Anda di halaman 1dari 26

Laporan Kasus:

Diabetes Mellitus Tipe 2

Nama : Nur Farhana Amani binti Che Wan Ahmad


NIM : 11 2016 202
Dokter pembimbing : dr Nuniek Endang, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD TARAKAN
BAB I
LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS
a. Nama : Tn. M
b. Tanggal Lahir : 28 Febuari 1963
c. Jenis Kelamin : Laki-laki
d. Agama :Islam
e. Suku : Jawa
f. Pekerjaan : Karyawan swasta
g. Ruang Rawat : Dahlia

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama
Luka di kaki sejak ±2 bulan SMRS
Keluhan Tambahan
Mual, lemas
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Tarakan pada tanggal 03 November 2017
pukul 19:30 dibawa keluarganya dengan keluhan terdapat luka di kaki.
Menurut pasien luka di kaki kirinya awalnya disebabkan luka lecet karena
beliau memakai sepatu baru, namun setelah itu pasien menyatakan luka
tersebut tidak kunjung sembuh ±2 bulan SMRS Tarakan. Luka tersebut
basah(+), nanah(+), bau busuk(+). Selain itu pasien juga mengeluh kaki
dan tangannya sering merasa kesemutan.

Pasien juga mengeluh lemas yang dirasakan muncul sudah ±1 minggu SM


RSUD Tarakan. Mual (+) Muntah (-). Demam(-). BAB normal. BAK:
frekuensi meningkat, pasien sering bangun malam untuk kencing, nyeri
saat berkemih(-), darah(-).
Keluarga pasien mengatakan bahwa pasien sudah didiagnosis dokter
menderita DM tipe 2 sejak 3 tahun yang lalu, dan minum obat metformin
500mg dan Glibenklamid, namun tidak secara teratur. Pasien juga tidak
pernah kontrol lagi ke Spesialis Penyakit Dalam setelah itu untuk DM nya.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit serupa : disangkal
 Riwayat tuberkulosis : disangkal
 Riwayat tekanan darah tinggi : disangkal
 Riwayat DM : diakui
 Riwayat sakit jantung : disangkal
 Riwayat asma : disangkal
 Riwayat alergi : disangkal
 Riwayat operasi :disangkal
 Riwayat hipertiroid : disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga


 Riwayat penyakit jantung :-
 Riwayat hipertensi :-
 Riwayat Diabetes melitus :+
III. PEMERIKSAAN FISIK

Kesan umum : tampak lemah


Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15
Tanda vital :
 Tensi : 90/50 mmHg
 Nadi : 73 x/menit, regular, isicukup
 Pernafasan : 24 x /menit
 SpO2 : 98%
 Suhu :36,4 ̊C (aksila)
 BB : 72 kg
 TB : 175cm
Pemeriksaan Hasil Pemeriksaan
Kulit warna sawo matang, turgor (-), ikterik (-), kulit
bergelambir (-), hipertrofi otot (-)

Kepala
 Bentuk Normocephal
 Rambut Warna hitam keputih-putihan, distribusi merata,
tidak mudah dicabut
Mata Pupil Isokor, Mata cekung (-), Air mata (+),
Konjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-) ,
reflek pupil (+/+)
Telinga Bentuk normal, pembesaran KGB retroaurikula(-
/-), discharge (-/-), gangguan fungsi pendengaran
(-/-)
Hidung epistaksis (-),Bentuk normal, septum deviasi(-
),Sekretdarikedualianghidung (-),
napascupinghidung (-)
Mulut Gusi berdarah (-), Bibir kering (-), Lidah kotor(-
), lidah tremor (-), pernapasan mulut (-),
stomatitis pada ujung lidah (-)
Leher Trakea letak tengah, Tidak tera bapembesaran
KGB,
Paru-Paru
 Inspeksi Bentuk normal, simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, retraksi dinding dada (-), sela iga
melebar (-)
 Palpasi Gerakan napas teraba simetris saat inspirasi dan
ekspirasi, nyeri tekan (-), stem fremitus lapang
paru kanan dan kiri sama kuat
 Perkusi Sonor pada lapangan paru
 Auskultasi ronki -/-, wheezing-/-
Jantung
 Inspeksi Ictus cordis tidak nampak
 Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midcalvicula
sinistra pulsus parasternal -, pulsus epigastium -,
pulsus sternal lift -
 Perkusi Batas jantung kanan; ICS IV linea parasternalis
dekstra
Batas kiri; ICS IV linea midclavikularis sinistra
 Auskultasi Buni jantung I dan II regular, murmur (-), gallop
(-), bising ( -)

Punggung Kifosis (-), lordisis (-), skoliosis (-), nyeri ketok


kostovertevra (-), bengkak (-)
Abdomen
 Inspeksi Datar, sikatrik (-), striae (-), umbilicus normal
tertutup dan tidak ditemukan hernia umbilicalis,
hiperpigmentasi (-), massa (-)
 Auskultasi Bising usus (+) normal : 14 kali/menit
 Perkusi Timpani +, undulasi (-), Ascites (-)
 Palpasi Supel, Nyeri tekan (-), nyeri tekan lepas pada
seluruh kuadran (-) Tidak ada pembesaran
Hepar Tidak teraba
Lien Tidak teraba
Ginjal Nyeri CVA (-)
Anggota gerak Superior Inferior
Oedem -/- -/-
Akral dingin -/- -/-
Sianosis -/- -/-
Capilary refills -/- -/-
Decubitus -/- -/-
Tampak ulkus di digiti 3 pedis sinistra, kulit
disekitar tampak merah, teraba hangat,
lembap, berbau, bernanah
Turgor Normal

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Satuan


Hemoglobin 11.8 gr%
Leukosit 43790 Sel/mm3
Trombosit 403400 Sel/mm3
Hematokrit 38.7 %
Elektrolit mEq/L
Natrium 137
Kalium 4.6
Chloride 77
SGOT/SGPT 19/19 U/L
Ureum/Creatine 42/1.32
MCHC 31,8 g/dL
GDS di IGD 521 mg/dl

b. EKG
• Irama : Sinus rythm
• Regularitas : Reguler
• Frekuensi : 1500 : 15 = 100
• Axis : Noemoaxsis deviasi
• Segmen ST : isoelektik
Kesan : Normal
c. Foto Thorax
Kesan: Normal
V. PROBLEM

Assessment Diagnosis

1. Diabetes Melitus Tipe 2


Berdasarkan anamnesis didapatkan pasien menderita DMT2 sejak 3 tahun yang
lalu dan hasil pemeriksaan GDS:521mg/dL

 Rencana pemeriksaan selanjutnya:

-Pemeriksaan darah lengkap  sudah dilakukan


-EKG  sudah dilakukan
-Pemeriksaan GDN, GDPP,HbA1c

 Rencana terapi

-Lakukan protokol insulin: Dosis awal 10unit kemudian dilakukan GDKH

-IVFD Nacl 0.3 % 500cc/24jam

-Konsul ahli gizi untuk tatalaksana nutrisi pola diet DM

 Rencana Monitoring

-Monitoring vital sign (tekanan darah, nadi, RR, suhu) dan keluhan
-Monitoring keadaan umum
-GDS

 Edukasi

-Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien tentang penyakit pasien


-Memberikan masukan untuk tim gizi memberikan makanan sesuai dengan
kondisi dan kebutuhan pasien

 Prognosis:
Ad Vitam: Bonam
Ad Sanationam: Malam
Ad Fungsionam:Malam

2. Leukositosis ec infected diabetic ulcer

Berdasarkan hasil lab yang menunjukkan peningkatan leukosit: 43790/mm3


 Rencana terapi:
1. Inj. Ceftriaxone 2gx2
2. Tatalaksana ulkus DM: konsul spesialis bedah untuk tatalaksana lanjut.
 Rencana Monitoring:
1. Periksa ulang pemeriksaan darah rutin per 3 hari.
Prognosis
Ad Vitam: Bonam
Ad Fungsionam: Bonam
Ad Sanationam: Bonam

3. Insuffisiensi Renal

Hasil lab: ureum:42mg/dl, creatinine: 1.32mg/dl

 Rencana terapi:

Kontrol kondisi hiperglikemi yang disebabkan oleh DMT2

Rencana monitoring:

Periksa ureum dan creatinine darah per 3 hari.

 Prognosis
Ad vitam: Bonam

Ad Fungsionam: Dubia ad bonam

Ad Sanationam: Malam

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Pengertian Diabetes Mellitus Tipe 2

Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin


untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk
memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan
kadar glukosa darah meningkat.1 Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan
diabetes tidak tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah
istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan
yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya
resisten terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam
jangka waktu yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup
untuk memprovokasi gejala nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien
tersebut adalah risiko peningkatan pengembangan komplikasi macrovascular
dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang diduga menyebabkan
terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi
antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor
makanan.2

Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2

Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi
dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada
fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak
dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah
sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk
menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu
meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan
sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar
insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati
meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara
berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan
menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan
gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya
gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi
gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar
glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah
puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika
kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak
mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan
sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa
dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap
produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang
sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan
hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel
beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain
menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya
deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toXicity)3
Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap
dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi
resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat
terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal,
sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi
gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan
faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya.
Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di
perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak
gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung
lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya
kegemukan dan resistensi insulin.4

Etiologi Diabetes Mellitus Tipe 2

Yaitu diabetes yang dikarenakan oleh adanya kelainan sekresi insulin


yang progresif dan adanya resistensi insulin. Pada pasien-pasien dengan
Diabetes Mellitus tak tergantung insulin (NIDDM), penyakitnya mempunyai
pola familial yang kuat. NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam
sekresi insulin maupun dalam kerja insulin. Pada awalnya kelihatan terdapat
resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mula-mula
mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel tertentu, kemudian
terjadi reaksi intraselular yang meningkatkan transport glukosa menembus
membrane sel. Pada pasien-pasien dengan NIDDM terdapat kelainan dalam
pengikatan insulin dengan reseptor. Ini dapat disebabkan oleh berkurangnya
jumlah tempat reseptor yang responsive insulin pada membrane sel.
Akibatnya, terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin
dengan sistem transport glukosa. Kadar glukosa normal dapat dipertahankan
dalam waktu yang cukup lama dengan meningkatkan sekresi insulin, tetapi
pada akhirnya sekresi insulin menurun, dan jumlah insulin yang beredar tidak
lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien
NIDDM mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi
insulin, maka kemungkinan besar gangguan toleransi glukosa dan diabetes
mellitus yang pada akhirnya terjadi pada pasien-pasien NIDDM merupakan
akibat dari obesitasnya. Pengurangan berat badan seringkali dikaitkan dengan
perbaikan dalam sensitivitas insulin dan pemilihan toleransi glukosa.5

Gambaran Klinis 6
Beberapa keluhan dan gejala yang perlu mendapat perhatian ialah:
Keluhan Klasik
a. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan yang berlangsung dalam waktu relatif
singkat harus menimbulkan kecurigaan. Hal ini disebabkan glukosa
dalam darah tidak dapat masuk ke dalam sel, sehingga sel kekurangan
bahan bakar untuk menghasilkan tenaga. Untuk kelangsungan hidup,
sumber tenaga terpaksa diambil dari cadangan lain yaitu sel lemak dan
otot. Akibatnya penderita kehilangan jaringan lemak dan otot sehingga
menjadi kurus.
b. Banyak kencing
Karena sifatnya, kadar glukosa darah yang tinggi akan
menyebabkan banyak kencing. Kencing yang sering dan dalam jumlah
banyak akan sangat mengganggu penderita, terutama pada waktu
malam hari.
c. Banyak minum
Rasa haus sering dialami oleh penderita karena banyaknya cairan
yang keluar melalui kencing. Keadaan ini justru sering disalah
tafsirkan. Dikira sebab rasa haus ialah udara yang panas atau beban
kerja yang berat. Untuk menghilangkan rasa haus itu penderita minum
banyak.
c. Banyak makan
Kalori dari makanan yang dimakan, setelah dimetabolisme menjadi
glukosa dalam darah tidak seluruhnya dapat dimanfaatkan, penderita
selalu merasa lapar.
Keluhan lain:
a. Gangguan saraf tepi / Kesemutan
Penderita mengeluh rasa sakit atau kesemutan terutama pada kaki
di waktu malam, sehingga mengganggu tidur. Gangguan penglihatan
Pada fase awal penyakit Diabetes sering dijumpai gangguan
penglihatan yang mendorong penderita untuk mengganti kacamatanya
berulang kali agar ia tetap dapat melihat dengan baik.
b. Gatal / Bisul
Kelainan kulit berupa gatal, biasanya terjadi di daerah kemaluan
atau daerah lipatan kulit seperti ketiak dan di bawah payudara. Sering
pula dikeluhkan timbulnya bisul dan luka yang lama sembuhnya. Luka
ini dapat timbul akibat hal yang sepele seperti luka lecet karena sepatu
atau tertusuk peniti.

c. Gangguan Ereksi
Gangguan ereksi ini menjadi masalah tersembunyi karena sering
tidak secara terus terang dikemukakan penderitanya. Hal ini terkait
dengan budaya masyarakat yang masih merasa tabu membicarakan
masalah seks, apalagi menyangkut kemampuan atau kejantanan
seseorang.
d. Keputihan
Pada wanita, keputihan dan gatal merupakan keluhan yang sering
ditemukan dan kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala yang
dirasakan.

Diagnosa Diabetes Melitus Tipe 2


Dalam menegakkan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah
yang diambil dan cara pemeriksaan yang dipakai.3
a. Pemeriksaan Penyaring
Pemeriksaan penyaring perlu dilakukan pada kelompok dengan
salah satu faktor risiko untuk DM, yaitu:
1) Kelompok usia dewasa tua ( > 45 tahun )
2) Kegemukan {BB (kg) > 120% BB idaman atau IMT > 27 (kg/m2)}
3) Tekanan darah tinggi (> 140/90 mmhg)
4) Riwayat keluarga DM
5) Riwayat kehamilan dengan bb lahir bayi > 4000 gram
6) Riwayat dm pada kehamilan
7) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl
8) Pernah TGT (toleransi glukosa terganggu) atau GDPT (glukosa
darah puasa terganggu)

Tabel 1.
Kadar glukosa darah sewaktu* dan puasa* sebagai patokan penyaring
dan diagnosis DM (mg/dl)

Kadar glukosa darah sewaktu


Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 199 ≥200
Darah Kapiler < 90 90 - 199 ≥200
Kadar glukosa darah puasa
Bukan DM Belum pasti DM DM
Plasma Vena < 110 110 – 125 ≥126
Darah Kapiler
< 90 90 - 109 ≥110

Sumber : Perkeni, 2006


Keterangan:
*metode enzimatik
b. Langkah-langkah untuk menegakkan diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan
khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, lemah, dan penurunan
berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang
mungkin dikemukakan pasien adalah kesemutan, gatal, mata kabur dan
impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
Jika keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosis DM. Hasil pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl juga digunakan untuk patokan
diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil
pemeriksaan glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal , belum
cukup kuat untuk menegakkan diagnosis klinis DM. Diperlukan
pemastian lebih lanjut dengan menddapatkan sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa 126 mg/dl, kadar glukosa
darah sewaktu 200 mg/dl pada hari yang lain, atau dari hasil tes
toleransi glukosa oral (TTGO) yang abnormal.
Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO 1985
1) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa
2) Kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan
3) Puasa semalam, selama 10-12 jam
4) Kadar glukosa darah puasa diperiksa
5) Diberikan glukosa 75 gram atau 1,75 gram/kgbb, dilarutkan dalam
air 250 ml dan diminum selama/dalam waktu 5 menit
6) Diperiksa kadar glukosa darah 2 (dua) jam sesudah beban glukosa;
selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak
merokok.
Kriteria diagnostik Diabetes Melitus*
1) Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200 mg/dl , atau
2) Kadar glukosa darah puasa (plasma vena) 126 mg/dl (Puasa berarti
tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir ) atau
3) Kadar glukosa plasma 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban
glukosa 75 gram pada TTGO**
* Kriteria diagnostik tsb harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain,
kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi
metabolik akut, seperti ketoasidosis atau berat badan yang menurun cepat.
**Cara diagnosis dengan kriteria ini tidak dipakai rutin diklinik

Faktor Resiko Diabetes Mellitus Tipe 2

Adapun Faktor resikonya yaitu:5


 Unchangeable Risk Factor
1. Kelainan Genetik
Diabetes dapat menurun menurut silsilah keluarga yang
mengidap diabetes mellitus, karena kelainan gen yang
mengakibatkan tubuhnya tak dapat menghasilkan insulin
dengan baik.
2. Usia
Umumnya manusia mengalami perubahan fisiologis yang
secara drastis menurun dengan cepat setelah usia 40 tahun.
Diabetes sering muncul setelah seseorang memasuki usia
rawan tersebut, terutama setelah usia 45 tahun pada mereka
yang berat badannya berlebih, sehingga tubuhnya tidak peka
lagi terhadap insulin.
 Changeable risk factor
1. Stress
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari
makanan yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk
meningkatkan kadar serotonin otak. Serotonin ini memiliki
efek penenang sementara untuk meredakan stress, tetapi gula
dan lemak itulah yang berbahaya bagi mereka yang beresiko
terkena diabetes mellitus.
2. Pola Makan yang Salah
Kurang gizi atau kelebihan berat badan keduanya
meningkatkan resiko terkena diabetes mellitus. Kurang gizi
(malnutrisi) dapat merusak pankreas, sedangkan berat badan
lebih (obesitas) mengakibatkan gangguan kerja insulin (
resistensi insulin).
3. Minimnya Aktivitas Fisik
Setiap gerakan tubuh dengan tujuan meningkatkan dan
mengeluarkan tenaga dan energi, yang biasa dilakukan atau
aktivitas sehari-hari sesuai profesi atau pekerjaan. Sedangkan
faktor resiko penderita DM adalah mereka yang memiliki
aktivitas minim, sehingga pengeluaran tenaga dan energi hanya
sedikit.
4. Obesitas
80% dari penderita NIDDM adalah Obesitas/gemuk.
5. Merokok
Sebuah universitas di Swiss membuat suatu analisis kajian
yang menyelidiki hubungan antara merokok dan diabetes yang
disiarkan antara 1992 dan 2006, dengan sebanyak 1,2 juta
peserta yang ditelusuri selama 30 tahun. Mereka mendapati
resiko bahkan lebih tinggi bagi perokok berat. Mereka yang
menghabiskan sedikitnya 20 batang rokok sehari memiliki
resiko terserang diabetes 62% lebih tinggi dibandingkan
dengan orang yang tidak merokok. Merokok dapat
mengakibatkan kondisi yang tahan terhadap insulin, kata para
peneliti tersebut. Itu berarti merokok dapat mencampuri cara
tubuh memanfaatkan insulin. Kekebalan tubuh terhadap insulin
biasanya mengawali terbentuknya Diabetes tipe 2.
6. Hipertensi
Pada orang dengan diabetes mellitus, hipertensi berhubungan
dengan resistensi insulin dan abnormalitas pada sistem renin-angiotensin dan
konsekuensi metabolik yang meningkatkan morbiditas. Abnormalitas metabolik
berhubungan dengan peningkatan diabetes mellitus pada kelainan fungsi tubuh/
disfungsi endotelial. Sel endotelial mensintesis beberapa substansi bioaktif kuat
yang mengatur struktur fungsi pembuluh darah

Penatalaksanaan
Pilar Penatalaksanaan DM
1. Edukasi

2. Terapi gizi medis

3. Latihan jasmani

4. Intervensi farmakologis
Nonmedikamentosa. Pilar penatalaksanaan DM dimulai dengan
pendekatan non farmakologi, yaitu berupa pemberian edukasi, perencanaan
makan atau terapi nutrisi medik, kegiatan jasmani, dan penurunan berat badan bila
didapat berat badan lebih atau obesitas. Bila dengan langkah-langkah pendekatan
non farmakologi tersebut belum mampu mencapai sasaran pengendalian DM,
maka dilanjutkan dengan penambahan terapi medikamentosa atau intervensi
farmakologi1
Rencana diet pada pasien diabetes dimaksudkan untuk mengatur jumlah
kalori dan karbohidrat yang dikonsumsi setiap hari. Jumlah kalori yang
disarankan bervariasi, bergantung pada kebutuhan, apakah untuk
mempertahankan, menurunkan atua meningkatkan berat tubuh. Rencana diet
harus dikonsultasi dahulu dengan ahli gizi yang terdaftar dan berdasarkan pada
riwayat diet pasien, makanan yang lebih disukai, gaya hidup, latar belakang
budaya, dan aktivitas fisik.1
Ada beberapa cara untuk menentukan jumlah kalori yang dibutuhkan
penyandang diabetes. Di antaranya adalah dengan memperhitungkan kebutuhan
kalori basal yang besarnya 25-30 kalori / kg BB ideal, ditambah atau dikurangi
bergantung pada beberapa faktor yai tu jenis kelamin, umur, aktivitas, berat
badan, dll.1

Latihan fisik mempermudah transport glukosa ke dalam sel-sel dan


meningkatkan kepekaan terhadap insulin. Pada individu sehat, pelepasan insulin
menurun selama latihan fisik sehingga hipoglikemia dapat dihindarkan. Namun,
pasien yang mendapat suntikan insulin, tidak mampu untuk memakai cara ini, dan
peningkatan ambilan glukosa selama latihan fisik dapat menimbulkan
hipoglikemia.1
Medikamentosa. Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini
dapat mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan
rencana diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-
obat oral hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah
pensensitif insulin dan sulfoniurea.10,11
Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan tiazolidinedion.
Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan sebagai terapi
tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin menurunkan
prouksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus, dan
meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak
meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya
pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan
komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung
kongestif. Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hepatik.10,11
Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-
gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga
8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau
insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk
diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif. 10,11
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan
menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2
dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon
yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel
beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes
tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin,
pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang
merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea
generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang
merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan
sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari,
dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih
lama dari pada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari.
Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling
sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau
diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa
glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks
karbohidrat.5
Pasien-pasien dengan gejala diabetes mellitus tipe 2 dini dapat
mempertahankan kadar glukosa darah normal hanya dengan menjalankan rencana
diet dan latihan fisik saja. Tetapi, sebagai penyakit yang progresif, obat-obat oral
hipoglikemik juga dianjurkan. Obat-obatan yang digunakan adalah pensensitif
insulin dan sulfoniurea.3 Dua tipe pensensitif yang tersedia adalah metformin dan
tiazolidinedion. Metformin yang merupakan suatu biguanid, dapat memberikan
sebagai terapi tunggal pertama dengan dosis 500 hingga 1700 mg/hari. Metformin
menurunkan prouksi glukosa hepatik, menurunkan absorbsi glukosa pada usus,
dan meningkatkan kepekaan insulin, khususnya di hati. Metformin tidak
meningkatkan berat badan seperti insulin sehingga biasa digunakan, khususnya
pada pasien dengan obesitas. Asidosis laktat jarang terjadi namun merupakan
komplikasi yang serius, khususnya pada insufisiensi ginjal dan gagal jantung
kongestif. Sedangkan tiazolidinedion meningkatkan kepekaan insulin perifer dan
menurunkan produksi glukosa hepatik.3
Efek obat-obatan ini kelihatannya menjadi perantara interaksi dengan
proliferator peroksisom reseptor inti yang mengaktifkan reseptor gamma (PPAR-
gamma). Dua analog tiazolidinedion, yaitu rosiglitazon dengan dua dosis 4 hingga
8 mg/hari dan pioglitazon dengan dosis 30 hingga 45 mg/hari, dapat diberikan
sebagai terapi tunggal atau dikombinasikan dengan metformin, sulfonilurea, atau
insulin. Obat-obatan ini dapat menyebabkan retensi air dan tidak dianjurkan untuk
diberikan pada pasien dengan gagal jantung kongestif.5
Bila kadar glukosa tidak dapat dikontrol secara optimal dengan
menggunakan cara-cara yang sudah dijelaskan, pasien-pasien diabetik tipe 2
dengan sisa sel-sel pulau Langerhans yang masih berfungsi, merupakan calon
yang tepat untuk menggunakan sulfonilurea. Obat-obat ini merangsang fungsi sel
beta dan meningkatkan sekresi insulin. Sebaliknya, pasien-pasien dengan diabetes
tipe 1 yang telah kehilangan kemampuannya untuk menyekresi insulin,
pengobatan dengan sulfonilurea menjadi tidak efektif. Efek potensial yang
merugikan akibat penggunaan agen-agen hipoglikemik oral. Namun, sulfonil urea
generasi kedua menyebabkan sedikit retensi air atau tidak ada sama sekali, yang
merupakan masalah potensial dengan beberapa agen generasi pertama. Dua bahan
sulfonilurea yang paling sering digunakan adalah glipizid 2,5 hingga 40 mg/hari,
dan gliburid 2,5 hingga 25 mg/hari. Gliburid memiliki waktu paruh yang lebih
lama dari pada glipizid, dan dosis total hariannya dapat diberikan sekali sehari.
Gabungan sulfonilurea dengan pensensitif insulin adalah terapi obat yang paling
sering digunakan untuk pasien ini, absorbsi karbohidrat dapat diturunkan atau
diperlambat dengan mengonsumsi akarbosa preprandial, yaitu penghambat alfa
glukosida yang bekerja pada usus halus dengan menyekat pencernaan kompleks
karbohidrat.3,5
Insulin
Insulin merupakan protein kecil dengan berat molekul 5808 pada manusia.
Insulin mengandung 51 asam amino yang tersusun dalam dua rantai yang
dihubungkan dengan jembatan disulfide, terdapat perbedaan asam amino kedua
rantai tersebut. Untuk pasien yang tidak terkontrol dengan diet atau pemberian
hipoglikemik oral, kombinasi insulin dan obat-obat lain bisa sangat efektif. Insulin
kadangkala dijadikan pilihan sementara, misalnya selama kehamilan. Namun pada
pasien DM tipe 2 yang memburuk, penggantian insulin total menjadi kebutuhan.
Insulin merupakan hormon yang mempengaruhi metabolisme karbohidrat maupun
metabolisme

Preventif
Mengingat jumlah pasien DM yang membengkak dan besarnya biaya
perawatan pasien DM yang terutama disebabkan oleh karena komplikasinya,
maka upaya yang paling baik adalah pencegahan. Menurut WHO tahun 1994,
upaya pencegahan pada diabetes ada tiga jenis atau tahap, yaitu:1
Pencegahan primer. Semua aktivitas yang ditujukan untuk pencegah
timbulnya hiperglikemia pada individu yang beresiko untuk jadi diabetes atau
pada populasi umum.1
Pencegahan sekunder. Menemukan pengidap DM sedini mungkin,
misalnya dengan tes penyaringan terutama pada populasi resiko tinggi. Dengan
demikian pasien DM yang sebelumnya tidak terdiagnosis dapat terjaring, hingga
dengan demikian, dapat dilakukan upaya untuk mencegah komplikasi atau
kalaupun sudah ada komplikasi masih reversibel.1
Pencegahan tersier. Semua upaya untuk mencegah komplikasi atau
kecacatan akibat komplikasi itu. Usaha ini meliputi mencegah timbulnya
komplikas, mencegah progresi dari pada komplikasi itu supaya tidak menjadi
kegagalan organ, serta mencegah kecacatan tubuh.1
Dalam menyelenggarakn upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi
yang efisien dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal, yaitu
pendekatan populasi atau masyarakat serta pendekatan individu beresiko tinggi.1
Komplikasi8
Komplikasi diabetes mellitus meliputi:
1. Penyakit mikrovaskuler, termasuk retinopati, nefropati, dna neuropati

2. Displipidemia

3. Penyakit makrovaskuler, termasuk penyakit arteri koroner, arteri perifer,


dan arteri serebri

4. Ketoasidosis diabetik

5. Sindrom hiperosmoler hiperglikemik nonketotik

6. Kenaikan berat badan yang berlebihan

7. Ulserasi kulit

8. Gagal ginjal kronis

Prognosis
Prognosis DM pada umumnya baik hanya butuh pengobatan seumur hidup
dan menjaga agar gula darah terkontrol dengan baik.
BAB II
PENUTUP
Kesimpulan
Diabetes Mellitus Tipe 2 adalah pankreas dapat menghasilkan cukup
jumlah insulin untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu
untuk memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi
insulin dan kadar glukosa darah meningkat. Dalam patofisiologi diabetes
melitus tipe 2, dimulai dengan gangguan fase earlypeak yang menyebabkan
hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase sekresi insulin dimulai 20 menit
setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi
sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang
normal di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta.
NIDDM ditandai dengan adanya kelainan dalam sekresi insulin maupun dalam
kerja insulin.
Gambaran klini terjadinya DM tipe 2 ini yaitu melalui keluhan klasik
seperti penurunan berat badan, banyak kencing, banyak minum, banyak
makan. adapun keluhan lain yang terjadi yaitu gangguan saraf tepi /
kesemutan, gatal / bisul, gangguan ereksi dan keputihan. dalam menegakkan
diagosis dm dapat dilakukan berdasarkan cara pelaksanaan TTGO menurut
WHO 1985.
Faktor risiko DM tipe 2 seperti genetik, usia, stres, minim gerak, pola
makan yang salah, dan obesitas. Pencegahannya dilakukan pada tiga level,
yaitu primer berupa penyuluhan pada faktor risiko; sekunder berupa diagnosis
dini (skirning), pengobatan, dan diet; tersier berupa tindakan rehabilitatif
untuk mencapai kualitas hidup yang optimal. Adapun strategi
penanggulangan DM yaitu primordial prevention, health promotion, spesific
protection, early diagnosis and prompt treatmen, disability limitation dan
rehabilitation. Tindakan penanggulangan iaalah pengendalian DM yang lebih
diprioritaskan pada pencegahan dini melalui upaya pencegahan faktor risiko
DM seperti upaya promotif dan preventif dengan tidak mengabaikan upaya
kuratif dan rehabilitatif. Dan adapun faktor penanggulangan Diabetes Melitus
Tipe 2 yaitu melalui Edukasi, Perencanaan Makan, Aktivitas fisik dan
Pengobatan.
DAFTAR PUSTAKA

1.Adhi , Bayu.T1, Rodiyatul F. S. dan Hermansyah,2011. An Early Detection


Method of Type-2 Diabetes Mellitus in Public Hospital. Telkomnika, Vol.9, No.2,
August 2011, pp. 287~294.

2. Tjeyan, Suryadi R.M, 2007.Risiko Penyakit Diabetes Mellitus Tipe 2 Di


Kalangan Peminum Kopi Di Kotamadya Palembang Tahun 2006-2007.
Department Of Public Health And Community Medicine, Medical Faculty,
Sriwijaya University, Palembang 30126, Indonesia. Makara, Kesehatan, Vol. 11,
No. 2, Desember 2007: 54-60 Hal 54.

3. Shahab, Alwi,2006.Diagnosis Dan Penatalaksanaan Diabetes Melitus


(Disarikan Dari Konsensus Pengelolaan Diabetes Melitus Di Indonesia : Perkeni
2006).Subbagian Endokrinologi Metabolik, Bagian Ilmu Penyakit Dalam, Fk
Unsri/ Rsmh Palembang, Palembang.

4. Indraswari, Wiwi.2010. Hubungan Indeks Glikemik Asupan Makanan Dengan


Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Rawat Jalan Diabetes Mellitus Tipe-2 Di
Rsup Dr. Wahidin Sudirohusodo. Skripsi Sarjana. Program Studi Ilmu Gizi ,
Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Hasanuddin, Makassar.

5. Rakhmadany, dkk. 2010. Makalah Diabetes Melitus. Jakarta : Universitas Islam


Negeri

6. Agustina, Tri ,2009.Gambaran Sikap Pasien Diabetes Melitus Di Poli Penyakit


Dalam Rsud Dr.Moewardi Surakarta Terhadap Kunjungan Ulang Konsultasi Gizi.
KTI D3. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta,
Surakarta.

7. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S. Ilmu penyakit


dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI;
2006.h.1874-91.
8. Yaturu, S. Obesity and type 2 diabetes. Journal of DiabetesMellitus. 2011;
1(4);10-6.

Anda mungkin juga menyukai