Anda di halaman 1dari 22

Gangguan dan Masalah pada Pasien Geriatri

Cresentia Irene Iskandar

102014161

B4

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta

Pendahuluan

Penambahan usia pada seseorang akan menyebabkan menurunnya fungsi fisiologis dari sel-
sel tubuhnya. Salah satu yang kerap terjadi adalah dan inkontinensia urin dan osteoartritis dalam hal
ini pada sendi lutut. Inkontinensia merupakan kondisi dimana seseorang tidak dapat menahun hasrat
untuk berkemih sehingga menimbulkan gangguan dari segi kesehatan maupun sosial. Sedangkan
osteoarthritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi.

Skenario

Perempuan 70 tahun diantar berobat ke poliklinik dengan keluhan tidak dapat


menahan kencing sehingga sering ngompol sebelum sampai ke WC sejak 3 minggu yang lalu.

Anamnesa

Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
penyakit dahulu, riwayat obstetri, dan ginekologi, riwayat penyakit keluarga, anamnesis
susunan sistem dan anamnesis pribadi. Tujuan utama anamnesis adalah untuk mengumpulkan
semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap
penyakitnya dan kemudian membuat penilaian keadaan pasien.
Identitas meliputi nama lengkap, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, nama orang
tua atau suami atau isteri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan, pekerjaan, suku bangsa
dan agama. Keluhan utama adalah keluhan yang dirasakan pasien yang membuat pasien pergi
ke dokter atau mencari pertolongan. Riwayat penyakit sekarang atau riwayat perjalanan
penyakit adalah cerita kronologis, terinci dan jelas mengenai keadaan kesehatan pasien sejak
sebelum keluhan utama sampai pasien datang berobat. Riwayat penyakit dahulu untuk
mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara penyakit yang pernah
diderita dengan penyakitnya sekarang. Anamnesis susunan sistem bertujuan mengumpulkan
data-data positif dan negatif yang berhubungan dengan penyakit yang diderita pasien
berdasarkan alat tubuh yang sakit. Riwayat penyakit dalam keluarga penting untuk mencari
kemungkinan penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi.
Pada skenario di dapatkan hasil anamnesa :
Identitas : seorang perempuan berusia 70 tahun
Keluhan utama : tidak dapat menahan kencing
Riwayat penyakit sekarang : saat tertawa / batuk suka ngompol karena tidak dapat
menahan kencing. Merasa tidak nyaman, malu dan tidak mau keluar rumah padahal
sebelumnya aktif. Mengeluh tidak dapat berjalan cepat dan harus pelan-pelan dan takut jatuh
karena pernah jatuh. Adanya nyeri sendi lutut ketika berjalan.
Riawayat penyakit dahulu : DM, hipertensi, jantung
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan biasanya adalah kesadaran, pemeriksaan tanda-tanda
vital (TTV) pada pasien, bila ada berhubungan dengan paru-paru, ginjal, hati, lambung, atau
limpa ada beberapa pemeriksaan fisik yang khusus terhadap organ-organ itu.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dalam skenario adalah :

 Keadaan umum pasien : sakit ringan


 Kesadaran : Compos Mentis yaitu kesadaran normal, sadar sepenuhnya, dapat
menjawab semua pertanyaan mengenai keadaan sekelilingnya.1
 Tinggi badan : 150 cm
 Berat badan : 60 kg
 Nadi : 85 kali/menit
 Pernafasan : 25 kali/menit
 Tekanan darah : 130/80
 Suhu : 37oC

Inkontinensia

Inkontinensia urin adalah ketidak mampuan seseorang untuk menahan keluarnya


urine. Berbagai komplikasi dapat menyertai inkontinensia urin seperti infeksi saluran kemih,
kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial seperti depresi, mudah marah, dan rasa
terisolasi. Secara tidak langsung masalah-masalah tersebut juga dapat menyebabkan dehidrasi
karena umumnya pasien akan mengurangi minum karena takut mengompol. Dari aspek klinis
praktis, inkontinensia urin didefinisikan sebagai keluarnya urin yang tidak terkendali pada
waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan frekuensi dan jumlahnya, yang
mengakibatkan masalah sosial dan higienis penderitanya.2,3

Inkontinensia urin meningkat seiring dengan lanjutnya usia. Usia lanjut bukan
penyebab terjadinya inkontinensia urin, melainkan merupakan faktor kontributor terjadinya
inkontinensia urin. Proses menua baik pada laki-laki maupun perempuan diketahui
mengakibatkan perubahan-perubahan anatomis dan fisiologis pada sistem urogenital bagian
bawah. Perubahan tersebut berkaitan dengan menurunkan kadar estrogen pada perempuan
dan kadar androgen pada laki-laki. Pada dinding kandung kemih terjadi peningkatan fibrosis
dan kandungan kolagen sehingga mengakibatkan fungsi kontraktil tidak efektif lagi dan
mudah terbentuk trabekulasi sampai divertikel.3

Atrofi mukosa, perubahan vaskularisasi submukosa, dan menipisnya lapisan otot


uretra mengakibatkan menurunnya tekanan penutupan uretra dan tekanan outflow. Dasar
panggul mempunyai peranan penting dalam dinamika miksi dan mempertahankan kondisi
kontinen. Melemahnya fungsi dasar panggul disebabkan oleh banyak faktor baik fisiologis
maupun patologis (trauma, operasi, denervasi neurologik).3

Inkontinesia urin lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Pada orang usia lanjut di masyarakat, inkontinensia urin dikaitkan dengan depresi, transient
ischaemic attacks dan stroke, gagal jantung kongestif, konstipasi dan inkontinensia feses,
obesitas, penyakit paru obstruktif kronik, batuk kronik, dan gangguan mobilitas. Resiko
inkontinensia urin meningkat pada perempuan dengan indeks massa tubuh yang lebih besar,
dengan riwayat histerektomi, infeksi urin, dan trauma perineal. Melahirkan per vaginam akan
meningkatkan resiko inkontinensia urin tipe stres dan campuran.3

Empat penyebab pokok terjadinya inkontinensia urin yaitu gangguan urologik,


neurologis, fungsional/psikologis, dan iatrogenik/lingkungan. Inkontinensia akut terjadi
secara mendadak, baisanya berkaitan dengan kondisi sakit akut atau problem iatrogenik yang
menghilang jika bila kondisi akut teratasi atau problem medikasi dihentikan. Inkontinensia
presisten(kronik) merujuk pada kondisi urikontinensia yang tidak berkaitan dengan kondisi
akut/iatrogenik dan berlangsung lama.3,4
Beberapa penyebab inkontinensia akut :3,4

Delirium : gangguan kognitif akut dengan latar belakang yang beragam seperti dehidrasi,
infeksi paru, gangguan metabolisme dan elektrolit. Delirium menyebabkan proses hambatan
refleks miksi berkurang sehingga menimbulkan inkontinensia yang bersifat sementara.

Infeksi : inflamasi dan infeksi pada saluran kemih sering mengakibatkan terjadinya
inkontinensia.

Atrophic vaginitis dan atrophic urethritis : pada umumnya atropik vaginitis akan disertai
dengan atropik uretritis dan keadaan ini menyebabkan inkontinensia pada perempuan.

Pharmaceuticals : obat-obatan merupakan salah satu penyebab utama dari inkontinensia yang
sementara seperti diuretika, antikolinergik, psikotropik, analgesik opioid, alfa bloker pada
wanita, alfa agonis pada pria dan penghambat kalsium.

Psychologic factors : depresi berat dengan retardasi psikomotor dapat menurunkan


kemampuan atau motivasi untuk mencapai tempat berkemih.

Excess urine output : pengeluaran urin berlebihan dapat melampaui kemampuan orang usia
lanjut mencapai kamar kecil. Selain obat diuretika, penyebab lain yang sering seperti
pengobatan gagal jantung, gangguan metabolik seperti hiperglikemia ataupun terlalu banyak
minum.

Restricted mobility : hambatan mobilitas untuk mencapai tempat berkemih.

Stool impaction : impaksi feses juga merupakan penyebab yang sering dari inkontinensia
pada mereka yang dirawat.

1. Inkontinensia urgensi
Ditandai dengan keadaan dimana tidak dapat menahan kencing segera setelah timbul
sensasi untuk berkemih. Keadaan ini disebabkan oleh otot-otot detrusor sudah mulai
mengadakan kontraksi pada saat kapasitas buli-buli belum terpenuhi. Frekuensi miksi
menjadi lebih sering dan disertai dengan perasaan urgensi. Penyebab inkontinensia
urgensi adalah kelainan yang berasal dari buli-buli, diantaranya adalah overaktivitas
detrusor dan menurunnya komplains buli-buli. Overaktivitas detrusor dapat
disebabkan oleh kelainan neurologik ataupun non-neurologik. Kelainan neurologis
(hiper-refleksia detrusor) disebabkan oleh kelainan neurologis seperti stroke,
Parkinson, cedera korda spinalis, multipel sklerosis, spina bifida, atau mielitis
transversal. Kelainan non-neurologis (instabilitas detrusor) sering disebabkan oleh
obstruksi infravesika, pasca bedah infavesika, batu buli-buli, tumor buli-buli dan
sistitis.2-4
2. Inkontinensia stess
Terjadi akibat tekanan intraabdominal yang meningkat seperti tertawa, bersin, batuk
atau mengejan, terutama pada perempuan usia lanjut yang mengalami hipermobilitas
uretra dan lemahnya otot dasar panggul.3
3. Inkontinensia paradoksa / overflow
Keluarnya urin tanpa dapat dikontrol pada keadaan volume urin di buli-buli melebihi
kapasitasnya. Detrusor mengalami kelemahan sehingga terjadi atonia atau arefleksia.
Ditandai dengan overdistensi buli-buli (retensi urin), tampak urin selalu menetes dari
meatus uretra. Kelemahan otot detrusor ini dapar disebabkan karena obstruksi uretra,
neuropati diabetikum, cedera spinal, defisiensi vit B12, efek samping pemakaian obat
atau pasca bedah pada daerah pelvis. Manifestasi klinisnya berupa berkemih sedikit,
pengosongan kandung kemih tidak sempurna dan nokturia.3,4
4. Inkontinensia fungsional
Terjadi akibat penurunan berat fungsi dan kognitif sehingga pasien tidak dapat
mencapai toilet pada saat yang tepat. Terjadi biasanya pada demensia berat, gangguan
mobilitas (artritis genu, konfraktur), gangguan neurologik dan psikologik.3

Pada pasien geriatri sering pula terjadi inkontinensia tidak hanya satu tipe melainkan
campuran yaitu kombinasi 2 jenis inkontinensia ataupun lebih. Inkontinensia campuran yang
sering terjadi adalah kombinasi antara tipe stress dan urgensi.

Pemeriksaan fisik inkontinensia

Pemeriksaan fisik lebih ditekankan pada pemeriksaan abdomen, rektum, genital dan
evaluasi persyarafan lumbosakral. Pemerikaan pelvis perempuan penting untuk menemukan
beberapa kelainan seperti prolaps, inflamasi, keganasan. Penilaian khusus terhadap mobilitas
pasien, status mental, kemampuan mengakses toilet.3

Pemeriksaan penunjang inkontinensia

1. Semua pasien
a. riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih
b. urinalisis: untuk membuktikan adanya infeksi dan hematuria
c. pengukuran volume residu urin post-miksi
2. Pasien dengan kondisi tertentu
a. Laboratorium
 Kultur urin: untuk menyingkirkan infeksi.
 Sitologi urin
 Gula darah, kalsium darah
 Uji fungsi ginjal
 USG ginjal
b. Pemeriksaan ginekologik
c. Pemeriksaan urologic
d. Cystouretroskopi
e. Uji Urodinamik
 Simpel
 Observasi proses pengosongan kandung kemih
 Uji batuk
 Cystometri simple: menggambarkan kontaksi detrusor
 Kompleks
 Urine flowmetry: megukur kecepatan aliran
 Multichannel cystomegram
 Pressure-flow study
 Leak-point pressure
 Urethral pressure profilometry
 Sphincter electromyography
 Video urodynamics: menunjukan kebocoran urin saat
mengedan pada pasien dengan inkontinensia stress.3

Penatalaksanaan

Meliputi terapi non-farmakologis seperti terapi suportif non-spesifik (edukasi, manipulasi


lingkungan, pakaian dan pads tertentu), intevensi tingkah laku (latihan otot dasar panggul,
latihan kandung kemih, penjadwalan berkemih, latihan kebiasaan), terapi medikamentosa,
operasi dan pemakaian kateter.2-4
 Bladder training : merupakan terapi yang efektif. Terapi ini bertujuan
memperpanjang interval berkemih yang normal dengan teknik distraksi atau teknik
relaksasi sehingga frekuensi berkemih hanya 6-7 kali per hari atau 3-4 jam sekali.
Pasien diharapkan dapat menahan sensasi untuk berkemih. Teknik ini terbukti
bermanfaat pada inkontinensia urgensi dan stres.
 Latihan dasar otot panggul : terapi yang efektif untuk inkontinensia stres atau
campuran dan urgensi. Latihan dilakukan 3-5 kali sehari dengan 15 kontraksi dan
menahan hingga 10 detik.
 Latihan kontraksi berulang pada otot dasar panggul : latihan ini diharapkan dapat
meningkatkan kekuatan uretra untuk menutup secara sempurna. Sebelum pasien
menjalani latihan, harus dilakukan pemeriksaan vagina atau rektum untuk menetapkan
apakah mereka dapat mengkontraksikan otot dasar panggulnya.
 Habit training : memerlukan penjadwalan waktu berkemih. Digunakan pada
inkontinensia fungsional.
 Prompted voiding : dengan cara mengajari pasien mengenali kondisi atau status
kontinensia mereka serta dapat memberitahukan petugas atau pengasuhnya bila ingin
berkemih. Teknik ini digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi kognitif.
 Terapi biofeedback : bertujuan agar pasien mampu mengontrol/menahan kontraksi
involunter otot detrusor kandung kemihnya. Cara ini mempunyai kendala karena
penderita perlu mempunyai intelegensia yang cukup.
 Stimulasi elektrik : terapi yang menggunakan dasar kejutan kontraksi otot pelvis
dengan menggunakan alat-alat bantu pada vagina atau rektum.
 Neuromodulasi : terapi dengan menggunakan stimulasi saraf sakral.
 Penggunaan kateter menetap (indwelling catheter) : sebaiknya tidak digunakan secara
rutin dalam pengelolaan inkontinensia urin karena dapat terjadi infeksi saluran kemih
bahkan sampai sepsisw, pembentukan batu, abses dan bocor.

Tipe
Jenis Obat Mekanisme Efek Samping Nama Obat dan Dosis
Inkontinensia
Antikolirgenik Meningkatkan Urgensi atau Mulut kering, Oksibutinin : 2,5-5mg tid
dan kapasitas vesika stress dengan penglihatan Tolterodine : 2 mg bid
antipasmodic urinaria. instabilitas kabur, Propanthelin : 15-30 mg
Mengurangi detrusor atau peningkatan tid
involunter hiperrefleksia. TIO, konstipasi Dicyclomine : 10-20mg
vesika urinaria. dan delirium. Imipramine : 10-50 mg tid
α-Adrenergik Meningkatkan Stress dengan Sakit kepala, Pseudofedrin : 15-30mg
agonis kontraksi otot kelemahan takikardi, tid
polos uretra. sphineter. peningkatan Phenylpropanolamine :
tekanan darah. 75mg bid
Imipramine : 10-50mg tid
Estrogen agonis Meningkatkan Stress, urgensi Kanker Oral : 0,625mg/hr
aliran darah yang endometria, Topical : 0,5-1gr/aplikasi
periuretra. berhubungan peningkatan
dengan vaginitis tekanan darah,
atropi. batu kandung
kemih.
Kolinergilk Menstimulasi Overflow Bradikardi, Bethanechol : 10-30mg tid
agonis kontraksi vesica dengan vesika hipotensi,
urinaria. urinaria atonik. bronkokontriksi,
sekresi asam
lambung.
α-Adrenergik Merelaksasi otot Overflow, Hipotensi Terasozine : 1-10mg/hr
antagonis polos uretra dan urgensi yang postural.
kapsul prostat. berhubungan
dengan
pembesaran
prostat.

Osteoartritis (OA)

Osteoartritis merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan


kartilago sendi. Vertebrata, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.
Prevalensinya meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan jarang dijumpai pada usia
dibawah 40 tahun dan lebih sering dijumpai pada usia diatas 60 tahun.4,5
Faktor resiko terjadinya OA :

 Umur : bukan akibat ketuaan saja. Perubahan tulang rawan sendi pada ketuaan
berbeda dengan perubahan pada OA.
 Jenis kelamin : perempuan lebih sering terkena OA lutut dan OA banyak sendi, dan
laki-laki lebih sering terkena OA paha, pergelangan tangan dan leher. Dibawah 45
tahun, frekuensi OA kurang lebih sama pada laki-laki dan perempuan, tetapi diatas 50
tahun (setelah menopause) frekuensi OA lebih banyak terjadi pada perempuan.
Diakrenakan karena adanya peran hormonal pada patogenesis OA.
 Suku bangsa
 Genetik : adanya mutasi dalam gen prokolagen II atau gen-gen struktural lain untuk
unsur-unsur tulang rawan sendi seperti kolagen tipe IX dan XII, protein pengikat atau
proteoglikan dikatakan berperan dalam timbulnya kecenderungan familial pada OA.
 Kegemukan dan penyakit metabolik : disamping oleh faktor mekanis yang berperan,
terdapat faktor metabolik yang berperan. Peran faktor metabolik dan hormonal pada
kaitannya dengan OA dan kegemukan juga disokong oleh adanya kaitan antara OA
dengan penyakit jantung koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Pasien OA ternyata
mempunyai resiko penyakit jantung koroner dan hipertensi yang lebih tinggi daripada
orang-orang tanpa OA.
 Cedera sendi, pekerjaan dan olahraga
 Kelainan kongenital dan pertumbuhan
 Faktor lain : tingginya kepadatan tulang dikatakan meningkatkan resiko timbulnya
OA. Hal ini timbul karena tulang yang lebih padat tidak membantu mengurangi
benturan beban yang diterima oleh tulang rawan sendi. Akibatnya tulang rawan sendi
menjadi lebih mudah robek. Faktor ini diduga berperan pada lebih tingginya OA pada
orang gemuk dan pelari.

Osteoartritis dapat terjadi secara primer maupun sekunder. OA primer disebut juga OA
idiopatik dimana OA tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik
maupun proses perubahan lokal pada sendi. Sedangkan OA sekunder adalah OA yang
didasari oleh adanya kelainan endokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas
mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama.4,5
Klasifikasi osteoartritis

1. Primer (idiopatik)
 Lokalisata (tempat utama)
 Pinggul-pangkal paha (superolateral, superomedial, medial,
inferoposterior)
 Lutut (medial, lateral, patellofemoral)
 Spinal apophyseal
 Tangan (interfalang, pangkal ibu jari)
 Kaki (sendi MTP, kaki bagian tengah, kaki belakang)
 Lain-lain (bahu, siku, pergelangan tangan, pergelangan kaki)
 Generalisata
 Tangan (Nodes Herbeden)
 Tangan dan lutut, spinal apophyseal (OA generalisata)
2. Sekunder
 Diplastik
 Kondrodisplasia
 Displasia epiphyseal
 Salah satu sendi yang kongenital
 Gangguan pertumbuhan (penyakit Perthes, epifisiolisis)
 Pasca trauma
 Akut
 Berulang
 Pasca operasi
 Kegagalan struktur
 Osteonekrosis
 osteokondritis
 Pasca inflamasi
 Infeksi
 Atropati inflamatoar
 Endokrin dan metabolik
 Akromegali
 Okronosis
 Hemokromatosis
 Gangguan timbunan kristal
 Jaringan ikat
 Sindroma Hipermobilitas
 mukopolisakaridoses
 Sebab tidak jelas
 Penyakit Kashin-Beck

Riwayat penyakit

Pada umumnya pasien OA memiliki keluhan-keluhan yang sudah berlangsung lama dan
berkembang secara perlahan :

 Nyeri sendi
 Hambatan gerakan sendi
 Kaku pagi
 Krepitasi
 Pembesaran sendi (deformitas)
 Perubahan gaya berjalan

Pemeriksaan fisik

 Hambatan gerak
 Krepitasi
 Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
 Tanda-tanda peradangan
 Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
 Perubahan gaya berjalan

Pemeriksaan penunjang

 Radiografis sendi yang terkena


 Pemeriksaan laboratorium : tidak banyak berguna. Darah tepi (hemoglobin, leukosit,
LED) dalam batas normal kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan
atritis peradangan. Pemeriksaan imunologi (ANA, faktor reumatoid dan komplemen)
normal. Pada OA yang diserta dengan peradangan, mungkin didapatkan penurunan
vikositas, pleositosis ringan sampai sedang, peningkatan ringan sel peradangan
(<8000/m) dan peningkatan protein.
Penatalaksanaan

 Terapi non-farmakologis
 Edukasi
 Terapi fisik dan rehabilitasi
 Penurunan berat badan
 Terapi farmakologis
 Analgesik oral non opiat
 Analgesik topikal
 Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
 Chondroprotective Agent : obat-obatan yang dapat menjaga atau meragsang
perbaikan tulang rawan sendi. Yang termasuk kelompok obat ini : tetrasiklin,
asam hialuronat, kondroitin sulfat, glikosaminoglikan, vitamin-C, superoxide
dismutase, steroid intra-artikulas.
 Terapi bedah
 Malaligment, deformitas lutut Valgus-Varus
 Arthroscopic debridement dan joint lavage
 Osteotomi
 Artroplasti sendi total

Working Diagnosis

Pasien diduga menderika inkontinensia tipe campuran yaitu urgensi-stress dan juga
menderita osteoartritis.

Proses menua

Proses penuaan bukanlah sesuatu yang terjadi hanya pada orang yang berusia lanjut,
melainkan suatu proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan
kematian. Efek penuaan tersebut umumnya menjadi lebih terlihat sejak usia 40 tahun. Secara
umum dapat dikatakan terdapat kecenderungan menurunnya kapasistas fungsional baik pada
tingkat selular maupun tingkat organ sejalan dengan proses menua. Akibat penurunan
kapasitas fungsional tersebut, orang berusia lanjut umumnya tidak berespon terhadap
berbagai rangsangan internal ataupun ekstrenal. Gangguan terhadap homeostasis tersebut
menyebabkan disfungsi berbagai sistem organ lebih mungkin terjadi dan juga toleransi
terhadap obat menurun.6
Menua diartikan sebagai proses mengubah seorang dewasa sehat menjadi ‘frail’
dengan berkurangnya sebagian besar cadangan fisiologis dan meningkatnya kerentanan
terhadap berbagai penyakit dan kematian secara eksponensial.

Teori mengenai proses menua :6,7

1. Teori radikal bebas


Menyebutkan produk hasil metabolisme oksidatif yang sangat reaktif (radikal bebas)
dapat bereaksi dengan berbagai komponen penting selular, termasuk protein, DNA,
dan lipid dan menjadi molekul yang tidak berfungsi namun bertahan lama dan
mengganggu fungi sel lainnya. Diperkenalkan oleh Denham Harman tahun 1956.
Radikal bebas adalah molekul atau bagian molekul yang tidak utuh lagi karena
sebagian telah pecah atau melepaskan diri. Radikal inilah yang menyebabkan sel-sel
tidak dapat melakukan regenerasi. Sebagai contoh reactive oxygen species (ROS) dan
reactive nitrogen species (RNS) yang dihasilkan selama metabolisme normal. Dalam
proses menua, kecepatan unsur radikal bebas ini bertambah, melebihi kecepatan
perbaikan. Vitamin E diduga melindungi mitokondria terhadap pengaruh buruk
radikal bebas dimana berfungsi sebagai anti oksidans sehingga dapat menghambat
proses penuaan.
2. Teori glikolisasi
Proses glikolisasi nonenzimatik yang menghasilkan pertautan glukosa-protein yang
disebut advanced glycation end products (AGEs) dapat menyebabkan penumpukan
protein dan makromolekul lain yang termodifikasi sehingga menyebabkan disfungsi
pada manusia yang menua. Protein glikasi menunjukkan perubahan fungsional,
meliputi menurunnya aktivitas enzim dan menurunnya degradasi protein abnormal.
AGEs berakumulasi di berbagai jaringan, termasuk kolagen, hemoglobin, dan lensa
mata. Karena muatan kolagennya tinggi, jaringan ikat menjadi kurang elastis dan
kaku. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi elastisitas dinding pembuluh darah.
AGEs juga berinteraksi dengan DNA dan karenanya mungkin mengganggu
kemampuan sel untuk mempengaruhi perubahan pada DNA.
3. Teori ‘DNA repair’
Menunjukan bahwa adanya perbedaan pola laju ‘repair´ kerusakan DNA yang
diinduksi sinar UV pada berbagai fibroblas yang dikultur. Teori ini terkait erat dengan
teori radikal bebas, karena sebagian besar radikal bebas (terutama ROS) dihasilkan
melalui fosforilasi oksidatif yang terjadi di mitokondria. Mutasi DNA mitokondria
(mtDNA) dan pembentukan ROS di mitokondria saling mempengaruhi satu sama
lain, membentuk ‘vicious cycle’ yang secara eksponensial memperbanyak kerusakan
oksidatif dan disfungsi selular, yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel.
Gangguan repair pada kerusakan oksidatif ini menyebabkan percepatan proses
penuaan (accelerated aging). mtDNA akibat gangguan repair ini juga terkait dengan
munculnya keganasan, diabetes melitus dan penyakit-penyakit neurodegeneratif.

Beberapa teori lain juga telah dikemukakan untuk menjelaskan proses yang terjadi
selama menuaan antaralain aging by program, teori gen dan mutasi gen, cross-linkage theory,
cellular garbage theory, wear-and-tear theory dan teori autoimun.

Fisiologi proses menua

Homeostenosis yang merupakan karakteristik fisiologi penuaan adalah keadaan


penyempitan (berkurangnya) cadangan homeostasis yang terjadi seiring meningkatnya usia
pada setiap sistem organ. Seiring bertambahnya usia jumlah cadangan fisiologis untuk
menghadapi berbagai perubahan yang mengganggu homeostasis (challenge) berkurang.
Setiap challenge terhadap homeostasis merupakan pergerakan menjauhi keadaan dasar, dan
semakin besar challenge yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologis yang
diperlukan untuk kembali ke homeostasis. Dengan makin berkurangnya cadangan fisiologis
maka seorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai ambang (precipice) yang berupa
keadaan sakit atau kematian akibat ‘challenge’.6

Implikasi klinis

Beberapa perubahan yang terjadi pada berbagai sistem tumbuh pada proses menua :6

 Sistem endokrin : toleransi glukosa terganggu, penurunan yang bermakna pada


dehidroepiandrosteron (DHEA), penurunan hormon T3, penurunan testosteron bebas
maupun yang bioavailable, penurunan produksi hormon paratiroid, penurunan
produksi vit D oleh kulit, peningkatan kadar homosistein ureum.
 Kardiovaskular : penurunan frekuensi jantung maksimum, berkurangnya pengisian
ventrikel kiri, berkurangnya sel pacu jantung di nodus SA, hipertrofi atrium kiri,
kontraksi dan relaksasi ventrikel kiri bertambah lama, peningkatan resistensi vaskular
perifer.
 Tekanan darah : peningkatan tekanan darah sistolik sedangkan diastolik tidak
berubah, terganggunya perfusi autoregulasi otak, berkurangnya vasodilatasi yang
dimediasi beta-adrenergik.
 Paru-paru : penurunan FEV1 dan FVC, meningkatnya volume residual, berkurangnya
efektivitas batuk, berkurangnya efektivitas fungsi silia, penurunan massa jaringan
paru, ekspansi toraks, kekakuan dinding dada, berkurangnya kekuatan otot-otot
pernafasan, berkurangnya respon ventilasi akibat hiperkapnia.
 Ginjal : menurunnya bersihan kreatinin dan laju filtrasi glomerulus 10ml/dekade,
menurunnya ekskresi dan konservasi natrium dan kalium, berkurangnya sekresi akibat
pembebasan asam, menurunnya aktivitas vitamin D.
 Tulang : melambatnya penyembuhan fraktur, berkurangnya massa tulang,
berkurangnya formasi osteoblas tulang.
 Gastrointestinal : berkurangnya ukuran dan aliran darah hati, terganggunya clearance
obat oleh hati, tergangguanya respom terhadap cedera pada mukosa lambung,
berkurangnya massa pankreas dan cadangan enzimatik.
 Sistem imun : berkurangnya imunitas yang dimediasi sel, rendahnya afinitas produksi
antibodi, meningkatnya autoantibodi, terganggunya fungsi makrofag, berkurangnya
produksio sel B oleh sumsum tulang.

Pengkajian Paripurna pada Pasien Geriatri

Menurut data PBB, Indonesia diperkirakan mengalami peningkatan jumlah warga


berusia lanjut yang tertinggi di dunia, yaitu 414%,hanya dalam waktu 35 tahun (1990-2025),
dan tahun 2020 diperkirankan jumlah penduduk usia lanjut akan mencapai 25,5 juta jiwa.8

Persentase Penduduk Usia Lanjut Indonesia tahun 1990-2010


Tahun 1990 2000 2010
Presentase 5,8% 7,4% 8,0%
Sumber : Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Kesehatan RI, 2004

Akibat populasi usia lanjut yang meningkat makan akan terjadi transisi epidemiologi,
yaitu bergesernya pola penyakit dari penyakit infeksi dan gangguan gizi menjadi penyakit-
penyakit degeneratif, diabetes, hipertensi, neoplasma, penyakit jantung koroner. Faktor yang
turur berperan pada transisi epidemiologi ini adalah keberhasilan mengatasi infeksi dengan
penggunaan antimikroba serta majunya sistem penanggulangan dan pencegahan penyakit
infeksi dibawah pengarahan WHO.3

Karakteristik pasien geriatri :

1. Multipatologi
2. Menurunnya daya cadangan fisiologis
3. Bertambahnya gejala dan tanda penyakit dari yang klasik
4. Terganggunya status fungsional pasien geriatri
5. Terdapat gangguan nutrisi, gizi kurang atau gizi buruk

Pendekatan yang dilakukan mutlak harus bersifat holistik atau paripurna. Pendekatan
paripurna di sini tidak semata-mata dari sisi bio-psiko-sosial namun juga harus senantiasa
dari sisi kuratif, rehabilitatif, promotif dan preventif. Menatalaksana pasien geriatri dengan
pendekatan paripurna tersebut memerlukan pendekatan yang khusus yang disebut sebagai
pendekatan paripurna pasien geriatri (comprehensive geriatric assessment). Tujuan lain dari
pendekatan ini adalah mengkaji aset (aset sosial, psikologik maupun biologik) yang ada
untuk kemudian ditingkatkan guna memperoleh hasil penatalaksanaan optimal dari segi
kuratif, rehabilitatif maupun preventif. Jenis pendekatan yang digunakan adalah intredisiplin.
Efek buruk yang terjadi jika pengelolaan dilakukan tidak bersifat interdisiplin misalnya
interaksi obat, iatrogenesis akibat inkoordinasi serta tujuan pengobatan tidak tercapai.8

Pendekatan paripurna pasien geriatri dimaksudkan sebagai prosedur evaluasi


multidimensi di mana berbagai masalah pada pasien geriatri diungkap, diuraikan, semua aset
pasien ditemu-kenali, jenis pelayanan yang dibutuhkan diidentifikasi, rencana asuhan
dikembangkan secara terkoordinir, yang semua itu berorientasi kepada kepentingan pasien.
Selain hal-hal lazim dikaji maka di sini dilakukan evaluasi terhadap :

1. Jenis pelayanan apa yang dikehendaki pasien pada situasi tertentu


2. Hendaya dan kemampuan fungsional yang masih dimiliki pasien
3. Sumber finansial yang dimiliki
4. Keberadaan anggota keluarga yang bersedia merawat pasien di rumah
5. Kondisi mental atau emosional yang bisa mempengaruhi kondisi kesehatan dan status
fungsional.

Berbagai model hubungan kerja antar disiplin :8

1. Unidisiplin
Setiap disiplin (ilmu) membuat rencana bekerja (praktik) dan mendapatkan
pengalaman secara sendiri-sendiri, tanpa memperhatikan bahwa ada disiplin lain yang
juga berkembang bersama. Pengembangan individu baik dalam hal kompetensi, minat
maupun hubungan profesi di luar bidangnya dianggap sebagai sesuatu yang aneh dan
tidak profesional.
2. Paradisiplim
Setiap disiplin membuat rencana praktik dan memperoleh pengalaman secara sendiri-
sendiri walau mengetahui bahwa terdapat disiplin lain yang juga bisa ikut berperan.
Berbagai data maupun laporan yang masuk boleh saja dipelajari atau dibaca oleh
disiplin lain, namun tidak dirasakan perlunya meminta keikutsertaan disiplin lain
tersebut secara profesional.
3. Multidisiplin
Berbagai disiplin berupaya untuk mengintegrasikan pelayanan demi kepentingan
pasien. Mereka bertemu, saling berbagi informasi, merencanakan dan menetapkan
siapa yang akan ikut berperan/berkontribusi dan jenis ekspertise apa yang bisa
diperankan. Tugas dan tanggung jawab diterapkan pada setiap bidang ilmu dengan
batasan yang tegas sesuai disiplin masing-masing. Setiap bidang melaksanakan
pekerjaan mereka secara independen, sangat berhati-hati untuk tidak memasuki
wilayah bidang lain.
4. Interdisiplin
Perencanaan, pengembangan pengalaman dan pelaksanaan pelayanan dikerjakan
dengan penuh pemahaman bahwa terdapat tumpang tindih dalam hal kompetensi dan
bahwasannya masalah-masalah pasien bisa saling terkait satu sama lain. Setiap bidang
mampu mengembangkan diri bersama, mereka bertemu untuk mengevaluasi masalah
yang sedang dihadapi, membicarakan tujuan spesifik yang harus dicapai serta
berbagai intervensi yang harus diambil untuk mencapai tujuan tadi. Peran dan
tanggung jawab setiap disiplin tidaklah kaku namun dapat beralih sesuai
perkembangan masalah yang ada saat itu.
5. Pandisiplin
Sebagai geriatrisien melihat geriatri/gerontologi sebagai sebuah ilmu yang terpisah
dari ilmu yang lain, dan tidak melihat sebagai subspesialis dari ilmu tertentu.
Implikasinya adalah seorang geriatrisien menganggap dirinya mempunya kompetensi
primer di semua ranah proses penuaan. Ia menganggap dirinya paling kompeten
sebagai konsultan, praktisi maupun pendidik sekaligus.

Keluaran yang diukur pada berbagai penelitian tentang manfaat dari P3G yaitu lama
rawat, perubahan status fungsional, perubahan kualitas hidup, biaya perawatan, sintasan yang
lebih baik, perawatan ulang yang makin jarang serta kepuasan pasien dan keluarga.

Pedoman pemberian obat pada pasien geriatri

Perubahan penting yang terjadi pada pasien usia lanjut adalah farmakokinetik dan
farmako dinamik.

Farmakokinetik

Farmakokinetik yaitu bagaimana perjalanan nasib obat dalam tubuh. Farmakokinetik


dalam terapi berfungsi sebagai alat prediksi terhadap besaran KOP dan efek obat. Dosis dan
frekuensi pemberian obat harus menghasilkan KOP yang selalu berada dalam bingkai jendela
terapi. Bila lebih besar akan terjadi efek toksik dan bila terlalu kecil obat tida bermanfaat.4,9

1. Absorbsi
Setelah obat diabsorbsi, obat mengalami metabolisme lintas pertama di hepar maka
bioavailabilitas obat yang masuk sirkuilasi mayor akan lebih besar karena fungsi
metabolisme hepar sudah menurun.

2. Distribusi
Obat dipengaruhi oleh berat dan komposisi tubuh yaitu cairan tubuh, massa otot,
fungsi dan peredaran darah berbagai organ, juga organ yang mengatur ekskresi obat.
Kadar albumin plasma memastikan kadar obat bebas dalam sirkulasi. Hal ini
memerlukan pedoman yang menyesuaikan dosis obat dengan berat badan untuk
meningkatkan rasio resiko/kegunaan pada pasien tua yang kurus.
3. Metabolisme
Eliminasi obat menjadi lebih kecil dan lebih lambat. Metabolisme obat di hepar
berlamngsung dengan katalis/aktifitas enzim mikrosoma hepar. Aktivitas enzim ini
dapat dirangsang oleh obat dan dapat pula dihambat oleh inhibitor. Obat yang
mengalami metabolisme di hepar misalnya parasetamol, salisilat, diazepam, prokain,
propranorol, quinidine, warfarin, eliminasinya akan menurun oleh karena kemunduran
kapasitas fungsi hepar.
4. Ekskresi
Konsekuensi dari penurunan fungsi ginjal adalah eliminasi obat berkurang sehingga
pada pemberian obat dengan dosis/frekuensi lazim KOP dalam darah akan menjadi
lebih besar dan t1/2nya menjadi lebih panjang oleh karena itu besarannya dosis
pemberian dari obat yang dieliminasi lewat ginjal perlu perhitungan dengan baik
seperti aminoglikosida, digoxin, obat antidiabetik oral, simetidin.

Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah pengaruh obat terhadap tubuh menimbulkan rentetan reaksi


biokimiawi dalam sel mulai dari reseptor sampai efektor. Respon selular pada lansia secara
keseluruhan menurun. Penurunan ini sangat menonjol pada mekanisme respon homeostatis
yang berlangsung secara fisiologis. Pada umumnya obat-obat yang cara kerjanya merangsang
proses biokimiawi selular intensitas pengaruhnya akan menurun, misalnya agonis beta untuk
terapi asma bronkial diperlukan dosis yang lebih besar. Sebaliknya obat-obat yang cara
kerjanya menghambat proses biokimiawi selular, pengaruhnya akan menjadi nyata terlebih
dengan mekanisme regulasi homeostatsi yang melemah, efek farmakologi obat yang sangat
menonjol sehingga toksik. Misalnya obat-obat antagonis beta, antikolinergik, antipsikotik.4,9

Polifarmasi

Beberapa definisi yang berhubungan dengan polifarmasi : meresepkan obat melebihi


indikasi klinis, pengobatan yang mencakup paling tidak satu obat yang tidak perlu,
penggunaan empirik 5 obat atau lebih. Pada usia lanjut sering terjadi interaksi antar obat yang
digunakan, makin banyak obat makin sering interaksinya. Jenis-jenis interaksi :

 Obat-makanan
 Obat-penyakit
 Obat-obat
Polifarmasi susah untuk dihindari karena :

 Penyakit yang diderita dan biasanya kronis


 Obat diresepkan oleh beberapa dokter
 Kurang koordinasi dalam pengelolaan
 Gejala yang dirasakan pasien tidak jelas
 Pasien meminta resep
 Untuk menghilangkan efek samping obat justru ditambah obat baru

Prinsip pemberian obat yang benar untuk pasien usia lanjut :

 Riwayat pengobatan lengkap


 Jangan memberikan obat sebelum waktunya
 Jangan menggunakan obat terlalu lama
 Kenali obat yang digunakan
 Mulai dengan dosis rendah naikkan perlahan-lahan
 Obat sesuai patokan
 Beri dorongan supaya patuh berobat
 Hati-hati menggunakan obat baru

Gizi pada lansia

Perubahan fisik dan penurunan fungsi organ tubuh akan memegaruhi konsumsi dan penyerapan
zat gizi besi. Defisiensi zat gizi termasuk zat besi pada lansia akan mempunyai dampak terhadap
penurunan kemampuan fisik dan menurunkan kekebalan tubuh.Masalah gizi pada lansia berupa
masalah gizi berlebih dan kegemukan/obesitas memicu timbulnya berbagai penyakit degeneratif
seperti penyakit jantung coroner, hipertensi, DM, batu empedu, gout, ginjal, sirosis hati dan kanker.
Sedangkan masalah gizi kurang seperti kurang energi kronis (KEK), anemia juga sering terjadi.7

 Penyakit jantung koroner


Karena konsumsi lemak jenuh dan kolestrol yang berlebihan yang terdapat pada
makanan hewani terutama kambing, sapi, kerbau dan ayam. Sedangkan ikan banyak
mengandung asam lemak tak jenuh.
 Diabetes melitus
Suatu keadaan di mana terdapat gangguan metabolisme karbohidrat, lemak dan
protein yang disebabkan oleh kekurangan insulin dan atau tidak berfungsinya insulin.
 Hipertensi
Berat badan yang berlebih akan meningkatkan beban kerja jantung dalam memompa
darah sehingga cenderung membuat tekanan darah menjadi lebih tinggi. Selain itu
pembuluh darah pada lansia lebih tebal dan kaku atau disebut arterossklerosis,
sehingga tekanan darah meningkat.
 Sirosis hepatis
Dikarenakan lemak berlebih yang tertimbun di hati.
 Osteoporosis
 Anemia
Karena kekurangan Fe, asam folat, vit B12 dan protein. Selain itu juga dikarenakan
oleh kemunduran proses metabolisme sel darah merah (hemoglobin) juga terjadi.
 Gout
Penderita asam urat hendaknya mengurangi konsumsi lemak. Asam urat yang tinggi
dalam darah merupakan pencetus terjadinya batu ginjal.
 Kurang energi kronis (KEK)
Dikarenakan oleh menurunnya nafsu makan pada lansia. Hal ini menyebabkan
jaringan ikat menjadi keriput dan badan kurus. Kekurangan vit A menyebabkan
katarak; vit B1, asam folat, vit B12 menyebabkan penebalan pembuluh darah dan
resiko jantung koroner serta darah tinggi; vit C menyebabkan penurunan densitas
tulang; vit E yang berkhasiat sebagai antioksidan; mineral Zn menyebabkan terjadinya
kekurangan pada daya pengecap dan kelainan pada kulit.

Kesimpulan

Proses penuaan tidak hanya terjadi pada orang yang berusia lanjut, melainkan suatu
proses normal yang berlangsung sejak maturitas dan berakhir dengan kematian. Seiring
dengan pertambahan usia, cadangan fisiologi seseorang menjadi berkurangnya sehingga
seorang usia lanjut lebih mudah untuk terkena suatu penyakit.

Daftar pustaka

1. Abdurrahman N, et al. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Cetakan ke-3.


Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2005. h. 45
2. Purnomo BB. Dasar-dasar urologi. Edisi 3. Jakarta : Sagung Seto ; 2011. h. 147-60
3. Setiati S, Pramantara IDP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi 6. Jilid 3. Jakarta : Interna Publising ; 2015. h. 3774-82
4. Martono H, Pranarka K. Geriatri : ilmu kesehatan usia lanjut. Jakarta : Balai penerbit fakultas
kedokteran Universitas Indonesia ; 2009. h. 3-9,226-38,425-9,771-7,147-60
5. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R. Osteoarthritis. Dalam: Setiati S, Alwi
I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi
6. Jilid 3. Jakarta : Interna Publising ; 2015. h. 3199-210
6. Setiati S, Harimurti K, Govinda A. Proses menua dan implikasi kliniknya. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam.
Edisi 6. Jilid 3. Jakarta : Interna Publising ; 2015. h. 3671-6
7. Maryam S, Ekasari MF, Rosidawati, Jubaedi A, Barubara I. Mengenal usia lanjut dan
keperawatannya. Jakarta : Penerbit Salemba Medika ; 2008. h. 118-22
8. Soejono CH. Pengkajian paripurna pada pasien geriatri. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo
AW, Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jilid 3.
Jakarta : Interna Publising ; 2015. h. 3716-12
9. Supartondo, Govinda A. Pedoman memberi obat pada pasien geriatric serta mengatasi
masalah polifarmasi. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, Simadibrata M, Setiyohadi B,
Syam AF. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi 6. Jilid 3. Jakarta : Interna Publising ; 2015.
h. 3716-18

Anda mungkin juga menyukai