Anda di halaman 1dari 3

POLYMERASE CHAIN REACTION (PCR) Salah satu perkembangan teknik biologi

molekuler yang sangat membantu dalam pengembangan uji-uji diagnostik adalah PCR. PCR
dapat mengamplifikasi DNA dan jumlah yang sedikit menjadi jumlah yang dapat
dideteksi/banyak. Adanya penemuan DNA polymerase (Taq polymerase) yang stabil pada
temperatur tinggi dan pengembangan alat yang mengatur temperatur proses PCR secara
otornatis, telah membuat PCR dapat digunakan untuk uji-uji diagnostik secara praktis. DNA
polymerase adalah enzim yang dapat mensintesis rantai DNA yang baru dan DNA yang
sudah ada. Penemuan enzim yang tahan panas sangat membantu untuk mensintesis DNA
baru, karena tahap awal proses PCR dilakukan dengan cara pemanasan rantai DNA yang
sudah ada pada temperatur 90°C. Reaksi Rantai Polimerase atau Polymerase Chain
Reaction (PCR) merupakan suatu teknik sintesis untuk mengamplifikasi atau
melipatgandakan fragmen DNA target secara invitro dengan eksponensial yang
menggunakan primer atau pemula DNA yang tepat. Proses tersebut mirip dengan proses
replikasi DNA in vivo. Berbeda dengan proses replikasi yang berlangsung secara diskrit
untuk sepanjang rantai DNA, maka pada proses PCR reaksi ini berjalan kontinu, tetapi
hanya untuk satu segmen tertentu saja dari suatu DNA. Teknik PCR ditemukan pertama kali
oleh Kary, B. Mullis pada tahun 1985. Impian Mullis dimulai ketika di bulan April, malam
Jumat, 1983, saat membawa kendaraannya keluar kota pada bulan purnama menuju ke
Negara bagian utara California dimana Mullis mendapatkan inpirasi yang bermakna dengan
menemukan cara baru untuk mendeteksi urutan basa yang spesifik dari DNA. Penemuan
yang mempesonakan itu dipublikasi pada American Scientific, 1990, yang memberiny
peluang pada tahun 1993 mendapatkan hadiah Nobel dalam kimia atas penemuan PCR.
Semula Mullis menggunakan enzim Klenow fragmen E.coli DNA Polymerase I untuk memicu
perpanjangan potongan DNA yang spesifik. Namun, enzim ini tidak dapat bertahan pada
saat tahapan denaturasi dari PCR, sehingga mengharuskan penambahan enzim yang baru
lagi pada setiap siklus PCR. Kondisi ini merupakan suatu hambatan yang kritis, khususnya
pada teknik yang diharapkan berlangsung secara automatis. Klenow enzim dapat bekerja
baik pada potongan DNA yang pendek (<200bp), tetapi tetapi tidak bis bekerja pada
potongan DNA yang lebih besar, karena hasilnya yang memberikan sensitifitas yang rendah
dan memperlihatkan hasil yang heterogen. Hal ini disebabkan karena tahapan annealing
yang rendah dan perubahan temperatur (37’C) yang harus disesuaikan untuk mengaktifkan
enzim Klenow. Situasi yang sangat memperihatinkan pada awal dimulainya PCR ini ialah
bahwa teknik ini dilakukan secara manual dari satu waterbath ke waterbath lainnya sesuai
tahapan dari PCR. Setelah beberapa tahun berikutnya didapatkan enzim thermostable DNA
Polymerase yaitu Taq DNA Polymerase, PCR menjadi sangat populer dalam penelitian.
Penemuan enzim ini juga memberi peluang untuk dilakukannya setiap tahapan PCR secara
automatis, sehingga PCR sekarang telah dapat dikerjakan dengan mesin. Untuk mendeteksi
potongan DNA yang spesifik dengan PCR diperlukan informasi dari tiap mikroorganisme
yang memiliki potongan DNA yang spesifik untuk golongannya. Dengan merancang
komplementer potongan DNA yang spesifik dari mikroorganisme tersebut, maka dapat
dihasilkan pemula DNA atau disebut juga primer. Potongan DNA yang spesifik ini akan
berikatan dengan pasangan yang komplementer dengannya, dan inilah yang
dilipatgandakan atau diamplifikasi sampai jutaan dalam waktu sekitar 4 jam pada mesin
PCR. Untuk mendukung amplifikasi tersebut diperlukan berbagai zat lainnya, kemudian
divisualisasikan melalui elektroforesis dan proses hibridisasi. Keseluruhan proses PCR
membutuhkan waktu hanya 2 hari. Pada perkembangan penggunaan PCR dilakukan
pemurnian terhadap sampel yang akan di tes. Permunian sampel DNA dilakukan dengan
memakai metode Boom (1990). Metode ini menggunakan Chaotropic agent guanidium
thiocyanate (GuSCN) dan diatom. GuSCN dan diatom menghilangkan hambatan secara
efisien terhadap berbagai macam sampel dari rumah sakit. GuSCN berfungsi untuk lisis dan
menginaktifkan asam nukleat, sedangkan partikel silica ataupun diatom berfungsi mengikat
asam nukleat. Untuk mengamplifikasi DNA dilakukan 30-40 kali siklus proses PCR. Satu
siklus terdiri dari 3 tahap, yaitu tahap denaturasi pada temperatur 95°C, tahap hibridisasi
primer pada temperatur 37° sampai 56°C dan tahap polimerisasi pada temperatur 72°C.
Secara umum, DNA yang akan diamplifikasi diapit oleh sepasang primer sintetik yang
merupakan potongan pendek dari DNA yang spesifik/komplementer yang berfungsi sebagai
template dari DNA yang akan diamplifikasi. DNA target yang akan diamplifikasi didenaturasi
terlebih dahulu dengan pemanasan, kemudian primer ditambahkan pada DNA target dan
temperatur diturunkan agan terjadi proses hibridisasi. Bila tahap polimerisasi dimulai, maka
rantai DNA target yang terdapat di antara primer akan diperbanyak menjadi dua rantai
dengan panjang yang sama seperti DNA target. Dengan adanya pengulangan tahap-tahap
denaturasi, hibridisasi dan polimerisasi beberapa kali, maka DNA target akan diperbanyak
secana efektif. Bila enzim reverse transcriptase yang mensintesis DNA dan template RNA,
digunakan pada tahap awal proses PCR, maka RNA ribosom dan genomik dan virus
RNAjuga dapat diamplifikasi. Prinsip dasar suatu PCR adalah : pasangan primer
menghibridisasi sekuens komplemen terget pada rantai DNA yang sebelumnya telah
terdenaturasi. Sintesis DNA kemudian berlangsung dengan bantuan enzim polimerase di
sepanjang daerah diantara primer. PCR dilaksanakan dengan cara menginkubasi sample
pada temperatur yang berbeda pada tahap, dalam suatu siklus PCR, yaitu tahap : 1.
Denaturasi Dengan pemanasan 95 oC rantai DNA akan berpisah, karena panas dapat
merusak ikatan hidroksi antara basa-basa yang komplementar. 2. Annealing ( penempatan /
pemasangan primer ) Primer dipasangakan pada tempat yang sesuai ( berkomplementer
dengan rantai tunggal DNA ) melalui proses pembentukan iktan hidroksi.Untuk proses
pemasangan primer ini dibutuhkan temperature yang berbeda dari setiap primer. 3.
Extension ( Perpanjangan) Setelah primer ditempatkan pada posisi yang tepat, dimulailah
proses pemanjangan rantai baru DNA yang berkomplementar, dengan bantuan enzim DNA
polymerase sehingga terbentuk suatu fragmen rantai ganda DNA yang spesifik. Enzim yang
stabil pada temperatur tinggi ini akan membantu proses penempaan nukleotida yang
dibutuhkan sampai terbentuknya suatu rantai ganda DNA, temperatur optimal yang
dibutuhkan untuk proses ini adalah 72o C. PCR dapat digunakan dalam uji-uji diagnostik
untuk mengamplifikasi asam nukleat dan agen-agen penyakit yang ada dalam jumlah sedikit
sehingga sensitifitas uji dapat ditingkatkan. DNA yang telah diamplifikasi selanjutnya
diidentifikasi dengan teknik hibridisasi yang rnenggunakan probe asam nukleat yang
spesifik, atau dengan analisis restriction fragment length polymorphism (RFLP) dan
elektroforesis pada gel agarose atau dengan cara sekuensing. Perkembangan selanjutnya
terhadap pemanfaatan mesin PCR, dibedakan antara PCR unipleks dan PCR multipleks.
Bila digunakan hanya satu pasang primer disebut PCR unipleks, sedangkan PCR yang
menggunakan lebih dari satu pasang disebut PCR multipleks tak ada perbedaan pada
tahapan denaturasi, annealing dan elongation, terkecuali pada kandungan PCR-miks, waktu
tahapan dan jumlah sikling temperatur. PCR Unipleks dapat dipakai untuk diagnosis
terhadap penyebab penyakit infeksi, termasuk M. tuberkulosis dan mikobakterium lain,
sedangkan PCR multipleks selain digunakan untuk diagnosis, juga untuk tes resistensi
terhadap OAT
http://teklabkes.blogspot.co.id/2010/06/pcr-era-uji-diagnoistik-molekuler.html

Anda mungkin juga menyukai