dilaporkan
terjadi hidrothoraks pasca PNL. Komplikasi operasi terbuka meliputi leakage urin (9%),
infeksi luka (6,1%), demam (24,1%), dan perdarahan pascaoperasi (1,2%). Pedoman
penatalaksanaan batu ginjal pada anak adalah dengan ESWL monoterapi, PNL, atau operasi
terbuka.

G. Prognosis

Prognosis batu ginjal tergantung dari faktor-faktor ukuran batu, letak batu, dan
adanya infeksi serta obstruksi. Makin besar ukuran suatu batu, makin buruk prognosisnya.
Letak batu yang dapat menyebabkan obstruksi dapat mempermudah terjadinya infeksi.
Makin besar kerusakan jaringan dan adanya infeksi karena faktor obstruksi akan dapat
menyebabkan penurunan fungsi ginjal.
Pada pasien dengan batu yang ditangani dengan ESWL, 60% dinyatakan bebas
dari batu, sisanya masih memerlukan perawatan ulang karena masih ada sisa fragmen batu

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 25


dalam saluran kemihnya. Pada pasien yang ditangani dengan PNL, 80% dinyatakan bebas
dari batu, namun hasil yang baik ditentukan pula oleh pengalaman operator.

HIPERPLASIA PROSTAT

A. BPH (Benign Prostate Hyperplasia)


Istilah benign prostate hyperplasia yang disingkat BPH, mengacu pada perubahan histologis
yang ditandai dengan hiperplasia nodular kelenjar prostat pada zona periurethral yang sifatnya
perlahan dalam jangka waktu yang lama dan progresif.
Faktor risiko berkembangnya BPH masih sedikit diketahui, beberapa studi menyatakan
adanya presdisposisi genetik. Sekitar 50% pria dibawah usia 60 tahun yang menjalani operasi karena
BPH memiliki bakat genetik untuk menurunkan kelainan ini terhadap generasi selanjutnya secara
autosomal dominan dan generasi tingkat pertama penderita BPH akan memiliki resiko sekitar empat
kali lipat menderita BPH.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 26


B. Etiologi BPH
Belum sepenuhnya diketahui penyebab hiperplasia prostat, meski dicurigai terjadi secara
multifaktorial dan dikontrol secara endokrin, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia
prostat erat kaitannya dengan peningkatan kadar dihidrotestosteron (DHT) dan proses aging (menjadi
tua). Beberapa hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia prostat adalah 11:

(1) Teori dihidrotestosteron


(2) adanya ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron
(3) interaksi antara sel stroma dan sel epitel prostat
(4) berkurangnya kematian sel (apoptosis)
(5) teori stem sel

1. Teori dihidrotestosteron
Dihidrotestosteron atau DHT adalah metabolit androgen yang sangat penting pada pertumbuhan
sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron di dalam sel prostat oleh enzim 5α-reduktase dengan
bantuan koenzim NADPH. DHT yang telah terbentuk berikatan denga reseptor androgen (RA)
membentuk kompleks DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi sintesis protein growth factor yang
menstimulasi pertumbuhan sel prostat.
Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh berbeda dengan
kadarnya pada prostat normal, hanya saja pada BPH, aktivitas enzim 5α-reduktase dan jumlah reseptor
androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif
terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal .

2. Ketidak seimbangan antara estrogen-testosteron


Pada usia yang semakin tua, kadar testosteron menurun, sedangkan kadar estrogen relatitif tetap
sehingga perbandingan antara estrogen : testosteron relatif meningkat. Telah diketahui bahwa estrogen
di dalam prostat berperan dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara
meningkatkan sensitifitas sel-sel prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah
reseptor androgen, dan menurunkan jumlah kematian sel-sel prostat (apoptosis). Hasil akhir dari semua
keadaan ini adalah, meskipun rangsangan terbentuknya sel-sel baru akibat rangsangan testosteron

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 27


menurun, tetapi sel-sel prostat yang telah ada mempunyai umur yang lebih panjang sehingga massa
prostat jadi lebih besar.

3. Interaksi stroma-epitel
Cunha (1973) membuktikan bahwa diferensiasi dan pertumbuhan sel epitel prostat secara tidak
langsung dikontrol oleh sel-sel stroma melalui suatu mediator (growth factor) tertentu. Setelah sel-sel
stroma mendapatkan stimulasi dari DHT dan estradiol, sel-sel stroma mensintesis suatu growth factor
yang selanjutnya mempengaruhi sel-sel stroma itu sendiri secara intrakrin dan atuokrin, serta
mempengaruhi sel-sel epitel secara parakrin. Stimulasi itu menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel
epitel maupun sel stroma.

4. Berkurangnya kematian sel prostat


Program kematian sel (apoptosisi) pada sel prostat adalah mekanisme fisiologik untuk
mempertahankan homeostasis kelenjar prostat. Pada apoptosis terjadi kondensasi dan fragmentasi sel
yang selanjutnya sel-sel yang mengalami apoptosis akan difagositosis oleh sel-sel di sekitarnya
kemudian didegradasi oleh enzim lisosom.
Pada jaringan normal, terdapat keseimbangan antara laju proliferasi sel dengan kematian sel. Pada saat
terjadi pertumbuhan prostat sampai pada prostat dewasa, penambahan jumlah sel-sel prostat baru
dengan yang mati dalam keadaan seimbang. Berkurangnya jumlah sel-sel prostat yang mengalami
apoptosis menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi meningkat sehingga
menyebabkan pertambahan massa prostat.
Sampai sekarang belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat proses
apoptosis. Diduga hormon androgen berperan dalam menghambat proses kematian sel karena setelah
dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat. Estrogen diduga mampu
memperpanjang usia sel-sel prostat, sedangkan faktor pertumbuhan TGFβ berperan dalam proses
apoptosis.

5. Teori sel stem


Untuk menganti sel-sel yang telah mengalami apotosis, selalu dibentuk sel-sel baru. Di dalam
kelenjar prostat dikenal suatu sel stem, yaitu sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Kehidupan sel ini sangat tergantung pada keberadaan hormone androgen, sehingga jika
hormon ini kadarnya menurun seperti yang terjadi pada kastrasi, menyebabkan terjadinya apoptosis.
Terjadinya proliferasi sel-sel pada BPH dipostulasikan sebagai ketidaktepatnya aktivitas sel stem
sehingga terjadi produksi yang berlebihan sel stroma maupun sel epitel.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 28


C. Patofisiologi Hiperplasia Prostat
Perkembangan histologis BPH menurut McNeal (1978) terjadi pada zona transisional dan
atau pada periurethral preprostatic sphincter. Jadi kelainan ini tidak terjadi pada keseluruhan bagian
prostat, tetapi kelainan yang bersifat lokal. Pembesaran nodular dan perkembangannya akan memicu
terjadinya benign prostate enlargement (BPE), LUTS, bladder outlet obstruction (BOO), perubahan
fungsi kandung kemih, dan retensi akut maupun kronik. Pada kasus yang parah, bladder dysfunction
karena pembesaran prostat dapat menyebabkan perubahan dalam fungsi ginjal.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan menghambat
aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk dapat mengeluarkan
urine, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu. Kontraksi yang terus menerus
ini menyebakan perubahan anatomik buli-buli berupa hipertrofiotot detrusor, trabekulasi, terbentuknya
selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Perubahan struktur pada buli-buli tersebut, oleh pasien
dirasakan sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala prostatismus. Tekanan intravesikal yang tinggi diteruskan
ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter
ini dapat menimbulkan aliran balik urine dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesiko-ureter.
Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis, bahkan akhirnya
dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.
Keseluruhan efek sekunder dari BPE akan mempengaruhi kandung kemih. Obstruksi aliran
urine menyebabkan kandung kemih meningkatkan tekanan miksi untuk mengeluarkan urine. Sehingga
kandung kemih akan mengkompensasi keadaan obstruksi tersebut dengan meningkatkan kekuatan otot
detrusor, karena obstruksi bersifat persisten maka akan terjadi hipertrofi otot detrusor yang dengan
sonografi dpat dilihat sebagai penebalan dinding kandung kemih. Semakin lama dan semaikin
progresifnya obstruksi, kandung kemih pada akhirnya akan gagal mengkompensasi obstruksi dan
pengosongan kandung kemih tidak sepenuhnya terjadi sehingga muncul residual urine dan terjadi
penurunan pancaran urine.
Obstruksi yang diakibatkan oleh hiperplasia prostat benigna tidak hanya disebabkan oleh
adanya massa prostat yang menyumbat uretra posterior, tetapi juga disebabkan oleh tonus otot polos
yang ada pada stroma prostat, kapsul prostat, dan otot polos pada leher buli-buli. Otot polos itu
dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari nervus pudendus.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 29


D. Gambaran Klinis
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih maupun keluhan di luar
saluran kemih.

1. Keluhan pada saluran kemih bagian bawah


Keluhan pada saluran kemih bagian bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruksi dan gejala iritatif seperti
terlihat pada tabel:

Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah, beberapa
ahli/organisasi urologi membuat sistem skoring yang secara subyektif dapat diisi dan dihitung sendiri
oleh pasien. Sistem skoring yang dianjurkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) adalah Skor
Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score). Skor IPSS terdiri atas
7 pertanyaan spesifik mengenai gejala miksi selama 4 minggu terakhir. Gejala tersebut terbagi menjadi
storage symptoms (urgency, frequency, nocturia, dan urge incontinence) serta voiding symptoms (poor
stream, hesitancy,dan feeling of incomplete emptying )

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 30


2. Gejala pada saluran kemih bagian atas
Keluhan akibat penyulit hiperplasia prostat pada saluran kemih bagian atas berupa antara lain
nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari hidronefrosis), gagal ginjal atau
demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau
hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga
mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal. Pada pemeriksaan fisis mungkin didapatkan buli-
buli yang terisi penuh dan teraba massa kistus di daerah supra simfisis akibat retensi urine. Kadang-
kadang didapatkan urine yang selalu menetes tanpa disadari oleh pasien yaitu merupakan pertanda dari
inkontinensia paradoksa. Pada colok dubur diperhatikan: (1) tonus sfingter ani/refleks bulbo-
kavernosus untuk menyingkirkan adanya kelainan buli-buli neurogenik, (2) mukosa rektum, dan (3)
keadaan prostat, antara lain: kemungkinan adanya nodul, krepitasi, konsistensi prostat,simetri antar
lobus dan batas prostat Colok dubur pada pembesaran prostat benigna menunjukkan konsistensi
prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, lobus kanan dan kiri simetris dan tidak didapatkan nodul;
sedangkan pada karsinoma prostat, konsistensi prostat keras/teraba nodul dan mungkin di antara lobus
prostat tidak simetri.

E. Laboratorium
Sedimen urine diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau inflamasi
pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis kuman yang menyebabkan
infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya penyulit yang mengenai saluran kemih
bagian atas, sedangkan gula darah dimaksudkan untuk mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes
melitus yang dapat menimbulkan kelainan persarafan pada buli-buli (bulibuli neurogenik). Jika
dicurigai adanya keganasan prostat perlu diperiksa kadar penanda tumor PSA.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 31


F. Pencitraan
Foto polos perut berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan buli-buli yang penuh terisi urine,
yang merupakan tanda dari suatu retensi urine. Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan
adanya: (1) kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidoureter atau hidronefrosis, (2)
memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya indentasi prostat (pendesakan
buli-buli oleh kelenjar prostat) atau ureter disebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atau
hooked fish, dan (3) penyulit yang terjadi pada buli-buli yaitu adanya trabekulasi, divertikel, atau
sakulasi buli-buli.
USG suprapubik dilakukan untuk menilai prostat dan kandung kemih pada pria dengan LUTS
untuk memberikan perkiraan ukuran prostat dan menilai pembesaran prostat bersifat menyeluruh atau
hanya intravesika. Untuk kandung kemih USG digunakan untuk menilai residual volume dan ketebalan
dinding vesika, juga dapat melihat kelainan lain penyebab LUTS seperti batu atau tumor pada kandung
kemih.

G. Pemeriksaan lain
Pemeriksaan derajat obstruksi prostat dapat diperkirakan dengan cara mengukur :
 Residual urine yaitu jumlah sisa urine setelah miksi. Sisa urine ini dapat dihitung dengan cara
melakukan kateterisasi setelah miksi atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
setelah miksi
 Pancaran urine atau flow rate dapat dihitung secara sederhana yaitu dengan menghitung
jumlah urine dibagi dengan lamanya miksi berlangsung (ml/detik) atau dengan alat
uroflometri yang menyajikan gambaran grafik pancaran urine. Pemeriksaan yang lebih teliti
adalah dengan pemeriksaan urodinamika.

Dari uroflometri dapat diketahui lama waktu miksi, lama pancaran, waktu yang dibutuhkan untuk
mencapai pancaran maksimum, rerata pancaran, maksimum pancaran maksimum, dan volume urine
yang dikemihkan. Pancaran yang mendekati normal, sedangkan pada BPH dengan pancaran lemah dan
lama ditunjukkan seperti gambar.

Gambar. Uroflometri Normal

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 32


Gambar. Uroflometri BPH

H. Pengobatan
Tidak semua pasien hiperplasia prostat perlu menjalani tindakan medik. Kadang-kadang
mereka yang mengeluh LUTS ringan dapat sembuh sendiri tanpa mendapatkan terapi apapun atau
hanya dengan nasehat dan konsultasi saja. Namun di antara mereka akhirnya ada yang membutuhkan
terapi medikamentosa atau tindakan medik yang lain karena keluhannya semakin parah. Tujuan terapi
pada pasien hiperplasia prostat adalah:
1. Memperbaiki keluhan miksi
2. Meningkatkan kualitas hidup
3. Mengurangi obstruksi infravesika
4. Mengembalikan fungsi ginjal jika terjadi gagal ginjal
5. Mengurangi volume residu urine setelah miksi, dan
6. Mencegah progresifitas penyakit.

Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,pembedahan, atau tindakan endourologi
yang kurang invasif.

a. Watchfull waiting
Pilihan tanpa terapi ini ditujukan untuk pasien BPH dengan skor IPSS dibawah 7, yaitu keluhan
ringan yang tidak menggangu aktivitas sehari-hari. Pasien tidak mendapatkan terapi apapun dan hanya
diberi penjelasan mengenai sesuatu hal yang mungkin dapat memperburuk keluhannya, misalnya

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 33


a. jangan mengkonsumsi kopi atau alkohol setelah makan malam
b. kurangi konsumsi makanan atau minuman yang mengiritasi buli-buli (kopi atau cokelat
c. kurangi makanan pedas dan asin
d. jangan menahan kencing terlalu lama.
Secara periodik pasien diminta untuk datang kontrol dengan ditanya keluhannya apakah menjadi
lebih baik (sebaiknya memakai skor yang baku), disamping itu dilakukan pemeriksaan laboratorium,
residu urine, atau uroflometri. Jika keluhan miksi bertambah jelek daripada sebelumnya, mungkin perlu
difikirkan untuk memilih terapi yang lain.
b. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah berusaha untuk:
a. Mengurangi resistensi otot polos prostat sebagai komponen dinamik penyebab obstruksi
infravesika dengan obat-obatan penghambat adrenergik alfa (adrenergik alfa blocker)
b. Mengurangi volume prostat sebagai komponen statik dengan cara menurunkan kadar hormon
testosterone /dihidotestosteron (DHT) melalui penghambat 5α-redukstase.

Penghambat reseptor adrenergik-α


Caine adalah yang pertama kali melaporkan penggunaan obat penghambat adrenergik alfa
sebagai salah satu terapi BPH. Pada saat itu dipakai fenoksibenzamin, yaitu penghambat alfa yang
tidak selektif yang ternyata mampu memperbaiki laju pancaran miksi dan mengurangi keluhan miksi.
Sayangnya obat ini tidak disenangi oleh pasien karena menyebabkan komplikasi sistemik yang tidak
diharapkan, di antaranya adalah hipotensi postural dan kelainan kardiovaskuler lain.
Ditemukannya obat penghambat adrenergik–α1 dapat mengurangi penyulit sistemik yang
diakibatkan oleh efek hambatan pada α2 dari fenoksibenzamin. Beberapa golongan obat penghambat
adrenergik–α1 adalah: prazosin yang diberikan dua kali sehari, terazosin, afluzosin, dan doksazosin
yang diberikan sekali sehari. Obat-obatan golongan ini dilaporkan dapat memperbaiki keluhan miksi
dan laju pancaran urine.
Akhir-akhir ini telah diketemukan pula golongan penghambat adrenergik–α1A, yaitu
tamsulosin yang sangat selektif terhadap otot polos prostat. Dilaporkan bahwa obat ini mampu
memperbaiki pancaran miksi tanpa menimbulkan efek terhadap tekanan darah maupun denyut jantung

Penghambat 5 α-redukstase
Obat ini bekerja dengan cara menghambat pembentukan dihidrotestosteron (DHT) dari testosteron
yang dikatalisis oleh enzim 5 α- redukstase di dalam sel-sel prostat. Menurunnya kadar DHT
menyebabkan sintesis protein dan replikasi sel-sel prostat menurun. Dilaporkan bahwa pemberian obat
ini (finasteride) 5 mg sehari yang diberikan sekali setelah enam bulan mampu menyebabkan penurunan
prostat hingga 28%; hal ini memperbaiki keluhan miksi dan pancaran miksi.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 34


c. Operasi
Penyelesaian masalah pasien hiperplasia prostat jangka panjang yang paling baik saat ini adalah
pembedahan, karena pemberian obat-obatan atau terapi non invasif lainnya membutuhkan jangka
waktu yang sangat lama untuk melihat hasil terapi.
Obstruksi kelenjar prostat akan menyebabkan gejala obstruksi dan miksi yang tidak lampias. Hal ini
dapat dikerjakan dengan cara operasi terbuka, reseksi prostat transuretra (TURP), atau insisi prostat
transuretra (TUIP atau BNI). Pembedahan direkomendasikan pada pasien-pasien BPH yang: (1) tidak
menunjukkan perbaikan setelah terapi medikamentosa, (2) mengalami retensi urine, (3) infeksi saluran
kemih berulang, (4) hematuria, (5) gagal ginjal, dan (6) timbulnya batu saluran kemih atau penyulit lain
akibat obstruksi saluran kemih bagian bawah.
1. Pembedahan terbuka
Beberapa macam teknik operasi prostatektomi terbuka adalah metode dari Millin yaitu melakukan
enukleasi kelenjar prostat melalui pendekatan retropubik infravesika, Freyer melalui pendekatan
suprapubik transvesika, atau transperineal. Prostatektomi terbuka adalah tindakan yang paling tua yang
masih banyak dikerjakan saat ini, paling invasif, dan paling efisien sebagai terapi BPH. Prostatektomi
terbuka dapat dilakukan melalui pendekatan suprapubik transvesikal (Freyer) atau retropubik
infravesikal (Millin). Prostatektomi terbuka dianjurkan untuk prostat yang sangat besar (>100 gram).
Penyulit yang dapat terjadi setelah prostatektomi terbuka adalah: inkontinensia urine (3%),
impotensia (5-10%), ejakulasi retrograd (60-80%), dan kontraktur leher buli-buli (3-5%).
Dibandingkan dengan TURP dan BNI, penyulit yang terjadi berupa striktura uretra dan ejakulasi
retrograd lebih banyak dijumpai pada prostatektomi terbuka. Perbaikan gejala klinis sebanyak 85-100%,
dan angka mortalitas sebanyak 2%.

2. Pembedahan Endourologi
Saat ini tindakan TURP merupakan operasi paling banyak dikerjakan di seluruh dunia. Operasi ini
lebih disenangi karena tidak diperlukan insisi pada kulit perut, masa perawatan lebih cepat, dan
memberikan hasil yang tidak banyak berbeda dengan tindakan operasi terbuka. Pembedahan

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 35


endourologi transuretra dapat dilakukan dengan memakai tenaga elektrik TURP (Transurethral
Resection of the Prostate) atau dengan memakai energi Laser. Operasi terhadap prosat berupa reseksi
(TURP), insisi (TUIP), atau evaporasi.

a. TURP (Reseksi Prostat Trasuretra)


Reseksi kelenjar prostat dilakukan transuretra dengan mempergunakan cairan irigan
(pembilas) agar daerah yang akan direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang
dipergunakan adalah berupa larutan non ionic, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran listrik
pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah yaitu H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga cairan ini dapat
masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang terbuka pada saat reseksi. Kelebihan
H2O dapat menyebabkan terjadinya hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan
sindroma TURP. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi. Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami
edema otak yang akhirnya jatuh dalam koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini
adalah sebesar 0,99 %.
Untuk mengurangi resiko timbulnya sindroma TURP operator harus membatasi diri untuk
tidak melakukan reseksi lebih dari 1 jam. Di samping itu beberapa operator memasang sistostomi
suprapubik terlebih dahulu sebelum reseksi diharapkan dapat mengurangi penyerapan air ke sirkulasi
sistemik. Penggunaan cairan non ionik lain selain H2O yaitu glisin dapat mengurangi resiko
hiponatremia pada TURP, tetapi karena harganya cukup mahal beberapa klinik urologi di Indonesia
lebih memilih pemakaian aquades sebagai cairan irigasi. Selain sindroma TURP beberapa penyulit bisa
terjadi pada saat operasi, pasca bedah dini, maupun pasca bedah lanjut seperti tampak pada tabel
dibawah. Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar, tanpa ada pembesaran lobus medius, dan
pada pasien yang umurnya masih muda hanya diperlukan insisi kelenjar prostat atau TUIP
(transurethral incision of the prostate) atau insisi leher buli-buli atau BNI (bladder neck incision).
Sebelum melakukan tindakan ini, harus disingkirkan kemungkinan adanya karsinoma prostat dengan
melakukan colok dubur, melakukan pemeriksaan ultrasonografi transrektal, dan pengukuran kadar PSA.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 36


DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat. De jong, wim. Buku ajar ilmu Bedah. Hlmn 1024-1034. EGC : Jakarta.
2. Glenn, James F. 1991. Urologic Surgery Ed.4. Philadelphia : Lippincott-Raven Publisher.
3. Oswari, Jonatan; Adrianto, Petrus. 1995. Buku Ajar bedah, EGC: Jakarta
4. Shires, Schwartz. Intisari prinsip – prinsip ilmu bedah. ed-6. EGC : Jakarta. 588-589
5. Netter FH. Atlas of Human Anatomy. 4th ed. US: Saunders; 2006.

6. Rasyad, Syahriar, dkk. 1998. Radiologi Diagnostik, Ed.4, Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
7. Wim de Jong, R. Sjamsuhidajat. 1997 .Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed. Revisi. Jakarta : EGC.
8. Purnomo B Basuki, Benign Prostat Hiperplasia, Dasar-dasar Urologi, Edisi 2, Sagung Seto,
Jakarta, 2003
9. Swartz. H Mark, Benign Prostat Hiperplasia, Buku Ajar Diagnostik Fisik, EGC, Jakarta, 1995
10. Sylvia A. Price & Lorraine M. Wilson, Prostat Hiperplasia, Patofisiologi konsep klinis proses-
proses penyakit, Edisi 4, EGC, Jakarta, 1995
11. Birowo P, Djoko Rahardjo 2002, ‘Pembesaran prostat jinak’, Jurnal Kedokteran &
Farmasi Medika No. 7 Tahun ke XXVIII
12. Rahardjo, Djoko, Ponco Birowo 2000, ‘Karakteristik penderita pembesaran prostat jinak di
RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Sumber Waras, Jakarta, tahun 1994-1997’,
Majalah Kedokteran Indonesia Volume 50 No : 2, Februari, Yayasan Penerbitan IDI, Jakarta,
hh. 81-84.
13. Jones, DA 2001, ‘Benign prostatic hypertrophy and lower urinary tract dysfunction’, in :
Comprehensive Urology, editor Weis MR, George N Jr, O’Reilly PH, Mosby International,
London.
14. Zeman, Peter A et al. 2004, ‘Lower urinary tract symptoms’, in : Handbook of Urology
Diagnosis and therapy third edition, editor Mike B. Siroky, Robert D. Oates & Richard K.
Babayan, Philadelphia, Lippincott Williams & Wilkins hh. 98-120.

Reiny Mayawati – 07120100032 – Case Report Urology 37

Anda mungkin juga menyukai