b13 Inkontinensia Urin-Didi
b13 Inkontinensia Urin-Didi
Usia Lanjut
Jesryn Dhillon
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510.Telephone : (021) 5694-2061, Fax : (021)
563-1731
jesryndhillon@yahoo.com
PENDAHULUAN
Penambahan usia pada seseorang akan menyebabkan menurunnya fungsi
fisiologis dari sel-sel tubuhnya. Salah satu yang kerap terjadi adalah dan inkontinensia
urin dan osteoartritis dalam hal ini pada sendi lutut. Inkontinensia merupakan kondisi
dimana seseorang tidak dapat menahun hasrat untuk berkemih sehingga menimbulkan
gangguan dari segi kesehatan maupun sosial. Sedangkan osteoarthritis merupakan
penyakit sendi degeneratif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Dalam
makalah ini akan dibahas mengenai inkontinensia serta osteoarthritis hingga
penatalaksanaannya.1
PEMBAHASAN
SKENARIO
Seorang perempuan berusia 70 tahun dihantar oleh anaknya yang paling kecil
(anak ke-8) berobat ke Poli Geriatri dengnan keluhan tidak dapat menahan kencing
sehingga sering ngompol sebelum sampai ke WC, jalan tidak cepat, harus pelan-pelan
nyeri sendi lututnya untuk berjalan dan takut jatuh, karena pernah jatuh. Kadang saat
tertawa, batuk juga ngompol.Karena tidak dapat menahan kencing ibu merasa sangat
tidak nyaman, malu sehingga segan/tidak mau keluar rumah, padahal sebelumnya ibu
sangat aktif dalam pergaulan. Riwayat penyakit jantung, darah tingggi, kencing manis
tidak ada.
Anamnesis
1
dan Sosial (RP&S), dan Tinjauan Sistem Tubuh. Pada pasien usia lanjut perlu
dievaluasi juga status fungsionalnya, seperti ADL (activities of daily living), IADL
(instrumental activities of daily living).2,3
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
nama orang tua atau suami atau istri atau penanggung jawab, alamat, pendidikan,
pekerjaan, suku bangsa dan agama. Identitas perlu ditanyakan untuk memastikan
pasien yang dihadapi adalah memang benar pasien yang dimaksud. Selain itu identitas
juga perlu untuk data penelitian, asurasi, dan lain sebagainya.3
2
Riwayat Penyakit dalam keluarga penting untuk mencari kemungkinan
penyakit herediter, familial atau penyakit infeksi. Pada penyakit yang bersifat
congenital, perlu juga ditanyakan riwayat kehamilan dan kelahiran.3
3
12. Alat kelamin: fungsi seksual menstruasi, kelainan ginekologik, good morning
discharge
13. Payudara: perdarahan, discharge, benjolan
14. Neurologis: kesadaran, gangguan saraf otak, paralisis, kejang, anstesi,
parestesi, ataksia, gangguan fungsi luhur
15. Psikologis: perangai, orientasi, ansietas, depresi, psikosis
16. Kulit: gatal, ruam, kelainan kuku, infeksi kulit
17. Endokrin: struma, tremor, diabetes, akromegali, kelemahan umum
18. Musculoskeletal: nyeri sendi, bengkak sendim nyeri otot, kejang otot,
kelemahan otot, nyeri tulang, riwayat gout.
Pemeriksaan Fisik
Kesadaran pasien dapat diperiksa secara inspeksi dengan melihat reaksi pasien
yang wajar terhadap stimulus visual, auditorik maupun taktil. Tingkat kesadaran
adalah sebagai berikut: kompos mentis, yaitu sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya
maupun terhadap lingkungan. Pasien dapat menjawab pertanyaan pemeriksa dengan
baik; Apatis, yaitu keadaan di mana pasien tampak segan dan acuh tak acuh terhadap
lingkungannya; Delirium, yaitu penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik dan
siklus tidur bangun yang terganggu. Pasien tampak gaduh gelisah, kacau, disorientasi
dan meronta-ronta; Somnolen, yaitu keadaan mengantuk yang masih dapat pulih
penuh bila dirangsang, tetapi bila rangsang berhenti, pasien akan tertidur kembali;
Sopor, yaitu keadaan mengantuk yang dalam. Pasien masih dapat dibangunkan
dengan rangsang yang kuat, misalnya rangsang nyeri, tetapi pasien tidak terbangun
4
sempuna dan tidak dapat memberikan jawaban verbal yang baik; Semi-koma, yaitu
penurunan kesadaran yang tidak memberikan respons terhadap rangsang verbal dan
tidak dapat dibangunkan sama sekali, tetapi refleks (kornea, pupil) masih baik.
Respons terhadap rangsang nyeri tidak adekuat; Koma, yaitu penurunan keasadaran
yang sangat dalam, tidak ada gerakan spontan dan tidak ada respons terhadap
rangsang nyeri.3
Tanda-tanda Vital terdiri dari suhu, tekanan darah, nadi, dan frekuensi
pernapasan.Suhu tubuh yang normal adalah 36-37 derajat Celcius. Pada pagi hari
suhu mendekati 360C, sedangkan pada sore hari mendekati 370C. Pengukuran suhu di
rectum lebih tinggi 0,50-10C dibandingkan suhu mulut dan suhu mulut 0,50 C lebih
tinggi dibandingkan suhu aksila.Frekuensi nadi yang normal adalah sekitar 80 kali
permenit. Bila frekunesi nadi lebih dari 100 kali permenit, disebut takikardia;
sedangkan bila frekuensi nasi kurang dari 60 kali permenit disebut bradikardia. Dalam
keadaan normal, frekuensi pernapasan adalah 16-24 kali permenit.Bila kurang dari 16
kali permenit disebut bradipenue, sedangkan bila lebih dari 24 kali per menit disebut
takipneu.3
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada pasien dengan keluhan sulit
menahan kencing seperti pada kasus adalah cotton swab test, pad test, paper towel test
dan stress testing. Cotton Swab Test biasanya digunakan untuk menilai mobilitas
uretral pada wanita.Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan cotton swab
lubrikasi steril kedalam uretra hingga masuk ke kandung kemih.Kemudian cotton
swab ditarik hingga sekitar leher kandung kemih. Wanita dengan keadaan lantai
pelvis normal akan menunjukkan cotton swab yang membentuk sudut nol derajat
dengan lantai rata. Kemudian pasien diminta untuk mengkontraksikan ototnya seperti
saat menahan pada saat ingin berkemih dan perubahan sudut yang diharapkan adalah
kurang dari 30 derajat. Apabila lebih dari 30 derajat maka pemeriksan ini
menunjukkan adanya hipermobilitas uretra yang merupakan salah satu penyebab
inkontinensia urin.3
Pad Test biasanya dilakukan sebagai tes objektif untuk melihat apakah cairan
yang keluar adalah benar urin biasanya menggunakan agen pewarna seperti phenyl
salicylate, benzoic acid, atropine sulfate, methylene blue dan agen lainnya dan
5
pasiennya menggunakan bantalan seperti pampers kemudian melakukan aktivitas
biasa dan kenaikan satu gram pada bantalan tersebut mengindikasikan adanya satu
mililiter urin. Test ini disebut negatif apabila perubahan beratnya kurang dari satu
gram. Pad Test tidak dilakukan pada wanita yang sedang dalam fase menstruasi.3
Paper Towel Test merupakan uji dengan hasil yang cepat dan sesuai dengan
berapa banyak stress yang didapat hingga adanya urin yang keluar mengindikasikan
inkontinensia urin. Pasien diminta untuk batuk beberapa kali dengan menadahkan
uretra ke arah tissue toilet dan terdapat tetesan pada tissue toilet tersebut. Luas
permukaan yang basah dapat dihitung dan dapat mengindikasikan volume urin yang
keluar akibat stress yang didapat.3
Stress Testing merupakan uji paling sensitif yang merupakan uji pelvis dengan
observasi langsung terhadap hilangnya urin dengan uji pemberian stress yakni batuk.
Uji ini dapat mengarah pada kesalahan apabila keadaan kandung kemih pasien sedang
dalam keadaan kosong. Prinsipnya, kandung kemih pasien dimasukkan air steril kira-
kira 250 hingga 500 mL dan setelah pasien diinstruksikan untuk batuk pada posisi
litotomi. Apabila adanya urin yang keluar berarti pasien tersebut terkena kondisi
inkontinensia urin. Apabila tidak maka dapat dilakukan pada posisi lain. Apabila hasil
uji negatif pada pemeriksaan penunjang cystometrogram maka pasien tersebut dapat
didiagnosa menderita inkontinensia urin.3
1. Mobilitas dan kelincahan fisik: status fungsional, gangguan cara berjalan (gait):
parkinsonisme.
2. Status mental: fungsi kognitif, motivasi dan mood
3. Status neurologi: tanda fokal (terutama pada ekstremitas bawah), tanda
parkinsonism, refleks sakral.
4. Abdomen: distensi kandung kemih, nyeri suprapubik, massa abdomen bawah
(Apakah kandung kemih membesar? Mungkinkah ini merupakan retensi dengan
‘aliran berlebihan’?)
5. Rectum: sensasi perianal, tonus sfingter, impaksi, massa, ukuran dan kontur
prostat.
6
6. Pelvis: kondisi kulit perineum, sensasi perineal, vaginitis atrofikan (inflamasi,
perdarahan), prolapse pelvis (cystocele, rectocele), massa pelvis, abnormalitas
anatomic pelvis, uretrokel.
7. Lain-lain: edema ekstremitas bawah atau gejala tanda gagal jantung.
1. Hambatan gerak
Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yng masih dini (secara
radiologis).Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai
sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat
konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan
saja).1
2. Krepitasi
Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinis OA lutut. Pada awalnya hanya
berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau
dokter yang memeriksa. Dengan bertambah beratnya penyakit, krepitasi dapat
terdengar sampai jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua
permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakkan atau secara pasif di
manipulasi.1
3. Pembengkakan sendi yang seringkali asimetris
Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang
biasanya tak banyak (<100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yang
dapat mengubah permukaan sendi. 1
4. Tanda-tanda peradangan
Tanda-tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan gerak, rasa
hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin dijumpai pada OA karena
adanya sinovitis.Biasanya tanda-tanda ini tak menonjol dan timbul belakangan,
seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki dan sendi-sendi kecil tangan dan
kaki. 1
5. Perubahan bentuk (deformitas) sendi yang permanen
Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama, perubahan
permukaan sendi, berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang
dan permukaan sendi. 1
6. Perubahan gaya berjalan
7
Keadaan ini hampir selalu berhubungan dengan nyeri karena menjadi tumpuan
berat badan.Terutama dijumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang
belakang dengan stenosis spinal. Pada sendi-sendi lain, seperti tangan, bahu, siku,
dan pergelangan tangan, OA juga menimbulkan gangguan fungsi. 1
1. Semua pasien
a. riwayat penyakit termasuk kartu catatan berkemih
b. urinalisis: untuk membuktikan adanya infeksi dan hematuria
c. pengukuran volume residu urin post-miksi
2. Pasien dengan kondisi tertentu
a. Laboratorium
Kultur urin: untuk menyingkirkan infeksi.
Sitologi urin
Gula darah, kalsium darah
Uji fungsi ginjal
USG ginjal
b. Pemeriksaan ginekologik
c. Pemeriksaan urologic
d. Cystouretroskopi
e. Uji Urodinamik
Simpel
Observasi proses pengosongan kandung kemih
Uji batuk
Cystometri simple: menggambarkan kontaksi detrusor
Kompleks
Urine flowmetry: megukur kecepatan aliran
Multichannel cystomegram
Pressure-flow study
Leak-point pressure
Urethral pressure profilometry
Sphincter electromyography
8
Video urodynamics: menunjukan kebocoran urin saat
mengedan pada pasien dengan inkontinensia stress.1,5
9
peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai
sedang, peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein. 1
Diagnosis
Pada kasus terdapat wanita berusia 70 tahun yang memiliki keluhan tidak bisa
menahan kencing sehingga sering mengompol.Ibu ini juga memiliki masalah pada
sendi lututnya sehingga sulit baginya untuk mencapai kamar mandi dalam waktu yang
cepat.Dari anamnesis pasien yang sedemikian rupa dan tidak didapati tanda-tanda
adanya infeksi atau lainnya, maka dapat dibuatkan working diagnosis bahwa pasien
mengidap Inkontinensia tipe Campuran dan Osteoartritis.
Diagnosis Banding
I. Inkontinensia stress
Kebocoran urin terjadi ketika tekanan infraabdomen melebihi tekanan
uretra (misalnya batuk, mengedan, atau mengankat beban), biasanya
pada gejala inkompetensi uretra.5
II. Inkontinensia urgensi
Ketidakmampuan menahan keluarnya urin dengan gambaran seringnya
terburu-buru untuk berkemih.5
III. Inkontinensia overflow
Kerusakan pada serat eferen dari refleks sakralis menyebabkan atonia
kandung kemih. Kandung kemih terisi oleh urin dan menjadi sangat
membesar dengan menetesnya urin yang konstan, misalnya distensi
kandung kemih kronis akibat obstruksi.5
IV. Inkontinensia fungsional
Terjadi karena imobilitas, defisit kognitif, paraplegia, atau daya
kembang kandung kemih yang buruk.5
EpidemiologiInkontinensia
10
Inkontinensia urin lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria
dengan perbandingan dua banding satu. 7% pada anak diatas 5 tahun, 10-35% pada
orang dewasa dan 50-84% pada pasien geriatri. Survei inkontinensia urin yang
dilakukan oleh Divisi Geriatri Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUPN Dr. Cipto
Mangunkusumo pada 208 orang usia lanjut di lungkungan Pusat Santunan Keluarga
di Jakarta pada tahun 2002 mendapatkan angka kejadian inkontinensia urin tipe stress
sebesar 32,2%. Sedangkan pada tahun 2003 di tempat yang sama pada 179 pasien
geriatri didapatkan angka kejadian inkontinensia urin sebesai 20,5% pada laki-laki
dan 32.5% pada perempuan. Sedangkan penelitian lain yang melakukan penelitian
pada 1150 orang yang diambil secara random dan diatas 60 tahun, 434 orang
diantaranya mengalami inkontinensia urin. Dari mereka yang mengalami
inkontinensia urin 55,5% merupakan inkontinensia urin tipe campuran, 26,7% dengan
inkontinensia urin tipe stress saja, 9% dengan inkontinensia urin tipe urgensi dan
8,8% dengan diagnosis lain.1,6
Dibandingkan dengan ras dan suku, wanita kulit putih memiliki prevalensi
terkena inkontinensia urin yang lebih besar dibadingkan dengan wanita kulit hitam.
Sekitar 46% wanita kulit putih menderita inkontinensia urin sedangkan hanya 30%
wanita kulit hitam yang menderita inkontinensia urin.1
Epidemiologi Osteoartritis
Vertebrata, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA.
Prevalensi OA lutut radiologis di Indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15,5% pada
pria dan 12,7% pada wanita. OA adalah bentuk penyakit sendi tersering di
dunia.Mengenai sekitar 7% populasi di Amerika Serikat, 60-70% diantaranya adalah
orang berusia lebih dari 65 tahun. Terdapat peningkatan risiko seiring dengan
pertambahan usia, dan prevalensi meningkat dengan cepat pada populasi lansia.
Pasien OA biasanya mengeluh nyeri pada waktu melakukan aktivitas atau jika ada
pembebanan pada sendi yang terkena.Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat
dirasakan terus-menerus sehingga sangat mengganggu mobilitas pasien.Karena
prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya yang kronik-progresif, OA mempunyai
dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negara maju maupun di negara
berkembang. Diperkirakan 1 sampai 2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita
cacat karena OA. Pada abad mendatang tantangan terhadap dampak OA akan lebih
besar karena semakin banyaknya populasi yang berumur tua.1
11
Etiologi Inkontinensia
Penyebab dari Inkontinensia Urin seperti pada kasus dapat terjadi akibat
beberapa hal.Pada wanita, penyebab umum terjadinya Inkontinensia urin adalah
lemahnya sokongan dari pelvis. Wanita dapat kehilangan support dari pelvis setelah
melahirkan, operasi, ataupun penyakit yang dapat melemahkan kekuatan jaringan atau
juga setelah kehilangan esterogen postmenopausal. Atau sebab yang kurang ditemui
seperti defisiensi kekuatan sphincter intrinsic utethra yang dapat terjadi karena proses
penuaan, trauma pelvis, atau operasi seperti histerektomi, urethropexy atau
pubovaginal sling.6
Penuaan dapat menyebabkan inkontinensia akibat adanya pelemahan kekuatan
jaringan ikat, hipoesterogisme, peningkatan gangguan medis, peningkatan diuresis
malam hari. Obesitas, melahirkan, COPD dan merokok dapat menyebabkan
inkontinensia, bersama dengan aktivitas musculus detrusor yang berlebihan yang
masih belum diketahui sebabnya.6
Etiologi Osteoartritis
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari suatu proses penuaan
yang tidak dapat dihindari. Para pakar yang meneliti penyakit ini sekarang
berpendapat bahwa OA ternyata merupakan penyakit gangguan homeostasis dari
metabolism kartilago dengan kerusakan struktur proteoglikan kartilago yang
penyebabnya belum jelas diketahui. Jejas mekanis dan kimiawi pada synovia sendi
yang terjadi multifaktorial anatara lain katrena faktor umur, stress mekanis atau
penggunaan sendi yang berlebihan, defek anatomik, obesitas, genetik, humoral dan
faktor kebudayaan. Jejas mekanis dan kimiawi ini diduga merupakan faktor penting
yang merangsang terbentuknya molekul abnormal dan produk degradasi kartilago di
dalam cairan synovial sendi yang mengakibatkan terjadi inflamasi sendi, kerusakan
kondrosit dan nyeri.OA ditandai dengan fase hipertrofi kartilago yang berhubungan
dengan suatu peningkatan terbatas dari sintesis matriks makromolekul oleh kondrosit
sebagai kompensasi perbaikan (repair). OA terjadi sebagai hasil kombinasi antara
degradasi rawan sendi, remodeling tulang dan inflamasi cairan sendi.1
12
Patofisiologi Inkontinensia
Patofisiologi Osteoartritis
13
subkondral.Tulang trabecular subkondral rusak dan kehilangan ‘peredam benturan’
hidraulitik normalnya; kista tulang dapat terbentuk akibat tekanan tulang subkondral
yang berlebihan ini. Mekanisme perbaikan pada tepi permukaan articular (interfase
tulang kartilago) mengakibatkan peningkatan sintesis kartilago dan pembentukkan
tulang berlebihan yang dinamakan osteofit.7
Beberapa pasien ditemukan memiliki berbagai kristal kalsium yang
terkonsentrasi dalam kartilago articular yang rusak. Pathogenesis deposisi kristal
belum jelas, tetapi berhubungan dengan lebih cepatnya progesi penyakit pada pasien
tersebut. Kartilago articular memerlukan beban berat fisiologis dan gerakan untuk
memungkinkan penetrasi nutrient yang memadai dari cairan synovial ke dalam
kartilago; beban non fisiologis (baik berlebihan maupun kurang) mengakibatkan
buruknya nutrisi kartilago. Sendi manusia memerlukan mobilitas maksimal saar
menghindari cedera jaringan articular. Terdapat hipotesis bahwa terdpat ‘reflex
muscular protektif’ yang mencegah sendi mendapatkan beban yang lebih besar dari
kisaran eksrusi normalnya.Dipostulasikan bahwa gangguan aktivitas muscular
mungkin berperan dalam pathogenesis OA.Instabilitas sendi berhubungan dengan
risiko tinggi OA.Meningkatkan kekuatan otot ‘yang menjembatani’ melintas sebuah
sendi dapat memperbaiki stabilitas sendi, mengurangi beban sendi, dan mengurangi
tekanan mekanis.Jadi, olahraga dapat mengurangi gejala dan memperbaiki fungsi
sendi, meskipun hanya terjadi sedikit perbaikan dari pemeriksaan radiologis. Nyeri
OA dipercaya diakibatkan oleh tiga penyebab mayor, yaitu nyeri akibat gerakan dari
faktor mekanis, nyeri saat istirahat akibat inflamasi synovial, dan nyeri malam hari
akibat hipertensi intraoseus.7
Gejala Klinis
14
a. Tonus otot panggul yang buruk
b. Defisiensi sfingter uretra, congenital atau didapat
c. Kelebihan berat badan
C. Inkontinensia kombinasi: kombinasi gejala poin A dan B di atas
D. Inkontinensia overflow: urine menetes saat kandung kemih penuh karena
kerusakan pada serat eferen dari refleks sakralis menyebabkan atonia kandung
kemih. Kandung kemih terisi oleh urin dan menjadi sangat membesar dengan
menetesnya urin yang konstan.
a. Disfungsi neurologis
b. Penyakit endokrin
c. Penurunan kelenturan dinding kandung kemih
d. Obstruksi pintu keluar kandung kemih5,8
Komplikasi
Penatalaksanaan
A. Terapi non-farmakologis
Untuk inkontinensia urin terapi ini meliputi terapi suportif non spesifik (
edukasi, manipulasi lingkungan, pakaian dan pads tertentu); dan intervensi
tingkah laku (latihan otot dasar panggul, latihan kandung kemih, penjadwalan
berkemih, latihan kebiasaan).1
15
Terapi ini telah dibuktikan mempunyai efek yang baik terhadap inkontinensia
tipe urge dan stress. Obat yang dipergunakan dapat digolongkan menjadi:
antikolinergik-antispasmodik, agonis adrenergik a, estrogen topical, dan
antagonis adrenergic a. efek samping yang perlu diperhatikan seperti mulut
kering, mata kabur, peningkatan tekanan bola mata, konstipasi, dan delirium. 1
Pada inkontinensia tipe urgensi obat yang sering digunakan adalah sebagai
berikut: Hyoscamin dengan dosis 3 x 0,125 mg untuk tipe urgensi dan
campuran dengan efek samping mulut kering, mata kabur, glaukoma,
delirium, dan konstipasi; atau Tolterodin dengan dosis 2 x 4 mg dengan efek
samping mulut kering dan konstipasi; atau Topikal estrogen untuk
inkontinensia tipe urgensi dan stress dengan efek samping iritasi
lokal.Estrogen baik dosis oral, 0,3-1,25 mg, diminum tiap hari maupun krim
vagina memperbaiki keadaan estrogen pada uretra yang maksimal. Obat ini
ampuh untuk mengatasi inkontinensia urgensi.1
Penatalaksanaan Osteoartritis
1. Terapi non-farmakologis
Penerangan
Maksud dari penerangan adalah agar pasien mengetahui sedikit seluk-beluk
tentang penyakitnya, bagaimana menjaganya agar penyakitnya tidak
bertambah parah serta persendiannya tetap dapat dipakai.
16
Terapi ini untuk melatih pasien agar persendiannya tetap dapat dipakai dan
melatih pasien untuk melindungi sendi yang sakit.
Penurunan berat badan
Berat badan yang berlebihan ternyata merupakan faktor yang akan
memperberat penyakit OA. Oleh karenanya berat badan harus selalu dijaga
agar tidak berlebihan. Apabila berat badan berlebihan, maka harus diusahakan
penurunan berat badan, bila mungkin mendekati berat badan ideal.1
2. Terapi farmakologis
Analgesik oral non opiat
Pada umumnya pasien telah mencoba untuk mengobati sendiri penyakitnya,
terutama dalam hal mengurangi atau menghilangkan rasa sakit.Banyak sekali
obat-obatan yang dijual bebas yang mampu mengurangi rasa sakit.
Analgesik topikal
Analgesik topikal dengan mudah didapatkan di pasaran dan banyak sekali
yang dijual bebas.Pada umumnya pasien telah mencoba terapi dengan cara ini,
sebelum memakai obat-obatan peroral lainnya.
Obat anti inflamasi non steroid (OAINS)
Apabila dengan cara-cara tersebut di atas tidak berhasil, pada umumnya pasien
mulai datang ke dokter. Dalam hal seperti ini diberika OAINS, oleh karen obat
golongan ini disamping mempunyai efek analgetik juga mempunyai efek anti
inflamasi. Oleh karena pasien OA kebanyakan usia lanjut, maka pemberian
obat-obatan jenis ini harus sangat berhati-hati.
Chondroprotective agent
Yang dimaksud dengfan chondroprotective agent adalah obat-obatan
yang dapat menjaga atau merangsang perbaikan (repair) tulang rawan sendi
pada pasien OA.Sebagian peneliti menggolongkan obat-obatan tersebut dalam
Slow Acting Anti Osteoarthritis Drugs (SAAODs) atau Disease Modifiying
Anti Osteoarthritis Drugs (DMAODs).Sampai saat ini yang termasuk dalam
kelompok obat ini adalah tetrasiklin, asam hialuronat, vitamin C, superoxide
dismutase dan sebagainya.
a. Tetrasiklin dan derivatnya mempunyai kemampuan untuk menghambatr
kerja enzim MMP dengan cara menghambatnya. Salah satu contoh adalah
17
doxycycline, sayangnya obat ini baru dipakai pada hewan dan belum
dipakai pada manusia.
b. Asam hialuronat disebut juga sebagai viscosupplement oleh karena salah
satu manfaat obat ini adalah dapat memperbaiki viskositas cairan sinovial,
obat ini diberikan secara intra-artikular. Asam hialuronat ternyata
memegang peranan penting dalam pembentukkan matriks tulang rawan
melalui agregasi dengan proteoglikan. Di samping itu pada binatang
percobaan, asam hialuronat dapat mengurangi inflamasi pada sinovium,
menghambat angiogenesis dan kemotaksis sel-sel inflamasi.
c. Glikosaminoglikan, dapat menghambat sejumlah enzim yang berperan
dalam proses degradasi tulang rawan, antara lain hialuronidase, protease,
elastase dan cathepsin B1 in vitro dan juga merangsang sintesis
proteoglikan dan asam hialuronat pada Kultur tulang rawan sendi manusia.
Dari penelitian tahun 1987, pemakaian glikosaminoglikan selama 5 tahun
dapat memberikan perbaikan dalam rasa sakit pada lutut dan naik tangga
juga dilaporkan pada pemeriksaan radiologis menunjukkan progresivitas
kerusakan tulang rawan yang menurun dibandingkan dengan kontrol.
d. Kondroitin sulfat, merupakan komponen penting pada jaringan kelompok
bertebrata, terutama terdapat pada matriks ekstraseluler sekeliling sel.
Salah satu jaringan yang mengandung kondroitin sulfat adalah tulang
rawan sendi dan zat ini merupakan bagian dari proteoglikan. Tulang rawan
sendi terdiri dari 2% sel dan 98% matriks ekstraseluler yang terdiri dari
kolagen dan proteoglikan. Matriks ini membentuk satu struktur yang utuh
sehingga mampu menerima beban tubuh. Pada penyakit sendi degenerative
seperti OA terjadi kerusakan tulang rawan sendi dan salah satu
penyebabnya adalah hilangnya atau berkurangnya proteoglikan pada
tulang rawan tersebut. Menurut penelitian, pemberian kondroitin sulfat
pada kasus OA mempunyai efek protektif terhadap terjadinya kerusakan
tulang rawan sendi. Efektivitas kondroitin sulfat pada pasien OA mungkin
melalui 3 mekanisme utama yaitu anti inflamasi, efek metabolic terhadap
sintesis hialuronat dan proteoglikan serta anti-degeneratif melalui
hambatan enzim proteolitik dan menghambat efek oksigen reaktif.
18
e. Vitamin C, dalam penelitian ternyata dapat menghambat aktivitas enzim
lisozim. Pada pengamatan ternayata vitamin C mempunyai manfaat dalam
terapi OA.
f. Superoxide dismutase, dapat dijumpai pada setiap sel mamalia dan
mempunyai kemampuan untuk menghilangkan superoxide dan hydroxyl
radicals. Secara in vitro radikal superoxide mampu merusak asam
hialuronat, kolagen dan proteoglikan sedangkan hydrogen peroxide dapat
merusak kondrosit secara langsung. Dalam percobaan klinis dilaporkan
bahwa pemberian superoxide dismutase ini dapat mengurangi keluhan-
keluhan pada pasien OA.
g. Steroid inta-artikular, pada penyakit artritis rheumatoid menunjukkan hasil
yang baik. Kejadian inflamasi Kadang-kadang dijumpai pada pasien OA,
oleh karena itu kortikosteroid intra articular telah dipakai dan mampu
mengurangi rasa sakit, walaupun hanya dalam waktu yang singkat.
Penelitian selanjutnya tidak menunjukkan keuntungan yang nyata pada
pasien OA, sehingga pemakaiannya dalam hal ini masih kontroversi.1
3. Terapi bedah
Terapi ini diberikan apabila terapi farmakologis tidak berhasil untuk mengurangi
rasa sakit dan juga untuk melakukan koreksi apabila terjadi deformitas sendi yang
mengganggu aktivitas sehari-hari.1
Prognosis
Pada Inkontinensi tipe urgensi, keadaan dapat membaik sekitar 75% dengan
pelatihan kandung kemih dan 44% dengan obat golongan antikolinergik. Tindakan
pembedahan memiliki angka morbiditas yang tinggi pada Inkontinensia tipe
Urgensi.1,6
Pencegahan Inkontinensia
Perhatikan jumlah air yang diminum, dehidrasi dapat menyebabkan konsumsi air
yang berlebih, maka minumlah air secara teratur untuk menghindarinya. Selain
itu, hindari minum alkohol dan kafein, selain bersifat diuretik, dapat melemahkan
otot pengatur miksi.1
Latihan otot dasar panggul, seperti pada penatalaksanaan, latihan ini dapat
digunakan untuk pencegahan bila telah ada tanda-tanda inkontinensia.1
19
Operasi prostat pada laki-laki untuk mencegah inkontinensia urin overflow.1
Jaga Kesehatan. Merokok dapat meningkatkan risiko inkontinensia urin.
Konsumsi cukup serat, karena konstipasi dapat memperburuk inkontinensia urin.
Kurangi berat badan jika terjadi obesitas, penurunan berat badan dapat
mengurangi tekanan pada otot detrusor kandung kemih.9
PENUTUP
Hipotesis diterima. Wanita berusia 70 tahun pada scenario menderita
inkontinensia tipe campuran. Hal ini disebabkan karena wanita ini sukar menahan air
seni nya dikarenakan waktu yang lama untuknya mencapai kamar mandi (ia
mengalami masalah pada sendi lututnya atau kita kenal dengan istilah osteoarthritis),
ditambah pula pasien memiliki banyak anak sebelumnya sehingga dimungkinkan otot
panggulnya sudah melemah. Hal ini juga menimbulkan komplikasi dari inkontinensia
20
urin yakni depresi.Ia menjadi malu untuk keluar dari rumah.Namun dengan
pengobatan yang menyeluruh masalah pasien dapat teratasi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Setiati S, Pramantara DP. Inkontinensia urin dan kandung kemih hiperaktif.
Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor.
Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid III. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing;
2009.h.3771-80.
2. Bickley LS. Bates buku ajar pemeriksaan fisik & riwayat kesehatan. Jakarta:
EGC;2012.h.2-8.
3. Supartondo, Setiyohadi B. Anamnesis. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simandibrata M, Setiadi S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid
I. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2009.h.125-8.
4. Gleadle J. Gejala saluran kemih. Dalam: At a glance anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Jakarta: Penerbit Erlangga; 2007. h. 47, 151.
5. Grace AP, Borley NR. At a glance ilmu bedah ed. 3. Jakarta: Erlangga ;
2007.h.181.
6. Vasavada SP, Kim ED [editor]. Urinary Incontinence. Diunduh dari Medscape
for iPad. 15 Desember 2013.
7. Kee JL. Pedoman pemeriksaan laboratorium dan diagnostic. Ed ke-6. Jakarta:
EGC. h. 101,57, 452, 670.
8. Geri M, Hamilton C. Obstetri dan ginekologi : panduan praktik. Jakarta: EGC;
2009.h.295
9. Pranarka K. Inkontinensia. Dalam: Martono H, Pranarka K. Geriatri (ilmu
kesehatan usia lanjut). Jakarta: FK UI; 2009. h. 226-40
21