Anda di halaman 1dari 12

Gangguan Kesehatan yang Umum pada Usia Lanjut

Franklin Wijaya
102013124
Kelompok B2
franklin.wijaya@gmail.com

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
Jln. Arjuna Utara No. 6 Jakarta 11510. Telepon : (021) 5694-2061, fax : (021) 563-1731
tu.fk@ukrida.ac.id

Pendahuluan
Proses menua seyogianya dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan
gangguan fungsi organ atau penyakit. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan
lingkungan mungkin lebih besar menyebabkan gangguan fungsi, daripada penambahan usia itu
sendiri. Di sisi lain, hubungan antara usia dan penyakit amatlah erat. Laju kematian untuk banyak
penyakit meningkat seiring dengan menuanya seseorang terutama disebabkan oleh menurunnya
kemampuan orang usia lanjut berespons terhadap stress baik stres fisik maupun psikologik.1

Isi
Skenario yang didapat adalah seorang laki-laki berusia 77 tahun dibawa ke UGD RS UKRIDA
dengan keluhan utama sejak pagi hari bangun pusing, sekelilingnya berputar disertai rasa mual
mau muntah, keadaan seperti ini sudah dialami berulang ulang, Riwayat kencing manis kali ada
sejak 6 tahun yang lalu.

Anamnesis
Tujuan utama anamnesis adalah untuk mengumpulkan semua informasi dasar yang berkaitan
dengan penyakit pasien dan adaptasi pasien terhadap penyakitnya. Kemudian dapat dibuat
penilaian keadaan pasien. Seorang pewawancara yang berpengalaman mempertimbangkan semua
aspek presentasi pasien dan kemudian mengikuti petunjuk-petunjuk yang kelihatannya perlu
mendapat perhatian yang terbesar. Pewawancara juga harus menyadari pengaruh faktor-faktor
sosial ekonomi dan kebudayaan dalam menentukan sifat alamiah problem pasien.

1
Wawancara yang baik seringkali dapat mengarahkan pasien ke diagnosis penyakit tertentu.
Tehnik anamnesis yang baik disertai dengan empati merupakan seni tersendiri dalam rangkaian
pemeriksaan pasien secara keseluruhan dalam usaha untuk membuka saluran komunikasi antara
dokter dan pasien. Perpaduan keahlian mewawancarai dan pengetahuan mendalam tentang gejala
(symptom) dan tanda (sign) dari suatu penyakit akan memberikan hasil yang memuaskan dalam
menentukan diagnosis banding sehingga dapat membantu menentukan langkah pemeriksaan
selanjutnya, termasuk pemeriksaan fisik dan penunjang.2

Pada kasus geriatri atau pada pasien usia lanjut, pertanyaan dapat berupa identitas pasien,
keluhan-keluhan pasien, riwayat obat-obatan yang pernah di minum, riwayat penyakit dahulu,
riwayat penyakit keluarga, gaya hidup pasien saat ini dan masa lalu seperti makanan dan juga
minuman yang sering dikonsumsi dari masa muda hingga sekarang.

Dapat juga ditanyakan apakah saat ini pasien merasa pusing? Bagaimana rasanya? Berapa lama
dan berapa sering timbul pusing? Adakah pemicu? Gerakan/posisi kepala, perubahan postur,
aktivitas, dan sebagainya? Adakah tuli, tinnitus? Adakah gejala penyerta (misalnya mual, muntah,
nyeri kepala, palpitasi, nyeri dada, dan sebagainya? Adakah gejala lain (misalnya gejala neurologis
lain seperti kelemahan atau gejala kardiovaskular seperti nyeri dada)? Apa yang meringankan
pusing (misalnya duduk)? Ditanyakan juga riwayat penyakit dahulu seperti adakah riwayat
penyakit jantung atau neurologis sebelumnya? Adakah riwayat episode pusing atau sinkop
sebelumnya?3

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi melihat adanya nistagmus atau tidak, pemeriksaan neurologis dengan
perhatian khusus pada posturografi: Tes Romberg yang dipertajam, past-pointing test, Manuver
Nylen-Barany atau Dix Hallpike, Tes kalorik, Saraf-saraf kranial.

Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik, kardiovaskular, neurootologik, tajam


penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem (tandem gait test),
pemijatan sinus karotis, manuver Hallpike, status kognitif, simptom depresi, dan ansietas.

Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah sistolik 20mmHg dengan atau tanpa gejala
segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (Setelah 5 menit dalam posisi terlentang),

2
Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup
jantung, dan bruit karotis.

Pemeriksaan neurologik, mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf kranial, evaluasi telinga
luar, dan tengah, dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke telinga, dan
dievaluasi terjadinya vertigo & nistagmus. Hasil positif menunjukkan adanya fistula dari labirin
bisa karena kolesteatoma atau infeksi.

Tes Romberg, dan tes langkah tandem ditujukan untuk mengevaluasi komponen vestibuler,
proprioseptif, dan serebelar.

Pemijatan sinus karotis dilakukan di bawah pengawasan yang ketat, diperlukan monitoring
elektrokardiografi (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat carotid bruit,
mendapat digoksin, riwayat stroke, atau terdapat tanda stenosis aorta.

Untuk mengevaluasi status kognitif dapat digunakan Mini-Mental State Examination (MMSE),
skor total dari MMSE adalah 30 umumnya angka dibawah 24 suggestive demensia atau delirium.
Untuk memastikan simptom dari depresi dapat digunakan the Center for Epidemiology Studies-
Depression Test (CES-D) yang terdiri dari 20 pernyataan. Sedangkan untuk evaluasi dari ansietas
dapat digunakan The Hamilton Anxiety Scale (HAS) yang terdiri dari 14 items, nilai dari rentang
skala dari nol sampai empat tidak ada ansietas, satu ansietas ringan, dua ansietas berat. Tujuh
psychic anxiety item untuk mendapatkan nilai psychic anxiety dengan rentang 0 sampai 28, tujuh
items sisanya untuk menampilkan nilai somatic anxiety juga mempunyai rentang dari 0 sampai 28.
Nilai total mulai dari rentang 0 sampai 56.2

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan laboratorium yaitu


pemeriksaan darah lengkap, profil lipid, asam urat, dan hemostasis. Foto Rontgen servikal,
Neuorofisiologi sesuai indikasi: EEG (elektroensefalografi), ENG (elektronistagmografi), EMG
(elektromiografi), BAEP (Brainstem Auditory Evoked Potential) dan audiometri. Neuroimaging:
CT scan, MRI, arteriografi.3

3
Diagnosis Kerja

Masalah yang di dapat berupa sejak bangun pagi pusing, sekelilingnya berputar putar disertai
rasa mual mau muntah, keadaan seperti ini sudah dialami berulang-ulang. Riwayat kencing manis
ada sejak 6 tahun. Pemeriksaan fisik Tekanan darah 110/65, Nadi 72x/menit, turgor kurang.
terdapat termor pada kedua tangan extremitas superior. Gula darah sewaktu 275mg/dL, gula darah
puasa 80-105mg/dL. Dari hasil pemeriksaan pasien diduga menderita vertigo dan diabetes mellitus
tipe 2 yang belum terkontrol.

Vertigo

Merupakan suatu sensasi berputar, pasien sering merasa dirinya ataupun lingkungannya berputar.
Seringkali terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat umumnya dibarengi dengan
mual, muntah, dan jalan yang terhuyung-huyung.2

Keadaan ini biasanya disebabkan oleh gangguan pada sistem keseimbangan. End-organ sistem
ini terletak pada bagian labirin tulang telinga dalam yang terdiri atas tiga buah kanalis
semisirkularis dan apparatus otolitik, (utrikulus dan sakulus) pada masing-masing sisi. Kanalis
akan mentransdusir akselerasi anguler, sementara otolit mentransdusir akselerasi linear dan gaya
gravitas yang static. Bagian yang disebut terakhir ini memberikan kemampuan sensibilitas posisi
kepala dalam ruangan.

Sistem vestibuler merupakan satu dari tiga sistem sensoris yang digunakan untuk orientasi
ruangan dan sikap tubuh; yang dua lainnya merupakan sistem visual (retina sampai korteks
oksipital) dan sistem somatosensoris yang menyampaikan informasi perifer dari reseptor kulit,
sendi, dan otot. Tiga sistem stabilisasi saling tumpang tindih secara cukup untuk mengkompensasi
(sebagian atau seluruhnya) defisiensi satu sama lain. Vertigo menunjukkan stimulasi fisiologik
atau disfungsi patologik pada salah satu dari tiga sistem ini.

Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer
sebanyak 54%. Di perawan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal positional vertigo
(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan
(alkohol, aminoglikosida, antikejang [fenitoin (Dilantin)], antidepresan, antihipertensi,
barbiturate, kokain, diuretic [Furosemide (Lasix)], nitrogliserin, kuinin, salisilat,

4
sedative/hipnotik), penyakit serebrovaskular, migraine, labirinitis akut, multiple sclerosis, dan
neoplasma intracranial. Penyebab vertigo bisa perifer atau sentral.4

Vertigo Fisiologik

Keadaan ini terjadi kalau (1) otak menghadapi ketidakseimbangan diantara pelbagai sistem
sensorik (2) sistem vestibuler dihadapkan pada gerakan kepala yang tidak lazim dan tidak pernah
diadaptasi sebelumnya, seperti ketika seseorang mengalami mabuk laut, atau (3) posisi
kepala/leher yang tidak lazim, seperti ekstensi yang berlebihan ketika seseorang mengecat langit-
langit rumah. Ketidakseimbangan antar sensoris menjelaskan mabuk kendaraan, vertigo tinggi,
dan vertigo visual paling sering dialami selama gerakan gambar pemandangan yang berkejaran;
pada yang terakhir, sensasi visual dari gerakan lingkungan tidak disertai dengan isyarat gerakan
vestibuler dan somatosensoris secara bersamaan. Space sickness, yaitu efek sepintas dalam bentuk
gerakan aktif kepala yang sering terjadi pada keadaan tanpa gaya berat, merupakan contoh lain
vertigo fisiologik.4

Vertigo Patologik

Keadaan ini terjadi akibat lesi pada sistem visual, somatosensorik atau vestibuler. Vertigo visual
disebabkan oleh pemandangan yang baru atau tidak tepat atau karena timbulnya paresis otot
ekstraokuler yang tiba-tiba dengan diplopia; pada keadaan lainnya, kompensasi sistem saraf pusat
mentralkan vertigo secara cepat. Vertigo somatosensoris, jarang dalam isolasi, biasanya
disebabkan oleh neuropati perifer yang menurunkan masukan sensoris yang perlu untuk
kompensasi sentral jika terdapat disfungsi sistem vestibuler atau visual.

Penyebab vertigo patologik yang paling sering ditemukan adalah disfungsi vestibuler. Vertigo
tersebut biasanya disertai dengan gejala nausea, jerk, nistagmus, ketidakstabilan postural dan
ataksia berjalan (gait ataxia). Disfungsi labirin. Keadaan ini menyebabkan vertigo rotasional atau
linear yang berat. Kalau rotasional, halusinasi gerakan, apakah lingkungan atau diri sendiri yang
bergerak, akan menjauhi sisi lesi. Fase cepat gerakan nistagmus menjauhi sisi lesi dan pasien
cenderung terjatuh ke arah sisi lesi.

Jika kepala lurus dan tidak bergerak, organ akhir vestibuler menghasilkan frekuensi rangsangan
istirahat tonik yang sama dari kedua sisi. Dengan percepatan raasional, posisi anatomic kanalis

5
semisirkularis pada masing-masing sisi mempermudah meningkaykan kecepatan rangsangan dari
satu sisi dan penurunan yang sebading dari sisi lainnya.4

Diagnosis Banding

Benign paroxysmal positional vertigo (BPPV)

Umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPPV merupakan kondisi episodik, sembuh
sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti
berguling di tempat tidur. BPPV disebabkan oleh akumulasi debris di kanal semisirkular.
Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan simptom pada pasien.
BPPV kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis
dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike.2

Epidemiologi

Prevalensi angka kejadian vertigo perifer (BPPV) di Amerika Serikat adalah 64 dari 100.000
orang dengan kecenderungan terjadi pada wanita (64%). BPPV diperkirakan sering terjadi pada
usia rata-rata 51-57,2 tahun dan jarang pada usia di bawah 35 tahun tanpa riwayat trauma kepala.3

Etiologi

A. Benign paroxysmal positional vertigo


Umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPPV merupakan kondisi episodik, sembuh
sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau karena perubahan pada posisi tubuh seperti
berguling di tempat tidur. BPPV disebabkan oleh akumulasi debris di kanal semisirkular.
Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan simptom pada pasien.
BPPV kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis
dapat ditegakkan melalui tes Dix-Hallpike.2
Terapi dari BPPV saat ini adalah senam vertigo atau manuver Epley yang bertujuan untuk
merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkuler posterior ke dalam vestibula dari
vestibular labirin agat tidak vertigo lagi saat menggerakkan kepala, atau untuk desensitisasi.2

6
B. Labirintitis
Merupakan penyebab lain dizziness karena vestibuler perifer, kelainan ini sembuh dengan
sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan hari atau beberapa minggu.
Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular.2

C. Penyakit Meniere
Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada usia
lanjut. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada akhirnya
tercapai suatu fase kronik yang ditandai oleh hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode
dizziness berkurang.2

Patofisiologi

Drachman dan Hart membagi dizziness menjadi empat tipe, yaitu vertigo, presinkop,
disekuilibrium, dan vague light-headedness (kepala yang terasa ringan tapi samar-samar di luar
vertigo, sinkop, ataupun disekuilibrium). Vertigo Merupakan suatu sensasi berputar, pasien sering
merasa dirinya ataupun lingkungannya berputar. Seringkali terjadi dengan seketika, kadang-
kadang, dan ketika berat umumnya dibarengi dengan mual, muntah, dan jalan yang terhuyung-
huyung. Vertigo merupakan tipe dizziness yang pelaing sering ditemukan pada perawatan primer
sebanyak 54 %. Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxysmal positional vertigo
(BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan.
Penyebab vertigo bisa perifer atau sentral. Dizziness karena penyebab sental biasanya jarang,
prevalensi lanjut usia kurang dari 10%. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness
yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluhkan
dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang onsetnya baru terjadi disertai simtom lain harus
dipikirkan kemungkinan gangguan saraf pusat yang serius.
Presinkop adalah suatu sensasi seperti akan pingsan atau kehilangan kesadaran, seringkali diawali
pandangan yang buram, dan terdengar suara gemuruh di telinga. Presinkop biasanya menandakan
adanya pasokan darah atau nutrisi yang tidak adekuat ke seluruh orak, dan bukan merupakan suatu
gambaran dari iskemik serebral fokal. Sedangkan disekuilibrium adalah suatu rasa dari tidak kukuh
(unsteadiness) atau ketidakseimbangan. Terjadi gangguan keseimbangan dan melangkah dalam

7
kondisi tidak adanya gangguan sensasi di kepala. Disekuilibrium ini penyebabnya adalah defisit
sensoris tunggal atau multiple. Yang terakhir adalah vague light-headedness yang merupakan
kategori yang digunakan untuk memasukkan gejala yang tidak dapat diidentifikasikan sebagai tipe
1, 2, atau 3. Penyebab yang mendasarinya kadang sulit untuk ditentukan.2

Penatalaksanaan

Pengobatan yang paripurna dizziness tergantung penyakit dan atau penyakit yang mendasarinya,
karena vertigo bukanlah suatu penyakit, tetapi gangguan atau sindroma geriatrik yang
menggambarkan berbagai macam sensasi. Langkah penghentian obat atau pencetusnya, atau
segera merujuk lebih lanjut ke ahli yang lain yang kompeten di bidangnya. Pengobatan simtomatik
dapat menggunakan sedatif. Apabila sebabnya adalah vertigo perifer maka dapat diberikan
desensitasi dengan latihan gerakan khusus yang disebut senam vertigo.2

Pada kasus vertigo sentral, karena disebabkan gangguan vaskular, penatalaksanaannya sesuai
dengan tatalaksana stroke. Pada vertigo perifer, penatalaksanaannya terdiri dari: (1) Terapi kausal,
(2) Terapi simtomatik, (3) Terapi rehabilitasi, (4) Terapi operasi, prosedur operasi dilakukan bila
proses reposisi kanalis tidak berhasil.3

Prognosis

Dizziness bukanlah penyakit, tetapi gangguan atau sindroma geriatrik yang menggambarkan
berbagai macam sensasi, dan merupakan keluhan yang sering dijumpai pada usia lanjut. Jarang
yang mengancam jiwa tetapi menimbulkan banyak hendaya fungsional, dan pendekatannya perlu
melibatkan berbagai bidang spesialistik. Yang diharapkan adalah kualitas hidup pasien usia lanjut
yang mengalami dizziness akan menjadi lebih baik.2

Diabetes Melitus Tipe 2

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik


hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau dua-duanya.
Hiperglikemia kronik pada diabetes berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, disfungsi
atau kegagalan beberapa organ tubuh seperti mata, saraf, jantung, dan pembuluh darah.2

Kasus diabetes yang paling banyak adalah DM tipe II, yang ditandai adanya gangguan sekresi
insulin ataupun gangguan kerja insulin pada organ target terutama hati dan otot. Awalnya resistensi

8
insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada saat tersebut sel beta pankreas
masih dapat mengompensasi keadaan ini dan terjadi suatu hiperinsulinemia dan glukosa darah
masih normal atau sedikit meningkat. Kemudian setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta
pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara klinis, yang ditandai dengan meningkatnya
kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis diabetes melitus. Sejumlah gejala klinis
yang merupakan ciri khas dari diabetes melitus adalah polidipsi, poliuri, dan polifagi.2

Diabetes tipe II, yaitu Non-Insuline Dependent DM (NIDDM), pada tipe ini selain terjadi
kerusakan reseptor insulin sel dan pancreas juga disertai dengan tidak berfungsinya insulin
(resistensi insulin). Biasanya 75% penderita tipe II adalah orang yang mengalami obesitas atau
riwayat obesitas. Faktor etiologi yang berperan adalah hereditas, penurunan sel islet sensitivitas
terhadap glukosa, perlambatan sekresi insulin karena disfungsi sel beta, atau peningkatan tahanan
pada insulin karena penurunan densitas insulin-reseptor.5

Prevalensi gangguan toleransi glukosa dan diabetes meningkat bersama pertambahan umur.
Umumnya diabetes orang dewasa hampir 90% masuk diabetes tipe 2. Selain terjadinya gangguan
metabolisme glukosa, pada pasien diabetes juga mengalami gangguan lipid, sering disertai
adanya kenaikan berat badan sampai terjadinya obesitas dan tidak sedikit pula timbul gejala
hipertensi (sindroma metabolic). Patifisiologi diabetes tipe 2 secara garis besar disebabkan oleh
kegagalan kelenjar pancreas dalam memproduksi insulin dan/atau terjadinya resistensi insulin
baik pada hati maupun jaringan sasaran. Kedua hal tersebut mengakibatkan kegagalan hati dalam
meregulasi pelepasan glukosa dan menyebabkan ketidakmampuan jaringan otot serta jaringan
lemak dalam tugas mengambil glukosa.5

Umur ternyata merupakan salah satu faktor yang bersifat mandiri dalam pengaruhnya terhadap
perubahan toleransi tubuh terhadap glukosa. Timbulnya resistensi insulin pada usia lanjut
disebabkan oleh empat faktor yaitu:
1. Perubahan komposisi tubuh dimana penurunan massa otot sebesar 7% dan peningkatan
jumlah jaringan lemak mengakibatkan menurunnya jumlah serta sesitivitas reseptor insulin.
2. Turunnya aktivitas fisik yang mengakibatkan penurunan jumlah reseptor insulin.
3. Perubahan pola makan usia lanjut.

9
4. Perubahan neuro hormonal, terutama insulin-like growth factor I. penurunan hormon ini
akan menurunkan ambilan glukosa karena penurunan sesitivitas reseptor insulin serta
menurunya aksi insulin.5

Epidemiologi

Pada saat ini, jumlah usia lanjut (lansia, berumur >65 tahun) di dunia diperkirakan mencapai 450
juta orang (7% dari seluruh penduduk dunia), dan nilai ini diperkirakan akan terus meningkat.
Sekitar 50% lansia mengalami intoleransi glukosa dengan kadar gula darah puasa normal.2,5

Studi epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi Diabetes Melitus maupun Gangguan


Toleransi Glukosa (GTG) meningkat seiring dengan pertambahan usia, menetap sebelum akhirnya
menurun. Dari data WHO didapatkan bahwa setelah mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah
akan naik 1-2 mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6-13 mg%/tahun pada 2 jam
setelah makan.

Seiring dengan pertambahan usia, lansia mengalami kemunduran fisik dan mental yang
menimbulkan banyak konsekuensi. Selain itu, kaum lansia juga mengalami masalah khusus yang
memerlukan perhatian antara lain lebih rentan terhadap komplikasi makrovaskular maupun
mikrovaskular dari DM dan adanya sindrom geriatri. Tulisan ini membahas perkembangan tata
laksana DM tipe 2 pada lansia dengan penekanan pada aspek khusus yang berkaitan dengan bidang
geriatri.

Patogenesis
Seiring dengan proses penuaan, semakin banyak lansia yang berisiko terhadap terjadinya DM,
sehingga sekarang dikenal istilah prediabetes. Prediabetes merupakan kondisi tingginya gula darah
puasa (gula darah puasa 100-125mg/ dL) atau gangguan toleransi glukosa (kadar gula darah 140-
199mg/dL, 2 jam setelah pembebanan 75 g glukosa). Modifikasi gaya hidup mencakup menjaga
pola makan yang baik, olah raga dan penurunan berat badan dapat memperlambat perkembangan
prediabetes menjadi DM. Bila kadar gula darah mencapai >200mg/dL maka pasien ini masuk
dalam kelas Diabetes Melitus (DM). Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi tiga
hal yaitu resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama sehingga lonjakan awal insu-
lin postprandial tidak terjadi pada lansia dengan DM, peningkatan kadar glukosa postprandial
dengan kadar gula glukosa puasa normal.6

10
Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang sesuai untuk DM tipe 2 ini adalah dengan diet makanan, mengatur
penggunaan karbohidrat dan gula, berolahraga secara teratur, dan pada kondisi yang ekstrim,
penggunaan injeksi insulin juga dianjurkan.6

Kesimpulan

Proses menua merupakan proses yang normal dan tidak dapat dihindari, gangguan-gangguan
kesehatan seperti vertigo dan diabetes mellitus sering dijumpai pada usia lanjut. Penyakit-penyakit
tersebut dapat dicegah dengan pemeriksaan kesehatan secara rutin, dan pola hidup yang baik
semasa muda.

11
Daftar Pustaka

1. Boedhi, Darmojo. Buku ajar geriatri. Edisi 4. Jakarta: Balai penerbit FKUI; 2009. h. 376-8.
2. Probosuseno, Husni NA, Rochmah W. Dizziness pada lanjut usia. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi
ke-6. Jakarta : Interna Publishing; 2014.
3. Dewanto G, Suwono WJ, Riyanyo B, Turana Y. Panduan praktis diagnosis & tata laksana
penyakit saraf. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2009. hal.111-3.
4. Isselbacher, Braunwald, Wilson, Martin, Fauci, Kasper. Dalam : Prinsip-prinsip Ilmu Penyakit
Dalam. Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2002. h.117-8.
5. Engram B. Rencana asuhan keperawatan medical-bedah. Vol. 3. Jakarta: EGC; 1999.h.532.
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid 3. Edisi 5. Jakarta: Interna Publishing; 2009.hal.1865-88.

12

Anda mungkin juga menyukai