Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara berkembang yang

membutuhkan perbaikan di segala bidang, seperti bidang ekonomi, pendidikan,

sosial budaya, terutama bidang kesehatan, karena kesehatan merupakan kebutuhan

dasar manusia yang mutlak dipenuhi, sebelum memenuhi kebutuhan yang lain.

Perbaikan di bidang kesehatan ini meliputi segi pelayanan, tenaga kesehatan, dan

fasilitas yang memadai mulai dari Puskesmas hingga Rumah Sakit.

Rumah sakit adalah bagian penting dari suatu sistem kesehatan. Sasaran

utamanya adalah perawatan dan pengobatan nyawa sekaligus kesehatan para

penderita sakit. Rumah sakit juga berfungsi sebagai pusat alih pengetahuan dan

keahlian teknologi. Organisasi ini setiap hari berhubungan dengan pasien dan

sebagai salah satu sub sistem pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan

kesehatan mencakup pelayanan medik, rehabilitasi medik dan pelayanan

perawatan. Pelayanan tersebut dilaksanakan melalui unit gawat darurat, unit rawat

jalan dan unit rawat inap.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71

Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional

pasal 1 poin ke delapan disebutkan bahwa rawat Inap Tingkat Pertama adalah

pelayanan kesehatan perorangan yang bersifat non spesialistik dan dilaksanakan

pada fasilitas kesehatan tingkat pertama untuk keperluan observasi, perawatan,

1
2

diagnosis, pengobatan, dan/atau pelayanan medis lainnya, dimana peserta

dan/atau anggota keluarganya dirawat inap paling singkat 1 (satu) hari.

Menurut Fadhilah (2015), rawat inap atau opname adalah salah satu

bentuk proses pengobatan atau rehabilitasi oleh tenaga pelayanan kesehatan

profesional pada pasien yang menderita suatu penyakit tertentu, dengan cara di

inapkan di ruang rawat inap tertentu sesuai dengan jenis penyakit yang

dialaminya. Ruang Rawat inap adalah ruangan/fasilitas yang dijadikan tempat

merawat pasien. Di ruangan rawat inap, umumnya terdapat banyak pasien yang

memerlukan penanganan, salah satunya adalah pasien traumatologi.

Traumatologi adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang luka dan cedera

serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (ruda paksa). Luka merupakan

suatu keadaan ketidaksinambungan jaringan tubuh akibat kekerasan. Berdasarkan

sifat serta penyebabnya, kekerasan dibedakan atas kekerasan yang bersifat

mekanik yaitu kekerasan oleh benda tajam, kekerasan oleh benda tumpul dan

tembakan senjata api. Kekerasan yang bersifat fisik yaitu suhu, listrik dan petir,

perubahan tekanan udara, akustik dan radiasi sedangkan yang bersifat kimia yaitu

asam atau basa kuat.1 Luka yang dapat dikategorikan sebagai luka tumpul yaitu

memar (kontusio, hematom), luka lecet (abrasi, ekskoriasi), luka terbuka/robek

(laserasi) (Damitrias, 2017).

Pasien traumatologi yang di rawat di ruang rawat inap rumah sakit

biasanya mengeluhkan nyeri akibat rasa sakit dari luka yang diderita. Oleh karena

itu, perawat dengan menggunakan pengetahuannya dapat mengatasi masalah nyeri

baik secara rnandiri maupun secara kolaboratif dengan menggunakan dua


3

pendekatan yaitu pendekatan farmakologi dan non farmakologi. Pendekatan

farmakologi merupakan pendekatan kolaborasi antara dokter dengan perawat yang

menekankan pada pemberian obat yang mampu menghilangkan sensasi nyeri.

Sedangkan pendekatan non farmakologi merupakan pendekatan untuk

menghilangkan nyeri dengan menggunakan teknik manajemen nyeri (Smeltzer,

2001).

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, penulis tertarik untuk menyusun

dan membahasnya dalam makalah yang diberi judul “Penerapan Aplikasi

Manajemen Nyeri pada Pasien Rawat Inap Traumatologi”.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penulisan makalah ini adalah bagaimana

penerapan aplikasi manajemen nyeri pada pasien rawat inap traumatologi.

1.3. Tujuan Penulisan

1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui bagaimana penerapan aplikasi manajemen nyeri pada

pasien rawat inap traumatologi.

1.3.2. Tujuan Khusus

Sebagai salah satu syarat untuk kenaikan pangkat dan golongan pegawai di

Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Rumah Sakit Umum Kota Langsa.

1.4. Manfaat

Sebagai wahana untuk mengembangkan kemampuan diri melalui kajian

pemikiran secara ilmiah.


4

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1. Nyeri

2.1.1. Definisi Nyeri

Nyeri merupakan sensasi yang rumit, unik, universal, dan bersifat

individual. Dikatakan bersifat invidual karena respons individu terhadap sensasi

nyeri beragam dan tidak bisa disamakan satu dengan lainnya. The International

Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai “an

unpleasant sensory and emotional experience which we primarily associate with

tissue damage or describe in terms of such damage, or both.” Definisi ini

menyatakan bahwa nyeri merupakan fenomena kombinasi dari aspek sensori,

emosional, serta kognitif dan eksistensi dari keadaan patologi fisik tidaklah

mutlak muncul pada pasien yang sedang mengalami nyeri (Asmadi, 2008).

Nyeri dapat pula diartikan sebagai suatu sensasi yang tidak menyenangkan

baik secara sensori maupun emosional yang berhubungan dengan adanya suatu

kerusakan jaringan atau faktor lain, sehingga individu merasa tersiksa, menderita

sampai akhirnya hal itu akan mengganggu aktivitas sehari-hari, psikis dan fisik.

2.1.2. Penyebab Rasa Nyeri

Penyebab nyeri dapat diklasifikasi kedalam dua golongan yaitu penyebab

yang berhubungan dengan fisik dan berhubungan dengan psikis. Secara fisik

misalnya, penyebab nyeri adalah trauma (baik trauma mekanik, termis, kimiawi

maupun elektrik), neoplasma, peradangan, gangguan sirkulasi darah dan lain-lain.


5

Secara psikis penyebab nyeri dapat terjadi oleh karena adanya trauma psikologis.

Trauma mekanik menimbulkan nyeri karena ujung-ujung saraf bebas mengalami

kerusakan akibat benturan, gesekan ataupun luka. Trauma termis menimbulkan

nyeri karena ujung saraf reseptor mendapat rangsangan akibat panas dan dingin.

Trauma kimiawi terjadi karena tersentuh zat asam atau basa yang kuat. Trauma

elektrik dapat menimbulkan nyeri karena pengaruh aliran listrik yang kuat

mengenai reseptor rasa nyeri. Neoplasma menyebabkan nyeri karena terjadinya

tekanan atau kerusakan jaringan yang mengandung reseptor nyeri dan juga karena

tarikan, jepitan atau metastase. Nyeri pada peradangan terjadi karena kerusakan

ujung-ujung saraf reseptor akibat adanya peradangan atau terjepit oleh

pembengkakan. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nyeri yang

disebabkan oleh faktor fisik berkaitan dengan terganggunya serabut saraf reseptor

nyeri. Serabut saraf ini terletak dan tersebar pada lapisan kulit dan pada jaringan-

jaringan tertentu yang terletak lebih dalam. Nyeri yang disebabkan oleh faktor

psikologis merupakan nyeri yang dirasakan bukan karena penyebab organik,

melainkan akibat trauma psikologis dan pengaruhnya terhadap fisik (Asmadi,

2008).

2.1.3. Klasifikasi Nyeri

Dua kategori dasar dari nyeri yang secara umum diketahui yaitu nyeri akut

dan nyeri kronis.

1. Nyeri Akut

Nyeri akut mengindikasikan bahwa kerusakan atau cedera telah terjadi.

Jika kerusakan tidak lama terjadi dan tidak ada penyakit sistematik, nyeri
6

akut biasanya menurun sejalan dengan terjadinya penyembuhan, nyeri ini

umumnya terjadi kurang dari enam bulan. Sebagai contoh nyeri akut ialah

jari yang tertusuk biasanya sembuh dengan cepat, dengan nyeri yang

hilang dengan cepat. Pada kasus dengan kondisi lebih berat, seperti fraktur

ekstremitas, pengobatan dibutuhkan dengan nyeri menurun sejalan dengan

penyembuhan tulang. Nyeri pada pasien post operasi (bedah)

dikategorikan nyeri akut.

2. Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

suatu periode waktu. Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang

ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya

nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan

pada penyebabnya (Smeltzer, 2001).

Nyeri dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa golongan berdasarkan

pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri, dan waktu lamanya serangan.

1. Nyeri Berdasarkan Tempatnya

a. Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh.

Misalnya pada kulit, mukosa.

b. Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih

dalam (nyeri somatik) atau pada organ tubuh visceral (nyeri visceral).

c. Reffered pain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit

organ/struktur dalam tubuh yang ditransmisikan ke bagian tubuh di

daerah yang berbeda, bukan dari daerah asal nyeri.


7

d. Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada sistem

saraf pusat, spinal cord, batang otak, talamus, dan lain-lain.

2. Nyeri Berdasarkan Sifatnya

a. Incidental Pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu

menghilang.

b. Steady Pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan

dalam waktu yang lama.

c. Proximal Pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat

sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap ± 10-15 menit, lalu

menghilang, kemudian timbul lagi.

3. Nyeri Berdasarkan Ringan Beratnya

a. Nyeri ringan, yaitu nyeri dengan intensitas rendah

b. Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi

c. Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.

4. Nyeri Berdasarkan Waktu Lamanya Serangan

a. Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan

berakhir kurang dari enam bulan, sumber dan daerah nyeri diketahui

dengan jelas. Rasa nyeri mungkin sebagai akibat dari luka, seperti luka

operasi, ataupun pada suatu penyakit arteriosclerosis pada arteri

koroner.

b. Nyeri Kronis, yaitu nyeri yang dirasakan lebih drai enam bulan. Nyeri

kronis ini polanya beragam dan berlangsung berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun. Ragam pola tersebut ada yang nyeri timbul dengan


8

periode yang diselingi interval bebas dari nyeri lalu timbul kembali

lagi nyeri dan begitu seterusnya. Ada pula pola nyeri kronis yang

konstan, artinya rasa nyeri tersebut terus menerus terasa makin lama

semakin meningkat intensitasnya walaupun telah diberikan pengobatan

(Asmadi, 2008).

Menurut Yudiyanta (2015), secara umum, nyeri dibedakan antara nyeri

nosiseptik dan nyeri neuropatik. Untuk membedakan antara nyeri nosiseptif dan

nyeri neuropatik dapat digunakan Pain Quality Assessment Tools, yaitu:

1. ID pain

Digunakan untuk membedakan antara nyeri neuropatik dan nosiseptik.

Terdiri atas 5 komponen nyeri neuropatik, yaitu rasa kesemutan, panas

terbakar, kebas/baal, kesetrum, nyeri bertambah bila tersentuh, dan 1

komponen nyeri nosiseptik yaitu nyeri yang terbatas pada

persendian/otot/gigi/lainnya. Bila skor >2 mungkin terdapat nyeri

neuropatik.

2. LANNS (The Leeds Assessment of Neuropathic Symptoms and Signs Pain

Scale)

Untuk membedakan nyeri neuropatik atau nosiseptik juga dapat digunakan

instrumen LANSS tersebut, yang tingkat sensitivitasnya 82-91 % dan

spesifisitas 80-94 %. Terdiri atas kuesioner nyeri yang harus dijawab oleh

pasien dan tes sensoris. Bila skor ≥12 mungkin pasien menderita nyeri

neuropatik.
9

2.1.4. Fisiologi Nyeri

Munculnya nyeri sangat berkaitan erat dengan reseptor dan adanya

rangsangan. Reseptor nyeri yang dimaksud adalah nociceptor, merupakan ujung-

ujung saraf sangat bebas yang memiliki sedikit mielin yang tersebar pada kulit

dan mukosa, khususnya pada visera, persendian, dinding arteri, hati, dan kantong

empedu. Reseptor nyeri dapat memberikan respons akibat adanya stimulasi atau

rangsangan. Stimulasi tersebut dapat berupa kimiawi, termal, listrik, atau mekanis.

Stimulasi oleh zat kimiawi di antaranya seperti histamin, bradikinin,

prostaglandin, dan macam-macam asam seperti adanya asam lambung yang

meningkat pada gastritis atau stimulasi yang dilepas apabila terdapat kerusakan

pada jaringan.

Selanjutnya, stimulasi yang diterima oleh reseptor tersebut ditransmisikan

berupa impuls-impuls nyeri ke sumsum tulang belakang oleh dua jenis serabut,

yaitu serabut A (delta) yang bermielin rapat dan serabut lamban (serabut C).

Impuls-impuls yang ditransmisikan oleh serabut delta A mempunyai sifat

inhibitor yang ditransmisikan ke serabut C. Serabut-serabut aferen masuk ke

spinal melalui akar dorsal (dorsal root) serta sinaps pada dorsal horn. Dorsal horn

tersebut terdiri atas beberapa lapisan atau lamina yang saling bertautan. Di antara

lapisan dua dan tiga membentuk substantia gelatinosa yang merupakan saluran

utama impuls. Kemudian, impuls nyeri menyeberangi sumsum tulang belakang

pada interneuron dan bersambung ke jalur spinal asendens yang paling utama,

yaitu jalur spinothalamic tract (STT) atau jalur spinothalamus dan spinoreticular

tract (SRT) yang membawa informasi mengenai sifat dan lokasi nyeri.
10

Dari proses transmisi terdapat dua jalur mekanisme terjadinya nyeri, yaitu

jalur opiate dan jalur nonopiate. Jalur opiate ditandai oleh pertemuan reseptor

pada otak yang terdiri atas jalur spinal desendens dari talamus, yang melalui otak

tengah dan medula, ke tanduk dorsal sumsum tulang belakang yang berkonduksi

dengan nociceptor impuls supresif. Serotonin merupakan neurotransmiter dalam

impuls supresif. Sistem supresif lebih mengaktif kan stimulasi nociceptor yang

ditransmisikan oleh serabut A. Jalur nonopiate merupakan jalur desenden yang

tidak memberikan respons terhadap naloxone yang kurang banyak diketahui

rnekanismenya (Yudiyanta, 2015).

2.1.5. Transmisi Nyeri

1. Reseptor Nyeri

Reseptor nyeri (nosiseptor) adalah organ tubuh yang berfungsi menerima

rangsang nyeri. Organ tubuh yang berperan sebagai reseptor nyeri adalah

ujung saraf bebas dalam kulit yang berespon hanya terhadap stimulus kuat

yang secara potensial merusak. Reseptor nyeri juga disebut nosiseptor,

secara anatomis nosiseptor ada yang bermielien dan ada yang tidak

bermielien dari saraf perifer. Berdasarkan letaknya, nosiseptor dapat

dikelompokkan dalam beberapa bagian tubuh yaitu pada kulit (kutaneus),

somatic dalam (deep somatic), dan pada daerah visceral. Karena letaknya

yang berbeda-beda inilah nyeri yang timbul memiliki sensasi berbeda.

2. Mediator Kimia

Sejumlah substansi yang mempengaruhi sensitivitas ujung-ujung saraf

atau reseptor nyeri dilepaskan ke jaringan ekstraseluler sebagai akibat dari


11

kerusakan jaringan. Zat-zat kimiawi yang dapat meningkatkan transmisi

atau persepsi nyeri meliputi histamin, bradikinin, asetilkolin, substansi P,

dan Prostaglandin. Dengan adanya respon nyeri tersebut maka tubuh

secara fisiologi akan memproduksi endogen untuk menghambat impuls

nyeri tersebut. Endogen terdiri dari endorfin dan enkefalin, substansi ini

seperti morfin yang berfungsi menghambat transmisi influs nyeri. Apabila

tubuh mengeluarkan substansi-substansi ini, salah satu efeknya adalah

pereda nyeri. Endorphin dan enkefalin ditemukan dalam konsentrasi yang

kuat dalam sistem saraf pusat. Endorfin dan enkefalin adalah zat kimiawi

endogen (diprodukasi oleh tubuh) yang berstruktur seperti opioid. Morfin

dan obat-obatan opioid lainya menghambat transmisi yang menyakitkan

dengan meniru endorfin dan enkefalin. Serabut interneural inhibitor yang

mengandung enkefalin terutama diaktifkan melalui aktivitas serabut

perifer non-nosiseptor (serabut yang normalnya tidak mentransmisikan

stimuli nyeri atau yang menyakitkan) pada tempat reseptor yang sama

dengan reseptor nyeri atau nosiseptor dan serabut desenden, berkumpul

bersama dalam suatu sistem yang disebut descending control. Endorfin

dan enkefalin juga dapat menghambat imfuls nyeri dengan memblok

transmisi impuls ini di dalam otak dan medula spinalis.

Keberadaan endorfin dan enkefalin ini membantu menjelaskan bagaimana

orang yang berbeda merasakan tingkat nyeri yang berbeda dari stimuli

nyeri yang sama. Individu dengan endorfin lebih banyak lebih sedikit
12

merasakan sakit dibandingkan dengan individu yang kadar endorfinnya

sedikit yang akan merasakan nyeri yang lebih besar (Smeltzer, 2001).

2.1.6. Proses Terjadinya Nyeri

Gambar 2.1
Proses Terjadinya Nyeri

2.1.7. Respons Nyeri

Mengkaji indikasi fisiologis dan perilaku dari nyeri terkadang sulit, jika

tidak mungkin. Indikator fisiologis dan perilaku nyeri yang dapat diamati dapat

saja minimal atau tidak ada; namun demikian, hal ini bukan berarti bahwa pasien
13

tidak mengalami nyeri. Banyak pemberi perawatan kesehatan lebih mengenal

nyeri akut dibanding nyeri kronis. Akibatnya, pemberi perawatan kesehatan yang

tidak mengenal respon fisiologis dan perilaku nyeri menanyakan keberadaan nyeri

pasien.

1. Indikator Fisiologis

Perubahan fisiologis involunter dianggap sebagai indikator nyeri yang

lebih akurat dibanding laporan verbal pasien. Respon involunter ini seperti

meningkatnya frekuensi nadi dan pernafasan, pucat dan berkeringat adalah

indikator rangsangan sistem saraf otonom, bukan nyeri. Frekuensi jantung

pasien dapat menurun dalam berespons terhadap nyeri akut dan meningkat

hanya setelah nyerinya hilang. Pasien yang mengalami nyeri akut yang

hebat mungkin tidak menunjukkan frekuensi pernafasan yang meningkat,

tetapi akan menahan napasnya. Respon fisiologik harus digunakan sebagai

pengganti untuk laporan verbal dari nyeri pada pasien tidak sadar dan

jangan digunakan untuk mencoba memvalidasi laporan verbal dari nyeri

individu. Karena reaksi fisiologik yang dalam terhadap nyeri tidak dapat

dipertahankan selama berminggu-minggu atau bertahun-tahun atau bahkan

beberapa jam, pasien biasanya berespon secara berbeda terhadap nyeri

akut dan nyeri kronis.

2. Respon Perilaku Terhadap Nyeri.

Respon perilaku terhadap nyeri dapat mencakup pernyataan verbal,

perilaku vokal, ekspresi wajah, gerakan tubuh, kontak fisik dengan orang

lain. Perubahan respon terhadap lingkungan. Individu yang mengalami


14

nyeri akut dapat: Menangis, Merintih, Merengut, Tidak menggerakkan

bagian tubuh, Mengepal atau Menarik diri. Orang dapat menjadi marah

atau mudah tersinggung dan meminta maaf saat nyerinya hilang. Suara

dari radio atau televisi dapat sangat menjengkelkan bagi orang yang

sedang nyeri. Perilaku ini sangat beragam dari waktu ke waktu. Meskipun

respon perilaku pasien dapat menjadi indikasi pertama bahwa ada sesuatu

yang tidak beres, respon perilaku seharusnya tidak boleh digunakan

sebagai pengganti untuk mengukur nyeri kecuali dalam situasi yang tidak

lazim dimana pengukuran tidak memungkinkan (mis, orang tersebut

menderita retardasi mental yang berat atau tidak sadar). Pasien dapat tidur,

bahkan dengan nyeri hebat. Pasien dapat tampak rileks dan terlibat dalam

aktivitas karena menjadi mahir dalam mengalihkan perhatian terhadap

nyeri. Individu yang telah berhasil dalam meminimalkan efek nyeri kronik

pada kehidupannya harus didorong ketimbang dipatahkan semangatnya

dari koping dengan cara ini (Smeltzer, 2001).

2.1.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri

Nyeri yang dialami oleh pasien dipengaruhi oleh sejumlah faktor, menurut

Smeltzer (2001) antara lain :

1. Pengalaman Masa Lalu dengan Nyeri

Individu yang mempunyai pengalaman multipel dan berkepanjangan

dengan nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri

dibanding orang yang hanya mengalami sedikit nyeri. Bagi kebanyakan

orang, yang lebih berpengalaman dengan nyeri yang dialami, maka makin
15

takut individu tersebut terhadap peristiwa menyakitkan yang akan

diakibatkan. Sebaliknya, individu yang tidak pernah mengalami nyeri

hebat tidak mempunyai rasa takut terhadap nyeri itu. Cara seseorang

berespons terhadap nyeri adalah akibat dari banyak kejadian nyeri selama

rentang kehidupannya. Individu yang mengalami nyeri selama berbulan-

bulan atau bertahun-tahun dapat menjadi mudah marah, menarik diri dan

depresi. Efek yang tidak diinginkan yang diakibatkan dari pengalaman

sebelumnya menunjukkan pentingnya perawat untuk waspada terhadap

pengalaman masa lalu pasien dengan nyeri. Jika nyerinya teratasi dengan

cepat dan dengan adekuat, individu mungkin lebih sedikit ketakutan

terhadap nyeri dimasa mendatang dan mampu mentoleransi lebih baik.

2. Ansietas dan Nyeri

Ansietas yang relevan atau berhubungan dengan nyeri dapat meningkatkan

persepsi pasien terhadap nyeri. Sebagai contoh: Pasien yang telah

mendapatkan pengobatan kanker payudara 2 tahun yang lalu dan sekarang

mengalami nyeri pinggang merasa takut bahwa nyeri tersebut merupakan

indikasi dari metastasis. Dalam kasus ini ansietas dapat mengakibatkan

peningkatan nyeri. Ansietas yang tidak berhubungan dengan nyeri dapat

mendistraksi pasien dan secara aktual dapat menurunkan persepsi nyeri.

Sebagai contoh: Seorang ibu yang dirawat dengan komplikasi akibat

kolesistektomi dan cemas tentang anak-anaknya dapat mencerna lebih

sedikit nyeri ketika ansietas mengenai anak-anaknya meningkat.

Pengunaan rutin medikasi antiansietas untuk mengatiasi ansietas pada


16

seseorang dengan nyeri dapat membuat orang tidak melaporkan nyeri

karena sedasi yang berlebihan dan dapat merusak kemampuan pasien

untuk melakukan nafas dalam, turun dari tempat tidur dan kerja sama

dengan rencana pemulihan. Secara umum, cara yang lebih efektif untuk

menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri

ketimbang ansietas.

3. Budaya dan Nyeri

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh terhadap bentuk respon

seseorang terhadap nyeri tetapi tidak mempengaruhi persepsi nyeri. Sejak

dini pada masa kanak-kanak individu belajar dari sekitar mereka respon

nyeri yang bagaimana yang dapat diterima atau tidak diterima. Sebagai

contoh: Anak dapat belajar bahwa cedera akibat olah raga tidak

diperkirakan akan terlalu menyakitkan dibandingkan dengan cedera akibat

kecelakaan motor. Keyakinan ini beragam dari satu budaya dengan budaya

lainnya, karena orang dari budaya yang berbeda yang mengalami nyeri

dengan intensitas yang sama dapat tidak melaporkannya atau bersepon

terhadap nyeri tersebut dengan cara yang sama. Nilai-nilai budaya perawat

dapat berbeda dengan nilai-nilai budaya pasien dari budaya lain. Harapan

dan nilai-nilai budaya perawat dapat mencakup menghindari ekspresi nyeri

yang berlebihan, seperti meringis atau menangis yang berlebihan; mencari

pereda nyeri dengan segera dan memberikan deskripsi lengkap tentang

nyeri. Harapan budaya pasien mungkin saja menerima orang untuk

meringis atau menangis ketika merasa nyeri, untuk menolak tindakan


17

pereda nyeri yang tidak menyembuhkan penyebab nyeri, dan untuk

menggunakan kata sifat seperti "tidak tertahankan" menggambarkann

nyeri. Perawat yang mengetahui perbedaan budaya akan mempunyai

pemahaman yang lebih besar tentang nyeri pasien dan akan lebih akurat

dalam mengkaji nyeri dan respon-respon perilaku terhadap nyeri juga

efektif dalam menghilangkan nyeri pasien.

4. Usia dan Nyeri

Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiologis

dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespon

terhadap nyeri dapat berbeda dengan cara bersepon orang yang berusia

lebih muda. Persepsi nyeri pada lansia mungkin berkurang sebagai akibat

dari perubahan patologis berkaitan dengan beberapa penyakit, tetapi pada

individu lansia yang sehat persepsi nyeri mungkin tidak berubah. Karena

individu lansia mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio

lemak tubuh terhadap massa otot lebih besar dibanding individu berusia

lebih muda, analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan

nyeri.

5. Efek placebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespon terhadap pengobatan atau

tindakan lain karena sesuatu harapan bahwa pengobatan tersebut benar-

benar bekerja. Menerima pengobatan atau tindakan saja sudah merupakan

efek positif. Harapan positif pasien tentang pengobatan dapat

meningkatkan keefektifan medikasi atau intervensi lainnya. Seringkali


18

makin banyak petunjuk yang diterima pasien tentang keefektifan

intervensi, makin efektif intervensi tersebut nantinya. Individu yang

diberitahu bahwa suatu medikasi diperkirakan dapat meredakan nyeri

hampir pasti akan mengalami peredaan nyeri dibanding dengan pasien

yang diberitahu bahwa medikasi yang didapatnya tidak mempunyai efek

apapun. Hubungan pasien dan perawat yang positif dapat juga menjadi

peran yang amat penting dalam meningkatkan efek placebo (Smeltzer,

2001).

2.1.9. Pengkajian Keperawatan tentang Nyeri

Pengkajian keperawatan tentang nyeri meliputi (Smeltzer, 2001):

1. Deskripsi Verbal tentang Nyeri

Individu merupakan penilai terbaik dari nyeri yang dialaminya dan

karenanya harus diminta untuk menggambarkan dan membuat

tingkatannya. Informasi yang diperlukan harus menggambarkan nyeri

individual dalam beberapa cara :

a. Intensitas Nyeri

Individu dapat diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala

verbal (misalnya tidak nyeri, sedikit nyeri, hebat atau sangat hebat,

dengan skala perbandingan 0 -10, dimana 0 = tidak nyeri, 10 = nyeri

sangat hebat).

b. Karakteristik Nyeri

Termasuk letak, durasi (menit, jam, hari, bulan, tahun), irama (terus-

menerus, hilang timbul, periode bertambah dan berkurangnya


19

intensitas atau keberadaan nyeri), dan kualitas (misalnya : nyeri seperti

ditusuk, seperti terbakar).

c. Faktor-Faktor yang Meredakan Nyeri (Memperingan)

Misalnya dengan gerakan, kurang bergerak, pengerahan tenaga,

istirahat, obat-obatan bebas dan apa yang dipercaya oleh pasien dan

keluarga dapat mengatasi nyerinya.

d. Efek Nyeri Terhadap Aktivitas Kehidupan Sehari-hari

Misalnya apakah sudah mengganggu istirahat tidur, nafsu makan,

konsentasi, interaksi dengan orang lain, gerakan fisik, bekerja,

aktivitas-aktivitas santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas

dan nyeri kronis dengan depresi.

e. Kekhawatiran Individu Terhadap Nyeri

Dapat meliputi bebagai masalah yang luas, seperti beban ekonomi,

prognosis, pengaruh terhadap peran dan perubahan citra diri.

2. Skala Analog Visual (VAS)

Skala Analog Visual (VAS) sangat berguna dalam mengkaji intensitas

nyeri. Skala nyeri tersebut berbentuk garis horisontal sepanjang 10 cm.

Ujung kiri biasanya menandakan tidak nyeri sedangkan ujung kanan

biasanya menandakan nyeri berat. Cara kerjanya dengan meminta pasien

untuk menunjuk titik pada garis yang menunjukkan letak nyeri terjadi

disepanjang rentang tersebut. Beberapa skala yang dapat digunakan untuk

mengukur intensitas nyeri, adalah sebagai berikut:


20

a. Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

Gambar 2.2
Skala Intensitas Nyeri Deskriptif

b. Skala Identitas Nyeri Numerik (NRS)

Gambar 2.3
Skala Identitas Nyeri Numerik (NRS)

c. Visual Analog Scale (VAS)

Gambar 2.4
Visual Analog Scale (VAS)

d. Skala Wajah

Gambar 2.5
Skala Wajah
21

2.2. Pasien Rawat Inap Traumatologi

Pasien rawat inap traumatologi adalah pasien yang di rawat di ruangan

rawat inap karena mengalami trauma atau perlukaan secara medis disebutkan

hilangnya kontinuitas jaringan yang disebabkan karena adanya kekuatan dari

luar/kekerasan.

Traumatologi (dari bahasa Yunani Trauma "yang berarti luka" atau luka)

adalah studi tentang luka dan luka yang disebabkan oleh kecelakaan atau

kekerasan kepada seseorang, dan terapi bedah dan perbaikan kerusakan.

Traumatologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tentang trauma

atau perlukaan, cedera serta hubungannya dengan berbagai kekerasan (rudapaksa),

yang kelainannya terjadi pada tubuh karena adanya diskontinuitas jaringan akibat

kekerasan yang menimbulkan jejas. Luka adalah suatu gangguan dari kondisi

normal pada kulit. Didalam melakukan pemeriksaan terhadap orang yang

menderita luka akibat kekerasan, pada hakekatnya dokter diwajibkan untuk dapat

memberikan kejelasan dari permasalahan jenis luka yang terjadi, jenis kekerasan

yang menyebabkan luka, dan kualifikasi luka (Kulsum, 2011). Berdasarkan sifat

serta penyebabnya, trauma dapat dibedakan atas trauma yang bersifat:

1. Mekanik, yang terdiri dari:

a. Trauma tumpul, meliputi: Memar, Luka lecet dan Luka robek.

b. Trauma tajam, meliputi: Luka iris/sayat, Luka tusuk dan Luka bacok.

c. Trauma tembakan senjata api.

2. Fisika, terdiri dari:

a. Suhu
22

b. Listrik dan petir

c. Perubahan tekanan udara

d. Akustik

e. Radiasi

3. Kimia, terdiri dari:

a. Asam kuat

b. Basa kuat

Luka bisa terjadi pada korban hidup maupun korban mati. Luka bisa

diketahui waktu terjadinya, apakah luka terjadi antemortem atau postmortem.

Terkadang dari luka kita bisa mengetahui umur luka. Walaupun belum ada

satupun metode yang digunakan untuk menilai dengan tepat kapan suatu

kekerasan dilakukan mengingat adanya berbagai macam faktor yang

mempengaruhinya; seperti faktor infeksi, kelainan darah, atau penyakit defisiensi,

namun untuk mendeskripsikan luka sebaiknya dalam Visum et Repertum (Afandi.

2010).

2.3. Penerapan Aplikasi Manajemen Nyeri pada Pasien Rawat Inap

Traumatologi

Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri pada pasien

traumatologi, yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi.

Teknik farmakologi adalah cara yang paling efektif untuk menghilangkan nyeri

terutama untuk nyeri yang sangat hebat yang berlangsung selama berjam-jam atau

bahkan berhari-hari. Metode pereda nyeri non farmakologis biasanya mempunyai

risiko yang sangat rendah. Meskipun tindakan tersebut bukan merupakan


23

pengganti untuk obat-obatan, tindakan tesebut mugkin diperlukan atau sesuai

untuk mempersingkat episode nyeri yang berlangsung hanya beberapa detik atau

menit (Ilyas, 2013).

Menurut Yudiyanta (2015), efek samping obat sebaiknya dicatat

menggunakan List of Medicines for Pain and Side Effects yang dilihat setiap kali

pasien hendak mengkonsumsi obat, dan untuk menilai keberhasilan pengobatan

dapat juga menggunakan instrumen Pain and Pain Relief Record. Bila pasien

mendapat terapi obat opioid, sebelumnya dinilai terlebih dahulu Opioid Risk Tool.

Dengan instrumen ini pasien dapat dikategorikan risiko rendah, sedang atau tinggi

untuk ketergantungan terapi opioid. Kemudian setelah pasien menerima terapi

opioid, dinilai pula Addiction Behaviors Checklist guna mengetahui apakah sudah

terjadi ketergantungan terhadap terapi opioid.

Menurut Smeltzer (2001), strategi penatalaksanaan nyeri mencakup baik

pendekatan farmakologis dan Non Farmakologis. Pendekatan ini diseleksi

berdasarkan pada kebutuhan dan tujuan pasien secara individu. Semua intervensi

akan sangat berhasil bila dilakukan sebelum nyeri menjadi lebih parah, dan

keberhasilan terbesar sering dicapai jika beberapa intervensi diterapkan secara

simultan.

1. Intervensi Farmakologis

Menanganai nyeri yang dialami pasien melalui intervensi farmakologi

yang dilakukan dengan kolaborasi dengan dokter. Nyeri ditanggulangi

dengan cara memblokade transmisi stimulant nyeri agar terjadi perubahan


24

persepsi dan dengan mengurangi respon kortikal terhadap nyeri. Adapun

obat yang digunakan untuk terapi nyeri adalah:

a. Analgesik Spesifik Narkotik

Opioid merupakan obat yang paling umum digunakan untuk mengatasi

nyeri pada klien, untuk nyeri sedang hingga nyeri yang sangat berat.

Opioid dapat diberikan melalui beragama rute termasuk oral,

intravena, subkutan, intraspinal, ektal dan rute transdermal.

Pengaruhnya sangat bervariasi tergantung fisiologi klien itu sendiri.

Klien yang sangat muda dan sangat tua adalah yang sensitif terhadap

pemberian analgesik ini dan hanya memerlukan dosis yang sangat

rendah untuk meringankan nyeri. Narkotik dapat menurunkan tekanan

darah dan menimbulkan depresi pernafasan pada fungsi–fungsi vital

lainya, termasuk depresi respiratori, bradikardi dan mengantuk, mual

muntah, konstipasi. Namun pada pasien hipotensi akan menimbulkan

syok akibat dosis yang berlebihan.

b. Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID)

Obat-obat Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID) diduga dapat

menurunkan nyeri dengan menghambat produksi prostaglandin dari

jaringan-jaringan yang engalami trauma atau inflamasi yang

menghambat reseptor nyeri untuk menjadi sensitif terhadap stimulus

menyakitkan. Pada dosis rendah obat-obat ini bersifat analgesik. Pada

dosis tinggi, obat obat ini bersifat antiinflamatori sebagai tambahan

dari khasiat analgesik. Prinsip kerja obat ini adalah untuk


25

mengendalikan nyeri sedang dari dismenorea, arthritis dan gangguan

musculoskeletal yang lain, nyeri postoperative dan migraine. NSAID

digunakan untuk menyembuhkan nyeri ringan sampai sedang.

2. Tindakan Non Farmakologis

Selain tindakan farmakologis untuk menanggulangi nyeri ada pula

tindakan nonfarmakologis untuk mengatasi nyeri terdiri dari beberapa

tindakan yakni:

a. Stimulasi dan Masase Kutaneus

Teori gate control nyeri bertujuan menstimulasi serabut-serabut yang

menstranmisikan sensasi tidak nyeri memblok atau menurunkan

transmisi impuls nyeri. Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara

umum, sering dipusatkan pda punggung dan bahu. Masase tidak secara

spesifik menstimulasi reseptor tidak nyeri pada bagian reseptor yang

sama seperti reseptor nyeri pada bagian reseptor yang sama seperti

reseptor nyeri tetapi dapat mempunyai dampak melalui sistem kontrol

desenden. Masase dapat membuat pasien lebih nyaman karena massase

membuat relaksasi otot.

b. Terapi Es dan Panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang

efektif pada beberapa keadaan. Terapi es dan panas bekerja dengan

menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam bidang

reseptor yang sama seperti pada cedera. Terapi es dapat menurunkan

prostaglandin, yang memperkuat sensivitas reseptor nyeri dan


26

subkutan lain pada tempat cedera dengan menghambat proses

inflamasi. Agar efektif es harus diletakkan pada tempat cedera segera

setelah cedera terjadi. Saat es diletakkan di sekitar cidera kebutuhan

analgesik menurun sekitar 50%. Penggunaan panas mempunyai

keuntungan meningkatkan aliran darah ke suatu area dan kemungkinan

dapat turut menurunkan nyeri dengan mempercepat penyembuhan.

Namun demikian, menggunakan panas kering dengan lampu pemanas

tampak tidak seefektif penggunaan es. Baik terapi panas kering dan

lembab kemungkinan memberi efek analgesia. Baik terapi es maupun

panas harus digunakan dengan hati-hati dan dipantau dengan cermat

untuk menghindari cedera kulit.

c. Stimulasi Saraf Elektris Transkutan

Stimulasi saraf elektris transkutan (TENS) menggunakan unit yang

dijalankan oleh baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit

untuk menghasilkan sensasi kesemutan, menggetar atau mendengung

pada area nyeri (TENS) telah digunakan baik pada menghilangkan

nyeri akut dan kronik. TENS diduga dapat menurunkan nyeri dengan

menstimulasi reseptor tidak nyeri (non-nosiseptor) dalam area yang

sama seperti pada serabut yang mentransmisikan nyeri. Mekanisme ini

sesuai dengan teori nyeri gate control. Reseptor tidak nyeri diduga

memblok transmisi sinyal nyeri ke otak pada jaras asenden sistem saraf

pusat. Mekanisme ini akan menguraikan keefektifan stimulasi kutan

saat digunakan pada area yang sama seperti pada cedera. Bila pasien
27

benar-benar mengalami peredaan nyeri, peredaan ini biasanya

berawitan cepat tetapi dengan cepat berkurang saat stimulator

dimatikan.

d. Teknik Relaksasi

Relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan

merelaksasikan keteganggan otot yang mendukung rasa nyeri. Teknik

relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil

optimal. Dengan relaksasi pasien dapat mengubah persepsi terhadap

nyeri. Periode relaksasi yang teratur dapat membantu untuk melawan

keletihan dan ketegangan otot yang terjadi dengan nyeri kronis dan

yang meningkatkan nyeri.

e. Distraksi

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, efektif untuk nyeri ringan

sampai sedang. Distraksi visual (melihat TV atau pertandingan bola),

distraksi audio (mendengar musik), distraksi sentuhan (massase,

memegang mainan), distraksi intelektual (merangkai puzzle, main

catur).

f. Imajinasi Terbimbing

Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam

suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif

tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan

meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan nafas berirama

lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan.


28

Setiap kali menghirup napas, pasien membayangkan energi

penyembuh dialirkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas

dihembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa

udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan.

Banyak pasien ntulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing

saat pertama kali mereka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut

selama berjam-jam setelah imajinasi digunakan. Imajinasi terbimbing

harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang

telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah

teknik ini efektif.

g. Hipnosis

Hipnosis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah

analgesik yang dibutuhkan nada nyeri akut dan kronis. Teknik ini

membantu dalam memberikan peredaan nyeri terutama dalam situasi

sulit. Mekanisme bagaimana kerjanya hipnosis tidak jelas tetapi tidak

tampak diperantarai oleh sistem enclortin. Keefektifan hipnosis

tergantung pada kemudahan hipnotik individu. Pada beberapa kasus

hipnosis dapat efektif pada pengobatan pertama; keefektifannya

meningkat dengan tambahan sesi hipnotik berikutnya (Smeltzer,

2001).
29

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Penerapan aplikasi manajemen nyeri pada pasien traumatologi harus

dilakukan, karena jika nyeri semakin berat maka akan semakin sulit teratasi.

Secara garis besar ada dua manajemen untuk mengatasi nyeri pada pasien

traumatologi, yaitu manajemen farmakologi dan manajemen non farmakologi.

Intervensi farmakologi dikolaborasikan dengan dokter. Adapun obat yang

digunakan untuk terapi nyeri adalah: Analgesik Spesifik Narkotik dan Obat-obat

Antiinflamasi Nonsteroid (NSAID). Tindakan Non Farmakologis diantaranya:

Stimulasi dan Masase Kutaneus, Terapi Es dan Panas, Stimulasi Saraf Elektris

Transkutan, Teknik Relaksasi, Distraksi, Imajinasi Terbimbing dan Hipnosis.

3.2. Saran

Kontrol nyeri tetap merupakan problem signifikan pada pelayanan

kesehatan di seluruh dunia. Penanganan nyeri yang efektif tergantung pada

pemeriksaan dan penilaian nyeri yang seksama berdasarkan informasi subjektif

maupun objektif. Oleh karena itu, sebaiknya pihak rumah sakit mengadakan

pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan tenaga

kesehatan rumah sakit khusunya perawat dalam penerapan aplikasi manajemen

nyeri.
30

DAFTAR PUSTAKA

Afandi. 2010. Visum et Repertum pada Korban Hidup. Bagian Ilmu Kedokteran
Forensik dan Medikolegal: FK UNRI.

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan


Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Damitrias, Priskila Tania. 2017. Hubungan Kadar Lemak Tubuh Dengan


Perubahan Warna Memar Yang Dilihat Dengan Menggunakan Teknik
Fotografi Forensik. Karya Tulis Ilmiah Program Pendidikan Sarjana
Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.

Fadhilah. 2015. Rawat Inap (Opname): Pengertian, Kualitas, dan Tujuan


Opname (online) http://www.idmedis.com/2015/12/rawat-inap-opname-
pengertian-kualitas.html.

Ilyas, M., dkk. (2013). Efektifitas Metode Penanganan Nyeri Pada Pasien Post
Op Ca Mammae di Ruang Perawatan Rumah Sakit Universitas
Hasanuddin Makassar. Jurnal Ilmiah Kesehatan Diagnosis Volume 5
Nomor 3 Tahun 2014 STIKES Nani Hasanuddin Makassar.

Kulsum, Siti Umy. 2011. Traumatologi Forensik (online)


https://www.scribd.com/doc/69549351/TRAUMATOLOGI-FORENSIK.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang


Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional.

Smeltzer, S. C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah Brunner &


Suddarth/editor, Suzanne C. Smeltzer, Brenda G Bare, alih bahasa, Agung
Waluyo… [et.al], editor edisi bahasa Indonesia, Monica Ester, Ellen
Panggabean. Ed. 8 Vol. 1. Jakarta: EGC.

Yudiyanta, dkk. 2015. Assessment Nyeri. Departemen Neurologi Fakultas


Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Indonesia.
31

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha

Panyayang. Penulius panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang

telah melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga

penulis dapat menyelesaikan makalah tentang “Penerapan Aplikasi Manajemen

Nyeri Pada Pasien Rawat Inap Traumatologi”.

Makalah ilmiah ini telah penulis susun dengan maksimal dan mendapatkan

bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah

ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak

yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena

itu dengan tangan terbuka penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca

agar penulis dapat memperbaiki makalah ini.

Akhir kata penulis berharap semoga makalah tentang Penerapan Aplikasi

Manajemen Nyeri Pada Pasien Rawat Inap Traumatologi ini dapat memberikan

manfaat maupun inpirasi terhadap pembaca.

Langsa, November 2017

Penulis

i
32

DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................ i
DAFTAR ISI ............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ......................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................. 3
1.3. Tujuan Penulisan ................................................................ 3
1.3.1. Tujuan Umum ........................................................ 3
1.3.2. Tujuan Khusus ....................................................... 3
1.4. Manfaat ............................................................................. 3

BAB II LANDASAN TEORI ................................................................... 4


2.1. Nyeri .................................................................................. 4
2.1.1. Definisi Nyeri ........................................................ 4
2.1.2. Penyebab Nyeri ..................................................... 4
2.1.3. Klasifikasi Nyeri .................................................... 5
2.1.4. Fisiologi Nyeri ...................................................... 9
2.1.5. Transmisi Nyeri .................................................... 10
2.1.6. Proses Terjadinya Nyeri ........................................ 12
2.1.7. Respons Nyeri ....................................................... 12
2.1.8. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Respons Nyeri 14
2.1.9. Pengkajian Keperawatgan Tentang Nyeri ............. 18
2.2. Pasien Rawat Inap Traumatologi ...................................... 21
2.3. Penerapan Aplikasi Manajemen Nyeri pada Pasien Rawat
Inap Traumatologi ............................................................. 22

BAB III PENUTUP ..................................................................................... 29


3.1 Kesimpulan ....................................................................... 29
3.2 Saran ................................................................................. 29

DAFTAR PUSTAKA

ii
33

PENERAPAN APLIKASI MANAJEMEN NYERI PADA


PASIEN RAWAT INAP TRAUMATOLOGI

DISUSUN OLEH:

Ns. Mauliadi, S.Kep


NIP. 197614091997021001

Pangkat: Penata TK I/III d

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH LANGSA

2017

Anda mungkin juga menyukai