Anda di halaman 1dari 11

1.

Jelaskan fisiologi hidung:


a. Mucous ciliar clearance

Efektifitas system transport mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut lender. Palut
lendir dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel dan kelenjar seromusinosa submukosa. Bagian
bawah palut lendir terdiri cairan serosa (laktoferin, lisozim, inhibitor lekoprotease sekretoorik,
dan IgA sekretorik), sedangkan bagian permukaan palut lendir terdiri dari mucus (protein
plasma: albumin, IgG, IgM, dan factor komplemen).

Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport mukosilier. Rute pertama merupakan
gabungan sekresi sinus frontal, maksila, dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya bergabung di
dekat infundibulum etmoid selanjutnya berjalan menuju tepi bebas prosesus unsinatus, dan
sepanjang dinding medial konka inferior menuju nasofaring melewati bagian anteroinferior
orifisium tuba eustachius. Transport aktif berlanjut ke bata epitel bersilia dan epitel skuamosa
pada nasofaring, selanjutnya jatuh ke bawah dibantu dengan dengan gaya gravitasi dan proses
menelan.

Rute kedua merupakan gabunga sekresi sinus etmoid posterior dan sfenoid yang bertemu di
resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring pada bagian postero-superior orifisium tuba
eustachius.

Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan bergabung dengan sekret rute
pertama, yaitu di inferior dari tuba eustachius. Sekret pada septum berjalan vertical ke arah
bawah terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior tuba eustachius.

b. Nasal cycle
c. Nasal puff

2. Jelaskan prosedur SPT dan interpretasinya


a. PERSIAPAN SKIN PRICK TEST
1) Jelaskan apa yang akan dilakukan pada penderita dan tujuannya.
2) Istirahat cukup, tidak boleh olah raga sebelum dan sesudah hari pemeriksaan tes kulit
tusuk
3) Waktu bebas obat :
- Antihsitamin minimal 2-7 hari tergantung dari macam antihistamin
- Steroid topikal kulit minimal 7 hari, steroid oral tidak mempengaruhi tes kulit
4) Periksa tekanan darah sebelum tes alergi untuk membandingkan jika sewaktu-waktu
terjadi reaksi sistemik
5) Pastikan tidak mengalami serangan alergi berat 24 jam sebelumnya ( asma bronkhial).
6) Sediakan jarum suntik 1 cc dan epineprin ampul
7) Jelaskan kemungkinan timbul tanda dan gejala reaski alergi sistemik dari ringan sampai
berat selama tes alergi
8) Tanda tangan informed consent.
9) Menyiapkan posisi pasien
b. PROSEDUR SKIN PRICK TEST
1) Desinfeksi daerah volar lengan bawah , jika perlu cuci dulu dengan sabun ( jika
sebelumnya pasien mengenakan body lotion)
2) Gambar kotak-kotak dengan spidol yang jumlahnya sesuai dengan jumlah ekstrak
alergen yang akan di tes, dengan jarak 2 cm.
3) Tambahkan kotak untuk kontrol negatif dan kontrol positif pada setiap tes.
4) Tiap kotak diberi nomor sesuai dengan penomoran jenis ekstrak alergen, selanjutnya
kotak tersebut ditetesi dengan ekstrak alergen masing-masing.
5) Kemudian dilakukan cukit pada masing-masing kotak dengan menggunakan jarum steril
no.26 dengan sudut kemiringan ± 45° pada epidermis.
6) Lakukan pembacaan hasil setelah 15-20 menit dengan mengukur diameter horizontal
dan vertikal dari bintul (wheal) yang terjadi.
7) Setelah itu penderita tetap dipantau selama 30 menit setelah dilakukan prosedur untuk
melihat ada tidaknya efek samping
c. INTERPRETASI SKIN PRICK TEST
1) Pembacaan tes kulit dengan mengukur diameter bentol vertikal dan horizontal
- Negatif : < 3 mm
- Positif : 3 mm atau >
2) Selama tes kulit perhatikan penampilan pasien dan tanyakan jika terdapat keluhan,
ngantuk, lemes atau terasa mual karena keadaan tersebut dapat merupakan petanda
reaksi sistemik.
3) Jika terdapat gejala reaksi sistemik, segera pasien dibaringkan tanpa bantal, ukur tensi
dan nadi.
4) Meskipun belum selesai penilaian, bila ada ancaman reaksi sistemik berupa shock
segera berikan adrenalin sub kutan dan tes alergi dihentikan dan dapat diulang lain kali
dengan persiapan pengobatan sebelumnya
3. Jelaskan penegakan diagnosis rhinitis alergi
a. Anamnesis, dimulai dengan riwayat penyakit secara umum dan dilanjutkan dengan
pertanyaan yang lebih spesifik meliputi gejala di hidung termasuk keterangan mengenai
tempat tinggal / kerja dan pekerjaan penderita. Gejala-gejala rinitis alergi yang perlu
ditanyakan adalah :
- Bersin (lebih dari 5 kali setiap kali serangan),
- Rinore (ingus bening encer)
- Hidung tersumbat (menetap/ berganti-ganti),
- Gatal di hidung, tenggorok, langit-langit atau telinga.
- Kadang disertai : Mata gatal, berair atau kemerahan, hiposmia / anosmia, posterior
nasal drip atau batuk kronik Frekuensi serangan, beratnya penyakit, lama sakit,
intermiten atau persisten.

Pengaruh terhadap kualitas hidup seperti adakah gangguan terhadap pekerjaan, sekolah,
tidur dan aktifitas sehari-hari.

Komorbid di organ lain sebelum atau bersamaan dengan rinitis alergi Rinosinusitis,
asma bronkhial, eosinofilik otitis media, hipertrofi tonsil adenoid, dermatitis atopik,
urtikaria, alergi makanan

Riwayat atopi di keluarga, apakah ada anggota keluarga (ayah, ibu, saudara sekandung)
yang pernah menderita salah satu penyakit alergi tersebut diatas (Riwayat atopik
keluarga).
Faktor pemicu timbulnya gejala rinitis alergi Lingkungan misalnya polutan, asap rokok,
udara dingin, polutan, bau kimia seperti parfum, bau deodoran dan olah raga. Selain itu
terdapat juga hipersensitifitas dan hiperesponsif.
Riwayat pengobatan dan hasilnya Efektifitas obat yang dipergunakan sebelumnya dan
macam pengobatan yang sudah diterima dan kepatuhan berobat
b. Pemeriksaan Fisik
- Rinoskopi anterior, menggunakan cahaya yang cukup dan spekulum hidung Perhatikan
adanya edem dari konka inferior / media yang diliputi sekret encer bening, mukosa
pucat. Keadaan anatomi hidung lainnya seperti septum nasi. Perhatikan pula
kemungkinan adanya polip nasi.
- Nasoendoskopi (bila fasilitas tersedia), pemeriksaan ini dapat menilai patologi hidung
dan sinus paranasalis yang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior. Dapat
menggunakan endoskopi tipe rigid atau flexible. Gambaran konka inferior livid/ pucat
dan dapat juga ditemukan konka yang hipertrofi.
- Terdapat tanda khas penderita rinitis alergi:
 Allergic shinner: warna kehitaman pada orbita dan palpebral
 Nasal crease/linea nasalis: Penebalan serta timbulnya skar pada hidung
 Allergic shalutte: biasanya terdapat pada anak, hal ini karena anak mencoba
mengurangi rasa gatal di hidung.
c. Pemeriksaan Penunjang Pertimbangkan keadaan / kondisi di seluruh R.S
- Tes Kulit Tusuk (Prick test)
- Intradermal skin test / Skin End Point Titration Test (bila tersedia)
- IgE serum spesifik (mahal)
- IgE serum total (kurang bermanfaat), nilai normal dewasa 100 – 150 IU/ml

Pemeriksaan sitologis hidung, bila diperlukan untuk :


 Menentukan antara alergi / non alergi dan rinitis akibat infeksi
 Menindak lanjuti respons terhadap terapi
 Melihat sel eosinofil, basofil dan sel mast

Pemeriksaan ini lebih sering dilakukan untuk keperluan penelitian

- Test provokasi hidung/ nasal challenge test (bila tersedia), dilakukan bila ada
keraguan dan kesulitan dalam mendiagnosis rinitis alergi, dimana riwayat rinitis
alergi positif, tetapi hasil tes alergi selalu negatif. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
hal-hal sebagai berikut :
 Untuk mendiagnosis rinitis okupasi
 Untuk mendiagnosis rinitis alergi lokal
 Untuk penelitian.
- Foto polos sinus paranasal: bila ada indikasi keterlibatan sinus paranasal
- CT Scan / MRI sinus paranasal: atas indikasi, dilakukan bila
 Untuk menentukan adakah komplikasi seperti rhinosinusitis
 Tidak ada respons terhadap terapi
 Direncanakan tindakan operatif

4. Jelaskan prosedur nasoendoskopi dan apa yang dinilai


a. TAHAP PERTAMA
Evaluasi kavum nasi dari anterior:
- Perhatikan bentuk konka inferior (apakah atrofi, eutrofi, hipertrofi dsb ?)
- Perhatikan keadaan septum nasi (apakah lurus, apakah deviasi, adakah spina atau
krista?, ke arah mana?)

Masukkan teleskop menyusuri dasar hidung sampai ke nasofaring :

- Perhatikan adakah sekret di dasar hidung, apakah sekret serosa, mukoid atau
mukopurulen?
- Perhatikan dari bawah : bentuk konka inferior, bentuk konka inferior bagian
posterior dan perlekatannya dengan dinding lateral.
- Perhatikan bentuk septum dari atas sampai dasar, adakah kelainan dibagian tengah
dan belakang septum.
- Lihat : muara tuba eustachius, mukosa nasofaring, fossa rosenmuller, sisa
adenoid, adakah massa?
- Apakah ada post nasal drip (PND)? (pada sinusitis grup anterior, PND terdapat di
anterior muara tuba, pada grup posterior PND ada di belakang muara tuba)

Selanjutnya tarik endoskop pelan-pelan ke arah meatus inferior:

- Perhatikan dinding lateralnya, mungkin terlihat muara duktus nasolakrimalis yang


terletak di dekat perlengketan konka inferior ke dinding lateral hidung, kira-kira 1
cm dari ujung depan meatus. (pada diseksi kadaver, muara ini bisa dilihat dengan
cara meluksir ke medial menggunakan resparatorium/elevator Freer)
b. TAHAP KEDUA
Endoskop dimasukkan lagi mengikuti sisi bawah konka media atau di antara konka
inferior dan konka media.
- Perhatikan adanya sel agger nasi, letaknya di anterosuperior konka media.
- Perhatikan bentuk konka media : apakah atrofi, eutrofi, hipertrofi, konka bulosa,
lengkungnya paradoksikal, bilobus dsb.
- Perhatikan prosesus unsinatus, batas anteriornya ditandai oleh cekungan kecil
berbentuk bulan sabit dan perubahan warna yang lebih pucat di dinding lateral
kavum nasi. Batas anterior ini kira-kira parallel dengan tepi anterior konka media.
- Cari tepi bebas prosesus unsinatus (merupakan batas anterior hiatus semilunaris)
Di belakangnya terdapat bula etmoid.
- Kenali fontanel anterior dan fontanel posterior. Bila ada lubang pada fontanel
anterior atau posterior, berarti ini ostium assesorius sinus maksila (karena ostium
alaminya terletak di balik prosesus uncinatus bagian inferior dan baru bisa dilihat
kalau prosesus uncinatus sudah diangkat).
- Perhatikan perlengkatan konka media bagian posterior dengan lamina basalis,
yang menghubungkan konka media dengan dinding lateral hidung.
- Coba cari dinding belakang bula, kadang-kadang ada celah di antara dinding
belakang bula dengan lamina basalis (disebut resesus retrobula atau sinus
lateralis).
c. TAHAP KETIGA
Endoskop diarahkan ke dinding posterior kavum nasi di atas nares posterior, antara
konka media dan septum. Lihat dari bawah ke atas
- Perhatikan konka superior dan meatus superior.
- Cari lubang-lubang yang merupakan muara sinus etmoid posterior
- Perhatikan resessus sfeno-etmoidalis
- Cari muara sinus sfenoid. Letaknya kira-kira 1 cm di atas koana. Kadang-kadang
tersembunyi di belakang konka superior sehingga untuk melihatnya konka
superior harus dipotong dulu.
Endoskop ditarik keluar kembali mengikuti tepi bawah konka media dengan
diarahkan ke superior (sambil memperhatikan kembali struktur yang sudah dilihat
tadi) :

- Di medial konka media perhatikan lamina kribrosa. Mukosa olfaktorius warnanya


lebih kekuning-kuningan
- Di depan prosesus unsinatus, coba cari resesus frontalis. Kadang-kadang ostium
sinus frontal dapat dilihat.

5. Jelaskan anatomi septum dan perdarahannya


Septum nasi memisahkan jalan napas hidung menjadi dua rongga, menyangga
dorsum nasi, dan mempertahankan bentuk dari kolumela dan tip hidung. Angka kejadian
septum yang benar-benar lurus hanya sedikit dijumpai, biasanya terdapat pembengkokan
minimal atau terdapat spur pada septum. Bila kejadian ini tidak menimbulkan gangguan
respirasi, maka tidak dikategorikan sebagai abnormal.
Septum nasi adalah dinding medial hidung yang dibentuk oleh tulang dan tulang
rawan. Bagian tulang adalah: 1)lamina perpendikularis os etmoid, 2)vomer, 3)krista
nasalis os maksila , 4) krista nasalis os palatina. Bagian tulang rawan adalah: 1) kartilago
septum (lamina quadrangularis), dan 2) kolumela
Septum dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada
bagian tulang, sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung.
Bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid
anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor, yang disebut Pleksus Kiesselbach
(Little’s Area)

6. Jelaskan persiapan dan prosedur FEES

PERSIAPAN PROSEDUR
a. Pastikan kelengkapan peralatan nasofaringolaringoskopi serat optik lentur telah tersedia
dan lengkap, yaitu:
- Nasofaringolaringoskopi serat optik lentur
- Sumber cahaya
- Kabel sumber cahaya
- TV monitor dan dvd/video recording
- Makanan dengan 6 konsistensi : cairan encer (thin liquid), cairan kental (thick
liquid), bubur saring (puree), bubur nasi (gastric rice/soft food), bubur tepung
(havermouth), dan biskuit. Semua konsistensi makanan kecuali biskuit diberi warna
hijau untuk visualisasi yang lebih baik saat pemeriksaan.
- Xylocain jelly dan antifog
b. Persiapan Pasien
- Pasien dalam keadaan sadar.
- Bisa diposisikan dalam keadaan duduk atau setengah duduk
- Beberapa keadaan yang dapat dipertimbangkan untuk tidak dilakukan pemeriksaan
FEES ialah gangguan hemostasis, penurunan kesadaran, tanda vital yang tidak stabil.

TAHAPAN PROSEDUR TINDAKAN

Preswallowing assessment

a. Preswallowing assessment dilakukan dengan menilai fungsi muskular pada fungsi


oromotor dengan melihat pergerakan dan kekuatan otot lidah dengan menyuruh pasien
menjulurkan lidah ke depan dan menggerakkan ke kiri dan ke kanan. Penilaian otot
bukalis dan otot labialis dilakukan dengan menilai adanya kebocoran bibir saat pasien
dengan menggembungkan pipi saat mulut tertutup. Pergerakan palatum mole dinilai
dengan menyuruh pasien menyebutkan huruf AAA dan pada saat itu terlihat
pergerakan uvula dan palatum mole ke anteroposterior.
b. Skope dipegang dengan tangan kiri dengan jempol diposisikan pada tuas dan tangan
kanan memegang ujung skope (bagian lensa) untuk bisa mengarahkan.
c. Ujung skope dilumuri dengan xylokain jelly untuk mempermudah saat insersi.
d. Skope dimasukkan melalui hidung dengan terlebih dahulu dinilai lubang hidung yang
lebih lapang, dimasukkan melalui rongga di antara konka inferior dan media.
e. Kemudian endoskop dimasukkan melalui kavum nasi sampai ke nasofaring dan pasien
diminta menelan tanpa makanan (dry swallow) untuk menilai kerapatan penutupan
velofaring (velopharyngeal competence) atau dengan menyuruh menyebutkan pi pi pi.
Dinilai apakah pergerakan velofaring simetris kanan dan kiri atau terdapat adanya gap
karena penutupan yang tidak sempurna
f. Selanjutnya endoskop dimasukkan lagi sampai hipofaring dengan posisi skope di atas
uvula agar dapat memvisualisasi struktur di bawah palatum mole. Pada posisi ini,
dilakukan evaluasi pangkal lidah, valekula, sinus piriformis kanan dan kiri, dinding
posterior faring, dan postkrikoid.
g. Untuk mengevaluasi struktur laring endoskop dimasukkan lebih dalam lagi, hingga
ujungnya berada setinggi epiglotis.
h. Evaluasi dilakukan terhadap posisi plika vokalis saat diam dan gerakan plika vokalis
saat fonasi dengan menyebutkan huruf iiiii dan saat inspirasi. Dinilai adanya akumulasi
sekret atau saliva (standing secretion) di daerah valekula, sinus piriformis kanan dan
kiri atau di daerah postkrikoid, demikian juga adanya penetrasi dan aspirasi sekret
/saliva ke jalan napas.

Swallowing Assessment

a. Tes menelan dengan 6 konsistensi makanan seperti uraian di atas. Dimulai dengan
memberikan 1 sendok bubur saring, pasien diminta menahannya dalam mulut kira-kira
10 detik untuk menilai adanya kebocoran fase oral (premature oral leakage) atau
aspirasi sebelum menelan (preswalllowing aspiration).
b. Kemudian pasien diminta menelan dan pada saat bersamaan gambaran visualisasi akan
hilang sesaat, kurang dari satu detik (white spot/blind spot) karena kontraksi velofaring
dan elevasi laring, penilaian dilakukan sesaat sebelum dan sesudah momen ini
c. Penting dicatat adanya lateralisasi aliran makanan, penetrasi atau aspirasi, dan
residu/sisa makanan pada valekula, sinus piriformis, pangkal lidah, dan postkrikoid.
Bila terdapat residu maka pasien diminta menelan lagi dan dinilai apakah dengan
menelan berulang efektif untuk membersihkan residu.
d. Pemeriksaan dilanjutkan dengan pemberian bubur nasidan dihentikan bila terdapat
aspirasi. Respons terhadap aspirasi dan efektifitas refleks batuk dinilai.
e. Bila tidak ada aspirasi pemeriksaan dilanjutkan dengan 5 konsistensi makanan lainnya
dengan urutan dari bubur nasi, havermout, susu, air dan terakhir biskuit atau krekers.
Perubahan posisi kepala dan teknik lain yang membantu memperbaiki proses menelan
dilakukan saat pemeriksaan di atas dan dinilai efektivitasnya. Hasil pemeriksaan
direkam dalam komputer perekam data untuk bahan analisa selanjutnya.

Theurapeutic assessment

a. Modifikasi diet memerlukan kerjasama dengan ahli gizi dan ahli Rehabilitasi Medik
untuk menentukan bentuk makanan yang dapat diterima dan aman untuk pasien.
Pemberian makanan per oral dalam jumlah yang adekuat untuk kalori, protein, vitamin,
mineral dan cairan dengan rupa dan rasa yang dapat diterima pasien merupakan tujuan
utama penatalaksanaan disfagia.
b. Perlu ditentukan posisi kepala saat makan yang membuat proses makan menjadi lebih
lancar seperti posisi menunduk (Chin tuck), posisi kepala menoleh ke satu sisi (head
rotation) atau kepala miring ke satu sisi (head tilt)
c. Bila perlu dicoba manuever yang dapat membantu proses menelan seperti :
- Perasat supraglotik (supraglottic swallow): pasien diminta menelan makanan
sambil menahan napas dan batuk setelah menelan sebelum inspirasi. Tujuannya
untuk menutup plika vokalis dan membersihkan residu yang mungkin masuk ke
laring.
- Perasat super-supraglotik (super-supraglottic swallow) : Sama dengan perasat
supraglotik dengan menahan napas sedikit lebih lama dan dalam. Bertujuan untuk
menambah penutupan plika vokalis atau membantu penutupan bagian posterior
plika vokalis.
- Effortful swallow : pasien diminta menelan sambil menekan bolus dengan kuat
dengan kekuatan otot pangkal lidah dan faring.
- Perasat Mendelsohn : pasien melakukan beberapa kali gerakan menelan sambil
merasakan tonjolan tiroid terangkat. Kemudian pasien diminta menahanbeberapa
detik pada saat posisi tiroid terangkat (laring elevasi). Laring yang dipertahankan
terelevasi akan merelaksasi sfingter esofagus superior sehingga dapat dilalui
makanan.
PASCA TINDAKAN

a. Observasi apakah masih terdapat residu makanan di valekula, sinus piriformis dan
postkrikoid. Bila masih ada harus dibersihkan.
b. Ditentukan cara pemberian makanan yang terbaik, baik secara per oral, per pipa
nasogaster atau sekaligus keduanya
c. Terapi operatif :
- Gastrostomi dilakukan pada penderita yang tidak mampu menelan peroral secara
adekuat sedangkan fungsi traktus gastrointestinal baik. Dilakukan setelah
penggunaan pipa nasogaster selama 2 bulan.
- Operasi untuk mencegah aspirasi seperti trakeostomi, medialisasi plika vokalis
dengan injeksi plika vokalis, adduksi aritenoid, penutupan laring, dan
pengangkatan kornu superior kartilago tiroid.

Anda mungkin juga menyukai