Anda di halaman 1dari 9

CLINICAL SCIENCE SESSION

DEMAM TIFOID

Disusun oleh :

Madhuri Robert

Mahesa Nara

Maureen Augustin

Mushthafa Al Hasyiri

Radiah Baizura Binti Abdul Patak

Vanessa Putri Hapsari Permadi

Perseptor:

Dr. Susi Susanah, dr., Sp.A(K). M.Kes

Prof. Dr. Dida A. Gurnida, dr., Sp.A(K), M.Kes

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PADJADJARAN

RUMAH SAKIT DR. HASAN SADIKIN

BANDUNG

2017
Demam Tifoid
Definisi
Demam enterik (tifoid) adalah penyakit sistemik yang ditandai dengan demam dan
nyeri pada abdomen yang disebabkan oleh penyebaran Salmonella typhi atau Salmonella
paratyphi. Pada awalnya penyakit ini disebut demam tifoid karena memiliki gejala klinis
yang sama dengan typhus. Namun pada awal tahun 1800an, demam typhoid secara jelas
didefinisikan sebagai kelainan patologis berupa suatu penyakit yang berbeda (unik)
dikarenakan dasar penegakan penyakit yang berhubungan dengan pembesaran Plak Peyeri
dan nodus limfatikus mesenterik. Pada tahun 1869, berdasarkan tempat infeksi, istilah demam
enterik diajukan sebagai istilah alternatif untuk membedakan demam tifoid dari tifus. Namun
pada saat ini kedua istilah tersebut sering bertukar tempat.

Epidemiologi
Beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya penyebaran demam tifoid di negara
sedang berkembang adalah kepadatan penduduk, sumber air minum, produksi makanan,
strain resisten antibiotik, kesulitan menentukan identifikasi dan penatalaksanaan karier,
keterlambatan membuat diagnosis pasti, patogenesis dan virulensi yang belum diketahui
sepenuhnya, serta belum adanya vaksin, efektif aman dan murah.

Etiologi
Salmonella typhii adalah bakteri Gram negatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul,
tidak membentuk spora fakultatif anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari
oligosakarida, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang
terdiri dari polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel dan dinamakan endotoksin. Salmonella typhii juga
dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multipel
antibiotik.

Patogenesis
Jalur Masuknya Bakteri ke Dalam Tubuh didapat dengan cara menelan makanan atau
minuman yang terkontaminasi dan dapat pula dengan kontak langsung jari tangan yang
terkontaminasi tinja, urin, sekret saluran nafas, atau dengan pus penderita yang terinfeksi.
Agar dapat menimbulkan gejala klinis, diperlukan S. typhi dalam dosis 106 - 109 . Pada fase
awal demam tifoid biasa ditemukan adanya gejala saluran nafas atas. Ada kemungkinan
sebagian kuman ini masuk ke dalam peredaran darah melalui jaringan limfoid di faring. Pada
tahap awal ini penderita juga sering mengeluh nyeri telan. Lidah tampak kotor tertutup
selaput berwarna putih sampai berwarna putih sampai kecoklatan yang merupakan akibat sel
epitel mati oleh bakteri S. typhi. Bila terjadi infeksi dari nasofaring melalui saluran tuba
eustachi ke telingah tengah dan hal ini dapat terjadi otitis media.

Di lambung, organisme menemui suasana asam dengan pH dengan rendah dalam


kuman dimusnahkan. Pengosongan lambung yang bersifat lambat merupakan pelindung
fisiologis. Setelah melalui barier asam lambung mikroorganiusme sampai ke usus halus dan
menemui dua menkanisme pertahanan tubuh, yaitu motilitas dan flora normal usus.
Penurunan motilitas usus karena obat-obatan atau faktor anatomis meningkatkan derajat
beratnya penyakit dan timbulnya komplikasi, serta memperpanjang keadaan karier
konvalesens.

Sebuah penelitian menunjukkan bahwa apabila kuman yang masuk sebanyak 103 atau
kurang, belum dapat menimbulkan gejala pada penderita, tetapi jika jumlahnya lebih dari 105
atau lebih menimbulkan gejala pada 27% sukarelawan. Semakin tinggi jumlah kuman yang
masuk, semakin besar kemungkinan seseorang terkena deman typhoid, apalagi apabila kuman
tersebut termasuk jenis yang menghasilkan gen polisakarida kapsul atau Vi.

Selanjutnya kuman akan menembus dinding usus halus, masuk ke kelenjar


mesentrika, lalu ke duktus thoracicus dan masuk ke dalam peredaran darah, dan
menimbulkan bakteriemi I.

Kuman-kuman ini kemudian akan ditangkap oleh sel-sel RES dari limpa hati dan
organ-organ lainnya. Setelah beberapa lama, kuman-kuman tersebut kembali masuk ke
peredaran darah, dan menimbulkan bakteriemi II dan menyebar ke seluruh tubuh, termasuk
melalui kantung empedu dan aliran empedu, masuk ke lumen usus lalu menembus hingga ke
plaque peyeri.

Manifestasi Klinis

Pada anak, periode inkubasi demam tifoid antara 5-40 hari dengan rata-rata 10 – 14
hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala klinis ringan dan tidak
memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus dirawat. Variasi gejala
ini disebabkan faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologi penjamu dan lama sakit
di rumahnya.

Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit. Pada era
pemakaian antibiotik belum seperti saat ini, penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step ladder temperature chart yang ditandai dengan demam
timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya ddan mencapai titik tertinggi
pada akhir minggu pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke-4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi seperti kolesistitis,
abses jaringan lunak maka demam akan menetap. Banyak orang tuan pasien demam tifoid
melaporkan bahwa demam lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan denga pagi
harinya. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat disertai gejala sistem
saraf pusat; seperti kesadaran berkabut atau delirium atau obtundasi, atau penurunan
kesadaran mulai apati sampai koma.

Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri kepala, malaise,
anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan. Pada kasus yang
berpenampilan klinis berat, pada saat demam tinggi akan nampak toksik/sakit berat. Bahkan
dapat juga ijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok hipovolemik sebagai
akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid
sangat bervariasi. Pasien dapat mengeluh obstipasi, obstipasi kemudian disusul episode diare,
pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya
kemerahan. Banyak dijumpai gejala meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada
anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.

Rose spot ruatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2-4
sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan punggung pada orang tua
kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak Indonesia. Bronkhitis banyak
dijumpai pada demam tifoid sehingga buku ajar lama bahkan menganggap sebagai bagian
dari penyakit demam tifoid. Bradikardi relatif jarang dijumpai pada anak.

Penyulit (Komplikasi)

Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5-3 %, sedangkan perdarahan
usus pada 1-10% kasus demam tifoid anak. Penyulit ini biasanya terjadi pada minggu ke-3
sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Komplikasi didahului dengan
penurunan suhu, tekanan darah dan peningkatan frekuensi nadi. Pada perforasi usus halus
ditandai oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah akan tetapi dilaporkan juga
nyeri yang menyelubung. Kemudian akan diikuti muntah, nyeri pada perabaan abdomen, dan
hilangnya keredupan hepar.

Pada komplikasi neuropsikiatri sebagian besar bermanifestasi gangguan kesadaran,


disorientasi, delirium, obtudansi, stupor bahkan koma. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat
dijumpai pada kasus demam tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang
tidak mencolok. Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase, maupun
kolesistitis akut juga dapat dijumpai, sedang kolesistitis kronik yang terjadi pada penderita
setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena
pembawa kuman (karier).
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella typhi melalui urin
pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis bahkan pielonefritis dapat juga merupakan
penyulit demam tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerunefritis yang
dapat bermani9festasi sebagai gagal ginjal maupun sindrom nefrotik mempunyai prognosis
yang buruk.

Relaps yang didapat pada 5-10% kasus demam tifoid saat era pre antibiotik, sekarang
lebih jarang ditemukan. Apabila terjadi relaps, demam timbul kembali seminggu setelah
penghentian antibiotik. Pada umumnya relaps lebih ringan dibandingkan gejala demam tifoid
sebelumnya.

Gambaran Darah Tepi

Anemia normokrom normositik terjadi sebagai akibat perdarahan usus atau supresi
pada sumsum tulang. Jumlah leukosit rendah, namun jarang di bawah 3.000/l3. Apabila
terjadi abses piogenik maka jumlah leukosit dapat meningkat mencapai 20.000 – 25.000/l3.
Trombositopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu.

Diagnosa dan Deteksi Pembawa Kuman

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala klinis berupa demam, gangguan gastrointestinal


dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat dapat
membuat diagnosis tersangka demam typhoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S. typhi
dari darah, atau dapat pula dari feces atau urine. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan
mengisolasi S. typhi dari dalam darah pasien lebih besar dari pada minggu berikutnya. Biakan
yang dilakukan pada urin dan feses, kemungkinan keberhasilan lebih kecil. Biakan spesimen yang
berasal dari aspirasi sumsum tulang mempunyai sensitivitas tertinggi, hasil positif didapat pada
90% kasus. Akan tetapi prcsedur ini sangat invasif, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-
hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan biakan spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik.

Uji serologi Widal suatu metode serologik yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap
antigen somatik (O), flagela (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di
Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai uji Widal slide
aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan waktu 45 menit) menuniukkan nilai
ramal positif 96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan
tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak pendapat apabila titer O aglutinin sekaii
periksa > 1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tit'oid
dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa
lampau, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier). Banyak
peneliti mengemukakan bahwa uji serologik Widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul
positif palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.

Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis pemeriksaan untuk mendeteksi


antibodi S.typhi dalam serum, antigen terhadap S. typhi dalam darah, serum dan urin bahkan
DNA S. typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan
hasil yang baik namun sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai
sekarang belum disepakati adanya pemeriksaan yang dapat menggantikan uji serologi Widal.

Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid beberapa penyakit kadang-kadang secara klinis dapat
merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronkitis dan bronkopneumonia.
Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberkulosis, infeksi
Jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada
demam typhoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma, dan penyakit hodgkin dapat sebagai
diagnosis banding.

Tatalaksana

Sebagian besar pasien demam tifoid dapat diobati di rumah dengan tirah baring,
isolasi yamg memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antiboitik.
Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit
serta nutrisi disamping observasi kemungkinan timbul penyulit dapat dilakukan seksama.
Kloramfenikol masih merupakn pilihan pertama pada pengobatan penderita emam
tifoid. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama
10 sampai 14 hari sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat
diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan kloramfenikol adalah tingginya angka
relaps dan karier. Namun pada anak hal hal tersebut jarang dilaporkan.

Ampisislin memberikan respons perbaikan klinis kurang apabila dibandingkan dengan


kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah 100-200 mg/kgBB/hari dibagi 4 kali pemberian
secara oral atau suntikan intravena. Amoksilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi 4 kali
pemberian memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun penurunan demam
lebih lama. Kombinasi trimetophin sulfametoksazol memberika hasil yang kurang baik
dibanding kloramfenikol. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus demam tifoid yang
resisten terhadap kloramfenikol. Seftriakson dan sefoperazon dapat memberikan angka
kesembuhan 90% dan relaps 0-4%. Akhir-akhir ini cefixime oral 15-20 mg/kgBB/hari
pertama 10 kali dapat diberikan sebagai aalternatif, terutrama apabila jumlah leukosit
<2000/ atau dijumpai resistensi terhadap S.typhi.

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma atau syok, deksametason dosis
tinggi 1 – 3 mg/kgBB/hari disamping antibiotik yang memadai dapat menurunkan angka
kematian. Demam tifoid edngan tifoid denga npenyulit perdarahan usus kadang-kadang
memerlukan tranfusi darah. Sedangkan apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada
peritoneum dan udara bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakan diagnosis.
Laparotomi segera harus dilakukan pada perfusi usus didertai penambahan antibiotik
metronidazol dapat memperbaiki prognosis.

Tiga persen penderita demam typhoid akan menjadi karier, kejadiannya meningkat sesuai
dengan bertambahnya umur. Terjadinya penderita dengan karier biasanya disebabkan oloh infeksi
kandung empedu yang kronis akibat batu empedu dan penderita mengeluarkan kumannya
melalui kotoran ( kandung empedu dan saluran empedu sebagai sumber infeksi),

sehingga kolesistektomi dapal dipertimbangkan pada > 8 % karier, bahkan tanpa pemberian
antibiotika. engobatan Karier tergantung ada tidaknya kelainan kandung empedu

kantung empedu normal

• Ampisilin 500 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, atau


• Ampisilin 200 mg (tiap 6 jam) selama 6 minggu, intravena, atau

• Ampsilin 100 - 200 mg/kg/hari, untuk 3 - 4 minggu.

• Amoksisilin 40 mg/kg/hari, peroral (tiap 8 jam) + Probenezid 25 mg/kg dosis pertama


(selanjutnya 40 mg), peroral (tiap 6 jam), selama 4 - 6 minggu.

• TMP 8 mg/kg/hari, SMZ 40 mg/kg/hari, uintuk 3 - 4 minggu.

• Norfloxazin / Ciprofloxacin.

Merupakan golongnn quinolon, telah berhasil baik pada penderita dewasa.

Karena pengaruhnya lerhadap perkeimbangan Tulang rawan, sehingga tidak dianjurkani untuk
anakyang lebih muda dari 18 tahun.

Disfungsi kandung empedu

Obat dan dosis sama dongan untuk kandung ernpedu normal + Kolesistektomi +
Amoksisilin untuk 30 hari kemudian.

Kasus demam tifoid yang mengalami relaps diberi pengobatan sebagai kasus demam
tifoid serangan pertama.

Pencegahan

Secara umum, untuk memperkecil kemungkinan tercemar S.typlii, maka setiap individu
harus memperhatikan kualitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi di
dalam air akan mati apabila dipanasi seting 57°C untuk beberapa menit atau dengan proses
iodinasi/klorinasi.

Untuk rnakanan, pemanasan sampai suhu 57°C beberapa menit dan secara merata juga dapat
mematikan kuman Salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik
buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran
individu terhadap higiene pribadi. Imunisasi aktif dapat membantu menekan angka kejadian demam
tifoid.
Vaksin Demam Tifoid

Saat sekarang dikenal (tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu yang berisi
kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi
kuman Salmonella tyhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan namun vaksin ini hanya memberikan
daya kekebalan yang terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup
sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-21a) diberikan per oral
tiga kali dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty-
21a diberikan pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi
proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen
Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 – 70 %.

Referensi

1. IKA Pedoman Terapi


2. Buku saku pelayanan kesehatan anak dirumah sakit

Anda mungkin juga menyukai