Anda di halaman 1dari 13

Sering Bersin di Pagi Hari Disertai Ingus Encer dan Bening

Cresentia Irene Iskandar

102014161

E5

Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana

Jl. Arjuna Utara no.6 Kebon Jeruk, Jakarta

Pendahuluan

Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik.1 Rinitis alergi dapat
mengenai siapa saja di usia mana saja. Rinitis alergi ini paling sering terjadi pada masa kanak-
kanak khususnya mereka yang memiliki riwayat alergi di dalam keluarga. Alergen dapat masuk
kedalam tubuh seseorang dengan berbagai cara seperti inhalan, ingestan, injektan dan kontak.2

Skenario

Seorang perempuan berusia 15 tahun datang dengan keluhan sering bersih di pagi hari
sejak 1 tahun yang lalu, disertai keluar ingus encer dan bening.

Anamnesis

Anamnesis adalah suatu teknik wawancara terhadap pasien disertai dengan empati.
Anamnesis yang baik terdiri dari identitas, keluhan utama, riwayat penyakit sekarang, riwayat
pengobatan, faktor pencetus, riwayat penyakit dahulu, riwayat obstetri dan ginekologi, riwayat
penyakit keluarga, anamnesis susunan sistem dan anamnesis pribadi. Tujuan utama anamnesis
adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan dengan penyakit pasien
dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya dan kemudian membuat penilaian keadaan pasien.

Pertanyaan yang dapat ditanyakan :

- Apakah bersin-bersin di pagi hari muncul terutama setelah kontak dengan binatang
peliharaan, debu atau karena cuaca yang dingin ?

1
- Apakah ada sekret yang keluar dan bagaimana kriteria sekretnya ?
- Apakah ada hidung tersumbat ? Jika ada, apakah tergantung dari posisi ?
- Apakah ada rasa gatal dan mata berair ?
- Apakah ada riwayat alergi ?
- Apakah ada riwayat penggunaan obat-obatan yang memicu terjadinya bersin ?

Pada skenario didapatkan hasil anamnesis :

- Identitas : seorang perempuan berusia 15 tahun


- Keluhan utama : sering bersin di pagi hari sejak 1 tahun yang lalu
- Riwayat penyerta : keluar ingus encer dan bening
- Riwayat keluarga : hal ini juga terjadi pada orangtua
- Riwayat sosial pribadi : -

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan adalah pemeriksaan keadaan umum,
kesadaran, pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV) pada pasien. Setelah itu dilakukan
pemeriksaan head-to-toe. Dan bila ada berhubungan dengan paru-paru, jantung, ginjal, hati,
lambung, atau limpa ada beberapa pemeriksaan fisik yang khusus terhadap organ-organ itu.
Pemeriksaan fisik meliputi inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi.

Pemeriksaan fisik dilakukan dengan melakukan inspeksi pada permukaan anterior dan
inferior hidung. Biasanya penekanan lembut pada ujung depan hidung pasien dengan jari
tangan. Dengan cara itu maka akan memperlebar nostril (lubang hidung) dan melihat dengan
bantuan spekulum. Jika ujung hidung terasa nyeri biasanya ada infeksi lokal (furunkel). Deviasi
septum juga harus diperhatikan.3

Inspeksi bagian dalam hidung dengan spekulum: untuk melihat konka inferior dan
media, septum nasi, dan saluran hidung.3

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dalam skenario adalah :

- Keadaan umum : sakit ringan


- Kesadaran : compos mentis
- TTV : normal
- Hidung : mukosa pucat / livid

2
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dari skenario untuk menunjang diagnosis :1,2

1. Darah perifer lengkap


Untuk melihat apakah ada tanda-tanda infeksi
2. Diff-count
Hitung jenis eosinofil, untuk melihat adanya tanda-tanda alergi
3. IgE total
Biasanya pada pemeriksaan IgE total dapat dijumpai hasil yang normal, kecuali jika
terdapat penyakit penyerta lainnya seperti asma
4. Alergi tes
Dapat dilakukan skin-prict test untuk mengetahui adanya suatu alergi terhadap suatu
zat
5. Pemeriksaan IgE spesifik lebih bermakna, dengan RAST (Radio Immuno Sorbent
Assay Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test)
6. Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah
banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap) mungkin
disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya
infeksi bakteri.

Anatomi Hidung

Hidung Luar

Hidung luar berbentuk piramid dengan bagian – bagiannya dari atas ke bawah :

1. Pangkal hidung (bridge)


2. Dorsum nasi
3. Puncak hidung
4. Ala nasi
5. Kolumela
6. Lubang hidung (nares anterior)

3
Hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi kulit,
jaringan ikat dan beberapa otot kecil yaitu M. Nasalis pars transversa dan M. Nasalis pars
allaris. Kerja otot – otot tersebut menyebabkan nares dapat melebar dan menyempit. Batas atas
nasi eksternus melekat pada os frontal sebagai radiks (akar), antara radiks sampai apeks
(puncak) disebut dorsum nasi. Lubang yang terdapat pada bagian inferior disebut nares, yang
dibatasi oleh :4

1. Superior : os frontal, os nasal, os maksila


2. Inferior : kartilago septi nasi, kartilago nasi lateralis, kartilago alaris mayor dan
kartilago alaris minor
Dengan adanya kartilago tersebut maka nasi eksternus bagian inferior menjadi
fleksibel.

Kavum Nasi

Dengan adanya septum nasi maka kavum nasi dibagi menjadi dua ruangan yang
membentang dari nares sampai koana (apertura posterior). Kavum nasi ini berhubungan dengan
sinus frontal, sinus sfenoid, fossa kranial anterior dan fossa kranial media. Batas – batas kavum
nasi :4

1. Posterior : berhubungan dengan nasofaring


2. Atap : os nasal, os frontal, lamina kribriformis etmoidale, korpus sfenoidale dan
sebagian os vomer
3. Lantai : merupakan bagian yang lunak, kedudukannya hampir horisontal, bentuknya
konkaf dan bagian dasar ini lebih lebar daripada bagian atap. Bagian ini dipisahnkan
dengan kavum oris oleh palatum durum.
4. Medial : septum nasi yang membagi kavum nasi menjadi dua ruangan (dekstra dan
sinistra), pada bagian bawah apeks nasi, septum nasi dilapisi oleh kulit, jaringan

4
subkutan dan kartilago alaris mayor. Bagian dari septum yang terdiri dari kartilago ini
disebut sebagai septum pars membranosa = kolumna = kolumela.
5. Lateral : dibentuk oleh bagian dari os medial, os maksila, os lakrima, os etmoid, konka
nasalis inferior, palatum dan os sfenoid.

Konka nasalis suprema, superior dan media merupakan tonjolan dari tulang etmoid.
Sedangkan konka nasalis inferior merupakan tulang yang terpisah. Ruangan di atas dan
belakang konka nasalis superior adalah resesus sfeno-etmoid yang berhubungan dengan sinis
sfenoid. Kadang – kadang konka nasalis suprema dan meatus nasi suprema terletak di bagian
ini.

Mukosa Hidung

Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara histologik dan fungsional dibagi atas
mukosa pernafasan dan mukosa penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar
rongga hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan diantaranya terdapat sel – sel goblet. Pada bagian yang lebih terkena aliran udara
mukosanya lebih tebal dan kadang – kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa.
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh
palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya. Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel goblet.4

Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi yang penting. Dengan
gerakan silia yang teratur, palut lendir di dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring.
Dengan demikian mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung. Gangguan pada fungsi
silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat.
Gangguan gerakan silia dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat – obatan.4

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu dan tidak bersilia
(pseudostratified columnar non ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel,
yaitu sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa penghidu berwarna
coklat kekuningan.

5
Working Diagnosis

Berdasarakan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik yang dilakukan pasien didiagnosa


menderita rinitis alergi.

Rinitis Alergi

Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi oleh reaksi alergi pada pasien atopi
yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama yang diperantarai oleh IgE.1,2

Definisi rinitis alergi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis ans its Impact on Asthma)
tahun 2011 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinorea, rasa gatal, dan
tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.1

Etiologi

Beberapa penyebab yang dapat menyebabkan terjadinya rinitis alergi :2,5

1. Genetik : riwayat keluarga yang memiliki alergi


2. Faktor lingkungan : debu,tungau debu, jamur
3. Alergen : polen, bulu binatang, makanan
4. Perokok pasif : sering terpapar oleh asap rokok terutama pada awal masa kanak-kanak
5. Asap / partikel disel : terutama didaerah pinggiran kota yang banyak pabrik-pabrik

Pada bayi dan anak-anak, alergi makanan seperti susu, telur, kedelai, gandum, tungau
debu, dan alergen inhalan seperti bulu binatang merupakan salah satu penyebab utama
terjadinya rinitis alergi dan bersifat komorbit terhadap terjadinya dermatitis atopic, otitis media
efusi dan asma. Pada remaja, alergen polen (serbuk sari) menjadi penyebab tersering terjadinya
rinitis alergi.2

Epidemiologi

Rinitis alergi merupakan salah satu penyakit alergi tersering di Amerika dengan
prevalensi sekitar 20% hingga 25% populasi. Rinitis alergi dapat terjadi pada semua usia,
dengan insiden terbanyak terjadi pada masa remaja dan menurun seiring dengan pertambahan
usia. Puncak prevalensi terjadinya rinitis alergi yaitu pada dekade ketiga dan keempat. 2,6

Klasifikasi

Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi menjadi :1

6
1. Alergen inhalan : masuk bersama dengan udara pernafasan seperti tungau debu, lecoa,
bulu binatang, rerumputan, jamur.
2. Alergen ingestas : masuk melalui saluran cerna seperti telur, susu, sapi, makanan laut,
coklat, kacang-kacangan.
3. Alergen injektan : masuk melalui suntikan atau tusukan seperti penisilin dan sengatan
lebah.
4. Alergen kontaktan : masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa seperti perhiasan,
bahan kosmetik.

Berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi : 1,2,5

1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hy fever, polinosis)


Rinitis jenis ini tidak terjadi di Indonesia, rinitis ini khusunya terjadi pada negara yang
memiliki 4 musim. Alergen penyebab tersering adalah polen, spora jamur. Manifestasi
yang sering muncul berupa bersin yang dapat terjadi 10 hingga 20 kali dalam 1 periode
bersin, hidung tersumbat, sekret yang banyak, gatal pada hidung, mata, telinga,
tenggorokan, dan dapat dijumpai mata merah dan berair. Biasanya keluhannya lebih
berat pada pagi hari.
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial)
Gejala yang timbul intermiten atau terus-menerus tanpa variasi musim. Penyebab yang
paling sering adalah alergen inhalan seperti tungau debu, alergen ingestan khususnya
pada anak-anak dan biasanya disertai dengan alergi yang lain seperti urtikaria dan
gangguan pencernaan. Manifestasi yang dijumpai lebih dominan hidung tersumbat dan
post-nasal drip, hilang sensasi membau karena terjadi edema pada mukosa, batuk dan
gangguan pendengaran karena tuba eustasius yang tertutup atau karena adanya cairan
di telinga tengah.

Saat ini klasifikasi rinitis alergi yang digunakan berdasarkan rekomendasi dari WHO
dan ARIA tahun 2001 yaitu :1,2

1. Intermiten : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu
2. Persisten : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu

Berdasarkan berat ringannya dibagi menjadi :1

1. Ringan : jika tidak terdapat adanya gangguan tidur dan gangguan dalam aktifitas sehari-
hari

7
2. Sedang-berat : jika terdapat 1 atau lebih gangguan tidur dan gangguan dalam aktifitas
sehari-hari

Patofisiologi

1. Sensitisasi
Rinitis alergi merupakan penyakit inflamasi yang diawali oleh adanya proses
sensitisasi terhadap alergen sebelumnya. Melalui inhalasi, partikel alergen akan tertumpuk di
mukosa hidung yang kemudian berdifusi pada jaringan hidung. Hal ini menyebabkan sel
Antigen Presenting Cell (APC) akan menangkap alergen yang menempel tersebut. Kemudian
antigen tersebut akan bergabung dengan HLA kelas II membentuk suatu kompleks molekul
MHC (Major Histocompability Complex) kelas II. Kompleks molekul ini akan
dipresentasikan terhadap sel T helper (Th 0). Th 0 ini akan diaktifkan oleh sitokin yang
dilepaskan oleh APC menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti
IL3, IL4, IL5, IL9,IL10, IL13 dan lainnya.1
IL4 dan IL13 dapat diikat reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel B
menjadi aktif dan memproduksi IgE. IgE yang bersirkulasi dalam darah ini akan terikat
dengan sel mast dan basofil yang mana kedua sel ini merupakan sel mediator. Adanya IgE
yang terikat ini menyebabkan teraktifasinya kedua sel tersebut.1
2. Reaksi Alergi Fase Cepat
Reaksi cepat terjadi dalam beberapa menit, dapat berlangsung sejak kontak dengan
allergen sampai 1 jam setelahnya. Mediator yang berperan pada fase ini yaitu histamin, tiptase
dan mediator lain seperti leukotrien, prostaglandin (PGD2) dan bradikinin. Mediator-
mediator tersebut menyebabkan keluarnya plasma dari pembuluh darah dan dilatasi dari
anastomosis arteriovenula hidung yang menyebabkan terjadinya edema, berkumpulnya darah
pada kavernosus sinusoid dengan gejala klinis berupa hidung tersumbat dan oklusi dari
saluran hidung. Rangsangan terhadap kelenjar mukosa dan sel goblet menyebabkan
hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Rangsangan pada
ujung saraf sensoris (vidianus) menyebabkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.1,7
3. Reaksi Alergi Fase Lambat
Reaksi alergi fase lambat terjadi setelah 4 – 8 jam setelah fase cepat. Reaksi ini
disebabkan oleh mediator yang dihasilkan oleh fase cepat beraksi terhadap sel endotel
postkapiler yang akan menghasilkan suatu Vascular Cell Adhesion Mollecule (VCAM)
dimana molekul ini menyebabkan sel leukosit seperti eosinofi menempel pada sel.1

8
Faktor kemotaktik seperti IL5 menyebabkan infiltrasi sel-sel eosinofil, sel mast,
limfosit,basofil, neutrofil dan makrofag ke dalam mukosa hidung. Sel-sel ini kemudian
menjadi teraktivasi dan menghasilkan mediator lain seperti Eosinophilic Cationic Protein
(ECP),Eosinophilic Derived Protein (EDP), Major Basic Protein (MBP) dan
EosinophilicPeroxidase (EPO) yang menyebabkan gejala hiperreaktivitas dan hiperresponsif
hidung.Gejala klinis yang ditimbulkan pada fase ini lebih didominasi oleh sumbatan hidung.1

Manifestasi Klinik

Gejala rinitis alergi yang khas yaitu adanya serangan bersin yang berulang. Bersin ini
terutama merupakan gejala pada Reaksi Alergi Fase Cepat dan kadang-kadang pada Reaksi
Alergi Fase Lambat sebagai akibat dilepaskannya histamin. Gejala lain yaitu adanya sekret /
ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidup tersumbat, hidung dan mata yang gatal dan kadang
sering disertai dengan banyak air mata yang keluar (lakrimasi). Pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tampak mukosa yang edem, basah, pucat/livid dan disertai dengan sekret yang banyak
dan encer.1

Gejala spesifik lain yang dapat ditemui terutama pada anak-anak yaitu terdapatnya
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung yang disebut allergic shiner. Selain itu jusa sering tampak anak menggosok-gosok
hidung karena gatal dengan punggung tangan yang disebut allergic salute. Keadaan
menggosok hidung ini lama-kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis melintang di
dorsum nasi bagian sepertiga bawah, yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan
lengkung langit-langit yang tinggi sehingga mengakibatkan terjadinya gangguan pertumbuhan
gigi gerigi (facies-adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone
appearance), serta dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta
(geographic tongue).1,5

Different Diagnosis

Rinitis Vasomotor

Rinitis vasomotor merupakan suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa adanya
infeksi, alergi, eosinophilia, perubahan hormonal dan pajanan obat. Rinitis tipe ini digolongkan
sebagai rinitis non-alergi bila adanya alergen spesifik tidak dapat diidentifikasi.7,8

9
Gejala yang muncul dicetuskan oleh berbagai rangsangan non-spesifik, seperti
asap/rokok, bau yang menyengat, parfum, minuman berakohol, parfum, udara dingin,
perubahan kelembapan, perubahan suhu luar, kelelahan dan stress/emosi.8

Keluhan yang dominan yaitu hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan serta
tergantung dari posisi pasien. Selain itu terdapat juga rinore yang mukoid atau serosa. Keluhan
ini jarang disertai dengan keluhan mata. Gejala biasanya memburuk pada pagi hari waktu
bangun tidur karena adanya perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab. Pada pemeriksaan
rinoskopi anterior biasanya terdapat gambaran mukosa yang edem, konka berwarna merah
gelap atau merah tua dan dapat juga berwarna pucat.7,8

Rinitis Viral

Rinitis viral merupakan salah satu rinitis yang juga sering terjadi dan biasanya diserati
dengan manifestasi infeksi virus seperti sakit kepala, lemas, nyeri badan dan batuk. Sekret pada
rinitis viral biasanya bening atau putih dan juga dapat disertai dengan hidung tersumbat dan
bersin.2

Tatalaksana

Medikamentosa

Antihistamin

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1, yang bekerja secara
inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik)


dan generasi-2 (non-sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat
menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek
kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain adalah difenhidramin, klorfeniramin,
prometasin, siproheptadin sedangkan yang dapat diberikan secara topical adalah azelastin.
Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit untuk menembus sawar darah otak.
Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai efek anti kolinergik,
antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif). Antihistamin diabsorpsi secara oral

10
dengan cepat dan mudah serta efektif untuk mengatasi gejala pada respon fase cepat seperti
rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada face
lambat. Antihistamin non- sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya.
Kelompok pertama adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik.
Toksisitas terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak (sudah ditarik
dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin, fexofenadin, desloratadin dan
levosetrisin.1 Loratadin dapat diberikan dengan dosis 10 mg per hari, desloratadin 5 mg per
hari, fexofenadine 60 mg 2 kali per hari, dan setrizin 10 mg per hari. Diantara sediaan
antihitamin, setrisin memiliki efek sedasi yang paling ringan.6

Dekongestan

Simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai dekongestan hidung


oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau topical hanya boleh untuk beberapa
hari saja untuk menghindar terjadinya rinitis medikamentosa. 1

Kortikosteroid

Kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat respons fase lambat
tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid topical
(beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason, mometason furoat, triamsinolon).
Kortikosteroid topical bekerja untuk mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung,
mencegah pengeluaran protein sitotoksik, dari eosinofil, mengurangi aktivitas limfosit,
mencegah bocornya plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperesponsif terhadap
rangsangan elergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat).1

Preparat yang tersedia seperti beklometason (42 mcg/semprot 2 kali sehari), flunisolid
(25 mcg/semprot 2 kali sehari), mometason furoate (200 mcg/semprot 1 kali sehari),
budesonide (100mcg/semprot 2 kali sehari), flutikason (200 mcg/semprot 1 kali sehari).6

Sodium Kromoglikat

Sodium kromoglikat topical bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion


kalsium) sehingga pelepasan mediator dihambat. Pada respon fase lambat, obat ini juga
menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil, eosinofil dan monosit.
Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.1

11
Antikolinergik

Antikolinergik topical seperti ipratropium bromide, bermanfaat untuk mengatasi rinore,


karena aktivitas inhibisi reseptor kolinergik pada permukaan sel efektor.1

Non-medikamentosa

Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka inferior), konkoplasti atau


multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat
dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat.1

Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah
berlangsung lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang memuaskan.
Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukkan IgG bloking antibody dan penurunan IgE. Ada
2 metode imunoterapi yang umum dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.1

Komplikasi

Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:1

1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah satu factor
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal

Prognosis

Baik. Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Rinitis alergi tidak mengancam jiwa
tetapi dapat menurunkan kualitas hidup karena dapat menyebabkan gangguan tidur, gangguan
dalam beraktifitas, terutama pada anak-anak yang dapat menyebabkan gangguan pada proses
pembelajaran.2

Pencegahan

12
Pencegahan yang dapat dilakukan dengan menghindari kontak dengan alergen, seperti sering
membersihkan kamar, mengganti sarung tempat tidur dengan rutin, memakai masker ketika
berkendara atau keluar rumah, tidak memelihara binatang peliharaan, dan sebagainya.

Kesimpulan

Rinitis alergi merupakan salah satu penyakit inflamasi yang disebabkan karena terpapar
alergen yang telah tersensitisasi terlebih dahulu yang diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dapat
disebabkan oleh beberapa penyebab seperti polen, tungau debu, spora jamur, makanan,
suntikan ataupun kontak terhadap alergen. Pencegahan yang dapat dilakukan yaitu dengan
menghindari kontak dengan alergen.

Daftar pustaka

1. Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis alergi. Dalam : Soepardo EA, Iskandar N,


Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit FKUI;2016.h.106-11.
2. Shah SB, Emanuel IA. Nonallergic & allergic rhinitis. Dalam : Current diagnosis and
treatment in otolaryngology-head and neck surgery. Edisi ke-2. US : McGraw
Hill;2007.h.264-72.
3. Soegondo S. Penuntun anamnesis dan pemeriksaan fisis. Jakarta : Pusat Penerbit
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia;2008.h.35-7.
4. Moore KL, Dalley AF, Agur AMR. Moore clinically oriented anatomy. Edisi ke-7.
China : Lippincott;2014.h.955-60.
5. Dhingra PL, Dhingra S. Disease of ear, nose and throat. Edisi ke-6. New Delhi :
Elsevier;2014.h.166-9.
6. Lustig LR, Schindler JS. Ear, nose & throat disease. Dalam : Papadakis MA, McPhee
SJ. Current medical diagnosis & treatment. US : McGraw Hill;2016.h.220-21.
7. Maqbool M, Maqbool S. Textbook of ear nose and throat disease. Edisi ke-11. New
Delhi : JPBMP;2007.h.201-3.
8. Irawati N, Kasakeyan E, Poerbonegoro NL. Rinitis vasomotor. Dalam : Soepardo EA,
Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD, editor. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga
Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi ke-7. Jakarta : Balai Penerbit
FKUI;2016.h.113-5.

13

Anda mungkin juga menyukai